• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUSUNAN ORGANISASI JURNAL WARNA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU RAUDLATUL ATHFAL INSTITUT AGAMA ISLAM IMAM GHOZALI CILACAP TAHUN AKADEMIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SUSUNAN ORGANISASI JURNAL WARNA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU RAUDLATUL ATHFAL INSTITUT AGAMA ISLAM IMAM GHOZALI CILACAP TAHUN AKADEMIK"

Copied!
174
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL WARNA

Volume 1 No. 1 Juni 2017

SUSUNAN ORGANISASI JURNAL WARNA PROGRAM STUDI

PENDIDIKAN GURU RAUDLATUL ATHFAL INSTITUT AGAMA ISLAM IMAM GHOZALI CILACAP

TAHUN AKADEMIK 2017/2018 s.d 2019/2020

Pembina : Rektor IAIIG Cilacap Penanggung Jawab : Dekan Fakultas Tarbiyah Pimpinan Redaksi : Indra Rukmana, S.Pd., M.Sn Sekretaris Redaksi : Sandi Aji Wahyu Utomo, M.Pd.I Dewan Redaksi : Nasrul Umam, M.Pd.I

Utami Budiyati, M.Pd.I Suvidian Elytasari, M.Pd.I Wulandari Retnoningrum, M.Pd Layout : Siti Purwati

Eka Maula Ulfah Al Umam Tata Usaha/Sirkulasi : Tun Zaetun

Lina Nur Arifah Nur Laila

(2)

Musik merupakan hal terpenting dalam kehidupan sehari- hari dari awal bangun tidur sampai tidur lagi. Dari bangun tidur sudah mendengarkan alarm berbunyi, melihat televisi juga terdapat musik yang mengiringi, setiap apa yang didengar merupakan musik yang selalu ada untuk mengikuti kehidupan. Tanpa musik hidup seperti mati karena tidak mendengarkan suara yang mempunyai nada dan volume tertentu. Setiap anak yang dilahirkan mempunyai kemampuan untuk bermusik. Karena itu anak memerlukan orang tua yang peduli terhadap musik sehingga kemampuan musik anak akan berkembang dengan optimal.

Musik juga merupakan aspek pertama yang harus dikembangkan dari sudut neurologis. Karena sejak dari dalam kandungan janin sudah bisa mendengarkan suara- suara termasuk juga musik. Dari semua kecerdasan yang ada dalam diri seseorang, musik memberikan pengaruh terbesar untuk diri manusia dan bisa mengembangkan kecerdasan lainnya. Sehingga aspek kecerdasan musik pada anak sangat penting untuk dikembangkan agar kecerdasan yang lainnnya bisa berkembang dengan baik. Selain itu musik memberikan efek yang kuat pada otak dengan cara menstimulasi intelektual dan emosional. Musik juga dapat mempengaruhi tubuh dengan cara mengubah kecepatam detak jantung, kecepatan bernapas, tekanan darah, ambang batas rasa sakit, dan gerakan otot. Berbagai respon tersebut dihasilkan dari aktivitasi jaringan- jaringan saraf yang terlibat dalam motivasi dan rasa

(3)

dahulu. Penting bagi pendidik atau orang tua untuk mengetahui manfaat kecerdasan musikal pada anak agar keterampilan- keterampilan yang lain dapat berkembang optimal.

Berbagai hasil penelitian yang dimuat dalam edisi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang berbagai fenomena yang terjadi dalam perkembangan anak usia dini di Indonesia. Di samping itu, masalah, metode, dan hasil penelitian itu hendaknya dapat dijadikan rujukan untuk melakukan penelitan lebih lanjut.

Pimpinan Redaksi Jurnal Warna PGRA IAIIG Cilacap

(4)

CAMPURSARI : BENTUK LAIN DARI KESENIAN GAMELAN YANG DITERIMA DI MASA MODERN

Mohamad Fajrin Kobi

Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta

ABSTRAK

Musik campursari masuk dalam ketegori kebudayaan baru, yakni melakukan perkawinan dan melahirkan bentuk baru. Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa ketika zaman berubah, maka selera dan pola pikir masyarakat pun berubah. Musik tradisional tidak lagi sepenuhnya menjadi hal yang digandrungi masyarakat yang semakin modern. Berdasar wujud campursari tersebut nampaknya campursari menarik untuk dikaji dari sudut pandang Antropologi khususnya pada perubahan kebudayan pada proses akulturasi. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba mengkaji campursari berdasar pada sebuah genre musik yang muncul akibat dari proses akulturasi tersebut. Metode penelitian ini mengunakan metode kualitatif, data dikumpulkan dengan teknik wawancara, observasi dan dokumentasi. Selanjutnya data dianalisis berdasar analisis kuantitatif mengikuti alur huberman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa campursari dapat dikategorikan sebuah genre musik yang lahir akibat dari proses akulturasi. Di kategorikan demikian, karena campursari merupakan sebuah genre musik yang terbentuk atau dibangun dari perpaduan beberapa genre musik yang berbeda latar budayanya baik dilihat dari segi fisik atau instrumentasi maupun dari segi musikalitasnya.

Kata Kunci : campursari, akulturasi, modern A. Pendahuluan

Musik merupakan bagian dari budaya manusia. Dalam situasi apapun musik selalu mengisi kehidupan. Dapat dikatakan musik telah menjadi bagian dari kebutuhan manusia. Musik adalah bagian dari tingkah laku manusia sehingga tidak dapat dilepaskan dari budaya

(5)

tertentu. Sebagai “commodity listening” musik diyakini sebagai bahasa

universal yang bisa memberikan kehangatan insani dan makanan rohani bagi si pendengar. Aliran musiknya yang ceria dan enak didengar mungkin bisa membuat kita menghentakan kaki atau menggerakkan kepala. Musik bukanlah bahasa konvensional seperti bahasa Indonesia, Inggris, Arab, Cina, dan lain-lain. Namun sebagai sebuah sistem yang mampu mewakili suasana, perasaan, bahkan gagasan, musik mampu melampaui bahasa konvensional dalam menyampaikan apa yang dikandungnya secara univer (Allan dalam Muhaya, 2003: 27).

Musik sebagai salah satu hasil karya seni, tidak mungkin hadir atau dihadirkan oleh penciptanya kalau tidak memiliki manfaat bagi masyarakat di mana musik itu diciptakan. Bagi pengarang sendiri, musik sebagai salah satu karya seni, di samping bertujuan untuk menghibur, dengan lirik lagu yang dibuatnya merupakan media komunikasi untuk menyampaikan apa yang ada dalam benak penciptanya. Musik sebagai salah satu karya seni dapat dipahami sebagai simbol dalam komunikasi. Musik dan komunikasi secara umum mempunyai kemampuan untuk menghasilkan kembali atau menentang struktur sosial yang dominan, karena komunikasi dibentuk dari masyarakat. Hubungan antara musik dan masyarakat adalah timbal balik dimana dalam hubungan tersebut keduanya saling mempengaruhi contoh lain juga terjadi pada musik campusari walaupun seringkali dilihat sebelah mata tetapi coba tanyakan kepada masyarakat beretnis Jawa dari kalangan menengah kebawah tentang musik apa yang paling memikat hati mereka. Jawabannya adalah campursari. Musiknya yang

(6)

sederhana dengan balutan lirik lagu berbahasa Jawa dengan tema yang akrab dengan keseharian masyarakat, membuat campursari lebih diminati ketimbang jenis musik yang lain yang berkembang di masyarakat luas. Kebanyakan lirik lagu campursari menggunakan Bahasa Jawa Ngoko (bahasa biasa yang tiap hari dipakai), sehingga tak ayal jika lirik lagu campursari begitu mudah dicerna oleh masyarakat luas.

Gamelan Jawa merupakan seperangkat instrumen sebagai pernyataan musikal yang sering disebut dengan istilah karawitan. Karawitan berasal dari bahasa Jawa rawit yang berarti rumit, berbelit-belit, tetapi rawit juga berarti halus, cantik, berliku-liku dan enak. Kata Jawa karawitan khususnya dipakai untuk mengacu kepada musik gamelan, musik Indonesia yang bersistem nada non diatonis (dalam laras slendro dan pelog) yang garapan-garapannya menggunakan sistem notasi, warna suara, ritme, memiliki fungsi, pathet dan aturan garap dalam bentuk sajian instrumentalia, vokalia dan campuran yang indah didengar.

Seni gamelan Jawa mengandung nilai-nilai historis dan filosofis bagi bangsa Indonesia. Secara filosofis gamelan Jawa merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa. Hal demikian disebabkan filsafat hidup masyarakat Jawa berkaitan dengan seni budayanya yang berupa kesenian serta berhubungan erat dengan perkembangan religi yang dianutnya. Pada masyarakat jawa gamelan mempunyai fungsi estetika yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial, moral dan spiritual. Secara historis, sarjana J.L.A. Brandes (1889)

(7)

mengemukakan bahwa masyarakat Jawa sebelum adanya pengaruh Hindu telah mengenal sepuluh keahlian, diantaranya adalah wayang dan gamelan. Menurut sejarahnya, gamelan Jawa juga mempunyai sejarah yang panjang. Seperti halnya kesenian atau kebudayaan yang lain, gamelan Jawa dalam perkembangannya juga mengalami perubahan-perubahan.

1. Gamelan dan Karawitan

Sebelum istilah karawitan mencapai popularitas di masyarakat seperti sekarang ini, dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di lingkungan daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta, sudah sering terdengar kata rawit yang artinya halus, indah-indah (Prawiroatmojo, 1985:134). Begitu pula sudah terdengar kata ngrawit yang artinya suatu karya seni yang memiliki sifat-sifat yang halus, rumit, dan indah (Soeroso:1985;1986). Dari dua hal tersebut dapat diartikan bahwa seni karawitan berhubungan dengan sesuatu yang halus, dan rumit. Kehalusan dan kerumitan dalam seni karawitan tampak nyata dalam sajian gending maupun asesoris lainnya. Suhastjarja (1984) mendefinisikan seni karawitan adalah musik Indonesia yang berlaras non diatonic (dalam laras slendro dan pelog) yang garapan-garapannya sudah menggunakan sistem notasi, warna suara, ritme, memiliki fungsi, sifat pathet, dan aturan garap dalam bentuk instrumentalia, vokalis dan campuran, enak didengar untuk dirinya maupun orang lain.

Istilah gamelan telah lama dikenal di Indonesia, sudah disebut pada beberapa Perkawinan Jawa Kuno. Arti kata gamelan, sampai sekarang masih dalam dugaan-dugaan. Mungkin juga kata gamelan

(8)

terjadi dari pergeseran atau perkembangan dari kata gembel. Gembel adalah alat untuk memukul. Karena cara membunyikan instrument itu dengan dipukul-pukul. Barang yang sering dipukul namanya gembelan. Kata gembelan ini bergeser atau berkembang menjadi gamelan. Mungkin juga karena cara membuat gamelan itu adalah perunggu yang dipukul-pukul atau dipalu atau digembel, maka benda yang sering dibuat dengan cara digembel namanya gamelan, benda yang sering dikumpul-kumpulkan namanya kempelan dan seterusnya gembelan berkembang menjadi gamelan. Dengan kata lain gamelan adalah suatu benda hasil dari benda itu digembel-gembel atau dipukul-pukul (Trimanto, 1984).

Bagi masyarakat Jawa gamelan mempunyai fungsi estetika yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial, moral dan spiritual. Kita harus bangga memiliki alat kesenian tradisional gamelan. Keagungan gamelan sudah jelas ada. Duniapun mengakui bahwa gamelan adalah alat musik tradisional timur yang dapat mengimbangi alat musik barat yang serba besar. Di dalam suasana bagaimanapun suara gamelan mendapat tempat di hati masyarakat. Gamelan dapat digunakan untuk mendidik rasa keindahan seseorang. Orang yang biasa berkecimpung dalam dunia karawitan, rasa kesetiakawanan tumbuh, tegur sapa halus, tingkah laku sopan. Semua itu karena jiwa seseorang menjadi sehalus gendhing-gendhing (Trimanto, 1984).

2. Instrumen Karawitan

Dalam sebuah pertunjukan karawitan terdapat instrumen-instrumen yang ada didalamnya, yang pertama adalah Bonang, terdiri dari bonang

(9)

Barung dan bonang Penerus yang terbuat dari logam. Bonang dapat dipakai dalam segala macam gendhing, baik dalam irama keras atau cepat maupun halus atau pelan. Fungsinya adalah sebagai penghias lagu pokok dan pembuka gendhing. Slenthem, bentuknya seperti gender tetapi ukuran bilahnya lebih besar dan terdiri dari 7 bilah. Fungsinya adalah sebagai pembawa lagu pokok (pamangku lagu) Saron, termasuk alat tetabuhan keras yang terbuat dari logam. Berupa bilahan-bilahan perunggu yang disusun berderet di atas kotak kayu sebagai wadah gema. Saron terdiri dari Saron Demung, Saron Barung, dan Saron Penerus. Fungsinya adalah sebagai pembawa lagu pokok dengan intensitas tetabuhan yang lebih keras. Kendang, berbentuk seperti tabung dan terbuat dari kayu dengan tutup tabung dari kulit binatang. Fungsi utamanya adalah sebagai pengendali baik irama, jalannya gendhing, ataupun dinamika. Kenong, berbentuk canang seperti bonang tetapi lebih besar. Fungsinya adalah untuk memainkan irama dasar dan memberikan tekanan pada sela lagu. Kethuk, bentuknya seperti bonang dan biasanya berdampingan dengan alat yang disebut kempyang. Fungsinya untuk memainkan irama dasar dengan bunyi selang-seling antara kempyang-kethuk-kempul-kenong dan gong.

Kempul, mempunyai ukuran yang agak besar dibandingkan lainnya.

Biasanya digantung pada gawangan yang terbuat dari kayu yang bernama Gayor. Fungsinya sebagai penguat lagu pokok selain sebagai patokan gendhing. Gong, instrumen yang mempunyai ukuran paling besar. Bentuk dan cara meletakkannya sama seperti kempul. Fungsinya

(10)

sebagai penguat akhir lagu, batas-batas lagu, dan penguat rasa seleh lagu atau gendhing.

Gambar 1 (Seperangkat Gamelan)

Pada mulanya, gamelan pertama kali diperkenalkan oleh Wali songo untuk membantu menyebarkan agama islam di nusantara khususnya Pulau Jawa. Para wali tersebut menggunakan gamelan sebagai daya tarik agar masyarakat mau masuk islam dan datang kemasjid untuk melakukan ibadah. Dengan semakin berkembangnya Kerajaan Demak, maka mendorong Kerajaan Demak untuk lebih menyempurnakan gamelan yang digukan sebagai sarana penyebaran agama islam, sehingga dengan gamelan tersebut agama islam dapat lebih menyerap lagi kedalam hati sanubari rakyat. Selain itu gamelan juga digunakan oleh kerajaan demak untuk menyelenggarakan upacara sekaten untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad Saw, yang dimana gemelan merupakan komponen utama dalam terselenggaranya upacara Sekaten tersebut. Dalam upacara sekaten gamelan yang dipakai adalah gamelan tua yang diberi nama Kyai Sekati, yang terdiri dari dua rancak atau perangkat. Dan gamelan sekaten ini hanya memiliki

(11)

beberapa instrumen. Masing-masing istrumen tersebut dibuat serba tebal karena gamelan ini selalu dibunyikan keras-keras, agar bisa menarik perhatian warga untuk datang meramaikan upacara sekaten tersebut. Namun sekarang gamelan yang lengkap mempunyai kira-kira terdapat 72 alat dan dapat dimainkan oleh niyaga (penabuh) dengan disertai 10-15 pesinden dan atau gerong. Susunannya terutama terdiri dari alat-alat pukul atau tetabuhan yang terbuat dari logam seperti Bonang, Demung, Saron, Peking, Kenong & Kethuk, Slenthem, Gender, Gong, Gambang, Rebab, Siter, Suling, Kempul.

Berdasarkan sejarah, keberadaan gamelan sudah berabad-abad lamanya. Hal ini dapat dibuktikan dari tulisan-tulisan, maupun prasasti-prasasti di dinding candi yang ditemukan. Perkembangan selanjutnya dari masa ke masa mengalami perubahan, baik bentuk, jenis, maupun fungsinya. Dari yang sangat sederhana, menjadi sederhana, kemudian menjadi lebih komplit. Bukti tertua mengenai keberadaan alat-alat musik tradisional Jawa dan berbagai macam bentuk permainannya dapat ditemukan pada piagam Tuk Mas yang bertuliskan huruf Pallawa. Kesederhanaan bentuk, jenis dan fungsinya tentu berkaitan erat dengan pola hidup masyarakat pada waktu itu. Pada piagam tersebut terdapat gambar sangka-kala, yaitu semacam terompet kuno yang digunakan untuk perlengkapan upacara keagamaan (Palgunadi, 2002:7).

Kehidupan seni karawitan sejauh ini sudah mengalami perjalanan sejarah yang panjang bersamaan dengan munculnya kerajaan-kerajaan besar, seperti Majapahit, dan Mataram. Di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan penelitian zaman tersebut, gamelan (seni

(12)

karawitan) mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sehingga menarik para ilmuwan asing untuk mempelajari dan mendokumentasikan. Banyak penemuan-penemuan hasil penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan asing. Sebagian hasil penemuan tersebut selanjutnya digunakan untuk mempelajari seni karawitan.

Perkembangan yang terjadi pada dunia seni karawitan menggambarkan bahwa seni karawitan merupakan suatu produk kebudayaan yang selalu ingin berkembang, menyesuaikan dengan kondisi zaman. Hal ini sesuai dengan kodratnya, bahwa seni karawitan sebagaimana cabang seni pertunjukan tradisi lainnya dikategorikan dalam jenis senikomunal, yaitu seni yang lahir dari, oleh, dan untuk masyarakat. Keberadaan dan perkembangannya tergantung pada kondisi masyarakat. Dalam konteks yang lain dapat dikategorikan dalam bentuk seni yang patronage, yaitu seni jenis yang mengabdi kepada sesuatu atau seseorang yang dianggap sebagai payungnya. Sehingga keberadaan dan perkembangannya tergantung pada penguasa. Pada jaman kerajaan perkembangan seni karawitan berjalan pesat. Peran Raja sebagai penguasa tunggal sangat menentukan hidup dan matinya suatu bentuk seni. Seperti yang diutarakan dalam puisi abad ke-14 Perkawinan Negarakertagama. Kerajaan Majapahit mempunyai lembaga khusus yang bertanggung jawab mengawasi program seni pertunjukan (Sumarsam, 2003:19). Begitu pentingnya seni pertunjukan (karawitan) sebagai suatu pertanda kekuasaan raja adalah keterbilatan gamelan dan teater pada upacara-upacara atau pesta-ria kraton (Sumarsam, 2003:11).

(13)

B. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif, yakni penelitian yang mepamarkan data-data yang bersifat deskriptif serta data tersebut berupa kata-kata dan bukan berupa angka-angka. Oleh karena itu, hasil penelitian ini diharapkan mampu mendeskripsikan secara verbal fenomena atau gejala yang terjadi pada campursari khususnya dikaji dari sudut pandang akulturasi budaya. Selanjutnya untuk mendapatkan data-data guna memecahkan permasalahn yang dikaji, ditempuh dengan teknik wawancara, obsersasi, dan dokumentasi. Wawancara ditunjukan kepada para narasumber yang memiliki kapasitas serta kredibilitas di bidang campursari. Obsevasi ditempuh dengan jalan melihat langsung pentas campursari maupun mengamati pada tayangan televisi, guna mendapatkan gambaran yang kongkrit tentang campursari baik dari segi instrumentasi, segi musikalnya maupun unsur-unsur lain yang menunjang. Kemudian studi dokumentasi dilakukan dengan cara mendengarkan rekaman-rekaman baik berupa SD, VCD maupun kaset guna memperoleh data yang lebih akurat khususnya dari segi musikalnya.

Langkah berikutnya adalah menganalisis data-data yang telah diperoleh dengan megacu pada teknik analisis kualitatif yang diajukan Rohidi (1992), yakni dengan langkah mereduksi keseluruhan data, mengklasifikasi data sesuai dengan kategorinya, menginterpretasi sesuai dengan tujuan penelitian, selanjutnya penyajian data serta diakhiri verivikasi atau penarikan kesimpulan.

(14)

C. Pembahasan

1. Sejarah Musik Campursari

Sejarah musik campursari kita awali dari masyarakat jawa yang sudah mengenal bentuk kesenian kurang lebih 2000-1000 tahun sebelum masehi, yang merupakan akhir dari zaman mezolitikum. Dan apabila kita berbicara tentang kesenian dari jawa, tentu banyak jenisnya. Seperti halnya seni tari, seni musik dan yang lainnya. Salah seorang musikologis asal belanda yang terkenal bernama Jaap Kunst, mengumpulkan bahan untuk karyanya yang mendalam mengenai musik jawa selama akhir tahun 1910 dan 1920-an. Di tahun 1934 ia pulang ke negeri Belanda dan menerbitkan dua jilid buku mengenai teori dan teknik musik jawa. Salah satu musik yang berasal dari daerah Jawa adalah musik Campursari. Musik ini merupakan karya anak bangsa. Campursari sempat mengundang pro dan kontra dari berbagai kalangan. Ada yang berpendapat bahwa musik campursari dapat merusak tradisi, namun di lain sisi berpendapat bahwa inovasi dalam musik campursari sangat diperlukan agar dapat diterima oleh bebagai kalangan, baik di Indonesia maupun juga dalam tingkat mancanegara.

Sejarah musik campursari berlanjut, campursari berasal dari dua kata yaitu campur dan sari, campur berarti berbaurnya instrumen musik baik dari alat musik tradisional maupun alat musik modern, sedangkan sari dapat berarti eksperimen yang menghasilkan jenis irama yang lain daripada yang lain. Istilah campursari sendiri dikenal di awal tahun 1970-an, saat itu RRI stasiun Surabaya memperkenalkan acara baru, yaitu lagu-lagu yang diiringi oleh alat musik

(15)

berskala pentatonis dan diatonis. Campursari merupakan salah satu bentuk kesenian jawa dari perkawinan antara musik modern dengan musik etnik. Dalam sejarah musik campusari, musik ini berangkat dari musik keroncong asli langgam, musik campursari masih menggunakan dasar-dasar keroncong. Ada yang cenderung ke musik karawitan dan ada juga yang cenderung ke musik keroncong. Musik campursari pada awalnya dipopulerkan oleh Ki Nartosabdho yang bernama asli Sunarto. Di tahun 1945, Sunarto berkenalan dengan Ki Sastrosabdho, lewat Ki Sastrosabdho, Sunarto mengenal dunia pewayangan. Sunarto, kemudian di anugerahi nama belakang yaitu, Ki Nartossabdho. Ki Nartosabdho merupakan pembaharu dalam dunia pedalangan di tahun 80-an, ia menggabungkan musik modern dengan musik gamelan sehingga menghasilkan harmoni dengan nuansa tradisi Jawa, namun hal tersebut memicu timbulnya kontroversi.

Lalu bagaimana hubungan antara musik campursari dengan tradisi? Dalam sejarah musik campursari, musik campursari merupakan perpaduan antara sebuah tradisi dan inovasi. Pernyataan ini dilihat dari pandangan tradisi, bahwa musik campursari menggunakan alat musik tradisional seperti gamelan dan lain sebagainya, kemudian lirik yang digunakan dalam musik campursari menggunakan bahasa daerah Jawa dan terkadang dapat kita lihat para penyanyinya masih menggunakan pakaian daerah. Dan dari sudut pandang inovasi, terlihat bahwa perpaduan penggunaan alat musik tradisional dengan alat musik modern seperti Keyboard, gitar, bass elektrik dan lain sebagainya menghasilkan satu buah inovasi yang baru. Sehingga bisa dikatakan

(16)

musik campursari memliki aliran yang khas, yaitu perpaduan antara tradisi dan inovasi.

Dan perlu kita ingat, musik campursari merupakan salah satu aset budaya negara Indonesia, musik campursari memang pernah mengalami kejayaan, namun kini musik campursari memang sedikit dilupakan karena kepopuleran musik modern. Sebagai warga negara Indonesia yang baik, terutama untuk kaum muda jadi tidak ada salahnya kita menjaga dan melestarikan budaya warisan nenek moyang kita, salah satunya adalah musik campursari.

2. Campursari Sebagai Genre Musik Baru

Tahun 1990-an musik keroncong dan karawitan masih menyimpan masa keemasan dilihat dari fungsinya sebagai seni hiburan yang populer. Pada masa itu mulai ada kreasi-kreasi dari berbagai seni pertunjukan yang menggabungkan kedua jenis seni musik tersebut. Kreasi juga timbul pada masing-masing jenis dengan menciptakan komposisi baru yang tidak lazim dari segi bentuk, irama, laras, dan teknik menyajikannya. Musik keroncong dan karawitan masih ketat mempertahankan ansambelnya, baik berupa alat dan teknik bermusiknya. Terlihat sekali seniman-seniman seni musik ini masih setia menggunakan perang katakustik yang tidak memakai instrumen musik elektronik. Kreasi-kreasi itu memunculkan pemikiran seniman untuk berbuat praktis dengan membawa serta kedua genre musik dalam satu ansambel baru. Keinginan ini muncul untuk mewadahi keinginan penikmat musik yang heterogen dalam memilih lagu. Seringkali penikmat musik salah sasaran karena meminta lagu yang tidak bisa

(17)

dilayani grup yang tampil. Ambil saja contoh suatu orkes keroncong tidak dapat menyajikan repertoar lagu atau gendhing yang biasa disajikan oleh karawitan/gamelan. Begitupun sebaliknya, suatu grup karawitan tidak bisa menyajikan lagu keroncong atau lagu diatonis lainnya. Akhirnya muncullah musik campursari yang mana merupakan modifikasi alat-alat musik gamelan dikombinasi dengan instrumen-instrumen musik modern.

Gambar 2

(Bentuk Pertunjukan Campursari) Dok. M. Fajrin Kobi 2016

Aransemen musik campursari lebih fleksibel karena mengandung musik tradisional dan modern, sehingga musik campursari banyak digemari masyarakat dari tingkat masyarakat daerah hingga masyarakat kota. Pada awalnya, kehadiran

(18)

tradisional dengan para pelaku musik kreatif. Karena hal ini dianggap menurunkan nilai-nilai tradisi yang terkandung dalam gamelan sebagai salah satu bentuk musik istana. Namun, bagi seniman pelaku musik kreatif, hal tersebut bukan merupakan suatu penghalang yang berarti. Ketidak setujuan beberapa pihak akan perpaduan musik ini dicekal ataupun menjadi tidak boleh diperdengarkan dalam kehidupan sehari-hari. Buktinya campursari dapat berkembang hingga meluas pada masyarakat dimana musik itu berasal dan kemudian di luar kebudayaan musik itu berasal.

Kendati munculnya pro dan kontra terhadap kemurnian aliran musik ini, namun semua pihak sepakat dan memahami bahwa campursari menghidupkan kembali musik-musik tradisional di wilayah tanah Jawa. Karena musik campur sari merupakan musik yang mampu mengusung suatu etnisitas dan patut diterima oleh masyarakat luas tanpa menghapus identitas dari masyarakat pemilik musik itu sendiri. Bentuk musik enak didengar dengan nuansa tradisi yang dibawa. Akhirnya, musik ini diminati banyak orang dari berbagai kalangan di Indonesia. Tak heran kalau selanjutnya muncul banyak kelompok musik campursari di daerah -daerah. Musik campursari menjadi salah satu jenis musik komersial yang digemari oleh masyarkat yang kebanyakan dari golongan sosial ekonomi menengah ke bawah dan banyak dijumpai dalam berbagai macam acara, seperti pesta pernikahan, promise wisata, perayaan hari-hari besar, dan lain-lain. Jenis-jenis lagu yang dinyanyikanpun bervariasi, sesuai permintaan tamu, seperti langgam jawa, keroncong, pop, dangdut, bahkan juga

(19)

terkadang lagu berbahasa inggris. Zaman keemasan musik campursari terjadi mulai pertengahan tahun 1990-an sampai awal tahun 2000-an Campursari tidak lagi berwujud seperti campursari tahun 1960an. Masyarakat dapat memaknai sendiri ansambel campursari, grup organ tunggal yang menyajikan lagulagu pentatonic sudah dapat ikatakan sebagai sebuah pertunjukan campursari, demikian juga pemakaian keyboard dengan kendang. Campursari yang yang mana sebuah genre musik baru yang menonjolkan percampuran antara musik tradisional dan musik modern secara tampilan memberikan hal yang berbeda dalam pertunjukan tidak hanya dalam variasi instrumen musik yang digunakan, akan tetapi ada perbedaan juga dalam penggunaan kostum yang digunakan penyanyi maupun musisinya. Biasanya penyanyi keroncong atau karawitan (swarawati atau sindhen) menggunakan busana kain Jawa menurut ukuran seperlunya tetapi, berbeda dengan penyanyi campursari, mereka merasa harus menambahkan aksesoris lain untuk mempercantik penampilan.

Musik campursari haruslah memilki ruh yakni nilai-nilai kearifan lokal yang tetap melekat pada musik campursari (intrumen, kostum, dan lagu-lagunya). Akan tetapi, dalam perkembangannya saat ini memang hanya beberapa musisi campursari yang tetap mempertahankan ruh campursari. Sedangkan sebagian besar musisi campursari justru mengabaikan ruh tersebut, sehingga yang muncul kemudian adalah penyimpangan dalam berbagai pentas musik campursari yang membuat efek negatif terhadap musik campursari. Penggarapan karya dan penyajian campursari yang asal-asalan dan mengabaikan

(20)

nilai-nilailuhur justru akan menjerumuskan musik campursari ke jurang degradasi luhuran kesenian tradisional.

D. Kesimpulan

Campursari hidup menjadi musik industri karena adanya kreativitas pencipta produk dan kreativitas dari penyelenggara produk atau produser. Kreativitas campursari, secara utama dapat menciptakan produk musik baru, yakni Campursari dengan style tersendiri sebagai bentuk musik Jawa kreasi. Kebaruan Campursari berpijak dari musik yang telah lama ada dan dikenal oleh masyarakat, yakni musik gamelan atau karawitan Jawa yang dipadu dengan musik diatonis yang telah terjelma dalam musik populer Indonesia, utamanya langgam dan dangdut.

Penciptaan musik Campursari jika dilihat dari elemen-elemen pembentukan musiknya dapat dikemukakan berikut ini. Pertama,

Campursari menciptakan alternatif tangganada ‘baru’ dalam konteks menyatukan dua tangganada antara tangganada pentatonis dan tangga nada diatonis. Dipandang dari sisi karawitan Jawa, alternatif frekuensi-frekuensi baru pada nada-nada yang biasa digunakan dalam karawitan Jawa, yakni dari yang biasa menggunakan frekuensi nada-nada pelog dan slendro diubahnya menggunakan frekuensi nada-nada diatonis. Tangga nada pentatonis yang digunakan untuk membentuk atau membuat lagu, secara utama hanya lima nada sedangkan dua nada yang lain hanya sebagai nada alternatif. Dipandang dari sisi tangga nada diatonis, campursari memberikan paradigma baru, bahwa nada-nada yang digunakan secara utama hanya lima nada. Dua nada pokok yang

(21)

lain difungsikan sebagai nada varian atau nada alternatif. Kemudian untuk nada-nada kromatis sama sekali tidak digunakan dalam penciptaan lagu.

Kedua, alat musik Campursari merupakan kolaborasi antara alat musik Barat dan alat musik gamelan dalam Karawitan Jawa yang dimainkan membentuk sebuah unit atau kesatuan musikal sehingga menawarkan estetika musikal baru. Untuk membentuk kesatuan musikal tersebut, campursari tidak terpaku pada permainan musik diatonis. Alat musik yang berasal dari Barat seperti keyboard, cak, cuk, gitar melodi, dan bass tidak memainkan nada-nada dengan cara sebagaimana yang biasa digunakan untuk memainkan musik diatonis tetapi lebih cenderung frontal kememainkan nada-nada untuk sajian karawitan Jawa.

Ketiga, karya-karya campursari cenderung menggunakan ekspresi karawitan Jawa yang dikemas dengan kolaborasi peralatan musik Barat dan alat musik gamelan. Implikasi dari penggabungan peralatan tersebut adalah penggarapan harmoni yang mengacu pada karawitan Jawa. Hal ini disebabkan karena tangga nada yang digunakan secara utama dalam karawitan Jawa hanya terdiri dari lima nada. Berkait dengan itulah maka penggarapan harmoni hanya berdasarkan kelima nada tersebut. Dalam hubungan dengan itu apabila terdapat nada-nada yang tidak termasuk dalam tangga nada dalam karawitan Jawa, maka nada-nada tersebut dihilangkan. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan karakter lagu agar nuansa Jawa lebih menonjol atau optimal.

(22)

Keempat, Campursari tidak menggunakan pola irama diatonis Barat tetapi mengadopsi struktur bentuk gendhing karawitan Jawa yang telah ada. Campursari mengemas polapola tabuhan atau teknik permainan dengan alat musik Barat untuk menunjukkan struktur bentuk gendhing menjadi jelas. Struktur bentuk gendhing musik gamelan atau karawitan Jawa yang secara dominan dalam Campursarinya hanyalah langgam, dangdut Jawa, lancaran, ketawang, dan ladrang. Musik diatonis dalam Campursari Manthous hanya digunakan sebagai pelengkap dan sangat tidak dominan.

Untuk menjadikan Campursari ini dapat sukses atau hidup menjadi musik industri tidak lepas dari kreativitas Produser. Kreativitas dari produser ditinjau dari aspek musikalnya hanyalah mengenai menentukan jenis musik, memilih penyanyi yang dirasa paling cocok, dan menyusun urutan lagu dalam sebuah kemasan produk. Selain dari itu yang lebih penting, produser mempromosikan dan menyalurkan produk ke pihak lain yang dipandang dapat mendistribusikan produk tersebut dengan baik, dalam pengertian produk ini harus mudah sampai pada tangan konsumen.

Guna menarik kesimpulan tentang uraian sebelumnya mengenai campursari, perlu di perhatikan kembali rumusan Ki Hajar Dewantara tentang kebudayaan. Mengacu hal tersebut, musik campursari masuk dalam ketegori kebudayaan nomor 2 (dua), yakni melakukan perkawinan dan melahirkan bentuk baru. Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa ketika zaman berubah,maka selera dan pola pikir masyarakat pun berubah. Musik tradisional tidak lagi

(23)

sepenuhnya menjadi hal yang digandrungi masyarakat yang semakin modern.

Masyarakat lagi menggandrungi jenis musik yang ringan, menghibur, dan santai maka campursari menjadisangat booming. Modifikasi musik tradisional jawa dengan permainan musik modern dalam musik campursari dapat dianggap sebagai suatu upaya untuk mempertahankan keberadaan musik tradisional, bahkan menghidupkannya kembali di tengah ketenaran musik modern seperti musik pop. Pembuktian bahwa adanya usaha pelestaraian kebudayaan tradisional dalam campursari adalah masih dapat ditemukannya dan dinikmatinya unsur-unsur kebudayaan jawa mulai dari segi instrumen musik yang digunakan, pemilihan lagu yang bisa dicampursarikan, hingga penggunaan kostum yang dikenakan penyanyinya.

Daftar Pustaka

Laronga, S. M. (2008). Campursari music, 1958-present: tracing a Javanese fusion aesthetic. Madison.

Yudoyono, B. (1984). Gamelan Jawa: awal-mula, makna masa depannya. Karya Unipress.

Prawiroatmojo, S. (1985). Bausastra awa-lndonesia.

Atmojo, B. S. (2010). Kendhangan Pamijen Gending Gaya Yogyakarta. RESITAL: JURNAL SENI PERTUNJUKAN, 11(1)

Surtihadi, R. M. (2014). Instrumen Musik Barat dan Gamelan Jawa dalam Iringan Tari Keraton Yogyakarta. Journal of Urban Society's Arts, 14(1).

(24)

ESTETIKA INTERIOR RUMAH COMPOUND DI KAWASAN KOTAGEDE YOGYAKARTA

Cerrya Wuri Waheni

ABSTRAK

Rumah yang dikenal oleh masyarakat Indonesia pada umumnya menjadi istilah“omah”pada masyarakat Jawa yang menunjukan suatu bangunan yang diberi atap dan dipakai untuk tempat tinggal atau keperluan lainnya. Unit-unit ruang pada rumah Jawa, memiliki fungsi yang berbeda yang menentukan cara berkelakuan dan berinteraksi manusia di dalamnya. Unit-unit ruang tersebut apabila disejajarkan dapat digambarkan sebagai suatu kontinum dari ruang yang paling publik (pendapa - omah ngarep) sampai ke yang paling privat (pawon dan kulah pada bagian omah mburi). Dari ruang yang paling sakral ke ruang yang paling profan. Dari ruang yang paling bersih, sampai ruang yang paling kotor. Kontinum ruang yang digambarkan ini juga menunjukkan kesinambungan dan ruang yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan sosial budaya sampai ke ruang yang berfungsi memenuhi kebutuhan emosional serta biologis. Penulis mencoba melakukan penelitian dari sudut pandang estetika interior rumah

coumpound di kawasan kotagede Yogyakarta, dengan harapan bisa

menambah ilmu pengetahuan bahwa interior yang terdapat pada rumah Jawa memuat unsur keindahan dan makna tersendiri sebagai pembelajaran bagi manusia yang berada di dalamnya. Estetika interior rumah coumpound ini harapannya juga bisa mengingatkan kembali kepada diri penulis sendiri sebagai perempuan Jawa dan masyarakat Jawa pada umumnya yang terkhusus perempuan di Yogyakarta, untuk mengetahui bahwa pada zaman dahulu rumah coumpound pernah bersaksi di dalam kehidupan perempuan Jawa. Semoga pengetahuan ini bisa menjadi pengetahuan dalam pembentukan sikap dan perilaku masyarakat selain masyarakat Jawa, agar dengan mudah larut dalam pola kehidupan budaya tradisional Jawa.

(25)

Kata Kunci: Omah, penelitian, estetika, interior dan coumpound.

I. PENDAHULUAN

Kotagede merupakan kawasan yang memiliki karakteristik sebagai kota tradisional Jawa, yang memiliki faktor historis, sosial dan kultural. Sejarah Kotagede bermula dari dibukanya Alas Mentaok oleh Ki Ageng Pemanahan pada tahun 1575 M. Daerah yang dihadiahkan kepadanya oleh Sultan Hadiwijaya, raja Kerajaan Pajang atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang, kemudian dijadikan ibukota Kerajaan Mataram Islam di tahun 1586 M oleh anaknya, Panembahan Senapati (Danang Sutawijaya). Akan tetapi seiring perkembangan zaman Kotagede menjadi kota yang mewakili berbagai strata. Berbagai macam profesi dan tingkatan kedudukan penduduknya masih ada sampai sekarang.

Di sisi lain situs www.yogyes.com berbicara mengenai Kota Yogyakarta, maka tidak akan terlepas dari keberadaan Kotagede, yang disebut-sebut sebagai cikal bakalnya Kerajaan Mataram. Kotagede asli merupakan kawasan yang memiliki karakteristik sebagai kota tradisional Jawa. Rentang sejarah panjangnya mengukir banyak pesona dan meninggalkan pusaka budaya yang tak ternilai. Sebagai kerajaan Jawa, tata kota kawasan ini mengacu prinsip ’Catur Gatra Tunggal

yang direpresentasikan dengan adanya Keraton, Alun-alun, Masjid dan Pasar. Keraton menjadi titik orientasi arsitektur karena dianggap pusat keseimbangan mikrokosmos dan makrokosmos (inti filosofi

(26)

kebudayaan Jawa). Karena itu setiap rumah di kawasan ini menghadap pada titik dimana pusat pemerintahan (dulu) berada.

Kotagede merupakan kawasan yang mewakili tradisi Jawa. Kultur peninggalan Kerajaan Mataram Islam masih dapat ditelusuri dengan melihat denah kota yang mempunyai ciri khas. Struktur pemukiman rumah tinggal, bangunan-bangunan yang didirikan secara tradisional dan jalan-jalan yang berpotongan membentuk bujur sangkar di Kotagede sampai saat ini masih ada. Secara umum tata kota Kotagede masih mencerminkan struktur asli pada waktu didirikan. Meskipun banyak yang sudah berubah menjadi pemukiman yang padat, bangunan keraton sudah menjadi makam dan di sekitarnya berdiri rumah-rumah penduduk, dan pusat kota tidak lagi di keraton, karena sudah berubah fungsi, kecuali pasar. Kepesatan perkembangan lingkungan di sekitarnya tidak banyak mempengaruhi perkembangan fisik lingkungan di dalam lingkup kawasan Kotagede.

Zaman modern dengan dinamika masyarakat yang cukup tinggi, selain dilandasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, masih juga terdapat tradisi yang hidup dan berkembang di kalangan masyarakat dalam kurun waktu yang lama dan merupakan salah satu akar budaya bangsa. Masyarakat Jawa dengan faham Jawanya (kejawen) sering dianggap hidup dalam kepercayaan primitif, namun sebenarnya dengan faham itulah mereka kemudian dikatakan mempunyai sifat-sifat khusus. Hal-hal yang tampak khusus adalah cara

(27)

mereka mempertahankan hidup selaras dan harmonis dengan lingkungan di sekitarnya.

“Rumahmu, Wajahmu dan Jiwamu”, adalah ungkapan yang

menggambarkan bahwa rumah dalam kehidupan manusia Indonesia

mempunyai ‘arti dan makna yang dalam’ (Yudohusodo, 1991: 4).

Memahami dan mengartikan maksud dari bangunan bukan hanya sekedar persepsi visual tetapi seyogyanya ditilik sebagai sistem hubungan spasial. Untuk dapat memahami ruang sosial secara logika maka lingkungan tersebut harus dideskripsikan secara fisik berdasarkan kurun waktu ataupun lingkungan sekitar. Hal tersebut dilakukan untuk memahami dan mengetahui hubungan antara pola yang digunakan dengan aktivitas sosial yang berlangsung didalamnya.

Menurut Djoko Suryo (1985: 111), Yogyakarta adalah salah satu bagian propinsi di Jawa yang masih kental dan mempertahankan tradisi dan filosofi ini. Pengaruh kepercayaan dan mitos secara turun temurun masih ditaati dalam sistem kehidupan bermasyarakat. Salah satu contohnya adalah dari segi orientasi arah hadap rumah tinggal, biasanya menghadap utara atau selatan. Secara kepercayaan arah hadap utara adalah untuk menghormati Gunung Merapi yang dianggap keramat. Sedangkan arah hadap selatan juga terdapat tempat keramat yang dihormati yaitu adanya Laut Selatan yang menurut mitos Jawa terdapat istana Nyai Rara Kidul yang merajai segala jin dan setan (lelembut). Selain itu, susunan atau organisasi ruang, fungsi ruang, bentuk arsitektur, memilih letak untuk membangun dan bahan

(28)

bangunan pun mempunyai patokan yang mantap, serta diperhitungkan dengan matang. Tatanan tersebut kemudian mempengaruhi semua tingkah laku, penggunaan benda-benda yang dipakai, dibuat, mantra dan sesaji, tempat-tempat alamiah, sikap serta gagasan-gagasannya (Sumardjo, 309: 2014).

Menurut Wiryomartono (1995 :46), pemukiman di Kotagede terdiri dari beberapa kelompok yang tidak didasarkan pada pola geometris sistematis, tetapi merupakan compound yang terdiri dari beberapa keluarga. Setiap satu compound dibangun dengan pembatas dinding dari batu bata terbuka atau diplester, dan terdiri dari 6 hingga 10 rumah. Sedangkan Soeryanto dan Indanoe dalam Iswati (2001: 27) menyebutkan ada lima tipe pemukiman di Kotagede, antara lain pola dengan tatanan dari beberapa kelompok hunian dan di hubungkan oleh jalan rukunan, pola kluster dari beberapa unit hunian yang terbentuk dalam satu lingkungan yang dibatasi oleh dinding, pola dengan beberapa hunian dengan tipe individual dan membentuk suatu pola kolektif, pola kluster dalam satu lingkungan berpagar dinding dengan jalan rukunan di depan pendopo, dan pola kluster berpagar dinding dengan akses hanya dari samping.

Pola pemukiman dalam bentuk compound yang terdiri dari beberapa rumah tinggal ini memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan rumah tinggal di tempat lain. Pola compound merupakan pola kluster yang unik, dalam satu lingkungan yang dibatasi pagar dinding yang tinggi atau sering disebut dengan pagar bumi, didalamnya terdapat

(29)

beberapa rumah tinggal yang dulunya merupakan rumah indung (rumah persewaan dulunya milik abdi dalem jurukunci) dan rumah magersari. Biasanya dalam satu coumpound merupakan masih dalam satu kekerabatan atau satu kinship.

Iswati, dkk (1999: 28) mangatakan bahwa beberapa kampung di kawasan kotagede terpisahkan oleh gang-gang yang dikelilingi tembok tinggi dengan kampung sekitarnya. Ini merupakan ciri yang amat menonjol dari tipe pemukiman yang ada di Kotagede. Diantara tembok-tembok tinggi tersebut biasanya terdapat jalan penghubung/jalan rukunan yang disediakan oleh pemilik rumah sehingga bagi warga sekitar untuk menuju seberang gang tidak perlu mengitari gang tetapi bisa melalui jalan pintas tersebut yang biasanya disebut jalan rukunan.

Jalan rukunan ini ada yang dibuka tiap jam 6.00 dan ditutup jam 18.00. Tetapi ada juga yang selalu ditutup dan hanya anggota keluarga dalam satu kinship yang bisa melaluinya. Dibalik tembok-tembok tinggi tersebut biasanya terdapat ruang tersembunyi berupa open space yang orang tidak akan tahu apabila tidak memasuki atau melalui tembok tersebut. Ini juga salah satu ciri yang banyak ditemui di kampung-kampung Kotagede.

Sikap dan perilaku masyarakat Kotagede, khususnya dalam pola pemukiman compound dengan mudah beradaptasi dalam pola kehidupan budaya tradisional Jawa. Adaptasi yang mudah dibuktikan dengan penyesuaian terhadap rumah tinggalnya yang rata-rata sudah berumur ratusan tahun walaupun makna yang ada didalamnya telah

(30)

berubah. Hubungan kekeluargaan dan social intercourse antara penghuni rumah dengan publik masih sangat erat.

Menurut Haryadi & B. Setiawan (1995: 31) Berbagai kegiatan manusia saling berkaitan dalam satu sistem kegiatan. Demikian juga wadah-wadah berbagai kegiatan atau ruang-ruang (space) tersebut, yang juga terkait dalam satusistem, yang disebut dengan ‘sistem ruang’ atau ‘sistem spasial’ (spatial system). Keterkaitan ruang-ruang sebagai wadah kegiatan inilah yang membentuk ‘tata ruang’ atau ‘pola ruang’

yang tertuang sebagai bagian dari arsitektur.

Sedangkan menurut Yulita (2005), sebagai obyek yang tampak (visible) dan nyata (tangible), sistem hubungan spasialnya tentu dapat dipahami secara logis. Masalah utama dalam mengkaji pola ruang adalah bagaimana menemukan hubungan antara struktur sosial dan struktur spasialnya. Syntax model adalah metode yang bisa digunakan untuk menjelaskan permasalahan ruang tersebut.

Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai pola spasial pada rumah tinggal. Obyek penelitian yang dipilih adalah rumah tinggal dalam pola pemukiman compound di kawasan Kotagede. Dengan meneliti estetika, maka akan diketahui lebih lanjut hubungan antar pola yang digunakan dengan aktifitas yang berlangsung di dalamnya dari sebuah organisasi ruang rumah tinggal. Kondisi demikian melatarbelakangi dalam penelitian ini, yaitu untuk mengetahui tentang karakteristik

(31)

secara estetik pada rumah tinggal compound di kawasan Kotagede Yogyakarta.

A. Permasalahan dan Pembahasan

Penelitian Soeryanto dan Indanoe (1987) dalam Iswati (2001:28) menyebutkan ada lima tipe pemukiman di Kotagede, antara lain pola dengan tatanan dari beberapa kelompok hunian dan di hubungkan oleh jalan rukunan, pola kluster dari beberapa unit hunian yang terbentuk dalam satu lingkungan yang dibatasi oleh dinding, pola dengan beberapa hunian dengan tipe individual dan membentuk suatu pola kolektif, pola kluster dalam satu lingkungan berpagar dinding dengan jalan rukunan di depan pendapa, dan pola kluster berpagar dinding dengan akses hanya dari samping. Menurut Wiryomartono (1995:46), pemukiman di Kotagede terdiri dari beberapa kelompok yang tidak didasarkan pada pola geometris sistematis, tetapi merupakan

compound yang terdiri dari beberapa keluarga. Setiap satu coumpound

dibangun dengan pembatas dinding dari batu bata terbuka atau diplester, dan terdiri dari 6 hingga 10 rumah.

(32)

Gambar 1: Lima tipe pemukiman di Kotagede (Sumber: Indanoe dan Soeryanto, 1987) Keterangan:

1. Pola dengan tatanan dari beberapa kelompok hunian, baik individual maupun kolektif, setiap kelompok dihubungkan oleh jalan kolektif (rukunan), yang berfungsi sebagai sarana interaksi sosial, komunikasi dan sirkulasi dalam satu kelompok hunian. 2. Tipe dengan pola kluster dari beberapa unit hunian yang

terbentuk dalam satu lingkungan yang dibatasi oleh dinding, jalan rukunan (antara pendopo dan dalem) yang menghubungkan antar unit rumah, dengan pengakhiran regol pada sisi barat dan timur.

(33)

3. Beberapa hunian dengan unit rumah, dengan pengakhiran regol pada sisi barat dan timur.

4. Tipe dengan pola kluster dari bangunan hunian dalan satu lingkungan berpagar dinding, dengan pencapaian (akses) dari arah depan dan samping, jalan rukunan terletak di depan pendapa.

5. Tipe dengan pola kluster dari bangunan hunian dalan satu lingkungan berpagar dinding, dengan pencapaian (akses) dari arah samping.

B. Pemukiman Compound di Kotagede

Menurut Kamus Inggris-Indonesia (1999:29), compound berati campuran, majemuk, halaman. Pola pemukiman dengan bentuk

compound merupakan pemukiman berkelompok dalam satu

lingkungan. Pola pemukiman dalam bentuk compound yang terdiri dari beberapa rumah tinggal ini memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan rumah tinggal di tempat lain. Pola compound merupakan pola kluster yang unik, dalam satu lingkungan yang dibatasi pagar dinding yang tinggi atau sering disebut dengan pagar bumi, didalamnya terdapat beberapa rumah tinggal. Biasanya dalam satu coumpound merupakan masih dalam satu kekerabatan atau satu kinship.

Pola pemukiman compound terbentuk dari kelompok rumah dan ruang terbuka yang memanjang. Keberadaan pola pemukiman

compound di Kotagede tidak terlepas dari adanya jalan rukunan sebagai

(34)

Menurut Indanoe dalam Indratoro (1995:28) ada 3 pola pemukiman compound di Kotagede antara lain :

1. Pola compound dengan dua/lebih deretan rumah ke arah timur-barat dengan jalan setapak yang terletak diantara pendapa dan dalem, jalan setapak ini dihubungkan oleh jalan setapak (arah utara selatan dengan deretan rumah sekelilingnya.

2. Pola compound dengan dua atau lebih deretan rumah ke arah timur-barat dengan jalan setapak yang terletak diantara bangunan pandapa dan dalem (tanpa ada jalur penghubung dengan deretan rumah sebelahnya).

3. Pola compound dengan dua/lebih deretan rumah kearah timur-barat dengan jalan setapak di depan bangunan pendapa.

II. TINJAUAN TENTANG RUMAH TINGGAL A. Tinjauan tentang Rumah Tinggal

Menurut Yudohusodo (1991:4), rumah dalam arti house akan menitikberatkan pada fungsi rumah secara fisik, yaitu melindungi terhadap pengaruh alam. Sedangkan menurut Frick (1997) rumah dalam arti home akan menitikberatkan pada kepentingan kejiwaan, sosial dan budaya. Rumah tinggal tradisional di Indonesia pada umumnya merupakan ungkapan dari hakikat penghayatan dari kehidupan.

Menurut Soekanto (1983) dalam Ronald (1993:32), rumah biasanya diasumsikan sebagai tempat yang digunakan untuk mewadahi kegiatan sebuah atau beberapa rumah tangga. Rumah bagi tiap

(35)

golongan masyarakat mengandung pengertian yang berbeda-beda. Bila dikembalikan pada sosok manusianya maka tiap ekspresi manusia dapat dibedakan antara lain karena tiap orang berada pada situasi sistem nilai yang berbeda.

Altman dalam Sugini (1997:12), rumah tinggal tidak hanya ditentukan olah faktor alam atau ketrampilan masyarakat, tetapi yang lebih penting adalah faktor budaya. Menurut Kartolo dalam Sondakh (2003:21), perubahan budaya berdampak pada beberapa kecenderungan perubahan wujud dan makna arsitektur yang berlaku dimasyarakat. Oleh karena itu rumah tinggal menjadi tipe bangunan yang paling dekat kehidupan sehari-hari baik secara individu, keluarga dan masyarakatnya. Dapat disimpulkan bahwa rumah tinggal sebagai karya nyata manusia dan menjadi wadah paling kompleks kegiatannya serta menjadi obyek perwujudan ide, nilai dan norma kehidupan mereka.

Menurut Kenedy (1963:109), bangunan rumah menggambarkan karakter khusus dari ativitas rumah tersebut. Rumah bagi sebuah keluarga mempuyai empat fungsi, yaitu:

1. Untuk kehidupan, tidur, makan, sistem pengeluaran dan sebagainya.

2. Untuk melindungi dan mendidik anak-anak

3. Bagi individu untuk berlindung dari tekanan kelompok 4. Sebagai simbol, latar belakang, ekspresi dan kegembiraan

(36)

Rumah tinggal adalah ungkapan yang sangat sederhana. Rumah tinggal dalam artian yang sederhana yaitu tempat lindung bagi manusia dan keluarganya, sebagai tempat berkembang paling mendasar dan membentuk karakter bagi para penghuninya. Banyak aktivitas terjadi, sehingga rumah tinggal merupakan tempat paling kompleks sebagai wadah kegiatan. Berikut ini adalah contoh rumah yang menjadi objek penelitian penulis.

Kasus rumah tinggal

1. Nama Pemilik : Responden 1

2. Alamat : Alun-alun RT 37 RW IX, Purbayan 3. Tahun dibangun : 1850

4. Tahun Renovasi : 1938 5. Status Kepemilikan : warisan orang tua 6. Jumlah Anggota Keluarga : 4 orang

Rumah milik responden 1 adalah rumah yang mewakili dari salah satu compound di Kotagede yang dijadikan sebagai cagar budaya yaitu ‘between two gates’ . Rumah ini mempunyai nilai sejarah, dan merupakan rumah warisan secara turun temurun. Hubungan kekeluargaan dalam satu compound ternyata masih dalam satu kinship, artinya ada dalam satu garis keturunan.

Secara fisik, orientasi hadap rumah responden 1 menghadap selatan, merupakan rumah tradisional Jawa lengkap yang masih mempunyai pendapa dan adanya ruang-ruang inti seperti dalem,

(37)

perubahan fungsi. Antara pendapa dan rumah induk terpisah oleh jalan rukunan,

Fungsi pendapa pada rumah responden 1 tidak digunakan sebagai ruang tamu sebagaimana mestinya rumah Jawa, tetapi pendapa digunakan apabila ada acara-acara tertentu. Bagian dalem pada rumah responden 1 digunakan sebagai ruang tamu terdapat aktivitas untuk menerima tamu keluarga, sentong tengen dan sentong kiwa difungsikan sebagai kamar tidur dengan aktivitas utama untuk tidur, berhias dan berganti pakaian dan sentong tengah digunakan untuk tempat sholat. Gandok lebih difungsikan sebagai ruang serbaguna, kerena terdapat beberapa area, antara lain area untuk menonton tv berkumpul bersama keluarga, area makan, area setrika dan ganti pakaian. Untuk dapur terdapat di sebelah gandok timur, sedangakan kamar mandi dan tempat cuci terdapat di gandok belakang yang berupa ruang terbuka sehingga difungsikan juga untuk tempat jemuran.

Foto 1: Depan Rumah Tinggal, tampak area duduk biasanya untuk santai

(38)

Foto 2: Tampak Pendapa yang terpisah oleh jalan rukunan dengan rumah induk digunakan sebagai ruang tamu pada acara-acara tertentu.

Foto 3: Teras rumah sebagai area duduk

(39)

Foto 5: Tampak senthong tengah difungsikan sebagai tempat solat

(40)

Denah dan Pembangunan Area

Gambar 2: Denah dan Pembagian Area Kasus 1 Keterangan :

A : Emper/Teras/Serambi 4h : Area simpan Perkakas B : Dalem 10 : Area Setrika

(41)

C : Gandok Timur 4g : Area simpan Sepatu/Sandal E : Gandok Belakang 5 : Area Ibadah

F : Jalan Rukunan 7 : Area Makan G1, G2 : Ruang Tidur 9c : Area Memasak H : Halaman 6 : Area Menonton TV 1 : Area Duduk 11a : Area Mandi 2 : Area Tidur 11b : Area mencuci 3 : Area Berhias 12 : Area Jemur 4a : Area simpan Pakaian 13 : Area Kebun

4b : Area simpan Pajang 14 : Area Ganti Pakaian 4c : Area simpan Pecah Belah 15 : Area Parkir

4e : Area simpan File 9b : Area Meracik/Meramu

B. Makna Rumah Bagi Orang Jawa

Menurut Dakung (1981:52), rumah dalam bahasa Jawa berarti

“Omah” yang berarti tempat tinggal, mempunyai arti yang sangat

penting, yang berhubungan erat dengan kehidupan orang Jawa. Dalam kehidupan orang Jawa, ada tiga ungkapan kata, yaitu : sandang, pangan dan papan, yang artinya pakaian, makanan dan tempat tinggal.

Menurut Ronald (1998:71), rumah bagi keluarga Jawa mempunyai nilai tersendiri, yaitu sebagai suatu bentuk pengakuan umum bahwa keluarga tersebut telah mantap kehidupannya. Sikap hidup orang Jawa yang tidak individualistik, kebiasaan hidup yang mengutamakan kebersamaan dalam segala situasi, mengutamakan kekerabatan mempengaruhi perilaku orang Jawa dalam mempersiapkan

(42)

Jawa selalu dipersiapkan tidak hanya terbatas pada kepentingan keluarga inti saja, tetapi bilamana mungkin dapat menampung keluarga majemuk, meskipun kenyataannya tidak setiap hari diperlukan.

Di sisi lain, Amiseno (1986:36) menyatakan bahwa rumah (tradisional) bagi masyarakat Jawa mengandung pengertian yang lebih jauh, mencakup cerminan perilaku, gaya hidup dan sikap masyarakatnya.

Sebuah keluarga dapat dikatakan mapan atau tentram apabila sudah mempunyai rumah sendiri, tanpa harus ngindung/menyewa dari orang lain. Makna terpenting dalam sebuah rumah tinggal adalah tempat mendidik, berkembang, dan tumbuhnya sikap/perilaku. Hidup dengan bertoleransi, bergaul dengan yang lain merupakan ciri hidup masyarakat Jawa.

C. Tinjauan tentang Rumah Jawa

Istilah “omah” menurut baoesastra Jawa menunjukan suatu

bangunan yang diberi atap dan dipakai untuk tempat tinggal atau keperluan lainnya. Unit-unit ruang pada rumah Jawa, memiliki fungsi yang berbeda yang menentukan cara berkelakuan dan berinteraksi manusia di dalamnya. Unit-unit ruang tersebut apabila disejajarkan dapat digambarkan sebagai suatu kontinum dari ruang yang paling publik (pendapa - omah ngarep) sampai ke yang paling privat (pawon dan kulah pada bagian omah mburi). Dari ruang yang paling sakral ke ruang yang paling profan. Dari ruang yang paling bersih, sampai ruang yang paling kotor. Kontinum ruang yang digambarkan ini juga

(43)

menunjukkan kesinambungan dan ruang yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan sosial budaya sampai ke ruang yang berfungsi memenuhi kebutuhan emosional serta biologis.

Menurut Dakung (1987) dalam Iswati (2001:31), rumah Jawa yang ideal terdiri dari paling tidak dua atau tiga unit bangunan yakni pendapa (ruang pertemuan), pringgitan (ruang untuk pertunjukan) dan dalem (ruang inti keluarga). Dalem dibedakan menjadi bagian luar yang disebut emperan serta bagian dalam yang tertutup dinding, bagian dalam terdiri atas dua bagian (depan dan belakang) ataupun tiga bagian (depan, tengah dan belakang). Rumah dengan atap kampung atau limasan, mempunyai dua bagian ruang, sementara rumah dengan bentuk atap joglo mempunyai tiga bagian ruang. Bagian belakang terdiri atas sentong kiwo, sentong tengen dan sentong tengah.

(44)

Gambar 3: Unit dasar rumah tradisional Jawa. (Sumber: Tjahjono, 1989

Subroto (1995:42) menyebutkan bahwa di dalam pandangan orang Jawa terdapat hubungan antara hirarki rasa personal dan konsep perencanaan rumah tradisionalnya. Rumah Jawa dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, adalah omah ngarep (rumah depan), yaitu tempat untuk menerima tamu, dan ditandai dengan adanya pendopo. Bagian ini

merupakan bentuk dari sikap “ngarep-arep” (menanti dengan harap),

oleh karenanya pendopo diekspos dan diletakkan di bagian depan rumah. Hal ini juga menunjukkan sikap”ngajeni”(menghormati) oleh pemilik rumah pada tamunya.

(45)

Bagian kedua adalah omah njero (rumah dalam) yang terletak di bagian tengah rumah, terdiri dari dalem / omah dan gandok. Omah dibagi menjadi dua, yakni bagian dalam dan luar. Bagian dalam ini bersuasana mistis, tertutup, dan gelap. Di sinilah aktivitas ritual pribadi dilaksanakan. Suasana misterius ini menimbulkan rasa ajrih (takut). Sementara emperan sebagai bagian luar omah berposisi sebagai ruang transisi, antara pendopo sebagai ruang luar dan omah sebagai ruang dalam, dan bisa dikatakan sebagai ruang semi privat, yang juga mencerminkan rasa sungkan. Mengapit omah atau dalem, terdapat

gandok yang biasanya digunakan sebagai ruang makan, tidur, dan

berkumpul keluarga. Gandok ini menunjukkan sikap lingsem (malu).

Pringgitan berfungsi untuk istirahat dan pada saat-saat tertentu untuk

tempat mengadakan pertunjukkan wayang. Ruang dalem untuk istirahat / tidur anak-anak, sentong kanan dan sentong kiri berfungsi untuk ruang tidur orang tua / menyimpan barang berharga, sentong tengah adalah tempat sakral, sebagai tempat menyimpan benda pusaka.

Bagian ketiga adalah omah mburi (rumah belakang), yang terdiri dari dapur, sumur dan kamar mandi. Bagian ini mewakili rasa

isin (sangat malu sekaligus rendah diri). Karenanya bagian ini harus

(46)

Gambar 4: Bagan Antar Hirarki Rasa Personal dengan Konsep Rumah Jawa (Sumber: Subroto, 1995)

Di dalam perwujudannya dalam rumah tinggal, omah mburi

(datem, senthong, gandhok, pawon dan kulah) merupakan domain

wanita, sedang pendapa adalah domain laki-laki. Sementara pringgitan merupakan batas/ruang transisi antara kedua domain di atas. Jadi meskipun sering disebutkan bahwa semakin ke belakang, bagian rumah Jawa akan semakin privat, tetapi peran gender dalam konteks budaya Jawa dalam hal ini masih sangat berperan.

Pada kehidupan sehari-hari, tamu perempuan akan lebih leluasa masuk ke dalem bahkan sampai ke dapur orang lain, sedangkan tamu laki-laki tidak boleh begitu saja memasuki ruang-ruang belakang. Kalau sedang ada hajat tetangga perempuan akan berkumpul untuk memasak bersama di dapur, sedang para lelaki akan membantu bekerja di bagian luar atau depan rumah. Bahkan di dalam keseharian pun, ada anggapan bahwa laki-laki tidak pantas berada atau beraktivitas di dapur

(47)

meskipun itu dapur rumahnya sendiri, karena dapur adalah wilayah perempuan.

Menurut Iswati, dkk (1999:28), rumah Jawa umumnya membagi rumahnya dalam tiga bagian yaitu profan, semi-profan dan sakral. Biasanya profan ditunjukkan oleh adanya pendapa, dimana setiap orang bisa memasukinya dan sifatnya publik, sedangkan rumah/dalem merupakan bagian dari intinya terdiri dari senthong tengah, senthong kiwa dan senthong tengen dan sifatnya privat/sakral. Sedangkan gandhok kiwa dan gandhok tengen, gadri/pawon merupakan ruang semi profan.

Tjahyono dalam Setyaningsih (2000:42), rumah bagi orang Jawa merupakan manifestasi alam semesta dari jagad cilik/mikrokosmos dalam keseluruhan jagad gede/makrokosmos. Salah

satu konsep rumah Jawa adalah konsep Mancapat (pat jupat lima

pancer) yaitu empat arah mata angin dan satu pada titik sentral sebagai

lambang dari pengejawantahan budaya Jawa yang berkaitan dengan tata ruang makrokosmos dan mikrokosmos. Hal ini sesuai dengan penataan bangunan keraton dengan sumbu orientasi utara-selatan dan timur-barat.

Tjahjono (1989:71) mengemukakan konsep tentang rumah tinggal Jawa adalah center and duality. Aktivitas yang berlangsung di dalam rumah terbagi menjadi aktivitas rutin (kegiatan sehari-hari) dan non-rutin (kegiatan ritual). Pembedaan gender di dalam ruang-ruang tidak berlaku tegas dalam aktivitas rutin yang melibatkan seluruh penghuni kecuali dapur (area wanita), sentong dan ruang tengah (area

(48)

pria dan wanita), pojok selatan-barat (area wanita), pojok selatan-timur (area pria). Biasanya dalam beraktivitas rutin penghuni menghindari sentong tengah karena dipercaya pusat spiritual dari rumah dan kegiatan ritual, ruang yang menghubungkan tanah dengan udara melalui api.

Tjahjono dalam Setyaningsih (2000:43), rumah bagi orang Jawa merupakan manifestasi alam semesta dari jagad cilik /

mikrokosmos dalam keseluruhan jagad gede / makrokosmos. Salah satu

konsep rumah Jawa adalah konsep Mancapat (pat jupat lima pancer) yaitu empat arah mata angin dan satu pada titik sentral sebagai lambang dari pengejawantahan budaya Jawa yang berkaitan dengan tata ruang makrokosmos dan mikrokosmos. Hal ini sesuai dengan penataan bangunan keraton dengan sumbu orientasi utara-selatan dan timur-barat.

D. Ciri Rumah Tinggal Kotagede

Membahas ‘Kotagede’ tidak akan lepas dari aspek ‘tradisional Jawa’ yang melingkupi kawasan tersebut. Rumah tinggal di Kotagede

sebagian besar masih mempunyai akar rumah tinggal Jawa, terdiri dari tiga bangunan/ruang utama yaitu pendapa, dalem terdiri dari ruang-ruang pringgitan, dalem, sentong kanan, tengah dan kiri. Gandok terdiri dari gandok timur dan barat. Mengenai bentuk, bahan, skala dan hiasan (ornamen) tergantung status sosial/ekonomi penghuni rumah.

Rumah tinggal di Kotagede terutama di dalam kampung, karena terbatasnya tanah kepadatan menjadi tinggi, jarak antar rumah menjadi sempit sehingga ujud rumah tidak sepenuhnya sama dengan rumah tradisional Jawa, terdiri dari bangunan dalem, pendapa, gandok

(49)

belakang. Bagi yang mempunyai tanah agak luas ditambah dengan gandok timur/barat.

Menurut Zubair (1979) dalam Iswati (1999:12) bahwa pada masa sebelum tahun 1910, masyarakat Kotagede merupakan masyarakat Kejawen, yaitu masyarakat yang berorientasi pada kekuasaan Raja Mataram (Yogyakarta dan Surakarta) sebagai titik pusatnya. Nilai-nilai budaya yang berpengaruh adalah Kejawen. Pada periode inilah rumah-rumah atau bangunan-bangunan yang khas Kotagede dibangun, rumah-rumah inilah yang lazim disebut rumah tradisional Jawa.

Amiseno (1986) dalam Iswati (1999:12), mengatakan bahwa pada rumah tinggal di Kotagede, disamping posisi pendopo yang terpisah dengan bangunan induknya, terdapat fenomena lain, yaitu seringnya dijumpai jalan rukunan diantara pendopo dan bangunan induknya, atau jalan rukunan yang terletak di depan pendopo.

Menurut hasil penelitian Ikaputra (1993) dalam Iswati (2001:37) diperoleh temuan bahwa rumah tinggal yang terdapat di Kotagede selalu memiliki bagian inti (yaitu bagian yang selalu ada, ditemukan pada 80% lebih dari sampel) yang terdiri dari ruang tamu, ruang tidur dan dapur. Menurut hasil penelitian Islam (2000) dalam Iswati (2001:37) diperoleh temuan bahwa pada rumah tinggal di lahan terbatas selalu diprioritaskan adanya KM/WC dan ruang tidur, kemudian prioritas kedua adalah ruang tamu.

Menurut Wikantyoso (1992) dalam Iswati (2001:37) struktur ruang rumah Jawa di Kotagede terdiri dari ruang inti (core): dalem,

(50)

sentong (kiwa, tengah dan tengen), pringgitan dan pendopo, ruang pelengkap (peripheral): gandok (kiwa, tengen), omah mburi, pekiwan, rukunan.

Menurut Iswati (2001:29-31), rumah tinggal Kotagede adalah rumah yang memiliki elemen-elemen denah seperti pada rumah tradisional Jawa dengan fungsi untuk rumah tinggal yang spesifik.

(51)

Pada umumnya terdapat pemisahan yang tegas antara bagian luar dan bagian dalam rumah. Adanya tiga bagian utama dari rumah, yaitu bagian luar : pendapa, bagian antara: pringgitan / emper, dan bagian dalam: dalem (yang terdiri dari dalem ageng dan sentong). Dalam rumah Jawa tipe lengkap terdapat adanya sumbu simetri (imaginer) yang membagi dua, rumah secara memanjang dari utara ke selatan yaitu bagian timur dan barat. Selain itu pagar halaman dengan dinding yang tinggi, menggunakan regol yang letaknya tidak dalam satu garis dengan pintu dalem.

III. Kesimpulan.

Setelah melakukan olah data dan menganalisis, maka didapatkan hasil penelitian tentang karakteristik pola spasial pada rumah tinggal compound di kawasan Kotagede melalui metode spatial

syntax, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Aktivitas

Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa aktivitas pada rumah tinggal compound di kawasan Kotagede Yogyakarta pada umumnya memiliki kecenderungan:

a. Level teratas dan level non distribusi terakhir terdapat aktivitas tidur, berhias, berganti/menyimpan pakaian, beribadah (sholat). b. Level 3 terdapat dalem, dengan aktivitas di dalamnya cenderung

tidur, menyimpan, kerja.

c. Level 2 terdapat emper, dengan aktivitas di dalamnya cenderung menerima tamu, duduk santai dan kerja. Selain itu

(52)

cenderung terdapat gandok, dengan aktivitas di dalamnya menonton tv, makan, menyimpan, menyetrika.

d. Level non distribusi terakhir terdapat juga pada kamar mandi, biasanya terletak pada level 2.

e. Level terendah/ level 1 terdapat jalan rukunan, dimana aktivitas di dalamnya adalah mengobrol, bermain anak, menjemur. Selain itu terdapat gandok belakang, aktivitas di dalamnya cenderung pada memasak, mencuci, makan, menyimpan makanan, barang pecah belah dan perkakas rumah tangga. f. Aktifitas harian (basic need) antara lain : makan, memasak,

mencuci, membersihkan, menyimpan dan menonton tv, rata-rata terjadi pada waktu, situasi dan kondisi yang hampir bersamaan dalam kesehariannya.

g. Aktivitas/ ritual harian yaitu sholat.

h. Aktivitas yang memerlukan privasi yang tinggi yaitu tidur dan mandi.

i. Aktivitas yang berhubungan social intercourse yaitu pada saat menerima tamu atau hubungan dengan tetangga, terjadi pada area menerima tamu, jalan rukunan, dan emper.

j. Aktivitas yang membedakan gender/ position of women dalam kesehariannya sudah tidak berlaku. Kecuali pada saat Ritual

Ceremonial (pernikahan, melahirkan, kematian), aktivitas

laki-laki berada di area depan (pendapa, pringgitan/emper) dan perempuan cenderung di belakang (dapur).

(53)

k. Ritual Ceremonial (pernikahan dan kematian), dalam rumah tinggal compound, aktivitas memasak dan menerima tamu masih melibatkan rumah tinggal disekitarnya.

2. Hirarki

Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa hirarki/kedalaman ruang pada rumah tinggal compound di kawasan Kotagede Yogyakarta yang dianalisis menurut pola hubungan non distribusi dan simetris/asimetris pada umumnya memiliki kecenderungan:

Area tidur, berhias dan menyimpan pakaian terletak pada level teratas dan salalu terletak pada garis non distribusi terakhir. Area ibadah/tempat sholat terletak pada level 4, kamar mandi dan area cuci terletak pada level 4 merupakan non distribusi terakhir. Emper yang pada umumnya digunakan untuk menerima tamu terletak pada level 2. Dalem yang pada umumya digunakan untuk bekerja, menyimpan dan terkadang juga sebagai ruang tidur terletak pada level 3. Area random pada level 2,3,4 non distribusikan area tidur, area berhias, area menyimpan pakaian, area ibadah/tempat sholat, kamar mandi dan area cuci dengan jalan rukunan dan luar compound.

Ditinjau dari garis hirarki dan pola hubungan non distribusi, area tidur, berhias, berganti/menyimpan pakaian , area ibadah/Sholat, kamar mandi, area cuci merupakan non distribusi terakhir menempati hirarki/kedalaman ruang terdalam, sehingga aktivitas di dalamnya sangat membutuhkan tingkat privasi yang tinggi. Rata-rata rumah

(54)

tinggal compound di kawasan Kotagede memiliki pola hubungan non distribusi dengan 4 garis hirarki, kecuali apabila memiliki ruang tambahan dengan adanya lantai 2.

3. Pola Hubungan Ruang

Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa pola hubungan ruang pada rumah tinggal compound di kawasan Kotagede Yogyakarta melalui analisis pola hubungan distribusi/ring/cincin memiliki kecenderungan:

Jalan rukunan, digunakan untuk kepentingan bersama pada

compound yang bersangkutan, selain itu untuk kepentingan pribadi

antar lain untuk menjemur pakaian, mengobrol dan bermain anak. Emper dengan aktivitas didalamnya secara umum adalah bersantai, menerima tamu dan untuk beberapa kasus untuk kerja menjahit. Ditinjau dari pola hubungan ruang/distribusi secara umum maka Emper menduduki pola hubungan ruang yang paling tinggi karena untuk mencapai Emper baik dari depan maupun belakang harus melalui dua tahap (dua area sirkulasi). Sedangkan Dalem dengan aktivitas didalamnya secara umum adalah tidur, menyimpan, kerja dan untuk beberapa kasus untuk area sholat/ibadah memiliki hubungan ruang dengan Emper dengan hirarki lebih tinggi.

Emper dan Dalem merupakan interaksi internal penghuni rumah, sedangkan jalan rukunan dan luar compound merupakan interaksi eksternal (keterbukaan/kebutuhan sosial) antara panghuni dengan tetangga/publik, sedangkan Longkangan merupakan area

Gambar

Gambar 1: Lima tipe pemukiman di Kotagede (Sumber: Indanoe dan Soeryanto, 1987) Keterangan:
Foto 1: Depan Rumah Tinggal, tampak area duduk biasanya untuk santai
Foto 2: Tampak Pendapa yang terpisah oleh jalan rukunan dengan rumah induk digunakan sebagai ruang tamu pada acara-acara tertentu.
Foto 5: Tampak senthong tengah difungsikan sebagai tempat solat
+7

Referensi

Dokumen terkait

■ Bagi mahasiswa FKIP UNIDA Bogor, KKN ini merupakan kegiatan belajar dan mengabdi kepada masyarakat yang sedang membangun melalui pendekatan interdisipliner dari berbagai ilmu

Kuat tekan bata ringan dengan penambahan Master Rheobuild 6 194,52% dari berat semen sangat rendah yaitu sebesar 0,815 MPa disebabkan karena penambahan Master Rheobuild 6

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan 1) implementasi model aktualisasi kegiatan kepramukaan kurikulum 2013 pada penanaman karakter disiplin dan kerjasama

Gambaran umum tentang sistem yang diusulkan pada proses perancangan ini adalah suatu sistem yang digunakan untuk melakukan manajemen produksi pada PT Aneka

Gambar 2 menunjukkan bahwa jika terdapat komputer client yang tidak merespon, maka sistem akan langsung mengirimkan sms kepada administrator untuk menginformasikan bahwa

Penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan kajian sosiolinguistik yang berdasarkan etnik, sekurang-kurangnya ada tiga buah penelitian, yaitu (1) Pemakaian Bahasa

Berdasarkan hasil analisis, peneliti memberikan saran yaitu 1) bagi guru, pada pengajaran bahasa dan sastra Indonesia hasil penelitian ini dapat dijadikan