• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORITIS

E. Tinjauan Umum Tentang Nilai dan Norma

Nilai yakni kepercayaan bersama mengenai suatu hal yang abstrak. Keluarga memiliki nilai yang mungkin berwujud hak anggota terkait rahasia perkawinan, privacy, kasih sayang anak atau kerja keras. Dalam kelompok sosial seperti partai politik, ada kepercayaan mengenai perlunya kebebasan berusaha, dihargainya hak untuk tidak ikut dalam perkumpulan dagang atau dijunjung tingginya keadilan dalam mendapatkan Pelayanan medis, Muhazzam dalam (Hutabarat 2019)

Nilai dijadikan sebagai dasar atau landasan, motivasi atau alasan dalam bertingkah laku dan bersikap, baik disadari ataupun tidak. Nilai juga bisa didefinisikan

47

kualitas atau sifat dari sesuatu yang berguna bagi kehidupan manusia, baik batin maupun lahir.

Fenomena nilai banyak dikaji oleh para filsuf misalnya A. Lalande, dkk, mereka membedakan arti nilai menjadi dua garis besar yakni :

a. Arti objektif, nilai artinya khas, watak khusus terkait benda, hal ataupun semuanya yang menjadikannya lebih ataupun kurang layak dihargai, dimuliakan serta dinilai.

b. Arti subyektif, nilai yaitu ciri khas hal itu yang menjadikannya lebih ataupun kurang dihargai kelompok maupun individu (Lagiono 2017) Pembagian atau kualifikasi nilai (the division of values) meliputi :

a. Nilai intrinsik, yakni harga yang dianggap penting untuk terdapatnya benda / hal itu di dalamnya terdapat unsur utilitas kegunaan, hal yang mewakili serta kepentingan.

b. Nilai ekstrinsik yaitu mutu untuk suatu hal yang dinilai perlu, berguna, menarik untuk keberlangsungan terdapatnya yang lain. Batasan nilai bisa berfokus pada berbagai hal, misalnya kesukaan, minat, tugas, pilihan, agama, kewajiban, keamanan, kebutuhan, hasrat, keengganan daya tarik yang berkaitan dengan orientasi seleksi.

Kholid dalam (Hutabarat 2019), nilai merupakan proporsi etika dan moral yang fungsinya dapat membenarkan suatu tindakan mereka. Perilaku kesehatan terkait benar atau salahnya ditentukan oleh mereka sendiri. Nilai yang sama secara umum dipegang oleh seorang yang mempunyai geografi, generasi, etnis, sejarah. Nilai yang dinilai lebih mengakar kemudian kurang terbuka pada perubahan daripada sikap dan keyakinan.

2. Norma Sosial

Pada beberapa hal norma sulit dibedakan dengan nilai, namun norma lebih terlihat nyata pada cara berpikir serta tindakan yang mencerminkan adanya suatu kepercayaan yang telah diakui bersama, norma yaitu kumpulan pandangan terkait bagaimana seseorang tersebut harus berperilaku dan juga harus bertindak yang pantas kemudian kepantasan serta keharusan tersebut menjadi kebiasaan kemudian diturunkan dengan turun temurun sampai mencapai peraturan hidup dalam pergaulan hidup bermasyarakat, (Mulyana 2017)

Beberapa norma dalam masyarakat memiliki kekuatan mengikat yang tidak sama. Terdapat norma yang mengikat kuat, sedang, dan lemah, yang secara sosiologis dikenal ada empat pengertian norma-norma masyarakat :

1. Cara (usage)

Cara mengarah kepada sebuah tindakan. Daripada dengan kebiasaan, norma memiliki daya ikat yang lebih lemah. Dalam hubungan antar manusia, yang paling menonjol adalah cara (usage). Sebuah penyimpangan mengenai cara (usage) menimbulkan hukum seperti celaan.

2. Kebiasaan (folkways)

Kebiasaan lebih tinggi memiliki kekuatan mengikat dibandingkan cara (usage). Kebiasaan dapat diartikan suatu tindakan yang dilakukan dengan terus-menerus pada kurun waktu yang lama hingga mengakar dalam keseharian. Sebagai contohnya kebiasaan dalam masyarakat berupa rasa hormat dengan memberi salam kepada orang-orang yang lebih tua.

49

3. Tata kelakuan (mores)

Yaitu sifat yang tercermin dalam kelompok orang serta dilakukan menjadi alat pengawasan oleh publik pada anggotanya. Pada satu pihak tata kelakukan ini dapat memaksakan sebuah tindakan, pada pihak lainnya tata kelakuan adalah suatu larangan kemudian dengan langsung dijadikan pedoman sekaligus pengontrol manusia berdasar hal bertindak menggunakan cara ini.

4. Adat istiadat (custom)

Berintegrasi secara kuat antara tata kelakuan dengan pola perilaku masyarakat bisa mengikat menjadi adat istiadat. Sanksi yang keras akan diberikan bagi anggota masyarakat yang melanggar adat istiadat, sebagai contoh di beberapa daerah. (Mulyana 2017)

F. Tinjauan Umum Tentang Aksesibilitas 1. Aksesibilitas

Secara umum akses pelayanan kesehatan dapat diartikan sebagai bentuk pelayanan kesehatan dengan berbagai macam jenis pelayanannya yang dapat dijangkau oleh masyarakat (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa 2018)Secara umum akses dapat dibagi menjadi beberapa aspek yaitu : akses geografis, akses ekonomi dan akses sosial. Akses geografis dapat didefinisikan sebagai kemudahan menjangkau pelayanan kesehatan yang bisa diukur dengan jenis transportasi, lama perjalanan, jarak, serta infrastruktur jalan. Akses ekonomi cenderung lebih berfokus pada kemampuan masyarakat dalam mengalokasikan keuangannya dalam menjangkau pelayanan kesehatan, sedangkan akses sosial lebih terhadap permasalahan keramahan, kebudayaan, komunikasi, serta juga kepuasan terhadap pelayanan (Laksono et al. 2016)

Tingkat pemerataan pelayanan kesehatan belum tercapai secara optimal, masih sekitar 36,8% masyarakat Indonesia tinggal di pedesaan dan masih sulit mengakses pelayanan kesehatan tingkat pertama, di Sulawesi Selatan sendiri masih terdapat sekitar 32% penduduk yang kesulitan dalam mengakses pelayanan kesehatan. (Surahmawati 2021).

Keadaan geografis Indonesia mempunyai banyak wilayah dengan karakteristik yang beragam, menghadapi berbagai tantangan tersendiri dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Juga tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa permasalahan pelayanan kesehatan yang tidak kunjung selesai salah satunya merupakan aksesibilitas (Mubasyiroh 2016)

2. Indikator Aksesibilitas

Tingkat accessibility pelayanan kesehatan diukur dengan variabel-variabel berdasarkan supply factors (faktor suplai) dan Demand factors (faktor kebutuhan).

Demand factors mencakup jumlah kunjungan fasilitas pelayanan kesehatan, utilitas rawat inap, utilitas rawat darurat, serta jumlah penduduk. Supply factors mencakup dokter spesialis, umum, serta jumlah fasilitas pelayanan kesehatan. Penambahan akses juga menjadi pemerataan bisa menjadi tahap akselerasi guna terwujudnya keadilan pada capaian sistem kesehatan. Akses pelayanan kesehatan harus ditetapkan dengan kebutuhan sesungguhnya pada pelayanan kesehatan dibandingkan sekedar kompetensi guna membayar ataupun lokasi geografis.

Hak formal bagi pelayanan kesehatan saja tidak cukup. Masyarakat yang memerlukan harus mempunyai akses pada pelayanan kesehatan yang ada di jangka waktu yang wajar. Kecuali itu mengejar keadilan haruslah melebihi akses pada perawatan serta pengobatan. Namun harus pula mengecek variasi derajat kesehatan di kelompok yang tidak sama di masyarakat (Laksono et al. 2016).

51

3. Hambatan Aksesibilitas

Tiga hambatan yang mempengaruhi akses ke pelayanan kesehatan, yaitu:

a. Hambatan geografis seperti kedekatan atau lokasi terhadap fasilitas kesehatan.

b. Hambatan ekonomi seperti kepemilikan asuransi kesehatan dan kemampuan membayar.

c. Hambatan fisik seperti kemampuan bergerak dan transportasi.

Jenis hambatan diatas berlaku timbal balik mempengaruhi dan memperkuat akses Pelayanan kesehatan secara masyarakat maupun individu. Hambatan tersebut berkaitan dengan ketersediaan pelayanan kesehatan, proses skrining, serta fasilitas yang kurang, dimana pada akhirnya menimbulkan buruknya status kesehatan atau disparitas (Laksono et al. 2016)

4. Strategi Peningkatan Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan

Strategi peningkatan aksesibilitas pelayanan kesehatan diselenggarakan dengan menurunkan atau menaikkan variabel pembangunannya yakni meningkatkan Demand (pemanfaatan), mengurangi barrier (hambatan), serta meningkatkan supply (ketersediaan). Sebuah strategi peningkatan akses dengan cara cross-border (lintas batas) merupakan sebuah mekanisme yang bisa digunakan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang menyangkut akses ke Pelayanan kesehatan. Solusi tersebut pada beberapa kasus menjadi yang sangat relevan ditambah lagi lebih cost effective untuk menurunkan rintangan aksesnya. (Laksono et al. 2016).