• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

3) Tokoh Ian

(a) Konflik batin yang terjadi pada tokoh Ian yaitu pertentangan untuk tetap berada dalam dunia yang telah dijalaninya selama ini atau memilih untuk melihat dunia luar/ dunia di luar komunitas (dengan empat sahabatnya). Tokoh Ian memiliki empat sahabat (Arial, Genta, Riani, dan Zafran). Selama tujuh tahun mereka melakukan banyak hal bersama.

Namun sebuah dialog dengan empat sahabatnya mengenai kata-kata Plato membuat batin Ian berada dalam sebuah pilihan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

Zafran tiba-tiba berkata lembut sambil memainkan daun-daun

cemara kecil basah di dekatnya, “Plato, seorang filsuf besar dunia pernah bilang bahwa nantinya dalam kehidupannya setiap manusia akan terjebak dalam sebuah gua gelap yang berisi keteraturan kemapanan, dan mereka senang berada di dalamnya. Karena mereka terbuai dengan segala kesenangan di sana dengan apa yang telah mereka capai, hingga akhirnya mereka takut keluar dari gua tersebut. Mereka memang bahagia, tetapi diri mereka kosong dan mereka nggak pernah menemukan siapa diri mereka sebenarnya...mereka nggak punya mimpi.”

Balade Pour Adeline-nya Richard Clayderman mengalir sekenanya dari jari-jari Ian yang mencoba berbicara mengisi bola kosong yang berputar-putar tembus pandang di tengah-tengah mereka.

Semuanya diam lagi mendengar omongan Zafran yang dengan sensitifnya bercampur melodinya Balade Paur Adeline tadi. Cipratan-cipratan filsufis musikal sentimental yang baru saja mengalir menghasilkan beberapa helaan nafas berisi berjuta cerita. Semuanya mencoba berdialog dengan diri mereka sendiri. Mencoba berdialog dengan bola kosong yang berputar-putar tembus pandang di tengah-tengah mereka.

“Mungkin sebaiknya kita nggak usah ketemuan dulu,” Genta mengalirkan kalimat pendek.

Semuanya jadi sensitif.

...

“Keluar dari gua kita untuk sementara...,” Zafran melanjutkan.

Gue setuju! Gue mau PDKT lagi sama skripsi yang udah gue putusin. Siapa tau dia mau balik lagi sama gue. Dulu skripsi gue suka cemburu kalo gue lagi gila bola, sekarang gue mau minta

maaf sama dia,...” semangat Ian. (5 cm, 2008:62-63)

Pada kutipan di atas, terdapat kata-kata dari Plato yang disampaikan oleh tokoh Zafran, bahwa nanti dalam kehidupannya setiap manusia akan terjebak dalam sebuah gua gelap yang berisi keteraturan kemapanan, dan mereka senang berada di dalamnya. Mereka terbuai dengan segala kesenangan di sana,

dengan apa yang telah mereka capai, hingga akhirnya mereka takut keluar dari gua tersebut. Mereka memang bahagia, tetapi diri mereka kosong dan mereka tidak pernah menemukan siapa diri mereka sebenarnya dan mereka tidak memiliki mimpi. Tokoh Ian menyadari bahwa dirinya dan empat temannya adalah manusia-manusia yang sedang berada dalam gua tersebut.

Ian bersama keempat temannya memiliki sebuah dunia sendiri, mereka terlalu asyik dengan dunia mereka sendiri, terlalu nyaman dengan segala yang telah diperoleh sehingga melupakan bahwa di luar komunitas mereka ada sebuah dunia yang lebih luas. Mereka melupakan hakikat kebahagiaan yaitu ketika mereka mampu mengenal siapa diri mereka, ketika mengetahui apa tujuan mereka sesungguhnya dalam hidup ini.

Pada akhirnya tokoh Ian mengalami pertentangan dalam dirinya, apakah akan tetap berada di dalam dunia dengan empat sahabatnya, yang diibaratkan sebagai sebuah gua gelap atau mencoba melewati sebuah dunia baru yang lebih luas, yang akan membawanya menjadi manusia yang mau berjuang, memiliki mimpi hingga menjadi manusia yang lebih baik, berjuang menemukan siapa dirinya. Masing-masing mencari jati diri dan berusaha mengejar mimpi mereka.

Adapun Reaksi tokoh Ian ketika berada dalam situasi konflik tersebut, Ian akhirnya menerima usul Genta untuk tidak bertemu selama tiga bulan. Mereka berpisah sementara dan berjuang menemukan siapa diri mereka, masing- masing mencari jati diri, berusaha mengejar mimpi masing-masing. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

Gue setuju! Gue mau PDKT lagi sama skripsi yang udah gue putusin. Siapa tau dia mau balik lagi sama gue. Dulu skripsi gue suka cemburu kalo gue lagi gila bola, sekarang gue mau minta maaf sama dia, mau bilang kalo dulu gue sering selingkuh sama

bola, PS2...” semangat Ian.

(5 cm, 2008:62-63)

Pada kutipan di atas dikemukakan sikap Ian yang setuju untuk berpisah selama tiga bulan. Tokoh Ian akan mulai berusaha mengejar mimpi-mimpinya, karena pada dasarnya manusia memiliki mimpi masing-masing yang memang harus diperjuangkan. Ian menyadari bahwa manusia pada dasarnya harus terus berjuang, harus terus berusaha menjadi manusia yang lebih baik. Ian kemudian bertekad untuk mulai berjuang mengerjakan skripsinya yang sudah sempat terbengkalai.

(b) Konflik batin tokoh Ian yaitu pertentangan antara perasaan rendah diri yang dialaminya dengan keinginan untuk tetap berada dalam komunitas empat sahabatnya. Tokoh Ian mengalami perasaan rendah diri ketika berkumpul dengan empat sahabatnya. Tetapi di sisi lain Ian sangat menyukai keempat sahabatnya dan takut kehilangan mereka. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

Gue sangat takut kehilangan lo semua...,” Ian angkat bicara pelan sambil menyalakan rokoknya. Cahaya dari korek gas menerangi mukanya yang tembem.

Gue nggak pernah punya temen kayak lo semua. Baik semuanya....

...

“Pertamanya gue heran waktu gabung sama kalian karena kalian ternyata ajaib-ajaib, pinter-pinter, dan asik-asik. Gue jadi minder, tapi gue suka banget sama kalian....

Pada kutipan di atas tokoh Ian mengungkapkan semua perasaan yang dialaminya. Ian yang sebelumnya tidak pernah menemukan sahabat yang mampu membuatnya nyaman, akhirnya diliputi perasaan takut kehilangan ketika mulai menjalin persahabatan dengan Arial, Ian, Riani, dan Zafran. Namun disisi lain Ian juga merasa rendah diri dengan semua kelebihan yang dimiliki empat sahabatnya itu. Perasaan-perasaan tersebut saling bertentangan dalam diri tokoh Ian.

Pertentangan yang terjadi dalam diri tokoh Ian mengakibatkan ia kehilangan jati diri, Ian juga melakukan hal-hal yang membuat kesal empat sahabatnya agar dianggap memiliki kelebihan di mata empat sahabatnya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

Zafran akhirnya cerita, “Gini deh intinya. Lo perhatiin nggak sih kalo si Ian gabung sama kita kadang-kadang dia bingung sendiri sama dirinya. Suka berisik sendiri dan kadang omongannya ngelantur. Terus kadang-kadang dia juga ada rasa takut nggak diterima sama kita, nggak mau jadi dirinya sendiri. Gue sih pertamanya biasa aja, tapi lama-lama Ian ngelakuin sesuatu yang kayaknya ngeganggu banget buat gue.”

Riani dan Genta menarik nafas panjang. Mereka juga ngerasain hal yang sama tapi mereka simpan aja. (5 cm, 2008:41)

Pada kutipan di atas, terlihat adanya konflik batin yang dialami tokoh Ian yang disampaikan melalui tokoh Zafran. Zafran merasa terganggu dengan sikap Ian yang menurutnya seringkali bingung dengan diri sendiri, kadang membicarakan hal-hal yang tidak penting, bahkan sampai melakukan hal-hal yang membuat Zafran kesal.

Dialog yang menunjukkan perasaan empat sahabat Ian yang mulai terganggu, bahkan kesal dengan sikap Ian dapat dilihat pula pada kutipan berikut.

“Waktu itu gue jalan sama Ian nyari film baru, trus... sambil lalu gue cuma ngomong ke dia kalo si Arial reseh nih. Udah dua bulan lebih si Arial belum balikin film Relity bites gue. Gue ngomong gitu gara-gara ngeliat ada film Reality Bites.”

...

“Ian langsung dukung gue, muji-muji gue...., trus ngomongin segala macam yang jelek-jelek tentang Arial. Arial ini- lah, Arial itu-lah.“

Sepi

“...mudah-mudahan gue salah,” Zafran mengambil sepenggal nafas

sebelum melanjutkan, “...kayaknya semuanya dicari-cari doang. Dia kayaknya pengen jadi penting doang di mata gue. Gue kan jadi kaget sendiri, nggak penting banget.” (5 cm, 2008:43)

Kutipan di atas merupakan dialog tokoh Zafran dengan tiga sahabatnya (Arial, Genta, dan Riani). Zafran mulai merasakan sikap Ian yang tidak baik yaitu dengan menjelek-jelekkan sahabatnya di depan sahabat lain (mengadu domba), hanya supaya dianggap menjadi penting di mata mereka.

Pertentangan antara perasaan takut kehilangan dan perasaan rendah diri tokoh Ian juga menjadikannya seseorang yang selalu berpura-pura menjadi orang lain, selalu berusaha terlihat lebih hebat dari orang lain. Hal ini dilihat pada kutipan berikut.

“Udah pohon plastik, palsu lagi...,” Riani menggumam sendiri. “Yoi...palsunya kuadrat...,” kata Genta.

“Mudah-mudahan gue nggak jadi orang kayak gitu,” Zafran menyambung.

Ian tiba-tiba berujar sendiri. “Lo semua pada tau kan gue pernah kayak gitu, tapi sekarang gue udah nggak mau lagi...capek jadi

orang lain,” Ian memandang kosong ke depan.

...

Ian yang dulu kadang-kadang cuma ikutan nimbrung nongkrong, bukanlah Ian yang sekarang. Ian yang dulu adalah Ian yang nggak pede sama dirinya sendiri, yang selalu mencoba jadi orang lain, yang memandang orang lain selalu lebih hebat dibanding dirinya. Ian yang dulu, dalam tongkrongan cuma jadi penambah yang banyak omong, bisanya cuma nambahin omongan teman- temannya. Ia yang kayaknya tahu apa aja, tapi sebenarnya cuma bisa ikut-ikuan Genta, ikut-ikutan Arial, ikut-ikutan Zafran, dan ikut-ikutan Riani.

Pokoknya apa yang tongkrongan suka, Ian juga langsung mengklaim dirinya juga suka. Malah kadang-kadang ia yang paling tahu dan yang paling hebat dalam omongan itu. Ian yang takut nggak aktual. Ian yang terlalu sibuk menjadi orang lain.

(5 cm, 2008:37-38)

“Iya gue sibuk sendiri, sibuk jadi Genta, sibuk jadi Zafran, sibuk jadi Arial, sibuk suka semua yang kalian suka padahal kan sebenarnya ada yang gue nggak suka dan ada yang gue suka sendiri, yang elo pada nggak suka.”

(5 cm, 2008:50)

Pada kutipan di atas, juga terlihat tokoh Ian sedang mengalami konflik dalam dirinya. Ian diibaratkan sebagai pohon plastik, selalu berpura-pura, sikapnya selalu berusaha menjadi orang lain, tidak percaya diri, yang memandang orang lain selalu lebih hebat dibanding dirinya. Apa yang disukai sahabat- sahabatnya, Ian juga langsung mengklaim dirinya suka. Ian akhirnya terlalu sibuk menjadi orang lain. Pada akhirnya tokoh Ian menjadi seseorang yang benar-benar bingung terhadap dirinya sendiri. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

...Ian belum mengerti. Akhirnya Ian jadi orang yang suka apa yang orang lain suka, bukan dirinya sendiri yang bilang suka. Hingga suatu saat akhirnya mereka berempat mulai melihat kalau ternyata bukan soal selera saja Ian mulai labil dan bingung sendiri, tapi juga bingung gimana menjadi seorang Ian. Ian pun mulai nggak ikutan nongkrong lagi, nggak ikutan jalan lagi. (5 cm, 2008:39)

Pada kutipan di atas dikemukakan bahwa Ian tidak hanya labil masalah selera, tetapi mulai bingung bagaimana menjadi seorang Ian dihadapan keempat sahabatnya. Hal itu membuatnya perlahan menjauh dari sahabat-sahabatnya itu.

Meskipun tokoh Ian sempat memutuskan untuk menjauhi empat sahabatnya, namun konflik batin tokoh Ian berakhir saat berkata jujur dengan keempat temannya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

“Bukan maksud gue jelek-jelekin lo bedua,” Ian bicara pelan lagi sambil menatap Arial dan Zafran.

Zafran masih tertunduk, memainkan rokok dijarinya. Arial melihat dalam ke Ian sambil memainkan jarinya membentuk lingkaran kecil di semen lapangan basket.

Gue minta maaf... Lo pada marah sama gue...ya,” Ian berkata pelan.

………...

“Tapi gue harap kalian percaya sama yang satu ini. Kalo yang gue omongin itu cuma dari mulut gue, bukan dari hati gue, dan berhenti di mulut gue, nggak terus ke hati gue, nggak sampai ke hati gue.” (5 cm, 2008:49-50)

Pada kutipan di atas, tokoh Ian mengungkapkan konflik yang dialaminya, ia juga mengakui segala kesalahannya dan meminta maaf pada empat sahabatnya. Ian pada akhirnya tidak perlu lagi berpura-pura menjadi orang lain dan merasa takut tidak diterima oleh keempat sahabatnya.

(c) Konflik batin tokoh Ian yaitu pertentangan antara perasaan putus asa dengan keinginan untuk segera menyelesaikan kuliah. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

...masa dua kali begini...abis deh gue. bilang kek kalo nggak mau diteliti..abis waktu gue seminggu sia-sia bener. Ian tampak terduduk dibangku tukang teh botol yang sering mangkal di kolong jembatan penyeberangan. Jalan utama Jakarta menunggu malam, macet, suara klakson terdengar di mana-mana. Pegawai kantor dengan tampang lelah mondar-mandir di depan Ian. Langit Jakarta yang mulai meredup dan agak hitam menemani pikirannya yang sedang nggak di situ. Pikirannya melayang-layang, segala macam bentuk kemarahan, tipu daya memenuhi mata Ian.

Bayangan kampusnya di seberang jalan dengan lampu-lampu yang mulai dinyalakan menambah dramatis, kelu, dan pilu di hati Ian. Gilaa...tinggal sebulan lebih seminggu lagi...kalo gue nggak sidang tahun ini, gue nunggu semester depan...enam bulan lagi, abis waktu gue...kapan gue lulus? ( 5 cm, 2008:129)

Pada kutipan di atas dikemukakan tokoh Ian yang tampak terduduk di bangku tukang teh botol di bawah jembatan. Tokoh Ian mengalami konflik dalam dirinya, ia merasa putus asa disebabkan kegagalan menyebarkan kuesioner penelitian, ada perasan marah dalam diri Ian. Di sisi lain , bayangan kampus di seberang jalan menimbulkan perasan pilu dihati Ian, betapa Ian menginginkan segera lulus dari kampus tersebut. Tokoh Ian berada dalam pilihan apakah akan terus berusaha menyelesaikan skripsinya dengan sisa waktu satu bulan atau memilih menyerah, menunggu semester depan, dan gagal menyelesaikan kuliah di tahun yang dia harapkan sebelumnya. Hal tersebut menunjukkan pertentangan dalam diri tokoh Ian, apakah akan mengikuti perasaan putus asanya, atau memilih untuk terus berjuang.

Kendala tokoh Ian saat menyebarkan kuesioner dapat dilihat pada kutipan berikut.

Sambungan telepon sudah terputus, tetapi Ian masih bengong sejenak. Dengan langkah gontai, ia kembali ke kamarnya. Tapi cuma sebentar karena ia turun lagi, nyalakan TV, naik lagi ke kamar, turun lagi, naik lagi, nonton TV, naik ke kamar lagi,...bengong di beranda, bengong di balkon siang yang panas.

Gerahnya Jakarta membuat kecewa Ian makin bertambah. Gerah. Panas. Bete. Ian hanya bisa menerawang jauh, menikmati pemandangan kota Jakarta di siang yang panas dengan gedung- gedung tinggi memeluk udara hitam samar membentuk dinding asap, seakan hendak bercerita betapa kotor suram dan nggak enaknya.... Ya, betul-betul nggak enak. Ian menelan ludah sendiri, terasa ada yang menyangkut di tenggorokannya, mengganjal di dadanya. (5 cm, 2008:121)

Keputusasaan tokoh Ian tergambar dalam kutipan di atas. Ian menuju kamar dengan langkah gontai. Ada perasaan kecewa dalam diri Ian. Kenyataan bahwa ia gagal menyebarkan kuesioner, membuat Ian benar-benar kecewa.

Keputusasaan tokoh Ian juga tergambar dalam kutipan di bawah ini, yaitu saat ia kembali mengalami kegagalan menyebarkan kuesioner penelitian.

Tiba-tiba air muka Ian berubah pilu dan lemes. Ian memejamkan matanya sebentar, menunduk, mengempaskan nafas panjang sekali. Giginya bergemeletuk, Ian menggigit bibirnya sendiri.

...

Ian segera membereskan kuisionernya dan langsung pergi tanpa bicara lagi, tanpa menengok lagi. Sebentar pandangan Ian menangkap tulisan visi perusahaan yang terbaca dengan jelas.

: “Menjadi perusahaan dunia yang melayani masyarakat dan ikut berperan serta dalam melestarikan ilmu pengetahuan.”

Ingin sekali ini meludah saat itu juga. (5 cm, 2008:128-129)

Kutipan di atas menggambarkan kekesalan tokoh Ian terhadap perusahaan tempat ia gagal menyebarkan kuesioner penelitian. Kegagalan kedua kalinya menyebarkan kuesioner tersebut, menambah keputusasaan dalam diri tokoh Ian untuk menyelesaikan skripsinya.

Perasaan putus asa dan keinginan untuk segera menyelesaikan kuliah yang di alami tokoh Ian dapat pula dilihat pada kutipan berikut.

Waktu seminggu untuk kuisioner lewat dalam sekejap. Dengan perasaan malas, Ian berangkat ke kampus, terlanjur janji sama pak dosen untuk mengembalikan data kuisioner yang sekarang entah ke mana. Ian bingung harus bilang apa nanti.

(5 cm, 2008:121)

Metromini yang ditumpanginya sudah sarat penumpang. Sesarat hatinya yang kacau. Matanya menatap keluar jendela: pemandangan Jakarta pada pukul 13.00 yang panas.

Pemandangan yang menyapa hati Ian yang masih terasa nggak enak. ...

Semuanya terekam dan menambah ganjalan di hati Ian. Trek...trek...trek...

kernet mengetuk-ngetukkan uang logam ke kaca metromini. sopir mengerem mendadak.

Dengan menggerutu, Ian keluar dari bus yang penuh sesak itu. Gue emang nggak pernah suka sama Jakarta..., hati Ian kesel, gara- gara ada kejadian nggak enak, pikiran gue jadi negatif dan inget sama-hal-hal yang negatif.

Sambil berjalan menunduk, Ian berjalan malas memasuki kampusnya. Panas matahari semakin beringas, menambah panas otaknya. Semua brengsek! rutuk Ian dalam hati....

(5 cm, 2008:122)

Pada kutipan di atas digambarkan keadaan hati tokoh Ian yang kacau, pikiran- pikiran negatif mulai terlintas dibenaknya. Perasaan putus asa tergambar melalui sikap Ian yang berjalan malas ketika memasuki kampus. Perasaan malas dalam diri tokoh Ian bertentangan dengan keinginan Ian untuk tetap menyelesaikan skripsi dengan sisa waktu yang semakin sedikit. Ada keinginan Ian untuk terus berjuang, Ian akhirnya berangkat ke kampus walaupun dengan perasaan malas dan bingung. Ian tetap menemui dosen pembimbingnya. Tokoh Ian digambarkan tetap berjuang keras untuk segera menyelesaikan kuliahnya meskipun berulang kali mengalami keputusasaan.