• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 BIOAKTIVITAS FORMULASI CAMPURAN EKSTRAK Tephrosia vogelii DAN Piper aduncum

5.3 Hasil dan Pembahasan 1 Pemilihan Tensida

5.3.4 Toksisitas Formulasi terhadap Crocidolomia pavonana

Pengujian formulasi EC dan WP terhadap larva C. pavonana menunjukkan pola kematian seperti tampak pada Gambar 5.4 dan Gambar 5.5. Kematian larva C. pavonana akibat perlakuan dengan formulasi EC dan WP menunjukkan pola yang sama. Kematian larva C. pavonana mulai terjadi pada hari pertama perlakuan dan meningkat tajam pada hari kedua perlakuan. Pada hari ketiga dan seterusnya penambahan mortalitas larva sangat rendah bahkan pada beberapa konsentrasi tidak ada penambahan mortalitas sama sekali.

Gambar 5.4 Mortalitas larva Crocidolomia pavonana akibat perlakuan formulasi EC campuran ekstrak T. vogelii dan P. aduncum (1:5)

Gambar 5.5 Mortalitas larva Crocidolomia pavonana akibat perlakuan formulasi WP campuran ekstrak T. vogelii dan P. aduncum (1:5)

Kematian yang konstan setelah hari kedua disebabkan karena pada hari pertama dan kedua, larva uji diberi pakan daun berperlakuan sedangkan pada hari ketiga daun perlakuan diganti dengan daun tanpa perlakuan. Akibatnya larva uji yang tidak mati ketika memakan daun perlakuan akan kembali pulih dan bertahan hidup. Cara kerja ini menunjukkan bahwa sifat ekstrak lebih bersifat toksik dibandingkan sebagai penghambat pertumbuhan dan perkembangan (Lina et al. 2006, Lina et al. 2008).

Kematian larva C. pavonana pada perlakuan formulasi EC dan WP disebabkan oleh senyawa aktif yang terdapat dalam ekstrak penyusun formulasi yaitu T. vogelii dan P. aduncum. Campuran T. vogelii : P. aduncum (1:5) selain bersifat toksik juga bekerja dengan cara fasilitasi. Fasilitasi itu terjadi dimana bahan aktif dari P. aduncum menghambat aktivitas enzim yang menguraikan senyawa toksik pada tubuh serangga, akibatnya bahan aktif T. vogelii tidak terurai dengan baik sehingga bisa masuk menuju sasaran dan bekerja dengan maksimal. Senyawa lignan yang mengandung gugus metilendioksifenil yang terdapat dalam ekstrak P. aduncum dapat menghambat aktivitas enzim sitokrom P450, dan menurunkan daya racun senyawa asing (Metcalf 1967; Bernard et al. 1989). Menurut Bernard et al. (1990) dilapiol yang berasal dari P. aduncum dapat menghambat aktivitas enzim sitokrom P450 dalam sediaan mikrosom dari sel-sel saluran pencernaan larva penggerek batang jagung O. nubilalis. Oleh karena itu, ekstrak P. aduncum yang mengandung dilapiol berpotensi sinergis bila dicampurkan dengan ekstrak tumbuhan lain.

Penghambatan enzim yang berperan dalam detoksifikasi komponen xenobiotic pada C. pavonana memberikan keleluasaan bagi bahan aktif T. vogelii yaitu rotenon dan senyawa rotenoid lain yang bersifat insektisida seperti deguelin dan tefrosin (Delfel et al. 1970; Gaskins et al. 1972; Lambert et al. 1993) untuk bekerja menuju sasaran. Rotenon memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap berbagai jenis serangga sebagai racun perut dan racun kontak (Perry et al. 1998). Pada tingkat sel, rotenon menghambat transfer elektron antara NADH dehidrogenase dan koenzim Q pada kompleks I dari rantai transpor elektron di dalam mitokondria (Hollingworth 2001). Hambatan terhadap proses respirasi sel tersebut menyebabkan produksi ATP menurun sehingga sel kekurangan energi yang selanjutnya dapat menyebabkan kelumpuhan berbagai sistem otot dan jaringan lainnya pada akhirnya menyebabkan kematian larva uji.

P. aduncum selain berperan sebagai sinergis juga mematikan serangga uji dengan kerja sebagai racun syaraf. Senyawa piperamida dari famili Piperaceae (guininsin dan piperisida) bekerja sebagai racun syaraf yang menghambat aliran impuls syaraf pada akson sehingga menyebabkan kelumpuhan (Miyakado et al. 1989; Morgan dan Wilson 1999).

Selain menyebabkan kematian, formulasi EC dan WP juga menghambat pertumbuhan dan perkembangan larva C. pavonana, terutama pada konsentrasi tinggi. Perubahan larva dari instar 2 menjadi instar 3 membutuhkan waktu sekitar 2 hari pada kontrol, sedangkan pada formulasi EC dan WP berturut-turut 2-4 hari dan 3-4 hari. Perubahan larva dari instar 2 menjadi instar 4, pada kontrol memerlukan waktu 3 hari sedangkan pada perlakuan formulasi EC dan WP berturut-turut 4-5 hari dan 5-6 hari (Tabel 5.4). Penghambatan perkembangan ini disebabkan karena residu bahan aktif yang masih tertinggal di dalam tubuh serangga mengganggu fungsi fisiologi serangga uji.

Tabel 5.4 Lama perkembangan larva C. pavonana pada perlakuan Formulasi 20 EC dan 20 WP T. vogelii dan P. aduncum (1:5) pada beberapa

konsentrasi Konsentrasi

Formulasi (%)

Lama perkembangan larva (X ± SD)

Formulasi WP Formulasi EC

Instar 2-3 Instar 2-4 Instar 2-3 Instar 2-4 0 (kontrol) 2.19 ± 0.39 3.79 ± 0.55 2.09 ± 0.29 3.31 ± 0.46 0.075 3.34 ± 0.51 5.03 ± 0.64 2.85 ± 0.72 4.54 ± 0.61 0.10 3.69 ± 0.63 5.41 ± 0.75 2.98 ± 0.62 4.65 ± 0.59 0.15 4.29 ± 0.74 5.42 ± 0.56 3.45 ± 0.66 4.95 ± 0.81 0.20 4.73 ± 0.77 5.50 ± 0.59 3.48 ± 0.51 5.52 ± 0.51 0.25 4.50 ± 0.55 6.17 ± 0.41 4.25 ± 0.46 5.63 ± 0.52 X= rata-rata; SD= standar deviasi

Hasil analisis probit formulasi 20 EC dan 20 WP menunjukkan aktivitas yang relatif sama jika dilihat dari nilai LC50 EC dan WP sebesar 0.15 % dan 0.13 %. Nilai LC95 juga tidak berbeda nyata antara formulasi 20 EC dan 20 WP yaitu sebesar 0.35% dan 0.31%. Kemiringan regresi (nilai b) formulasi 20 WP lebih tinggi yaitu 4.59 jika dibandingkan formulasi 20 EC yaitu sebesar 3.81 artinya penambahan konsentrasi pada kelipatan tertentu, akan mematikan larva yang diberi perlakuan 20 WP lebih banyak dibandingkan yang diberi perlakuan 20 EC (Tabel 5.5). Menurut Rossalia (2003) jika formulasi WP bahan aktifnya ditingkakan dua kali lipat maka aktivitasnya juga akan meningkat dua kali lipat. Pada formulasi EC jika bahan aktif ditingkatkan menjadi dua kali lipat maka toksisitasnya menurun satu setengah kali lipat. Hal ini terjadi karena formulasi EC mengalami dekantasi yang dapat menyebabkan adanya bahan aktif yang tertinggal dalam endapan.

Tabel 5.5 Analisis probit formulasi 20 EC dan 20 WP T. vogelii dan P. aduncum (1:5)

Perlakuan Nilai b±SE LC50 (SK 95%) LC95 (SK 95%) Formulasi 20 EC 3.81±4.76 0.15 (0.131-0.195) 0.35 (0.259-0.718) Formulasi 20 WP 4.59±0.43 0.13 (0.107-0.167) 0.31 (0.227-0.680) b= kemiringan regresi; SE= standar error

5.4 Kesimpulan

Formulasi campuran T. vogelii : P. aduncum (1:5) dibuat dalam bentuk EC dan WP. Penambahan bahan tabir matahari asam p-aminobenzoat (PABA) atau optical brightner (OB) tidak dapat memperpanjang persistensi bahan aktif ekstrak

P. aduncum dan T. vogelii dalam campuran. Uji kestabilan formulasi

menunjukkan bahwa formulasi EC dan WP termasuk kategori stabil sesuai standar CIPAC, dan layak untuk digunakan sebagai alternatif pengendalian di lapangan.

Formulasi EC dan WP campuran T. vogelii : P. aduncum (1:5) memiliki aktivitas insektisida terhadap larva C. pavonana, selain menyebabkan mortalitas juga menghambat pertumbuhan dan perkembangan larva C. pavonana yang bertahan hidup.

5.5. Daftar Pustaka

Asman A, Rusli R, Ma’mun. 1999. Formulasi pestisida nabati produk cengkeh. Dalam: Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Pemanfaatan Pestisida Nabati; Bogor 9-10 Nopember 1999. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, hlm 530-537.

Bernard CB, Arnason JT, Philogene BJR, Lam J, Waddell T. 1989. Effect of lignans and other secondary metabolites of the asteraceae on the mono- oxygenase activity of the European corn borer. Phytochemistry 28(5) 1373-1377.

Bernard CB, Arnason JT, Philogène BJR, Lam J, Waddell T. 1990. In vivo effect of mixtures of allelochemicals on the life cycle of the European corn borer, Ostrinia nubilalis. Entomol Exp Appl 57:17-22.

Bohmont BL. 1997. The Standard Pesticide User’s Guide. Ed. Ke-4. New Jersey (US): Prentice Hall.

[CIPAC ] Collaborative International Pesticides Analytical Council. 1980. CIPAC. Handbook Analysis of Technical and Formulated Pesticides. New York (US): CIPAC.

Delfel NE, Tallent WH, Carlson DG, Wolff IA. 1970. Distribution of rotenone and deguelin in Tephrosia vogelii and separation of rotenoid-rich fractions. J Agric Food Chem 188(3): 385-390.

[ESCAP] Economic and Social Commission for Asia and The Pasific. 1991. Agropesticides, Properties and Function in Integrated Crop Protection. Bangkok (TH): ESCAP, United Nations.

Gaskins MH, White GA, Martin FW, Delfel NE, Ruppel EG, Barnes DK. 1972. Tephrosia vogelii: A Source of Rotenoids for Insecticidal and Piscicidal Use. Washington DC (US): United States Department of Agriculture. Grayson BT, Webb JD, Batten DM, Edwards D. 1996. Effects of adjuvant on the

therapeutic activity of dimathamorph in controlling vine downy mildew, survey of adjuvants types. Pestic Sci 46: 199-206.

Hassall KA. 1990. The Chemistry of Pesticides: Their Metabolism, Mode of Action and Uses in Crop Protection. London (GB): Macmillan.

Hollingworth RM. 2001. Inhibitors and uncouplers of mitochondrial oxidative phosphorylation. In Krieger R, Doull J, Ecobichon D, Gammon D, Hodgson et al., editor. Handbook of Pesticide Toxicology. Vol 2: 1169- 1227. San Diego (US): Academic Press.

Hudaya DA. 2003. Pengaruh ekstrak daun Dysoxylum acutangulum Miq. (Melaiaceae) terhadap mortalitas dan reproduksi Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae) [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian IPB.

Irmayetri. 2001. Aktivitas residu ekstrak ranting Dysoxylum acutangulum Miq. (Melaiaceae) terhadap larva Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera: Pyralidae) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan.

Lambert N, Trouslot MF, Campa CN, Chrestin H. 1993. Production of rotenoids by heterotrophic and photomixotrophic cell cultures of Tephrosia vogelii. Phytochemistry 34:1515-1520.

Lina EC, Prijono D, Dadang. 2006. Pengaruh fraksi aktif Aglaia harmsiana terhadap fisiologi larva Spodoptera litura (F) (Lepidoptera: Noctuidae). Jurnal Tumbuhan Tropika 6(1) : 1-8.

Lina EC, Arneti, Prijono D, Dadang. 2009. Kelayakan Delapan Jenis Tensida untuk Mengemulsikan Bahan Nonpolar dalam Air. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Perlindungan Tanaman; Bogor, 5-6 Agustus 2009. PKPHT-IPB (Bogor) (ID): Departemen Proteksi Tanaman. hlm 246-252. Lina EC, Arneti, Prijono D, Dadang. 2010. Potensi Insektisida Melur (Brucea

javanica L. Merr) dalam mengendalikan hama kubis Crocidolomia

pavonana (Lepidoptera: Crambidae) dan Plutella xylostella (Lepidoptera:

Yponomeutidae). Jurnal Natur Indonesia 12(2): 109-116.

Matsumura F. 1985. Toxicology of Insecticides. 2nd Edition. New York (AS): Plenum Press.

Metcalf RL. 1982. Insecticides in pest management. In Metcalf RL, Luckman WH, editor. Introduction to Insect Pest Management. 2nd Edition. New York (AS): J Wiley. Pp 217-253.

Miyakado M, Nakayama I, Ohno N. 1989. Insecticidal unsaturated

isobutylamides from natural products to agrochemical leads. In Arnason

JT, Philogene BJR, Morand P, editor. Insecticides of Plant Origin. Washington DC (AS): ACS. Pp 173-187.

Mollet H, Grubenmann. 2001. Formulation Technology: Emulsion, Suspensions, Solid Forms. Wiley-VCH Verlag.

Morgan DE, Wilson DI. 1999. Insect hormones and insect chemical ecology. Di dalam: Barton SD, Nakanishi K, Meth-Cohn O, Mori K, editor. Comprehensive Natural Products Chemistry. Vol 8: 264-364. Amsterdam (NL): Elsevier.

Perry AS, Yamamoto I, Ishaaya I, Perry RY. 1998. Insecticides in Agriculture and Environment: Retrospects and Prospects. Berlin (DE): Springer-Verlag. Rossalia D. 2003. Formulasi insektisida botani dari Dysoxylum acutangulum Miq.

(Meliaceae) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana, Program Studi Teknologi Industri.3-31.

Satiti N. 1988. Perubahan sifat fisikokimia formulasi pestisida bentuk emulsifiable

concentrate (EC) dalam penyimpanan. Buletin Penelitian Balai Besar

Industri Kimia Jakarta (38):1-14.

Scott IM, Jensen HR, Nicol R, Lesage L,Bradbury R, Sachez-Vindas P, Poveda L, Arnason JT, Philogene BJR. 2004. Efficacy of piper (Piperaceae) extracts for control of common home and garden insect pests. J. Econ.Entomol 97(4): 1390-1403.

Syahputra E, Manuwoto S, Darusman LK, Dadang, Prijono D. 2004. Aktivitas insektisida bagian tumbuhan Calophyllum soulattri Burm.f. (Clusiaceae) terhadap larva lepidoptera. JHPT Trop 4(1):23-31.

Syahputra E, Prijono D, Dadang, Manuwoto S, Kadarusman LK. 2005. Bioaktivitas insektisida bitani Calophyllum soulattri Burm.F. (Clusiaceae) sebagai pengendali hama alternatif [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Waxman MF. 1998. The Formulator’s Toolbox-Product Form for Modern Agriculture. Di dalam: Brooks GT dan Roberts TR, editor. Pesticide Chemistry and Bioscience. London (GB): RSC. Pp. 120-126

[WHO] World Health Organization. 1989. Preparation of WHO standard waters. Geneva (CH),WHO.

6

KEAMANAN FORMULASI CAMPURAN EKSTRAK DAN