• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 BIOAKTIVITAS FORMULASI CAMPURAN EKSTRAK Tephrosia vogelii DAN Piper aduncum

6 KEAMANAN FORMULASI CAMPURAN EKSTRAK DAN EFEKTIVITASNYA TERHADAP HAMA KUBIS D

6.2 Bahan dan Metode 1 Tempat dan Waktu

6.2.8 Uji Efikasi di Lapangan

Percobaan dilakukan di lahan yang terdiri dari 30 petak percobaan. Setiap petak percobaan memiliki 4 guludan (bedengan) yang masing-masing berukuran 1 m x 4 m. Petak percobaan disusun dalam rancangan acak kelompok dengan enam ulangan. Pengolahan awal dan pemeliharaannya dilakukan seperti metode petani setempat. Bibit brokoli yang berumur 3 minggu (berdaun empat) ditanam dengan jarak tanam dalam barisan 70 cm dan jarak tanam antar barisan 50 cm. Pada setiap petak percobaan terdapat 60 tanaman.

Perlakuan yang dicobakan ialah formulasi EC dan WP campuran P. aduncum dan T. vogelii, bioinsektisida B. thuringiensis (BT), insektisida sintetik deltametrin, dan kontrol. Taraf konsentrasi insektisida nabati yang diuji ditentukan berdasarkan hasil uji toksisitas di laboratorium (setara 2 x LC95), sedangkan insektisida pembanding digunakan sesuai dosis anjuran. Formulasi insektisida uji diencerkan dengan air untuk mendapatkan konsentrasi yang diinginkan. Perlakuan untuk minggu pertama dan minggu kedua kurang lebih dibutuhkan 2 liter cairan semprot/perlakuan. Minggu ketiga sampai kelima memerlukan tiga liter cairan semprot/perlakuan, dan minggu keenam sampai minggu kesembilan membutuhkan lima liter cairan semprot/perlakuaan

Untuk pendugaan serangan dan populasi larva C. pavonana, dilakukan pengamatan pada enam tanaman contoh dalam tiap petak kecuali tanaman pinggir, untuk menentukan penyemprotan awal dilakukan jika pada pertanaman ditemukan

serangan hama yang melebihi ambang tindakan (≥ γ kelompok telur C. pavonana per 10 tanaman). Penyemprotan insektisida dilakukan dengan menggunakan knapsack sprayer. Aplikasi insektisida berikutnya dilakukan berselang satu minggu. Pada tiap pengamatan juga dilakukan pengambilan contoh larva C.

pavonana untuk menduga tingkat parasitisasi oleh parasitoid hama tersebut.

Contoh larva C. pavonana (20 ekor per petak) dibawa ke laboratorium kemudian dibedah untuk pengamatan keberadaan parasitoidnya.

Peubah yang diamati ialah (1) populasi larva C. pavonana, (2) populasi larva P. xylostella, (3) populasi larva Helula undalis, dan (4) tingkat parasitisasi larva C. pavonana oleh E. argenteopilosus. Data dianalisis dengan sidik ragam dan pembandingan nilai tengah perlakuan dilakukan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf 5% (Steel dan Torrie 1993).

Keefektifan insektisida yang di uji (%) dihitung dengan rumus Abbot jika populasi hama pada pengamatan pertama (sebelum aplikasi) tidak berbeda nyata antar petak perlakuan.

6.3 Hasil dan Pembahasan

Pada aplikasi lapangan disiapkan ekstrak P. aduncum kurang lebih 100 gr dan T. vogelii kurang lebih 20 gr. Ekstrak kemudian diformulasi seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya.

6.3.1 Keamanan Formulasi terhadap Musuh Alami

Formulasi EC dan WP campuran T. vogelii dan P. aduncum (1:5) terhadap musuh alami C. pavonanan yaitu Eriborus argenteopilosus tidak menyebabkan kematian parasitoid jantan dan betina yang dibiarkan kontak dengan residu formulasi EC dan WP selama 24 hingga 48 jam perlakuan (Tabel 6.1). Bahan EI = x 100%

EI = keefektifan insektisida yang diuji (%) Ca = populasi hama sasaran pada petak kontrol

setelah aplikasi insektisida

Ta = hama sasaran pada petak perlakuan setelah aplikasi insektisida

Ca-Ta Ca

aktif T. vogelii dan P. aduncum bersifat spesifik dan relatif aman terhadap musuh alami E. argenteopilosus. Syahputra (2005) menyatakan bahwa senyawa sekunder tanaman lebih toksik jika diberikan melalui makanan dibandingkan jika diaplikasikan secara kontak.

Pengujian ekstrak campuran T. vogelii : P. aduncum (1:5) menunjukkan bahwa larva yang diberi perlakuan makan dengan konsentrasi setara LC50 diparasit oleh parasitoid sebanyak 65.78% sedangkan kontrol diparasit sebanyak 55.56%. Pengamatan secara visual terhadap perilaku pemarasitan E. argenteopilosus terhadap larva C. pavonana yang berada di permukaan daun yang mengandung residu insektisida nabati tidak berbeda dengan kontrol. Jumlah imago parasitoid yang menetas pada perlakuan formulasi WP 26.66%, formulasi EC 40% dan pada kontrol 13.33%

Tabel 6.1 Pengujian formulasi EC dan WP terhadap musuh alami Eriborus argenteopilosus

Perlakuan (N=10) Waktu Kelamin Mortalitas (%)

Kontrol 24 Jantan 0 Betina 0 48 Jantan 0 Betina 0 EC 24 Jantan 0 Betina 0 48 Jantan 0 Betina 0 WP 24 Jantan 0 Betina 0 48 Jantan 0 Betina 0 6.3.2 Persistensi Formulasi

Persistensi formulasi EC, WP, dan insektisida komersial Bacillus thuringiensis (BT) disajikan pada Gambar 6.1. Pada pengamatan nol hari setelah perlakuan kematian larva C. pavonana akibat memakan daun perlakuan yang disemprot formulasi EC, WP, dan BT berturut-turut 100%, 100%, dan 77.33%. Formulasi ekstrak campuran T. vogelii : P. aduncum (1:5) mematikan larva uji lebih banyak dibandingkan insektisida komersial BT.

Satu hari setelah perlakuan, residu ketiga formulasi secara keseluruhan menurun cukup signifikan seperti tampak pada gambar 1B. Aktivitas residu BT mematikan larva uji C. pavonana paling tinggi yaitu sebesar 44% kemudian diikuti oleh formulasi EC mematikan 20% dan formulasi WP 12%. Pada pengamatan dua hari setelah perlakuan residu formulasi EC dan WP sudah tidak aktif, hanya mematikan larva uji 1.33% dan 4%, sedangkan formulasi BT masih mampu bertahan dan mematikan larva C. pavonana sebesar 30.66%. Pengujian ekstrak tanaman P. aduncum secara tunggal menunjukkan adanya persistensi yang rendah, pada 0 hari setelah perlakuan, ekstrak P. aduncum dari tujuh lokasi berbeda mematikan 100% serangga uji. Aktivitas menurun drastik pada 1 hari

setelah perlakuan dimana residu hanya mampu mematikan serangga uji kurang dari 15 % (Februlita 2013).

Kemampuan residu formulasi bertahan di lingkungan setelah penyemprotan dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain aktivitas mikroorganisme, reaksi kimia, dan fotodegradasi, sedangkan perpindahan dapat dipengaruhi oleh aliran air dan udara dan air. Cahaya matahari merupakan penyebab utama dalam penguraian bahan aktif senyawa dari tanaman (Matsumura 1985) dan menjadi pertimbangan dalam pemilihan dan aplikasi insektisida tersebut (Hassall 1987). Speight et al (1998) menjelaskan bahwa untuk meningkatkan efisiensi

Morta

li

tas

Hari pengamatan

Gambar 6.1 Persistensi formulasi EC, WP, dan BT pada pengujian 0 hari (A), 1 hari (B), dan 2 hari (C) setelah perlakuan (grafik yang diikuti huruf

yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan, α=0.05)

Morta li tas (%) a b b Morta li tas (%) a b Morta li tas (%) a b

penggunaan insektisida perlu dipertimbangkan beberapa hal antara lain komponen kimianya terhadap hama sasaran, konsentrasi yang tepat, waktu aplikasi yang tepat, dan teknologi aplikasinya.

Terkait dengan waktu aplikasi yang tepat, penggunaan formulasi EC dan WP campuran T. vogelii : P. aduncum (1:5) untuk mengendalikan hama C,

pavonana harus diaplikasikan pada waktu yang sesuai. Sesuai dalam artian,

aplikasinya dilakukan saat matahari tidak terlalu terik yaitu di pagi hari atau di sore hari sehingga penguraian bahan aktif oleh sinar sinar matahari dapat ditekan. Kemudian tepat aplikasi dari segi serangga yaitu diaplikasi pada fase terlemah. Sehingga residu bahan aktif dapat mematikan serangga uji dalam waktu tidak terlalu lama.

Penelitian yang dilakukan oleh Scott et al. (2004) menunjukkan penguraian piperamid pada cahaya matahari terik berlangsung selama 6 jam. Penguraian di bawah lampu ultra violet (UV) berlangsung dalam waktu 39 menit. Penguraian yang terjadi disebabkan oleh sinar matahari/fotolisis bukan efek dari fotosensitif. Penggunaan piperamid disarankan pada produk di penyimpanan atau tanaman di kebun dan bukan di lapangan terbuka.