• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUBERKULOSIS PARU

Dalam dokumen Ringkasan Ilmu Penyakit Dalam (Halaman 35-45)

Kasus baru (new case):

Penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan.

Kambuh (relaps):

Penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap. Kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif (hapusan atau kultur). Gagal pengobatan (treatment after failure):

Penderita yang memulai pengobatan kategori 2 setelah gagal dengan pengobatan yang sebelumnya.

Yaitu penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 atau lebih. Atau penderita dengan BTA megatif menjadi positif pada akhir bulan ke-2.

Pengobatan setelah default (treatment after default/drop out):

Penderita yang kembali berobat, dengan hasil bakteriologi positif, setelah berhenti minum obat 2 bulan atau lebih.

Pindahan (transfer in):

Penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten kemudian pindah ke kabupaten lain. Penderita ini harus membawa surat rujukan/pindah (form TB 09).

Kasus kronik:

Penderita dengan hasil BTA tetap positif setelah selesai pengobatan ulang dengan kategori 2.

DIAGNOSIS

Diagnosis tuberkulosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, radiologis dan penunjang yang lain.

Gejala

Respiratorik : batuk > 3 minggu, berdahak, batuk darah, nyeri dada, sesak napas.

Sistemik : demam, keringat malam, malaise, nafsu makan menurun, berat badan turun.

Penderita dengan gejala tersebut dianggap sebagai curiga TB dan harus diperiksakan dahaknya. Pemeriksaan dahak dilakukan 3 kali (sewaktu-pagi-sewaktu/SPS) dengan cara pengecatan.

Pemeriksaan fisik

Tanda fisik penderita TB tidak khas, tidak dapat membantu untuk membedakan TB dengan penyakit paru lain. Tanda fisik tergantung pada lokasi kelainan serta luasnya kelainan struktur paru. Dapat ditemukan tanda-tanda antara lain penarikan struktur sekitar, suara napas bronkial, amforik, ronki basah, pada efusi pleura didapatkan gerak napas tertinggal, keredupan dan suara mapas menurun sampai tidak terdengar. Bila terdapat limfadenitis tuberkulosa didapatkan pembesaran kelenjar linfe, sering di daerah leher, kadang disertai adanya skrofuloderma.

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan bakteriologis sangat berperan untuk menegakkan diagnosis. Spesimen dapat berupa dahak, cairan pleura, cairan serebrospinalis, bilasan lambung, bronchoalveolar lavage, urin, dan jaringan biopsi. Pemeriksaan dapat dilakukan secara mikroskopis dan biakan.

Pemeriksaan dahak untuk menemukan basil tahan asam merupakan pemeriksaan yang harus dilakukan pada seseorang yang dicurigai menderita tuberkulosis atau suspek. Pemeriksaan dahak dilakukan 3 kali (sewaktu-pagi-sewaktu/SPS), dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen atau Kinyoun Gabbet. Interpretasi pembacaan didasarkan skala IUATLD atau bronkhorst.

Diagnosis TB paru ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam pada pemeriksaan hapusan sputum secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif bila sedikitnya 2 dari 3 spesimen dahak ditemikan BTA (+).

Bila hanya 1 spesimen yang positif, perlu pemerikaan foto thoraks atau SPS ulang. Bila foto thoraks mendukung TB maka didiagnosis sebagai TB paru BTA (+). Bila foto thoraks tidak mendukung TB maka perlu dilakukan pemeriksaan SPS ulang. Bila SPS ulang hasilnya negatif berarti bukan penderita TB. Bila SPS-positif, berarti penderita TB BTA (+). Bila foto toraks mendukung TB tetapi pemeriksaan SPS negatif, maka diagnosis adalah TB paru BTA negatif rontgen positif.

Foto toraks

Pada kasus di mana pemeriksaan sputum SPS positif, foto toraks tidak diperlukan lagi. Pada beberapa kasus dengan hapusan positif perlu dilakukan foto toraks bila:

• Curiga adanya komplikasi (misal: efusi pleura, pneumotoraks)

• Hemoptisis berulang atau berat

• Didapatkan hanya 1 spesimen BTA (+) Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB aktif:

1. Bayangan berawan/nodualr di segmen apical dan posterior lobus atas dan segmen superior lobus bawah paru.

2. Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau nodular.

3. Bayangan bercak milier. 4. Efusi pleura.

Gambaran radiologis yang dicurigai TB inaktif:

1. Fibrotik, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas dan atau segmen superior lobus bawah.

2. Kalsifikasi

3. Penebalan pleura

Destroyed lung

Gambaran radiologis yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru. Sulit untuk menilai aktiviti penyakit berdasarkan gambaran radiologis tersebut. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologis untuk mengetahui aktivitas penyakit.

Luas proses yang ampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dinyatakan sbb:

1. Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari datu atau dua paru dengan luas lesi tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus spinosus vertebra torakalis IV, atau korpus vertebra torakalis V (sela iga ke-2) dan tidak dijumpai kaviti.

2. Lesi luas, bila proses lebih dari lesi minimal. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan darah rutin kurang spesifik. LED penting sebagai indikator kestabilan penyakit sehingga dapat digunakan untuk evaluasi penyembuhan. Pemeriksaan serologi dilakukan denagn metode Elisa, Mycodot, PAP (Peroksidase Anti Peroksidase). Teknik lain untuk mengidentifikasi M. tuberculosis dengan PCR (polymerase chain reaction), RALF (Restrictive Fragment Length Polumorphisms), LPM (Light Producing Maycobacterophage). Pemeriksaan histopatologi jaringan, diperoleh melalui transbronchial lung biopsy, transthoracal biopsy, biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar dan organ lain di luar paru. Diagnosis TB ditegakkan bila jaringan menunjukkan adanya granuona dengan perkejuan.

PENATALAKSANAAN

Tujuan pengobatan tuberkulosis adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah relaps, menurunkan penularan ke orang lain dan mencegah terjadinya resistensi terhadap OAT. Untuk itu diperlukan OAT yang efektif dengan pengobatan jangka pendek. Standarisasi regimen untuk pengobatan TB didasarkan pada rekomendasi WHO.

Terdapat 4 populasi kuman TB yaitu:

1. “Metabolically active”, yaitu kuman yang terus tumbuh dalam kaviti 2. “Basili inside cell”, misal dalam makrofag

Pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu lama karena sulit untuk membunuh kuman semi dorman.

Terdapat 3 aktivitas anti tuberkulosis yaitu:

1. Obat bakterisidal: INH, rifampisin, pirazinamid

2. OAT dengan kemampuan sterilisasi: Rifampisin, PZA

3. OAT dengan kemampuan mencegah resistensi: rifampisin dan INH, sedangkan streptomisin dan etambutol kurang efektif.

OBAT ANTI TB

OAT Sifat Potensi

Dosis mg/kg

Harian Intermiten

3x/wk 2x/wk

Isoniazidn(H) Bakterisidal Tinggi 5 10 15

Rifampicin (R) Bakterisidal Tinggi 10 10 10

Pirazinamid (Z) Bakterisidal Rendah 25 35 50

Streptomycin (S) Bakterisidal Rendah 15 15 15

Etambutol (E) Bakteriostatik Rendah 15 30 45

KODE REGIMEN PENGOBATAN TB Pengobatan TB terdiri dari 2 fase, yaitu: Fase inisial/fase intensif (2 bulan):

Pada fase ini membunuh kuman dengan cepat. Dalam waktu 2 minggu penderita yang infeksius menjadi tidak infeksius, dan gejala klinis membaik. Kebanyakan penderita BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan. Pada fase ini sangat penting adanya pengawasan minum obat pleh PMO (Pengawas Minum Obat).

Fase lanjutan (4-6 bulan):

Bertujuan membunuh kuman persisten (dorman) dan mencegah relaps. Fase ini juga perlu adanya PMO.

Contoh kode pada regimen pengobatan TB: 2 (HRZE)/4 HR

Fase inisial adalah 2 (HRZE), lama pengobatan 2 bulan, dengan obat INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol diminum tiap hari.

Fase lanjutan adalah 4 (HR)3, lama pengobatan 4 bulan, dengan INH dan rifampisin, diminum 3 kali seminggu.

Recomended treatment regiment for each diagnostic category TB DIAGNOSTI C CATEGORY TB PATIENTS TB TREATMENT REGIMENS INITIAL PHASE DAILY OR 3 TIMES WEEKLY) CONTINUATIO N PHASE (DAILY OR 3 TIMES WEEKLY)

I New smear positive patients;

New smear-negative PTB with extensive parenchymal envolvement;

Severe concomitant HIV disease or severe forms of EPTB

2 HRZEb 4 HR

or

6 HE daily

II Previously treated sputum

smear-positive PTB: - Relaps

- Treatment after interruption - Treatment failure

2 HRZES/ 1 HRZE

5 HRE

III New-smear negative PTB

(other than in category I); Less severe forms of EPTB

2 HRZEc 4 HR

or

6 HE dailyc

IV Chronic and MDR-TB case

(still sputum-positive after supervised re-treatment)

Specially designed standarized or individualized regimens are suggested for this category a “Direct observation” of drug intake is required during the initial phase of

treatment in smear-positive cases, and always in treatment that includes rifampicin

b Streptomisin dapat digunakan sebagai pengganti etambutol. Pada kasus meningitis TB etambutol harus diganti dengan streptomisin.

c Regimen HE berhubungan dengan angka gagal pengobatan dan kambuh yang tinggi dibandingkan dengan pengobatan regimen yang menggunakan rifampisin selama fase lanjutan.

d Bila mungkin, direkomendasikan untuk dilakukan tes sensitivitas terhadap OAT sebelum pemberian obat kategori II pada kasus gagal pengobatan. Penderita yang terbukti MDR-TB direkomendasikan menggunakan OAT kategori OAT plus.

e Etambutol dapat tidak digunakan selama pengobatan fase inisial pada penderita tanpa adanya kavitas pada paru; hapusan dahak negatif pada

penderita HIV-negatif; telah diketahui terinfeksi dengan kuman yang sensitif terhadap OAT; dan penderita muda TB primer.

f Kontak dengan penderita yang terbukti MDR-TB dipertimbangkan untuk dilakukan kultur dan tes sensitivitas.

TB ekstra pulmoner meliputi:

Berat Ringan

• Meningitis

• Milier

• Perikarditis

• Peritonitis

• Efusi pleura bilateral/massif

• Spinal

• Intestinal

• Genitourinaria

• Kelenjar limfe

• Efusi pleura unilateral

• Tulang (kecuali spinal)

• Sendi kecil

• Kelenjar adrenal

INDIKASI STEROID PADA TB

Steroid pada kasus TB diindikasikan pada meningitis, perikarditis, efusi pleura masif, TB kelenjar adrenal, laringitis, TB pada ginjal/saluran kencing, TB kelenjar limfe yang luas dan pada reaksi hipersensitivitas akibat OAT.

PENGOBATAN TB PADA KEADAAN KHUSUS Kehamilan dan menyusui

Hampir semua obat anti tuberkulosis aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak boleh digunakan pada kehamilan karena sifat ototoksik pada janin.

Pada penderita TB yang menyusul, semua OAT dapat diberikan. Bila bayinya juga mendapat OAT, dianjurkan untuk tidak menyusui agar bayi tidak mendapat dosis berlebihan.

Rifampisin berinteraksi dengan obat kontrasepsi hormonal dengan risiko penurunan efektifitas kontrasepsi, sehingga diperlukan dosis kontrasepsi yang lebih tinggi (estrogen 50µg). Atau disarankan untuk menggunakan jenis kontrasepsi lain.

Gagal ginjal

Rifampisin, INH dan pirazinamid aman digunakan untuk penderita gagal ginjal. Jangan menggunakan streptomisin, kanamisin dan capreomisin. Hindari penggunaan etambutol. Digunakan hanya bila tidak ada alternatif obat lain, dengan menyesuaikan dosis sesuai dengan fungsi ginjal.

Penyakit hati kronik

Pirazinamid tidak boleh diberikan. INH dan rifampisin plus satu atau dua obat non-hepatotoksik seperti streptomisin dan etambutol dapat diberikan dengan total pengobatan 8 bulan. HE pada fase lanjutan dengan total pengobatan 12 bulan.

Regimen yang direkomendasikan adalah 2 SHRE/6 HR; 9 RE atau 2 SHE/10 HE.

Hepatitis akut

Sebaiknya OAT ditunda dulu sampai hepatitis sembuh. Bila sangat diperlukan OAT dapat diberikan dengan kombinasi SE selama 3 bulan. Selanjutnya setelah hepatitis sembuh daoat diberikan fase lanjutan selama 6 bulan dengan INH dan Rifampisin. Bila hepatitis tidak menyembuh, SE diteruskan sampai 12 bulan. Regimen yang diberikan 3 SE/ 6 HR atau 12 SE.

MULTI DRUGS RESISTANCE TB

Yaitu penderita TB aktif dengan kuman yang resisten terhadap sedikitnya rifampisin dan INH, dengan atau tanpa disertai resistensi terhadap obat lain. MDR TB terjadi akibat pengobatan yang tidak rasional, seperti pemberian resep yang tidak benar oleh dokter, regimen yang tidak benar, penggunaan obat tidak lengkap dan berkesinambungan atau oleh karena tidak adanya supervisi dalam pengobatan.

DOTS (Directly Observe Treatment Shortcourse)

Sejak tahun 1995 program pemberantasan penyakit TB dilaksanakan dengan strategi DOTS yang direkomendasikan oleh WHO. Di Indonesia dituangkan dalam bentuk GERDUNAS-TB (Gerakan Terpadu nasional TB). Yang dimaksud dalam strategi DOTS adalah:

1. Adanya komitmen pemerintah untuk menanggulangi TB

2. Penemuan kasus secara langsung dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis

3. Pemberian obat yang diawasi secara langsung (DOT = Directly Observe Treatment)

4. Penyediaan obat secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu 5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan

10. GASTROENTERITIS

Dalam dokumen Ringkasan Ilmu Penyakit Dalam (Halaman 35-45)

Dokumen terkait