• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ringkasan Ilmu Penyakit Dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ringkasan Ilmu Penyakit Dalam"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

3. DEFISIENSI VITAMIN... 9 4. DISLIPIDEMIA... 14 5. OBESITAS... 20 6. LIMFADENITIS TUBERKULOSIS... 24 7. MALARIA... 27 8. REAKSI ANAFILAKSIS... 31 9. TUBERKULOSIS PARU... 35 10. GASTROENTERITIS... 45 11. DEMAM TIFOID... 48 12. ALERGI MAKANAN... 56

13. PENYAKIT CACING TAMBANG... 60

14. ASKARIASIS... 62

15. TAENIASIS... 64

16. DISENTRI BASILER... 67

17. PIELONEFRITIS... 68

18. BRONKHITIS AKUT... 69

19. DIABETES MELLITUS (DM) TIPE 2... 73

20. HIPERTENSI... 81

21. HIPERURISEMIA DAN GOUT ARTHRITIS... 92

22. ANEMIA DEFISIENSI BESI... 96

23. PENYAKIT REFLUKS GASTRO-ESOFAGEAL (GERD)... 98

24. GASTRITIS... 99

25. LEPTOSPIROSIS... 101

26. KERACUNAN MAKANAN... 104

27. HEPATITIS VIRUS AKUT... 105

(3)
(4)

1. DIABETES MELLITUS TIPE 1 GEJALA KLINIS Awal: - Polifagi - Polidipsi - Poliuri

- Berat badan naik (Fase Kompensasi)  turun - Mual-muntah  Ketoasidosis Diabetik.

Kronis:

- Lemah badan

- Semutan

- Kaku otot

- Penurunan kemampuan seksual - Gangguan penglihatan, dan lain-lain.

LANGKAH DIAGNOSTIK D I A B E T E S M E L L I T U S TGT GDP Normal Ulang GDS atau GDP ≥ 126 ≥ 200 < 126 < 200 TTGO GD 2 Jam >200 140-199 < 140 GDP GDS ata u

Keluhan Klinis Diabetes

Keluhan Klasik Diabetes (+) ≥ 126 ≥ 200 < 126 < 200

Keluhan Klasik Diabetes (-) ≥ 126 ≥ 200 110-125 140-199 < 100 < 140 GDP GDS ata u GDP GDS ata u

(5)

Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok tersebut di bawah ini (Comitee Report ADA-2006):

1. Kelompok usia dewasa tua (> 45 tahun)

2. Obesitas BB (kg) > 110% BB ideal atau IMT > 25 (kg/m2) 3. Tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg)

4. Riwayat DM dalam garis keturunan

5. Riwayat kehamilan dengan: BB lahir bayi > 4000 gram atau abortus berulang

6. Riwayat DM pada kehamilan

7. Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida > 250 mg/dl)

8. Pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT).

Pelaksanaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) untuk diagnosis DM adalah sebagai berikut:

1. Tiga hari sebelumnya makan karbohidrat cukup 2. Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan 3. Puasa semalam, selama 10-12 jam

4. Periksa glukosa darah puasa

5. Diberikan glukosa 75 gram, dilarutkan dalam air 250 ml, dan diminum dalam waktu 5 menit

6. Diperiksa glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa

7. Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap boleh minum air putih, namun harus istirahat dan tidak merokok

8. Untuk tujuan penelitian atau diagnosis DMG (Diabetes Mellitus Gestasional), dilakukan pemeriksaan glukosa darah pada 0, 1, 2, & 3 jam sebelum dan sesudah minum beban glukosa 75 gram tersebut.

Uji Laboratorium Darah

Orang normal: Glukosa Darah Puasa (GDP) < 100 mg/dl, 2j pp < 140 mg/dl. GDP antara 100 dan 126 mg/dl disebut Gglukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) atau Impaired Fasting Glucose (IFG). Untuk penderita DM: disebut

(6)

“normal” atau regulasi baik (ADA 2005) bila glukosa darah sebelum makan: 90-130 mg/dl dan puncak glukosa darah sesudah makan < 180 mg/dl.

Urine

Pada orang normal, reduksi urine: negatif. Pemantauan reduksi urine biasanya 3x sehari dan dilakukan kurang lebih 30 menit sebelum makan. Atau 4x sehari, yaitu 1x sebelum makan pagi, dan yang 3x dilakukan setiap 2 jam sesudah makan. Pemeriksaan reduksi 3x sebelum makan lebih lazim dan lebih hemat.

Kriteria Diagnosis DM (Konsensus PERKENI 2002) Dinyatakan DM apabila terdapat:

1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200 mg/dl, plus gejala klasik: poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya atau

2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥ 126 mg/dl, atau

3. Kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah makan atau beban glukosa 75 gram pada TTGO. Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik. Untuk penelitian epidemiologi pada penduduk dianjurkan memakai kriteria diagnosis kadar glukosa darah puasa. Untuk DM Gestasional juga dianjurkan kriteria diagnosis yang sama.

TATALAKSANA I. INSULIN

Macam-macam insulin:

1. Insulin Konvensional, mengandung komponen a, b, dan c, misalnya: IR = Insulin Reguler (Novo dan Organon), NPH (Novo), PZI (Novo dan Organon) dan ada juga campuran IR:PZI = 30:70. Bentuk ini lebih imunogenik dan alergik, sebetulnya yang mempunyai efek biologis adalah komponen c saja.

2. Insulin Monokomponen = Insulin MC (Insulin Mono-Component = Highly Purified Insulin) = hanya mengandung komponen c (insulin murni),

(7)

misalnya Actrapid (short action, identik dengan insulin reguler), semuanya dari Novo Industries.

Ada juga Insulated (identik dengan NPH) dan Mixtard (campuran short

dan long acting insulin dengan perbandingan 30:70), keduanya dari

Novo Industries. Sediaan dari ketiganya beredar dalam bentuk Novolet @ 300 unit. Tetapi juga ada dari Eli Lilly dengan preparat yang sejenis seperti tersebut di bawah ini.

Produksi dari Eli Lilly, ada 3 macam:

a. Humulin-R, identik dengan Actrapid/Insulin Reguler b. Humulin-N, identik dengan Insulatard/NPH

Humulin 30/70 identik dengan Mixtard. IR = Insulin Reguler = short action

NPH = Neutral Protein Hagedorn = intermediate action

PZI = Protamine Zinc Insulin = long action

Insulin MC mempunyai efek alergik dan imunologis yang minimal bila dibandingkan dengan insulin konvensional.

3. Insulin manusia = Human Insulin (HM = Human Monocomponent).

Insulin ini kebanyakan dibuat dari E. coli (recombinant DNA). Insulin ini disebut juga BHI (biosynthetis human insulin) dan mempunyai susunan kimiawi sama dengan insulin manusia. Dikatakan, insulin HM ini mempunyai efek alergik dan imunologis yang minimal dibandingkan dengan kedua insulin tersebut di atas.

4. Insulin Analogues: ada 2 macam::

a. Rapid-Acting Insulin Analogues: Lis Pro (R/Humalog), Glulisin (R/Apidra), Aspar (R/Aspart).

b. Long-Acting Peakless Insulin Analogues: Insulin Glargine (R/Lantus), Insulin Detemir.

Preparat insulin: Insulin dipasaran mengandung komponen a, komponen b, dan komponen c. Komponen a dan b mengandung proinsulin dan bermacam impurities = “kotoran” (tidak mempunyai efek biologis), sedangkan komponen c mengandung insulin murni = Sanger Insulin, yang mempunyai efek biologis.

(8)

Komponen c inilah yang memiliki efek biologis pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein.

Half-life (waktu paruh) insulin hanya berkisar 7-10 menit. Half life insulin

intravena: 7 menit, subkutan 2 jam, dan intramuskular 4 jam. “nasib Insulin”: 50% bekerja di hepar, 50% ke sirkulasi umum (10-20% bekerja pada ginjal; 30-40% pada sel darah, otot, dan jaringan adiposa). Apabila terdapat kelainan pada target organ tersebut, akan tibul gangguan efisiensi insulin dan dangguan metabolisme karbohidrat. Degradasi insulin: 60-80% di hepar, 10-20% di ginjal, dan 10-20% di otot dan jaringan adiposa. Karena itu, kadar insulin akan meningkat pada sirosis hepatis dan gagal ginjal.

Semuanya ini insulin dalam vial. Sekarang ada Insulin Penfill HM U-100: yaitu insulin untuk suntikan dengan Novo-Pen (seperti Ball-point). Misalnya produksi Novo dan Lily: Actrapid Penfill HM-100 (short acting), Insulated Penfill HM 100 (intremediate), Mixtard Penfill HM 100 (campuran short:long = 30:70). Perhatikan:

1. Cara pemberian insulin i.v., i.m., s.c. harus diketahui indikasi, manfaat, dan efek sampingnya.

2. Insulin harus disimpan di tempat dingin antara 2-8oC, atau setaranya. Bila di atas 30oC akan rusak, dan di atas 50oC akan bergumpal. Insulin harus dihindarkan dari cahaya karena dapat menurunkan efek biologisnya.

Indikasi Terapi Insulin:

Indikasi mutlak penggunaan insulin adalah DMT1; namun demikian pda keadaan tertentu meskipun bukan DMT1 sering pula terapi insulin diberikan dengan tujuan agar tubuh memiliki jumlah insulin efektif pada saat yang tepat. Beberapa Cara Pemberian Insulin

Regulasi cepat intravena (RCI)

1. Jangan memberikan cairan yang mengandung karbohidrat apabila kadar glukosa masih di atas 250 mg/dl. Pasanglah infus Ringer Laktat atau NaCl 0,9% dengan kecepatan 15-20tetes/menit (bila bukan ketoasidosis

(9)

2. Berikan Insulin Reguler Intravena 4 (empat) unit tiap jam sampai kadar glukosa darah sekitar 200 mg/dl atau reduksi urin positif lemah.

3. Cara RCI: dengan dosis insulin reguler 4 unit/jam intravena, dapat menurunkan glukosa darah sekitar 50-75 mg/dl setiap jamnya.

Contoh: Pada glukosa darah 450 mg/dl, berikan insulin reguler intravena 4 unit/jam sampai 3 kali (Rumus Minus-Satu), maka akan memperoleh glukosa darah sekitar 200 mg/dl. Angka 3 kali diperoleh dari: 4 dikurangi satu (Rumus Minus-Satu). Angka 4 berasal dari 450 mg/dl.

4. Apabila kadar glukosa tersebut sudah tercapai, maka insulin reguler dapat diteruskan secara subkutan dengan interval 8 jam dengan dosis 3x8 U (Rumus Kali-Dua). Angka 8 berasal dari 4x2 (Rumus Kali-Dua). Sedangkan angka 4 berasal dari 450 mg/dl.

5. Glukosa 450 mg/dl juga dapat mengikuti rumus 1, 2, 3, 4, 5 untuk Regulasinya, dan dapat menggunakan Rumus 4, 6, 8, 10, 12 untuk maintenance subkutannya.

Regulasi Cepat Subkutan (RCS)

Apakah cara RCI atau RCS yang dipilih, sesuaikanlah dengan kondisi, situasi, dan fasilitas setempat. Tergantung kadar glukosa acak awal yang diperoleh, maka berikan insulin subkutan dengan dosis awal ekstra, kemudian maintenance insulin 3x sehari dengan pedoman dosis.

Indikasi RCI dan RCS pada umumnya adalah untuk kasus-kasus yang memerlukan kadar glukosa darah harus segera diturunkan, bahkan pada DM kasus biasa (non darurat) yang dirawat inap, misalnya penderita dengan DM-sepsis pro operasai (gangren, kolesistitis, batu ginjal, dan lain-lain), DM dengan GPDO (Stroke-CVA), DM pro amputasi, DM dan Infark Miokard Akut, semua DM rawat inap dengan glukosa darah > 250 mg/dl (agar NPE dapat dimulai), dan lain-lain.

(10)

2. HIPOGLIKEMIA RINGAN KRITERIA DIAGNOSIS

Klinik: riwayat DM sebelumnya, timbul gangguan saraf berupa gelisah sampai berat berupa koma dengan kejang.

Laboratorium: kadar gula darah < 50 mg/dl

Trias Whipple, yaitu adanya kadar gula darah yang rendah, timbul gejala-gejala, hilangnya gejala dengan peningkatan kadar glukosa ke level normal.

GEJALA

• Parasimpatis : lapar, mual

• Simpatis : keringat dingin, berdebar-debar

• Gangguan otak ringan : lemah, sulit menghitung

• Gangguan otak berat : koma, dengan/tanpa kejang TERAPI

• Gula murni 30 g (2 sendok makan), sirup, atau makanan yang mengandung karbohidrat

• Koma  Glukosa 40% IV sebanyak 20-50 cc, setiap 10-20 menit sampai pasien sadar, disertai infus dextrose 10% 6 jam/kolf

• Bila belum teratasi, dapat diberikan antagonis insulin (adrenalin, kortison, atau glukagon)

(11)

3. DEFISIENSI VITAMIN DEFISIENSI VITAMIN A Satuan Yang Digunakan

1,0 g Retinol Ekivalen (RE) = 1,0 µg retinol = 6,0 µg beta-karoten = 12,0 µg karotenoid lain

= 3,3 SI(Satuan Internasional) retinol = 9,9 SI beta-karoten

KEBUTUHAN VITAMIN A

Pemenuhan kebutuhan vitamin A sangat penting untuk pemeliharaan kelangsungan hidup secara normal. Kebutuhan tubuh akan vitamin A untuk orang Indonesia telah dibahas dan ditetapkan dalam Widyakarya Nasional pangan dan Gizi (2007) dengan mempertimbangkan faktor-faktor khas dari kesehatan tubuh orang Indonesia.

Daftar Kecukupan Vitamin A

Golongan Umur Kebutuhan Vitamin A

(RE) Bayi Balita Pria Wanita 0 – 6 bulan 7 – 12 bulan 1 – 3 tahun 4 – 6 tahun 7 – 9 tahun 10 – 12 tahun 13 – 15 tahun 16 – 19 tahun 20 – 45 tahun 46 – 59 tahun >60 tahun 10 – 12 tahun 13 – 15 tahun 16 – 19 tahun 350 350 350 460 400 500 600 700 700 700 600 500 500 500

(12)

Hamil Menyusui 20 – 45 tahun 46 – 59 tahun >60 tahun 0 – 6 bulan 7 – 12 bulan 500 500 500 + 200 + 350 + 300

PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN

Pencegahan dan pengobatan di kutip berdasarkan keterangan dari brosur suplementasi vitamin A kapsul yang terdiri dari :

a. Kapsul vitamin A berwarna biru (100.000 IU)

Tiap kapsul mengandung vitamin A palmitat 1,7 juta IU 64.7059 mg (setara dengan vitamin A 100.000 IU) dengan dosis:

1) Pencegahan bayi umur 6 bulan – 11 bulan : 1 kapsul 2) Bayi dengan tanda klinis xerofthalmia :

- Saat ditemukan segera beri 1 kapsul - Hari berikutnya 1 kapsul

- 4 minggu berikutnya 1 kapsul

3) Bayi dengan campak, pneumonia, diare, gizi buruk dan infeksi lainnya diberi 1 kapsul.

b. Kapsul vitamin A berwarna merah (200.000 IU) tiap kapsul vitamin A mengandung palmitat 1,7 juta IU 129.5298 mg (setara dengan vitamin A 200.000 IU) dengan dosis :

1) Pencegahan bayi umur 1 tahun – 3 tahun : 1 kapsul 2) Bayi dengan tanda klinis xerofthalmia :

- Saat ditemukan segera beri 1 kapsul - Hari berikutnya 1 kapsul

- 4 minggu berikutnya 1 kapsul

3) Bayi dengan campak, pneumonia, diare, gizi buruk dan infeksi dan infeksi lainnya diberi 1 kapsul.

(13)

JADWAL PEMBERIAN DOSIS VITAMIN

Anak-anak yang mengalami gizi kurang mempunyai resiko yang tinggi untuk mengalami kebutaan sehubungan dengan defisiensi vitamin A, karena alasan ini vitamin A dosis tinggi harus diberikan secara rutin untuk semua anak yang mengalami gizi kurang pada hari pertama, kecuali bila dosis yang sama telah diberikan pada bulan yang lalu. Dosis tersebut adalah sebagai berikut: 50.000 IU untuk bayi berusia < 6 bulan, 100.000 IU untuk bayi berumur 6 - 12 bulan , dan 200.000 IU untuk anak berusia > 12 bulan. Jika terdapat tanda klinis dari defisiensi vitamin A (seperti rabun senja, xerosis konjungtiva dengan bitot’s spot, xerosis kornea atau ulceration, atau ketomalasia), maka dosis yang tinggi harus diberikan untuk dua hari pertama, diikuti dosis ketiga sekurang-kurangnya 2 minggu kemudian.

DEFISIENSI VITAMIN K

Tabel dibawah mengambarkan perdarahan defisiensi vitamin K pada anak.

Tabel : Perdarahan akibat defisiensi vitamin K pada anak VKDB dini VKDB klasik VKDB lambat

(APCD)

Secondary PC deficien cy

Umur < 24 jam 1-7 hari (terbanyak

3-5 hari) 2 minggu-6 bulan (terutama 2-8 minggu) Segala usia Penyebab & Faktor resiko Obat yang diminum selama kehamilan - Pemberian makanan terlambat - Intake Vit K inadekuat

- Kadar vit K rendah pada ASI

- Tidak dapat

- Intake Vit K inadekuat

- Kadar vit K rendah pada ASI - Tidak dapat profilaksis vit K - obstruksi bilier -penyakit hati -malabsorbsi -intake kurang (nutrisi parenteral)

(14)

profilaksis vit K Frekuensi < 5% pada kelompok resiko tinggi 0,01-1% (tergantung pola makan bayi) 4-10 per 100.000 kelahiran (terutama di Asia Tenggara) Lokasi perdarahan Sefalhematom, umbilikus, intrakranial, intraabdominal, GIT, intratorakal GIT, umbilikus, hidung, tempat suntikan, bekas sirkumsisi, intrakranial Intrakranial (30-60%), kulit, hidung, GIT, tempat suntikan, umbilikus, UGT, intratorakal Pencegahan -penghentian / penggantian obat penyebab

-Vit K profilaksis (oral / im)

- asupan vit K yang adekuat

Vit K profilaksis (im) - asupan vit K yang adekuat

Sebagai Penatalaksanaan, pencegahan yang disarankan berupa pemberian vitamin K Profilaksis:

• Vitamin K1 pada bayi baru lahir 1 mg im (dosis tunggal) atau per oral 3 kali atau 2 mg pada waktu bayi baru lahir, umur 3-7 hari dan umur 1-2 tahun

• Ibu hamil yang mendapat pengobatan antikonvulsan mendapat profilaksis vitamin K1 5 mg/hari selama trimester ketiga atau 10 mg im pada 24 jam sebelum melahirkan. Selanjutnya bayinya diberi vitamin K1 1 mg im dan diulang 24 jam kemudian

PENGOBATAN

•Vitamin K1 dosis 1-2 mg/hari selama 1-3 hari

(15)

4. DISLIPIDEMIA

Klasifikasi kadar lipid plasma menurut National Cholesterol Education Program

(NCEP) Adult Treatment Panel (ATP) III Kolesterol Total  < 200  200-239  ≥ 240 Yang diinginkan Batas tinggi Tinggi Kolesterol LDL  < 100  100-129  130-159  160-189  ≥ 190 Optimal Di atas optimal Batas tinggi Tinggi Sangat tinggi Kolesterol HDL  < 40  > 60 Rendah Tinggi Trigliserida  < 150  150-199  200-499  ≥ 500 Normal Batas tinggi Tinggi Sangat tinggi PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan laboratorium berperan penting untuk menegakkan diagnosis dislipidemia. Untuk itu diperlukan prosedur cara pemeriksaan dan cara pelaporan yang baku di semua pusat penelitian, agar data yang diperoleh dapat dibandingkan dan dianalisis. Parameter yang diperiksa adalah: kadar kol-total, kol-LDL, kol-HDL, dan TG.

1. Persiapan

(16)

 Pengukuran kadar lipid paling baik dilakukan pada waktu subyek dalam keadaan sehat dan metabolik stabil. Tidak ada perubahan berat badan, pola makan, kebiasaan merokok, olahraga, minum kopi/alkohol dalam 2 minggu terakhir sebelum diperiksa, dan tidak sakit berat atau operasi besar dalam 2 bulan terakhir.

 Penderita dengan demam, sebaiknya pemeriksaan lipid dilakukan 2 minggu setelah bebas demam.

 Penderita infark miokard akut, kadar kolesterol akan menurun 24 jam – 3 blan pascainfark, oleh karena itu contoh darah dalam 24 jam pertama masih memberikan gambaran kolesterol yang sebenarnya.  Beberapa kepustakaan menganjurkan 2 kali pemeriksaan (antara 1-8

minggu) untuk mendapatkan gambaran kadar yang sebenarnya sebelum dimulai dengan pengobatan.

 Tidak mendapat obat yang mempengaruhi kadar lipid dalam 2 minggu terakhir.

Bila hal tersebut memungkinkan, pemeriksaan tetap dilakukan tetapi dengan disertai catatan.

2. Pengambilan Bahan Pemeriksaan

 Untuk pemeriksaan TG dibutuhkan puasa 12 jam (semalam)

 Pemeriksaan kol-LDL pada saat ini dapat diperiksa secara direk, sehingga untuk pemeriksaan kol-LDL, kol-total, dan kol-HDL tidak perlu puasa. Mengingat sebagian besar laboratorium masih menggunakan rumus Friedewald untuk menghitung kadar kol-LDL dengan sendirinya pemeriksaan lipid tetap harus berpuasa.

 Sebelum sampel diambil, subyek duduk selama 5 menit.

 Sampel diambil dengan melakukan bendungan vena seminimal mungkin.

 Bahan yang diambil adalah serum. a. Analisis

(17)

 Analisis dilakukan di laboratorium yang telah mengikuti program pemantapan mutu.

 Analisis kol-total dan TG dilakukan dengan metode enzimatik.

 Kol-HDL dan kol-LDL diperiksa dengan metode presipitasi dan enzimatik.

 Kadar kol-LDL sebaiknya diukur secara langsung atau dapat juga dihitung menggunakan rumus Friedewald kalau kadar TG < 400 mg/dl, sebagai berikut:

PENGELOLAAN DISLIPIDEMIA Upaya Non-Farmakologis Perubahan gaya hidup

a. Merokok sigaret: harus segera dihentikan

b. Menurunkan berat-badan: dengan latihan jasmani dan pengaturan makan

c. Pembatasan asupan alkohol: terutama pada penderita hipertrigliseridemia.

Pengaturan makan

a. Kurangi asupan lemak total, lemak jenuh, dan kolesterol

b. Tingkatkan proporsi lemak MUFA dan PUFA (Mono dan Poly Unsaturated Fatty Acid)

Untuk menurunkan kadar trigliserid perlu ditambahkan pengurangan total kalori, asupan karbohidrat dan alkohol. Evaluasi hasil perubahan gaya hidup dilakukan setiap 3 bulan untuk mengevaluasi hasil yang telah dicapai.

Derajat penurunan kadar kol-LDL yang dicapai dengan diet bergantung pada pola makan sebelum dimulainya diet, tingkat kepatuhan, dan respons biologis secara umum, pasien dengan kadar kolesterol yang tinggi mengalami penurunan kadar kol-LDL yang besar dibanding yang kadar awalnya rendah.

Kadar kol. LDL = kol. total – kol. HDL – 1/5 TG

(18)

Perlu diingatkan bahwa tempe adalah sumber protein nabati yang baik dan murah serta dapat menurunkan kadar kol-total, TG, dan juga menaikkan kadar kol-HDL.

Latihan jasmani

1. Pemanasan dengan peregangan selama 5-10 menit

2. Aerobik sampai denyut jantung sasaran, yaitu 70-85% dari denyut jantung maksimal (220-umur), selama 20-30 menit

3. Pendinginan dengan menurunkan intensitas secara perlahan-lahan, selama 5-10 menit.

Frekuensi latihan direkomendasikan 3-4 kali seminggu selama 30-40 menit setiap kalinya. Jenis latihan yang dipilih sebaiknya berkesinambungan (continuous), berirama (rhytmical), interval, progresif, dan bersifat meningkatkan daya tahan (endurance). Pada pasein dengan faktor risiko ringan, kurang olahraga, dan usia lanjut, latihan jasmani berbentuk jalan kaki cepat cukup efektif untuk memperbaiki dislipidemia.

Upaya Farmakologis

Obat Kol-LDL Kol-HDL TG

Statin ↓ 18-55% ↑ 5-15% ↓ 7-30%

Resin 15-30% ↑ 3-5% -/↑

Fibrat ↓ 5-25% ↑ 10-20% ↓ 20-50%

Asam nikotinat ↓ 5-25% ↑ 15-35% ↓ 20-50%

Pilihan obat penurun lipid sesuai dengan jenis dislipidemia

Dislipidemia Obat terpilih

Hiperkolesterolemia Statin atau Resin atau kombinasi

Dislipidemia campuran Statin atau kombinasi dengan fibrat

Hipertrigliseridemia Fibrat

Isolated low-HDL-cholesterol Fibrat

Obat hipolipidemik, Dosis, dan Efek Sampingnya

Obat Dosis Efek Samping

(19)

Kolestipol

Gol. Asam Nikotinat Asam nikotinat Golongan Statin Fluvastatin Lovastatin Pravastatin Simvastatin Atorvastatin Rosuvastatin

Golongan Asam Fibrat Bezafibrat Fenofibrat Gemfibrozil Cholesterol Absorption Inhibitor Ezotimibe 5-20 gram/hari Immediate release 1,5-3 g/hari Extended release 1-2 g/hari Sustained release 1-2 g/hari 20-80 mg malam hari 5-40 mg malam hari 5-40 mg malam hari 5-40 mg malam hari 10-80 mg 1 x/hari 10-40 mg 1 x/hari 200 mg, 3x/hari atau 400 mg, 1x/hari ((retard) 160 mg supra 1x/hari 600 mg, 2x/hari 900 mg, 1x/hari 10 mg, 1x/hari

absorpsi obat lain

Flushing, hiperglikemia, hiperurikemia, hepatotoksik, gangguan saluran cerna Miopati, peningkatan SGOT/SGPT

Dispepsia, batu empedu, miopati

Kontraindikasi:

gangguan fungsi

hati/ginjal yang berat

Dispepsia, sakit

(20)

5. OBESITAS

Wilayah Asia Pasifik pada saat ini telah mengusulkan kriteria dan klasifikasi obesitas sendiri. Klasifikasi IMT (kg/m2) Risiko Ko-Morbiditas Lingkar Perut < 90 cm (Laki-laki) < 80 cm (Perempuan) ≥ 90 cm (Laki-laki) 80 cm (Perempuan) Berat Badan Kurang < 18,5 Rendah (risiko meningkat pada

masalah klinis lain)

Sedang

Kisaran Normal 18,5-22,9 Sedang Meningkat

Berat Badan Lebih Berisiko Obes I Obes II ≥ 23,0 23,0-24,9 25,0-29,9 ≥ 30,0 Meningkat Moderat Berat Moderat Berat Sangat berat TATALAKSANA

Terapi penurunan berat badan yang sukses meliputi empat pilar, yaitu diet randah kalori, aktivitas fisik, perubahan perilaku dan obat-obatan/bedah. Tujuan Penurunan Berat Badan

Penurunan berat badan harus SMART: Spesific, Measurable, Achieable, Realistic, and Time limited. Tujuan awal dari terapi penurunan berat badan adalah untuk mengurangi berat badan sebesar sekitar 10% dari berat awal.

Batas waktu yang masuk akal untuk penurunan berat badan sebesar 10% adalah 6 bulan terapi. Untuk pasien overweight dengan rentang BMI sebesar 27 sampai 35, penurunan kalori sebesar 300 hingga 500 kkal/hari akan menyebabkan penurunan berat badan sebesar ½ sampai 1 kg/minggu dan penurunan sebesar 10 persen dalam 6 bulan.

(21)

Setelah 6 bulan, kecepatan penurunan berat badan lazimnya akan melambat dan berat badan menetap karena seiring dengan berat badan yang berkurang terjadi penurunan energi ekspenditure.

Oleh karena itu, setelah tercapai penurunan berat badan selama 6 bulan, suatu program penurunan berat badan harus dilakukan. Jika dibutuhkan penurunan berat badan lebih banyak, dapat dilakukan penyesuaian lebih lanjut terhadap anjuran diet dan aktivitas fisik.

Untuk pasien yang tidak mampu untuk mencapai penurunan berat badan yang signifikan, pencegahan kenaikan berat badan lebih lanjut merupakan tujuan yang paling penting. Pasien seperti ini tetap diikutsertakan dalam program manajemen berat badan.

Strategi Penurunan dan Pemeliharaan Berat Badan Terapi Diet

Sebelum menganjurkan defisit kalori sebesar 500 hingga 1000 kkal/hari sebaiknya diukur kebutuhan energi basal pasien terlebih dahulu. Pengukuran kebutuhan energi basal dapat menggunakan rumus dari Harris-Benedict:

Laki-laki:

B.E.E = 66,5 + (13,75 x kg) + (5,003 x cm) – (6,775 x age) Wanita:

B.E.E = 655,1 + (9,563 x kg) + (1,850 x cm) – (4,676 x age)

Kebutuhan kalori total sama dengan BEE dikali dengan jumlah faktor stres dan aktivitas. Faktor stres ditambah aktivitas berkisar dari 1,2 sampai lebih dari 2. Di samping pengurangan lemak jenuh, total lemak seharusnya kurang dan sama dengan 30 persen dari total kalori. Pengurangan persentase lemak dalam menu sehari-hari saja tidak dapat menyebabkan penurunan berat badan, kecuali total kalori juga berkurang. Ketika asupan lemak dikurangi, prioritas harus diberikan untuk mengurangi lemak jenuh. Hal tersebut bermaksud untuk menurunkan kadar kolesterol-LDL.

(22)

Untuk pasien obese, terapi harus dimulai secara perlahan, dan intensitasnya sebaiknya ditingkatkan secara bertahap. Latihan dapat dilakukan seluruhnya pada satu saat atau secara bertahap sepanjang hari.

Pasien dapat memulai aktivitas fisik dengan berjalan selama 30 menit dengan jangka waktu 3 kali seminggu dan dapat ditingkatkan intensitasnya selama 45 menit dengan jangka waktu 5 kali seminggu. Dengan regimen ini, pengeluaran energi tambahan sebanyak 100 sampai 200 kalori per hari dapat dicapai.

Terapi Perilaku

Strategi yang spesifik meliputi pengawasan mandiri terhadap kebiasaan makan dan aktivitas fisik, manajemen stres, stimulus control, pemecahan masalah, contigency management,cognitive restructuring dan dukungan sosial. Farmakoterapi

Pada pasien dengan indikasi obesitas, sibutramine dan orlistat sangat berguna. Sibutramine ditambah diet rendah kalori dan aktivitas fisik terbukti efektif menurunkan berat badan dan mempertahankannya. Dengan pemberian sibutramine dapat muncul peningkatan tekanan darah dan denyut jantung. Sibutramine sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan riwayat hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, aritmia, atau riwayat stroke. Orlistat menghambat absorpsi lemak sebanyak 30 persen. Dengan pemberian orlistat, dibutuhkan penggantian vitamin larut lemak karena terjadi malabsorpsi parsial. Semua pasien harus dipantau untuk efek samping yang timbul. Pengawasan secara berkelanjutan oleh dokter dibutuhkan untuk mengawasi tingkat efikasi dan keamanan.

Terapi Bedah

Terapi bedah merupakan salah satu pilihan untuk menurunkan berat badan. Terapi ini hanya diberikan kepada pasien obesitas berat secara klinis dengan BMI ≥ 40 atau ≥ 35 dengan kondisi komorbid. Terapi bedah ini harus dilakukan sebagai alternatif terakhir untuk pasein yang gagal dengan farmakoterapi dan menderita komplikasi obesitas yang ekstrem.

(23)

Bedah gastrointestinal (restriksi gastrik [banding vertical gastric] atau

bypass gastric (Roux-en Y) adalah suatu intervensi penurunan berat badan pada subyek yang bermotivasi dengan risiko operasi yang rendak.

Suatu program yang terintegrasi harus dilakukan baik sebelum maupun sesudah untuk memberikan panduan diet, aktivitas fisik, dan perubahan perilaku serta dukungan sosial.

(24)

6. LIMFADENITIS TUBERKULOSIS GAMBARAN KLINIS

- Pembesaran kelenjar getah bening yang lambat

- Unilateral atau bilateral

- Tunggal maupun multipel

- Tidak nyeri

- Paling sering berlokasi di regio servikalis posterior dan yang lebih jarang di regio supraklavikular

- Demam

- Penurunan berat badan

- Fatigue

- Keringat malam

Limfadenopati tuberkulosis perifer dapat diklasifikasikan ke dalam lima stadium yaitu:

a. Stadium 1, pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile dan diskret.

b. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksasi ke jaringan sekitar oleh karena adanya periadenitis.

c. Stadium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat pembentukan abses.

d. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess.

(25)

Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit. Kelenjar limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali:

a. terjadi infeksi sekunder bakteri

b. pembesaran kelenjar yang cepat atau

c. koinsidensi dengan infeksi HIV. DIAGNOSIS

Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa limfadenitis TB :

a. Pemeriksaan mikrobiologi

- Pemeriksaan mikroskopis  minimal 10.000 basil TB agar perwarnaan dapat positif.

- Kultur  10-100 basil/mm3 cukup untuk membuat hasil kultur positif. b. Tes Tuberkulin

Positif apabila terbentuk indurasi lebih dari 10 mm, intermediat apabila indurasi 5-9 mm, negatif apabila indurasi kurang dari 4 mm.

c. Pemeriksaan Sitologi

Pada pemeriksaan sitologi akan terlihat Langhans giant cell, granuloma epiteloid, nekrosis kaseosa.

d. Pemeriksaan Radiologis

Foto toraks dapat menunjukkan kelainan yang konsisten dengan TB paru pada 14-20% kasus. Lesi TB pada foto toraks lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan dewasa, yaitu sekitar 15% kasus.

USG kelenjar dapat menunjukkan adanya lesi kistik multilokular singular atau multipel hipoekhoik yang dikelilingi oleh kapsul tebal. Pada pembesaran kelenjar yang disebabkan oleh infeksi TB biasanya ditandai dengan fusion tendency, peripheral halo, dan internal echoes.

Pada CT scan, adanya massa nodus konglumerasi dengan lusensi sentral, adanya cincin irregular pada contrast enhancement serta nodularitas di dalamnya, derajat homogenitas yang bervariasi, adanya manifestasi inflamasi pada lapisan dermal dan subkutan mengarahkan

(26)

pada limfadenitis TB. Pada MRI didapatkan adanya massa yang diskret, konglumerasi, dan konfluens. Fokus nekrotik, jika ada, lebih sering terjadi pada daerah perifer dibandingkan sentral, dan hal ini bersama-sama dengan edema jaringan lunak membedakannya dengan kelenjar metastatik (Bayazit & Namiduru, 2004).

PENATALAKSANAAN

Pengobatan gejala harus dimulai segera seperti pemberian: a. Analgesik (penghilang rasa sakit) untuk mengontrol nyeri b. Antipiretik dapat diberikan untuk menurunkan demam

c. Antibiotik untuk mengobati setiap infeksi sedang sampai berat d. Obat anti inflamasi untuk mengurangi peradangan

e. Kompres dingin untuk mengurangi peradangan dan nyeri f. Operasi mungkin diperlukan untuk mengeringkan abses.

Hindari pemberian aspirin pada anak karena dapat meningkatkan risiko sindrom Reye pada anak. Kegagalan untuk mengecil setelah 4-6 minggu dapat menjadi indikasi untuk dilaksanakan biopsy kelenjar getah bening. Biopsy dilakukan bila terdapat tanda dan gejala yang mengarahkan kepada keganasan, kelenjar getah bening yang menetap atau bertambah besar dengan pengobatan yang tepat, atau diagnosis belum dapat ditegakkan. Secara umum pengobatan Limfadenitis yaitu :

a. Pengobatan dilakukan dengan tuberkulositik bila terjadi abses, perlu dilakukan aspirasi dan bila tidak berhasil, sebaiknya dilakukan insisi serta pengangkatan dinding abses dan kelenjar getah bening yang bersangkutan.

b. Virus  sembuh sendiri.

c. Bakteri flucloxacillin dosis : 25 mg/kgBB 4 kali sehari.

Bila ada reaksi alergi terhadap antibiotik golongan penicillin dapat diberikan cephalexin dengan dosis : 25 mg/kgBB (dosis maksimal 500

(27)

mg) 3 kali sehari atau erythromycin 15 mg/kgBB (dosis maksimal : 500 mg) 3 kali sehari.

d. Mycobacterium tuberculosis maka diberikan obat anti tuberculosis selama 9-12 bulan  2RHZE/10RH.

7. MALARIA GEJALA KLINIS

Masa tunas P. Vivax dan falciparum antara 10-14 hari, P. Malariae

antara 18 hari sampai 6 minggu. Pada masa prodromal gejala tidak khas: menggigil, demam, nyeri kepala, nyeri otot (terutama punggung), nafsu makan menurun, dan cepat lelah.

Gejala khas: serangan berulang paroksismal dari rangkaian gejala menggigil – demam – berkeringat disusul dengan periode rekonvalesensi.

Pada P. Vivax serangan demam terjadi tiap hari ketiga (malaria tertiana).

P. Falciparum kurang dari 48 jam (malaria tropika/subtertiana) dan P. Malariae

tiap 72 jam (malaria kuartana).

Gejala-gejala lain: ikterus, anemia, hepatomegali, hipotensi postural, urobilinuria, dan kadang-kadang diare.

DIAGNOSIS

1. Diagnosis per eksklusionum - Anamnesis:

o Penderita baru bepergian ke daerah endemis malaria.

o Di Jawa Timur pun yang beberapa masa lalu dinyatakan bebas malaria muncul kembali sebagai reemerging disease.

o Adanya rangkaian gejala: menggigil, demam tinggi, berkeringat banyak, disusul stasium sembuh, gejala tersebut bersifat serangan berulang (paroksismal). Air seni berwarna merah seperti teh, nyeri kepala dan otot (terutama otot punggung), nafsu makan menurun.

(28)

- Fisik: pucat, anemia, ikterus, hipotensi postural, hepatomegali, splenomegali.

- Dengan pengobatan anti malaria penderita sembuh (pengobatan eksjuvan-tibus).

2. Diagnosis laboratorik

- Air seni berwarna merah seperti air teh karena mengandung urobilin; anemia hemolitik; pada sediaan darah tipis dan tebal nampak adanya parasit malaria dalam eritrosit (pengecatan Giemsa atau Wright).

- P. vivax: pada hapusan darah tipis maupun tebal dapat dilihat eritrosit yang mengandung parasit membesar, terdapat titik Schoeffner dan sitoplasmanya berbentuk ameboid.

- P. ovale: mirip P. vivax, hanya eritrosit yang mengandung parasit berbentuk oval.

- P. malariae: pada sediaan tipis, nampak parasit berbentuk pita (band), skizon berbentuk bunga mawar dan trofozoid bulat kecil-kecil nampak kompak dengan tumpukan pigmen yang kadang-kadang menutupi sitoplasma/inti atau keduanya.

- P. falciparum: pada sediaan darah tipis, nampak gametosit berbentuk pisang; terdapat bentuk maurer.

- Pada sediaan tetes tebal, nampak banyak sekali bentuk cincin kecil-kecil tanpa bentuk dewasa yang lain (stars in the sky); terdapat bentukan balon merah di sisi luar gametosit.

- Pemeriksaan QBC (Semi Quantitative Buffy Coat)

- Pemeriksaan imunoserologi, dengan metode RIA atau ELISA.

DIAGNOSIS BANDING

Influenza, gastroenteritis, salmonellosis, dan leptospirosis.

(29)

I. Chloroquine: hari ke-1 dan ke-2 masing-masing dosis tunggal 600 mg (basa), hari ke-3 300 mg, ditambah primaquine dosis tunggal 15 mg/hari pada hari ke-1 s/d 3.

II. Malaria falsiparum yang kebal Chloroquine.

a. Sulphadoxin-primethamine dosis tunggal 3 tablet, ditambah primaquine dosis tunggal 45 mg pada hari ke-1.

b. Kina sulfat: 3 x 400 mg/hari selama 7 hari, dosis tunggal 45 mg pada hri ke-1. Kemudian dapat diikuti: Doxycycline 2 x 100 mg/hari selama 7 hari atau clindamycine 900 mg/hari selama 5 hari.

III. Malaria vivaks, ovale, dan malariae

Chloroquine: hari ke-1 dan ke-2 masing-masing dosis tunggal 600 mg (basa) hari ke-3 300 mg, ditambah primaquine dosis tunggal 15 mg/hari pada hari ke-1 s/d ke-5

IV. Malaria dengan penyulit (malaria pernisiosa), misalnya malaria serebralis:

a. Kina dihidroklorida 600 mg dalam 500 ml dextrose 5% diberikan secara infus intravena selama 4 jam, dapat diulang tiap 8 jam. Atau kina hidroklorida 20 mg/kgBB dalam 500 ml dextrose 5% diberikan selama 4 jam diikuti 10 mg/kgBB diberikan dalam 2-4 jam dan dapat diulang setiap 8 jam (dosis maksimum 1800 mg/hari).

b. Chloroquine sulfat 300 mg dalam 200 ml garam faali diberikan secara infus intravena selama 30 menit, dapat diulang tiap 8 jam. Bila penderita sudah sadar, secepatnya sisa obat diberikan peroral sesuai dengan pengobatan radikal.

Pengelolaan malaria falsiparum berat:

1. Chloroquine atau kina, parenteral dengan dosis adekuat, seperti tersebut di atas.

2. Turunkan suhu badan apabila terjadi hiperpireksia dengan antipiretik dan kompres.

3. Rehidrasi (hati-hati terjadi over-hydration yang merupakan risiko edema paru)

(30)

4. Antikonvulsan apabila terjadi kejang-kejang

5. Pertimbangkan dexamethasone pada malaria serebralis. 6. Obati gagal ginjal yang terjadi dengan dialisis peritoneal 7. Transfusi darah untuk penderita anemia berat

8. Cairan dan plasma expander apabila terjadi renjatan (algid malaria)

9. Pertimbangakan exchange transfusion pada penderita koma dengan parasitemia berat

10. Awasi kemungkinan terjadinya hipoglikemia, bila ada obati dengan infus dextrosa.

Pengobatan supresif atau presumtif

Diterapkan pada penderita semi-imun di daerah endemis malaria

1. Untuk malaria falsiparum kebal Chloroquine: Chloroquine dosis tunggal 600 mg satu kali.

2. Malaria falsiparum kebal Chloroquine: Chloroquine dosis tunggal 600 mg satu kali, ditambah primaquine dosis tunggal 45 mg satu kali.

Pengelolaan alternatif lain untuk malaria falsiparum kebal Chloroquine

1. Amodiaquine: hari ke-1 600 mg, disambung 6 jam kemudian dengan 400 mg, hari ke-2 400 mg dan hari ke-3 400 mg. Dapat digabung dengan erythromycine 3 x 500 mg/hari selama 5 hari.

2. Kombinasi kina dengan tetracycline. Kina 3 x 400 mg selama 7 hari dikombinasi dengan tetracycline 3 x 500 mg selama 5 hari.

(31)

8. REAKSI ANAFILAKSIS PENATALAKSANAAN

Pengobatan terhadap anafilaksis seyogyanya mengikuti prinsip-prinsip resusitasi gawat darurat seperti tabel di bawah ini.

• Segera berikan suntikan Epinefrin 1:1000 0,3 ml intramuskular di daerah deltois paha lateral (vastus lateralis)

• Hentikan obat-obat atau senyawa yang diduga sebagai pencetus anafilaksis (obat-obat intravena,antibiotik, media kontras radiografi, produk yang berasal dari darah, sengat serangga, dll)

• Ukur tekanan darah dan nadi, pertimbangkan tindakan resusitasi kardiopulmoner

• Bergantung pada derajat keparahan reaksi, respons terhadap pengobatan dan kondisi masing-masing penderita, berikan:

Terapi oksigen melalui masker atau kanula hidung Infus cairan garam fisiologis intravena

Diphenhydramine 50 mg intramuskuler atau intravena (secara perlahan)

Ranitidin 50 mg atau Cimetidine 300 mg intravena (bila diperlukan) Methylprednisolone 125 mg intravena atau Hydrocortisone 100-200 mg intravena

• Ulangi pemberian epinefrin tiap 15-20 menit bila diperlukan

• Waspadai kemungkinan hipotensi dan kondisi yang memerlukan intubasi

• Bila tekanan darah darah sistolik < 90 mmHg, lakukan: Pasang 2 jalur infus dengan diameter besar (18 G) Berikan cairan garam fisiologis tetasan cepat (diguyur)

Dopamin 400 mg (2 ampul) dalam 500 ml Dextrose 5% tetesan cepat hingga tekanan darah sistolik > 90 mmHg lalu dititrasi secara perlahan

(32)

(Levophed) 2 mg (1 ampul) dalam 250 ml Dextrose 5% titrasi secara perlahan setelah tekanan darah sistolik mencapai > 90 mmHg

• Bila terjadi bronkospasme, wheezing atau sesak nafas, berikan: Epinefrin seperti petunjuk di atas, bila tidak efektif pertimbangkan Salbutamol/Terbutalin secara nebulisasi atau inhalasi (2 semprotan) Oksigen hingga 100% menggunakan masker

• Bila dijumpai stridor

Epinefrin seperti petunjuk di atas

Oksigen hingga 100% menggunakan masker

Intubasi atau trakeostomi untuk mengatasi obstruksi saluran nafas atas Langkah yang cepat dan tepat sangat menentukan hasil akhir pengobatan. Semakin lama pengobatan awal tertunfa, semakin besar angka kematian. Bebaskan jalan nafas dan pertahankan sirkulasi darah yang adekuat. Langkah pertama yang harus segera dilakukan adalah pemberian Epinefrin (adrenalin) dalam larutan 1:1000 secara intramuskular di daerah lengan sebelah luar (otot deltoid)atau paha sebalah luar (otot vastus lateralis) dengan dosis 0,3 ml (0,01 ml/kgBB). Dosis tersebut dapat diulang tiap 15-20 menit bila diperlukan. Penderita yang mendapat terapi penyekat β seringkali resisten terhadap epinefrin sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi. Bila anafilaksis disebabkan oleh sengatan binatang atau suntikan obat di daerah ekstremitas perlu diapsang torniket di sebelah proksimal sengatan atau suntikan. Torniket ini perlu dilepaskan selama 1-2 menit setiap 10 menit. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik secara tepat dan menyeluruh untuk menentukan organ sasaran yang terkena agar pengobatan yang sesuai dapat segera diberikan.

Kortikosteroid tidak banyak membantu pada tatalaksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi yang sedang hingga berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang. Methylprednisolone 125 mg intravena dapat diberikan tiap 4-6 jam.

• Syok

(33)

posisi Trendelenberg dengan tungkai yang dielevasi. Setelah pemberian Epinefrin 1:1000 intramuskular dengan dosis 0,3-0,5 ml (0,01 ml/kgBB) pada lengan atas (deltoid) atau paha lateral (vastus lateralis), selanjutnya segera dipasang 2 jalur infus dengan cairan larutan garam fisiologis tetesan cepat (guyur). Berikan sebanyak 1 L tiap 15-30 menit sementara tanda vital dn produksi urin dipantau. Kadang-kadang perlukan cairan sebanyak 5-7 L atau lebih dalam wkatu 12 jam. Bila perlu dapat dipasang kateter vena sentral untuk memantau kecukupan cairan. Obat vasopresor seperti dopamin dapat dipertimbangkan bila pemberian cairan tidak mengatasi syoknya. Penderita penyakit jantung memerlukan dosis Epinefrin yang lebih rendah (0,1-0,2 ml) yang dapat diulang tiap 10 menit. Efek pemberian Epinefrin ini meliputi relaksasi otot polos bronkus, peningkatan tonus otot polos vaskuler, dan mengurangi pelepasan mediator oleh sel mast.

• Obstruksi bronkus

Epinefrin sangat efektif dan bekerja cepat untuk mengatasi bronkospasme. Bila gejala tidak teratasi dapat diberikan nebulisasi bronkodilator β adrenergik (Salbutamol atau Terbutalin sulfat). Methylprednisolone 125 mg dapat diberikan tiap 4-6 jam pada penderita dengan gejala yang berat atau yang tidak responsif terhadap Epinefrin. Oksigen dapat diberikan melalui kanula hidung atau masker bila PaCO2 < 55 mmHg. Bila PaCO2 > 65 mmHg penderita mengalami gagal nafas dan memerlukan intubasi serta bantuan nafas mekanis.

• Edema laring

Penderita dengan obstruksi laring menunjukkan gejala stridor. Pemasangan pipa endotrakeal mungkin mengalami kesulitan akibat edema laring. Pada kondisi demikian perlu segera dilakukan pungsi membrana krikotirois menggunakan jarum pendek no. 14G atau 16G. Bila prosedur trakeostomi dilakukan di luar rumah sakit, maka metode krikotirotomi lebih disukai. Bila dilakukan di rumah sakit maka metode bedah trakeostomi lebih disukai.

(34)

Gejala-gejala init idak mengancam jiwa dan biasanya memberikan respons terhadap antihistamin. Jika gejala ringan cukup diberikan antihistamin oral. Bila gejala cukup berat dapat diberikan Diphenhydramine intramuskuler atau intravena dengan dosis 50 mg (1-2 mg/kgBB). Dapat pula diberikan Ranitidin 50 mg atau Cimetidin 300 mg intravena. Dosis antihistamin diulang tiap 6 jam selama 48 jam untuk mengurangi risiko kambuhnya gejala.

(35)

9. TUBERKULOSIS PARU DEFINISI KASUS

Kasus baru (new case):

Penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan.

Kambuh (relaps):

Penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap. Kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif (hapusan atau kultur). Gagal pengobatan (treatment after failure):

Penderita yang memulai pengobatan kategori 2 setelah gagal dengan pengobatan yang sebelumnya.

Yaitu penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 atau lebih. Atau penderita dengan BTA megatif menjadi positif pada akhir bulan ke-2.

Pengobatan setelah default (treatment after default/drop out):

Penderita yang kembali berobat, dengan hasil bakteriologi positif, setelah berhenti minum obat 2 bulan atau lebih.

Pindahan (transfer in):

Penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten kemudian pindah ke kabupaten lain. Penderita ini harus membawa surat rujukan/pindah (form TB 09).

Kasus kronik:

Penderita dengan hasil BTA tetap positif setelah selesai pengobatan ulang dengan kategori 2.

DIAGNOSIS

Diagnosis tuberkulosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, radiologis dan penunjang yang lain.

(36)

Gejala

Respiratorik : batuk > 3 minggu, berdahak, batuk darah, nyeri dada, sesak napas.

Sistemik : demam, keringat malam, malaise, nafsu makan menurun, berat badan turun.

Penderita dengan gejala tersebut dianggap sebagai curiga TB dan harus diperiksakan dahaknya. Pemeriksaan dahak dilakukan 3 kali (sewaktu-pagi-sewaktu/SPS) dengan cara pengecatan.

Pemeriksaan fisik

Tanda fisik penderita TB tidak khas, tidak dapat membantu untuk membedakan TB dengan penyakit paru lain. Tanda fisik tergantung pada lokasi kelainan serta luasnya kelainan struktur paru. Dapat ditemukan tanda-tanda antara lain penarikan struktur sekitar, suara napas bronkial, amforik, ronki basah, pada efusi pleura didapatkan gerak napas tertinggal, keredupan dan suara mapas menurun sampai tidak terdengar. Bila terdapat limfadenitis tuberkulosa didapatkan pembesaran kelenjar linfe, sering di daerah leher, kadang disertai adanya skrofuloderma.

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan bakteriologis sangat berperan untuk menegakkan diagnosis. Spesimen dapat berupa dahak, cairan pleura, cairan serebrospinalis, bilasan lambung, bronchoalveolar lavage, urin, dan jaringan biopsi. Pemeriksaan dapat dilakukan secara mikroskopis dan biakan.

Pemeriksaan dahak untuk menemukan basil tahan asam merupakan pemeriksaan yang harus dilakukan pada seseorang yang dicurigai menderita tuberkulosis atau suspek. Pemeriksaan dahak dilakukan 3 kali (sewaktu-pagi-sewaktu/SPS), dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen atau Kinyoun Gabbet. Interpretasi pembacaan didasarkan skala IUATLD atau bronkhorst.

Diagnosis TB paru ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam pada pemeriksaan hapusan sputum secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif bila sedikitnya 2 dari 3 spesimen dahak ditemikan BTA (+).

(37)

Bila hanya 1 spesimen yang positif, perlu pemerikaan foto thoraks atau SPS ulang. Bila foto thoraks mendukung TB maka didiagnosis sebagai TB paru BTA (+). Bila foto thoraks tidak mendukung TB maka perlu dilakukan pemeriksaan SPS ulang. Bila SPS ulang hasilnya negatif berarti bukan penderita TB. Bila SPS-positif, berarti penderita TB BTA (+). Bila foto toraks mendukung TB tetapi pemeriksaan SPS negatif, maka diagnosis adalah TB paru BTA negatif rontgen positif.

Foto toraks

Pada kasus di mana pemeriksaan sputum SPS positif, foto toraks tidak diperlukan lagi. Pada beberapa kasus dengan hapusan positif perlu dilakukan foto toraks bila:

• Curiga adanya komplikasi (misal: efusi pleura, pneumotoraks)

• Hemoptisis berulang atau berat

• Didapatkan hanya 1 spesimen BTA (+) Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB aktif:

1. Bayangan berawan/nodualr di segmen apical dan posterior lobus atas dan segmen superior lobus bawah paru.

2. Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau nodular.

3. Bayangan bercak milier. 4. Efusi pleura.

Gambaran radiologis yang dicurigai TB inaktif:

1. Fibrotik, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas dan atau segmen superior lobus bawah.

2. Kalsifikasi

3. Penebalan pleura Destroyed lung

Gambaran radiologis yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru. Sulit untuk menilai aktiviti penyakit berdasarkan gambaran radiologis tersebut. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologis untuk mengetahui aktivitas penyakit.

(38)

Luas proses yang ampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dinyatakan sbb:

1. Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari datu atau dua paru dengan luas lesi tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus spinosus vertebra torakalis IV, atau korpus vertebra torakalis V (sela iga ke-2) dan tidak dijumpai kaviti.

2. Lesi luas, bila proses lebih dari lesi minimal. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan darah rutin kurang spesifik. LED penting sebagai indikator kestabilan penyakit sehingga dapat digunakan untuk evaluasi penyembuhan. Pemeriksaan serologi dilakukan denagn metode Elisa, Mycodot, PAP (Peroksidase Anti Peroksidase). Teknik lain untuk mengidentifikasi M. tuberculosis dengan PCR (polymerase chain reaction), RALF (Restrictive Fragment Length Polumorphisms), LPM (Light Producing Maycobacterophage). Pemeriksaan histopatologi jaringan, diperoleh melalui transbronchial lung biopsy, transthoracal biopsy, biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar dan organ lain di luar paru. Diagnosis TB ditegakkan bila jaringan menunjukkan adanya granuona dengan perkejuan.

PENATALAKSANAAN

Tujuan pengobatan tuberkulosis adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah relaps, menurunkan penularan ke orang lain dan mencegah terjadinya resistensi terhadap OAT. Untuk itu diperlukan OAT yang efektif dengan pengobatan jangka pendek. Standarisasi regimen untuk pengobatan TB didasarkan pada rekomendasi WHO.

Terdapat 4 populasi kuman TB yaitu:

1. “Metabolically active”, yaitu kuman yang terus tumbuh dalam kaviti 2. “Basili inside cell”, misal dalam makrofag

(39)

Pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu lama karena sulit untuk membunuh kuman semi dorman.

Terdapat 3 aktivitas anti tuberkulosis yaitu:

1. Obat bakterisidal: INH, rifampisin, pirazinamid

2. OAT dengan kemampuan sterilisasi: Rifampisin, PZA

3. OAT dengan kemampuan mencegah resistensi: rifampisin dan INH, sedangkan streptomisin dan etambutol kurang efektif.

OBAT ANTI TB

OAT Sifat Potensi

Dosis mg/kg

Harian Intermiten

3x/wk 2x/wk

Isoniazidn(H) Bakterisidal Tinggi 5 10 15

Rifampicin (R) Bakterisidal Tinggi 10 10 10

Pirazinamid (Z) Bakterisidal Rendah 25 35 50

Streptomycin (S) Bakterisidal Rendah 15 15 15

Etambutol (E) Bakteriostatik Rendah 15 30 45

KODE REGIMEN PENGOBATAN TB Pengobatan TB terdiri dari 2 fase, yaitu:

Fase inisial/fase intensif (2 bulan):

Pada fase ini membunuh kuman dengan cepat. Dalam waktu 2 minggu penderita yang infeksius menjadi tidak infeksius, dan gejala klinis membaik. Kebanyakan penderita BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan. Pada fase ini sangat penting adanya pengawasan minum obat pleh PMO (Pengawas Minum Obat).

Fase lanjutan (4-6 bulan):

Bertujuan membunuh kuman persisten (dorman) dan mencegah relaps. Fase ini juga perlu adanya PMO.

Contoh kode pada regimen pengobatan TB: 2 (HRZE)/4 HR

Fase inisial adalah 2 (HRZE), lama pengobatan 2 bulan, dengan obat INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol diminum tiap hari.

(40)

Fase lanjutan adalah 4 (HR)3, lama pengobatan 4 bulan, dengan INH dan rifampisin, diminum 3 kali seminggu.

(41)

Recomended treatment regiment for each diagnostic category TB DIAGNOSTI C CATEGORY TB PATIENTS TB TREATMENT REGIMENS INITIAL PHASE DAILY OR 3 TIMES WEEKLY) CONTINUATIO N PHASE (DAILY OR 3 TIMES WEEKLY)

I New smear positive patients;

New smear-negative PTB with extensive parenchymal envolvement;

Severe concomitant HIV disease or severe forms of EPTB

2 HRZEb 4 HR

or

6 HE daily

II Previously treated sputum

smear-positive PTB: - Relaps

- Treatment after interruption - Treatment failure

2 HRZES/ 1 HRZE

5 HRE

III New-smear negative PTB

(other than in category I); Less severe forms of EPTB

2 HRZEc 4 HR

or

6 HE dailyc

IV Chronic and MDR-TB case

(still sputum-positive after supervised re-treatment)

Specially designed standarized or individualized regimens are suggested for this category a “Direct observation” of drug intake is required during the initial phase of

treatment in smear-positive cases, and always in treatment that includes rifampicin

b Streptomisin dapat digunakan sebagai pengganti etambutol. Pada kasus meningitis TB etambutol harus diganti dengan streptomisin.

c Regimen HE berhubungan dengan angka gagal pengobatan dan kambuh yang tinggi dibandingkan dengan pengobatan regimen yang menggunakan rifampisin selama fase lanjutan.

d Bila mungkin, direkomendasikan untuk dilakukan tes sensitivitas terhadap OAT sebelum pemberian obat kategori II pada kasus gagal pengobatan. Penderita yang terbukti MDR-TB direkomendasikan menggunakan OAT kategori OAT plus.

e Etambutol dapat tidak digunakan selama pengobatan fase inisial pada penderita tanpa adanya kavitas pada paru; hapusan dahak negatif pada

(42)

penderita HIV-negatif; telah diketahui terinfeksi dengan kuman yang sensitif terhadap OAT; dan penderita muda TB primer.

f Kontak dengan penderita yang terbukti MDR-TB dipertimbangkan untuk dilakukan kultur dan tes sensitivitas.

TB ekstra pulmoner meliputi:

Berat Ringan

• Meningitis

• Milier

• Perikarditis

• Peritonitis

• Efusi pleura bilateral/massif

• Spinal

• Intestinal

• Genitourinaria

• Kelenjar limfe

• Efusi pleura unilateral

• Tulang (kecuali spinal)

• Sendi kecil

• Kelenjar adrenal

INDIKASI STEROID PADA TB

Steroid pada kasus TB diindikasikan pada meningitis, perikarditis, efusi pleura masif, TB kelenjar adrenal, laringitis, TB pada ginjal/saluran kencing, TB kelenjar limfe yang luas dan pada reaksi hipersensitivitas akibat OAT.

PENGOBATAN TB PADA KEADAAN KHUSUS Kehamilan dan menyusui

Hampir semua obat anti tuberkulosis aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak boleh digunakan pada kehamilan karena sifat ototoksik pada janin.

Pada penderita TB yang menyusul, semua OAT dapat diberikan. Bila bayinya juga mendapat OAT, dianjurkan untuk tidak menyusui agar bayi tidak mendapat dosis berlebihan.

(43)

Rifampisin berinteraksi dengan obat kontrasepsi hormonal dengan risiko penurunan efektifitas kontrasepsi, sehingga diperlukan dosis kontrasepsi yang lebih tinggi (estrogen 50µg). Atau disarankan untuk menggunakan jenis kontrasepsi lain.

Gagal ginjal

Rifampisin, INH dan pirazinamid aman digunakan untuk penderita gagal ginjal. Jangan menggunakan streptomisin, kanamisin dan capreomisin. Hindari penggunaan etambutol. Digunakan hanya bila tidak ada alternatif obat lain, dengan menyesuaikan dosis sesuai dengan fungsi ginjal.

Penyakit hati kronik

Pirazinamid tidak boleh diberikan. INH dan rifampisin plus satu atau dua obat non-hepatotoksik seperti streptomisin dan etambutol dapat diberikan dengan total pengobatan 8 bulan. HE pada fase lanjutan dengan total pengobatan 12 bulan.

Regimen yang direkomendasikan adalah 2 SHRE/6 HR; 9 RE atau 2 SHE/10 HE.

Hepatitis akut

Sebaiknya OAT ditunda dulu sampai hepatitis sembuh. Bila sangat diperlukan OAT dapat diberikan dengan kombinasi SE selama 3 bulan. Selanjutnya setelah hepatitis sembuh daoat diberikan fase lanjutan selama 6 bulan dengan INH dan Rifampisin. Bila hepatitis tidak menyembuh, SE diteruskan sampai 12 bulan. Regimen yang diberikan 3 SE/ 6 HR atau 12 SE.

MULTI DRUGS RESISTANCE TB

Yaitu penderita TB aktif dengan kuman yang resisten terhadap sedikitnya rifampisin dan INH, dengan atau tanpa disertai resistensi terhadap obat lain. MDR TB terjadi akibat pengobatan yang tidak rasional, seperti pemberian resep yang tidak benar oleh dokter, regimen yang tidak benar, penggunaan obat tidak lengkap dan berkesinambungan atau oleh karena tidak adanya supervisi dalam pengobatan.

(44)

DOTS (Directly Observe Treatment Shortcourse)

Sejak tahun 1995 program pemberantasan penyakit TB dilaksanakan dengan strategi DOTS yang direkomendasikan oleh WHO. Di Indonesia dituangkan dalam bentuk GERDUNAS-TB (Gerakan Terpadu nasional TB). Yang dimaksud dalam strategi DOTS adalah:

1. Adanya komitmen pemerintah untuk menanggulangi TB

2. Penemuan kasus secara langsung dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis

3. Pemberian obat yang diawasi secara langsung (DOT = Directly Observe Treatment)

4. Penyediaan obat secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu 5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan

(45)

10. GASTROENTERITIS TATALAKSANA

• Nonfarmakologis: istirahat atau tirah baring, makanan lunak, minum cairan oralit ad libitum

• Rehidrasi dapat per oral pada dehidrasi ringan dan parenteral pada dehidrasi sedang serta berat

• Untuk diare tipe sekretori dapat diberikan racecadotril 3x1 tablet selama 3 hari

• Farmakologis: pada dehidrasi ringan tindakan rehidrasi dapat diberikan per oral sedangkan untuk dehidrasi sedang berat, rehidrasi dilakukan secara parenteral dengan memakai cairan ringer laktat. Pada prinsipnya jumlah cairan yang diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari badan. Kehilangan airan dapat dihitung dengan cara metode Daldiyono atau berat jenis plasma atau metode Pierce.

Terapi definitif:

Kolera eltor : Tetrasiklin 4x500 mg/hari selama 3 hari Salmonellosis : Ampisilin 4x1 g/hari selama 10-14 hari Shigellosis : Ampisilin 4x1 g/hari selama 5 hari

Amebiasis : Metronidazol 4x500 mg/hari selama 3 hari

KOMPLIKASI

• Dehidrasi dan syok hipovolemik

• Gangguan elektrolit, kalium, natrium, klorida, yang dapat menyebabkan ileus paralitik dan gangguan konduksi jantung

• Gagal ginjal akut

• Asidosis metabolik

KOLERA Pengobatan

(46)

Pengobatan kausal dan simtomatis dilakukan secara simultan; namun yang terpenting adalah pemberian air dan elektrolit sebagaipengganti yang hilang.

1. Rehidrasi dalam 2 tahap: rehidrasi awal dilanjutkan maintenance

2. Terapi infus pada: dehidrasi berat, renjatan hipovolemik, muntah-muntah tak terkontrol, adanya penyulit berat

Kasus ringan dan sedang: oral dengan bahan rehidrasi oral.

Cairan rehidrasi oral WHO mengandung: NaCl 2,5 g; NaHCO3 3,5 g; KCl 1,5 g; Glukosa 20,0 g dialrutkan dalam air 1 liter.

Cairan infus yang dapat dipakai: Ringer laktat (mengandung 130 mmol Na, 4 mmol K, 109 mmol Cl, 28 mmol base). Karena cairan tinja mengandung 135 mmol Na, 15 mmol K, 100 mmol Cl, dan 45 mmol basa; maka cairan RL sebenarnya perlu tambahan Kalium (10 mg/liter)

Kriteria dehidrasi: memakai metode klinis

1. Metode Pierce didasarkan atas tanda klinis dehidrasi: a. Dehidrasi ringan: kebutuhan cairan 5% BB

b. Dehidrasi sedang: kebutuhan cairan 8% BB c. Dehidrasi berat: kebutuhan cairan 10% BB

2. Pemeriksaan Berat Jenis Plasma: dengan larutan Cupri sulfat atau Refraksimeter

Defisit cairan dihitung dengan rumus berikut:

Antibiotik dapat memperpendek masa diare dan mengurangi jumlah cairan untuk replasemen, serta mengurangi pengeluaran kuman dalam tinja. Dapat dipakai:

1. Tetrasiklin 50 mg/kgBB terbagi 4 dosis (untuk dewasa) 2. Kotrimoksazol (untuk anak-anak)

(47)

Perbaikan higiene sanitasi, penyediaan air minum yang sehat. Perbaikan fasilitas makan-minuman. Bagi mereka dalam perjalanan disarankan hanya minum air kemasan (botol/kaleng).

(48)

11. DEMAM TIFOID DIAGNOSIS

Diagnosis semam tifoid ditegakkan berdasarkan gejala klinis, ditunjang denagn pemeriksaan laboratorium.

Gambaran Klinis

Demam tifoid pada umumnya menyerang penderita kelompok umur 5-30 tahun, laki-laki sama dengan wanita, jarang pada umur di bawah 2 tahun maupun di atas 60 tahun.

Anamnesis

1. Masa inkubasi: umumnya 3-60 hari

2. Biasanya pada anamnesis, saat masuk rumah sakit didapatkan keluhan utamanya adalah demam, yang diderita ± 5-7 hari, yang tidak berhasil diobati dengan antipiretika. Demam bersifat bertahap makin naik setiap hari (step ladder), disertai dengan lemah badan (lesu), malas, nyeri kepala, nyeri otot, punggung dan sendi, perut kembung, kadang-kadang nyeri, obstipasi (kadang-kadang diare), mual, muntah, batuk.

3. Perlu diselidiki apakah penderita berasal dari atau bepergian ke daerah endemis demam tifoid (wisatawan). Kebiasaan mkan-minum (kerang, ice cream, air mentah). Perlu ditanya apakah pernah menjalani vaksinasi demam tifoid.

Manifestasi Klinis

Penderita nampak lesu, letih, wajah “kosong”. Kadang-kadang penderita nampak gelisah, “delirium” atau koma.

Gejala lain yang dapat dijumpai:

Demam, bradikardi relatif, pendengaran menurun, tifoid tongue, rose spots, bronchitic chest, tidak enak di perut (abdominal terderness), kembung, hepatomegali, splenomegali.

Laboratorium Urine Abiminuria

(49)

1. Urine + reagen Diazo + beberapa tetes amonia 30% (dalam tabung reaksi) → dikocok → buih berwarna merah atau merah muda.

2. Biakan kuman (paling tinggi pada minggu II/III diagnosis pasti atau sakit

carrier) Tinja

1. Ditemukan banyak eritrosit dalam tinja (Pra-Soup Stool, kadang-kadang darah (bloody stool)

2. Biakan kuman (diagnosis pasti atau carrier post tyfi pada minggu II/III sakit)

Darah

Leukopenia atau leukopeni relatif, kadang-kadang leukositosis Netropeni

Limfositosis Aneosinofilia Anemia

Laju Endap Darah (LED) SGOT/SGPT meningkat

Biakan kuman (paling tinggi pada minggu I sakit, diagnosis pasti Demam tifoid) Minggu I: 80-90%, minggu II: 20-25%, minggu III: 10-15%

Serologi

Deteksi Antibodi 1. Tes Aglutinin

Tes Widal ada 2 metode: a. Metode “tube” (standard)

• Titer O tinggi dan/atau terjadi kenaikan titer 4 kali lipat dengan jarak waktu 7 hari pemeriksaan pertama dan kedua (O lebih spesifik dari H)

• Hasil diperoleh setelah 2-3 hari b. Metode “slide”

(50)

• Hasil selesai dalam waktu 1 hari

• Widal/kurang spesifik (Ag bukan lokal)

• Lokal Ag → hasil lebih spesifik

2. Tes “Enzyme Linked Immune Sorbent Assay” (ELISA), ada 2 macam: a. Deteksi antibodi, menggunakan antigen O, H, dan Vi

• Dapat mendeteksi antibodi IgA, IgM, dan IgG S. typhi.

b. Dengan menggunakan protein Ag khusus dibuat tes “Dot enzyme immuno Assay” (Dot-EIA) dengan menggunakan kertas nitroselulose (tes Dipstick)

• Diagnosis cepat (3-4 jam)

• IgM (+) → Demam tifoid akut

• IgG (+) → relaps Deteksi antigen

1. Tes koagulasi (koag)

a. Digunakan antisera Vi → Vi-koag b. Lebih cepat dari biakan kuman 2. Tes ELISA

a. Digunakan ELISA indirek dari bahan air seni dan darah penderita b. Digunakan antibodi monoklonal yang ditempelkan pada kertas

nitroselulose Deteksi DNA

Dapat dilakukan dengan 2 cara:

1. Hibridisasi dengan pelacak DNA (DNA probe)

Kurang sensitif apabila jumlah S. typhi dalam darah penderita rendah

2. Polymerase Chain Reaction (PCR)

a. Dapat mendeteksi strain S. typhi dan untuk pembuatan vaksin b. Waktu pemeriksaan cepat (± 6 jam) tapi akurat

Sumsum tulang

(51)

c. Tidak dipengaruhi oleh pemberian antibiotika dan fase penyakit d. Invasif (perlu tenaga ahli biopsi sumsum tulang)

DIAGNOSIS BANDING 1. Richettsiosiz 2. Brucellosis 3. Tularemia 4. Leptospirosis 5. Milliary Tuberculosis 6. Viral hepatitis 7. Infections Mononucleosis 8. Cytomegalovirus 9. Malaria 10. Lymphoma TATALAKSANA

1. Penderita dirawat di bangsal umum (tidak perlu di bangsal khusus “isolasi”)

2. Pada fase akut, diharuskan tirah baring “absolut” dan diet khusus “tifoid diit”

3. Diberlakukan pembera makanan “Padat Dini” (nasi + lauk pauk sayuran rendah serat). Pada penderita Demam Tifoid tidak berkomplikasi, yang terbukti bermanfaat mempercepat penyembuhan (rata-rata dalam waktu 7-10 hari, sedangkan sebelumnya rata-rata 14 hari). Pemberian suplemen protein oral (“Protein”-bubuk susu kedelai) pada penderita demam tifoid juga menunjukkan penderita lebih cepat sembuh.

Terapi Medikamentosa

Obat anti tifoid yang dapat digunakn sampai saat ini adalah Chloramphenicol, tiamphenicol, Cotrimoxazol, Ampicilin, Amoxicyllin, Cephalosporin generasi-III (misalnya: Ceftriaxon), dan Quinolone golongan 4-Fluoroquinolone (misalnya: Ciprofloxacin, Norfloxacin, Ofloxacin, Pefloxacin), dan Azithromycine.

(52)

“Carrier” kronis

“Carrier” kronis adalah indivisu yang mengeluarkan S. typhi baik dari tinja

(faecal carrier) atau air seninya (urinary carrier) selama 1 tahun atau lebih.

Pada demam tifoid sumber infeksi dari “carrier” kronis adalah kandung empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu, atau kelainan anatomi). Oleh akrena itu apabila terapi medika-mentosa dengan obat antitifoid gagal harus dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau memperbaiki kelainan anatominya.

Obat pilihan saat ini:

1. Amoxicillin 3x1000-2000 mg/hari selama 6 minggu

2. Golongan quinolone yaitu Ciprofloxacin 2x500 mg/hari atau Norfloxacin 2x400 mg/hari selama 4 minggu

3. Cotrimoxazole 2x2 tablet (160/800) selama 6 minggu

4. Apabila “urinary carrier” disebabkan karena infeksi dengan cacing schistosoma, maka perlu ditambah terapi dengan praziquantel

5. Kadang-kadang setelah cholesystectomy, penderita masih tetap menjadi

“carrier”. Untuk ini perlu diberikan pengobatan jangka lama sampai terbukti tidak mengeluarkan Salmonella typhi lagi.

Demam Tifoid pada Penderita AIDS

1. Terapi demam tifoid pada penderita AIDS sulit, karena sering terjadi relaps

2. Quinolone merupakan obat pilihan karena mempunyai efek sinergik dengan antiretroviral Zidovudine. Pemberian Ciprofloxacin 2x500 mg oral selama 6 minggu, umumnya dapat mengatasi demam tifoid pada penderita AIDS. Kadang-kadang diberikan sampai 1-8 bulan.

3. Cotrimoxazole merupakan obat pilihan kedua karena obat ini juga dapat mengobati pneumocystic-carinii pneumonia yang terjadi pada penderita AIDS.

Sampai saat ini obat pilihan utama untuk demam tifoid di Indonesia adalah Chloramphenicol. Hal ini disebabkan karena sensitifitasnya masih tinggi, cukup aman (jarang terjadi efek samping obat) dan murah harganya.

Gambar

Tabel : Perdarahan akibat defisiensi vitamin K pada anak  VKDB dini VKDB klasik VKDB lambat
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah (JNC 7) Klasifikasi   Tekanan  Darah TDS  (mmHg) TDD (mmHg) Normal &lt; 120 Dan &lt; 80  PreHypertension 120-139 Ata u 80-89
Tabel 1. Bahan-bahan rendah purin dan tinggi protein

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 88 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menentukan bahwa setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang

KEPUTUSAN BUPATI AGAM NOMOR 165 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN TIM TEKNIS KEGIATAN PENGUATAN LEMBAGA DISTRIBUSI PANGAN MASYARAKAT (LDPM) KABUPATEN AGAM TAHUN 2012.. KEPUTUSAN

Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis korelasi product moment dari Pearson.Hasil penelitian menunjukkan koefisien korelasi r = 0,225 dengan nilai p

Pada penelitian ini peneliti akan merancang sebuah model yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas layanan penjualan online tiket penerbangan.. Selain itu peneliti juga

Pada siklus 2 terjadi peningkatan ketercapaian rerata kompetensi dasar (diatas KKM) pada ketiga aspek kompetensi dasar, demikian juga pada kualitas proses

Penelitian ini merupakan studi kasus penerjemah tuna netra. Tujuannya adalah untuk 1) mengidentifikasikan dan mendeskripsikan proses, strategi dan pendekatan

Pendamping desa, dalam rangka memfasilitasi tumbuhnya ketaatan dan kepastian hukum dalam tata kehidupan di desa, akan lebih mudah mewujudkannya jikalau dapat mengembangkan

Misalnya untuk mengakui suatu item sebagai expense maka bukti yang valid adalah adanya penurunan pada nilai suatu aset atau kenaikan nilai liabilitas.. LO 3