• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini yaitu untuk:

a. Mengetahui dan memahami tinjauan hukum Islam tentang penyimpangan seksual terhadap binatang

b. Mengetahui dan memahami tinjauan hukum positif tentang penyimpangan seksual terhadap binatang

c. Mengetahui dan memahami perbandingan hukum Islam dan hukum positif tentang penyimpangan seksual terhadap binatang.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan peneliatian ini yaitu:

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum Islam dan hukum positif. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sarana penelitian selanjutnya dan menjadi sumber referensi dalam mempelajari ilmu pengetahuan khususnya penyimpangan seksual terhadap binatang secara lebih mendalam untuk kepentingan keilmuan lainnya.

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca dan masyarakat yang belum memahami analisis perbandingan hukum Islam dan hukum positif tentang penyimpangan seksual terhadap binatang.

14 1. Pengertian Hukum Islam

Hukum yang berlaku bagi semua yang memeluk agama Islam, di manapun mereka berada. Seperti halnya hukum hindu maka hukum Islam pun merupakan hukum masyarakat Islam dan bukan penduduk sebuah negara. Sejarah umat Islam di Indonesia pada hakikatnya adalah sosok dari bangsa karena jumlah umat Islam yang mayoritas, dominan, seharusnya menentukan pola berpikir dan pola pembentukan hukum bangsa Indonesia.

Secara teori hanya ada satu hukum Islam yang berlaku disemua wilayah tempat bermukim kaum muslimin. Namun telah ada sejak berabad-abad, beberapa aliran lokal. Hukum Islam bukan merupakan suatu ilmu pengetahuan melainkan salah satu aspek agama.1 Hal ini meliputi teologi yang menetapkan dogma, yakni apa yang dipedomani sebagai kepercayaan kaum muslimin dan syariat yang memberikan ketentuan kepada orang beriman meliputi apa yang dilakukan dan apa yang wajib ditinggalkan. Dalam mempelajari hukum Islam, orang tidak bisa melepaskan diri dari mempelajari sepintas lalu agama Islam. Karena hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis Rasulullah saw., merupakan bagian dari agama Islam, dalam arti luas (yang akan dijelaskan kelak dalam membicarakan sumber-sumber hukum Islam).2

1 Zainuddin Ali, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008) h. 45

2 Al-Mansor, Ansory. 48 Macam Perbuatan Dosa. (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h.170

Al-Quran dan literatur Islam sama sekali tidak menyebutkan kata hukum Islam sebagai salah satu istilah. Yang ada di dalam kata Al-Quran adalah kata syari’ah.Fiqh, hukum Allah, dan yang seakar dengannya, istilah hukum Islam merupakan terjemahan dari Islamic law dalam literature Barat. Istilah ini kemudian menjadi popular. Untuk memberikan kejelasan tentang makna hukum Islam maka perlu diketahui lebih dahulu arti masing-masing kata. Hakama- yahkumu yang kemudian bentuk mashdar-nya menjadi hukman. Lafadz al-hukmuh adalah bentuk tunggal dari bentuk jamak al-ahkam3.

Hukum Islam mencakup berbagai dimensi. Dimensi abstrak, dalam wujud segala perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya dan dimensi konkret , dalam wujud perilaku pola yang bersifat tetap dikalangan orang Islam sebagai upaya untuk melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya itu. Lebih konkret lagi dalam wujud perilaku manusia (amaliah), baik individual maupun kolektif. Hukum Islam juga mencakup substansi yang terinternalisasi ke dalam berbagai pranata sosial.

Hukum Islam adalah hukum yang berasal dari Al-Qur’an . Di Indonesia, hukum Islam belum bisa ditegakkan secara menyeluruh, karena akan bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hukum Islam, hukuman pencuri adalah potong tangan,sedangkan di Indonesia, hukumannya adalah penjara.4

Istilah hukum Islam merupakan istilah khas di Indonesia, sebagai terjemahan dari Al- fiqh Al Islamy atau dalam keadaan konteks tertentu dari as-syariah al Islamy.5

Adapun pengertian hukum Islam dalam makna hukum fiqih Islam, adalah hukum yang bersumber dan disalurkan dari hukum syariat Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad, dikembangkan melalui ijtihad

3 Zainuddin Ali, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, h. 49

4 Mohammad Daud, Hukum Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 1998), h.23

5 Ishaq, Pengantar Hukum Indonesia (Cet. IV; Depok: Rajawali Pers, 2017), h. 307

oleh para ulama ahli hukum Islam yang memenuhi syarat untuk berijtihad dengan cara-cara yang telah ditentukan.6

Kemudian menurut Mohd Idris Ramulyo menjelaskan, bahwa hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan disalurkan dari hukum syariat Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an Sunnah nabi Muhammad saw., dan dikembangkan melalui ijtihad dari para ulama.7

Berdasarkan pengertian hukum Islam tersebut, dapatlah dijelaskan bahwa hukum Islam itu bersumber dari wahyu Allah (Al-Qur’an) ,sunnah Rasul (Hadis) dan ijtihad para ulama. Dengan demikian , dapat dipahami bahwa hukum Islam itu adalah hukum yang lebih tinggi bila dibandingkan dari hukum positif lainnya, seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum agraria sebab hukum ini bersumber dari akal budi (rasio) manusia. Sedangkan hukum Islam bersumber dari wahyu Allah swt yaitu Al – Qur’an , hadis, dan ijtihad.8

Hukum Islam adalah hukum yang mengatur pergaulan hidup kaum muslimin.9 Pada abad ke-19, politik pemerintahan Belanda sendiri sangat berharap agar segera dapat menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar orang Indonesia dengan berbagai cara, di antaranya melalui proses kristenisasi. Harapan itu sebagian besar didasarkan pada anggapan tentang superioritas agama Kristen terhadap agama Islam di pedesaan Jawa akan memudahkan orang Islam di ajak memeluk agama Kristen daripada mereka yang berada di negara-negara muslim lainnya.

6 Ishaq, Pengantar Hukum Indonesia, h. 307

7 Ishaq, Pengantar Hukum Indonesia, h. 307

8 Ishaq, Pengantar Hukum Indonesia, h. 307

9 Amiruddin Pabbu dan Rahman Syamsuddin, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2014), h.177

Walaupun secara teoritis hukum Islam menjadi dasar bagi semua aspek bagi setiap pemeluk agama Islam, namun karena pengaruh kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi, dalam kenyataannya hukum Islam itu masih memperjuangkan tempatnya dalam masyarakat, yang lebih ironis lagi memperjuangkan tempatnya dalam masyarakat Islam itu sendiri.

Hukum Islam hanya sebagai kumpulan peraturan yang berasal dari corpus jurisprudence Islam yang terbentuk secara historis di zaman lampau, kita akan terjebak kepada pandangan yang pesimis dan melihat hukum Islam sebagai peninggalan masa lalu yang telah memosil. Namun, haruslah diingat bahwa hukum Islam tidak hanya kumpulan peraturan hukum konkret dalam corpus fiqih.

Hukum Islam terdiri atas tiga lapisan norma yang meliputi : (1) norma-norma dasar (al-qiyam al asasiyyah), (2) asas-asas umum (al-usul al-kuliyyah), dan (3) peraturan-peraturan konkret (al-ahkam al-far”iyyah). Dalam asas hukum Islam sendiri ditegaskan bahwa tidak dingkari perubahan hukum karena perubahan zaman. Ada tiga syarat perubahan peraturan hukum, yaitu (1) ada tuntunan untuk melakukan perubahan, (2) peraturan tersebut tidak menyangkut substansi ibadah, dan (3) perubahan baru itu tertampung oleh nilai dan asas syariah lainnya.10

Menurut Hazairin, ahli hukum dari Universitas Indonesia, menegaskan bahwa pasal-pasal UUD 1945 mengandung prinsip-prinsip, antara lain tidak boleh dibuat peraturan yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama dan negara berkewajiban menjalankan syariat agama-agama, yaitu syariat Islam bagi umat Islam, syariat Hindu bagi umat Hindu, dan syariat Nasrani bagi umat Nasrani.11

10 Mohammad Daud, Hukum Islam, h.23

11 Irfan, Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta:

Amzah,2014). h.21

Atas dasar itu haruslah dipahami bahwa hukum Islam tidak hanya kumpulan peraturan konkret dari zaman lampau, melainkan juga harus dilihat sebagai asas-asas umum dan nilai-nilai universal yang dapat direijtihad di dalam berbagai kondisi yang berubah. Di Indonesia hukum Islam merupakan salah satu sumber pengembangan hukum nasional, di samping hukum adat dan hukum Barat. Dalam tata hukum Indonesia, hukum Islam memiliki peluang konstitusional yang jelas.

2. Sumber Hukum Islam

Sumber hukum Islam adalah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber syariat Islam yaitu Al-Qur’an, Hadist nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah saw.), Ijma, dan Qiyas.12

a. Sumber utama hukum Islam adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an menurut bahasa berarti bacaan. Menurut istilah, Al-Qur’an adalah himpunan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk disampaikan kepada manusia sebagai pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Al-Qur’an diturunkan sejak kenabian Muhammad saw secara berangsur-angsur dalam masa kurang lebih 21 tahun (perhitungan bulan syamsiyah) atau kurang lebih 22,5 tahun (perhitungan tahun Qamariyah), yakni sejak beliau berusia 40 tahun hingga beberapa waktu menjelang beliau wafat. Al-Qur’an diturunkan scara bertahap hingga terhimpun dengan baik dan sempurna. Di antara hikmah diturunkan Al-Qur’an secara bertahap adalah untuk memudahkan penerimaan, pencatatan, penghafalan, pemahaman maksud dan kandungan isinya serta memudahkan untuk dihayati dan diamalkan oleh kaum muslimin, Sebab apabila diturunkan secara sekaligus, akan menyulitkan

12 Mohammad Daud, Hukum Islam, h.27

dalam penghafalan, penulisan, penghayatan, dan pengamalannya .13 b. Al Hadis

Al Hadis menurut bahasa adalah Khabar atau berita. Menurut istilah, Al Hadis adalah segala berita yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., meliputi sabda, perbuatan beliau dan perbuatan para sahabat yang beliau diamkan dalam arti membenarkannya.14

Hazim lazim pula disebut sunnah atau sunnah Rasulullah saw sedangkan menurut bahasa sunnah berarti kelakuan, perjalanan, pekerjaan atau cara. Hadis Nabi saw. dapat diketahui dari riwayat yang berantai, yang dimulai dari sahabat Nabi saw. yang langsung menyaksikan perbuatan Nabi saw. atau mndengar sabdanya. Para sahabat yang meliputi berita itu menyampaikannya kepada orang lain, baik kepada para sahabat lain maupun kepada para generasi setelah sahabat dan proses itu berlangsung sampai kepada para penulis Hadis seperti Bukhari Muslim, Abu Daud, At Tirmidzi, Ahmad An Nasa’i, Ibnu Majah, Daruquthni, Ibnu Hibbn dan sebagainya.15

c. Ijmak

Ijmak merupakan sumber hukum Islam yang ketiga. Ijmak menurut bahasa, artinya kesapakatan. Adapun menurut istilah, ijmak berarti pendapat para mujtahidin pada suatu masa dalam menetapkan suatu hukum yang tidak ditemukan dalilnya secara tegas dalam Al-Qur’an atau Hadis.16

Sunnatullah dalam perkembangan zaman senantiasa ditemui masalah-masalah baru dalam kehidupan manusia yang perlu diketahui kedudukan

13 Amroeni Drajat, Ulumul Quran, (Jakarta, Kencana, 2017),h.6

14 Manna Al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, (Jakarta Timur, Pustaka Al Kausar, 2013), h.22

15 Manna Al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, h.26

16 Amroeni Drajat, Ulumul Quran, h.8

hukumnya. Apabila para ulama mujtahidin sepakat dalam menetapkan hukumnya, berarti lahirlah ijmak / kesepakatan (konsensus) para ulama.

Meskipun ijmak menangani masalah-masalah yang tidak ada dalil hukumnya secara tegas dan jelas dari Al-Qur’an dan Hadis, namun prosesnya tidak boleh lrpas dari landasan Al-Qur’an dan Hadis, yaitu berpegang kepada kaidah dasar agama. Tidak boleh ada ijmak yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis yang merupakan sumber kaidah dasar agama. Andai kata ada ijmak yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis, ijmak tersebut otomatis batal.

d. Qiyas

Qiyas merupakan sumber hukum Islam yg keempat. Qiyas menurut bahasa artinya ukuran. Menurut istilah Qiyas adalah hukum yang telah tetap dalam suatu benda atau perkara, kemudian diberikan pula kepada suatu benda atau perkara lain yg dipandang memiliki asal, cabang, sifat dan hukum yang sama dengan suatu benda atau perkara yang telah tetap hukumnya.17

3. Tujuan Hukum Islam

Secara umum sering dirumuskan bahwa tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan. Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial. Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan di dunia ini saja, tetapi juga untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak.18

Abu Ishaq Al Shatibi merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni memelihara (1) agama, (2) jiwa, (3)akal, (4) keturunan dan (5) harta, yang

17 Retnowulandari, Wahyuni, Hukum Islam dan Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta : Trisakti, 2009), h.45

18 Irfan, Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual dalam Hukum Pidana Islam, h.34

kemudian di sepakati oleh ilmuwan hukum Islam lainnya. Kelima tujuan hukum Islam itu di dalam kepustakaan disebut Al-Maqasid Al- Khamsah atau Al- Maqasid Al-Shariah (baca al-maqasidis syariah, kadang-kadang disebut al- maqadis syar’iyah) (tujuan-tujuan hukum Islam).19

Tujuan hukum Islam tersebut dapat dilihat dari dua segi, yakni (1) segi pembuat hukum Islam,yaitu Allah dan Rasul-Nya (2) segi manusia yang menjadi pelaku dan pelaksana hukum Islam itu. Kalau dilihat (1) pembuat Hukum Islam, tujuan Islam itu adalah pertama, untuk memenuhi keperluan hidup manusia yang bersifat primer, sekunder dan tersier yang dalam kepustakaan hukum Islam masing-masing disebut dengan istilah daruriyyat, hajjiyat dan tahsiniyyat. Kedua, tujuan hukum Islam adalah untuk ditaati dan dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Ketiga, supaya dapat ditaati dan dilaksanakan dengan baik dan ebnar manusia wajib meningkatkan kemampuannya untuk memahami hukum Islam dengan mempelajari usul al-fiqh, yakni dasar pembentukan dan pemahaman hukum Islam sebagai metedologinya.20

Dengan kata lain, tujuan hakiki hukum Islam jika dirumuskan secara umum adalah tercapainya keridaan Allah swt. dalam kehidupan manusia di dunia dan di akhirat kelak.

4. Karakteristik Hukum Islam

Ada beberapa karakteristik Hukum Islam yaitu : a. Takāmul

Takāmul adalah lengkap, sempurna, dan bulat, berkumpul padanya aneka pandangan hidup”.21

19 Jaslin Bin Muhammad, Seks Islami, (Jakarta : PT Al Mawardi Prima, 2006), h.54

20 Jaslin Bin Muhammad, Seks Islami, h.57

21 M. Hasbi Ash-Shiddieu, Falsafah Hukum Islam (Cet. V, Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 105.

b. Bersifat universal

Hukum Islam bersifat universal, mencakup seluruh manusia di dunia tidak dibatasi oleh faktor geografis atau batasan teori.22

c. Moralitas (Akhlaqi)

Moral dan akhlak sangat penting dalam pergaulan dunia ini. Oleh karena itu, Allah sengaja mengutus Nabi untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.

Sebagaimana juga Allah memerintahkan untuk mengambil contoh teladan dari moral Nabi. Relasi antara moral dan hukum adalah karakteristik terpenting dari kajian hukum Islam. Dalam hukum Islam antara keduanya tidak ada pemisahan, jadi pembahsan hukum Islam juga termasuk di dalamnya pembahasan moralitas.

Berbeda halnya dalam kajian hukum Barat, yang jelas-jelas memisahkan dengan tegas antara hukum dan moral.23

d. Sempurna

Syariat Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan garis besar permasalahan. Oleh karena itu, hukum-hukumnya bersifat tetap, tidak berubah-rubah sebab peberubah-rubahan masa dan tempat. Untuk hukum yang lebih rinci, syariat Islam hanya menetapkan kaidah dan memberikan patokan umum. Penjelasan dan rinciannya diserahkan pada ijtihad ulama dan cendekiawan.24

e. Elastis dan sistematis

Hukum juga berfiat elastis, ia meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan manusia. 25

22 M. Hasbi As-Shiddiegy, Falsafah Hukum Islam , h. 108

23 M. Hasbi Ash-Shiddieu, Falsafah Hukum Islam, h. 109.

24 M. Hasbi Ash-Shiddieu, Falsafah Hukum Islam, h. 109.

25 M. Hasbi Ash-Shiddieu, Falsafah Hukum Islam, h. 110.

f. Harakah

Dari segi harakah, hukum Islam mempunyai kemampuan bergerak dan bekembang, mempunyai daya hidup, dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan, mempunyai daya hidup dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan. Hukum Islam dengan pola pemikirannya dapat membentuk dirinya sesuai dengan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat, karena pola pemikiran Islam berdiri diatas dasar perimbangan sesuai dengan mafhum fitrah dan terdaapat hubungan erat antara ilmu, kebudayaan, dan falsafah dalam hukum Islam. Pola pemikiran Islam tidak membatasi gerak manusia tetapi mengarahkan dan menyaurkan. Manusia merdeka tetapi kemerdekaanya memiliki berbagai ketentuan.26

Hukum Islam dengan pola pemikirannya dapat membentuk dirinya sesuai dengan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat, karena pola pemikiran Islam berdiri diatas dasar perimbangan sesuai dengan mafhum fitrah dan terdaapat hubungan erat antara ilmu, kebudayaan, dan falsafah dalam hukum Islam. Pola pemikiran Islam tidak membatasi gerak manusia tetapi mengarahkan dan menyaurkan.Manusia merdeka tetapi kemerdekaanya memiliki berbagai ketentuan.

B. Tinjauan Umum Tentang Hukum Positif

Setiap bangsa di dunia mempunyai hukumnya sendiri-sendiri yang bisa berbeda dengan hukum bangsa lain. Seperti telah disinggung bahwa kata

“tata”menurut kamus bahasa Indonesia berarti aturan, susunan, cara menyusun, sistem. Tata hukum atau susunan hukum adalah hukum yang berlaku pada waktu tertentu dalam suatu wilayah negara tertentu yang di sebut hukum positif, dalam bahasa latinnya Ius Constitutum lawannya ius constituendum atau hukum yang

26 Achmad Musyahid Idrus, Melacak Aspek-Aspek Sosiologis dalam Penetapan Hukum Islam, Cet.I, (2012) http://scholar.google.co.id/. Mengutip dari jurnal, diakses19 Januari 2021

dicita-citakan / hukum yang belum membawa akibat hukum.

Pada dasarnya tata hukum sama dengan sistem hukum yaitu suatu cara atau sistem dan susunan yang membentuk keberlakuan suatu hukum di suatu wilayah tertentu dan pada waktu tertentu. Tata hukum suatu negara ,hukum positif adalah tata hukum yang diterapkan atau disahkan oleh negara itu. Dalam kaitannya di Indonesia, yang ditata itu adalah hukum positif yang berlaku di Indonesia. Hukum yang sedang berlaku artinya apabila ketentuan-ketentuan hukum itu dilanggar maka bagi si pelanggar akan dikenakan sanksi yang datangnya dari badan atau lembaga berwenang.

Dengan demikian, tata hukum Indonesia adalah hukum (peraturan-peraturan hukum) yang sekarang berlaku di Indonesia. Dengan kata lain, tata hukum Indonesia itu menata, menyusun, mengatur tertib kehidupan masyarakat Indonesia (Negara Republik Indonesia).27

Hukum positif (Bahasa latin : ius positum) adalah hukum yang dibuat oleh manusia yang mewajibkan atau menetapkan suatu tindakan. Istilah ini juga mendeskripsikan penetapan hak-hak tertentu untuk suatu individu atau kelompok.28

Konsep hukum positif merupakan konsep yang berlawanan dengan konsep yang berlawanan dengan konsep hukum alam. Dalam konsep ini, hak-hak diberikan lewat undang-undang, tetapi oleh “Tuhan alam atau nalar”. Hukum positif juga dideskripsikan sebagai hukum yang berlaku pada waktu tertentu (masa lalu atau sekarang) dan ditempat tertentu. Hukum ini terdiri dari hukum tertulis atau keputusan hakim asalkan hukum tersebut mengikat. Hukum positif merupakan sederet asas dan kaidah hukum yang berlaku saat ini, berbentuk

27 Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. (Cet.

IX; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h.67

28 Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, (Cet.IV; Depok: Rajawali Pers, 2017), h.86

kedalam lisan maupun tulisan yang keberlakuan hukum tersebut mengikat secara khusus dan umum yang ditegakkan oleh lembaga peradilan atau pemerintahan yang hidup dalam suatu negara.29

Hukum positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia. Penekanan pada saat ini sedang berlaku, karena secara keilmuan rechtwefenschap, pengertian hukum positif diperluas. Bukan saja yang sedang berlaku sekarang, melainkan termasuk juga hukum yang pernah berlaku di masa lalu. Perluasan ini timbul karena dalam definisi kelimuan mengenai hukum positif dimasukkan unsur berlaku pada waktu tertentu dan waktu tertentu.30

Hukum positif yaitu hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu.31 Hukum yang pernah berlaku adalah juga hukum yang berlaku pada waktu tertentu dan tempat tertentu, sehingga termasuk pengertian hukum positif, walaupun di masa lalu. Memasukkan hukum yang pernah berlaku sebagai hukum positif dapat pula dikaitkan dengan pengertian keilmuan yang membedakan antara ius constitutum dan ius constituendum . Ius constituendum lazim didefinisikan sebagai hukum yang diinginkan atau yang dicita-citakan yaitu, hukum yang telah didapati dalam rumusan-rumusan hukum tetapi belum berlaku berbagai rancangan peraturan perundang-undangan adalah contoh-contoh dari ius constituendum . Termasuk juga Ius constituendum adalah peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan tetapi belum berlaku.32

29 Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta : Rieneka Cipta, 1982), h.21

30 Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, h.28

31 Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, h.89

32 Bisri, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Dipihak lain ada Ius constituendum yaitu hukum yang berlaku atau disebut hukum positif. Hukum yang pernah berlaku adalah ius constitution walaupun tidak berlaku lagi, karena tidak mungkin dimasukkan sebagai Ius constituendum.33

Selain unsur pada saat sedang berlaku didapati pula unsur-unsur lain dari hukum positif yaitu :

a. Hukum positif yang mengikat secara umum atau khusus

Mengikat secara umum adalah aturan hukum yang berlaku umum yaitu peraturan perundang-undangan, hukum adat, yurisprudensi dan hukum agama yang dijadikan atau diakui sebagai hukum positif seperti hukum perkawinan.

Khusus bagi yang beragama Islam ditambah dengan hukum waris, wakaf dan beberapa bidang hukum lainnya.34

Mengikat secara khusus adalah hukum yang mengikat subjek tertentu atau objek tertentu saja yaitu yang secara keilmuan (Ilmu Hukum administrasi Negara) dinamakan beschikking. Termasuk juga keputusan presiden yang menetapkan pengangkatan atau pemberhentian pejabat-pejabat alat kelengkapan negara.35

Selanjutnya, hukum khusus termasuk juga ketetapan MPR mengangkat presiden atau wakil presiden. Berbagai keputusan konkrit ini dimasukkan juga sebagai hukum positif karena mengikat. Secara langsung mengikat yang bersangkutan. Secara tidak langsung mengikat pula pihak lain.

Selanjutnya, hukum khusus termasuk juga ketetapan MPR mengangkat presiden atau wakil presiden. Berbagai keputusan konkrit ini dimasukkan juga sebagai hukum positif karena mengikat. Secara langsung mengikat yang bersangkutan. Secara tidak langsung mengikat pula pihak lain.