• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.2 Landasan Teori

2.2.8 Unsur-unsur Puisi

2.2.8.1 Unsur Fisik Puisi

Unsur fisik puisi yakni unsur estetik yang membangun struktur luar dari puisi. Menurut Waluyo (1987:71), yang termasuk unsur fisik adalah diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif (majas), verifikasi, dan tata wajah.

Dalam menulis atau membuat puisi penyair harus cermat dalam memilih kata-kata atau diksi, sebab kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan kata itu. Nurhadi (2015:110) mengatakan diksi adalah kata-kata yang terpilih dan tertulis dalam

puisi untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan. Kata-kata yang dipilih mengungkapkan apa yang ingin disampaikan penyair.

Menurut Jabrohim, dkk. (2009:35), untuk mencapai diksi yang baik, penyair harus memahami masalah kata dan maknanya, memperluas kosa kata dan memilih kata yang tepat sesuai dengan situasi yang dihadapi. Di samping pemilihan kata yang tepat, penyair juga harus mempertimbangkan urutan diksi yang tepat dan kekuatan magis dari kata-kata. Pemilihan diksi pada puisi harus tepat karena ketepatan adalah kemampuan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan yang sama pada imajinasi pembaca atau pendengar seperti yang dipikirkan atau dirasakan penulis atau pembicara. Maka, kata-kata yang dipilih harus cermat untuk mencapai maksud puisi tersebut (Keraf, 2006:88).

Kata-kata dalam puisi memiliki banyak makna. Ada dua jenis diksi yaitu denotatif dan konotatif. Denotatif dapat diartikan sebagai makna tersurat atau makna sebenarnya, sedangkan konotatif adalah makna tersirat atau tidak sebenarnya (Priyatni, 2010:69). Kata-kata jenis tersirat biasanya memperoleh pergeseran arti tergantung pada situasi, kondisi, tempat, dan waktu pemakaiannya. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa diksi adalah pemilihan kata yang dipakai penulis untuk menyampaikan gagasan atau perasaan. Memilih kata untuk dijadikan puisi tidak bisa asal dan harus tepat pada penempatan kata agar mengandung makna yang dalam saat dibaca.

Pemilihan diksi dapat berpengaruh dalam menghasilkan imajinasi dalam puisi. Waluyo (1987:78) mengatakan pengimajinasian yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan,

pendengaran, dan perasaan. Setiap baris dalam puisi seolah mengandung gema suara (imaji auditif) benda yang nampak (imaji visual) atau sesuatu yang dapat dirasakan, raba atau sentuh (taktil). Ungkapan dari penyair diungkapkan secara konkret mirip musik atau gambar atau citra rasa tertentu. Pembaca atau pendengar puisi dapat seolah-olah mendengarkan, melihat, atau merasakan. Penggalan puisi milik Rendra di bawah ini menimbulkan imaji visual:

Satu demi satu yang maju tersadap darahnya Penunggang baja dan kuda mengangkat kaku muka

(“Balada Terbunuhnya Atmo Karpo”)

Pengimajinasian dapat berarti dapat merasakan apa yang kita baca. Penyair berusaha menciptakan imajinasi melalui kata-kata yang dipilih sehingga pembaca seolah-olah dapat merasakan apa yang ditulis penyair. Bait sajak Ramadhan K.H. Berikut ini mengungkapkan imaji auditif dan visual.

Seruling di pasir ipis, merdu/ antara gundukan pohon pina

(Priangan si Jelita)

Pada penggalan puisi di atas seolah dapat mendengarkan suara seruling (auditif) dan seolah melihat gundukan pasir yang membentang (visual). Setelah mengetahui imaji visual dan audio berikut adalah contoh dari imaji taktil yang dapat dihayati dalam penggalan puisi milik chairil anwar:

Tuhanku/ aku hilang bentuk/ remuk/ Tuhanku/ aku mengembara di negeri asing/ Tuhanku/ di pintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling.

Contoh pengimajiansian taktil di atas, membuat pembaca seolah ikut mengusapkan tangan di dada. Pembaca ikut merasakan rintihan orang yang menyadari segala dosa-dosanya, dan memohon kepada sang pencipta untuk kembali ke jalan yang benar.

Pemilihan diksi oleh penyair memengaruhi pengimajianasian puisi. Oleh karena itu, kata-kata menjadi lebih konkret seperti yang dihayati dalam pengelihatan, pendengaran atau cipta rasa. Ada hubungan erat yang terjalin antara diksi, pengimajian, dan kata konkret (Waluyo 2003:78). Pengimajian dapat menimbulkan pengalaman sensoris seperti pengelihatan, pendengaran maupun citra rasa.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pengimajian merupakan kata-kata yang menimbulkan daya imajinasi, sugesti, dan daya kritis pembaca agar dapat memaknai isi puisi. Imajinasi dapat menambah makna puisi agar menjadi lebih baik untuk dibaca. Pembaca akan seolah-olah mendengar, merasakan, dan melihat.

Kata-kata dalam puisi diperkonkret untuk membangkitkan daya imaji pembaca. Jabrohim, dkk. (2009:41) mengatakan kata konkret adalah kata-kata yang dipilih untuk menggambarkan suatu lukisan keadaan atau suasana batin untuk membangkitan imaji pembaca. Penyair yang mampu memperkonkret kata-kata maka pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasa apa yang dilukiskan oleh penyair. Hal demikian sejalan dengan Wicaksono (2014:25) bahwa kata konkret adalah kata-kata yang digunakan oleh penyair untuk

menggambarkan suatu lukisan keadaan atau suasana batin untuk membangkitkan imaji pembaca.

Pendapat lain dikatakan oleh Tarigan (1985:32) bahwa kata konkret adalah kata yang konkret dan khusus, bukan kata yang abstrak dan bersifat umum. Chairil Anwar memperkonkret gambaran jiwanya yang penuh dosa, menggunakan kata:“aku hilang bentuk/remuk”. Setiap penyair berusaha mengonkretkan kata supaya pembaca mendapatkan gambaran jelas dari puisi itu. Cara penyair yang satu dengan lainnya berbeda-beda dalam mengonkretkan kata. Pengkonkretan kata dapat membantu penyair untuk memperjelas apa yang ingin dikemukakan. Dari beberapa pendapat tersebut mengenai kata konkret dapat disimpulkan bahwa kata konkret adalah kata-kata yang dapat menggambarkan keadaan atau suasana tertentu sehingga menimbulkan daya imajinasi pembaca.

Selain kata konkret, penyair menggunakan bahasa yang bersusun-susun atau berfigura sehingga disebut bahasa figuratif. Bahasa figuratif dapat memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Waluyo (1987:83) mengatakan bahasa figuratif ialah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa tetapi bermakna. Kata atau bahasanya bermakna kias atau makna lambang.

Bahasa figuratif yang pertama terdapat kiasan yaitu yang mempunyai makna yang lebih luas dengan gaya bahasa kiasan karena mewakili apa yang secara tradisional disebut gaya bahasa secara keutuhan. Sujiman (dalam Jabrohim, dkk. (2009:42)) mengatakan kiasan adalah majas yang mengandung perbandingan tersirat sebagai pengganti kata atau ungkapan lain untuk melukiskan kesamaan

atau kesejajaran makna. Ada beberapa ahli yang berpendapat bahwa kiasan termasuk dalam metafora maupun bahasa figuratif. Namun, istilah kiasan dapat dikatakan sebagai bentuk dari majas.

Bahasa kiasan menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan menimbulkan kejelasan gambaran angan (Pradopo, 2005:62). Bahasa kiasan mengiaskan atau mempersamakan suatu hal agar terlihat lebih jelas, menarik dan puisi menjadi hidup. Kiasan yang dipakai menimbulkan banyak makna pada puisi sehingga pembaca atau pendengar akan tertarik.

Waluyo (1987:84) mengatakan tujuan menggunakan gaya bahasa kiasan berfungsi untuk menambah efek lebih kaya, efektif, dan lebih sugestif dalam puisi. Penggunaan gaya bahasa kiasan akan menambah keindahan bentuk puisi dan akan lebih bermakna. Macam-macam bentuk kiasan yaitu metafora, perbandingan, personifikasi, hiperbola, sinekdoke, dan ironi.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa figuratif adalah bahasa pengarang yang disampaikan secara tidak langsung untuk menyamakan atau membandingkan suatu hal yang memiliki makna tertentu. Tujuan menggunakan bahasa figuratif juga untuk menambah makna dan efek tertentu pada puisi.

Selain bahasa figuratif, dalam puisi juga ada bahasa kiasan yang dapat memperdalam makna puisi itu. Bahasa kiasan yang pertama adalah metafora. Waluyo (1987:84) mengatakan metafora adalah kiasan langsung yang artinya benda yang dikiaskan itu tidak disebutkan. Jadi, ungkapan itu langsung berupa

kiasan. Becker (dalam Pradopo, 2005:66) mengatakan bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding seperti bagai, laksana, seperti, dan sebagainya. Hal lainnya diungkapan Jabrohim (2009:44) mengatakan metafora adalah bentuk bahasa figuratif yang memperbandingkan sesuatu hal dengan hal lainnya yang tidak serupa. Dalam “Surat cinta”, Rendra mengiaskan diri kekasihnya sebagai putri duyung.

Engkaulah Putri Duyung/ tawananku/ Putri Duyung dengan suara merdu/ lembut bagai angin laut/ mendesahlah bagiku.

Kiasan yang tidak langsung disebut perbandingan atau simile. Biasanya benda yang dikiaskan menggunakan kata laksana, bagaikan, bagai, bak, dan sebagainya. Jabrohim (2009:44) mengatakan simile adalah jenis bahasa figuratif yang menyamakan satu hal dengan hal yang sesungguhnya tidak sama. Contoh perbandingan yang sudah lama ada yaitu: matanya bagai bintang timur, larinya bagai anak panah, dan sebagainya. Ajip Rosidi membuat perbandingan dengan kata- kata: tajam tangannya lancip gobang, matamu mata dadu, dan sebagainya.

Waluyo (1987:84) mengatakan personifikasi yaitu keadaan atau peristiwa alam yang sering dikiaskan sebagai keadaan atau peristiwa yang dialami manusia. Dalam hal ini, benda mati dianggap sebagai makhluk hidup atau manusia. Pendapat lain mengenai personifikasi oleh Jabrohim (2009:44) mengatakan personifikasi dimaksudkan untuk memberikan kejelasan gambaran, menimbulkan bayangan angan konkret, dan mendramatisasikan suasana dan ide yang ditampilkan. Pembaca dapat seolah-olah dapat merasakan benda mati yang hidup seperti manusia. Dalam “Gadis peminta- minta”, Toto Sudarto Bachtiar menulis personifikasi sebagai berikut:

“Kotaku jadi hilang tanpa jiwa”, “bulan di atas itu tak ada yang punya”. Penggalan puisi di atas mengibaratkan benda-benda seperti kota dan bulan seperti manusia. Kota yang hilang tanpa jiwa merupakan pengandaikan kota yang sudah tidak ada aktivitas atau suda sepi. Sedangkan bulan dikatakan tidak ada yang punya seperti manusia yang sendiri tanpa ada yang memiliki.

Pada saat menulis puisi ada juga penyair yang melebih-lebihkan kata,hal itdisebut hiperbola. Waluyo (1987:85) mengatakan hiperbola adalah kiasan yang berlebih-lebihan. Penyair dianggap melebih-lebihkan kata-kata dalam puisi agar mendapatkan perhatian yang lebih saksama dari pembaca. Sebagai contoh untuk melebih-lebihkan sifat jelek pihak yang dikritik, Rendra membuat hiperbola sebagai berikut:

Politisi dan pegawai tinggi/ adalah caluk yang rapi/ Konggres-konggres dan konperensi/ tak pernah berjalan tanpa kalian.

(“Bersatulah pelacur-pelacur kota Jakarta”) Rendra mengandaikan bahwa para politikus atau pegawai pemerintahan selalu berpakaian yang rapih. Tanpa adanya mereka maka kegiatan kepemerintahan tidak akan berjalan. Hal ini sebagai wujud pengkritisan terhadap kinerja pemerintahan yang biasanya para politikus hanya menyombongkan diri dan kurang memerhatikan keadaan masyarakat. Waluyo (1987:85) mengatakan sinekdoke adalah menyebutkan sebagian maksud keseluruhan, atau menyebutkan keseluruhan untuk sebagian. Maksud dari pernyataan tersebut adalah suatu hal bagian penting dari suatu benda atau pada suatu hal itu sendiri. Jabrohim (2009:52) mengatakan sinekdoke dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni pars pro toto dan totum por parte. Pars pro toto adalah penyebutan sebagian dari

suatu hal untuk keseluruhan, sedangkan totum pro parte adalah penyebutan keseluruhan dari suatu benda atau hal untuk sebagiannya. Berikut contoh penggalan puisi yang mencerminkan adanya sinekdoke.

Para petani bekerja/ berumah di gubuk-gubuk tanpa jendela/ menana, bibit di tanah yang subur/ memanen hasil yang berlimpah dan makmur/ namun hidup mereka sendiri sengsara.

Penggalan puisi milik Rendra di atas menggambarkan sebagian petani yang menderita. Rendra menulis seolah-olah semua petani itu menderita, Hal ini untuk mempertajam kritiknya.

Dalam puisi pamflet, demonstrasi, dan kritik sosial, banyak digunakan ironi yang kata-katanya bersifat berlawanan untuk memberikan sindiran. Ironi dapat berubah menjadi sarkasme dan sinisme, yakni penggunaaan kata-kata keras dan kasar untuk menyindir atau mengritik. Apabila akan membicarakan kebaikan, keduanya (sarkasme dan sinsisme) tidak dipakai. Ironi tetap berfungsi sebagai sindiran atau kritik. Hal itu biasanya ditujukan pada politikus ataupun pihak yang lainnya. Rendra menggambarkan dalam puisinya dunia pendidikan yang semakin menurun kualitasnya. Di bawah ini merupakan penggalan puisi dari Rendra yang menggambarkan adanya ironi:

Apakah gunanya pendidikan/ bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing/ditengah kenyataan persoalannya/apakah gunanya pendidikan/ bila hanya mendorong seseorang/menjadi layang- layang di ibu kota/kikuk pulang ke daerahnya?

(“Sajak Seonggok jagung”, 1975)

Selain bahasa kiasan, puisi juga mengandung pelambangan, seperti halnya kiasan, lambang dalam puisi digunakan agar puisi semakin jelas dan menggah hati para pembaca.Waluyo (1987:87) mengatakan pelambangan digunakan penyair

untuk memperjelas makna dan membuat nada serta suasana sajak menjadi lebih jelas, sehingga dapat menggunggah hati pembaca. Macam-macam lambang ditentukan oleh keadaan atau peristiwa. Dalam puisi terdapat lambang warna, benda, bunyi dan suasana. Pelambangan yang dibuat oleh penyair jika sesuai dengan apa yang dirasakan menjadi lebih menarik untuk dibaca.

Selain bahasa figuratif dan pelambangan, puisi juga mengandung verifikasi (Rima, ritma, dan metrum). Bunyi dalam puisi menghasilkan rima dan ritma. Waluyo (1987:90) mengatakan rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi. Pengulangan bunyi dalam puisi dapat menghasilkan puisi yang indah dan mendukung irama dalam puisi. Pendapat lain tentang rima oleh Nurhadi (2015:107) mengatakan rima merupakan pola-pola pengulangan bunyi dalam puisi. Pengulangan bunyi menyebabkan puisi itu merdu sewaktu dibacakan. Penempatan bunyi dan pengulangan kata diharapkan tidak hanya di akhir setiap baris namun juga keseluruhan baris dan bait. Dalam ritma, pemotongan-pemotongan baris menjadi frasa yang berulang-ulang merupakan unsur yang memperindah puisi.

Ritma berasal dari bahsa Yunani rheo yang berarti gerakan-gerakan air yang teratur, terus menerus dan tidak terputus-putus (mengalir terus). Waluyo (1987:94) menyatakan ritma merupakan pertentangan bunyi tinggi/rendah, panjang/pendek, keras/lemah, yang mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan.

Ritma puisi berbeda dengan metrum. Waluyo (1987:96) mengatakan metrum berupa pengulangan tekanan kata yang tetap. Metrum sifatnya statis, berhubungan dengan hal itu metrum berupa penandaan suku kata dalam puisi. Wicaksono (2014:27) mengatakan metrum adalah irama yang tetap, artinya pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu. Suku kata dalam puisi biasanya diberi tanda, manakah yang mendapatkan tanda (ˊ) di atasanya, sedangkan tekanan lemah diberi tanda (͝ ).

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi baik dalam larik maupun akhir larik dalam puisi. Sedangkan ritma dalam puisi adalah bunyi panjang-pendek, tinggi-rendah, dan lemah-kuatnya puisi saat puisi tersebut dibacakan. Metrum merupakan irama dalam puisi yang tetap dengan diberi tanda untuk menandakan pembacaan dalam puisi.

Tipografi adalah pembeda yang penting antara puisi dengan prosa. Larik-larik puisi tidak membangun periodiditet yang disebut paragraf, namun membentuk bait. Baris puisi tidak bermula dari tepi kiri dan berakhir ke tepi kanan baris. Bentuk susunan sebuah puisi banyak macamnya, tergantung dari gaya penulis. Wicaksono (2014:28) mengatakan maksud dari penyusunan tipografi adalah untuk keindahan indrawi dan untuk mendukung pengedapan makna, rasa, dan suasana puisi. Tipografi juga dapat menjadikan makna tambahan pada sebuah puisi. Tipografi dianggap penting sehingga dapat menggeser kedudukan makna kata-kata. Kata-kata puisi yang disusun dapat diwujudkan dengan panjang pendeknya sebuah larik yang membentuk suatu kesatuan yang

padu. Penyair dapat membuat tipografi yang bervariasi. Hal itu, membuat puisi menjadi kaya makna. Jadi, dari penjelasan mengenai tipografi di atas dapat disimpulkan tipografi adalah penyusunan bait-bait pada puisi yang menimbulkan keindahan artistik dan juga menimbulkan makna maupun suasana tertentu.

Dokumen terkait