• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENETASAN TELUR CUMI-CUMI 5.1 Pendahuluan

7.2 Upaya Pengelolaan Stok Cumi-cum

Pengembangan atraktor cumi sebagai instrumen kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan untuk meningkatkan stok cumi-cumi memerlukan upaya pengelolaan yang bersifat strategis dan terpadu. Kebijakan yang diterapkan harus dilakukan secara terpadu mengingat wilayah pesisir memiliki stakeholder yang beragam dan masing-masing memiliki kepentingan yang kadang bersifat kontradiktif. Berikut diuraikan upaya pengelolaan yang perlu diterapkan:

(a) Konservasi kawasan penempatan atraktor cumi

Kawasan tempat penempatan atraktor sebagaimana telah dibahas pada bagian sebelumnya sebaiknya ditempatkan pada lokasi dimana ditemukan telur cumi-cumi atauspawning ground. Cumi-cumi akan melakukan ruaya ke perairan yang lebih dangkal pada saat akan memijah (Kreuzer (1984) dalam Tasywiruddin (1995). Daerah pemijahan cumi-cumi biasanya di teluk-teluk atau perairan yang terlindung. Dalam rangka menjaga keberadaan atraktor cumi, menyediakan areal yang memenuhi syarat untuk tempat bertelur cumi dan meningkatkan keberhasilan penetasan telur maka kawasan tempat pemasangan atraktor tersebut perlu ditetapkan sebagai daerah konservasi.

Penetapan daerah konservasi tersebut harus ditetapkan dengan payung hukum dalam bentuk peraturan daerah agar bersifat mengikat tidak hanya kepada pelaku usaha perikanan tetapi juga untuk stakeholder lainnya. Pemerintah Pusat telah menyediakan instrumen hukum untuk pembentukan kawasan konservasi tersebut melalui:

a. UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

b. UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 27 ayat (3) menyatakan Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumberdaya alam di laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.

c. UU Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 13 ayat (1) menyatakan dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan, dilakukan upaya konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika ikan.

Penetapan daerah konservasi akan lebih efektif apabila dalam pengawasannya melibatkan partisipasi masyarakat nelayan setempat yang memanfaatkan kawasan konservasi tersebut. Pelibatan masyarakat bisa dilakukan dalam bentuk community based management. Terkait hal ini diperlukan adanya pemberian insentif bagi masyarakat nelayan yang terlibat baik insentif langsung maupun tidak langsung.

Penetapan daerah konservasi ini memiliki konsekuensi mengurangi daerah operasi penangkapan para nelayan sehingga dapat menurunkan pendapatan nelayan atau meningkatkan biaya operasi penangkapan karena harus mencari daerah penangkapan yang lebih jauh. Oleh karena itu dalam rangka mengurangi dampak tersebut dapat dilakukan pengembangan mata pencaharian alternatif yang sesuai dengan tujuan konservasi seperti melakukan usaha budidaya laut dan mengembangkan kegiatan ekowisata berbasis konservasi.

(b) Pengaturan upaya penangkapan

Peningkatan upaya penangkapan cumi-cumi yang terjadi pada tahun 2010- 2011 mengakibatkan turunnya CPUE sehingga menyebabkan sumberdaya cumi- cumi mengalami tekanan. Kebijakan yang perlu diterapkan untuk mengatasi hal tersebut yaitu dengan melakukan pengaturan upaya penangkapan. Berdasarkan hasil analisis optimasi diketahui bahwa upaya penangkapan optimal pada kondisi MEY yaitu 5.544 trip per tahun. Dari hasil analisis sistem dinamik terlihat bahwa ketika upaya penangkapan dijaga pada tingkat tersebut maka stok cumi-cumi selama periode simulasi mengalami peningkatan, demikian juga dengan produksi per trip, pendapatan dan keuntungan.

Pengaturan upaya penangkapan memiliki konsekuensi pada pengurangan jumlah armada dan jumlah alat tangkap cumi-cumi yang dapat beroperasi. Dalam rangka mengurangi dampak tersebut dapat dilakukan pemberian bantuan penyediaan alat tangkap non-cumi-cumi yang ramah lingkungan atau pengembangan mata pencaharian alternatif seperti sudah diuraikan sebelumnya. (c) Pengaturan ukuran minimum cumi-cumi yang boleh ditangkap

Pengaturan ukuran minimum (minimum legal size, MLS) ini perlu diterapkan bagi nelayan yang menangkap cumi-cumi dengan menggunakan jaring, baik jaring cumi, jaring bagan, maupun jaring lainnya. Pengaturan ukuran minimum ini penting dilakukan untuk menjaga kelangsungan populasi dari kepunahan. MLS biasanya diterapkan berdasarkan ukuran rata-rata populasi mencapai matang gonad 50% (Lm50) dan ditingkatkan 10% bila intensitas penangkapan naik (Caddy dan Mahon 1995). Pada penelitian ini tidak dilakukan pengukuran tingkat kematangan gonad (TKG), sehingga disarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan biologi reproduksi cumi-cumi lebih detil sehingga dapat ditetapkan ukuran minimum cumi-cumi yang boleh ditangkap.

Pengaturan ukuran minimum cumi-cumi yang boleh ditangkap memiliki konsekuensi pada penurunan hasil tangkapan nelayan yang selanjutnya akan menurunkan pendapatan usaha. Dalam rangka mengurangi dampak tersebut dapat dilakukan pemberian bantuan penyediaan alat tangkap non-cumi-cumi yang ramah lingkungan atau pengembangan mata pencaharian alternatif seperti sudah diuraikan sebelumnya.

(d) Standarisasi alat tangkap cumi-cumi dan pengaturan daerah penangkapan

Standarisasi alat tangkap cumi-cumi sangat penting untuk diterapkan khususnya untuk nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring seperti jaring cumi dan jaring bagan tancap. Hufiadi dan Genisa (2001) melaporkan bahwa besar mata jaring payang oras di Selat Alas Nusa Tenggara Barat hanya 0,5 inchi sehingga banyak cumi-cumi muda atau yang berukuran kecil tertangkap alat tersebut. Hal yang diatur dalam standarisasi ini mencakup ukuran mata jaring, panjang jaring serta daerah penangkapan yang diperbolehkan. Perlu dilakukan kajian lanjutan untuk menetapkan dasar ilmiah standarisasi alat tangkap cumi- cumi.

Penetapan standarisasi alat tangkap cumi-cumi memiliki konsekuensi terhadap berkurangnya jumlah armada dan alat tangkap sehingga berpotensi

menurunkan produksi cumi-cumi. Dalam rangka mengurangi dampat tersebut dapat dilakukan pemberian bantuan alat tangkap cumi-cumi yang ramah lingkungan atau jika jumlah alat tangkap cumi sudah terlalu banyak diberikan bantuan alat tangkap non-cumi-cumi yang ramah lingkungan. Pilihan lain yaitu mengembangkan mata pencaharian alternatif seperti sudah diuraikan sebelumnya. 7.3 Protokol Model Peningkatan Stok

Dalam rangka penyusunan dan implementasi model peningkatan stok cumi- cumi maka tahapan yang harus dilakukan yaitu:

1) Analisis musim penangkapan dan hubungannya dengan faktor oseanografi khususnya suhu permukaan laut dan klorofil-a. Data yang diperlukan dalam analisis ini meliputi data time series produksi, jumlah trip, jumlah alat tangkap menurut jenis, serta data oseanografi dari citra satelit yang bisa diunduh secara bebas atau berbayar dari lembaga penyedia data.

2) Analisis dinamika populasi cumi-cumi yang mencakup pola pertumbuhan, pertumbuhan, mortalitas dan laju eksploitasi. Data yang diperlukan dalam analisis ini meliputi data panjang mantel, berat tubuh, jumlah telur dan tingkat kematangan gonad telur cumi-cumi.

3) Analisis bio-ekonomi untuk mengetahui status tingkat pemanfaatan sumberdaya cumi-cumi. Data yang diperlukan analisis ini meliputi data time seriesproduksi, jumlah trip, jumlah alat tangkap menurut jenis, biaya operasi penangkapan, dan harga cumi-cumi.

4) Analisis perairan pesisir yang menjadi lokasi spawning ground cumi-cumi dan penetapan luasan kawasan untuk menghitung jumlah atraktor cumi-cumi yang akan ditempatkan.

5) Penetapan lokasi penempatan atraktor cumi sebagai kawasan konservasi. Penetapan kawasan konservasi ini harus ditetapkan dengan payung hukum dalam bentuk peraturan daerah sehingga memiliki legitimasi ketika harus berhadapan dengan kepentingan lain yang memanfaatkan ruang di wilayah tersebut.

6) Penetapan kelembagaan yang menjadi pengelola kawasan konservasi. Penetapan kelembagaan juga harus ditetapkan dengan payung hukum dan bisa satu payung hukum dengan penetapan kawasan konservasi. Penetepan kelembagaan diperlukan untuk menjelaskan tugas dan fungsi serta struktur lembaga pengelola.

7) Sosialisasi kepada nelayan dan stakeholder lainnya mengenai tujuan dan manfaat kawasan konservasi serta fungsi atraktor cumi dalam peningkatan stok cumi-cumi. Sosialisasi diperlukan untuk menyamakan pandangan, pemahaman dan persepsi nelayan dan stakeholder lainnya. Dengan adanya sosialisasi diharapkan ada partisipasi aktif nelayan dan stakeholder lainnya dalam menjaga keberadaan kawasan konservasi dan mematuhi aturan hukum yang ditetapkan.

8) Pelatihan, pendampingan dan pembinaan baik kepada lembaga pengelola kawasan konservasi maupun kepada nelayan dan stakeholder lainnya. Personil lembaga pengelola kawasan perlu diberikan kemampuan manajemen dan kemampuan teknis dalam menjaga kawasan konservasi agar berfungsi dan berjalan dengan. Peningkatan kemampuan ini bisa dilakukan melalui pelatihan, pendampingan maupun pembinaan. Nelayan dan stakeholder

lainnya juga perlu diberi pelatihan, pendampingan dan pembinaan yang terkait dengan aspek pengetahuan dan keterampilan usaha penangkapan yang berkelanjutan atau mata pencaharian alternatif untuk mengurangi tekanan terhadap kondisi sumberdaya cumi-cumi.

9) Pelaksanaan kebijakan pengelolaan yang meliputi pengaturan upaya penangkapan, pengaturan ukuran minimum yang boleh ditangkap, standarisasi alat tangkap, dan pengaturan daerah penangkapan. Pelaksanaan kebijakan dimulai dengan menyusun instrumen hukum dalam bentuk penyusunan peraturan yang mengatur upaya penangkapan cumi-cumi, ukuran minimum yang boleh ditangkap, standarisasi alat tangkap dan pengaturan daerah penangkapan. Setelah ditetapkan sebagai peraturan selanjutnya dilakukan sosialisasi peraturan tersebut kepada nelayan dan stakeholder lainnya agar diketahui dan dipatuhi ketentuannya.

10) Pendataan jumlah dan ukuran/jenis kapal dan alat tangkap cumi-cumi, serta jumlah dan nilai produksi cumi-cumi hasil tangkapan secara berkala (harian dan bulanan). Pendataan diperlukan sebagai upaya untuk mengetahui perkembangan keragaan perikanan cumi-cumi yang dicapai. Pencapaian keragaan tersebut akan berguna sebagai bahan evaluasi apakah tujuan pengelolaan peningkatan stok cumi-cumi sudah tercapai atau belum sehingga dapat dilakukan langkah-langkah lanjutan untuk memperbaiki/meningkatkan hasil yang diperoleh.

11) Pemantauan, pengendalian dan pengawasan kebijakan dan operasional pengelolaan. Pemantauan, pengendalian dan pengawasan perlu dilakukan untuk memastikan aturan yang ditetapkan dipatuhi oleh pelaku usaha penangkapan. Pengawasan sebaiknya dilakukan secara terpadu, baik oleh pengawas Dinas Kelautan dan Perikanan maupun instansi terkait lainnya seperti Polisi Air dan Udara, serta Perhubungan Laut. Pengawasan akan lebih efektif dilakukan dengan melibatkan nelayan dan masyakarat karena mereka berada di lapangan sepanjang waktu.