• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Limbah Pemanenan Kayu

2.2.5 Upaya untuk Meminimalkan Besarnya Limbah Pemanenan Hutan

Menurut Budiaman (2000) volume limbah kayu bulat dapat dikurangi apabila dilakukan perbaikan dalam teknik penebangan dan pembagian batang. Peningkatan keterampilan pekerja melalui latihan kerja yang diberikan dapat memperkecil jumlah limbah yang terjadi pada kegiatan penebangan (Sinaga et al.

1984).

Soewito (1980) mengemukakan bahwa usaha-usaha untuk mengurangi limbah pemanenan kayu, sebagai berikut:

1. Mendirikan industri pengolahan hasil hutan yang memanfaatkan log berkualitas rendah.

3. Peningkatan kemampuan manajemen dan keterampilan pelaksana melalui pendidikan dan latihan.

Untuk mengurangi limbah pemanenan kayu dapat di tempuh melalui dua pendekatan, sebagai berikut:

1. Kegiatan sebelum pemanenan kayu

Dengan meningkatkan keterampilan pekerja, penggunaan teknis dan peralatan pemanenan yang sesuai, dilaksanakannya peraturan TPTI dengan sungguh- sungguh dapat mengurangi timbulnya limbah.

2. Kegiatan setelah pemanenan kayu

Limbah yang terjadi, baik pada kegiatan penebangan maupun industri akan dapat dikurangi dengan adanya peningkatan pemanfaatannya (Sastrodimedjo & Simarmata 1981).

Klassen (2006) menyebutkan contoh spesifik dari limbah kayu yang dapat dihindarkan sebagai berikut :

1. Tunggak yang terlalu tinggi

Kelebihan tunggak adalah bentuk nyata limbah kayu yang dapat dan mudah dihindari melalui pengawasan tempat kegiatan penebangan. Penelitian menunjukkan, limbah ini mewakili 1-2 % dari seluruh limbah kayu yang dapat dihindari.

2. Pemotongan banir dan ujung puncak pohon yang tidak tepat

Cara memotong kayu log dari pohon yang ditebang akan mempengaruhi tingkat pemanfaatan limbah. Sering kali penebang memotong pohon jauh di atas banir dimana diameter pohonnya mulai mengecil. Lubang kecil pada banir tersebut yang mengakibatkan berkurangnya volume kayu berkualitas karena dipotong, padahal sebenarnya seluruh log bisa ditarik ke TPn. Limbah kayu yang berada pada kategori ini, mewakili 35-55 % dari seluruh volume limbah kayu yang dapat dihindari.

3. Meninggalkan pohon yang sudah di tebang dalam hutan

Umumnya, kategori limbah kayu seperti ini merupakan 25-30 % dari seluruh volume limbah kayu yang dapat dihindari.

Menebang pohon yang mempunyai lubang sangat besar menjadi sangat tidak ekonomis untuk ditebang dan seharusnya dapat dihindari karena menyebabkan kerusakan yang tidak perlu pada pohon sekitarnya. Pohon berlubang juga memiliki nilai sebagai pohon bibit atau benih dan pada banyak kasus mempunyai fungsi ekologis dalam hutan. Penebang biasanya dapat menduga apakah suatu pohon berlubang dengan cara memukulkan parangnya pada pohon. Bila pohon dicurigai berlubang besar, penebang harus melakukan potongan secara vertikal untuk menentukan besarnya lubang. Bila ukuran lubang pada pohon tersebut melebihi batas toleransi yang ditentukan oleh standar pemanfaatan dari perusahaan, pohon tersebut tidak perlu ditebang.

Menurut Thaib (1991) upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menekan terjadinya limbah pemanenan kayu, sebagai berikut:

1. Melakukan inventarisasi tegakan sebelum tebangan dengan teliti.

2. Membuat rencana operasional dilengkapi petunjuk teknis pelaksanaan pemanenan dengan memperhatikan kondisi areal setempat.

3. Peningkatan daya guna peralatan yang ada.

4. Melaksanakan penyempurnaan sistem pengupahan pada kegiatan pemanenan yang merangsang upaya penekanan kayu limbah pemanenan.

5. Meningkatkan pengendalian dan pengawasan pada kegiatan pemanenan. 6. Meningkatkan keterampilan penebang berupa pelatihan menebang dan

pembagian batang.

2.3Faktor Eksploitasi

Sianturi et al. (1984) mendefinisikan faktor eksploitasi adalah indeks yang menunjukkan persentase volume pohon yang dimanfaatkan dari volume pohon yang ditebang. Bagian dari pohon bebas cabang yang tidak dimanfaatkan disebut limbah. Oleh karena itu persentase pohon yang dimanfaatkan ditambah persentase limbah sama dengan 100 persen. Faktor eksploitasi merupakan suatu faktor yang menentukan besarnya target tebangan tahunan. Makin besar faktor eksploitasi makin besar target produksi tahunan. Faktor eksploitasi dapat juga dipakai untuk memperkirakan realisasi dari produksi kayu di suatu areal hutan. Dengan perkiraan ini dapat ditaksir besarnya royalti yang harus dibayar di hutan tersebut.

Dengan cara penetapan yang demikian maka kayu yang dimanfaatkan akan meningkat, yaitu dalam memanfaatkan kayu limbah yang selama ini umumnya ditinggalkan di hutan untuk menghindari royalti dari kayu tersebut.

Faktor eksploitasi adalah perbandingan antara bagian batang yang dimanfaatkan dengan bagian batang yang diharapkan dapat dimanfaatkan. Batang yang dimanfaatkan adalah bagian batang yang sampai di logpond dan siap dipasarkan, sedangkan bagian batang yang diharapkan dapat dimanfaatkan adalah bagian batang dari atas tunggak yang diizinkan sampai cabang pertama (Dulsalam & Simarmata 1985).

Menurut Dulsalam (1995) pada hakekatnya faktor eksploitasi sangat erat kaitannya dengan limbah pemanenan kayu. Semakin besar limbah pemanenan kayu yang terjadi maka akan semakin kecil tingkat eksploitasi yang didapat dan semakin kecil limbah pemanenan kayu yang terjadi akan semakin besar faktor eksploitasi pemanenan hutan.

Besarnya faktor eksploitasi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Lempang et al. (1995) menyatakan bahwa tinggi rendahnya faktor eksploitasi, sebagai berikut: 1. Faktor non teknis, terdiri dari keadaan lapang, sifat kayu, cacat kayu, kerapatan

tegakan dan situasi pemasaran. 2. Faktor teknis meliputi :

a. Pengorganisasian dan koordinasi antara penebang, penyarad dan juru ukur, perencana hutan, peralatan, pengangkutan log, kemampuan memproses dan memanfaatkan kayu di industri, keterampilan penebang dan penyarad, pengawasan aparat dan petugas perusahaan, penetapan kualitas, serta kondisi jalan angkutan.

b. Kebijakan perusahaan dan tujuan pemasaran.

c. Kebijakan pemerintah dan aturan-aturan ke industri dan pemukiman masyarakat setempat.

Kelas diameter menunjukkan perbedaan yang sangat nyata terhadap besarnya faktor eksploitasi. Makin besar diameter batang maka semakin besar limbah pemanenan kayu, sehingga faktor eksploitasi semakin kecil (Dulsalam & Simarmata 1985). Hubungan antara diameter setinggi dada dan panjang kayu bebas cabang dengan faktor eksploitasi di hutan alam Dipterokarpa Pulau Laut

merupakan fungsi kuadratik, dan berlaku bagi Unit Kegiatan Pulau Laut Utara dan Pulau Laut Selatan. Besarnya faktor eksploitasi di hutan alam Pulau Laut yaitu 80% (Sianturi et al. 1984).

Besarnya faktor eksploitasi rata-rata jenis Meranti di Jambi, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur adalah 0,8. Faktor eksploitasi ini dipengaruhi oleh diameter batang, makin besar diameter batang makin besar faktor eksploitasi. Pada penelitian Lempang et al. (1995) besarnya faktor eksploitasi pada hutan alam di Sulawesi Selatan sebesar 0,8.