• Tidak ada hasil yang ditemukan

Urgensi dan Relevansi Filsafat Pengetahuan Islam

Dalam dokumen Paradigma Pendidikan Islam (Halaman 48-52)

Membangun Kembali Paradigma Pendidikan Islami Sebuah Konsep Awal

4. Filsafat Pengetahuan Islam

4.1. Urgensi dan Relevansi Filsafat Pengetahuan Islam

Apakah urgensi dan relevansi filsafat bagi kaum Muslimin, terutama dalam mengembangkan pengetahuan mereka ? Karena akibat pengaruh para pengikut al-Ghazaliyyah banyak dikalangan kaum Muslimin yang mengharamkan filsafat yang dianggapnya tidak memiliki urgensi dan relevansi bagi kaum Muslimin. Demikian pula dengan berkembangnya pengeta-huan-pengetahuan terapan praktis yang dibutuhkan pasar tenaga kerja telah menghilanhkan minat generasi muda terhadap filsafat yang merupakan inti pengetahuan itu sendiri. Sehubunggan dengan perkara ini, Jamal al-Dien al-Afghani menyatakan;

Ilmu yang mempunyai kedudukan sebagai jiwa yang utuh dan menempati jenjang teratas dalam menciptakan kekuatan adalah ilmu filsafat, karena bidang studinya universal. Ilmu filsafatlah yang menunjukkan orang akan kebutuhan-kebu-tuhan manusiawinya yang mendasar... Jika suatu masyarakat tidak menguasai filsafat, dan setiap individu yang ada dalam masyarakat itu hanya dibekali dengan ilmu-ilmu tentang bidang-bidang tertentu, ilmu-ilmu itu tidak akan mampu bertahan di dalam masyarakat itu, setidak-tidak-nya selama satu abad.

Sehubungan dengan perkara ini, Fazlur Rahman menyatakan :

85 S.H. Nasr, Science and Civilization in Islam, terj. J. Mahyuddin (Bandung : Pustaka, 1986) hlm. 288

Akan tetapi, filsafat merupakan suatu kebutuhan intelektual yang abadi dan mesti dibiarkan tumbuh subur baik demi disiplin filsafat itu sen-diri, maupun demi disiplin-disiplin yang lain, karena ia menanamkan semangat kritis-analitis yang sangat diperlukan dalam melahirkan gaga-san-gagasan baru yang menjadi alat intelektual yang penting bagi sains-sains lain, tak kurang bagi agama dan teologi. Karenanya suatu bangsa yang membuang kekayaan filsafatnya berarti men-campakkan dirinya dalam bahaya kelaparan gaga-san-gagasan segar

-melakukan bunuh diri intelektual. 87

Bagi kaum Muslimin sendiri, khususnya pada saat dimana kebangkitan peradaban sedang menjadi prioritas utamanya, maka menguasai filsafat tidak diragukan lagi adalah sangat penting. Karena filsafat adalah salah satu alat yang mutlak dikuasai agar mereka dapat menguasai peradaban dunia modern dan agar terhindar dari kesesatan yang terkandung dalam filsafat Barat modern. Disamping itu Islam sendiri telah merangsang agar para pengikutnya senantiasa menggunakan akalnya dalam mempelajari raelitas alam semesta ciptaan Allah. Namun filsafat yang dianjurkan Islam bukan filsafat bebas nilai sebagaimana yang diajarkan Barat sekuler, tapi filsafat yang semata-mata akan mendekatkan dan menghantarkan manusia kepada Allah sebagai hamba dan khalifah-Nya. Itulah sebabnya seluruh produk filsafat yang berdasarkan Islam tidak boleh bertentangan dengan ajaran Islam, baik dalam epistemologis, ontologis maupun metodeloginya.

Filsafat pengetahuan Islam berdasarkan pada tauhid, yaitu keesaan Allah dalam segala hal, baik sebagai sumber pengetahuan, pencipta pengetahuan dan pemilik pengeta-huan, manusia hanya sebagai wakil yang akan mengelola dan mengembangkan pengetahuan sebagaimana yang dikehenda-ki Allah. Konsekwensi logis pengertian ini adalah bahwa manusia dibenarkan menggunakan kemampuan aqalnya selama tidak bertentangan dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya.88

Demikian pula dengan kegagalan demi kegagalan yang diderita filsafat pengetahuan Barat dalam menghantarkan para pengikutnya menuju cita-citanya seperti saat ini sebagaimana dikemukakan oleh para cendikiawan mereka, maka tidak diragukan lagi pentingnya filsafat pengetahuan yang berdasarkan Islam sebagai alternatif pengganti yang akan menghantarkan umat manusia menuju kebenaran sejati sebagai tujuan akhir filsafat. Karena jika tidak dicarikan alternatif pengganti filsafat pengetahuan Barat yang sudah rapuh ini akan menjadi sumber kehancuran dunia yang sudah kelihatan tanda-tandanya akhir-akhir ini akibat kesalahan konsep yang mendasarinya sebagaimana dikemukakan SH. Nashr;

Peradaban yang berkembang di Barat sejak zaman Renaissance adalah sebuah eksperimen yang telah mengalami kegagalan sedemikian parahnya sehingga umat manusia menjadi ragu apakah mereka dapat menemukan cara-cara lain di 87 Fazlur Rahman, Islam and Modernity,hlm. 190

88 Tentang masalah ini, lihat misalnya : Syed M.Naquib al-Attas, Islam and The Philosophy of Science, (Kuala Lumpur : ISTAC, 1989). Wan Mohd. Nor Wan Daud, The Concept of Knowledge in Islam, (London : Manshell Publ. 1989). C.A. Qadir, Philosophy and Science in The Islamic World, (New York : Croom Helm, 1988) khususnya bab I. Mahdi Golshani, “Philosophy of Science from The Qur’anic Perpective” dalam Toward Islamization of Disciplines. (Virginia : IIIT, 1989) hlm. 73-92.

masa yang akan datang. Sangatlah tidak ilmiah apabila kita menganggap peradaban modern ini dengan segala gambaran mengenai sifat manusia dan alam semesta yang mendasarinya, bukan sebagai sebuah eksperimen yang gagal. Dan sesungguh-nya penelitian ilmiah, jika tidak menjadi jumud karena rasionalisme dan empirisme yang totalarian seperti yang kami katakan di atas, sudah tentu merupakan cara termudah untuk menyadarkan manusia sekarang bahwa peradaban modern sesungguhnya telah gagal karena kesalahan

konsep-konsep yang mendasa-rinya.89

Kegagalan peradaban Barat modern ini adalah tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia, sebagaimana dikemukakan SMN. al-Attas ;

Banyak tantangan yang timbul di tengah-tengah kebingungan manusia sepanjang zaman, tetapi tidak satupun yang lebih serius dan sangat destruktif kepada manusia sekarang selain yang ditimbulkan oleh peradaban Barat. Saya berpen- dapat bahwa tantangan yang paling besar yang secara sembunyi-sembunyi telah muncul pada zaman kita adalah tantangan pengetahuan (knowledge), tidak seperti berperang melawan kejahilan; tapi sebagai pengetahuan yang disusun dan disebarkan ke seluruh penjuru dunia oleh peradaban Barat; sifat dasar pengetahuan menjadi permasalahan setelah ia kehilangan tujuan sebenarnya karena disusun secara tidak adil yang dengan demikian justru menimbulkan kekacauan pada kehidupan manusia, dan lebih jauh pada kedamaian dan keadilan; pengetahuan mengang-gap diri sesuai dengan kenyataan, padahal ia adalah produk dari rasa kebingungan dan skeptisme, yang mengangkat keraguan dan dugaan pada tingkat ilmiah dalam metodeloginya dan memandang keraguan sebagai epistemologi paling tepat dalam mencari kebenaran; pengetahuan, untuk pertama kali dalam sejarah, telah membawa kekacauan pada tiga kerajaan alam, binatang, tumbuhan dan mineral.90

Maka dengan demikian tidak diragukan lagi pentingnya pada saat ini untuk mengembangkan sebuah paradigma filsafat pengetahuan Islam yang berdasarkan pada

wahyu agar dunia modern dengan segala perbendaharaan peradabannya dapat

menghantarkan manusia menuju kebenaran sejati. Karena filsafat pengetahuan Barat modern yang berkembang pesat bahkan menjadi pegangan sebagian besar kaum Muslimin saat ini telah mengalami kegagalan dengan menghasilkan produk pengetahuan yang merusak manusia dan lingkungannya. Dan yang terpenting agar kaum Muslimin tidak mengalami kerancuan dan kebingungan yang membawanya kepada keterbelakangan dan kemunduran akibat menerapkan filsafat pengetahuan yang bertentangan dengan ajaran Islam.

89 SH. Nasr, Islam and The Plight of Modern Man, (London : Longman, 1975) hlm. 12.

90 Syed M. Naquib al-Attas, Nature of Knowledge and The Definition and Aim of Education, (Jeddah : King Abdul Aziz Univ, 1979) hlm. 19-20

Untuk membangun kembali paradigma filsafat pengetahuan yang berdasarkan pada ajaran Islam, harus ditelusuri sumber utama ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah, pemikiran para shahabat dan para pengikutnya. Disamping itu perlu dikaji pemikiran-pemikiran para cendikiwan Muslim di zaman kegemilangan Islam terutama di zaman kegemilangan filsafat, baik yang mendukung penuh filsafat seperti al-Farabi, al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan lainnya ataupun yang menentangnnya seperti al-Ghazali. Karena perkara ini sangat penting untuk membangun kembali kerangka acuan filsafat yang berdasarkan pada ajaran Islam. Dengan mengetahui dan memahami pemikiran para cendikiawan Muslim terdahulu, maka akan dapat dijadikan sebagai referensi yang sangat berharga dan pemikiran mereka adalah mata rantai dari peradaban Islam yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya untuk membangun kembali peradaban dunia yang berdasarkan ajaran Islam. Demikian pula usaha-usaha serius yang berkelanjutan dari cendikiawan Muslim kontemporer dalam membangun kembali landasan filsafat pengetahuan Islam harus senantiasa menjadi referensi dalam mengembangkan filsafat pengethuan Islam di masa depan. Harus disadari, membangun kerangka dasar filsafat pengetahuan Islami adalah perkara besar yang menjadi tugas setiap cendikiawan Muslim sebagai kewajiban jihad yang utama.

Secara garis besarnya para cendikiawan Muslim menyatakan bahwa kerangka filsafat pengetahuan Islami berdasarkan pada tiga konsep dasar, yaitu al-Tauhid (ketunggalan Allah), al-Amanah (amanat yang dititipkan Allah) dan al-Khilafah (wakil Allah di muka bumi). Ini berarti bahwa Allah adalah satu-satunya sumber, pemilik, pencipta ataupun pemberi pengetahuan kepada manusia yang berupa amanat yang harus dipertanggungjawabkan penggunaannya. Apabila manusia menggunakan amanah pengetahuan ini sesuai dengan kehendaknya, maka kelak akan mendapatkan balasan baik di hari kemudian, namun apabila manusia menyia-nyiakan amanah pengetahuan ataupun menyele-wengkannya maka ia akan mendapat balasan buruk pula. Sedangkan manusia sendiri fungsinya sebagai khalifah (wakil) Allah yang akan mengelola dan mengembangkan pengetahuan sebagaimana yang dikehendaki oleh Sang Pemilik yang memberikan amanah kepadanya.91

Jadi pemahaman ini bertentangan dengan landasan filsafat Barat sekuler yang telah menghilangkan peranan Tuhan sebagai pemilik dan sumber pengetahuan dan menjadikan manusia sebagai penggantinya sebagaimana yang difahami oleh para filosof paganis Yunani. Pemahaman ini telah menghantarkan manusia menjadi Tuhan-tuhan yang menentukan perjalanan hidup mereka sendiri. Dengan landasan filsafat sekuleris inilah kemudian Barat mengembangkan segala bentuk pengetahuan sehingga mereka berhasil membangun peradaban Barat yang mengangumkan. Namun karena landasan filsafat ini didasari atas kebatilan dan penentangannya terhadap kekuasaan Sang Pencipta, yang pada hakikatnya adalah penentangan terhadap alam itu sendiri, akhirnya pengetahuan Barat menjadi bumerang buat mereka. Pengetahuan Barat modern telah memakan tuan penciptanya sendiri, sehingga para cendikiawannya takut dengan penemuan mereka sendiri dengan segala dampak yang ditimbulkannya.

Lebih jauh untuk membangun kembali filsafat pengetahuan Islam ini, ada beberapa perkara yang perlu dikaji serta dikembangkan, terutama mengenai aspek ontologi, epistemologi, aksiologi dan metodelogi pengetahuan yang berdasarkan pada ajaran Islam. Tulisan-tulisan para cendikiwan Muslim seperti SMN. al-Attas dalam Islam and The

Philosophy of Science, SH. Nasr dalam Science and Civilization in Islam, Wan Mohd. Nor Wan

Daud dalam The Concept of Knowledge in Islam, C.A. Qadir dalam Philosophy and Science in

The Islamic World, Mahdi Gholsani dalam The Holy Qur’an and The Science of Nature dan

lain-lainnya dapat dijadikan rujukan dalam membangun kembali paradigma filsafat pengetahuan Islam.

Dalam dokumen Paradigma Pendidikan Islam (Halaman 48-52)

Dokumen terkait