• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paradigma Pendidikan Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Paradigma Pendidikan Islam"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

Paradigma

Pendidikan Islam

Sebuah Kajian Awal

Oleh

(2)

Pendahuluan

Kemunduran drastis yang telah menimpa kaum Muslimin dewasa ini sebagaimana dikemukakan para cendikiawan Muslim tidak diragukan lagi bersumber dari kegagalan mereka dalam memahami dan menerapkan metode intelektual1 yang dikehendaki Islam,

terutama dalam sistem pendidikan mereka.2 Keadaan ini akan membawa dampak yang

sangat buruk bagi kaum Muslimin, sebagaimana yang dialaminya dewasa ini. Kaum Muslimin menjadi kaum yang terbelakang peradabannya, terbelakang pengetahuan-tekno-loginya, terbelakang ekonominya, menjadi mainan empuk musuhnya, dipecah belah, diadu domba, dikeluarkan dari warisan dan tradisi pendahulunya dan mereka akhirnya menjadi manusia-manusia lemah yang siap didekte dan diperintah orang lain. Karena kegagalan inilah kaum Muslimin telah berusaha mengadopsi metode dan sistem pendidikan yang lain, yang bukan bersumber dari akar sejarah dan tradisi generasi Islam terdahulu, bahkan bertentangan dengan yang dikehendaki Islam. Diterapkannya sistem ini mengakibatkan kaum Muslimin bertambah lemah dalam kelemahannya, bertambah bingung dalam kebingu-ngannya dan bertambah mundur dalam kemundurannya. Eksperimen-eksperiman para cendikiawan Muslim yang telah gagal ini sepatutnya tidak diulangi lagi oleh generasi berikutnya, karena akan menambah parahnya penderitaan dan kesengsaraan ummat. Maka itulah sebabnya, jika kaum Muslimin yang sedang mundur ini hendak dibangkitkan kembali menjadi kaum yang memimpin peradaban dunia, hal pertama yang harus dilakukan adalah merombak sistem pendidikan yang diterapkan selama ini kemudian dibangun dan dikembangkan sebuah bentuk sistem dan metode pendidikan yang akan mengangkat harkat dan martabat mereka sebagaimana yang telah dibuktikan oleh generasi Islam terdahulu yang telah berhasil dengan gemilangnya memahami dan menerapkan sistem dan metode pembinaan manusia unggul yang diajarkan Allah SWT melalui bimbingan Rasulullah SAW. Demikian pula dengan sistem generasi sesudahnya yang telah melahirkan peradaban baru dalam sejarah kemanusia dan menjadi mercusuar dunia masa itu. Sejarah kegemilangan Islam terdahulu dapat dicapai karena generasi-generasi Islam benar-benar memahami sistem dan metode pembinaan yang akan mengantarkan mereka menuju kemenangan.

Maka untuk mengetahui lebih jauh kegagalan ummah dalam memahami dan menerapkan metode intelektualnya, khususnya dalam sistem pendidikan perlu diadakan studi kritis terhadap sistem yang mereka terapkan dewasa ini. Mengadakan studi terhadap sistem dan metode pendidikan secara lurus dan jujur, mau tidak mau harus pula diadakan kritik terhadap segala bentuk kelemahan dan kegagalannya, baik secara teori atapun praktiknya, disamping menunjukkan di mana letak keutamaannya agar dapat dibangun

1 Untuk menghindari kerancuan, terlebih dahulu adalah sangat penting untuk memahami pengertian metode intelektual dalam kontek ini. Secara harfiahnya, metode-metodologi diartikan sebagai cara/tatacara/kaedah yang akan digunakan dalam memahami atau menerapkan sesuatu pemikiran, yang dalam bahasa Arabnya sinonim dengan manhaj yang biasanya diartikan sebagai thariqon wadhihan-Sabilan, jalan (cara) yang terang-benderang atau kaedah. Intelektual, dari bahasa Inggris (Intellectual) adalah segala bentuk yang berkaitan dengan kecendikiaan, pemikiran dan sejenisnya, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah pengertian Intelektual sebagai kata sifat, bukan sebagai kata benda yang menujuk pada orang/cendikiawan. Maka yang dimaksud dengan metode-metodologi intelektual di sini adalah tata cara/kaedah yang digunakan dalam memahami dan menerapkan sesuatu bentuk pemikiran, ajaran, nilai-nilai, amalan-amalan dan segala yang berkaitan dengan kecendikiaan.

(3)

sebuah formula yang lebih mendekati warisan dan tradisi yang telah diajarkan Rasulullah SAW dan diikuti para shahabatnya yang telah membuktikan keunggulannya. Inilah salah satu jalan selamat dan akan mendekatkan mereka menuju puncak kegemilangannya di masa depan.

Setelah mengalami masa kegemilangan dan kemun-duran silih berganti selama beberapa abad dengan dinamika intelektualitasnya, para cendikiawan Muslim, yang terutama diantara mereka seperti Iqbal, Sayyid Hoseyn Nashr, Syed Naquib al-Attas, Ismail Faruqi dan Fazlur Rahman, membagi sistem pendidikan kaum Muslimin masa kini berjadi beberapa bentuk umum. yaitu :

1. Sistem Pendidikan Tradisional 2. Sistem Pendidikan Sekuler

3. Sistem Pendidikan Gabungan Tradisional dan Sekuler 4. Sistem Pendidikan Islamisasi Pengetahuan3

Kristalisasi ini terjadi tidak terlepas dari latar belakang historis yang dialami kaum Muslimin dari awal kebangkitan Islam sampai terjadinya penjajahan Barat atas mereka. Berawal dari pergolakan-pergolakan politik dan pemikiran beberapa tahun setelah wafatnya Rasulullah saw, khususnya pada masa Khalifah Ali RA yang melahirkan beberapa aliran pemikiran besar seperti Syi’ah, Sunni, Khawarij, Murjiah dan lainnya yang akhirnya melahirkan cabang-cabang pemikiran baru lagi. Aliran-aliran ini kemudian membentuk sistem dan metode intelektual mereka sendiri-sendiri yang tidak ada titik temu satu dengan lainnya, bahkan tumbuh semacam fanatisme mazhab yang memakan korban besar di kalangan kaum Muslimin sendiri. Demikian pula halnya dengan interaksi-interaksi mereka dengan peradaban-peradaban besar seperti peradaban Yunani, Romawi, Persia, Mesir dan lainnya yang telah melahirkan mazhab filsafat-rasional yang menjadi polemik panjang sejarah intelektual kaum Muslimin. Pertentangan-pertentangan pemikiran yang kurang sehat di antara para ulama konservatif dan cendikiawan reformer yang melibatkan rezim-rezim penguasa diktator yang kurang berpengetahuan sehingga memihak satu aliran dan melarang aliran lainnya, sangat mempengaruhi perkembangan intelektualitas kaum Muslimin dan metodologinya. Demikian pula halnya ketika ditutupnya pintu ijtihad serta tumbuhnya semangat taqlid sangat merugikan ummah dengan hilangnya pemikir-pemikir kreatif ummah. Akibat perdebatan panjang antara tokoh-tokoh mazhab yang tak kunjung berakhir, dan dominasi aliran tashawwuf al-Ghazaly yang sangat luas, ummah menolak aliran-aliran filsafat-rasional dengan segala keutamaannya secara membabi buta. Dan akhirnya sampai abad pertengahan hijriah, mazhab tashawwuf sangat dominan dan sangat mempengaruhi metode intelektual kaum Muslimin, di samping mazhab fiqh dan kalam. Demikian pula halnya ketika penjajah-penjajah kafir Barat datang merobek-robek kepribadian dan metode intelektual kaum Muslimin dengan menyebarkan faham Sekulerisme melalui peradaban yang dibawanya dan menjadi dasar rujukan dalam segala

3 Untuk masalah ini lihat misalnya : K.G. Saiyidain, Iqbal’s Educational Philosophy (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1942).Prof. Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago : The Univ. Press, 1982) khususnya bab II. Dr. Ismail R. Faruqi, Islamization of Knowledge, General Principles and Workplan, (Virginia : IIIT, 1982) hlm. 5. Prof. Syed M.Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, (Kuala Lumpur : ABIM , 1980) dan karya beliau yang lain, Islam and Philosophy of Science, (Kuala Lumpur : ISTAC, 1989) dan juga Islam and Secularism, (Kuala Lumpur : ABIM, 1980). Prof. S.H. Nashr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines, (London : Thames and Hudson, 1978). Dr. Wan Mohd. Nor Wan Daud, The Beacon on The Crest of A Hill, (Kuala Lumpur : ISTAC, 1991).

(4)

aspek kehidupan bermasyarakatnya, termasuk dalam sistem pendidikan. Kemerdekaan negeri-negeri kaum Muslimin membawa dampak positif terhadap perkembangan metode intelektual ummah selanjutnya. Dengan ada perbaikan dalam ekonomi dan politik, telah tampil para pemikir Muslim yang mengajukan beberapa metode dalam usahanya mengangkat martabat ummah. Namun sampai sejauh ini metode intelektual kaum Muslimin yang tercermin dalam sisim pendidikan mereka tetap terpolarisasi dan terkristal menjadi kutub-kutub sebagaimana dikemukakan terdahulu.4

1. Sistem Pendidikan Tradisional

Sistem pendidikan tradisional Muslim adalah sistem pendidikan yang menerapkan metode intelektual yang merujuk pada metode yang telah diwariskan generasi-generasi Islam abad pertengahan hijriyah terdahulu yang telah mengalami polarisasi dan kristalisasi. Metode intelektual ini telah mengakibatkan ajaran dan pengetahuan Islam mengalami pembagian-pembagian dan pemecahan-pemecahan menjadi beberapa sub ajaran dan pengetahuan yang terpisah satu dengan lainnya. Yang terkenal dari metode ini adalah aliran mazhab fiqh, teologi (kalam), sufi (thasawuf), sastra (adab), disamping aliran ilmu-ilmu aqliyah non syar’i (al-ulum aqliyat ghair syar’iyyat). Terdapat juga aliran mazhab filsafat-rasionalisme yang hampir mendominasi pengetahuan, khususnya pengeta-huan non syar’i, namunyang terakhir ini banyak di tolak dan di tentang kaum Muslimin yang lebih condong kepada aliran tasawuf, padahal aliran filsafat-rasional inilah yang telah membangkitkan pencerahan Eropa (Europe Renaissance).5

Pengkristalan sistem pemikiran seperti ini menjadi aliran-aliran yang kompleks adalah sebagai konsekwensi logis penyebaran dan perkembangan Islam yang melewati berbagai bentuk peradaban dan budaya dunia. Bersamaan dengan proses Islamamisasi di tengah-tengah masyarakat, maka lahir dan berkembang pula budaya dan peradaban baru yang merupakan hasil integrasi antara ajaran Islam dengan budaya dan peradaban setempat, misalnya peradaban Yunani, Romawi, Persia, Mesir dan lainnya. Perkawinan ini telah melahirkan berbagai disiplin ilmu baru sekaligus aliran-aliran pemikiran yang sangat luas, kompleks, canggih, dan belum pernah muncul sehingga kaum Muslimin benar-benar menjadi tumpuan para pencari ilmu. Perkembangan ini didukung pula oleh semangat cinta ilmu yang merupakan ajaran utama Islam, sehingga para raja dan penguasa diktatorpun merasa berkepentingan untuk membiayai tradisi agung ini. Sehingga pada masa itu lahirlah intelektual-intelektual yang sangat aktif mempelejari dan mengem-bangkan aliran-aliran

4 Untuk memahami sejarah pemikiran Islam secara sistematis dan terperinci, lihat misalnya: al-Thabary, Tarikh

Umam wa Mulk, (Beirut: Dar Fiqr, 1979) jil.I. Ibn. Sa’ad, Tabaqat Qubro, (Beirut : Dar Shadir, 1957). Ibn. Athyr, al-Kamil, (Misr : al-Mumriyat, 1356 H). Ibn. Katsir, al-Bidayat wa al-Nihayat, (Misr : Al-Saadat, tt), Ibn. Khaldun, Muqaddimah,

(Misr : Mustafa Bab al.H, tt). Ibn. Abdil Baar, Isti’ab, (India : Dairat Ma’rif , 1336 H). Baghdady, Farq bayna

al-Firaaq. (Misr :tt) bab i-ii. Ibn. Hazm, al-Fishol fi al-Milal wa al-Nihal, , vol. iv. (Qahirah, 1964). Imam Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Mazahib Islamiyat, (Qahirah : Dar Fiqr Arbi, tt) Amid Abdurrazak M. Aswad, Madkhal ila Dirasat Adyan wa Mazahib, (Beirut : 1980) khususnya jil. II. M. Husyn Aly Kashfil Githo’, asl Syi’at wa ushliha, (Beirut : Dar

al-Bihar, 1960) bab I. al-Kashiy, Ma’rifat al-Naqilin an al-ummat al-Shiddiqin ( Rijal al-Kashy ), (Karbala : Muassat al-A’lamy, tt) Muh. Khudary Bek, Tatikh Tasyri’ Islamy, (Libanon : Dar Fiqr, Th.8, 1981) hlm. 108-115. Abul A’la Maududy,

al-Khilafat wa al-Mulk, (Kuwait : Dar Qalam, 1978). Dr. Thaha Jabir al-Wany, Adabul akhtilaf fi al-Islam, (Virginia : IIIT, th.3,

1987) hlm.75-78. Ahmad Amin, Fajrul Islam, (Cairo : Maktabah Nahdah, 1965) Abul Hasan Nadvi, Madza Khasiro

al-Alam bi inhithoth al-Muslimun,(Beirut : Dar Salam, th.11, 1978) hlm. 15o-157. Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, (London :

Cristopher, 1955), Abdurrahman Hj. Abdullah, Sejarah dan Pemikiran Islam, (Kuala lumpur : Pena Mas, 1984). Dr. Ismail R. Faruqi. op.cit. hlm. 23-30. Dr. Fazlur Rahman, op.cit. bab II.

(5)

pengetahuan baru dengan biaya dari para raja dan hartawan muslim dan bersamaan dengan itu lahirlah pusat-pusat ilmu pengetahuan berupa madrasah ataupun perpustakaan yang didatangi oleh pelajar dari seluruh dunia, termasuk Barat.6

Namun akibat lainnya adalah telah muncul pula cabang-cang ilmu baru yang asing dan bahkan tidak sedikit yang bertentangan dengan tradisi dan ajaran Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya.7 Perkawinan Islam dengan ajaran-ajaran

filsafat-rasionalis Yunani telah melahirkan aliran filsafat-rasional Islam yang menjadi metode unggul dalam mengkaji cabang-cabang ilmu pengetahuan duniawi, sehingga aliran ini banyak melahirkan tokoh-tokoh besar dunia seperti Ibn. Sina, Ibn Rush, Ibn Khaldun dan lainnya yang menjadi mahaguru Barat dan dikagumi sampai sekarang.8 Bersamaan

dengan keberhasilan Islam dalam menciptakan peradaban baru dunia dengan segala konsekwensi penguasaan materinya, terutama munculnya pribadi-pribadi yang mabok kepayang dengan kenikmatan duniawi yang membawa dampak penuhanan terhadap rasio dan hawa nafsu, maka lahirlah aliran tasawuf yang merupakan koreksi total terhadap keadaan masa itu. Metode intelektual ini merupakan obat mujarab untuk menyem-buhkan penyakit ummah yang telah jauh terseret arus duniawi dengan ajaran-ajarannya yang lebih menekankan pada pembersihan jiwa dan mengontrolan diri (al-Nafs) terhadap kehendak materi, baik yang bersifat pemikiran, kekuasaan ataupun keperluan badaniah lainnya. Akhirnya metode intelektual ini menjadi sangat populer dan dominan karena dapat memberikan jalan keluar kepada masyarakat Islam, terutama dalam upaya mencapai ketenangan batiniyah masyarakat masa itu yang sudah jauh bergelimang dengan keagungan materi akibat kemenangan dan kemajuan pemerintah Islam.9 Di antara aliran

tasawwuf yang paling populer dan yang nantinya banyak mempengaruhi perjalanan sejarah kaum Muslimin adalah metode yang telah dikembangkan al-Ghazaly dengan karya-karya gemilangnya.10

6 Untuk mengetahui sejarah perkembangan lembaga pengetahuan Islam abad pertengan lihat misalnya : Ahmad Syalaby, History of Muslim Education, (Beirut : Dar Al-Kasysyaf, 1954). Bayard Dogde, Muslim Education in Medieval Times, (Washinton DC : The Middle East Inst, 1962). Munir ud-Din Ahmed, Muslim Education and The Scholar’s Social Status Up to

the 5th Century Muslim Era (11th Century Christian Era) in the Light of Tarikh Baghdad,(Zurich : Verlag der Islam,1968).

George Makdisi, The Rise of Colleges : Institution of Learning in Islam and the West (Edinburgh : Edinburgh Univ. Press, 1981)

7 Lihat misalnya : al-Ghazaly, Tahafut al-Falasifah, (Cairo : Mustafa al-Babi al-Halibi, 1321 H) disertai dengan karya Ibn. Rusyd, Tahafut, dan juga karya Khawajah Zadah, Tahafut Falasifah. Ibn. Jauzi, Talbis Iblis, (Qahirah : Idarat al-Thabaat al-Muniriyyah, tt), Ibn. Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi’in an Robb al-Alamiin, (Beirut : Dar al-Jiil, tt)

8 Lihat : M. Goichon, La Philosophie d’ Avicenne et son infuence en Europe Medievale, (Paris : 1951). P. Morewedge, The

Metaphysica of Avecenna,(New York : Columbia Univ. Press, 1973). Fazlur Rahman, Avicenna’s Psychology, (London : Oxford

Univ. Press, 1953). A.J. Arberry, Avicenna on Theology, (London : 1951). M.N. Zanjani, Ibn Sina wa Tadbir-i manzil, (di dalam SH. Nashr, Traditional Islam in the Modern World. ( London : KPI, 1987). Masataka Takeshita, Ibn Arabi’s Theory of The

Perfect Man and Its Place in the History of Islamic Thought, (Tokyo : Institute For the Study of Language and Cultures of Asia

and Africa, 1987). Lihat juga karya-karya Ibn. Sina seperti : Kitab al-Shifa’ (al-Tabi’iyyat : al-Nafs) ed. G. Ganawati dan Sa’id Zayid, ( Cairo : al-Maktabah al-Arabiyyah, 1975). Ibn. Rush, Tahafut, (Cairo : Mustafa al-Babi al-Halibi, 1321 H). Ibn. Arabi,

Fusus al-Hikam, ed. dan komenter oleh A.’A. Affifi, (Cairo : 1946). Ibn. Khaldun, The Muqaddimah. tran. Franz Rosenthal, 3

vols. (New York : Pantheon/Bollingen, 1958).

9

Untuk masalah ini lihat misalnya : Syahrastany, Kitab al-Milal wa al-Nihal, 2.nd, (Beirut : 1395). Imam Moh. Abu Zahrah,

Tarikh Madzahib Islamiyat, (Qahirah : Dar Fiqr Arbi, tt). Amid Abd.Razak. M. Aswad, Madkhal ila Dirasat al-Adyan wa al-Madzahib, (Beirut : 1980). al-Kalabadhi, Kitab al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tasawwuf, ed.Taha Abd. Baqi Surur,

(Cairo : Isa al-Babi al-Halabi, 1966). Abul Hasan Ali al-Nadvi, Madza Khasiro al-Alam bi anhithoth al-Muslimun, (Beirut: Dar Salam, th,11, 1978). Dr. Abul Wafa’ al-Ghanamy al-Taftazany, Madkhal ila Tasawwuf al-Islamy, (Qahirah : Dar al-Tsaqafat li al-Nusyr wa al-Tauzi’, 1988). hlm. 68-71.

10 Karya-karya Ghazaly yang mempengaruhi metode intelektual ummah, diantaranya seperti : Ihya’ Ulum Din,

al-Mumkid min al-Dhalal, Ma’arij al-Quds fi Madarij Ma’rifat al-Nafs, Mizan al-Amal, Misykat al-Anwar, Al-Maqsad al-Asna fi Sharh Ma’ani Asma’. Tahafut al-Falasifah dan Al-Iqtisad fi al-I’tiqad.

(6)

Pada zaman penjajahan dunia Islam oleh Imprialis Barat, metode intelektual tradisional yang dianut sebagian besar sistem pendidikan kaum Muslimin semakin mengkristal, terutama akibat tekanan-tekanan penjajah yang sangat aktif menyebarkan ide-ide sekulernya yang berkedok modernisasi, kemajuan dan istilah sejenisnya yang pada hakikatnya ingin menghilangkan keimanan kaum Muslimin. Faktor inilah yang mendorong para pemuka kaum Muslimin yang umumnya menjadikan madrasah, pondok pesantren, surau dan lainnya beroposisi mati-matian terhadap penjajah kafir dengan segala program dan aktivitasnya. Generasi-generasi Islam didikan sistem tradisional ditanamkan semangat anti penjajah dan anti segala yang berbau penjajah Barat, sehingga mendorong mereka kepada sikap antipati terhadap segala sesuatu yang datangnya dari penjajah Barat, termasuk pengetahuan-pengetahun yang di ambil Barat dari kaum Muslimin terdahulu berupa ilmu-ilmu terapan praktis yang akan membantu mereka menuju kemajuan dunia. Karena sikap anti Barat yang ekstrim inilah kemudian sistem pendidikan Islam tradisional dipinggir-kan penjajah, dihambat perkembangannya, tidak mendapat bantuan semestinya bahkan ada yang dibubarkan penjajah karena dijadikan pusat gerakan menentang panjajah. Dari lembaga pendidikan tradisional ini banyak lahir tokoh-tokoh yang menentang penjajah dengan sikapnya yang gagah berani, dari Indonesia sampai ke Timur Tengah. Sebagian besar tokoh-tokoh pergerakan dan kebangkitan nasional pra kemerdekaan di dunia Islam lahir dari kalangan tradisional, seperti Pangeran Diponegoro dan Imam Bonjol di Indonesia. Demikian pula ketika zaman pergolokan merebut kemerdekaan dunia Islam dari penjajah Barat, umumnya lembaga pendidikan tradisional Islam menjadi benteng utama kaum Muslimin dengan kharisma Ulamanya sebagai pemimpin gerakan, sekaligus menjadi markas untuk menentang dominasi penjajah Barat yang menanbah bencinya kaum penjajah terhadap lembaga tradisional Islam yang susah ditakluki.

Akhirnya penjajah membuka lembaga pendidikan sekuler ala Barat untuk mendidik kader-kadernya dari kalangan pribumi dengan pembiyaan penuh dari penjajah dan sekaligus menyaingi dominasi lembaga pendidikan tradisional Islam yang dikelola secara waqaf. Akhirnya pada masa pasca kemerdekaan, setelah berjuang melawan penjajah dengan semangat tinggi sabung menyambung, generasi produk lembaga pendidikan tradisional Islam disingkirkan peranannya dari birokrasi kekuasaan oleh kaum modernis-sekuler produk lembaga pendidikan Barat. Para pejuang sejati ini dianggap tidak memenuhi persyaratan karena mereka tidak menguasai ilmu modern yang diajarkan panjajah sebagai syarat mutlak seorang birokrat pemerintah, mereka hanya direkrut sebagai pegawai rendahan pinggiran yang mengurus hal-ihwal keagamaan yang tidak memiliki nilai strategis dalam pemerintahan.

Sampai hari ini metode intelektual tradisional masih dipertahankan sebagaian besar kaum Muslimin, baik secara murni ataupun dengan tambahan sedikit beberapa materi pengetahuan duniawi, seperti matematika, fisika, biologi, bahasa inggris dan lainnya. Sistem pendidikan yang mempertahankan metode intelektual tradisional semacam ini, umumnya akan melahirkan para cendikiawan teksbook, yang handal membahas kitab-kitab klasik, tanpa inovasi baru, kecuali mengulas (mensyarah) kitab yang sudah ada. Ataupun ulama dan ustadz yang terpinggir arus modernisasi dan globalisasi dunia, karena

(7)

ketidakmampuannya menanggapi dan menyelesaikan problem-problem baru yang dihadapi masyarakat modern.

Namun bagaimanapun, sistem pendidikan tradisional ini memiliki keutamaan-keutamaan yang mengangumkan, seperti telah terbukti mampu melahirkan generasi yang konsisten dan sangat menghormati ajaran Islam, bahkan mereka rela mengorbankan harta dan nyawa untuk kepentingan Islam dan ummatnya, disamping pribadi yang peka terhadap masyarakat disekelilingnya, berakhlaq mulia, tawaddu’, ahli ibadah, patriotik menentang kemungkaran dan kebatilan dengan semangat juhadnya dan sifat-sifat mulia seorang muslim. Dan metode ini telah melahirkan pemikir-pemikir besar dunia dalam bidangnya masing-masing, baik dalam ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu sastra, filsafat, pengetahuan alam dan sosial serta cabang-cabang ilmu lainnya yang mengangumkan dunia sampai sekarang.

Contoh paling tepat untuk sistem pendidikan yang menerapkan metode intelektual tradisional adalah Universitas Al-Azhar di Mesir pada awal abad ini dan sebelumnya, yaitu masa sebelum terjadinya pembaruan-pembaruan pada sistem pendidikannya yang dianjurkan cendikiawan terkemuka seperti Syaikh Muhammad Abduh.

Universitas Al-Azhar awalnya adalah sebuah masjid yang didirikan oleh Dinasti Fatimiyah yang bermadzhab syi’ah dan berhasil mengembangkannya sebagai sebuah institusi pengkajian Islam bermadzhab syi’ah, khususnya di msa pemerintahan Sultan al-Aziz. Ketika Mesir di ambil alih Salahuddin al-Ayyubi yang bermadzhab sunni syafi’yyah, Al-Azhar dikembangkannya berdasarkan madzhab sunni dan mengalami perkembangan yang demikian pesatnya dan menjadi tumpuan pelajar-pelajar dari dunia Islam untuk mendalami ilmu fiqh, ilmu kalam, ataupun adab (sastra Arab). Demikian pula masa-masa sesudahnya di bawah pemerintahan dinasti Mamluk, Al-Azhar berkembang amat pesat menjadi pusat studi Islam terbesar di dunia.11

2. Sistem Pendidikan Sekuler

Sistem pendidikan sekuler12 dikenal kaum Muslimin setelah masuknya penjajah

Barat yang menguasai dunia Islam. Para penjajah yang dilengkapi teknologi modern datang ke dunia Islam dengan semboyan 3 G, Glory (kemenangan), Gold (emas) dan Gospel (penginjilan), dengan kata lainnya bertujuan untuk menguasai negeri, merampok kekayaan dan sekaligus menyebarkan faham mereka yang sekuleristis. Untuk mencapai maksud yang terakhir ini para penjajah telah mendirikan institusi-institusi pendidikan model Barat

11 Untuk ini lihat misalnya : Syaikh Abdullah ‘Inan, Tarikh al-Jami’ Al-Azhar, (Qahirah : Muassasah al-Khumji, th.2. 1958) .Bayard Dodge, Al-Azhar: A Millenium of Muslim Learning (Washington DC : The middle East Institute, 1962); A.Chris Eccel, Egypt, Islam and Social Change : Al-Azhar in Conflict and Accomodation (Berlin : Klaus Schwarz Verlag, 1984). 12 Sekuler / sekulerisme adalah faham yang memisahkan antara ajaran dunia dengan agama, menurut faham ini dunia,

baik ilmu pengetahuan, teknologi, kekuasaan, moral dan lainnya adalah terpisah sama sekali dengan ajaran agama. Faham paling ektrim dari sekulerisme adalah Atheisme yang dianut kaum Komonis, bukan saja memisahkan, namun menolak dan memerangi agama dan tidak mempercayai adanya Tuhan Pencipta alam. Dan Sekulerisme lahir akibat pemberontakan intelektual yang dilakukan para Cendikiawan Barat abad pertengahan yang sudah tercerahkan terhadap pemuka-pemuka Kristen yang mendominasi kehidupan masyarakat dan mendapat dukungan para Raja. Para cendikiawan tercerahkan mendapatkan momentumnya ketika terjadinya revolusi industri yang membawa arti kemenangan para cendikiawan terhadap dominasi Raja dan Pemuka Gereja. Revolusi industri telah melahirkan pemikir-pemikir ulung Barat dalam berbagai disiplin ilmu, akibatnya mereka memusihi agama Kristen yang selama ini dianggapnya telah membelenggu pemikiran dan kreativitas mereka, dan mereka menjadi orang yang sekuler, memisahkan agama dari segala aktivitas keduniaan. Untuk memahami segala yang berkaitan dengan Sekulerisme, lihat : Syed Moh. Naguib al-Attas, Islam and Secularism.(Kuala Lumpur : ABIM, 1978).

(8)

dengan metode dan landasan filsafat pendidikan Barat yang sekuler dengan tujuan untuk mencetak kader-kader yang berwajah pribumi (Muslim) namun berfikiran Barat dan akan dijadikan sebagai pegawai-pegawai upahan mereka. Sehubungan masalah ini, Abduh menulis :

(pendidikan ini diadakan agar murid) memperoleh gelar yang memungkinkannya untuk menduduki jabatan juru tulis di suatu departemen pemerintah kolonial. Tetapi bahwa keperibadian-nya harus dibentuk dengan pendidikan dan penanaman nilai-nilai hingga ia menjadi orang yang baik dan layak, agar ia melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya di dalam pemerintahan ataupun luarnya, tidaklah pernah dipikirkan oleh guru-guru atau

mereka yang mengangkat guru-guru tersebut.13

Pada awalnya para cendikiawan Muslim seperti Sayyid Ahmad Khan, Syekh Muhammad Abduh, Iqbal dan lainnya berprasangka baik terhadap sistem pendidikan sekuler dengan metode intelektual Baratnya yang rasional dan modern. Bahkan dengan metode ini para cendikiawan Muslim ingin mencetak generasi-generasi Muslim yang berpengetahun maju seperti Barat dengan metode intelektualnya yang modern. Namun realitasnya generasi apakah yang telah dilahirkan oleh sistem pendidikan sekuler yang diterapkan pada generasi Islam oleh para pemerintah kolonial ini ? Muhammad Abduh menulis :

Murid-murid sekolah ini sampai sekarang adalah anak-anak yang tujuan orang tuanya mendidik mereka adalah untuk menjadi pegawai pemerintah, baik menyadari tujuan tersebut atau tidak... (jika mereka tidak menyadarinya), maka si murid akan pulang kampung, kembali kepada orang tuanya sesudah menyelesaikan sekolahnya, sesudah mempelajari unsur-unsur sains yang ia tidak tahu di mana menerapkannya... Ia merosot dalam kondisi moral yang lebih buruk daripada orang-orang buta huruf yang bagaimanapun masih tetap berada dalam kondisi alamiyah mereka; mereka frustasi, ia melihat dirinya tidak bisa melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh orang tua dan keluarganya. Dengan demikian ia menggunakan umurnya dengan sepenuhnya menganggur atau

hampir setingkat dengan itu.14

Atau apa yang dikatakan penyair Hali, seorang yang pernah mendukung kebijaksanaan Sayyid Ahmad Khan untuk mengadopsi pendidikan sekuler Inggris, dalam syairnya berjudul Musaddas :

Mereka tidak dapat meraih prestadi dalam pemerintah Tidak sanggup berkata sepatahpun

dalam bahasa Durbar yang tinggi

Tidak kuat memikul barang di bazar-bazar Tidak tahu bercocok tanam di ladang Ah, kalau saja mereka tidak “terdidik” 13 Syaikh Muhammad Abduh, op.cit. vol 3. hlm. 111

(9)

mereka tentu dapat mencari rezeki dengan seribu cara tapi sekarang, berkat pendidikan mereka,

mereka tidak dapat berbuat apa-apa.15

Setelah kemerdekaan negeri-negeri kaum Muslimin diperoleh, maka sistem pendidikan yang menerapkan metode intelektual sekuler ini mendapat tempat utama dalam pendidikan negara, karena umumnya penguasa-penguasa pemerintahan yang baru merdeka adalah produk sistem pendidikan sekuler yang telah disiapkan penjajah untuk meneruskan penjajahannya. Sehubungan masalah ini, Fazlur Rahman menulis :

Sejak diperolehnya kemerdekaan politik, (a) pendidikan di negeri-negeri tersebut pada dasarnya hanya merupakan kelanjutan dari pendidikan kolonial, yang pada intinya ditujukan untuk melatih pegawai-pegawai pemerintah rendahan yang akan melayani kepentingan pemerintah kolonial; pendidikan ini tidaklah memberikan pendasaran yang kuat dalam budaya tradisional, tidak pula latihan yang ril untuk melaksanakan tanggungjawab dalam suatu masyarakat modern

yang merdeka.16

Atau apa yang dikatakan Faruqi :

Kemerdekaan nasional telah memberikan dorongan yang terbesar kepada sistem pendidikan sekuler, dengan menganggap-kan kemerdekaan itu sebagai kemerdekaannya sendiri. Mencu-rahkan dana negara ke dalam sistemnya dan semakin menyebar-luaskannya dengan dalih demi nasionalisme dan patriotisme. Kekuatan-kekuatan westernisasi dan sekulerisasi dan sebagai akibatnya, de-Islamisasi para guru dan murid berlanjut terus dengan pasti dan

menentukan di sekolah-sekolah tinggi dan universitas-universi-tas.17

Metode intelektual yang diterapkan sistem pendidikan sekuler yang sebagian besarnya diterapkan kaum Muslimin saat ini telah melahirkan generasi tanggung yang serba salah. Tidak menjadi pribadi Muslim yang soleh seperti produk metode tradisional ataupun tidak juga seperti generasi Barat yang modern-ilmiyah dan rasional, tidak menyerupai generasi Islam terdahulu yang konsisten terhadap ajaran Islam juga tidak memiliki wawasan maju seperti generasi Barat sekuler, tapi hanya sebuah karikatur generasi Barat yang hanya pandai membeo, membebek dan meniru penampilan luar Barat saja, tidak lebih dari itu. Produk pendidikan metode sekuler ini menambah beban kaum Muslimin yang sudah menderita dengan keterbelakangannya, karena mereka tidak dapat dipergunakan untuk Islam dan kemajuan ummatnya akibat ketidak fahaman mereka terhadap ajaran Islam dan yang terpenting mereka tidak memiliki ruh keislaman yang akan menjadi penggerak utama dalam kehidupan seorang Muslim, karena metode ini telah

15 Khawaja Altaf, Husayn Hali, Musaddas, (Luknow : Sadi, 1935). hlm. 72

16

Fazlur Rahman, op.cit ,hlm.89 17 Ismail Faruqi, op.cit. ,hlm. 12

(10)

memisahkan mereka dari ajaran Islam dan semangatnya. Sebagian besar dari mereka akhirnya mengejar materi keduniaan dengan profesi masing-masing karena metode ini telah menjadikan mereka manusia-manusia materialis, yang menjadi salah satu tujuan dan falsafah didirikannya lembaga pendidikan sekuler. Generasi Muslim yang terdidik dalam metode ini meneruskan pendidikan setinggi-tingginya agar kelak mendapat kedudukan yang tinggi dengan penghasilan yang tinggi pula. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang menjadi penentang-penentang Islam yang amat gigih, lebih mengutamakan sistem hidup sekuler daripada Islam, dan jika mereka mendapat kedudukan tinggi dalam pemerintahan, merekalah yang akan menjadi agen utama para penjajah modern dalam menyebarkan segala bentuk ide sesat yang akan menjeruskan ummah. Namun anehnya, di saat yang sama mereka tetap ngotot menyatakan dirinya sebagai seorang Muslim, bahkan dengan bangga menyatakan dirinya sebagai Muslim sekuler, sebuah istilah yang tidak pernah dikenal Islam, dan pernyataan ini yang akan mengakibatkan terkeluarnya mereka dari Islam. Karena dalam Islam tidak ada istilah Islam sekuler, Islam yang memisahkan antara dunia dengan agama, Islam berbeda dengan ajaran Kristen yang menjadi penyebab lahirnya sekulerisme, karena Islam adalah ajaran lengkap dan sempurna yang memerintahkan pemeluknya agar mengikuti Islam secara totalitas (kaffah).

Dewasa ini telah berkembang dengan pesatnya institusi-institusi pendidikan yang menerapkan metode sekuler yang yang dikelola kaum Muslimin, bahkan ada yang menggunakan nama universitas Islam, namun metode yang diterapkan adalah metode sekuler, akhirnya institusi seperti ini tidak akan mengantarkan kemajuan kepada ummah, bahkan akan menambah beban yang sudah ada. Sehubungan masalah ini, Faruqi menulis :

Meskipun perluasan hebat yang terjadi sedemikian jauhnya, keadaan pendidikan di dunia Islam adalah yang terburuk. Sehubungan Islamisasi, baik sekolah-sekolah, akademi-akademi dan universitas-universitas yang tradisional ataupun sekuler tidak pernah seberani sekarang dalam mengemukakan tesa-tesa yang tidak Islami dan tidak pernah sehebat sekarang acuhnya mayoritas terbesar pemuda-pemuda Muslim terhadap Islam. Karena diciptakan di masa pemerintahan kolonial, sistem pendidikan sekuler ini memegang proporsi yang

sangat besar dan mencampakkan sistem Islam dari bidang ini.18

Contoh nyata dari sistem pendidikan sekuler ini adalah sekolah-sekolah, akademi-akademi, universitas-universitas dan isntitusi-institusi yang dikendalikan oleh pemerintah di sebagian besar dunia Islam. Institusi pendidikan yang merupakan karikatur dari sistem pendidikan Barat, yang tidak memberikan tempat pada Islam, kecuali sedikit sekali, sebagai mata pelajaran pelengkap yang tidak akan memberikan pemahaman mendalam tentang Islam apa lagi akan menumbuhkan semangat keislaman tinggi yang membawa perubahan mental. Islam dipelajari sebatas pengetahuan, sebagaimana pengetahuan-pengetahuan lainnya, bukan dipelajari sebagai pembimbing kehidupan yang harus diterapkan dalam kehidupan nyata sebagai pedoman aktivitas kehidupan. Generasi Islam yang belajar didoktrin sebagaimana faham sekuler memandang kedudukan agama dan memisahkannya

(11)

dari kehidupan dunia, dan memandang Islam sebagai amalan seremonial belaka. Akhirnya institusi pendidikan semacam inilah yang akhirnya akan melahirkan orang-orang yang menyatakan dirinya Muslim, namun tidak mengamalkan Islam dalam kehidupannya, bahkan jauh dari ajaran Islam. Orientasi hidupnya adalah orientasi sekuler yang hanya mengejar kehidupan dunia dengan segala kenikmatannya semata, sebagaimana mereka diajarkan metode intelektual sekuler.

Walaupun institusi sekuler semacam ini, yang banyak dikelola kaum Muslimin, ngotot menyatakan dirinya sebagai institusi Islam, karena dinamakan dengan “Universitas

Islam”, “Akademi Islam”, “Sekolah Islam” dan sejenisnya namun dapat dipastikan bahwa

institusi ini tetap institusi sekuler, karena menerapkan metode sekuler dalam sistem pendidikannya. Disinilah banyak para cendikia kita mengalami kebingungan dalam membedakan sekuler dan Islaminya sebuah institusi pendidikan akibat ketidakta-huannya membedakan antara metode intelektual sekuler dan metode intelektual Islami. Mereka beranggapan bahwa apabila dikenakan nama Islam pada sebuah institusi, maka jadilah institusi tersebut sebagai institusi Islam walaupun pada hakikatnya menerapkan metode sekuler. Islam dan sekulernya sebuah institusi pendidikan bukan ditentukan oleh namanya, namun yang terpenting adalah metode intelektual yang diterapkan dalam sistem pendidikan tersebut. Sebuah institusi dinamakan institusi Islam apabila menerapkan seluruh aspek metode intelektual Islami dan sebaliknya, dikatakan sekuler apabila menerapkan metode sekuler, walaupun institusi ini ngotot menyatakan dirinya institusi Islam, namun bagaimanapun ia tetaplah sebuah institusi sekuler karena menerapkan metode intelektual sekuler.

3. Sistem Pendidikan Gabungan Tradisional dan Sekuler

Sistem pendidikan gabungan antara sistem tradisional dengan sekuler adalah salah satu metode alternatif yang dikemukakan para cendikiawan Islam sejak akhir abad delapan belasan dan awal abad sembilan belasan dan mngalami penyempurnaan-penyempurnaan sampai sekarang. Sistem ini dirumuskan dengan tujuan untuk menggabungkan keutamaan-keutamaan yang ada pada kedua metodelogi yang sudah umum berlaku di kalangan kaum Muslimin guna meningkatkan kwalitas mereka di segala aspek kehidupan, khususnya kwalitas intelektualitas yang menjadi sumber penggerak kemajuan.19 Penggabungan ini

hakikatnya berangkat dari asumsi bahwa sistem tradisional telah terbukti melahirkan para cendikiawan yang memahami Islam dengan baik dan konsisten dalam melaksanakannya, namun kelemahan mereka tidak menguasai sains-sains modern dengan metode ilmiyaahnya, sementara sistem sekuler terbukti telah melahirkan para cendikiawan yang ulung dalam menguasai sains-sains modern dengan metodeloginya, namun tidak memahami Islam dengan baik, bahkan cendrung tidak konsisiten terhadap ajaran Islam akibat bias faham sekulerisme yang netral dari agama. Maka dengan sistem gabungan ini kelak diharapkan akan melahirkan model cendikiawan Muslim yang memahami ajaran Islam dengan baik serta konsisten dalam melaksanakannya sekaligus menguasai pengetahuan modern dengan metodeloginya sebagaimana cendikiawan Barat, dan mereka akan menjadi penggerak kemajuan kaum Muslimin dengan penguasaan sains-teknologi

(12)

modern dan sekaligus mengembangkan sains-sains baru yang berlandaskan semangat Islam.20

Umumnya para cendikiawan Muslim yang menyerukan pembaharuan sistem pendidikan dengan menggabungkan kedua metode ini memiliki asumsi-asumsi dasar yang mereka jadikan sebagai landasan teorinya, sebagaimana dikemuka-kan Fazlur Rahman :

(1) bahwa pemerolehan pengetahuan modern hanya dibatasi pada bidang teknologi praktis, karena pada bidang pemikiran murni kaum Muslimin tidaklah memerlukan produk intelektual Barat- bahkan produk tersebut haruslah dihindari, karena mungkin sekali akan menimbulkan keraguan dan kekacauan dalam pikiran Muslim, dimana sistem kepercayaan Islam tradisional telah memberikan jawaban-jawaban yang memuaskan bagi pertanyaan-pertanyaan puncak mengenai pandangan dunia; (2)bahwa kaum Muslimin tanpa takut boleh dan harus memperoleh tidak hanya teknologi Barat saja, tapi juga intelektualismenya, karena tidak ada satu jenis pengetahuanpun yang merugikan dan bahwa bagaima-napun juga sains dan pemikiran murni dulu telah dengan giat dikembangkan kaum Muslimin pada awal abad-abad

pertengahan, yang kemudian di ambil alih oleh Eropa sendiri.21

Fazlur Rahman membagi proses pembaharuan yang akan menggabungkan kedua metodelogi ini, yang diistilahkannya sebagai modernisasi, menjadi dua fase, yaitu: (1). Modernisasi Klasik (Classical Modernism) (2). Modernisasi Kontemporer (Contemporary Modernism)22

Akademi Aligarh (Aligarh College) yang didirikan pada tahun 1881 oleh Sayyid Ahmad Khan adalah salah satu institusi pendidikan yang tepat untuk mewakili sistem gabungan tradisional dan sekuler ini pada awal-awal diserukannya. Akademi Aligarh didirikan dengan tujuan untuk menggabungkan metode tradisional Islam dengan sekuler yang diadopsi dari Inggris. Bahasa pengantarnya adalah Inggris dan Arab, disamping Urdu dan Parsi. Programnya setingkat sarjana muda (BA) dan sarjana (MA). Adapun mata kuliah yang diajarkan meliputi teologi, fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits, ilmu aqaid, matematika, fisika, sejarah, psikologi, filsafat, politik, ekonomi, geologi, biologi dan lainnya.23 Namun

produk institusi gabungan ini sangat mengecewakan, seperti yang dinyatakan Fazlur Rahman :

Ciri produk-produk pendidikan baru sebagai tak punya darah segar, sebagai bayangan Barat yang pucat dan sebagai tak punya darah segar, sebagai bayangan Barat yang pucat dan sebagai anak haram budaya intelektual, merupakan tema-tema gamlang bagi Abul Kalam Azad dan penyair Akbar 20 Fazlur Rahman, op.cit. hlm. 143.

21 Fazlur Rahman, op.cit, hlm. 46-47 22 Fazlur Rahman, op.cit. bab II & III

23

Syed Masroor Ali Akhtar Harmi,Muslim Response to Western Education,(New Delhi: Commenwealth Publ, 1989), hlm. 85-98. lihat juga, Barbara Daly Metcalf, Islamic Revival in Brithis India : Deoband 1860-1990,(Princeton : Princeton Univ. Press, 1982).

(13)

Alahabadi. Sayyid Ahmad khan sendiri melukiskan produk-produk awal Aligarh sebagai “setan-setan”. Mengenai ketidak orisinalitas dan kebermanfaatan mereka bagi masyarakat mereka, dinyatakan kuat Hali, Syibli Nu’mani dan Iqbal. Istilah hinaan “magrib zadah” (tertimpa penyakit Barat) diterapkan kepada masyarakat yang berpendidikan Barat dan yang terbaratkan oleh banyak penulis, yang paling terkemukan diantaranya Azad, Zhafar Ali Khan dan Maududi.... ”Di Lahore, misalnya, dapat ditemui orang-orang yang bertitel MA menyemir sepatu di tangga toko-toko kecil. Kualitas lulusan baru yang sangat rendah dan ketidakbergunaan serta ketidakber-dayaan inilah yang

disoroti Hali dalam Musaddasnya.24

Salah satu penyebab utama kegagalan institusi ini adalah akibat ketiadaannya tenaga pengajar profesional yang memahami benar orientasi sistem gabungan ini. Aligarh College misalnya, harus mengambil profesor-profesor sains sekuler dari Universitas Oxford Inggris sementara menyerahkan pengajaran agama kepada Ulama lulusan Dar al-Ulum Deobond yang sangat tradisional. Di samping buku-buku referensi yang belum memadai untuk menggabungkan kedua sistem ini. Akhirnya sistem gabungan ini tidak memberikan hasil maksimal yang memuaskan, bahkan menghasilkan sistem yang merugikan sistem sekuler ataupun tradisional karena tidak memberikan integrasi timbal balik bagi keduanya. Disamping itu sistem pendidikan Barat yang diadopsi kaum Muslimin berasal dari sistem tersendiri yang berbeda latar belakang filsafat dan budaya dengan kaum Muslimin.25

4. Sistem Pendidikan Islamisasi Pengetahuan

Rumusan terkini yang dikemukakan para cendikiawan Muslim dalam pengembangan dan penyempurnaan sistem pendidikan kaum Muslimin adalah apa yang diistilahkan mereka sebagai Islamisasi Pengetahuan (Islamization of Knowledge). Istilah ini muncul dan menjadi populer setelah Ismail R. Faruqi membacakan makalahnya yang terkenal : Islamization of Knowledge : General Principles and Workplan pada seminar internasional Islamisasi pengetahuan yang pertama di Islamabad Pakistan pada tahun 1982 yang dihadiri oleh para cendikiawan Muslim terkemuka dari seluruh dunia. Makalah yang disampaikan Faruqi adalah hasil penelitian bersamanya dengan tokoh-tokoh cendikiawan Muslim seperti AbdulHamid AbuSulayman (tokoh Assocation of Muslim Social Sciencists, AMSS di Amerika). Seminar ini bertujuan mencari rumusan-rumusan baru hubungan Islam dengan pengetahuan modern. Menyempurnakan pembaha-ruan-pembaharuan metode intelektual kaum Muslimin yang telah diserukan terdahulu oleh tokoh-tokoh pelopor pembaharuan seperti Syeikh Muhammad Abduh. Seminar ini berhasil merumuskan kerangka dasar pemikiran sebagai referensi dalam mengislamisasikan pengetahuan modern.26

24 Fazlur Rahman, op.cit. hlm. 72.

25

Fazlur Rahman, op.cit.hlm.70

26 Ismail R. Faruqi, Islamization of Knowledge, revised and expanded,(Virginia : IIIT, 1989). National Hijra Council, Knowledge

for what ?. Being the Proceeding and Papers of the Seminar on Islamization of Knowledge,(Islamabad : National Hijra

(14)

Menurut Wan Mohd. Nor Wan Daud,27 sebenarnya yang pertama sekali

mengemukakan konsep tentang Islamisasi pengetahuan karena pengetahuan yang ada dianggapnya Atheis adalah Sir Muhammad Iqbal pada tahun 30-an, namun beliau tidak menjabarkan lebih jauh idenya.28 Pada tahun 1960, Prof. S.H. Nasr, seorang sarjana

terkemuka dalam pengetahuan Islam mengemukakan metode dalam mengislamisasikan pengetahuan modern yang diintrpetasikan dan diaplikasikan dalam teorinya mengenai konsep Islam tentang kosmos.29 Dan yang pertama sekali secara resmi merumuskan,

mendifinisikan dan mempertahankan teori Islamisasi pengetahuan yang ada saat ini, dengan mendifinisikan pengertian pengetahuan dan hubungan pentingnya dengan konsep, manusia, keadilan dan kebijaksanaan adalah Prof. Syed Moh. Naquib al-Attas pada tahun 1977 dalam makalahnya The Concept of Education in Islam : A Framework for an Islamic

Philosophy of Education30 yang dibacakannya pada konferensi Internasional Pertama dalam

Pendidikan Muslim di Makkah al-Mukarramah yang dihadiri lebih dari 300 cendikiawan Muslim dari seluruh penjuru dunia.31

4.1. Urgensi Islamisasi Pengetahuan

Islamisasi pengetahuan yang diilhami oleh Sir Muhammad Iqbal dan dikembangkan para cendikiawan Muslim belakangan ini memiliki urgensi yang sangat mendasar terhadap sistem pendidikan kaum Muslimin. Kerena pada hakikatnya semua pengetahuan modern yang berkembang pesat dan telah mendominasi pemikiran sebagian besar ummah masa ini adalah datang dari peradaban Barat yang sekuler dan dualistik. Mengenai akar peradaban Barat, Syed Muhammad Naquib al-Attas menulis :

peradaban yang telah tumbuh dari peleburan historis dari kebudayaan, filsafat, nilai dan aspirasi Yunani dan Romawi kuno beserta perpaduannya dengan ajaran Yahudi dan Kristen yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh rakyat Latin, Jermia, Keltik dan Nordik. Dari Yunani kuno diperoleh unsur-unsur filosofis dan epistemologis dan landasan-landasan pendidikan dan etika serta estetika. Dari Romawi unsur-unsur hukum dan ilmu tata negara serta pemerintahan, dari ajaran Yahudi dan Kristen unsur-unsur kepercayaan relegius dan dari rakyat Latin, Jermia, Keltik dan Nordik nilai-nilai semangat dan tradisi mereka yang bebas dan nasionalis. Mereka ini mengembangkan serta memajukan ilmu-ilmu pengetahuan alam, fisika dan teknologi. Bersama-sama dengan rakyat Slavia, mereka telah mendorong peradaban Barat ke puncak-puncak menara kekuatan. Islam juga telah memberikan sumbangan-sumbangan pengetahuan, menanamkan semangat rasional dan ilmiyah. Mereka telah melebur dan memadukan semua unsur yang membentuk watak serta kepribadian peradaban Barat. Peleburan dan pemaduan yang berlangsung ini menghasilkan 27 Wan Mohd. Nor Wan Daud, The Beacon on The Crest of A Hill,(Kuala Lumpur : ISTAC, 1991), hlm. 34-35 28 Lihat, K.G. Saiyidain, Iqbal Educational Philosophy (Lahore : Sh. Muh. Ashraf, 1942), hlm. 99.

29 S.H. Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines,, Revised edt. (London : Thames and Hudson, 1978). hlm. xxi-xxii.

30 Syed M. Naqub al-Attas, The Concept of Education in Islam ; A Framework for an Islamic Philosophy of Education, (Kuala Lumpur : ABIM, 1980).

(15)

suatu dualisme yang khas dalam pandangan dunia dan nilai-nilai kebudayaan

dan peradaban Barat.32

Dengan landasan filsafat yang dualistik inilah Barat modern kemudian bergerak dengan kecepatan tinggi mengembangkan dan menguasai sains-teknologi dalam hampir semua bidang kehidupan manusia. Akibat dualisme pada landasan filsafat pemikirannya ini, maka terjadilah kepincangan-kepincangan pada peradaban Barat yang membawa dampak sangat serius bagi keselamatan umat manusia di muka bumi ini. Akhirnya peradaban yang dibangun Barat modern dengan segala timbunan materinya yang sangat menyilaukan sebagian besar para cendikiawan Muslim telah mengalami kegagalan seperti yang digambarkan Sayyid Hossein Nasr;

Peradaban yang berkembang di Barat sejak zaman Renaissance adalah sebuah eksperimen yang telah mengalami kegagalan sedemikian parahnya sehingga umat manusia menjadi ragu apakah mereka dapat menemukan cara-cara lain di masa yang akan datang. Sangatlah tidak ilmiyah apabila kita menganggap peradaban modern ini dengan segala gambaran mengenai sifat manusia dan alam semesta yang mendasarinya, bukan sebagai sebuah eksperimen yang gagal. Dan sesungguhnya penelitian ilmiyah, jika tidak menjadi jumud karena rasionalisme dan empirisme yang totalarian seperti yang kami katakan di atas, sudah tentu merupakan cara termudah untuk menyadarkan manusia sekarang bahwa peradaban modern sesungguhnya telah gagal karena kesalahan konsep-konsep yang melandasinya. Peradaban modern telah ditegakkan di atas dasar konsep mengenai manusia yang tidak menyertakan hal yang paling mendasar

bagi manusia.33

Kegagalan peradaban Barat modern, baik secara teori maupun praktek adalah tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia dan harus segera diatasi secepat mungkin, karena tantangan telah menjadi sumber segala problematika umat manusia, seperti dikatakan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas;

Banyak tantangan yang timbul di tengah-tengah kebingungan manusia sepanjang zaman, tetapi tidak satupun yang lebih serius dan sangat destruktif kepada manusia sekarang selain yang ditimbulkan oleh peradaban Barat. Saya berpendapat bahwa tantangan yang paling besar yang secara sembunyi-sembunyi telah muncul pada zaman kita adalah tantangan pengetahuan (knowledge), tidak seperti berperang melawan kejahilan; tapi sebagai pengetahuan yang disusun dan disebarkan ke seluruh penjuru dunia oleh peradaban Barat; sifat dasar pengetahuan menjadi permasalahan setelah ia kehilangan tujuan sebenarnya karena disusun secara tidak adil yang dengan begitu justru menimbulkan kekacauan pada kehidupan manusia, dan lebih jauh pada kedamaian dan keadilan; pengetahuan menganggap diri sesuai dengan 32 Syed M. Naquib al-Attas, Islam and Secularism, hlm. 136

(16)

kenyataan, padahal ia adalah produk dari rasa kebingungan dan skeptisme, yang mengangkat keraguan dan dugaan pada tingkat ilmiyah dalam metodeloginya dan memandang keraguan sebagai epistemologi paling tepat dalam mencari kebenaran; pengetahuan, untuk pertama kali dalam sejarah, telah membawa

kekacauan pada tiga kerajaan alam; binatang, tumbuhan dan mineral.34

Asumsi-asumsi seperti inilah yang dijadikan alasan utama oleh para cendikiawan Muslim kontemporer seperti Sayyid Hossein Nasr, Syed Muhamad Naquib al-Attas, Ismail R. Faruqi dan lain-lainnya dalam mengembangkan metodelogi pemikiran yang bertujuan untuk mengislamisasikan pengeta-huan (Islamization of Knowledge) yang dimiliki peradaban Barat Modern. Karena bagaimanapun peradaban Barat telah menghasilkan pengetahuan yang luar biasa dalam segala aspek kehidupan dan sangat bermanfaat untuk kepentingan umat manusia. Itulah sebabnya, pengetahuan modern Barat perlu diislamisasikan agar sesuai dengan kehendak dan tujuan mulia ajaran Islam.

4.2. Aliran Islamisasi Pengetahuan

Jika dianalisis lebih jauh menurut pendekatan yang digunakan dan diterapkan dalam pengembangan teori-teorinya, ada beberapa aliran yang sangat berpengaruh dalam mengembangkan metode pemikiran yang berdasarkan Islamisasi pengetahuan ini, namun pada hakikatnya yang dominan dan didukung institusi intelektual yang solid ada dua, yaitu; Islamisasi Pengetahuan model Faruqi dan Penerusnya yang didukung The International Institute of Islamic Thought (IIIT) yang berpusat di Virginia Amerika Serikat dan Islamisasi Pengetahuan model Syed Muhammad Naquib al-Attas yang didukung International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) yang berpusat di Kuala Lumpur Malaysia.

Konsep Islamisasi pengetahuan menurut Faruqi hakikatnya adalah proses untuk memberikan ruh (spirit) Islam kepada pengetahuan modern yang telah ditemukan Barat terlebih dahulu, dengan proses mengetahui landasan filsafat pengetahuan tersebut, kemudian dinilai relevansinya terhadap nila-nilai Islam. Oleh karena itu, seorang cendikiawan yang akan mengislamisasikan sebuah pengetahuan harus mengetahui secara pasti ajaran Islam dan pengetahuan modern yang akan dislamisasikan. Istilah Islamisasi sendiri digunakan untuk menyaingi dua istilah yang telah populer lebih dahulu dikalangan kaum Muslimin dan sangat mempengaruhi pemikiran mereka, yaitu Westernisasi dan

Modernisasi. Di mana kedua istilah ini sangat banyak menimbulkan kekeliruan akibat

ketidakjelasan pengertiannya ataupun orientasinya, dan dapat menyesatkan ummah. Pelaksanaan Islamisasi pengetahuan ini boleh saja berbentuk transformasi pengetahuan yang tidak bertentangan dengan Islam kepada ummah secara langsung, menyaring pengetahuan pengetahuan dari pengetahuan non Islami dengan memberikan spirit Islam, ataupun orientasi Islami sehingga sesuai dengan kaedah pengetahuan Islam, menyempurnakan pengetahuan non Islami yang sesuai dengan ajaran Islam dengan memberikan kaedah-kaedah Islami, memperbaharui atau merombak pengetahuan non

34 Syed Muh. Naquib al-Attas, Nature of Knowledge and The Definition and Aim of Education,(Jeddah : King Abdul Aziz Univ, 1979). hlm. 19-20.

(17)

Islami menjadi Islami, menggabungkan kedua pengetahuan yang ditemukan metodelogi gabungan tradisional dengan sekuler sehingga lahir bentuk pengetahuan baru yang lebih sempurna ataupun cara-cara lainnya.35 Untuk mensukseskan program Islamisasi

pengetahuan ini, ditunjuk The International Institute of Islamic Thought (IIIT) yang berpusat di Herndon, Virginia Amerika untuk menghimpun para cendikiawan Muslim seluruh dunia dari berbagai disiplin pengetahuan, mereka ditugaskan meneliti dan menulis sesuai dengan spesialisasi pengetahuannya masing-masing, kemudian hasil penelitian mereka diterbitkan dalam jurnal atau buku yang akan disebarluaskan. Para cendikiawan Muslim yang dihimpun IIIT sudah berupaya semaksimal mungkin dengan pengetahuan yang dimilikinya untuk mendifinisikan, merumuskan, menjabarkan dasar-dasar Islamisasi pengetahuan, kemudian didiskusikan dan diseminarkan dikalangan mereka dan akhirnya diterapkan pada beberapa institusi pendidikan tinggi Islam di negara-negara Muslim seperti Saudi Arabia, Pakistan, Malaysia dan lainnya.36

Sementra Islamisasi pengetahuan menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas pada hakikatnya adalah proses untuk mengisolasi dan memindahkan segala sesuatu yang tidak Islami, terutama elemen-elemen Barat dan konsep-konsep yang menyertainya. Ini juga berarti memasukkan elemen-elemen kunci Islam dan konsep-konsep yang menyertainya kepada elemen-elemen dan konsep-konsep yang baru ataupun asing. Beberapa elemen dan konsep kunci Islam diantaranya adalah agama (din), manusia (insan), pengetahuan (ilm dan

ma’rifah), kebijaksanaan (hikmah), keadilan (‘adl), perbuatan benar (‘amal sebagai adab),

dimana semua ini menjadi kesatuan landasan dan dasar yang saling berhubung-kait dengan konsep Tuhan, esensi dan atribut-Nya (tauhid); pengertian dan pesan al-Qur’an, al-Sunnah dan Syariah.37 Untuk mengembangkan konsep Islamisasi pengetahuan ini, Syed al-Attas

didukung oleh sebuah lembaga yang solid, International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) yang merupakan lembaga studi Islam yang sekaligus mendidik mahasiswa di tingkat pasca sarjana dan tempat berhimpunnya para cendikiawan Muslim seluruh dunia untuk mendiskusikan masalah-masalah keislaman yang didukung oleh perpustakaan yang besar dan lengkap, khususnya mengenai Islam. ISTAC telah menerbitkan beberapa buah buku yang menjadi panduan dalam memahami Islam. Lembaga ini didirikan pada hakikatnya untuk menjadi simbol keagungan pendirinya, Syed Muhammad Naquib al-Attas, seorang cendikiawan Muslim terkemuka masa ini yang memiliki pemikiran-pemikiran cemerlang.38

4.3. Evaluasi terhadap Sistem Pendidikan Islamisasi Pengetahuan

Usaha-usaha serius para cendikiawan Muslim yang berkelanjutan dalam mengislamisasikan pengetahuan ini sangat bermanfaat untuk menyempurnakan sistem dan

35 Ismail R. Faruqi, op.cit.hlm. 83. Lihat juga, ‘Imad al-Din Khalil, Madkhal ila Islamiyat al-Ma’rifah, (Herndon, Virginia : IIIT, 1991). Abu al-Qasim Hajj Hammad, al ‘Alamiyah al-Islamiyah al-Insaniyah, (Beirut : Dar al-Masirah, 1980). Taha J. al-’Alwany, “The Islamization of Knowledge : Yesterday and Today”, Dalam The American Journal of Islamic Social

Sciences, vol. 12, Spring 1995, No 1 ( Kuala Lumpur : IKD, 1995), hlm. 80-101. ‘AbdulHamid A. AbuSulayman, Mafahim fi I’adat Bina’ Manhajiyat al-Fikr al-Islamy al-Mu’asir, dalam Toward Islamization of Disciplines,(Herndon, Virginia : IIIT,

1989).hlm.31-68.

36 ibid

37 Wan Mohd. Nor Wan Daud, The Beacon, op.cit. hlm.37

38

(18)

metode pendidikan kaum Muslimin di masa depan, dan harus difahami bahwa proses ini adalah proses yang masih berada pada tingkat permulaan yang memerlukan penelitian berkepanjangan. Karena kaum Muslimin dewasa ini sudah kehilangan jejak tradisi dan warisan para cendikiawan Muslim terdahulu beberapa abad sejak terjadinya pencerahan Eropa. Memang terlalu awal jika konsep Islamisasi Pengetahuan ini dinilai keberhasilannya, karena teori ini sedang dalam proses eksperimen yang akan menyempurnakan sistem dan metodeloginya. Namun demikian, untuk mengevalusi sejauh mana keabsahan teori ini perlu diberikan penjelasan yang lebih terperinci, sebagaimana dikemukakan Fazlur Rahman,39 terutama dalam proses memberikan spirit Islam kepada pengetahuan Barat

modern. Sebagaimana dimaklumi, pengetahuan terdiri dari sains-sains kealaman (eksak) dan sains-sains sosial (humanika). Sains-sains kealaman adalah pengetahuan yang sesuai dengan Sunnatullah (hukum alam) dan tidak mungkin diolahsuai menurut kehendak manusia, karena hal ini adalah sesuatu kejadian yang sudah pasti tertentu kadarnya. Usaha-usaha untuk memanipulasinya jelas akan mendatangkan kegagalan belaka. Dalam hal ini Islamisasi atau pemberian ruh Islam dapat dilakukan, karena pada hakikatnya alam ini adalah kitab Allah yang tidak tertulis, yang tidak mungkin bertentangan dengan al-Qur’an, sumber utama ajaran Islam, selama tidak dimanipulasi kehendak yang ingin menyimpangkannya. Namun pada sains-sains sosial humanika, lain halnya, karena jelas pengetahuan ini sangat relevan terhadap nilai-nilai yang menemukannya dan merumuskannya. Jika pengetahuan ini dikemukakan Barat, maka pengetahuan ini tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Barat, dengan kata lainnya terkandung unsur subyektivitas dalam pengetahuan tersebut. Maka dalam kasus seperti ini, Islamisasi pengetahuan perlu diberikan pengertian yang lebih jelas, karena sains-sains sosial-humanika yang telah dikemukakan Barat saat ini pasti tidak terlepas dari nilai-nilai mereka yang sekuleris dan materialis.

Pertanyaan yang timbul, mungkinkah mengislami-sasikan pengetahuan yang berbeda, bahkan bertentangan, landasan filsafatnya, orientasinya, relevansinya, produknya dan lain-lain aspeknya dengan ajaran Islam ? Realitasnya, para cendikiawan Muslim yang berhadapan dengan kasus seperti ini, mau tidak mau harus menggali langsung ajaran Islam yang berkaitan dengan pengetahuan berkenaan.

Seperti kasus Islamisasi ekonomi misalnya, para cendikiawan Muslim tidak mungkin mengislamisasikan konsep riba’ (bunga) yang terkandung pada sistem ekonomi Kapitalis Barat modern yang berlandaskan filsafat dan nilai-nilai sekuler yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan yang diajarkan Islam. Untuk mengatasi masalah ini, para cendikiawan Muslim terpaksa menggali warisan tradisi Islam yang bersumber pada al-Qur’an, al-Sunnah, perilaku sahabat, ijma’, qiyas dan lainnya sehingga mereka menemukan dan merumuskan sistem ekonomi Islam tersendiri dengan konsep-konsep ataupun

teori-39

(19)

teorinya yang sama persis ataupun bertentangan dengan konsep atau teori ekonomi Barat.40

Hal serupa pula yang dilakukan para cendikiawan Muslim ketika mereka akan mengislamisasikan sosiologi,41 mengislamisasikan antropologi,42 mengislamisasikan seni

dan disiplinnya,43 mengislamisasikan bahasa,44 dan mengislami-sasikan pengetahuan yang

lain-lainnya.45

Dengan demikian, apa yang diistilahkan sebagai Islamisasi pengetahuan dan dipraktikkan cendikiawan Muslim saat ini, khususnya Islamisasi model Faruqi, pada hakikatnya bukanlah suatu proses mengislamkan atau memberikan spirit Islam kepada pengetahuan Barat modern, tetapi lebih merupakan proses mencari, meneliti, merumuskan dan mengembangkan suatu disiplin pengetahuan yang belum ada pada peradaban modern, walaupun nantinya dalam pelaksanaannya mereka menjadikan referensi pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada, baik dari warisan tradisi peradaban Islam ataupun peradaban Barat. Sementara Islamisasi mengandung pengertian merubah sesuatu yang tidak Islami menjadi Islami, maka jelas perubahan tidaklah identik dengan penyusunan, karena perubahan mengandung pengertian merubah sesuatu yang sudah ada, baik dengan mengurangi ataupun menambahnya, menjadi bentuk lainnya, tetapi penyusunan mengandung makna mengadakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Seperti ekonomi Islam misalnya, saat ini kaum Muslimin belum memiliki model sistem ekonomi Islam yang dapat diterapkan sesuai keperluan masyarakat modern, maka para cendikiawan Muslim tidaklah mengadopsi ekonomi Barat menjadi ekonomi Islam dengan proses perubahan yang disebutnya sebagai Islamisasi, tetapi mereka berusaha mencari, meneliti, merumuskan dan mengem-bangkan teori-teori ekonomi tersendiri berdasarkan ajaran Islam, dan mungkin mereka akan menggunakan teori ekonomi Barat sebagai bahan perbandingan dan referensi sehingga mereka menemukan suatu teori ekonomi Islam yang mungkin berbeda dan mungkin juga sama persis dengan ekonomi Barat. Namun proses ini tidaklah dapat dinamakan sebagai perubahan teori, namun penyusunan teori baru.

Istilah Islamisasi pengetahuan sendiri dapat memberikan kesan seakan-akan ajaran Islam tidak memiliki sistem pengetahuan dan kehidupan yang sempurna, sehingga perlu diambilkan dari dari luar Islam. Seperti sistem ekonomi, seakan-akan Islam tidak memiliki sistem ekonomi sendiri sehingga perlu diambilkan dari sistem luar Islam dengan proses

40 Untuk masalah ini lihat misalnya, M. Najatullah Siddiqi, “Islamizing Economics”, dalam Toward Islamization of

Disciplines, op.cit. hlm.253-261. M. Anas al-Zarqa,”Tahqiq Islamiyat ‘Ilm al Iqtishad : al-Mafhum wa al-Manhaj, dalam Toward Islamization of Disciplines. op.cit. hlm.317-351. Abdul Hamid A. AbuSulayman, “The theory of the Economics of

Islam : the Economics of Tawhid and brotherhood” di Contemporary Aspects of Economic Thinking in Islam,(Indianapolis : American Trust Publ. April, 1968). Mohammad Anwar, Modelling Interest-Free Economy, A Study in Macro-econonomics and

Development, (Herndon, Virginia : IIIT, 1987). Khursid Ahmad,(ed), Studies in Islamic Economics, (Jeddah : International

Centre for Research in Islamic Economics, King Abdul Aziz Univ, 1980). A.H.M. Sadeq, Islamic Economics, Some Selected

Issues,(Lahore : Islamic Publ. 1989). Zohurul Islam, Islamic Economics, (Dhaka : Islamic Foundation Bangladesh, 1987).

Taqyuddin al-Nabhani, al-Nidham al-Iqtishadi fi al-Islam,(Beirut : Dar al-Ummah, 1990). M. Umer Chapra, Towards a Just

Monetary System, (London : The Islamic Foundation, 1985). S.M. Yusuf, Economic Justice in Islam, (Lahore : Shaikh

Muhammad Ashraf, 1971).

41

Ilyas Ba-Yunus & Farid Ahmad, Islamic Sociology : An Introduction,(Cambridge : Hodder and Stoughton, 1985). 42 Akbar S. Ahmad, “Toward Islamic Anthropology, dalam Toward Islamization of Disciplines,,op.cit,hlm.199-247. 43 Lamya al-Faruqi, “Islamizing The Arts Disciplines”, dalam Toward Islamization, op.cit. hlm. 459-504.

44 Sayyid M. Syeed, “Islamization of Linguistics”, dalam Toward Islamization, op.cit. hlm. 545-555.

45 AbdulHamid A. AbuSulayman, “Orientation Guidelines for the International Conference on Islamization of Knowledge, dalam Toward Islamization, op.cit, hlm. 13-16.

(20)

Islamisasi ekonomi. Sementara Islam mengajarkan kepada pengikutnya bahwa Islam adalah sistem yang kaffah dan syumul, yaitu ajaran yang mengatur semua sistem kehidupan manusia, dari masalah individu sampai masyarakat dan negara.46 Bagaimana mungkin

Islam telah mengajarkan secara terperinci doktrin-doktrin sederhana tata cara keluar masuk kamar kecil dan adab-adabnya, sementara tidak mengajarkan sistem ekonomi, sosial, politik, pendidikan dan lainnya yang lebih besar dan penting dalam kehidupan pengikutnya ? Maka tentu Islam sebagai al-dien (sistem hidup) telah mengajarkan dasar-dasar filsafat semua sistem kehidupan dunia ini, tinggal bagaimana para cendikiawan Muslim mengembangkannya menurut kemampuannya masing-masing. Islam dengan pendekataannya yang khas telah memberikan dorongan kepada pengikutnya untuk meneliti dan mengembangkan segala phenomena alam ini menurut kadar kemampuannya masing-masing. Semangat inilah yang telah mendorong para cendikiawan Muslim terdahulu yang telah mengantarkan mereka menuju puncak kegemilangan peradaban.

Maka dengan pengertian ini, Islamisasi pengetahuan harus lebih difokuskan kepada penyusunan dan pengembangan teori-teori pengetahuan baru Islami yang berbeda dari pengetahuan Barat, baik secara substansi ataupun materinya yang berlandaskan filsafat pengetahuan Islam, berorientasi Islami dan menghasilkan produk-produk Islami pula. Jadi yang diperlukan saat ini adalah bagaimana menemukan dan merumuskan kembali konsep pengetahuan Islami, sains Islami, teknologi Islami dan seterusnya, walaupun kaum Muslimin harus mengadopsinya dari Barat yang non Islam, kerena mungkin mereka telah menemukannya lebih dahulu. Para cendikiawan Muslim mempunyai hak untuk mengadopsi pengetahuan tersebut dari mereka, yang hakikatnya adalah ilmu Allah SWT, selama pengetahuan tersebut sesuai dengan ajaran Islam. Rasulullah sendiri telah memerintahkan kepada ummatnya untuk mengambil ilmu yang bermanfaat sebagaimana sabdanya :”sesungguhnya al-Hikmah (pengetahuan bermanfaat) adalah milik kaum Muslimin,

dimanapun mereka menemukannya, mereka berhak mengambilnya kembali”(al-Hadits).

Walaupun sistem ekonomi Islam misalnya sudah ditemukan Karl Marx yang atheis, maka para cendikiawan Muslim tetap berhak mengambilnya tanpa rasa rendah diri. Karena semua sistem yang bermanfaat dan benar adalah ilmu Allah yang telah diberikan-Nya kepada orang-orang yang bersungguh-sungguh, walaupun mereka kafir, atheis ataupun sekuler. Atau para cendikiawan Muslim menggali langsung berdasarkan warisan-warisan cemerlang pendahulu mereka, menyempur-nakan dan merumuskan kembali menurut keperluan masyarakat masa kini, karena Barat yang memiliki peradaban tinggi saat ini pada awalnya juga belajar dari para cendikiawan Muslim terdahulu.

Saat ini, di mana Barat menjadi pemuka pengetahuan modern, maka ummah mau tidak mau harus mengambil darinya jika mereka hendak menjadi pemimpin peradaban dunia masa depan. Untuk itu perlu diperjelas bentuk pengetahuan produk Barat sekuler saat ini. Secara global menurut pandangan Islam, pengetahuan Barat saat ini terbagi menjadi dua, yaitu pengetahuan Barat Islami dan pengetahuan Barat non Islami. Ini berangkat dari asumsi tadi, bahwa semua pengetahuan yang benar dan bermanfaat pasti dari Allah

46 Tentang kesempurnaan Islam ini lihat misalnya : Said Hawa, Islam, (Beirut : Dar Fiqr, 1978). Yusuf al-Qardhawi, al-Hall al-Islam, (Dauhah, Qatar : al-Jamiah al-Islamiyah Qatar, 1986). Hamudah Abdalaty, Islam in Focus,(Kuwait : IIFSO, 1978). Abu Urwah, Sistem-sistem Islam,(Kuala Lumpur : Pustaka Salam, 1989). Abul A’la al-Maududi, Asas-asa

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya secara khusus dapat ditarik simpulan sebagai berikut: (1) Perencanaan pembelajaran menggunakan media gambar seri untuk meningkatkan kemampuan peserta didik

Porositas total lahan paska tambang yang di revegetasi dengan tanaman jabon paling tinggi diikuti tanah yang direvegetasi dengan rambutan, jambu dan karet.. Peningkatan

Beberapa penyebab pada perdarahan ini antara lain karena kelainan anatomis rahim (seperti adanya polip rahim, mioma uteri), adanya siklus anovulatoir

5 PRAKTIČEN PRIMER LETNEGA POROČILA V SLOVENIJI 52 5.1 Praktičen prikaz razlik med letnimi poročili na primeru podjetja X v Sloveniji 52 5.1.1 Predstavitev podjetja X 52 5.1.2

peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.. (3)

Fungsi utama Studio adalah untuk menunjang kegiatan pendidikan yang meliputi; praktikum pemrograman, pengerjaan tugas menggambar teknik dan menggambar mesin,

Skripsi dengan judul “Gambaran Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik pada Salah Satu Fakultas Kedokteran Gigi di Malaysia Berdasarkan Tahun Kepaniteraan Klinik

Referendum adalah kegiatan untuk meminta pendapat rakyat secara langsung yang menyatakan setuju atau tidak setuju untuk meminjam bantuan ekonomi.. Tanam paksa yang