• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.6. Waktu dan Periode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober 2021 hingga Februari 2022. Berikut dibawah ini merupakan penjelasan mengenai pembagian waktu dan periode penelitian.

Tabel 1. 1 Waktu dan Periode Penelitian (Sumber : Olahan Penulis, 2021)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka Penelitian 2.1.1. Pembagian Kelas Sosial

Alex Sobur (2014:368) mendefinisikan kelas sosial sebagai

“Sekelompok orang yang digolongkan menurut kedudukan relatif mereka dalam ekonomi dan sosial (yakni kelas atas, kelas menengah, kelas buruh, kelas bawah”. Menurut Dahrendorf (dalam Aji, 2015:36), kata ‘kelas sosial’ dipopulerkan pertama kali oleh penguasa Romawi Kuno. Pada saat itu, kelas sosial diidentikan dengan penggolongan masyarakat berupa masyarakat golongan kaya dan golongan miskin. Lalu pada abad ke-18, penggunaan kata kelas sosial oleh ilmuwan Eropa dikaitkan dengan status sosial atau kedudukan. Dan pada abad ke-19, status sosial identik dengan kesenjangan sosial dari sisi ekonomi masyarakat, yang nantinya akan dipopulerkan oleh Karl Marx.

Karl Marx merupakan salah satu tokoh dunia yang terkenal karena pemikirannya mengenai sistem di masyarakat. Karl Marx lahir di kota Trier di distrik Moselle, Prussian Rhineland, Jerman, pada tanggal 5 Mei 1818 (Bahari, 2010:1). Pengaruhnya yang besar itu dibuktikan dengan nama Karl Marx yang menduduki urutan ke-27 dari 100 tokoh yang paling berpengaruh sepanjang masa. Salah satu sumbangsih dari Karl Marx yaitu konsep perjuangan kelas yang membahas perjuangan kaum buruh untuk bangkit mempertahankan hak dan kebebasan mereka dari ‘kuda tunggangan’ kaum kapitalis (Ismail & Basir, 2012:27). Konsep tersebut adalah dasar dari kelas sosial.

Seluruh pemikiran Karl Marx berdasarkan praanggapan bahwa pelaku utama dalam masyarakat adalah kelas-kelas sosial (Magnis-Suseno, 2005:110). Karl Marx tidak mendefinisikan kelas sosial secara eksplisit, namun konsep Marx mengenai kelas sosial ini muncul sebagai akibat dari hubungan-hubungan penindasan dan

11 pendominasian suatu kelompok lain dalam sistem produksi (Ismail

& Basir, 2012:29) sehingga memunculkan kesenjangan dalam masyarakat dari segi ekonomi. Pemikiran Marx mengenai kelas sosial juga dipengaruhi oleh ketidakpuasannya Marx terhadap pemikiran Hegel mengenai dialektika, dimana menurut Marx hanya sampai tahap teoritis saja dan tidak berpengaruh secara langsung di masyarakat (Syafaat, 2017:2). Marx menjelaskan bahwa pelaku-pelaku utama perubahan sosial bukanlah individu-individu, melainkan kelas-kelas sosial secara luas (Magnis-Suseno, 2005:113).

Dalam membagi kelas sosial, terdapat beberapa karakteristik atau dasar pembentukan yang mempengaruhinya. Dasar pembentukan tersebut yaitu ukuran kekayaan, ukuran kepercayaan, besaran kekuasaan, ukuran kehormatan, dan ukuran ilmu pengetahuan dan pendidikan (Bungin, 2008:50). Karl Marx membagikan kelas sosial di masyarakat menjadi dua (Ismail & Basir, 2012:29), yaitu sebagai berikut.

a. Kelas Sosial Atas/Borjuis/Kapitalis

Kelas borjuis atau disebut juga kelas pemilik modal adalah mereka yang memiliki alat-alat produksi dan menguasai proses pengeluaran secara keseluruhannya.

Kelas borjuis juga kelas yang ekonominya terbantu dari laba produksi. Alat produksi yang mereka miliki perlu digerakkan oleh manusia atau nantinya disebut kaum proletar, karena kaum borjuis ini meniginkan pemberian upah serendah mungkin karena akan berdampak kepada keuntungan yang mereka dapatkan (Syafaat, 2017:3).

Eksploitasi ini akan menyebabkan semakin banyaknya kaum proletariat yang miskin dan bahkan tidak sanggup membeli produk yang mereka hasilkan sendiri melalui alat produksi kaum borjuis.

12 b. Kelas Sosial Bawah/Proletariat/Buruh

Kelas proletariat atau kaum buruh dianggap sebagai

‘objek’ dalam proses pengeluaran dengan menjual tenaga kerja mereka dan mendapatkan gaji atau upah yang rendah.

Kelas buruh juga disebut sebagai kelas yang hidup dari upah yang diberikan oleh kelas borjuis. Eksploitasi yang mereka rasakan dari kaum borjuis akan memunculkan unsur

‘antagonisme kelas’ atau rasa ingin yang kuat untuk bebas dari penindasan. Keinginan ini yang menjadi dasar munculnya protes kepada kaum borjuis dan berusaha merubah sistem masyarakat yang ada agar lebih adil.

Sebenarnya Marx menyebut satu kelas lagi diantara kelas borjuis dan kelas proletar yaitu kelas menengah, namun kelas tersebut cenderung mendukung kapitalis sehingga kelas ini dapat dimasukkan ke dalam kelas borjuis atau kapitalis.

Kedua kelas diatas pada hakikatnya saling membutuhkan, karena kelas borjuis atau kelas pemilik modal tidak bisa menjalankan alat produksinya tanpa kelas buruh. Begitupun sebaliknya, kelas buruh tidak bisa menjalankan produksi jika tidak memiliki alat produksi. Tetapi kenyataannya ketergantungan antara dua kelas itu tidak seimbang (Magnis-Suseno, 2005:114). Kaum buruh tidak akan bisa bertahan lama jika tidak bekerja karena ekonominya yang kurang. Namun dari sisi kaum borjuis, meski mereka tidak memiliki kaum buruh untuk dipekerjakan, mereka masih dapat bertahan hidup lebih lama. Kelas borjuis lebih diuntungkan karena mereka tidak perlu bekerja sendiri, karena dapat hidup dari pekerjaan kelas buruh (Magnis-Suseno, 2005:115). Tidak jarang kaum buruh melakukan pekerjaan melebihi dari waktu yang diperlukan hanya demi keuntungan si pemilik modal. Hubungan antara kelas borjuis dan kelas proletar ini merupakan hubungan kekuasaan, yang satu berkuasa atas yang lain (Magnis-Suseno,

13 2005:115). Ketidakseimbangan ini lah yang menyebabkan munculnya gerakan perjuangan kelas buruh.

Solusi dari Karl Marx terhadap penindasan sistem kapitalis kepada kaum bawah ini adalah dengan pemahaman komunisme.

Menurut Marx (Ismail & Basir, 2012:31), proses perubahan sejarah bergerak melalui komunisme primitif, feudalisme, kapitalisme, lalu berubah menjadi sosialisme, dan berakhir menjadi komunisme.

Perubahan sejarah ini diawali dengan revolusi kaum buruh (proletariat) yang mewakili suara masyarakat. Langkah untuk merubah sistem kapitalis tersebut harus diawali dengan diambilnya kekuasaan negara oleh kaum proletariat agar mereka ‘memiliki akses’ untuk menggulingkan sistem kapitalisme. Alih-alih digulingkan total, Marx lebih setuju jika kuasa negara diambil alih oleh kaum buruh meski sementara, agar kuasa tersebut digunakan untuk memperjuangkan hak masyarakat yang tertindas.

Munculnya kelas sosial ini tidak hanya saat Karl Marx hidup atau di era sebelumnya, namun di setiap era yang berbeda-beda sesuai dengan bagaimana ekonomi bekerja saat itu. Akan selalu ada kelas atasan baru setiap munculnya tahap baru di kemajuan teknologi. Bahkan di era saat ini, kelas borjuis dan kelas proletar masih ada sebagai pembatas antara adanya masyarakat. Hal ini menyebabkan para penyedia produk dan jasa berusaha memahami jati diri produk atau jasanya ditujukan ke kelas mana, baik borjuis/kelas atas, proletar/kelas bawah, atau bahkan keduanya.

Dalam penelitian ini, peneliti akan menganalisis representasi dari kelas sosial yang ditunjukkan di adegan-adegan dalam iklan

“Introducing iPhone 13 | Apple” berdasarkan kelas sosial yang dicetuskan oleh Karl Marx.

2.1.2. Hegemoni Antonio Gramsci dalam Kelas Sosial

Pemikiran-pemikiran Karl Marx menginspirasi dan diadaptasi oleh berbagai tokoh di dunia, salah satunya adalah Antonio Gramsci.

Gramsci adalah seorang aktivis politik yang lahir pada tahun 1891 di

14 Sardinia (Strinati, 2016:199). Dia pergi ke Turin pada tahun 1991 sebagai mahasiswa dan setelah itu terlibat dalam jurnalisme dan aktivitas politik sebelum ditangkap oleh pemerintah fasis pada tahun 1926 (Strinati, 2016:199). Karier Gramsci tidak terlepas dari aktivitas dan perjuangan politik, sehingga menjadikan Gramsci sosok unik sebagai seorang teoretikus. Beliau membentuk gagasannya secara langsung dari pengalaman-pengalamannya di dunia politik mulai dari represi-represi politis hingga kesukaran yang dialami. Gramsci berpikiran bahwa Marxisme tidak hanya sebagai pengetahuan yang konsepnya perlu didalami saja, ataupun bukan semata-mata sebagai perspektif ketika melihat dunia, melainkan sebagai sebuah teori politik yang berfokus pada peran kelas pekerja (Strinati, 2016:199). Maka dari itu Antonio Gramsci erat kaitannya dengan pemahaman marxisme, meskipun pada prakteknya tidak semua sesuai dengan apa yang Marx ajukan. Jika para politik penganut teori Marxis menganggap bahwa jalan revolusi penindasan kelas sosial bawah adalah melalui cara kasar seperti penggulingan kapitalisme dan merampas kekuasaan negara, maka Gramsci menemukan pendekatan lain yang lebih halus.

Pendekatan tersebut adalah konsep hegemoni.

Hegemoni adalah bentuk ideologi yang di dalamnya nilai dan kepentingan kelompok hegemonik dialami oleh kelompok lainnya sebagai telah menjadi milik mereka sendiri, dan telah disetujui (Thwaites et al., 2009:253). Hegemoni menurut Gramsci adalah sarana kultural maupun ideologis kelompok dominan (termasuk kelas penguasa), melestarikan dominasinya dengan cara mengamankan

‘persetujuan spontan’ dari kelompok subordinat (termasuk kelas pekerja) melalui pendekatan negosiasi konsensus politik maupun ideologis yang dikemas seolah sebagai kepentingan bersama (Strinati, 2016:203). Alih-alih menggunakan cara represi atau paksaan, konsep hegemoni digunakan oleh kelompok dominan untuk menanamkan sebuah ideologi atau pemahaman kepada masyarakat secara halus dan terlihat menguntungkan kelompok subordinat juga. Sebuah kebudayaan yang dibangun oleh hegemoni, baik berupa budaya populer

15 ataupun ideologi, dibangun dengan mengekspresikan kepentingan-kepentingan subordinat juga, sehingga kelompok subordinat akan merasa sukarela mengikuti kebudayaan tersebut dengan alasan tersendiri dan keinginan sendiri (Strinati, 2016:104). Meski hegemoni terlihat sebagai bentuk perdamaian antara kelompok dominan dan subordinat, namun hegemoni biasanya muncul dari aktivitas institusi-institusi maupun kelompok tertentu yang berada dalam masyarakat kapitalis (Strinati, 2016:207). Hegemoni dapat dianalogikan sebagai penerangan terhadap pertandingan sepakbola, dimana kedua pihak dapat bermain, namun sudah dipastikan hanya satu pihak yang menang (Strinati, 2016:213). Maka dari itu adanya hegemoni tetap terkait dengan bagaimana sistem kapitalis sebagai sistem yang dibuat oleh masyarakat borjuis untuk mengendalikan masyarakat proletar melalui belakang layar. Secara halus, konsep hegemoni diterapkan kepada masyarakat subordinat sehingga mereka merasa hegemoni tersebut adalah bentuk tatanan yang umum dan layak diterima, seperti halnya mereka yang hanya bisa mencari nafkah dari sistem sosial yang sudah dibentuk oleh masyarakat dominan. Hal itu juga dapat terjadi karena masyarakat subordinat ‘dibatasi’ sehingga tidak mampu mencari cara lain dalam pengorganisasian masyarakat, sehingga secara fatalistik dapat menyebabkan masyarakat subordinat menerima konsep hegemoni apa adanya (Strinati, 2016:214). Hegemoni ditampakkan sebagai penawaran yang sesuai dengan kelompok subordinat inginkan, meskipun hegemoni pada kenyataannya bisa jadi berisi kepentingan kelompok dominan atau kapitalis (Thwaites et al., 2009:246).

2.1.3. Representasi Kelas Sosial dalam Iklan

Danesi (2004:24) mendefinisikan representasi sebagai

“penggunaan tanda (gambar, bunyi, dan lain-lain) untuk menghubungkan, menggambarkan, memotret, atau mereproduksi sesuatu yang dilihat, diindera, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu”. Sedangkan menurut Sobur (2014:690) representasi merupakan suatu tindakan untuk menghadirkan atau merepresentasikan suatu makna lewat media diluar dirinya, bisa berupa

16 tanda ataupun simbol. Jadi dapat diartikan bahwa representasi merupakan tahapan untuk menggambarkan suatu makna atau pesan tertentu ke dalam pemikiran melalui media-media yang telah ditentukan. Representasi dapat ditunjukkan melalui media komunikasi manapun, dan menyisipkan simbol apapun, karena representasi adalah proses pikiran kita dalam menyikapi suatu paparan pesan tertentu.

Maka pesan yang disampaikan dapat beragam media dan bentuknya.

Bisa melalui teks, visual, audio, ataupun audio visual.

Dalam penelitian ini, representasi yang dimaksud adalah representasi dari makna kelas sosial pada iklan iPhone 13. Meski begitu, representasi kelas sosial juga tidak hanya ada di iklan iPhone 13 saja. Iklan merupakan salah satu media pemasaran yang didalamnya tidak jarang menyisipkan representasi kelas sosial. Tidak hanya iklan-iklan iPhone yang dibandingkan di bab 1, representasi kelas sosial juga muncul di iklan-iklan produk atau jasa lainnya. Salah satu iklan yang merepresentasikan kelas sosial yaitu iklan smartphone Samsung yang berjudul ‘Galaxy A52 | A72: Official Introduction Film | Samsung’.

Gambar 2. 1 Iklan 'Galaxy A52 | A72: Official Introduction Film | Samsung'

(Sumber : https://youtu.be/oRzKguNWv5w)

Gambar 2.1 tersebut adalah salah satu adegan dalam iklan yang merepresentasikan kelas sosial atas, khususnya dalam pakaian yang mereka kenakan dan latar tempat yang digunakan. Dalam iklan ini diperlihatkan penggunaan smartphone Samsung Galaxy A52 dan A72 sebagai produk terbaru Samsung untuk kelas menengah. Meski dari

17 segi harga termasuk kelas menengah ke atas, namun tanda-tanda yang dimunculkan dalam iklan menunjukkan bahwa produk tersebut ditujukan kepada masyarakat dengan kelas sosial atas. Iklan dimulai dengan pengenalan variasi warna Galaxy A52 dan A72 dan keunggulan kamera. Lalu iklan tersebut memperlihatkan berbagai pengguna produk tersebut yang menggunakan pakaian-pakaian berwarna dan variatif.

Latar tempat dari iklan tersebut juga ditunjukkan berbagai dekorasi rumah yang luas dan mewah. Selanjutnya iklan ini juga memperlihatkan keunggulan baterai dan kualitas layar yang diperkenalkan oleh para aktor dan aktris yang berada di rumah mewah dengan pakaian berwarna dan mahal. Iklan ini ditutup dengan memperlihatkan keunggulan-keunggulan Galaxy A52 dan A72 lainnya seperti kualitas audio, penyimpanan yang luas, keamanan, hingga performa dalam menjalankan game. Sekilas iklan Galaxy A52 dan A72 ini sama seperti iklan produk smartphone lainnya yang memaparkan keunggulan produk. Namun yang menjadi perhatian dari iklan ini adalah bagaimana Samsung memperlihatkan representasi kelas sosial yang mereka tuju dengan memunculkan aktor dan aktris yang perhatian dengan fashion, cenderung memiliki sifat konsumerisme, dan memiliki gaya hidup yang mewah. Samsung di iklan tersebut merepresentasikan kelas sosial borjuis atau kelas sosial atas.

Selain iklan produk smartphone, iklan di Indonesia pun tidak jarang memunculkan representasi kelas sosial. Contohnya adalah iklan Ramayana berikut ini.

18 Gambar 2. 2 Iklan ‘Ramayana Ramadhan #KerenLahirBatin

Menyambut Lebaran’

(Sumber : https://youtu.be/vD6Crv8b8S0)

Gambar 2.2 tersebut merupakan salah satu adegan dalam iklan

“Ramayana Ramadhan #KerenLahirBathin Menyambut Lebaran” yang memperlihatkan representasi kelas sosial melalui segala visual yang ditampilkan, salah satunya dengan menampilkan rumah yang sempit dan kumuh. Iklan ini sempat viral pada saat perilisannya karena uniknya pengemasan iklan tersebut. Iklan tersebut dikemas dengan gaya iklan tahun 90-an dengan aspect ratio 4:3 layaknya televisi lama.

Iklan ini juga diisi musik Qasidah, yaitu musik yang bertemakan Islam.

Iklan ini menceritakan seorang pekerja yang bekerja lembur namun tetap belum memiliki uang yang cukup untuk membahagiakan orang tuanya. Iklan ini dimulai dengan pekerja tersebut bermimpi memberikan sebuah kado kepada orang tuanya, namun ternyata kado tersebut tidak ada isinya. Setelah itu iklan memutar lagu qasidah yang menceritakan permasalahan pekerja tersebut. Motivasi pekerja tersebut bekerja lembur adalah untuk memberikan hadiah kepada orang tuanya pada saat lebaran. Namun, ditengah cerita pekerja tersebut dipalak oleh seorang preman sehingga uang pekerja tersebut kurang untuk dibelikan kado. Disinilah Ramayana hadir sebagai solusi dari permasalahan pekerja tersebut. Ramayana menawarkan diskon hingga 80% untuk produk-produk yang mereka jual, khususnya pakaian. Iklan ini ditutup dengan pekerja tersebut yang telah mudik dan berhasil memberikan kado kepada orang tuanya. Di dalam iklan ini ditunjukkan representasi

19 kelas sosial bawah atau proletar karena pemeran utama di dalam iklan tersebut bekerja sangat keras namun tetap tidak memiliki keuangan yang cukup. Hal ini menunjukkan bahwa Ramayana memang menujukan iklan ini kepada masyarakat kelas sosial proletar yang memiliki keterbatasan ekonomi, sehingga mereka akan mudah tergiur mendengar diskon hingga 80%.

Dari iklan-iklan yang sudah peneliti sampaikan di atas, representasi kelas sosial yang ditunjukkan dalam iklan sesuai dengan kondisi finansial target pasar mereka. Jika produk yang ditawarkan memiliki harga yang tinggi, maka kelas sosial yang ditunjukkan cenderung kepada kelas sosial borjuis. Begitupun jika produk yang ditawarkan memiliki harga yang relatif rendah, maka kelas sosial yang ditunjukkan adalah kelas sosial proletar. Namun, di iklan “Introducing iPhone 13 | Apple” yang peneliti angkat justru sebaliknya. Alih-alih menunjukkan representasi kelas sosial borjuis di dalam iklannya karena harga produknya yang relatif tinggi, justru Apple menunjukkan representasi kelas sosial proletar dengan menunjukkan karakter utamanya sebagai kelas pekerja, khususnya kurir. Tindakan Apple yang kontradiktif ini menjadi alasan kuat peneliti ingin menganalisis iklan Apple tersebut.

2.1.4. Iklan sebagai tools Integrated Marketing Communication

Komunikasi pemasaran atau marketing communication (Firmansyah, 2020:2) adalah sarana di mana perusahaan berusaha menginformasikan, membujuk, dan mengingatkan konsumen secara langsung maupun tidak langsung tentang produk dan merek yang dijual. Jadi dapat diartikan juga bahwa komunikasi pemasaran adalah cara mengkomunikasikan suatu produk atau jasa perusahaan dengan berbagai cara dan media agar konsumen dapat menerima informasi, menerima bujukan, atau diingatkan tentang suatu produk atau jasa. Seperti komunikasi pada umumnya, komunikasi pemasaran akan semakin kuat jika pesannya disampaikan dengan efektif dan efisien. Maka agar komunikasi pemasaran berjalan efektif dan efisien, terdapat strategi yang disebut marketing mix.

20 Kotler dan Armstrong (dalam Firmansyah, 2020:5), menjelaskan marketing mix sebagai “kumpulan alat pemasaran taktis terkendali yang dipadukan perusahaan untuk menghasilkan respons yang diinginkannya di pasar sasaran”. Komponen dari marketing mix yaitu Product (Produk), Price (Harga), Place (Tempat), dan Promotion (Promosi). Keempat ini harus menjadi komponen yang diperhatikan saat melakukan komunikasi pemasaran. Selain itu, keempat komponen ini juga harus dipadukan menjadi satu bentuk komunikasi yang mengarah ke satu arah yang sama. Komunikasi pemasaran yang dilakukan secara terintegrasi atau terpadu disebut Integrated Marketing Communication (IMC).

Pengertian Integrated Marketing Communication (IMC) menurut (Firmansyah, 2020:30) adalah sebagai berikut.

IMC (Integrated Marketing Communication) adalah sebuah konsep dari perencanaan komunikasi pemasaran yang memperkenalkan nilai tambah dari rencana komprehensif yang mengevaluasi peran strategis dari berbagai disiplin komunikasi—

misalnya periklanan umum, respon langsung, sales promotion, dan PR—dan mengombinasikan disiplin-disiplin ini untuk memberikan kejelasan, konsistensi dan dampak komunikasi yang maksimal.

Dari definisi di atas, dapat diartikan bahwa komunikasi pemasaran terpadu atau integrated marketing communication adalah proses integrasi berbagai alat pemasaran (marketing tools) agar dapat mengirimkan suatu pesan yang sama, meski berada dalam media dan cara penyampaian yang beda. Manfaat dari IMC ini adalah perusahaan dapat menggunakan semua alat pemasaran yang berbeda dan variatif, namun tetap mengirimkan sebuah pesan utama yang sama, pesan yang nantinya diolah agar dapat mencapai marketing communication objective.

Konsep pemasaran dalam integrated marketing communication (Firmansyah, 2020:35) terdiri dari direct marketing, sales promotion, public relation, personal selling, advertising, word of mouth marketing, event and experiences, dan interactive marketing.

Diantara beberapa konsep pemasaran di atas, salah satu dari konsep pemasaran yang sering digunakan adalah Iklan. Danesi (2004:362)

21 menjelaskan bahwa istilah advertising atau periklanan berasal dari kata Latin advertere yang berarti “mengarahkan perhatian kepada”.

Sedangkan menurut Firmansyah (2020:60) Iklan adalah penyajian informasi non-personal tentang produk, merek, perusahaan, atau gerai yang didanai sponsor. Pada awal memasarkan suatu produk, pemasar sangat bergantung pada iklan untuk mempengaruhi keputusan konsumen dalam menggunakan produk atau jasa merek-nya (Pamungkas, 2018:69). Tujuan dari adamerek-nya iklan yaitu agar dapat mempengaruhi citra, keyakinan, dan sikap konsumen terhadap suatu produk dan merek, serta memberi dampak kepada perilaku konsumen. Firmansyah (2020:60) juga mengungkapkan bahwa iklan dapat dianggap sebagai manajemen citra, yakni membangun dan menanamkan citra suatu produk kepada penonton yang melihatnya.

Iklan dapat disajikan melalui TV, radio, billboard, media sosial, dan lainnya.

Menurut Pamungkas (2018:69), tujuan utama dalam beriklan dibagi kepada tiga hal, yaitu membangun awareness terhadap suatu merek agar dapat menarik kostumer baru (recruit new customer), lalu mengingatkan kembali kepada konsumen loyal atau konsumen lama agar tetap ingat merek tersebut dan tetap menggunakannya (retain loyal customer), dan yang terakhir yaitu menarik kembali konsumen yang sudah lepas atau tidak menggunakan merek kita agar kembali minat dan menggunakan produk/jasa merek kita (retrieve lost customer).

Selain itu, Pamungkas (2018:70) juga menjelaskan lima tujuan komunikasi dalam periklanan, yaitu :

a. Informing (memberikan informasi), yaitu memberikan informasi mengenai produk atau jasa dari merek tersebut.

b. Persuading (mempersuasi), yaitu mengajak penonton atau target audiens iklan untuk memakai produk atau jasa dari merek yang di iklankan.

22 c. Reminding (mengingatkan), yaitu mengingatkan kembali keberadaan suatu merek agar loyal customer tetap ingat dan menggunakan merek tersebut.

d. Adding Value (memberi nilai tambah), yaitu memberitahukan keunggulan tambahan atau nilai tambah dari produk atau jasa merek tersebut.

e. Assisting (mendampingi) upaya lain dari perusahaan, yaitu memperkuat atau mendukung upaya-upaya pemasaran perusahaan selain dari iklan.

Dalam menyampaikan suatu pesan, iklan dibagi beberapa jenis sesuai dengan penyampaian pesannya. Jenis-jenis iklan tersebut (Pamungkas, 2018:74) adalah dibawah ini.

a. Objective, berarti iklan yang fokus kepada fungsi atau manfaat dari produk atau jasa yang ditawarkan merek tersebut.

b. Subjective, yaitu jenis iklan yang ‘menjual’ artis, aktor, atau maskot sebagai penarik utama dalam iklan.

c. Comparative, dimana iklan tersebut berisi perbandingan dengan produk atau jasa kompetitornya.

d. Emotional Appeal, berarti jenis iklan yang mengedepankan sisi emosional. Emotional Appeal juga dibagi lagi seperti dibawah ini.

1) Sex Appeal, yaitu iklan yang menjual sisi seksual yang dapat menarik perhatian target audiensnya.

2) Humorous Appeal, yaitu jenis iklan yang mengedepankan daya tarik humor atau jenaka yang mengundang tawa target audiensnya.

3) Sad Appeal, yaitu iklan yang memberikan efek sedih dan sisi emosional kepada penontonnya.

4) Fear Appeal, yaitu jenis iklan yang terkesan ‘menakut-nakuti’ penontonnya, biasanya rasa takut tersebut akan

23 teratasi dengan menggunakan produk atau jasa merk-nya.

5) Guilty Feeling, yaitu iklan yang memunculkan rasa bersalah penontonnya. Biasanya penonton akan didorong untuk menggunakan produk atau jasa merek tersebut agar rasa bersalah tersebut hilang.

2.1.5. Iklan sebagai Ideological State Apparatus (ISA)

Strinati mendefinisikan ideologi sebagai “proses merepresentasikan relasi sosial material, dan proses upaya mendamaikan relasi tersebut dalam diskursus” (Strinati, 2016:234).

Strinati mendefinisikan ideologi sebagai “proses merepresentasikan relasi sosial material, dan proses upaya mendamaikan relasi tersebut dalam diskursus” (Strinati, 2016:234).

Dokumen terkait