KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA
PADA EKOSISTEM HUTAN TRI DHARMA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
SKRIPSI
Oleh :
Alan Syahputra Simamora
101201058/Budidaya Hutan
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRACT
ALAN SYAHPUTRA SIMAMORA. Diversity of Arbuscular Mycorrhizal Fungi on Ecosytems of Tri Dharma Forest University of North Sumatra, Suvervised by DELVIAN and DENI ELFIATI.
The goal of this research is to know the diversity of Arbuscular Mycorrhizal Fungion Ecosytems of Tri Dharma Forest University of North Sumatra.The samplesof soil androots of plantstakenfromthe land of Tri Dharma Forest University of North Sumatra. This research use soil separating method to obtain spores and root coloring method to find out root colonization.
The results showthat an increase inthe averagedensity ofsporesfromthe fieldonthe results oftrapping, forthe percentage ofArbuscular Mycorrhizal Fungicolonizationinthe roots of plantsat56.5% includegrade4orhighcategories. Found2genus, namelyGenus AcaulosporaandGenusGlomus. Ofthe field foundas many as20types ofsporesby average spore density 107 spores/50 g soil andtrappingresultsare foundas many as26types ofspores by average spore density 938 spores/50 g soil.
ABSTRAK
ALAN SYAHPUTRA SIMAMORA.Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula padaEkosistem Hutan Tri Dharma Universitas Sumatera Utara. Dibimbing oleh DELVIAN dan DENI ELFIATI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman fungi mikoriza arbuskula pada ekosistem Hutan Tri Dharma Universitas Sumatera Utara. Sampel tanah dan akar tumbuhan berasal dari lahan Hutan Tri Dharma Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini menggunakan metode tuang saring untuk mendapatkan spora dan metode pewarnaan untuk mengetahui kolonisasi akar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan rata-rata kepadatan spora dari lapangan pada hasil trapping, untuk persentase kolonisasi fungi mikoriza arbuskula pada akar tanaman sebesar 56.5% termasuk kelas 4 atau kategori tinggi. Ditemukan 2 genus, yaitu Genus Acalauspora dan Genus Glomus. Dari lapangan ditemukan sebanyak 20 tipe spora dengan kepadatan spora rata-rata 107 spora/50 gr tanah dan hasil trapping ditemukan sebanyak 26 tipe spora dengan kepadatan spora rata-rata 409 spora/50 gr tanah.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 12 Agustus 1992 dari ayah
S. Simamora dan ibu R. Sipahutar. Penulis merupakan anak ketiga dari empat
bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar dari SD Negeri 173405
Sosorgonting, Doloksanggul pada tahun 2004, pendidikan tingkat Sekolah
Menengah Pertama dari SMP Negeri 2 Doloksanggul pada tahun 2007,
pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas dari SMK Negeri 2 Doloksanggul
tahun 2010 dan pada tahun 2010 masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur
Ujian Masuk Bersama (UMB). Penulis memilih Program Studi Kehutanan,
Fakultas Pertanian dan pada semester VII memilih minat studi Budidaya Hutan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi Himpunan
Mahasiswa Sylva (HIMAS) USU. Penulis mengikuti Praktik Pengenalan
Ekosistem Hutan (P2EH) di Taman Hutan Raya Bukit Barisan, Gunung Barus dan
Hutan Pendidikan USU, Kabupaten Karo selama 10 hari.
Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di
IUPHHK PT. Teluk Nauli, Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah. Penulis
melaksanakan PKL mulai tanggal 31 Januari dan selesai pada tanggal 1 Maret
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
rahmatNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, dengan judul
“Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula pada Ekosistem Hutan Tri Dharma
Universitas Sumatera Utara” ini dengan baik.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman Fungi Mikoriza
Arbuskula (FMA) pada ekosistem hutan Tri Dharma Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber informasi pada pihak-pihak
yang membutuhkan khususnya bagi peneliti yang terkait dengan keanekaragaman
jenis fungi mikoriza arbuskula pada ekosistem hutan.
Selama pembuatan skripsi ini penulis telah banyak mendapat bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin
menyatakan terima kasih kepada:
1. Orang tua tercinta (S. Simamora dan R. Sipahutar) yang telah membesarkan
dan mendidik penulis selama ini serta selalu memberikan dukungan melalui
doa, motivasi dan dana untuk tetap semangat dalam penyelesaian skripsi ini.
2. Bapak Dr. Delvian SP. MP. dan Ibu Dr. Deni Elfiati, SP. MP. selaku ketua
dan anggota komisi pembimbing yang telah memberi masukan dan saran
berharga dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Pimpinan, Staf Pengajar dan Tata Usaha Program Studi Kehutanan, Fakultas
Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
4. Kepala dan asisten Laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara, atas segala bantuan fasilitas dan kerjasama yang
5. Seluruh teman-teman Kehutanan 2010, khususnya BDH 2010 atas semangat,
dukungan, motivasi dan keakraban yang terjadi selama kuliah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hasil penelitian ini masih
banyak kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik
dan saran yang sifatnya membangun agar tulisan ini lebih baik lagi. Akhir kata
penulis mengucapkan terimakasih.
DAFTAR ISI
C.Distribusi dan Ekologi Fungi Mikoriza Arbuskula ... 7
D.Faktor yang Mempengaruhi Keberadaan FMA ... 8
E. Hutan Tri Dharma Universitas Sumatera Utara ... 11
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.Kondisi Kandungan Kimia Tanah Hutan Tri Dharma USU ... 19
B.Keberadaan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) ... 20
KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan ... 34
B.Saran ... 34
DAFTAR PUSTAKA ... 35
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Hasil analisis tanah Hutan Tri DharmaUSU ... 19
2. Data persentase kolonisasi fungi mikoriza arbuskula pada akar tumbuhan ... 21
3. Kepadatan spora dari sampel tanah dari lapangan dan trapping ... 22
4. Jumlah tipe spora setiap genus dari lapangan dan hasil trapping ... 23
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Hifa pada Fungi Mikoriza Arbuskula ... 20
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Klasifikasi tingkat infeksi FMA pada akar menurut Setiadi (1992) ... 39
2. Kriteria Penilaian Sifat-Sifat tanah menurut BPP Medan (1982)dalam Mukhlis (2007) ... 39
3. Kriteria pH tanah menurut BPP Medan (1982) dalam Mukhlis (2007) ... 39
4. Pengambilan Sampel akar dan tanah di Lapangan ... 39
5. Perlakuan Pemerangkapan (Trapping)... 40
ABSTRACT
ALAN SYAHPUTRA SIMAMORA. Diversity of Arbuscular Mycorrhizal Fungi on Ecosytems of Tri Dharma Forest University of North Sumatra, Suvervised by DELVIAN and DENI ELFIATI.
The goal of this research is to know the diversity of Arbuscular Mycorrhizal Fungion Ecosytems of Tri Dharma Forest University of North Sumatra.The samplesof soil androots of plantstakenfromthe land of Tri Dharma Forest University of North Sumatra. This research use soil separating method to obtain spores and root coloring method to find out root colonization.
The results showthat an increase inthe averagedensity ofsporesfromthe fieldonthe results oftrapping, forthe percentage ofArbuscular Mycorrhizal Fungicolonizationinthe roots of plantsat56.5% includegrade4orhighcategories. Found2genus, namelyGenus AcaulosporaandGenusGlomus. Ofthe field foundas many as20types ofsporesby average spore density 107 spores/50 g soil andtrappingresultsare foundas many as26types ofspores by average spore density 938 spores/50 g soil.
ABSTRAK
ALAN SYAHPUTRA SIMAMORA.Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula padaEkosistem Hutan Tri Dharma Universitas Sumatera Utara. Dibimbing oleh DELVIAN dan DENI ELFIATI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman fungi mikoriza arbuskula pada ekosistem Hutan Tri Dharma Universitas Sumatera Utara. Sampel tanah dan akar tumbuhan berasal dari lahan Hutan Tri Dharma Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini menggunakan metode tuang saring untuk mendapatkan spora dan metode pewarnaan untuk mengetahui kolonisasi akar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan rata-rata kepadatan spora dari lapangan pada hasil trapping, untuk persentase kolonisasi fungi mikoriza arbuskula pada akar tanaman sebesar 56.5% termasuk kelas 4 atau kategori tinggi. Ditemukan 2 genus, yaitu Genus Acalauspora dan Genus Glomus. Dari lapangan ditemukan sebanyak 20 tipe spora dengan kepadatan spora rata-rata 107 spora/50 gr tanah dan hasil trapping ditemukan sebanyak 26 tipe spora dengan kepadatan spora rata-rata 409 spora/50 gr tanah.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah merupakan sumberdaya alam fisik yang mempunyai peranan
penting dalam segala kehidupan manusia, karena lahan atau tanah diperlukan
manusia untuk tempat tinggal dan hidup, melakukan kegiatan pertanian,
peternakan, perikanan, kehutanan, pertambangan dan sebagainya. Karena
pentingnya peranan lahan atau tanah dalam kehidupan manusia, maka
ketersediaannya juga jadi terbatas. Kesuburan tanah sangat penting bagi
pertumbuhan tanaman karena asupan nutrisi bagi tanaman disediakan oleh tanah,
salah satu penentu kesuburan tanah ini adalah jenis lahannya. Perbedaan jenis
lahan akan turut serta menentukan jumlah nutrisi yang ada di dalamnya.
Komponen ekosistem hutan, baik hayati (mahkluk hidup) maupun non
hayati (lingkungan) saling berinteraksi satu dengan yang lain. Dalam
perkembangannya hubungan yang ada menunjukkan keseimbangan alam yang
utuh, jika salah satu di antara komponen ini terganggu maka komponen lainnya
juga ikut terganggu, dan akhirnya akan mengurangi nilai keanekaragaman hayati
yang ada. Keanekaragaman hayati sangat bernilai bagi kehidupan manusia, karena
hutan merupakan gudang plasma nutfah (sumber genetik) dari berbagai jenis
tumbuhan (flora), hewan (fauna), maupun organisme hidup lainnya.
Pada dasarnya keanekaragaman hayati selalu berbeda di setiap tempat, hal
ini dikarenakan keragaman faktor-faktor lingkungan. Lingkungan merupakan
gabungan dari berbagai komponen fisik maupun hayati yang berpengaruh
sangatlah luas dan mencakup semua hal yang ada di luar organisme yang
bersangkutan misalnya radiasi matahari, suhu, curah hujan, kelembaban,
topografi, parasit, predator, kompetitor, dan simbion mutualisme.
Di alam terdapat berbagai bentuk simbiosis yang secara tidak langsung
dapat meningkatkan produksi tanaman yaitu simbiosis mutualisme. Simbiosis
mutualisme merupakan hubungan simbiotik yang saling menguntungkan untuk
kedua organisme yang bersimbiosis. Salah satu di antaranya adalah fungi
mikoriza. Fungi mikoriza merupakan bentuk hubungan simbiosis mutualisme
antara fungi dengan perakaran tanaman tingkat tinggi. Hubungan simbiosis antara
inang dengan fungi meliputi penyediaan fotosintat (karbohidrat) oleh tanaman
inang. Sebaliknya, tanaman inang mendapatkan tambahan nutrien yang diambil
fungi dari tanah. Peranan FMA sangat penting terutama dalam hal konservasi
siklus nutrisi, membantu memperbaiki struktur tanah, transportasi karbon di
sistem perakaran, mengatasi degradasi kesuburan tanah serta melindungi tanaman
dari penyakit, juga sebagai agen fitoremediasi.
Kehadiran mikoriza penting bagi ketahanan suatu ekosistem, stabilitas
tanaman dan pemeliharaan keragaman biologi. Peranan mikoriza dalam menjaga
keragaman hayati dan ekosistem sekarang mulai dikenal, terutama sekali karena
pengaruh mikoriza untuk mempertahankan keanekaragaman tumbuhan dan
meningkatkan produktivitas.
Fungi mikoriza arbuskula (FMA) merupakan salah satu tipe asosiasi
mikoriza dengan akar tanaman. Fungi ini dapat dijadikan sebagai salah satu
dan kualitas tanaman terutama yang ditanam pada lahan-lahan marginal yang
kurang subur atau bekas tambang/industri.
Karena keanekaragaman fungi mikoriza arbuskula di Hutan Tri Dharma
Universitas Sumatera Utara belum diteliti, maka penelitian keanekaragaman fungi
mikoriza arbuskula di ekosistem Hutan Tri Dharma Universitas Sumatera Utara
sangat diperlukan.
B.Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui keanekaragaman fungi mikoriza arbuskula pada
ekosistem hutan Tri Dharma Universitas Sumatera Utara.
C.Kegunaan Penelitian
Penelitian ini berguna sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang
membutuhkan khususnya bagi peneliti yang terkait dengan keanekaragaman fungi
mikoriza arbuskula pada ekosistem hutan, bagi dunia pendidikan, masyarakat
TINJAUAN PUSTAKA
A.Fungi Mikoriza Arbuskula
Fungi mikoriza arbuskula merupakan suatu bentuk asosiasi antara fungi
dengan akar tumbuhan tingkat tinggi, yang mencerminkan adanya interaksi
fungsional yang saling menguntungkan antara suatu tumbuhan dengan satu atau
lebih galur mikobion dalam ruang dan waktu. Fungi mikoriza arbuskula termasuk
golongan endomikoriza. Tipe fungi ini dicirikan oleh hifa yang intraseluler yaitu
hifa yang menembus ke dalam korteks dari satu sel ke sel yang lain
(Manan, 1993). Diantara sel-sel terdapat hifa yang membelit atau struktur hifa
yang bercabang-cabang yang disebut arbuskula. Pembengkakan yang terbentuk
pada hifa yang berbentuk oval disebut vesikula. Arbuskula merupakan tempat
pertukaran metabolit antara jamur dan tanaman. Adanya arbuskula sangat penting
untuk mengidentifikasi bahwa telah terjadi infeksi pada akar tanaman (Scannerini,
Bonfante dan Fosolo, 1983 dalam Delvian, 2003), sedangkan vesikula merupakan
organ penyimpan makanan dan berfungsi sebagai propagul (organ reproduktif).
Vesikula menurut Abbott dan Robson (1982), berbentuk globosa dan
berasal dari menggelembungnya hifa internal dari fungi mikoriza. Vesikula
ditemukan baik di dalam maupun di luar lapisan kortek parenkim. Tidak semua
fungi mikoriza membentuk vesikula dalam akar inangnya, seperti Gigaspora dan Scutellospora. Banyak pendapat tentang fungsi dari vesikula ini, yaitu sebagai organ reproduksi atau organ yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan
Terdapat tiga komponen dalam sistem asosiasi akar FMA yaitu akar
tanaman inangnya sendiri, hifa eksternal yaitu bagian hifa yang menjulur ke luar
akar dan menyebar dalam tanah dan hifa internal yaitu bagian hifa yang masuk
kedalam akar dan menyebar dalam akar. Pengamatan terhadap hifa internal sangat
penting untuk menentukan sampai sejauh mana tingkat kolonisasi akar tersebut
oleh FMA. Hifa FMA ini sangat halus dengan diameter bervariasi antara 2-27 μm
dan transparan. Oleh karena itu untuk pengamatannya diperlukan pewarnaan
(Sumarni, 2001).
Hasil penelitian Wani dan Lee (1995) menunjukkan bahwa kolonisasi akar
yang maksimum akan dicapai pada tanah yang kurang subur. Baik hara P maupun
N yang tinggi akan mengurangi kolonisasi akar. Kolonisasi akar meningkat bila
N meningkat pada kondisi P yang moderat, tetapi pada kondisi P yang tinggi
maka penambahan N justru merupakan penghambat.Lebih jauh dilaporkan bahwa
kandungan P di dalam tanaman merupakan pengendali tingkat kolonisasi akar dan
produksi spora FMA.
Keanekaragaman FMA tidak mengikuti pola keanekaragaman tanaman,
dan tipe FMA mungkin mengatur keanekaragaman spesies
tanaman (Allen et al. 1995). Sebagai contoh, pada hutan konifer terdapat lebih dari 1000 spesies ektomikoriza dimana dominansi spesies tanaman
ber-ektomikoriza sedikit, akan tetapi terdapat kurang dari 25 spesies FMA pada hutan
tropical deciduous dengan 100 spesies tanaman.
Hetrick (1984) menyimpulkan bahwa kolonisasi akar dan produksi spora
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: spesies cendawan dan lingkungan. Faktor
antar spesies cendawan. Peningkatan kadar inokulum dapat meningkatkan
persentase kolonisasi akar sampai titik optimum tertentu (Philips dan Hayman,
1970). Akan tetapi tidak ada hubungan yang erat antara kolonisasi dengan
produksi spora, sehingga tidak dapat dijadikan ukuran.Sedangkan pengaruh dari
persaingan antar spesies FMA sulit ditentukan karena hanya diukur dalam hal
perbedaan pertumbuhan tanaman inangnya saja.
Ada kecenderungan bahwa beberapa genus atau bahkan spesies FMA
hanya membentuk sporokarp pada waktu tertentu. Faktor yang mempengaruhi hal
ini adalah perubahan musiman, pengaruh pemupukan, pengaruh pengolahan tanah
dan sebagainya. Hall (1984) menyatakan bahwa jumlah spora yang dihasilkan
setiap tahunnya mungkin tidak sama dan ada kecenderungan satu atau beberapa
genus FMA sangat terbatas penyebarannya. Oleh karena itu sporokarp atau spora
yang terkumpul dari wilayah tertentu mungkin tidak mewakili seluruh spora yang
ada dari jenis FMA yang ada.
B. Peranan Fungi Mikoriza Arbuskula
Adanya fungi mikoriza sangat penting bagi ketersediaan unsur hara seperti
P, Mg, K, Fe dan Mn untuk pertumbuhan tanaman. Hal ini terjadi melalui
pembentukan hifa pada permukaan akar yang berfungsi sebagai perpanjangan
akar terutama di daerah yang kondisinya miskin unsur hara, pH rendah dan
kurang air. Akar tanaman bermikoriza ternyata meningkatkan penyerapan seng
dan sulfur dari dalam tanah lebih cepat daripada tanaman yang tidak bermikoriza
(Abbot dan Robson 1982). Manfaat fungi mikoriza ini secara nyata terlihat jika
kondisi tanahnya miskin hara atau kondisi kering, sedangkan pada kondisi tanah
Menurut Siradz et al. (2007), hampir semua tanaman asli lahan pantai terinfeksi oleh fungi mikoriza. Hubungan antara jumlah spora dengan
pertumbuhan tanaman menunjukkan hubungan positif dalam hal menyerap unsur
hara. Hubungan yang positif tersebut cukup memberikan indikasi yang jelas
tentang peluang penggunaan fungi mikoriza untuk meningkatkan pertumbuhan
tanaman, membantu memperbaiki dan meningkatkan sifat-sifat struktur agregat
tanah.
Menurut Marx (1982), akar tanaman yang terbungkus oleh fungi mikoriza
menyebabkan akar tersebut terhindar dari serangan penyakit dan hama. Infeksi
patogen terhambat, disamping itu fungi mikoriza menggunakan semua kelebihan
dan eksudat akar lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok bagi
pertumbuhan patogen.
C.Distribusi dan Ekologi Fungi Mikoriza Arbuskula
Fungi mikoriza biasanya tersebar dengan berbagai cara. Penyebaran aktif
miselia melalui tanah, setelah infeksi di akar hifa berkembang di daerah perakaran
pada tanah dan terbentuk struktur fungi, diantaranya miselium eksternal akar
merupakan organ yang sangat penting dalam menyerap unsur hara dan
mentransferkan ke tanaman, sedangkan penyebaran pasif dapat dilakukan oleh
beberapa hewan dan juga angin (Setiadi, 2001). Penyebaran fungi mikoriza
melalui inokulasi agak berkurang pada tanah yang sudah bermikoriza, tetapi
meningkat pada tanah yang tidak bermikoriza.
Perbedaan lokasi dan rizosfer menyebabkan perbedaan keanekaragaman
spesies dan populasi fungi mikoriza, misalnya yang didominasi oleh fraksi
sp.begitu juga dengan tanah mangrove yang bercirikan tanah berlumpur dan
cenderung liat hanya Glomus sp. yang dapat hidup, sedangkan tanah yang berpasir genus Acaulospora dan Gigaspora ditemukan dalam jumlah yang tinggi. Sebaran kedua genus tersebut ternyata berkebalikan apabila ditinjau posisinya dari garis
pantai. Kepadatan populasi Acaulospora meningkat sejalan dengan jarak dari garis pantai, artinya makin jauh dari garis pantai populasi Acaulospora makin tinggi. Kecenderungan sebaliknya diperlihatkan oleh Gigaspora yang makin jauh dari garis pantai populasinya semakin menurun (Siradz et al., 2007).
Menurut Moreira (2007), pada ekosistem hutan asli Acaulospora mempunyai keanekaragaman jenis yang paling tinggi, selain itu ditemukan
jugaGlomus macrocarpum yang menunjukkan jumlah spora yang paling banyak, sedangkan daerah yang dihutankan kembali jenis yang paling banyak adalah
Glomus macrocarpum dan Archeospora gerdemanni. Jenis-jenis ini menyesuaikan diri pada lingkungan dan menunjukkan toleransi yang tinggi dan
adaptasi yang berbeda.
D.Faktor yang Mempengaruhi Keberadaan FMA
Keberadaan spora FMA dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan
seperti :
1. Cahaya
Adanya naungan yang berlebihan terutama untuk tanaman yang senang
cahaya dapat mengurangi infeksi akar dan produksi spora, selain itu respon
tanaman terhadap fungi mikoriza akan berkurang. Hal ini disebabkan adanya
hambatan pertumbuhan dan perkembangan internal hifa dalam akar yang
2. Suhu
Suhu berpengaruh terhadap infeksi yakni pada perkembangan spora,
penetrasi hifa pada sel akar dan perkembangan pada korteks akar, selain itu suhu
juga berpengaruh pada ketahanan dan simbiosis. Semakin tinggi suhu semakin
besar terbentuknya kolonisasi dan meningkatnya produksi spora. Schenk dan
Schroder (1974) menyatakan bahwa suhu terbaik untuk perkembangan
arbuskulayakni pada suhu 30oC tetapi untuk koloni miselia terbaik berada pada
suhu 28-34oC, sedangkan perkembangan bagi vesikula pada suhu 35oC.
3. Kandungan air tanah
Kandungan air tanah dapat berpengaruh baik secara langsung atau tidak
langsung terhadap infeksi dan pertumbuhan fungi mikoriza. Pengaruh secara
langsung tanaman bermikoriza dapat memperbaiki dan meningkatkan kapasitas
serapan air. Sedangkan pengaruh tidak langsung karena adanya miselia eksternal
menyebabkan fungi mikoriza efektif dalam mengagregasi butir-butir tanah,
kemampuan tanah menyerap air meningkat. Penjenuhan air tanah yang lama
berpotensi mengurangi pertumbuhan dan infeksi fungi mikoriza karena kondisi
yang anaerob. Daniels dan Trappe (1980) menggunakan Glomus epigaeum dikecambahkan pada lempung berdebu pada berbagai kandungan air. Glomus epigaeum ternyata berkecambah paling baik pada kandungan air di antara kapasitas lapang dan kandungan air jenuh.
4. pH Tanah
Fungi mikoriza pada umumnya lebih tahan terhadap perubahan pH tanah.
Meskipun demikian adaptasi masing-masing spesies fungi mikoriza terhadap pH
perkembangan dan peran mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman. Kemasaman
tanah (pH) optimum untuk perkembangan fungi mikoriza berbeda-beda
tergantung pada adaptasi fungi mikoriza terhadap lingkungan. Kemasaman tanah
(pH) dapat berpengaruh langsung terhadap aktivitas enzim yang berperan dalam
perkecambahan spora fungi mikoriza. Misalnya Glomus mosseae biasanya pada tanah alkali dapat berkecambah dengan baik pada air atau pada soil extract agar pada pH 6-9. Spora Gigaspora coralloidea dan Gigaspora heterogama dari jenis yang lebih tahan asam dapat berkecambah dengan baik pada pH 4-6. Glomus epigaeum perkecambahannya lebih baik pada pH 6-8(Maas dan Nieman, 1978). 5. Bahan organik
Bahan organik merupakan salah satu komponen dalam tanah yang penting
disamping air dan udara. Jumlah spora FMA berhubungan erat dengan kandungan
bahan organik dalam tanah. Jumlah maksimum spora ditemukan pada tanah-tanah
yang mengandung bahan organik 1-2% sedangkan pada tanah-tanah berbahan
organik kurang dari 0,5% kandungan spora sangat rendah (Pujiyanto, 2001).
6. Logam berat dan unsur lain
Adanya logam berat dalam larutan tanah dapat mempengaruhi
perkembangan mikoriza. Beberapa spesies mikoriza arbuskular diketahui mampu
beradaptasi dengan tanah yang tercemar seng (Zn), tetapi sebagian besar spesies
mikoriza peka terhadap kandungan Zn yang tinggi. Pada beberapa penelitian lain
diketahui pula strain-strain fungi mikoriza tertentu toleran terhadap kandungan
E.Hutan Tri Dharma Universitas Sumatera Utara
Kampus Universitas Sumatera Utara (USU) Padang Bulan terletak di
sebelah barat daya Kota Medan, tujuh kilometer dari pusat kota. Kampus ini yang
memiliki luas 116 Ha dengan zona akademik 93,4 Ha, merupakan pusat kegiatan
Universitas. Di sini terdapat lebih dari seratus bangunan dengan total luas lantai
133.141 m2. Selain bangunan pendidikan dan penunjang, di areal ini juga terdapat
berbagai fasilitas sosial dan publik seperti taman dan fasilitas olahraga (Siregar,
2010).
Kawasan ekosistem Hutan Tri Dharma Universitas Sumatera Utara yang
memiliki luas kawasan 1,14 ha. Hutan Tri Dharma Universitas Sumatera Utara
dimanfaatkan mahasiswa sebagai tempat melakukan penelitian dan tempat
berlangsungnya praktikum akademik. Tegakan pohon yang terdapat di lokasi
BAHAN DAN METODE
A.Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Agustus 2014.
Pengambilan tanah dan akar tanaman dilakukan di lahan Ekosistem Hutan Tri
Dharma USU. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Sentral Fakultas
Pertanian USU. Ekstraksi spora, identifikasi dan penghitungan persentase
kolonisasi FMA pada akar tanaman dilakukan di Laboratorium Biologi Tanah,
Fakultas Pertanian USU. Kegiatan pemerangkapan dilaksanakan pada rumah kaca
Fakultas Pertanian USU, dan dokumentasi sampel dilakukan di Laboratorium
Biologi Tanah, Fakultas Pertanian USU.
B.Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah dan akar
anakan pohon yang ada pada petak contoh yaitu mahoni (Swietenia macrophylla). Jagung (Zea mays) sebagai inang pada perlakuan pemerangkapan. Untuk ekstraksi dan identifikasi spora mikoriza digunakan bahan berupa larutan glukosa 60%,
larutan Melzer’s sebagai bahan pewarna spora. Larutan trypan blue untuk bahan proses pewarnaan akar (staining). Larutan KOH 10% untuk mengeluarkan cairan sitoplasma dalam akar, sehingga akar pucat dan sebagai pengawet. Larutan HCl
2% untuk mempermudah masuknya trypan blue pada saat pewarnaan.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini untuk pengambilan contoh tanah
dan akar tanaman adalah meteran, tali plastik, patok, cangkul, kantong plastik,
spidol, dan kertas label. Alat untuk pengamatan di laboratorium adalah saringan 2
mikroskop binokuler, mikroskop cahaya, kaca preparat, dan kaca penutup. Alat
yang digunakan untuk pemerangkapan di rumah kaca berupa pot (aqua cup), dan sprayer.
C. Metode Penelitian
1. Pembuatan Petak
Petak penelitian dibuat sesuai metode ICRAF (Ervayenri et al., 1999). Adapun ukuran petak pengamatan yang digunakan adalah 20 m × 20 m.
Penetapan petak pengamatan dilakukan secara acak dengan jumlah petak yang
dibuat sebanyak lima petak.
Gambar 2. Ilustrasi petak contoh pengambilan sampel tanah
Keterangan :
: tempat pengambilan sampel tanah
2. Pengambilan Sampel Tanah
Pengambilan sampel tanah dilakukan sebanyak lima titik dalam setiap
petak dengan kedalaman 0-20 cm. Berat tanah yang diambil setiap titik sebanyak
500 gr, sehingga total sampel tanah yang diambil untuk tiap petak pengamatan
tempat hingga homogen untuk mewakili satu petak. Setelah pencampuran
dianggap homogen diambil 500 gr sampel tanah untuk tiap petak.
3. Pengambilan Sampel Akar
Akar anakan pohon yang diambil yaitu akar yang berada pada setiap petak
contoh yaitu mahoni (Swietenia macrophylla). Akar anakan pohon diambil dengan cara memotong akar-akar halus, dengan diameter yang diambil berukuran
0.5 -1.0 mm.
4. Analisis Tanah
Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu dilakukan analisa awal
terhadap kondisi tanah, meliputi, pH, C-organik dan P-tersedia, untuk mengetahui
sifat tanah.
5. Ekstraksi dan Identifikasi Spora FMA
Teknik yang digunakan dalam mengekstraksi spora FMA adalah teknik
tuang – saring dari Pacioni (1992) dalam Brundet et al. (1996) dan akan dilanjutkan dengan teknik sentrifugasi dari Brundrett et al. (1996). Prosedur kerja teknik tuang – saring ini dimulai dengan mencampurkan tanah sampel sebanyak
50 g dengan 200–300 ml air dan diaduk sampai butiran-butiran tanah hancur.
Selanjutnya disaring dalam satu set saringan dengan ukuran 710 μm, 425 μm dan
53 μm secara berurutan dari atas ke bawah. Dari saringan bagian atas disemprot
dengan air kran untuk memudahkan bahan saringan lolos. Kemudian saringan
paling atas dilepas dan saringan kedua kembali disemprot dengan air kran. Setelah
saringan kedua dilepas sejumlah tanah sisa yang tertinggal pada saringan
Ekstraksi spora teknik tuang-saring ini kemudian diikuti dengan teknik
sentrifugasi dari Brundrett et al. (1996). Hasil saringan dalam tabung sentrifuse ditambahkan dengan glukosa 60% yang diletakkan pada bagian bawah dari
larutan tanah dengan menggunakan pipet. Tabung sentrifuse ditutup rapat dan
disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 3 menit. Selanjutnya larutan
supernatan tersebut dituang ke dalam saringan 53 μm, dicuci dengan air mengalir
(air kran) untuk menghilangkan glukosa. Endapan yang tersisa dalam saringan di
atas dituangkan ke dalam cawan petri dan kemudian diamati di bawah mikroskop
binokuler untuk penghitungan kepadatan spora dan pembuatan preparat guna
identifikasi spora FMA yang ada.
Pembuatan preparat spora menggunakan bahan pewarna Melzer’s. Spora-spora FMA yang diperoleh dari ekstraksi setelah dihitung jumlahnya diletakkan
dalam larutan Melzer’s. Selanjutnya spora-spora tersebut dipecahkan secara hati-hati dengan cara menekan kaca penutup preparat menggunakan ujung lidi.
Perubahan warna spora dalam larutan Melzer’s adalah salah satu indikator untuk menentukan tipe spora yang ada.
6. Kolonisasi FMA pada Akar Tanaman Sampel
Pengamatan kolonisasi FMA pada akar tanaman sampel dilakukan melalui
teknik pewarnaan akar (staining). Metode yang digunakan untuk pembersihan dan pewarnaan akar sampel adalah metoda dari Kormanik dan Mc Graw (1982)
dalamBrundet et al. (1996). Langkah pertama adalah memilih akar-akar halus dengan diameter ± 0,5 mm dan dicuci dengan air hingga bersih.
Akar sampel dimasukkan ke dalam larutan KOH 10% dan dibiarkan
Tujuannya adalah untuk mengeluarkan semua isi sitoplasma dari sel akar sehingga
akan memudahkan pengamatan struktur infeksi FMA. Larutan KOH kemudian
dibuang dan akar sampel dicuci pada air mengalir selama 5-10 menit. Selanjutnya
akar sampel direndam dalam larutan HCl 2% dan diinapkan selama satu malam.
Larutan HCl 2% kemudian dibuang dengan mengalirkannya secara
perlahan-lahan. Selanjutnya akar sampel direndam dalam larutan trypan blue 0,05%. Kemudian larutan trypan blue dibuang dan diganti dengan larutan lacto glycerol untuk proses pengurangan warna (destaining). Selanjutnya kegiatan pengamatan siap dilakukan.
Penghitungan persentase kolonisasi akar menggunakan metode panjang
akar terkolonisasi Giovannetti dan Mosse (1980), dalamBrundet et al. (1996). Secara acak diambil potong-potongan akar yang telah diwarnai dengan panjang ±
1 cm sebanyak 10 potongan akar dan disusun pada kaca preparat, untuk setiap
tanaman sampel dibuat dua preparat akar. Potongan-potongan akar pada kaca
preparat diamati untuk setiap bidang pandang. Bidang pandang yang
menunjukkan tanda-tanda kolonisasi (terdapat hifa dan atau arbuskula dan atau
vesikula) diberi tanda positif (+), sedangkan yang tidak terdapat tanda-tanda
kolonisasi diberi tanda negatif (-). Derajat/persentase kolonisasi akar dihitung
dengan menggunakan rumus:
% kolonisasi akar = ∑ ������_������� _�������� _(+)
∑ ������_������� _�������� ℎ�� × 100%
7. Pemerangkapan (Trapping Culture)
Teknik trapping yang digunakan mengikuti metoda Brundrett et al. (1996) dengan menggunakan pot kultur terbuka.Media tanam yang digunakan
dalam pot kultur adalah pot kultur diisi dengan pasir sungai sampai sepertiga
volume pot, kemudian dimasukkan contoh tanah dan terakhir ditutup dengan pasir
sungai sehingga media tanam tersusun atas pasir sungai-contoh tanah-pasir
sungai. Selanjutnya bibit jagung (Zea mays) ditaruh pada lubang tanam yang sudah diisi dengan pasir sungai, tanah kemudian ditutupi lagi dengan pasir sungai.
Dari setiap contoh tanah dibuat 5 pot kultur. Disamping itu diberikan
penambahan terrabuster guna merangsang pembentukan spora yang lebih baik.
Perlakuan terrabuster diberikan dengan konsentrasi 0,4% (1:250) sebanyak 20 ml
tiap pot. Frekuensi pemberian terrabuster adalah 3 x 1 minggu selama satu bulan
pertama dan 1 x 1 minggu selama 1 bulan kedua. Penambahan terrabuster ini
diharapkan berpengaruh terhadap pembentukan spora fungi mikoriza.
Setelah kultur berumur 8 minggu kegiatan penyiraman dihentikan dengan
tujuan menkondisikan kultur pada keadaan stress kekeringan. Proses pengeringan
ini berlangsung secara perlahan sehingga dapat merangsang pembentukan spora
lebih banyak. Periode pengeringan ini berlangsung selama 2 minggu.
Pemeliharaan kultur meliputi kegiatan penyiraman, pemberian hara dan
pengendalian hama secara manual. Larutan hara yang digunakan adalah Hyponex
merah (25-5-20) dengan konsentrasi 1 g/l. Pemberian larutan hara dilakukan
setiap minggu sebanyak 20 ml tiap pot kultur.
Setelah itu pemanenan dilakukan setelah pembentukan spora-spora baru
yang diasumsikan sudah cukup baik setelah dilakukan stressing selama 2 minggu terhadap tanaman yang digunakan sebagai kultur pemerangkapan dengan
menggunakan teknik isolasi spora yang telah dijelaskan pada bagian ekstraksi dan
8. Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan meliputi analisis tanah lokasi penelitian,
penghitungan kepadatan spora FMA hasil isolasi dari lapangan, kepadatan spora
FMA hasil pemerangkapan, penyajian tabel hasil identifikasi hasil tipe-tipe spora
FMA secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis kimia tanah diketahui bahwa pH tanah yang
terdapat pada areal penelitian tergolong masam. Kandungan bahan organik
tergolong sangat rendah, untuk kandungan P-tersedianya tergolong pada kondisi
yang sangat rendah. Hasil analisis kimia tanah sampel penelitian dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil analisis tanah Hutan Tri Dharma USU
Lokasi Pengamatan pH H2O C-Organik (%) P tersedia (ppm)
Hutan Tri Dharma USU 5,10 m 0,51 sr 4,15 sr
Keterangan: m: masam; sr: sangat rendah
Sumber : Staf Pusat Penelitian Tanah (1983) dan BPP Medan (1982) dalam Muklis (2007)
Berdasarkan hasil analisis di laboratorium terhadap sifat kimia tanah
menunjukkan tingkat kemasaman (pH) tanah mencapai 5,10. Sifat kimia tanah
diketahui sangat mempengaruhi kemampuan FMA berasosiasi dengan tanaman,
hal ini sesuai dengan pernyataan Prihastuti (2007), Mikoriza dapat hidup dengan
baik pada pH tanah masam dan mampu menghasilkan asam-asam organik yang
membebaskan P terfiksasi.
Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa pada tanah lahan
ekosistem Hutan Tri Dharma USU mengandung C organik 0,51% yang termasuk
dalam kriteria sangat rendah. Semakin tinggi kadar C-organik dalam tanah maka
jumlah mikoriza juga semakin banyak (Nurhalimah et al., 2014).
Kandungan P dalam tanah diketahui dapat mempengaruhi variasi
kolonisasi FMA pada akar tanaman. Hasil analisis tanah terhadap P tersedia dalam
tanah menunjukkan kriteria yang sangat rendah yaitu sebanyak 4,15 ppm
Hifa
Vesikula dengan menurunnya kolonisasi FMA. Pembentukan simbiosis FMA mencapai
maksimum jika kadar P dalam tanah tidak lebih besar dari 50 ppm (Ishii, 2004)
dalam Nusantara et al. (2012).
B. Keberadaan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)
Struktur fungi mikoriza arbuskula yang ditemui adalah hifa dan vesikula.
Bentuk struktur hifa dan vesikula dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
Gambar 1. Hifa pada Fungi Mikoriza Arbuskula
Gambar 2. Vesikula pada Fungi Mikoriza Arbuskula
Fungi mikoriza arbuskula (FMA) memiliki beberapa struktur untuk dapat
bertahan hidup di dalam akar tanaman dan di dalam tanah. Struktur tersebut
diantaranya arbuskula, hifa dan vesikula. Pada penelitian ini struktur yang ditemui
adalah hifa dan vesikula, sedangkan struktur FMA berupa arbuskula tidak
dijumpai. Hasil ini sama dengan penelitian Sari (2008), bentuk kolonisasi yang
paling banyak dijumpai pada pengamatan infeksi akar oleh endomikoriza berupa
hifa internal dan pada beberapa contoh akar ditemukan struktur hifa dengan
vesikula. Untuk struktur arbuskula sangat jarang ditemukan karena masa hidupnya
yang pendek di dalam sel korteks dan setelah beberapa hari struktur ini akan
mengalami lisis, hal ini yang mungkin menyebabkan struktur arbuskula jarang
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa rataan dari
kolonisasi akar FMA yakni 56,5 % dapat dikategorikan tinggi sesuai dengan
klasifikasi tingkat infeksi FMA pada akar menurut Setiadi (1992) (Lampiran 1).
Persentase kolonisasi fungi mikoriza pada akar tanaman dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Data persentase kolonisasi fungi mikoriza arbuskula pada akar tumbuhan
Petak Lokasi Pengamatan Hutan Tri Dharma USU Ulangan 1 (%) Ulangan 2 (%)
Berdasarkan data persentase kolonisasi fungi mikoriza arbuskula pada akar
tumbuhan, diketahui bahwa persentase kolonisasi yang diperoleh sejalan dengan
kondisi sifat kimia sampel tanah yang digunakan yaitu kondisi pH tanah yang
masam didukung juga dengan ketersediaan unsur P yang sangat rendah sehingga
kolonisasi fungi pada akar tergolong tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Mosse (1997) dalam Puspitasari et al. (2012) menyatakan bahwa kadar P yang tinggi dapat menyebabkan terhambatnya perkecambahan mikoriza pada tanaman
inang. Didukung juga pernyataan Noertjahyani (2008) bahwa kadar P yang tinggi
merupakan kondisi yang tidak optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan
mikoriza.
Berdasarkan data kepadatan spora dari sampel tanah dari lapangan dan
trapping (Tabel 3) dapat dilihat bahwa jumlah spora yang diperoleh dari hasil
tanah lapangan dengan hasil trapping sangat berbeda. Pada tanah dari lapangan
jumlah spora 409 per 50 gram tanah. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa
jumlah spora tanah trapping lebih banyak dari jumlah tanah lapangan. Kepadatan
spora yang bervariasi ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Sibarani (2011)yang melakukan pemerangkapan FMA asal tanah
gambut pada tegakan karet dan tegakan sawit di Desa Telaga Suka Kecamatan
Panai Tengah Kabupaten Labuhan Batu. Pada penelitian ini diperoleh variasi
kepadatan spora yang sangat beragam antara lain dibawah 25 spora/50 gram tanah
pada hasil isolasi dari lapangan dan 161 spora/50 gram tanah dari hasil trapping
pada tegakan karet, serta 37 spora/50 gram tanah hasil isolasi dari lapangan dan
242 spora/50 gram tanah dari hasil trapping di bawah tegakan sawit. Hasil
perhitungan jumlah spora yang diperoleh dari sampel tanah dari lapangan dan
trapping dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kepadatan spora dari sampel tanah dari lapangan dan trapping
Petak Lokasi Pengamatan Hutan Tri Dharma USU LapanganTrapping
Berdasarkan data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa adanya peningkatan
jumlah spora dari hasil trapping dibandingkan dengan jumlah spora yang ditemukan dari lapangan. Oehl et al. (2009) dalam Nusantara et al. (2012) menyatakan bahwa proses trapping yang pada dasarnya digunakan untuk menstimulasi sporulasi atau meningkatkan jumlah propagul FMA yang ada dalam
tanah yang diambil dari lapangan. Hal tersebut perlu dilakukan karena tidak
semua FMA aktif pada periode waktu yang sama. Jumlah FMA melimpah pada
kering atau sedikit hujan pembentukan spora baru akan meningkat dan persentase
kolonisasi akan menurun. Kondisi kering akan merangsang pembentukan spora
yang banyak sebagai respon alami dari CMA serta upaya untuk mempertahankan
keberadaannya di alam.
Identifikasi spora pada FMA dapat dilakukan setelah pengambilan
dokumentasi di bawah mikroskop. Jumlah Tipe dari setiap Genus spora yang
ditemukan dari lapangan dan hasil trapping dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah tipe spora setiap genus dari lapangan dan hasil trapping
No Tipe Spora Jumlah Tipe Spora
Lapangan Trapping
1 Glomus 16 20
2 Acaulospora 4 6
Berdasarkan data jumlah tipe spora setiap genus dari lapangan dan hasil
trapping, genus Glomus memiliki jumlah tipe spora yang lebih banyak dibandingkan dengan genus Acaulospora. Glomus adalah jenis FMA yang mempunyai penyebaran paling dominan, karena 37 dari 47 spesies yang
didapatkan adalah tipe Glomus. Sejalan dengan hasil penelitian mengenai
keberadaan spora FMA, seperti yang dilaporkan oleh Ragupathy dan
Mahadevan (1991) dalam Delvian (2006) yang mempelajari FMA pada hutan pantai juga menyimpulkan bahwa Glomus adalah jenis FMA yang paling dominan penyebarannya, yaitu 25 spesies dari 37 spesies yang ditemukan adalah tipe
Glomus.
Hasil ekstraksi tanah dan identifikasi terhadap spora FMA dari lapangan
dan trapping, ditemukan 2 genus spora FMA yaitu Acaulospora yang terdiri dari 10 tipe spora dan dan Glomus yang ditemukan terdiri dari 37 tipe spora. Tipe dan karakteristik spora FMA dapat dilihat pada tabel 5.
Tipe Spora Perbesaran Karakteristik Lapangan Trapping
Acaulospora sp 1
40x Spora berbentuk bulat lonjong,
40x Spora berbentuk bulat lonjong,
40x Spora berbentuk bulat, berwarna
40x Spora berbentuk bulat, berwarna
40x Spora berbentuk bulat, berwarna
Acaulospora sp 7
40x Spora berbentuk bulat, berwarna
40x Spora berbentuk bulat, berwarna
40x Spora berbentuk bulat, berwarna
40x Spora berbentuk bulat, berwarna
40x Spora berbentuk bulat, berwarna
Glomus sp 4
40x Spora berbentuk bulat lonjong,
40x Spora berbentuk bulat, berwarna
40x Spora berbentuk bulat, berwarna
40x Spora berbentuk bulat lonjong,
40x Spora berbentuk bulat, berwarna
Glomus sp 9
Glomus sp 10
40x Spora berbentuk bulat, berwarna
40x Spora berbentuk bulat lonjong,
40x Spora berbentuk bulat lonjong,
40x Spora berbentuk bulat, berwarna
40x Spora berbentuk bulat lonjong,
Glomus sp 15
Glomus sp 16
40x Spora berbentuk bulat, berwarna
40x Spora berbentuk bulat, berwarna
40x Spora berbentuk bulat, berwarna
40x Spora berbentuk bulat, berwarna
Glomus sp 21
40x Spora berbentuk lonjong, berwarna
40x Spora berbentuk bulat, berwarna
40x Spora berbentuk bulat lonjong,
40x Spora berbentuk bulat, berwarna
Glomus sp 26
40x Spora berbentuk bulat lonjong,
40x Spora berbentuk bulat, berwarna
40x Spora berbentuk bulat, berwarna
40x Spora berbentuk bulat, berwarna
Berdasarkan data tipe dan karakteristik spora pada tanah dari lapangan dan
trapping, pada hasil trapping menunjukkan ada tipe spora yang baru tapi sebaliknya ada juga tipe spora dari lapangan tidak ditemukan lagi dari hasil
trapping. Penyebaran tipe spora yang terjadi karena dipengaruhi pH tanah, C-Organik, P-Tersedia, dan ada juga karena pada saat di lapangan tidak di
membentuk spora dalam jumlah yang banyak. Sesuai dengan pernyataan
Burhanuddin (2012) bahwa pada kondisi tanah yang lembab, proses sporulasi
FMA menjadi lebih rendah sehingga jumlah spora yang terkandung dalam tanah
juga sedikit. Kekeringan tidak menghambat pertumbuhan tapi sebaliknya pada
kelembaban tinggi akan menghambat perkembangan spora dan juga
meningkatkan perkembangan akar lateral dan setelah kolonisasi akan membantu
laju pemanjangan akar dan jumlah mikoriza meningkat dengan cepat sehingga
menghasilkan spora-spora yang baru.
Pada Ekosistem Hutan Tri Dharma USU keanekaragaman tumbuhan
sangat rendah, yakni banyak didominasi oleh pohon
mahoni (Swietenia Macrophylla), namun hal ini tidak berpengaruh terhadap keanekaragaman dari FMA. Hal ini sesuai pernyataan Allen et al. (1995) dalam Delvian (2005) Keanekaragaman CMA tidak mengikuti pola keanekaragaman
tanaman, dan tipe CMA mungkin mengatur keanekaragaman spesies tanaman.
Pada hasil penelitian ini, keanekaragaman dari fungi mikoriza arbuskula pada
ekositem Hutan Tri Dharma Universitas Sumatera Utara terdapat 2 genus spora,
yaitu Acaulospora dan Glomus.
Menurut Brundet et al. (1996) dalam Nurhalimah et al. (2014) Proses perkembangan spora Acaulospora berawal dari ujung hifa (subtending hyphae) yang membesar seperti spora yang disebut hyphal terminus. Di antara hyphal terminus dan subtending hypae akan muncul bulatan kecil yang semakin lama semakin membesar dan terbentuk spora. Dalam perkembangannya, hifa
terminus akan rusak dan isinya akan masuk ke spora. Rusaknya hifa terminus
Nurhalimah et al. (2014), spora Acaulospora yang ditemukan di dua lokasi yaitu kecamatan Larangan dan Palengaan memiliki karakteristik yang sama yaitu
bentuk bulat lonjong dan memiliki dinding spora relative tebal tidak beraturan.
Sedangkan warna spora coklat tua dan kuning kecoklatan.
Menurut Schenk dan Perez (1990) dalam Nurhandayani et al. (2013), proses perkembangan spora Glomus adalah dari ujung hifa yang membesar sampai ukuran maksimal dan terbentuk spora. Sporanya berasal dari
perkembangan hifa maka disebut chlamydospora. Spora ditemukan tunggal
ataupun di dalam sporocarp. Spora Glomus yang ditemukan berbentuk bulat sampai lonjong. Warna spora mulai dari kuning, oranye sampai merah bata. Spora
tidak bereaksi saat ditetesi larutan Meilzer’s. Dinding spora jamur MVA genus Glomus ini terdiri atas 1-3 lapis dinding sel. Genus spora yang ditemukan terdiri dari 4 spesies. Spora Glomus sp1 berbentuk bulat, memiliki hanya 1 lapis dinding spora yang sangat tipis sehingga mudah pecah saat dibuat preparat. Spora Glomus sp2 berbentuk bulat, sporanya tampak jernih serta memiliki 2 lapis dinding sel.
Spora Glomus sp3 berbentuk bulat sampai lonjong dan memiliki 2 lapis dinding sel yang tebal. Spora Glomus sp4 berbentuk bulat, berwarna oranye memiliki dinding sel 3 lapis (Nurhandayani et al., 2013)
Sebaran genus Acaulosporadan Glomusdalam penelitian ini belum bisa diidentifikasi secara akurat tentang penyebaran dan nama spesiesnya, karena dari
seluruh jumlah spora yang ditemukan hanya sedikit yang dapat diidentifikasi.
Kondisi ini dikarenakan banyak ditemukan spora-spora yang rusak dan kotor
terbatasnya peralatan dilaboratorium dalam proses identifikasi sehingga penamaan
KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan
1. Hasil penelitian keanekaragaman fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada ekosistem Hutan Tri Dharma Universitas Sumatera Utara memiliki 2 genus spora. Dua genus spora yang ditemukan dari hasil penelitian, yaitu Genus Acalauspora dan Genus Glomus. Genus Acaulospora sebanyak 9 tipe spora dan Genus Glomus sebanyak 29 tipe spora.
2. Persentase kolonisasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada ekosistem Hutan Tri Dharma Universitas Sumatera Utara yaitu 56,5 % yang termasuk dalam kelas 4 atau kategori tinggi.
B. Saran
Hasil penelitian ini hanya mendapatkan data keanekaragaman FMA dan
kolonisasi akar sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui
potensi FMA dari ekositem Hutan Tri Dharma USU untuk mengatasi lahan yang
DAFTAR PUSTAKA
Abbott, L.K. dan A.D. Robson. 1982. The role of VA Mycorrhizae Fungi Agriculture and the Selection of Fungi for Inoculation. Aust. J. Agric. Res. 33:389.
Allen E.B., M.F. Allen, D.J. Helm, J.M. Trappe, R. Molina, dan E. Rincon. 1995. Pattern and regulation of mycorrhizal plant and fungal diversity. Plant and Soil. 170 (1): 47-62.
Brundrett, M.N., B. Bougher, T. Dell, Grave dan N. Malajezuk. 1996. Working with Mycorrihiza in Forestry and Agriculture. Australian Centre for InternationalAgricultural Research (ACIAR). Carbera.
Burhanuddin, 2012. Keanekaragaman Jenis Jamur Mikoriza Arbuskula pada Tanaman Jabon (Anthocephalus spp). Fakultas Kehutanan. Universitas Tanjungpura. Pontianak.
Daniels, B.A.H dan J.M. Trappe. 1980.Factors Affecting Spora Germination of the VAM FungusGlomus epigaeus. Mycology. 72:457-463.
Delvian. 2003. Keanekaragaman dan Potensi Pemanfaatan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) di Hutan Pantai. Disertasi. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Delvian. 2005. Respon Pertumbuhan Dan Perkembangan Cendawan Mikoriza Arbuskula Dan Tanaman Terhadap Salinitas Tanah. Departemen Kehutanan. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Delvian. 2006. Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula. Karya Tulis. Departemen Kehutanan. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Ervayenri, Y. Setiadi., N. Sukarno, dan C. Kusmana. 1999. Arbuskular Mycorrhiza Fungi (AMF) Diversity in Peat Soil Influenced by Land Vegetation Types. Proceedingson International Conference Mycorrhiza in Suitanable Tropical Agriculture and Forest Ecosystem. In Commenoration of 100 Years the World Pioneering Studies on Tropical Mycorrhizas in Indonesian by Professor JM Janse. 27-30 Oktober 1997. Bogor. pp.85-92.
Hall, I.R. 1984. Taxonomy of VA Mycorrhizal Fungi. In: VA mycorrhizal (ed.) C.L. Powell dan D.J. Bagyaraj. CRC. Press. Boca Raton Florida USA.
Janouskova, M., D. Pavlikova, dan M.Vosatka. 2006. Potensial Contribution of Arbuscular Mycorrhiza to Cadmium Immobilisation in Soil. Chemosphere 65 (11):1959-1965.
Lakitan, B. 2000. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Maas, E.V. dan R.H. Nieman. 1978. Physiology of plant tolerance to salinity. dalam GA Jung (Ed). Crop tolerance to suboptimal land conditions. ASA Spec. Pub. Vol. 32:277-299.
Manan, S. 1993. Pengaruh Mikoriza pada Pertumbuhan Semai Pinus merkusi di Persemaian. Kuliah silvikultur umum. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Hlm 247-261.
Marx, D.H. 1982. Mycorrhiza in Interaction with Other Microorganism. In Method dan Principles of mycorrhizal research. The Am. Phyt. Soc Minessota.
Moreira, Dilmar dan S.M. Tsai. 2007. Biodiversity dan distribution of arbuscular mycorrhizal fungi in Araucaria angustifolia forest. Journal agriculture vol. 64:393-399.
Muklis. 2007. Analisis Tanah Tanaman. USU Press. Medan.
Noertjahyani. 2008. Respon Pertumbuhan Kolonisasi Mikoriza dan Hasil Tanaman Kedelai Sebagai Akibat dari Takaran Kompos dan Mikoriza Arbuskula. Laporan Akhir Penelitian. Universitas Winaya Mukti. Sumedang.
Nurhalimah, S., S. Nurhatika, dan A. Muhibuddin. Eksplorasi Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA) Indigenous pada Tanah Regosol di Pamekasan, Madura. Jurnal Sains dan Seni Pomits. Vol 3:30-34.
Nurhandayani, R., R.Linda, dan S. Khotimah. 2013. Inventarisasi Jamur Mikoriza Vesikular Aruskular dari Rhizosfer Tanah Gambut Tanaman Nanas (Ananas comosus (L.) Merr). Jurnal Protobiont. 2(3):146-151.
Nusantara, A.P., Y.H. Bertham, dan I. Mansur. 2012. Bekerja dengan Fungi Mikoriza Arbuskula. Fakultas Kehutanan IPB dan Seameo Biotrop. Bogor.
Prihastuti. 2007. Isolasi dan Karakterisasi Mikoriza Vesikular-Arbuskular di
Lahan Kering Masam, Lampung Tengah. Berk. Penel. Hayati. Vol 12:99-106.
Puspitasari, D., Kristanti I P., Anton M. 2012. Eksplorasi Vesicular Arbuscular Mycorrhiza (VAM) Indigenous pada Lahan Jagung di Desa Torjun, Sampang Madura. Jurnal Sain dan Seni ITS Vol 1:19-22.
Samosir, J. G. 2011. Potensi Karbon Tersimpan di Hutan Tridharma Universitas Sumatera Utara. Skripsi. Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, USU. Medan.
Sari, M. L. 2008. Keberadaan Mikoriza Pada Areal Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Unit Sungai Seruyan Kalimantan Tengah). Skripsi. Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor.
Schenck NC dan Schroder VN 1974. Temperature response of endogone micorrhiza on soybean roots. Mycologia. 66:71.
Setiadi, Y. 1992. Petunjuk Laboratorium Mikrobiologi Tanah Hutan. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Kehutanan. Jakarta : Direktorat Perguruan Swasta.
Setiadi Y. 2001. Peranan mikoriza arbuskula dalam reboisasi lahan kritis di Indonesia. makalah seminar penggunaan CMA dalam sistem pertanian organik dan rehabilitas lahan. Bandung. 21-23 April 2001.
Sibarani, S. A. 2011. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula pada Tegakan Karet dan Tegakan Sawit di Ekosistem Lahan Gambut Desa Telaga Suka Kecamatan Panai Tengah Kabupaten Labuhan Batu. Skripsi. Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, USU. Medan.
Siradz SA dan S Kabirun. 2007. Pengembangan lahan marginal pesisir pantai dengan bioteknologi masukan rendah. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian UGM. 7:83-92.
Siregar, R.M. 2010. Pengaruh Iklim Mikro Terhadap Kadar Air Serasah di Hutan Tri Dharma Kampus Universitas Sumatera Utara. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Sumarni, 2001. Pewarnaan Akar pada Cendawan Mikorriza Arbuskular. Fakultas Pertanian UNPAD, Bandung.
Lampiran 1. Klasifikasi tingkat infeksi FMA pada akar menurut Setiadi (1992)
Tingkat Kolonisasi (%) Kategori Keerangan
0-5 Kelas 1 Sangat rendah
6-25 Kelas 2 Rendah
26-50 Kelas 3 Sedang
51-75 Kelas 4 Tinggi
76-100 Kelas 5 Sangat tinggi
Lampiran 2. Kriteria Penilaian Sifat-Sifat tanah menurut BPP Medan (1982) dalam MukhliS (2007).
Sifat tanah Satuan Sangat
rendah Rendah Sedang Tinggi
Sangat tinggi
C (Karbon) % <1,00 1,00-2,00 2,01-3,00
3,01-5,00 >5,00 P. avl. Bray
II ppm <8,00 8,00-15 16-25 26-25 >25
Lampiran 3. Kriteria pH tanah menurut BPP Medan (1982) dalam Mukhlis (2007)
Kriteria pH (H2O)
Sangat Masam <4,5
masam 4,5-5,5
Agak Masam 5,6-6,5
Netral 6,6-7,5
Agak Alkalis 7,6-8,5
Alkalis >8,5
Lampiran 4. Pengambilan Sampel akar dan tanah di Lapangan
c. Pengambilan akar anakan pohon mahoni
Lampiran 5. Perlakuan Pemerangkapan (Trapping)
a. Pemeliharaan kultur b. Perlakuan stressing kultur
Lampiran 6. Pengamatan di Laboratorium
a. Larutan 50 gr tanah dengan air 300ml