PENELITIAN ILMIAH
PENGAWETAN KAYU KELAPA SAWIT MENGGUNAKAN
LARUTAN ASAP CAIR DENGAN FORMALDEHID
Oleh:
DEDE IBRAHIM MUTHAWALI, S.Si.M.Si
NIP. 19660228200112100
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
INTISARI
ABSTRACT
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan karunia Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Usulan Penelitian ini
yang berjudul “Pengawetan Kayu Kelapa Sawit Menggunakan Larutan Asap-Cair
Dengan Formaldehid”
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu DR. Ir. T. Chairunnisa, M.Sc selaku Direktur Pasca Sarjana.
2. Bapak Prof. DR. H.R. Brahmana, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing
3. Bapak Prof. DR. Basuki Wirjosentono, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing
4. Bapak Drs. Thamrin, MSc selaku Anggota Komisi Pembimbing beserta semua
pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan usulan
penelitian ini.
5. Kepala Laboratorium Kimia Polimer FMIPA USU beserta laborannya atas sarana
dan bantuan yang diberikan.
6. Kepala Laboratorium Pusat Penelitian FMIPA USU beserta laboran atas sarana dan
bantuannya yang diberikan.
7. Kepala Laboratorium Kimia Organik FMIPA UGM Yogyakarta atas bantuannya
dalam menganalisa sampel.
8. Kepala laboratorium Pengembangan PTKI Medan, atas bantuannya dalam
menganalisa sampel.
9. Rekan-rekan mahasiswa pascasarjana Program Studi Kimia atas kejasamanya
10.Ayahku Syamsul Akbar Hasibuan dan Ibuku tercinta Hj. Alawiyah, Kakanda Coki, Dodo, Joko, serta Adinda Budi, Wizni dan Wirda. Istriku tercinta Muriana
atas dorongan, bantuan dan perhatiannya baik sehingga penyusunan tesis ini dapat
dirangkumkan.
11.Yusuf, Irman, Dirham, Vina, Nandar, Suharman, Husni, Henry, Laila dan Ningsih
atas bantuan dan perhatiannya selama penyusunan tesis ini.
12.Staf-staf yang bekerja di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa usulan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk
itu penulis mengharapkan masukan dan kritik yang membangun sehingga nantinya
menjadi usulan penelitian yang baik dan benar.
Medan, 2006 Penulis
DAFTAR ISI
Intisari... i
Abstract... ii
Kata Pengantar... iii
Daftar isi ... v
Daftar Gambar ... viii
Daftar Tabel... ix
Daftar Lampiran ... x
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1
1.2. Perumusan Masalah... 4
1.3. Tujuan Penelitian... 4
1.4. Manfaat Penelitian... 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kayu Kelapa Sawit ... 6
2.2. Modifikasi Sifat Kayu dan Teknik Impregnasi... 11
2.3. Pengasapan dan Asap Cair... 13
2.4. Monomer Reaktif... 14
2.5. Fenol dan Formaldehid ... 15
2.6. Difusi Bahan Polimer... 17
2.7. Kelarutan Polimer ... 18
2.8.1. Kekuatan Tarik UTS (Ultimate Tensile Strength) ... 19
2.8.2. Kekuatan Tarik UFS (Ultimate Flexural Strength)... 20
2.9. Analisis Spektroskopi Infra Merah (FT-IR) ... 21
2.10. Analisisi Termal Bahan Polimer... 22
2.11. Miskroskop Elektron Payaran (SEM)... 23
2.12. Kromatogram Asap Cair dari Kayu ... 24
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Penyediaan Bahan Baku ... 26
3.2. Bahan Kimia ... 26
3.3. Peralatan... 26
3.4. Prosedur Kerja ... 27
3.4.1. Penyediaan Bahan Baku Kayu Kelapa Sawit (KKS)... 27
3.4.2. Penyediaan Asap Cair (Fenol Alam) ... 28
3.4.3. Impregnasi Asap Cair dan Monomer Reaktif ... 28
3.5. Analisis Asap Cair ... 28
3.5.1. Analisis GC-MS... 28
3.5.2. Analisis SEM ... 29
3.5.3. Analisis FT-IR ... 30
3.5.4. Analisis Termal Diferensial (DTA) ... 30
3.5.5. Karakterisasi Asap Cair ... 30
3.5.5.1. Uji Modulus Patah dan Modulus Elastisitas... 30
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakterisasi Awal KKS... 32
4.3. Analisis Mikroskop Elektron Payaran (SEM) ... 36
4.4. Analisis FT-IR ... 39
4.5. Analisis GC-MS... 42
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 44
5.1. Kesimpulan... 44
5.2. Saran ... 44
DAFTAR PUSTAKA ... 45
DAFTAR GAMBAR
Judul
No Halaman
2.1. Penampang Melintang KKS ... 7
2.2. Struktur Molekul Selulosa ... 8
3.1.a. Pemotongan Lintang dan Bagi Spesimen KKS... 27
3.1.b. Spesimen KKS dengan Ukuran 5 x 2,5 x 2 cm ... 27
4.1. DTA KKS Sebelum Impregnasi ... 33
4.2. DTA KKS Menggunakan Asap Cair dan Formaldehid dengan Perbandingan 1:4 ... 34
4.3. DTA KKS Menggunakan Asap Cair dan Formaldehid dengan Perbandingan 1:1 ... 35
4.4. Foto SEM KKS Sebelum Impregnasi Perbesararan 100x ... 37
4.5. Foto SEM KKS Setelah Impregnasi dengan Formaldehid Perbesaran 150x... 38
4.6. Foto SEM KKS Setelah Impregnasi dengan Asap Cair Perbesaran 150x... 38
DAFTAR TABEL
Judul
4.1. Karakteristik Rata-Rata Spesimen Kayu Kelapa Sawit
(KKS) Kering ... 32
No Halaman
4.2. Bilangan Gelombang KKS Awal ... 40
4.3. Bilangan Gelombang KKS Impregnasi dengan Penambahan
Asap Cair ... 40
4.4. Bilangan Gelombang KKS Impregnasi dengan Penambahan
Formaldehid... 41
4.5. Bilangan Gelombang KKS Impregnasi dengan Penambahan Asap
DAFTAR LAMPIRAN
Judul
1. Bagan Alir Prosedur Penelitian... 48
No Halaman 2. Gambar Alat Pembuatan Asap Cair Dengan Kondensasi – Absorbsi... 49
3. Data Pengukuran MOR dan MOE KKS Bagian Pinggir (P), Tengah (T) dan Inti (I) Setelah Impregnasi dengan Berbagai Pelarut ... 49
4. Tabel Kayu Bangunan Dalam Keadaan Kering Di Udara ... 50
5. Data Pengukuran Modulus Patah (MOR) Rata-Rata Kayu Kelapa Sawit (KKS) Kering... 50
6. Data Pengukuran Modulus Elastisitas (MOE) Rata-Rata Kayu Kelapa Sawit (KKS) Kering... 50
7. Spektrum FT-IR Kayu Kelapa Sawit (KKS) ... 51
8. Spektrum FT-IR KKS Setelah Impregnasi dengan Formaldehid ... 51
9. Spektrum FT-IR KKS Setelah Impregnasi dengan Asap Cair... 52
10. Spektrum FT-IR KKS Setelah Impregnasi dengan Asap Cair dengan Formaldehid perbandingan 1:4 ... 52
11. Data Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Larutan Standar 2 ppm... 53
12. Data Penentuan Waktu Operasi Larutan Standar Fenol 2 ppm... 53
13. Data Penentuan Kurva Kalibrasi Larutan Standar Fenol 2 ppm ... 53
14. Data Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asap Cair... 54
15. Data Penentuan Waktu Operasi Asap Cair ... 54
17. Data Penentuan Kadar Senyawa Turunan Fenol Asap Cair Pada
Berbagai Suhu ... 55
18. Grafik Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Larutan Standar 2 ppm... 56
19. Grafik Penentuan Waktu Operasi Larutan Standar Fenol 2 ppm... 56
20. Grafik Penentuan Kurva Larutan Standar Fenol... 57
21. Grafik Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asap Cari dari Cangkang Kelapa Sawit ... 57
22. Grafik Penetuan Waktu Operasi Asap Cair dari Cangkang Kelapa Sawit... 58
23. Data Proses Pembuatan Asap Cair Dari Cangkang Kelapa Sawit ... 58
24. Diagram Waktu Pembuatan Asap Cair Pada Berbagai Suhu... 59
25. Diagram Volume Asap Cair Pada Berbagai Suhu ... 59
26. Data Penentuan Kadar Keasaman Asap Cair Pada Berbagai Suhu... 60
27. Diagram Kadar Keasaman Asap Cair Pada Berbagai Suhu... 60
28. Analisis Kualitatif Senyawa Turunan Fenol Asap Cair Pada Berbagai Suhu ... 61
29. Data Kadar Senyawa Turunan Fenol Asap Cair Pada Berbagai Suhu.... 61
30. Diagram Kadar Senyawa Turunan Fenol Asap Cair Pada Berbagai Suhu ... 62
31. Data Nilai Indeks Pencoklatan Asap Cair Pada Berbagai Suhu ... 62
32. Diagram Indeks Pencoklatan Asap Cair Pada Berbagai Suhu ... 63
33. Senyawa Dalam Asap Cair Pada Suhu 190-210 oC ... 63
34. Kromatogram Senyawa Fenol... 64
ABSTRACT
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Seperti diketahui kayu kelapa sawit atau KKS memiliki sifat hidrofil yang
tinggi. Tingginya kadar air dan parenkim pada KKS, berakibat sifat fisik dan mekanik
dari kayu tersebut kurang baik, yang mana KKS mudah retak dan patah serta mudah
rusak karena pengaruh cuaca, juga oleh rayap (Prayitno, 1995).
Dikarenakan kebutuhan kayu dengan spesifikasi tertentu di Indonesia begitu
meningkat sementara kurangnya pasokan kayu maka diperlukan kayu alternativ. Agar
KKS dapat dijadikan kayu alternatif maka perlu ditingkatkan sifat dimensi dari KKS
tersebut.
Pengawetan kayu merupakan usaha untuk meningkatkan umur pemakaian kayu
yang mempunyai keawetan alami rendah.
Kita dapat memandang kayu melalui aspek anatomi, aspek fisika, aspek kimia
dan aspek mekanika. Diketahui kayu merupakan kumpulan dari berjuta-juta sel kayu.
Masing-masing kayu mempunyai kadar air, densitas dan daya kembang-susut
tersendiri. Komponen kimia penyusun kayu yang utama adalah air, selulosa,
hemiselulosa dan lignin. Adapun kayu mempunyai tingkat kekerasan dan
kekuatannya apabila dipandang dari aspek mekanikanya.
Pengawetan kayu dengan cara oven atau pengeringan dapat berlangsung secara
merata sehingga pada kelembaban tertentu dimensi kayu menjadi stabil. Akan tetapi
pemakaian. Untuk mencegah terjadinya difusi air dapat dilakukan pelapisan dengan
cara mempelitur atau sejenisnya. Namun apabila terjadinya benturan kayu dengan
benda lain dapat berakibat permukaan kayu terbuka sehingga air berdifusi dan kayu
dapat menggembung. Pengisian pori-pori kayu dengan bahan kimia atau zat aditif
dapat mengurangi hidrofilisitas kayu sehingga pengembangan atau penyusutan
volume kayu berkurang. Cara ini pun kurang sempurna karena pada proses tertentu
zat aditif dapat berdifusi ke luar dari pori-pori kayu. Jadi memungkinkan pori-pori
mengabsorbsi air.
Pembentukan ikatan kimia antara komponen utama kayu dengan bahan aditif
kelihatan lebih permanen, sehingga ini dapat dijadikan metode peningkatan stabilitas
kayu. Cara asetilasi dan formaldehidasi dengan pemakaian katalis asam klorida dan
pelarut asetal glasial telah dikenal dengan metode cukup baik untuk meningkatkan
stabilitas dimensi kayu. Pada asetilasi reaksi kimia yang terjadi adalah reaksi
subsitusi nukleofilik gugus OH komponen kayu dan C karbonil dari anhidrida asetat
(CH3CO)2O, sehingga gugus OH dalam komponen kayu berubah menjadi asetil –
OCOCH3. Dalam hal lain formaldehidasi adalah reaksi subsitusi nukleofilik gugus
OH komponen kayu dengan formaldehid (CHCO) menjadi hemiasetal R-OCH2OH
atau bereaksi lebih lanjut dengan gugus OH komponen kayu yang lain membentuk
asetal, R-O(CH2)-R sehingga terbentuk ikatan kimia antar komponen kayu.
Ditinjau dari cara meresapkan bahan kimia ke dalam kayu, proses pengawetan
modern dibedakan menjadi dua cara. Pertama proses pengawetan kayu dengan
Yang kedua proses pengawetan tanpa tekanan yang meliputi cara
penyemprotan, pencelupan perendaman dingin, perendaman panas-dingin vakum dan
proses difusi.
Riset baru akhir-akhir ini dapat dijadikan rujukan penelitian mengenai
peningkatan dimensi dan pengawetan kayu. Pemanfaatan material berbasis polimer
dengan teknik impregnasi dapat dijadikan alternatif, dikarenakan kelebihannya dalam
berbagai hal yaitu ringan, mudah dibentuk, cukup kuat, relatif murah dan dapat
memenuhi spesifikasi yang diinginkan. Penelitian ketahanan pengawetan kayu
menggunakan gabungan fenol dengan E-glass telah dilakukan Cihat Tascioglu
(2002). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan ketahanan kayu meningkat secara
signifikan. Robert G (1998) telah mengkarakterisasi jaringan fenol-formaldehida
yang terjadi pada kayu sehingga sifat mekanik dapat meningkat dengan terbentuknya
jaringan tersebut. Guanghoo He (2004) mempelajari kinetika pematangan dari reaksi
antara fenol-formaldehida dengan kayu. Dengan alat DTA dipelajari perubahan
energi yang menyertai reaksi tersebut. L David Dwinell (2002) melakukan
pengawetan dengan pengasapan menggunakan metil bromida sebagai katalis.
Abdurrohim S dan Martono D (1997) telah pula melakukan pengawetan lima jenis
kayu untuk perumahan secara rendaman dingin dengan bahan pengawet
tembaga-khrom-boron (CCB). Xiobing Zhou (2001) meneliti reaksi yang terjadi antara kayu
dengan resin isosianat menggunakan NMR dan menyatakan bahwa reaksi yang
terjadi antara gugus OH yang ada pada kayu dengan gugus uretan mampu
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti berkeinginan untuk melakukan studi
pengawetan kayu kelapa sawit (KKS) dengan pola polimerisasi melalui impregnasi
kayu kelapa sawit dengan menggunakan asap cair dan direaksikan dengan
formaldehid. Diharapkan penelitian ini akan menambah hasanah ilmiah untuk
kemajuan di bidang material dan bahan khususnya kayu. Keuntungan lain dari pola
polimerisasi menggunakan asap-cair (fenol alam) dan formaldehida adalah
kemungkinan dari manipulasi sifat-sifat akhir kayu dapat dikontrol dengan melihat
hasil analisa dan karakterisasi yang didapatkan. Jadi bahan-bahan reaksi polimerisasi
yang terpakai dapat dikendalikan hingga menghasilkan sifat yang diinginkan.
1.2.Perumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan pada latar belakang di atas peneliti merumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh perendaman asap cair – forlmaldehid pada sifat mekanik
kayu kelapa sawit.
2. Bagaimana impregnasi asap cair – formaldehid pada kayu kelapa sawit.
3. Bagaimana analisis dan karakterisasi hasil dengan : Sifat Mekanik, DTA, SEM,
GC-MS dan FT-IR.
1.3.Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh perendaman asap cair - formaldehid pada peningkatan sifat
mekanik kayu kelapa sawit.
3. Mendapatkan hasil analisis dan karakterisasi dengan Sifat Mekanik, DTA,
SEM,GC-MS dan FT-IR.
1.4.Manfaat Penelitian
1. Mendapatkan informasi sifat mekanik KKS setelah penambahan fenol alam.
2. Sebagai informasi mengenai reaksi polimerisasi antar fenol alam dengan
formaldehida pada kayu kelapa sawit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kayu Kelapa Sawit
Pohon kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq), merupakan tumbuhan dari orde
Palmales, family : Palmaceae; subfamily : Cocoideae. Tumbuhan tersebut termasuk
tumbuhan monokotil, ciri-ciri dari tumbuhan monokotil tersebut adalah, tidak
memiliki : kambium, pertumbuhan sekunder, lingkaran tahun, sel jari-jari, kayu awal,
kayu akhir, cabang, mata kayu. Batang terdiri dari serat dan parenkim. Pohon kelapa
sawit produktif sampai umur 25 tahun, ketinggian 9-12 m dan diameter 45-65 cm
diukur dari permukaan tanah. (Tomimura, 1992).
Pada bagian inti dari struktur dan anatomi kayu kelapa sawit (KKS) yang paling
dominan adalah jaringan dasar parenkim, sehingga memiliki kerapatan yang rendah.
Pada daerah pinggir dekat kulit penyusun utamanya adalah berkas pengangkut yang
terselimuti oleh serabut berdinding tebal sehingga rapat masanya lebih tinggi. Di
daerah bagian kayu yang terdiri dari jaringan parenkim mengandung kadar air lebih
tinggi dan menurun seiring prosentase berkas pengangkut naik.
Batang kelapa sawit mempunyai sifat khusus seperti kandungan selulosa dan
lignin yang rendah, namun kandungan air dan NaOH yang dapat larut tinggi
dibandingkan kayu pohon karet dan ampas batang tebu. Sifat fisik batang
menunjukkan heterogenitas yang berbeda-beda tergantung pada arah lingkaran dan
dari 0,2 – 0,6 gr/ml dengan kerapatan rata-rata 0,37 gr/ml, (Lubis, 1994). Pada
keadaan kering konstan, komponen-komponen yang terkandung dalam KKS adalah
selulosa (30,77 %), pentosa (20,05 %), lignin (17,22 %), hemiselulosa (16,81 %), air
(12,05 %), abu (2,25 %) dan SiO2 (0,84 %).
Gambar 2.1. Penampang melintang KKS
Selulosa merupakan polisakarida yang tersusun dari monomer D-glukosa yang
mempunyai tiga gugus hidroksil yang dapat disubstitusi, tidak larut dalam air, sifat
kristalinitas dan BM yang tinggi. Sifat kristalinitasnya akan menurun bila gugus
hidroksilnya tersubstitusi, misalnya dengan gugus etil (Baker 1987).
Molekul-molekul selulosa seluruhnya berbentuk linear dan mempunyai
kecenderungan kuat membentuk ikatan hidrogen intra dan inter molekul. Oleh ikatan
hidrogen molekul-molekul selulosa terikat bersama-sama membentuk seberkas fibril
elementer. Fibril elementer bergabung membentuk mikrofibril, kemudian mikrofibril
1998). Daerah yang sangat teratur disebut kristalin dan kurang teratur disebut amorf.
Selulosa tidak dapat larut dalam air, meskipun memiliki banyak gugus hidroksil dan
bersifat polar disebabkan selulosa memiliki ikatan hidrogen yang kuat. (Seymour,
1984).
.
Gambar 2.2. Struktur molekul selulosa
Meskipun terdapat gugus OH pada kedua ujung rantai selulosa,
gugus-gugus OH ini menunjukkan perilaku yang berbeda. Gugus C1 – OH adalah gugus
hidrat aldehida yang diturunkan dari pembentukan cincin melalui ikatan hemiasetal
intramolekul yang bersifat pereduksi, sedangkan gugus OH pada akhir C4 pada rantai
selulosa adalah hidroksil alkoholat hingga bersifat bukan pereduksi. Gugus hidroksi
pada C6 memiliki reaktivitas yang lebih tinggi karena pengaruh substituen-
substituen di sekitarnya maka terjadi reaksi esterifikasi atau interaksi dengan bahan
Morfologi selulosa mempunyai pengaruh yang besar. Gugus hidroksil dalam
daerah amorf sangat mudah dicapai dan bereaksi, sedangkan gugus hidroksil dalam
daerah kristalin dengan berkas yang rapat dan ikatan antar rantai yang kuat, mungkin
tidak sama sekali.
Skema reaksi-reaksi kopolimerisasi cangkokan selulosa :
Permulaan :
Senyawa lain yang dikandung oleh KKS adalah hemiselulosa. Pada kayu,
hemiselulosa berfungsi sebagai bahan pendukung dalam dinding sel. Hemiselulosa
tergolong polimer heteropolisakarida yang disusun oleh sekitar 200 monometer.
komponen monomernya antara lain kelompok gula pentosan seperti D-xilosa dan
L-arabinosa serta gula heksosa seperti D-glukosa, D-galaktosa dan D-manosa.
Hemiselulosa tidak kristalin, tetapi sangat bercabang.
Penyusun utama kimia kayu yang berikutnya adalah lignin, yaitu molekul
polimer dari unit fenilpropana. Senyawa ini mengandung sejumlah besar cincin
benzen reaktif. Lignin terdapat di dalam dinding sel maupun di daerah antar sel,
menyebabkan kayu menjadi keras dan kaku sehingga mampu menahan tekanan
mekanis yang besar.
Istilah kompleks lignin-karbohidrat (LCC) digunakan untuk agregat-agregat
dari tipe ini yang terikat secara kovalen. Antara lignin dengan hemiselulosa ada jenis
ikatan tipe ester atau eter bahkan ikatan glikosida. Yang lebih umum dan stabil dari
pada ikatan ester adalah ikatan eter antara lignin dan karbohidrat. Dalam hal ini
kedudukan alfa adalah titik hubungan yang paling mungkin antara lignin dan
hemiselulosa (Sjostron, 1998).
Pada kayu ada juga komponen yang dapat diekstraksi yang disebut zat
ekstraktif. Zat ekstraktif ini bukanlah bagian dari struktur dinding sel kayu tetapi
hanya pengisi rongga sel. Begitupun zat ekstraktif ini berpengaruh terhadap sifat-sifat
kayu seperti bau, warna, keawetan kayu dan lain-lain. Senyawa-senyawa yang
terkandung dalam ekstraktif kayu antara lain senyawa-senyawa jenuh, senyawa
2.2. Modifikasi Sifat-sifat Kayu dan Teknik Impregnasi
Modifikasi sifat-sifat kayu ditujukan agar kestabilan dimensi kayu dapat
diperbaiki. Dengan teknik impregnasi menjadikan modifikasinya lebih merata. Dengan
mereaksikan gugus-gugus hidroksil dari polimer dinding sel, sifat hidrofil polimer
dinding sel tersebut diubah menjadi hifrofob sehingga kestabilan kayu meningkat dan
lebih tahan terhadap serangan mikroba dan rayap.
Apabila kekristalan dari selulosa di dalam kayu dikurangi maka kayu dapat lebih
menjadi termoplastis. Membuat derivat-derivat selulosa di dalam kayunya sendiri
adalah usaha untuk mengubah kayu menjadi termoplastis. Hal ini dilakukan dengan
pengesteran dan pengeteran atau cara-cara lain dalam membentuk devivat selulosa
(Roehyati, 1995).
Rendaman panas, vakum-tekan dan injeksi adalah cara pengisian pori-pori kayu
untuk memasukkan zat yang tidak menguap ke dalam rongga sel kayu. Ini dapat
mencegah penyusutan kayu. Derajat stabilitas dimensi kayu yang diberikan zat polimer
pengisi berbanding terbalik dengan ukuran molekul zat pengisi. Peningkatan stabilitas
dimensi kayu bisa dengan meraksikan komponen kayu dengan zat aditif sehingga dapat
mengurangi sifat higroskopis kayu. Asetilasi pada kayu diharapkan dapat meningkatkan
stabilitas dimensi kayu. Prinsipnya merupakan reaksi esterifikasi yakni subsitusi gugus
OH komponen kayu dengan gugus asetil dalam anhidrid asetat sehingga berubah
menjadi senyawa asetat.
Impregnasi meliputi penetrasi cairan ke dalam rongga-rongga kayu dan difusi
bahan-bahan kimia yang terlarut. Penetrasi yang dipengaruhi gaya-gaya kapiler dan
distribusi ukuran pori, sedangkan laju penetrasi tergantung pada tekanan dan
berlangsung lebih lambat dan dikendalikan oleh konsentrasi bahan kimia yang terlarut.
Difusi adalah perpindahan massa yang terjadi pada suatu campuran yang disebabkan
oleh gradien konsentrasi. Antar difusi merupakan terbentuknya gabungan antara dua
permukaan polimer melalui difusi (penyebaran) ikatan rantai molekul-molekul polimer
dari satu permukaan masuk kedalam jaringan molekul permukaan yang lainnya. Difusi
dapat lebih cepat bila suhu tinggi dan molekul yang berdifusi kecil.
Dalam pemilihan kondisi impregnasi baik tekanan, suhu dan waktu impregnasi
serta besarnya harus mempertimbangkan kondisi kayu yang digunakan (Sjostron, 1998).
Teknik impregnasi reaktif adalah teknik impregnasi yang dirancang menggunakan
medium dalam fasa leleh dengan melibatkan modifikasi bahan polimernya sebelum
impregnasi sehingga meningkat kompatibilitasnya. Basuki W, dkk (2001) telah
melakukan impregnasi bahan polimer bekas dari jenis polistiren dan polipropilen
melalui sistem penekanan vakum pada suhu leleh pada kayu kelapa sawit. NS Cetin
(1999) juga telah melakukan impregnasi bahan polimer untuk membentuk grafting
dengan menggunakan metakrilat anhidrid yang dilakukan pada kayu jenis Pynus
sylvestris. Pola impregnasi dapat medisfusikan bahan-bahan monomer ke dalam kayu
lunak, khususnya kayu monokotil, karena monomer-monomer tersebut bersifat cair
yang mampu berdifusi ke dalam kayu. Sifat-sifat dasar dari KKS dapat diperbaiki bila
monomer-monomer reaktif yang digunakan dapat berpolimerisasi dengan senyawa fenol
atau senyawa dari kayu tersebut.
2.3. Pengasapan dan Asap – Cair
Pengasapan dapat dijadikan proses untuk tujuan pengawetan. Telah diketahui asap
mengandung sebagian besar senyawa yang terbentuk oleh pirolisis konstituen kayu.
menghasilkan senyawa-senyawa organik yang diharapkan. Jadi asap dapat dibentuk
dalam wujud cair dengan pola destilasi sehingga dapat menghasilkan bahan-bahan
kimia tersebut tergantung dari suhu destilasi yang digunakan. Pada penelitian ini
pedoman utama dari asap adalah pengambilan senyawa fenol, yang selanjutnya dapat
digunakan sebagai bahan baku polimerisasi.
Golongan utama dari senyawa-senyawa yang terdeteksi di dalam asap pernah
dikemukakan oleh Girard (1992) yang meliputi :
- Fenol, tidak kurang 85 macam diidentifikasi dalam kondesat dan 10 macam
diidentifikasi dalam produk asapan.
- Karbonil, keton dan aldehid, lebih kurang 45 macam yang diidentifikasi dalam
kondensat.
- Asam, 35 macam yang terdapat dalam kondensat.
- Furan, 11 macam
- Alkohol dan eter, 15 macam
- Hidrokarbon alifatik, 1 macam dalam kondensat dan 20 macam dalam produk
asapan.
- Hidrokarbon aromatik polisiklis, 47 macam diidentifikasi dalam kondensat dan 20
macam dalam produk asapan.
Guangho He (2004) menyimpulkan reaksi antara fenol dengan selulosa kayu,
apabila fenol langsung ditambahkan pada kayu akan terbentuk reaksi fenol pada gugus
oksigen yang ada pada kayu dan bila dilakukan degradasi kadar air pada kayu maka
fenol akan terikat pada gugus OH dari kayu.
Selhan Karangnoze (2004) telah menganalisa fenol dengan liquefaction dari
oleh efek Rubidium. Dari analisa diperlihatkan bahwa senyawa yang dihasilkan paling
banyak adalah fenol.
Dua senyawa utama dalam asap-cair yang diketahui mempunyai efek bakterisida
adalah fenol dan asam-asam organik yang dalam kombinasinya bekerja sama secara
efektif untuk mengontrol pertumbuhan mikrobia. (Psczola, 1995). Fenol mempunyai
aktivitas antioksidan yang cukup besar. Telah diteliti bahwa asap kayu dapat
difraksionasikan menjadi komponen asam, basa dan netral. Sifat antioksidasi yang
paling baik ada pada komponen netral. Sebaliknya memiliki sedikit sifat antioksidasi
pada komponen bersifat asam, sedangkan komponen basa memacu oksidasi lipida
(Totter dan Polatsht, 1984). Senyawa antioksidan sintetis yang beredar di pasaran
seperti hidroxy anisol (BHA) dan butylated hidroxy toluene (BHT) adalah golongan
senyawa fenol juga.
2.4. Monomer Reaktif
Hampir setiap senyawa yang mengandung ikatan rangkap dua dapat diubah mejadi
polimer. Perbedaan entalpi dan entropi antara monomer kayu memiliki atom-atom
hidrogen yang terikat ke karbon kedua dari ikatan rangkap duanya. Biasanya cepat
terpolimerisasi dengan monomer-monomer 1,2 disubsitusi.
Konsiderasi energi-energi bebas polimerisasi Yakni :
Δ Gp = Δ Hp – T Δ Sp
Efek sterik juga merupakan bukti untuk membandingkan reaktivitas
isomer-isomer cis dan trans, demikian juga efek kepolaran dapat membentuk polimerisasi
seperti turunan stirena, yang mana gugus-gugus penarik elektron akan memberikan
kecepatan seperti yang diperkirakan untuk suatu proses radikal bebas. Monomer reaktif
dikenal sebagai makromonomer dan apabila dilakukan polimerisasi akan membentuk
polimer dengan struktur yang reguler atau struktur sisir.
2.5. Fenol dan Formaldehida
Formaldehida merupakan salah satu senyawa yang sering digunakan dalam
polimerisasi dengan fenol dan dari reaksi ini akan terbentuk polimerisasi yang bersifat
thermosetting.
Fenol bereaksi dengan aldehid menghasilkan produk kondensasi, jika ada posisi
bebas pada orto dan para terhadap gugus hidroksi pada cincin benzen. Formaldehida
merupakan aldehid paling reaktif dan digunakan untuk produksi secara komersil.
Produk yang kemungkinan paling besar terjadi tergantung pada perbandingan molar dari
reaktan. (Meyer, F.W. B, 1984).
Damar yang dibuat dari fenol dan aldehida membentuk kelompok yang disebut
fenolik atau fenoplas. Fenol bereaksi dengan aldehida, memberikan produk kondensasi,
jika kedudukan 2-(orto) dan 4-(para) terhadap gugus hidroksil fenolik. Kedudukan 2-
dan 4- dalam fenol yang aktif menyebabkan kerapatan elektron meningkat pada
kedudukan itu.
Aldehida yang digunakan dalam industri fenoplas adalah metanal (formaldehida).
Reaksi yang terjadi tergantung pada perbandingan molar fenol-formaldehida (dikenal
dengan perbandingan P/F, yang berasal dari nama Feno-Formaldehida). Reaksi antara
fenol dan metanal menghasilkan pemasukan gugus –CH2OH ke kedudukan 2- dan 4-
dalam fenol.
Pada awal tahun 1900-an Baeckeland pertama kali mengembangkan damar
fenol-metanal yang diberi nama ‘bakelit’, dan sejak itu bidang kimia polimer menjadi industri
bahan kimia, juga merupakan isolator listrik yang baik. Plastik yang dibuat dari damar
berfenol bersifat keras, kaku, dan umumnya berwarna gelap. Bahan itu digunakan untuk
barang seperti sakelar listrik, asbak, gagang panic, pegangan pintu, di samping itu
damar fenol-metanal dipakai untuk perekat kayu lapis dan untuk membuat barang
berlapis. (Cowd, 2000).
Fenol murni mempunyai sifat agak toksik terhadap manusia (mudah teradsorbsi
dan menyebabkan keracunan pada darah) dan tidak digunakan sebagai desinfektan.
Senyawa fenol efektif dalam menyerang bakteria vegetatif, virus lipofilik, jamur dan
kadang Mycobacterium tuberculosis, mekanismenya melalui toksisitas terhadap sel.
Menurut beberapa kajian fenol asap cair memang bervariasi. Kandungan fenol
dalam asap cair kayu singkong mencapai lebih dari 1000 ppm. Hal ini sesuai dengan
Girard (1992) yang menyebutkan variasi kandungan fenol dalam asap cair berkisar
antara 0,006-5000 ppm. Tetapi jauh berbeda dengan hasil penelitian Tranggono (1997)
terhadap asap cair kayu jati, lamtorogung, tempurung kelapa, mahoni, kamper,
bangkirai, kruing dan glugu (pohon kelapa) yang menunjukkan variasi kandungan
fenolnya berkisar antara 2,0-5,13 % atau sama dengan 21000-513000 ppm.
Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh jenis kayu yang berbeda, dimana kayu
singkong termasuk dalam golongan kayu lunak sementara jenis kayu yang digunakan
Tranggono (1997) termasuk dalam golongan jenis kayu keras. Kandungan lignin dalam
kayu lunak lebih rendah daripada yang terdapat dalam kayu keras. Perbedaan hasil juga
dapat disebabkan oleh metode analisis yang berbeda. (Agritech Vol. 20 No. 1, 2000)
Perbedaan kandungan fenol tersebut mungkin juga disebabkan karena perbedaan
oksigen, karena salah satu reaksi pembentukan fenol adalah oksidasi. Selain itu juga
dalam asap langsung berhubungan dengan pirolisis kayu. Jadi suhu pembuatan asap
akan mempengaruhi komposisi asap yang dihasilkan. (Tranggono, et al, 1997)
2.6. Difusi Bahan Polimer
Perpindahan materi dapat disebabkan oleh gradient konsentrasi, medan
sentrifugal, dan medan listrik. Dalam setiap kasus gaya yang menyebabkan perpindahan
dapat dianggap sebagai gradien potensial yang negatif. Gradien negatif dari potensial
kimia adalah gaya dorong untuk difusi.
Dalam proses perpindahan gerak dari komponen i dapat dinyatakan dalam
fluksnya Ji, yang didefinisikan sebagai banyaknya komponen i yang melewati satuan
luas permukaan dalam satuan waktu.
Difusi adalah perpindahan massa yang terjadi pada suatu campuran yang
disebabkan oleh gradient konsentrasi. Difusi materi melalui sel sebanding dengan gaya
dorong, dinyatakan oleh persamaan Fick :
dc
` = daya dorong, ditunjukkan sebagai gradient konsentrasi di sepanjang X
(mol m-4) dc
dx
2.7. Kelarutan Polimer
Proses kelarutan bahan polimer jauh lebih rumit dari pada kelarutan
polimer dan pelarut, pengaruh viskositas larutan dan tekstur polimer (amorf, kristalin,
linier atau berikatan silang). Konsep larutan polimer dalam teknologi bahan polimer
memegang peranan yang sangat penting, misalnya pada teknik plastisasi, pembuatan
bahan perekat, dan sebagainya. Bilamana bahan polimer dilarutkan ke dalam suatu
pelarut yang berbobot molekul rendah terlebih dahulu akan terjadi peristiwa
penggembungan, dengan molekul pelarut yang terdispersi di antara rantai polimer. Bila
jumlah pelarut semakin besar, interaksi sesama rantai polimer menjadi semakin lemah
dan akhirnya lepas sama sekali menbentuk larutan polimer (Wirjosentono, dkk, 1995).
2.8. Sifat Mekanis Bahan Polimer
Pada pengujian secara mekanis terhadap suatu sampel yang diamati adalah sifat
kekuatan tarik, tegangan, regangan, modulus dan perpanjangan yang menunjukkan pada
kekuatan bahan.
Penggunaan bahan polimer baik itu dalam industri maupun dalam kehidupan
sehari-hari sangat tergantung pada sifat mekanis dari bahan polimer tersebut. Sifat
mekanis ini merupakan ini merupakan perpaduan antara kekuatan tarik yang tinggi dan
elastisitas yang baik. Sifat mekanis khas utuk setiap polimer, ini disebabkan karena
adanya dua macam ikatan dalam bahan polimer, yaitu ikatan kimia yang kuat antara
atom dan interaksi antara rantai yang lebih lemah. (Nur, 1997).
2.8.1.Kekuatan Tarik UTS (Ultimate Tensile Strength)
Kekuatan tarik/tekan merupakan salah salah satu sifat dasar bahan polimer yang
penting dan sering digunakan untuk karakterisasi suatu bahan polimer. Pengujian tarik
dilakukan untuk mengetahui perubahan bentuk pada sampel atau bahan yang diuji. Pada
uji tarik beban kakas sesumbu yang bertambah secara perlahan-lahan sampai sampel uji
Pertambahan panjang (Δl) yang terjadi akibat kakas tarikan yang diberikan pada sampel
uji disebut dengan deformasi sedangkan regangan adalah perbandingan antara
pertambahan panjang dengan panjang semula.
Δl
Dengan demikian regangan merupakan ukuran kekenyalan (kemuluran) suatu
bahan yang biasanya dinyatakan dalam %. Besarnya kekuatan tarik dapat diperoleh dari
kurva aluran tegangan atau regangan. Kekuatan tarik atau tekan diukur dari besarnya
beban maksimum (Fmaks) yang digunakan untuk memutuskan/mematahkan spesimen
bahan dibagi dengan luas penampang awal (Ao) dan secara matematis ditulis sebagai
berikut :
Fmaks σ =
Ao Keterangan :
σ = tegangan atau kekuatan tarik (kgf/mm2)
Fmaks = beban maksimum (kgf)
A = luas penampang awal (mm2)
2.8.2.Kekuatan Lentur UFS (Ultimate Flexural Strength)
Tujuan dari pengujian ini untuk mengetahui ketahanan suatu bahan terhadap
Pembebanan yang diberikan adalah pembebanan dengan tegak lurus dengan titik-titik
sebagai penahanan berjarak tertentu dan titik pembebanan diletakkan pada titik tengah
sampel dimana besarnya pelengkungan ini disebut defleksi (δ).
Persamaan untuk mendapatkan kekuatan lentur adalah :
3PL MOR =
2 l t2
P’L MOE =
4 y l4 t
MOR = modulus patah (kg/cm2)
MOE = modulus elastisitas (kg/cm2)
P = beban patah (kg)
P’ = beban lentur (kg)
L = jarak sanggah (cm)
l = lebar spesimen (cm)
t = tebal spesimen (cm)
y = jarak defleksi (cm)
(haygreen, 1996)
2.9. Analisis Spektroskopi Infra Merah (FT-IR)
Spektroskopi IR merupakan suatu metoda analisis yang dipakai untuk
karakterisasi bahan polier dan analisis gugus fungsi. Dengan cara menentukan dan
merekam hasil spektra residu dengan serapan energi oleh molekul organik dalam daerah
panjang gelombang 1-500 nm. Setiap gugus dalam molekul umumnya mempunyai
karakteristik sendiri, sehingga spektroskopi IR dapat digunakan untuk mendeteksi gugus
yang spesifik pada polimer. Intensitas pita serapan merupakan ukuran konsentrasi gugus
yang khas yang dimiliki oleh polimer (Seymour, 1975).
Untuk dapat mengindentifikasi data infra merah dari bahan polimer, diperlukan
suatu persyaratan yaitu zat yang diselidiki harus homogen secara kimia. Tahap awal
identifikasi bahan polimer, serapan yang karakteristik untuk masing-masing bahan
polimer harus diketahui dengan membandingkan spektrum yang telah dikenal. Pita
serapan yang khas akan ditunjukkan oleh monomer penyusun material dan struktur
molekulnya (Hummel, 1985)
Metoda ini didasarkan pada interaksi antara radiasi infra merah dengan materi
(interaksi atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik). Interaksi ini berupa
absorpsi pada frekwensi atau panjang gelombang tertentu yang berhubungan dengan
energi transisi antara berbagai keadaan energi vibrasi, rotasi dan molekul. Radiasi infra
merah yang penting dalam penentuan struktur atau analisa gugus fungsi terletak pada
400 cm-1 - 650 cm-1.
2.10. Analisis Termal Bahan Polimer
Analisis termal bukan saja mampu untuk memberikan informasi tentang
perubahan fisik sampel (misalnya titik leleh dan penguapan), tetapi juga terjadi proses
kimia yang mencakup polimerisasi, degradasi, dekomposisi dan sebagainya.
Differensial Thermal Analysis (DTA) adalah suatu metoda yang dapat digunakan
untuk menentukan sifat termal suatu bahan polimer. DTA merupakan suatu metode
dapat mencatat perbedaan suhu antara sampel dan senyawa pembanding, baik terhadap
Dalam bidang polimer DTA sering digunakan untuk menentukan temperatur leleh
(Tl) dan temperatur gelas (Tg). Temperatur leleh adalah temperatur pada saat polimer
mengalamni pelelehan secara sempurna, sedangkan temperatur transisi gelas (TG)
adalah temperatur pada saat terjadinya perubahan sifat fisik polimer dari elastis menjadi
kaku.
Metode DTA mempunyai kelebihan dapat memberikan hasil yang spesifik untuk
suatu sampel, karena tidak ada dua material yang memberikan suatu kurva yang sama
persis walaupun mempunyai perbedaan yang sangat kecil dari struktur kristal dan
komposisi kimia. Puncak-puncak yang dihasilkan akan berbeda baik dari luas atau
bentuk puncak sehingga kurva yang dihasilkan khas untuk setiap jenis material.
Kekurangan DTA adalah terlihat perbedaan yang nyata pada jangkauan temperatur yang
lebar sehingga diperlukan waktu yang cukup lama untuk mencapai jangkauan tersebut,
dan kurva yang dihasilkan sangat tergantung pada peralatan dan teknik penentuan
sehingga untuk jenis material yang sama jika dianalisis dengan dua alat yang berbeda
akan memberikan kurva yang sedikit berbeda.
2.11. Mikroskop Elektron Payaran (SEM)
Adanya material lain dalam suatu matriks seperti dispersi matrial tersebut dapat
menyebabkan terjadinya perubahan pada permukaan spesimen. Untuk melihat
perubahan dalam bahan tersebut dapat dilakukan suatu analisa permukaan, dimana alat
yang biasa digunakan adalah SEM. (Mark, H.F., 1965)
Teknik SEM merupakan pemeriksaan dan analisa permukaan spesimen. Gambar
tampilan permukaan yang diperoleh merupakan gambar topografi dengan tonjolan,
lekukan dan lubang pada permukaan, gambar topografi diperoleh dari penangkapan
ditangkap oleh detektor dan diteruskan ke monitor sehingga diperoleh gambar khas
yang menggambarkan struktur permukaan spesimen, selanjutnya gambar dimonitor
dapat dipotret dengan film hitam putih.
Pada dasarnya SEM menggunakan sinyal yang dihasilkan yang dipantulkan atau
berkas sinar elektrom sekunder. SEM menggunakan prinsip scanning dimana berkas
elektron diarahkan pada titik-titik pada permukaan spesimen . Gerakan elektron tersebut
dinamakan scanning atau gerakan membaca.
Sampel yang akan dianalisa dengan teknik ini harus mempunyai permukaan
dengan konduktifitasnya rendah sehingga saat analisa SEM bahan polimer harus dilapisi
dengan bahan konduktor yang tipis. Konduktor yang biasa digunakan adalah perak,
tetapi untuk analisa pada jangka waktu yang lama penggunaan emas atau campuran
emas dan paladium akan lebih baik.
2.12.Kromatogram Asap Cair dari Kayu a. Dari pirolisis selulosa :
Asam asetat, asam formiat, maltol, metilsiklopentenolon, etilsiklopentenolon,
dietilsiklopentenolon, furfural, 5-hidroksimetilfurfural.
b. Dari pirolisis lignin :
Fenol, orto, meta dan para kresol, guaiakol, metilguaiakol, etilguaiakol,
4-propilguaiakol, pirokatekol, trimetilfenol, vanilin, 4-(2-propio)-vanillon,
4(1-propio)-vanillon, aceto4(1-propio)-vanillon, 2,4,5-trimetilbenzaldehid, 4-hidroksiasetofenon, eugenol, cis
dan trans-isoeugenol, 2,6-dimetoksifenol (siringol), metilsiringol, etilsiringol,
4-propilsiringol, 4-asetosiringol, 4-(2-propio)-siringol, 4-(1-propio)-siringol, cis dan
Golongan utama dari senyawa yang terdeteksi di dalam asap meliputi (a) fenol; 85
macam diidentifikasi dalam kondensat dan 10 macam dalam produk asapan, (b)
karbonil, keton dan aldehid; 45 macam diidentifikasi dalam kondensat, (c) asam-asam;
35 macam diidentifikasi dalam kondensat, (d) furan; 11 macam, (e) alkohol dan ester;
15 macam diidentifikasidalam kondensat, (f) lakton; 13 macam, (g) hidrokarbon
alifatik; 1 macam diidentifikasi dalam kondensat; 20 macam dalam produk asapan, (h)
hidrokarbon aromatik polisiklik; 47 macam diidentifikasi dalam kondensat; 20 macam
dalam produk asapan. Hal ini hampir sama dengan penelitian Gilbert dan Knowlen,
1975 yang menyatakan bahwa senyawa-senyawa kimia paling penting yang diketahui
dalam asap dan asap cair antara lain; fenol, karbonil, asam, furan, alkohol dan ester,
lakton dan polisiklik hidrokarbon. Jadi sejumlah besar komponen yang telah
diidentifikasi dari beberapa senyawa kimia yang ada dalam asap antara lain, 45 macam
fenol, lebih dari 70 senyawa karbonil seperti keton dan aldehid, 20 asam, 11 furan, 13
alkohol, dan ester, 13 lakton dan 27 hidrokarbon polisiklis aromatik (Policyclic
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. PENYEDIAAN BAHAN BAKU
Kayu Kelapa Sawit (KKS) yang dijadikan sampel pada rancangan penelitian ini
diambil dari batang dewasa pada saat peremajaan atau umur 25 tahun dari perkebunan
kelapa sawit di PPKS Medan, dengan ketinggian 10 meter.
Destilasi asap pada suhu tertentu dilakukan untuk mendapatkan asap-cair yang
digunakan sebagai bahan baku. Destilasi asap ini dilakukan di PPKS Medan.
3.2. BAHAN KIMIA
Bahan kimia yang digunakan pada penelitian ini adalah Toluena diisosianat atau
Metilen diisosianat (E.Merck). Etilen glikol atau Propilen glikol, Trimetilol Propane
(TMP), Metakrilat anhidrid, Pyridin, Formaldehid. Kosentrasi akan dihitung
berdasarkan kesesuaian yang diperlukan.
3.3. PERALATAN
Suatu rangkaian peralatan destilasi yang lengkap, yang ada di PPKS Medan,
telah siap digunakan untuk mendapatkan asap-cair. Sedangkan alat GC-MS dipakai
untuk menganalisa komponen asap-cair yang dihasilkan tersebut. Penentuan sifat
mekanik menggunakan peralatan yang ada di Laboratorium Penelitian FMIPA.
Adapun FT – IR diperlukan untuk mengetahui perubahan gugus yang terjadi
setelah KKS bereaksi dengan monomer reaktif. Untuk melihat pori-pori dari KKS yang
dihasilkan setelah terjadi impregnasi diperlukan alat mikroskop elektron (SEM). Sifat
3.4. PROSEDUR KERJA
3.4.1. Penyediaan Bahan Baku Kayu Kelapa Sawit (KKS)
Sampel Kayu Kelapa Sawit (KKS) yang akan digunakan diambil dari bagian
batang, dipotong melintang pada bagian tengah sepanjang 1 meter. Selanjutnya dibelah
membentuk papan dengan ketebalan 5 cm dan kemudian dikeringkan di udara terbuka
selama 8 jam. Papan tersebut dibentuk menjadi spesimen dengan ukuran 5 x 2,5 x 2 cm
lalu speciemen KKS dikeringkan di dalam oven pada suhu 400 C sampai diperoleh berat
konstan.
2 cm
2,5 cm
5
(a) (b)
Gambar 3.1
a. Pemotongan melintang dan bagi spesimen KKS : 1,2,3,4 : Spesimen bagian pinggir (P)
5,6,7,8 : Spesimen bagian tengah (T) 9,10,11,12 : Spesimen bagian inti (I)
b. Spesimen KKS dengan ukuran 5 x 2,5 x 2 cm
3.4.2. Penyediaan Asap – Cair (Fenol Alam)
Penyediaan asap-cair dibuat dari hasil pengasapan dengan sistem destilasi pada
Pengasapan KKS dirancang sedemikian rupa yang mana difusi asap masuk kedalam
kayu, sedangkan untuk asap-cair (fenol alam) dilakukan pada suatu wadah yang telah
disediakan dan perendaman sampel kayu dilakukan over night.
3.4.3. Impregnasi Asap-Cair dan Monomer Reaktif
Dilakukan pengeringan dalam oven dengan suhu 40 0C terhadap spesimen KKS
hingga didapatkan berat konstan. Kemudian direndam dalam gelas ukur 500 ml yang
berisi cair dan monomer reaktif. Proses impregnasi spesimen KKS dengan
asap-cair dan monomer reaktif ini berlangsung selama 48 jam. spesimen KKS hasil
impregnasi ini akan dianalisa dan dikarakterisasi.
3.5. Analisis Asap Cair 3.5.1. AnalisisiGC-MS
Komponen-komponen asap-cair dianalisis menggunakan GC - MS dengan gas
pembawa helium. Terlebih dahulu asap-cair dilarutkan dalam eter, kemudian dilakukan
pemisahan antara fasa yang larut dalam eter dan fasa polarnya. Campuran senyawa yang
akan diawetkan kromatografi gas akan terpisah menjadi komponen-komponen
individual. Untuk beberapa komponen yang dominan akan dianalisa lebih lanjut dengan
spektrometri massa. Sebagai standar digunakan literatur.
3.5.2. Analisis SEM
Analisis SEM dilakukan untuk mempelajari sifat morfologi terhadap sampel
KKS. Dalam hal ini dapat dilihat rongga-rongga KKS kering, asap-cair yang menutupi
aktif. Informasi dari analisa ini akan mendapatkan gambaran dari seberapa baik
bahan-bahan kimia yang digunakan dapat meresap sampai ke pori-pori terdalam dari kayu.
Uji SEM dilakukan untuk mempelajari sifat-sifat morfologi terhadap sampel
KKS. Dalam hal ini dapat dilihat rongga-rongga KKS kering, asap-cair dan reaksi yang
menutupi seluruh pori-pori serta masuknya asap-cair dan reaksi yang terjadi dengan
monomer aktif. Informasi dari analisa ini akan mendapatkan gambaran dari seberapa
baik bahan kimia yang digunakan dapat meresap sampai pori-pori terdalam dari kayu.
Sampel spesimen diletakkan dalam sample (stub) yang terbuat dari logam
setelah terlebih dahulu diberi perekat stik karbon. Kemudian sample spesimen dilapisi
emas bercampur palladium dalam suatu ruangan (vakum evaporator) yang bertekanan
0,1 atm selama 5 menit. Sampel dimasukkan ke dalam ruangan spesimen (spesimen
chamber) dan selanjutnya disinari dengan pancaran elektron bertenaga ± 15 kilovolt
sehingga sample mengeluarkan elektron sekunder dan elektron terpantul yang dapat
dideteksi dengan detektor sintilator dan kemudian diperkuat dengan suatu rangkaian
listrik yang menyebabkan timbulnya gambar pada Cathode Ray Tube. Pemotretan
dilakukan setelah memiliki bagian tertentu dari objek (sample) dengan pembesaran 200
kali sehingga diperoleh foto yang baik dan jelas.
3.5.3. Analisis FT – IR
Analisis FT-IR dilakukan untuk memberikan informasi mengenai perubahan
gugus fungsi akibat reaksi yang terjadi antara asap-cair dengan spesimen KKS dan
antara monomer reaktif dengan spesimen KKS.
Sampel ditimbang ± 1 gram ditambahkan dengan pelet KBr, dipress kemudian
diletakkan pada alat ke arah sinar infra merah. Hasil akan direkam ke dalam kertas
3.5.4. Analisis Termal Diferensial (DTA)
Analisis termal memberikan informasi tentang perubahan fisik sampel, juga
terjadi proses kimia. Sampel ditimbang dengan berat tertentu dalam cawan cuplikan
sampel, kemudian dioperasikan pada kondisi alat tersebut.
3.5.5. Karakterisasi Asap Cair
3.5.5.1. Uji Modulus Patah dan Modulus Elastisitas
Sifat keteguhan lentur patah dan sifat keelastisitas KKS setelah diimpregnasi
dilakukan uji modulus patah dan uji modulus elastisitas. Pengujian modulus patah dan
modulus elastisitas dilakukan dengan alat uji tekan terhadap spesimen. Spesimen
diletakkan di dua titik dari masing-masing kedua bagian ujung spesimen sebagai
penyanggah pada alat uji tekan dan kemudian dikenakan penekanan pada beban 1000 kg
tepat di tengah-tengah spesimen dengan kecepatan 50 mm/menit kemudian dicatat
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakterisasi Awal KKS
Setelah spesimen kering, karakterisasi keadaan awal (sebelum perlakuan
impregnasi) diamati, yang meliputi: modulus patah (MOR), modulus elastisitas (MOE)
menurut prosedur. Data karakteristik spesimen KKS pada keadaan awal ini tercantum
pada tabel 4.1 untuk ketiga jenis spesimen (pinggir, P, tengah T, dan inti, I). Terlihat
bahwa semua parameter fisika dan mekanik pada tabel 4.1. menunjukkan penurunan
dari spesimen bagian pinggir (P) ke bagian tengah (T). Hal ini sesuai sifat alami KKS
yang mengandung jumlah serat lebih banyak dari bagian pinggir bila dibandingkan
dengan bagian tengah dan inti.
Data karakteristik KKS setelah mengalami impregnasi dapat dilihat pada lampiran
4. Dari data tersebut tampak bahwa harga MOR dan MOE rata-rata KKS setelah
impregnasi naik dari harga MOR dan MOE rata-rata KKS sebelum impregnasi.
Bertambahnya harga MOR dan MOE membuktikan bahwa KKS terimpregnasi oleh
beberapa pelarut tersebut. Harga MOR dan MOE yang paling besar terdapat pada asap
cair-formaldehid perbandingan 1:4.
Tabel 4.1. Karakteristik rata-rata spesimen kayu kelapa sawit (KKS) kering
4.2. Analisis Termal Diferensial (DTA)
Untuk mengetahui terjadinya reaksi kimia dan perubahan – perubahan pada suatu materi secara fisik dapat diketahui melalui perubahan energi, bau, warna, dan suhu. Materi disusun oleh ion – ion yang bergerak, berotasi sehingga saling bertumbukan yang menimbulkan panas. Materi tersebut dapat melepaskan panas atau menyerap panas tergantung kebutuhan materi tersebu. Peristiwa ini dinamakan eksoterm dan endoterm. Besarnya panas yang menyebabkan perubahan pada materi tersebut dapat dianalisis dengan DTA. Hasil DTA KKS sebelum impregnasi dapat ditunjukkan pada gambar 4.1.
Gambar 4.1. DTA KKS Sebelum Impregnasi
Hasil dari gambar DTA formaldehid menunjukkan sebelum impregnasi tampak
bahwa KKS bersifat eksoterm (melepaskan panas), Hal ini terjadi karena KKS bersifat
hidrofil yang memiliki banyak susunan – susunan gugus –OH selulosa KKS yang
mudah terurai. Dari kurva tersebut tampak bahwa pada temperatur sekitar 200 oC,
puncak pada temperatur 265 oC, puncak ini diidentifikasi sebagai temperatur
terdegradasi, sedangkan temperatur terdekomposisi (terbakar) pada sekitar 360 oC
Hasil DTA KKS menggunakan asap cair, formaldehid, perbandingan 1 : 4 asap
cair dengan formaldehid dapat ditunjukkan pada gambar 4.2.
Gambar 4.2. DTA KKS Menggunakan Asap Cair dan Formaldehid dengan Perbandingan 1:4.
Hasil dari gambar DTA asap cair tampak bahwa KKS setelah terimpregnasi
bersifat endoterm (menyerap panas). Dari kurva tersebut juga tampak bahwa pada
temperatur sekitar 200 oC, puncak ini diidentifikasi sebagai temperatur leleh. Selain
sebagai temperatur terdegradasi, sedangkan temperatur terdekomposisi (terbakar) pada
sekitar 430 oC
Hasil Dari gambar DTA asap cair dengan formaldehid perbandingan 1 :1 dapat ditunjukkan pada gambar 4.3.
Gambar 4.3. DTA KKS Menggunakan Asap Cair dan Formaldehid dengan Perbandingan 1:1.
Hasil Dari gambar DTA asap cair dengan formaldehid perbandingan 1 :1 menunjukkan sebelum impregnasi tampak bahwa KKS bersifat eksoterm (melepaskan panas), Hal ini terjadi karena KKS bersifat hidrofil yang memiliki banyak susunan – susunan gugus –OH selulosa KKS yang mudah terurai. Dari kurva tersebut tampak bahwa pada temperatur sekitar 200 oC, puncak ini diidentifikasi sebagai temperatur leleh. Selain puncak 200 oC juga muncul puncak pada temperatur 265 oC, 360 oC puncak ini diidentifikasi sebagai temperatur terdegradasi, sedangkan temperatur terdekomposisi (terbakar) pada sekitar 320 oC.
4.3. Analisis Mikroskop Elektron Payaran (SEM) KKS
SEM membantu untuk mengetahui bentuk dan perubahan permukaan dari suatu bahan. Pada prinsipnya bila terjadi perubahan pada suatu bahan misalnya patahan, lekukan dan perubahan struktur dari permukaan, maka bahan tersebut cenderung mengalami perubahan energi. Energi yang berubahn tersebut dapat dipancarkan, dipantulkan dan diserap serta diubah bentuknya menjadi fungsi gelombang elektromagnetik yang dapat ditangkap dan dibaca foto SEM.
Gambar 4.4. Foto SEM KKS Sebelum Impregnasi Perbesaran 100x.
Dari foto di atas tampak bahwa KKS memiliki serat (fibril) dan vascular bundle (bagian yang terang) yang mengelilingi jaringan parenkim (bagian yang gelap) dan jaringan ini mempunyai rongga yang berpori banyak serta besar.
Gambar 4.6. Foto SEM KKS Setelah Impregnasi dengan Asap Cair Perbesaran 150x Dari foto terlihat bahwa rongga-rongga dari jaringan parenkim telah berisi oleh asap cair dan rongga tersebut telah mengecil.
Gambar 4.7. Foto SEM KKS Setelah Impregnasi dengan Asap Cair dengan Formaldehid Perbandingan 1:4 Perbesaran 150x.
Dari foto terlihat bahwa rongga-rongga dari jaringan parenkim (bagian yang gelap) telah terisi oleh asap cair dan formaldehid dan rongga tersebut makin mengecil. Dari keempat gambar di atas dapat dikatakan bahwa telah terjadi perubahan struktur KKS, sehingga dapat dikatakan peristiwa impregnasi telah terjadi.
4.4. Analisis FT-IR
Tabel 4.2. Bilangan Gelombang KKS Awal
Dari lampiran 6 spektra bilangan gelombang dapat dilihat perubahan masing-masing gugus fungsi. Resin. Resin pengimpregnasi terdiri dari asap cair, formaldehid dan campuran asap cair dan formaldehid. Dari spektrum pada tabel 4.2. sebelum impregnasi bilangan gelombang pada 3040,6 cm-1 merupakan gugus OH selulosa KKS yang diperkuat adanya serapan 1060,94 cm-1. Serapan pada daerah 1647,36 cm-1 menunjukkan adanya CH aromatik OOP.
Tabel 4.3. Bilangan Gelombang KKS Impregnasi dengan Penambahan Asap Cair
Spektrum pada tabel 4.3. KKS impregnasi dengan asap cair menunjukkan adanya perbedaan serapan dengan KKS sebelum impregnasi terjadi intensitas perubahan pada gugus OH KKS. Pada daerah 3406 cm-1 menjadi 3373,80 cm-1 yang diperkuat adanya serapan pada daerah 1035,87 cm-1, hal ini terjadi karena ikatan H antar molekul terus bertambah sehingga muncul pita-pita baru. Serapan pada daerah 1595,27 cm-1 menunjukkan adanya senyawa aromatis. Serapan pada daerah 1425,52 cm-1 menunjukkan adanya CH2. Serapan pada daerah 1265,42 cm -1
menunjukkan C-O. Serapan pada daerah 617,28 cm-1 menujukkan adanya CH aromatik OOP.
Sampel Bilangan Gelombang (cm-1) Gugus Fungsi
KKS Awal
Sampel Bilangan Gelombang (cm-1) Gugus Fungsi
KKS Impregnasi
Tabel 4.4. Bilangan Gelombang KKS Impregnasi dengan Penambahan Formaldehid
Dari spektrum pada tabel 4.4. diimpregnasi dengan formaldehid menunjukkan adanya perbedaan serapan dengan KKS sebelum impregnasi terjadi intensitas perubahan pada gugus OH KKS. Pada daerah 3406 cm-1 menjadi 3449,03 cm-1. Hal ini terjadi karena ikatan H antar molekul terus bertambah sehingga muncul pita-pita baru. Serapan pada daerah 1602,99 cm-1 menunjukkan adanya C-C selulosa. Serapan pada daerah 671,29 menunjukkan adanya CH aromatik OOP.
Tabel. 4.5.Bilangan Gelombang KKS Impregnasi dengan Penambahan Asap Cair dan Formaldehid
Dari spektrum pada tabel 4.5. diimpregnasi dengan campuran asap cair dan formaldehid menunjukkan adanya perbedaan serapan dengan KKS sebelum impregnasi terjadi intensitas perubahan pada gugus OH KKS. Pada daerah 3406 cm-1 menjadi 3435,53 cm-1 yang diperkuat dengan adanya serapan pada 1053,23 cm-1, hal ini terjadi karena ikatan H antar molekul terus bertambah sehingga muncul pita-pita baru. Serapan pada daerah 1647,36 cm-1 menunjukkan adanya C-C selulosa. Serapan pada daerah 1419,74 cm-1 menunjukkan adanya C-C selulosa. Serapan pada daerah 644,28 cm-1 menunjukkan adanya CH aromatik OOP.
Sampel Bilangan Gelombang (cm-1) Gugus Fungsi KKS Impregnasi
4.5. Analisa Dengan GC-MS
Berdasarkan analisis GC-MS yang telah dilakukan pada asap cair yang dihasilkan pada suhuh 190-210 oC (data terlampir), dapat dilihat dari kromatogram menunjukkan adanya 3 puncak yang tajam. Hal ini dapat dilhat dari waktu retensi masing-masing puncak yaitu : puncak 1 sebesar 1,892, puncak 2 sebesar 2,308 dan puncak 3 sebesar 7,492, dari ketiga puncak tersebut dihasilkan 3 spektrum massa yang menunjukkan adanya 3 senyawa yaitu: asam asetat, asam propanoat dan fenol.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Sifat mekanik kayu kelapa sawit (KKS) menurun dari spesimen bagian
pinggir (P), tengah (T) dan inti (I).
2. Perendaman spesimen kayu kelapa sawit (KKS) ke dalam asap cair –
formaldehid ternyata dapat meningkatkan sifat mekanik kayu sehingga
dapat digunakan sebagai pengawet kayu.
3. Karakterisasi setelah impregnasi dengan asap cair – formaldehid diperoleh
bahan kayu yang lebih berkualitas. Merujuk ke SNI – 1994 mendekati
kualitas kayu bangunan golongan III.
5.2. Saran
1. Perlu dicari pelarut alternatif yang ramah lingkungan sebagai pengawet
kayu pengganti fenol karena mengingat bersifat toksit.
2. Agar dilakukan penelitian peningkatan kualitas kayu kelapa sawit (KKS)
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrohim, S., (1997). ”Pengawetan Lima Jenis Kayu Untuk Perumahan Secara Rendaman Dingin dengan Bahan Pengawet CCB”. Jurnal Penelitian Hasil Hutan.
Achmadi, S., S., (1990), ”Kimia Kayu”, Penelaah Wasrin Syarii. Institut Pertanian Bogor
Baker (1987), “Controlled Release of Biologically active agent”. John Willey and Sons, New York.
Barbara L. Ilman, Vina W. Yang and Les Ferge (2000) “Bioprocessing Preservative Treated Waste Wood”. Forest Products Laboratory Maedison, WI 53705. Prepared for 31st Annual Meeting. Kona, Hawaii
USA. May 14 – 19.
Billmeyer (1984), “Texbook of Polymer Science” . John Wiley and Sons, Singapore, p. 518.
Bunichiroo Tomitta. Chung Yun Hse. (1998). “Phenol – Urea – Formaldehyde (PUF) cocondensed wood adhesives”. J. Internasional Journal Adhesion & Adhesive 18, 69-79.
C.A.S. Hill., N.S. Cetin. (2000). “Surface activation of wood for graft polymerization”. J. International Journal & Adhesives 20, 71-79
Cowd, M.A. 1991, “Kimia Polimer”. ITB Bandung
Darwin, Y dan Thamrin, 2001. “Pembuatan Kayu Termopalstis dari Batang Kelapa Sawit”. FMIPA-USU
Duljapar, Khaerudin, (1996), ”Pengawetan Kayu”. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.
Dumanauw, F., J., (1990), ”Mengenal Kayu”. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Dwinell (2002), “Fumigating And Heat-Treating In Service Hardwood Pallets” .USDA Forest Service, Southern Research Station, Athens, GA 30605. Annual International Research Conference on Methly Bromide Alternatives and Emmissions Reduction, 6-9 November 2002, Orlando, FL.
Girard (1992), “Smoking in : Technology of Meat Product”. Translated by Bernard Hammings and ATT. Clermont Ferrand. Ellis Horwood, New York.
Guanghoo He, Bernad Riedy (2004), “Curing Cenetics of Phenol Formaldehyde resin and wood-resin interaction in the presence of wood substrates”. J. Wood Sci Techmol 38.
Gunnar Barrefors, Susan Bjorkvist., Olle Romas,. (1996) “Gas Cromotographic Separation Of Volatile Furans From Birchwood Smoke”. J. of Chromatography. A., 753. p. 151 – 155.
Ibachi, et al (2001), “Termite and fungal resistance of in situpolymerized tributyltin acrylate and acetylated Indonesian and USA wood” The International Research Group On Wood Preservation. IRG/WP 00-30219. US Departement of Agriculture, Forest Service, Forest Products Laboratory One Gifford Pinchot Drive Madison, Wisconsin USA 53705-2398
Jenicca Kjallstrand, Olle Rammas, Goran Peterson (1998) “Gas Chromatographic and mass spectrometric analysis of 36 lignin-related methoxyphenols from uncontrolled combustion of wood”. J. of Cromatography A. 824 : 205-210.
Karagnoze (2004), “Effect of Rb and Cs Carbonates for Production of Phenols from Liquifaction of Wood Biomass”. J. Fuel. 83 (2004) 2293 – 2299
Lubis (1994), “ Prospek Industri dengan Bahan Baku Limbah Padat Kelapa Sawit di Indonesia”. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit Medan.
Maga (1987), “Smoke in Food Processing”. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida.
Nihat S. Cetin, Nilgul Ozman (2002). “Use of organosol lignin in phenol-formaldehyde resins for particleboard production”. International Journal Adhesion & Adhesives 22 : 477-480
Prayitno , T., A., (1995), “Bentuk Batang dan Sifat fisika Kelapa Sawit”. Laporan Penelitian Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta
P.A. Atkinson et.al. (2001) “The mechanism of action of tin compounds as flame retardants and smoke suppreseant for polyester thermosets” J. Polymer Degradation and Stability. 71 : 351-360
Pszczola (1995), “Tour Highlights Production and Uses of Smoke Based Flavours”. Food Techn. 49 (1) : 70-74.
Rebecca E. Ibach (1999) “Wood Preservation”. Forest Products Laboratory. Wood Handbook – wood as an enginering material. Gen. Tech. Rep. FPL – GTR – 133. Madision WI : U.S. Departement of Agriculture, Forest Service.
Robbet G. Schmidet, Charles E. Frazier. (1998). “Network Characterization of Phenol formaldehyde thermosetting wood adhesives”. J. International Journal Adhesion & Adhesives 18 : 139 – 146.
Roehyati, J.., (1995) “Prospek Pemanfaatan Lignoselulosa Sebagai Bahan Polimer”. In ProsidingSimposium Nasional Polimer, Jakarta, 11-12 Juli 1995.
Sandip D. Desai, Jigar V, Patel, Vijay Kumar Sinha (2003) “Polyurethane Adhesive system from biomaterial-based polyol for bonding wood”. J. International Journal Adhesion & Adhesive 23 : 293-399.
Seymour (1984), “Structure-Property Relation ship in Polimer”. Plenum Press, New York.
Sjostron (1984), “Kimia Kayu Dasar dan Penggunaan”. Edisi Kedua, UGM Press, Yogyakarta.
Suranto, Yustinius, (2002), “Pengawetan Kayu”. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Suwartono, (2001). ”Karakteristik Sifat Fisik dan Sifat Mekanik Kayu Kelapa Sawit”. USU, Medan
Tasciouglu. C., (2002). “Bound Durability Characterization of Preservative Treated wood and e-glass/Phenolic Composite Interfices”. Abant Izzet Baysal University, Duzce. Turkey.
Tommimura (1992), “Chemical Charateristic of Oil Palm Trunk”. Japan Agric.
Tranggono, dkk (1996). “Identifikasi Asap Cair dari berbagai jenis kayu dan tempurung kelapa”. Seminar Nasional Pangan dan Gizi & Kongres PATPI di Yogyakarta, 10-11 Juni 1996.
Lampiran I. Bagan Alir Prosedur Penelitian
Kayu Kelapa Sawit
Dipotong sesuai ASTM Dikeringkan pada 400C
KKS ukuran tertentu dan berat konstan
Pengasapan
Destilasi pada suhu 100 – 400 0 C
Diasapkan Direndam dengan Fenol Over night
Monomer Reaktif
Katalis Hasil dianalisa dengan
GC - MS
Sampel KKS
Sampel dianalisa
Lampiran 2. Gambar Alat Pembuatan Asap Cair Dengan Kondensasi - Absorbsi
Lampiran 3. Data Pengukuran MOR dan MOE KKS Bagian Pinggir (P), Tengah (T) dan inti (I) Setelah Impregnasi dengan Berbagai Pelarut.
MOR MOE
Bagian Pelarut
Kg/cm2 Kg/cm2
Formaldehid 264 20732
Asap Cair 342 35429
P
Asap Cair-Formaldehid (1:4) 587 54760
Formaldehid 285 11723
Asap Cair 310 13571
T
Asap Cair-Formaldehid (1:4) 380 18984
Formaldehid 135 8860
Asap Cair 141 9248
I
Lampiran 4. Tabel Kekuatan Kayu Bangunan dalam Keadaan Kering Udara
Modulus Elastisitas Lentur Patah Tekan Sejajar Tekan Tegak
(ribuan) Kg/cm2 Kg/cm2 serat Kg/cm2
Kg/cm2
Lampiran 5. Data Pengukuran Modulus Patah (MOR) Rata-Rata Kayu Kelapa Sawit (KKS) Kering
Beban No Spesimen Tebal rata-rata
KKS kering
Lampiran 6. Data Pengukuran Modulus Elastisitas (MOE) Rata-Rata Kayu Kelapa Sawit (KKS) Kering
Beban No Spesimen Tebal rata-rata
Lampiran 7. Spektrum FT-IR Kayu Kelapa Sawit (KKS)
Lampiran 9. Spektrum FT-IR KKS Setelah Impregnasi dengan Asap Cair
Lampiran 11. Data Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Larutan Standar 2 ppm.
Panjang Gelombang (nm) Absorbansi
720 0.0213
Lampiran 12. Data Penentuan Waktu Operasi Larutan Standar Fenol 2 ppm
Waktu (menit) Absorbansi
10 0.0209
15 0.0210
20 0.0235
25 0.0233
30 0.0225
Lampiran 13. Data Penentuan Kurva Kalibrasi Larutan Standar Fenol 2 ppm
Konsentrasi (ppm) Absorbansi
Lampiran 14. Data Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asap Cair
Panjang Gelombang (nm) Absorbansi
400 0.0422
Lampiran 15. Data Penentuan Waktu Operasi Asap Cair
Waktu (menit) Absorbansi
10 0.0430
15 0.0417
20 0.0417
25 0.0410
Lampiran 16. Data Penentuan Kadar Keasaman Asap Cair Pada Berbagai Suhu
Berat Sampel Volu me NaOH 0,01 N (mL) Kadar
3 90-100 0.9246 0.267 0.268 0.265 0.2666 2.8841 Lampiran 18. Grafik Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Larutan Standar
Fenol 2 ppm
710 720 730 740 750 760 770 780 790 800
Panjang Gelombang (nm)
Lampiran 19. Grafik Penentuan Waktu Operasi Larutan Standar Fenol 2ppm
Lampiran 20. Grafik Penentuan Kurva Larutan Standar Fenol
Lampiran 14. Grafik Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asap Cair Dari Cangkang Kelapa Sawit Sawit.
0.000
Lampiran 21. Grafik Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Asap Cari dari Cangkang Kelapa Sawit.
Lampiran 15. Grafik Penentuan Waktu Operasi Asap Cair Dari Cangkang Kelapa
Lampiran 22. Grafik Penetuan Waktu Operasi Asap Cair dari Cangkang Kelapa Sawit.
Lampiran 23. Data Proses Pembuatan Asap Cair Dari Cangkang Kelapa Sawit.
8 122 190-210 130
Lampiran 24. Diagram Waktu Pembuatan Asap Cair Pada Berbagai Suhu
Lampiran 25. Diagram Volume Asap Cair Pada Berbagai Suhu
Lampiran 26. Data Penentuan Kadar Keasaman Asap Cair Pada Berbagai Suhu
6 150-170 0.1375
7 170-190 0.1135
8 190-210 0.1601
Lampiran 27. Diagram Kadar Keasaman Asap Cair Pada Berbagai Suhu
Lampiran 28. Analisis Kual tati if Senyawa Turunan Fenol Asap Cair Pada Berbagai Suhu
Suhu (oC) Warna yang dihasilkan
50-70 Coklat
70-90 Biru kehijauan
90-100 Hijau
Lampiran 29. Data Kadar Senyawa Turunan Fenol Asap Cair Pada Berbagai Suhu
2 70-90 2.7961
Lampiran 30. Diagram Kadar Senyawa Turunan Fenol Asap Cair Pada Berbagai Suhu
Lampiran 31. Data Nilai Indeks Pencoklatan Asap Cair Pada Berbagai Suhu
6 150-170 0.0441
7 170-190 0.043
8 190-210 0.0439
Lampiran 32. Diagram Indeks Pencoklatan Asap Cair Pada Berbagai Suhu.
Lampiran 33. Senyawa Dalam Asap Cair Pada Suhu 190-210 oC
No Nama Senyawa Kimia
Lampiran 34. Kromatogram Senyawa Fenol