TANGGUNG JAWAB SUAMI TERHADAP ANAK AKIBAT PERCERAIAN BERBEDA AGAMA DALAM PERSFEKTIF HUKUM PERDATA (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
HANI RIADHO NASUTION NIM : 100200030
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TANGGUNG JAWAB SUAMI TERHADAP ANAK AKIBAT PERCERAIAN BERBEDA AGAMA DALAM PERSFEKTIF HUKUM PERDATA (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Oleh :
HANI RIADHO NASUTION NIM : 100200030
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
Disetujui Oleh :
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
Dr. H. HASIM PURBA, SH.M.HUM NIP. 196603031985081001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
(Muhammad Hayat, SH) (Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum) NIP: 195008081980021002 NIP: 195902051986012001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Puji dan syukur kehadhirat Allah SWT atas limpahan rahmad,
nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi
dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara. Dan tidak lupa shalawat beriring salam
saya sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah
menuntun umatnya kejalan yang diridhoi Allah SWT.
Adapun skripsi ini berjudul : “Tanggung Jawab Suami
Terhadap Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama Dalam Persfektif
Hukum Perdata (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)”.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak
kekurangan di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap
adanya masukan dan saran yang bersifat membangun untuk dimasa
yang akan datang.
Pelaksanaan penulisan skripsi ini berkat bimbingan, arahan,
serta petunjuk dari Dosen Pembimbing, maka penulisan ini dapat
diselesaikan dengan baik Dalam kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing, dan
memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima
1. Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku Pembantu
Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin,
SH.MH.DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara dan Bapak Muhammad Husni, SH.M.Hum selaku
Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Muhammad Hayat, SH, selaku Dosen Pembimbing I yang telah
banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan,
serta bimbingan di dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini
3. Ibu Rabiatul Syahriah, SH.M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen
Pembimbing II yang telah banyak membantu penulis, dalam memberikan
masukan, arahan-arahan, serta bimbingan di dalam pelaksanaan penulisan
skripsi ini.
4. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
5. Kepada Ayah Abdul Haris Nasution, SH dan Mama Nelli Sari Alam Lubis,
serta keluarga besar atas segala perhatian, dukungan, doa dan kasih
sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum
USU dan yang telah memberikan dukungan kepada penulis.
6. Kepada Mahasiswa/i Fakultas Hukum USU stambuk 2010, Indri Hafni Hrp,
Mutia Ramadhani,Tiffany Yessa, Dara Regina, selama menjalani
7. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini
baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan
satu persatu.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala kesalahan
dan kekurangan saya mohon maaf. Atas perhatiannya saya ucapkan
terima kasih.
Medan, Februari 2013
ABSTRAK
*Muhammad Hayat, SH ** Rabiatul Syahriah, SH.M.Hum
***Hani Riadho Nasution
Perkawinan adalah merupakan hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri.Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,hukum perkawinan di Indonesia masih bersifat pluralistis, dimana masing-masing golongan dalam masyarakat kita mempunyai hukum perkawinan yang berbeda-beda.Tanggung jawab suami terhadap anak akibat perceraian berbeda agama dalam persfektif hukum perdata (studi kasus Pengadilan Negeri Medan). Permasalahan yang diajukan adalah bagaimanakah perlindungan terhadap anak akibat perceraian,bagaimanakah status anak akibat perceraian berbeda agama,apakah tanggung jawab suami terhadap anak akibat perceraian berbeda agama dalam persfektif hukum perdata,bagaimana kasus posisi berdasarkan kasus posisi berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Medan No.144/Pdt.G/2012/PN.MDN.
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang bersifat deskriptif realitis, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara hasil putusan dari Pengadilan Negeri Medan.Jenis data yang digunakan adalah data sekunder.
Hasil penelitian adalah perlindungan terhadap anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar hidup tumbuh dan berkembang.Status anak akibat perceraian diketahui bahwa anak memiliki status sejak ia dilahirkan.Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak.Akan tetapi bilamana bapak dalam kenyataan tidak sanggup atau tidak dapat memberitau memenuhi kewajiban tersebut,Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.Kasus posisi berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Medan bahwa tergugat telah memenuhi kewajiban terhadap anak-anaknya dengan membiayai nafkah anak ,memberikan biaya keperluan dan pendidikan anak-anaknya.
Kata Kunci: Tanggung Jawab,Perceraian, Beda Agama
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
ABSTRAK ... iv
DAFTAR ISI ... vi
BAB I PENDAHULUAN……… ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 8
C. Tujuan Penulisan ... 8
D. Manfaat Penulisan ... 9
E. Keaslian Penulisan ... 9
F. Metode Penelitian ... 10
G. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN……….. 14
A. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata ... 14
B. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan ... 17
C. Perkawinan Berbeda Agama Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata ... 28
D. Pengertian Perceraian………..……….. 34
E. Akibat Dari Suatu Perceraian..……….. 38
A. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang ... 47
B. Hak Dan Kewajiban Anak. ... 53
C. Makna Kehadiran Anak Dalam Sebuah Keluarga ... 60
BAB IV TANGGUNG JAWAB SUAMI TERHADAP ANAK AKIBAT PERCERAIAN BERBEDA AGAMA DALAM PERSFEKTIF HUKUM PERDATA BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN No.144/Pdt.G/2012/PN.Mdn……….. 63
A. Perlindungan Terhadap Anak Akibat Perceraian…………... 63
B. Status Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama ………….. 67
C. Tanggung Jawab Suami Terhadap Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Perdata ... 69
D. Kasus Posisi Berdasarkan Keputusan Pengadilan Negeri Medan No.144/Pdt.G/2012/PN.MDN. ... 75
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….... 88
A. Kesimpulan ... 88
B. Saran ... 90
ABSTRAK
*Muhammad Hayat, SH ** Rabiatul Syahriah, SH.M.Hum
***Hani Riadho Nasution
Perkawinan adalah merupakan hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri.Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,hukum perkawinan di Indonesia masih bersifat pluralistis, dimana masing-masing golongan dalam masyarakat kita mempunyai hukum perkawinan yang berbeda-beda.Tanggung jawab suami terhadap anak akibat perceraian berbeda agama dalam persfektif hukum perdata (studi kasus Pengadilan Negeri Medan). Permasalahan yang diajukan adalah bagaimanakah perlindungan terhadap anak akibat perceraian,bagaimanakah status anak akibat perceraian berbeda agama,apakah tanggung jawab suami terhadap anak akibat perceraian berbeda agama dalam persfektif hukum perdata,bagaimana kasus posisi berdasarkan kasus posisi berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Medan No.144/Pdt.G/2012/PN.MDN.
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang bersifat deskriptif realitis, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara hasil putusan dari Pengadilan Negeri Medan.Jenis data yang digunakan adalah data sekunder.
Hasil penelitian adalah perlindungan terhadap anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar hidup tumbuh dan berkembang.Status anak akibat perceraian diketahui bahwa anak memiliki status sejak ia dilahirkan.Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak.Akan tetapi bilamana bapak dalam kenyataan tidak sanggup atau tidak dapat memberitau memenuhi kewajiban tersebut,Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.Kasus posisi berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Medan bahwa tergugat telah memenuhi kewajiban terhadap anak-anaknya dengan membiayai nafkah anak ,memberikan biaya keperluan dan pendidikan anak-anaknya.
Kata Kunci: Tanggung Jawab,Perceraian, Beda Agama
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu produk badan legislatif di negara kita yang menyentuh secara
langsung penghidupan masyarakat bangsa kita adalah UU Perkawinan nasional
yang di undangkan tanggal 1 Oktober 1975 yakni sejak berlakunya Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaannya .Untuk
kelancaran dan ketentuan-ketentuan UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaanya
tersebut, di keluarkan pula petunjuk pelaksanaannya, antara lain termuat dalam
Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 , Peraturan Menteri Agama No. 4
Tahun 1975 , Intruksi Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam No.
D/INS/117/1975 , dan Petunjuk–petunjuk Mahkamah Agung Mengenai
Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
tanggal 20 Agustus 1975 No. MA/Pemb/0807/75. Tujuh setengah tahun kemudian
setelah UU Perkawinan ini berlaku secara efektif , keluarlah pula Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990
tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (TAMBAHAN
LNRI No. 3250) yang mulai berlaku sejak di undangkan tanggal 21 April 1983.
Ketentuan-Ketentuan teknis Peraturan Pemerintah ini termuat di dalam Surat
Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara No. 08/SE/1983 tanggal
Kehadiran undang-undang yang mengatur segala masalah perkawinan yang
selaras dengan perkembangan dan dinamikanya masyarakat ini,sebenarnya sudah
lama sekali didambakan oleh masyarakat bangsa kita, bahkan sejak tahun
limapuluhan. Akan tetapi karena beberapa hambatan maka baru pada awal tahun
1974 berhasil diciptakan UU Perkawinan nasional yang bersifat unifikasi yang
berlaku bagi seluruh warganegara Indonesia.1
Selama ini, nampaknya harapan-harapan yang dicanangkan dalam UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 ini belum semuanya tercapai dengan
menggembirakan, malahan sebagian harapan masih tinggal harapan.Ini justru
karena belum dapat dilaksanakannya undang-undang tersebut secara keseluruhan
sebagaimana mestinya.
Tidak tercapainya apa yang menjadi tujuan dari suatu undang-undang
memang suatu hal yang wajar, karena tidak ada undang-undang di dunia ini yang
dapat mencapai seratus persen tujuannya. Akan tetapi khusus buat UU Perkawinan
No. 1 Tahun 1974, titik-titik lemah yang menyebabkan belum dapat dijalankan
sepenuhnya undang-undang ini kiranya dapat kita identifikasi dengan mudah. Di
antaranya karena sarana dan prasarana yang belum memadai, aparat pelaksananya
masih kurang baik kualitasnya maupun kuantitasnya, dan kesadaran hukum
masyarakat kita yang masih belum mapan. Hal yang terakhir ini merupakan titik
lemah yang paling mendasar dalam pelaksanaan hampir semua peraturan
perundang-undangan di negara kita, termasuk UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974
1
dan seperangkat peraturan pelaksanaanya. Kelemahan ini secara perlahan-lahan
akan dapat diatasi dengan melakukan penyuluhan-penyuluhan hukum kepada
masyarakat, antara lain dengan cara menyebarluaskan tulisan-tulisan yang
menguraikan dan mengupas kaidah-kaidah, asas-asas dan tujuan-tujuan serta
dasar-dasar pemikiran yang terkandung dalam UU Perkawinan tersebut maupun
peraturan-peraturan pelaksanaannya tersebut dapat diterima dan dipatuhi oleh
masyarakat bukan sebagai sesuatu yang dipaksakan akan tetapi dirasakan sebagai
suatu keharusan. 2
Sebelum lahirnya UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, hukum perkawinan
di Indonesia masih bersifat pluralistis, dimana masing-masing golongan dalam
masyarakat kita mempunyai hukum perkawinan yang berbeda-beda. yaitu:
1) Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum
agama dalam Hukum Adat.
2) Bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat
3) Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks
Ordonnantie Christen Indonesia (S. 1933 No. 74).
4) Bagi orang-orang Timur Asing Cina dan Warganegara Indonesia keturunan
Cina berlaku Ketentuan-Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dengan sedikit perubahan.
5) Bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warganegara Indonesia
keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku Hukum Adat mereka dan.
2
6) Bagi orang-orang Eropa dan warganegara Indonesia keturunan Eropa dan
yang dipersamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
Dengan lahirnya undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
pada tanggal 2 Januari 1974 yang mulai berlaku secara efektif sejak tanggal 1
Oktober 1975 yakni sejak mulai berlakunya PP No. 9 Tahun 1975 sebagai
peraturan pelaksanaannya, maka perceraian tidak dapat bisa lagi dilakukan dengan
semaunya seperti banyak terjadi pada masa sebelumnya,melainkan harus dengan
prosedur tertentu dan hanya boleh dilakukan kalau ada alasan/alasan-alasan yang
dapat di benarkan.
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan perceraian
menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut di bawah ini:
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk,
pemadat,penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b) Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami/istri.
f) Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah
tangga.3
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan perceraian di
atas ini termuat dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun
1974, kemudian diulangi kembali dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 peraturan
pelaksanaannya.
Pegawai Negeri Sipil yang ingin melakukan perceraian,selain harus
mengindahkan ketentuan umum sebagaimana termuat dalam Undang-undang No.1
Tahun 1974 dan Peraturan Pelaksanaannya PP No. 9 Tahun 1975 yang telah
diuraikan, juga harus mengindahkan ketentuan khusus bagi Pegawai Negeri Sipil
yang termuat dalam PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990 , yang ada
mengatur mengenai izin perceraian.
Izin untuk melakukan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yang diatur
dalam PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990, pengaturannya hampir
sama dengan izin untuk melakukan poligami bagi Pegawai Negeri Sipil pria, dan
izin menjadi istri kedua/ketiga/keempat bagi Pegawai Negeri Sipil wanita.
3
Pegawai Negeri Sipil yang ingin melakukan perceraian,wajib memperoleh
izin lebih dahulu dari pejabat. Untuk ini ia harus terlebih dahulu mengajukan
permintaan secara tertulis (Pasal 3), melalui saluran hirarki yang ada dalam
lingkungan dimana yang bersangkutan bekerja (Pasal 5 ayat (2)).Dalam surat
permintaan izin bercerai harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari
permintaan izi tersebut.4
Sejarah lahirnya hukum di Indonesia
Perhatian terhadap anak sudah ada sejalan dengan peradaban manusia itu
sendiri, yang dari ke hari semakin berkembang. Anak adalah putra kehidupan,
masa depan bangsa dan negara. Oleh karena itu anak memerlukan pembinaan,
bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik, mental dan spiritualnya secara
maksimal.
Dalam perundang-undangan perhatian terhadap anak sudah dirumuskan
sejak Tahun 1925, ditandai dengan lahirnya Stb. 1925 No. 647 Juncto Ordonasi
1949 No. 9 yang mengatur Pembatasan Kerja Anak Dan Wanita.Kemudian Tahun
1926 lahir pula Stb. 1926 No. 87 yang mengatur Pembatasan Anak dan Orang
Muda bekerja di atas kapal,selanjutnya pada tanggal 8 Maret 1942 lahirlah Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),yang disahkan mulai berlaku pada
tanggal 26 Februari 1946.
4
Dalam hukum kita, terdapat pluralisme mengenai kriteria anak,ini sebagai
akibat tiap-tiap peraturan perundang-undangan mengatur secara tersendiri kriteria
tentang anak sebagai berikut:
1) Undang-undang Pengadilan Anak
Undang-undang Pengadilan Anak (Undang-Undang No. 3 Tahun 1997)
Pasal 1 (2) merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam perkara Anak
Nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.
Jadi anak dibatasi dengan umur antara 8 (delapan) tahun sampai
berumur 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan syarat kedua si anak
belum pernah kawin. Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan
ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak sedang
terikat dalam perkawinan atau perkawinannya putus karena perceraian,
maka si anak dianggap sudah dewasa walaupun umurnya belum genap
18 (delapan belas) tahun.
2) Anak menurut Hukum Perdata
Pasal 330 KUH Perdata mengatakan, orang belum dewasa adalah
mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun
B. Permasalahan
Bedasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan
yang akan dibahas dalam skripsi ini,yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perlindungan terhadap anak akibat perceraian?
2. Bagaimanakah status anak akibat perceraian berbeda agama?
3. Apakah tanggung jawab suami terhadap anak akibat perceraian berbeda
agama dalam persfektif hukum perdata?
4. Bagaimana kasus posisi berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Medan
No.144/Pdt.G/2012/PN.MDN.
C. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui tentang perlindungan terhadap anak akibat perceraian
berbeda agama.
2. Untuk mengetahui status anak dalam perceraian.
3. Untuk mengetahui tanggung jawab bapaknya terhadap anak akibat dari
D. Manfaat Penulisan
Sedangkan yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini adalah
1. Secara teoritis penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi mahasiswa
yang tertarik pada bidang keperdataan khususnya mengenai masalah yang
timbul akibat perkawinan dan perceraian berbeda agama serta dapat
dijadikan sebagai bahan referensi bagi perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara. Dengan adanya tulisan ini kiranya dapat
memberikan pengetahuan umum mengenai hasil putusan mengenai
tanggung jawab suami terhadap anak akibat perceraian berbeda agama
dalam persfektif hukum perdata (analisis Putusan Pengadilan Negeri
Medan No.144/Pdt.G/2012/PN.Mdn).
2. Secara praktis tulisan ini dapat memberikan jawaban atas masalah yang
diteliti, melatih mengembangkan pola piker yang sistematis serta mengukur
kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang telah
diperoleh.
E. Keaslian Penulisan
Bahwa skripsi ini yang membahas tentang Tanggung Jawab Suami
Terhadap Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum
Perdata yang bermasalah , merupakan hasil karya dan ide sendiri yang sudah
diperiksa diperpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan tidak
adanya judul yang sama. Jika ada judul yang mirip dengan judul penulisan skripsi
Berdasarkan pertimbangan khusus inilah maka timbul ide atau niat penulis
untuk mengangkat judul skripsi tersebut di atas dengan harapan dapat memberi
inspirasi-inspirasi, selanjutnya bagi mereka yang ingin mengetahui tentang
Tanggung Jawab Suami Terhadap Anak Akibat Perceraian Berbeda Agama Dalam
Persfektif Hukum Perdata. Untuk hal tersebut penulis berpedoman pada
buku-buku tentang hukum pada permasalahan atau tema yang sama, serta adapun
berpedoman pula kepada peraturan-peraturan yang berlaku.
F. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Sifat / Jenis Penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini
adalah bersifat deskriptif analitis mengarah kepada penelitian yuridis normatif,
yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang
tertulis atau bahan hukum yang lain.
2. Sumber Data
Sumber data penelitian ini diambil berdasarkan data sekunder. Data sekunder
didapatkan melalui :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan – bahan hukum yang mengikat, yakni
seperti KUH Perdata,Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974,Riduan
Syahrani,H.Hilman Hadikusuma,Martiman Prodjohamidjojo.
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti : putusan pada Pengadilan Negeri Medan dengan
seperti buku, yurisprudensi, buku-buku ilmiah,undang-undang, majalah,
internet,. ataupun jurnal yang mengulas tentang tanggung jawab suami
terhadap sebagai bahan acuan dalam pembahasan skripsi ini. Penelitian ini
memberikan porsi yang sama antara penelitian kepustakaan. Untuk itu
digunakan metode library research (penelitian pustaka) yaitu dengan
mengadakan penelitian terhadap data-data yang diperoleh dari
yurisprudensi, buku-buku ilmiah, yang telah disebutkan sebelumnya itu.
c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup :
1) Bahan – bahan yang memberi petunjuk – petunjuk maupun
penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder.
2) Bahan – bahan primer, sekunder dan tertier ( penunjang ) di luar
bidang hukum seperti kamus, insklopedia, majalah, koran, makalah
dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan
3. Alat Pengumpulan Data
Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini
adalah melalui putusan Pengadilan Negeri Medan No 144/Pdt.G/2012/PN.Mdn.
4. Analisis Data
Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan,
putusan Pengadilan Negeri Medan,dan hasil penelitian ini menggunakan analisa
kualitatif.Dan beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan
G. Sistematika Penulisan
Materi skripsi ini pada garis besarnya terbagi menjadi lima bab, dimana di
dalam setiap bab masih terbagi lagi menjadi beberapa sub bab, yaitu sebagai
berikut :
BAB I : Isinya merupakan Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang,
Permasalahan, Tujuan Dan Manfaat Penulisan, Keaslian
Penulisan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II : Isinya merupakan Tinjauan Umum Tentang Perkawinan
yang terdiri dari : Pengertian Perkawinan,Syarat-Syarat Sahnya
Perkawinan,Perkawinan Berbeda Agama Menurut Undang-Undang
No 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata,Pengertian Perceraian,Akibat
Dari Suatu Perceraian.
BAB III : Isinya merupakan Kedudukan Anak Dalam Perkawinan
Berdasarkan Undang-Undang yang terdiri dari Pengertian Anak
Menurut Undang-Undang,Hak Dan Kewajiban Anak,Makna
Kehadiran Anak Dalam Sebuah Keluarga.
BAB IV : Isinya merupakan Tanggung Jawab Suami Terhadap Anak Akibat
Perceraian Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Perdata
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Medan yang terdiri dari
Perlindungan Terhadap Anak Akibat Perceraian,Status Anak Akibat
Perceraian Berbeda Agama,Tanggung Jawab Suami Terhadap Anak
Perdata,Kasus Posisi Berdasarkan Keputusan Pengadilan Negeri
Medan No.144/Pdt.G/2012/PN.MDN.
BAB V : Merupakan kesimpulan dan saran berdasarkan apa yang telah
dikemukakan pada bab–bab sebelumnya sebagai hasil dari
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN
A. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dan KUH Perdata
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5
Subekti mengatakan bahwa perkawinan adalah pertalian yang sah antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.
6
Beberapa aturan syari’at perkawinan Islam yang telah menjadi bagian dari
sistem hukum positif Indonesia,antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
c. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;dan
d. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perkawinan dan
Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.7
5
Ibid , hal 12
6
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Bandung, 1992, hal.11.
7
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan
sumber hukum perkawinan yang mengatur secara lengkap dan modern tentang
perkawinan dan perceraian.Sebenarnya undang-undang ini jauh lebih sempurna
dan lengkap mengenai substansi yang diatur di dalamnya,baik berupa asas-asas
maupun norma-norma hukum perkawinan dan perceraian serta kehidupan
berkeluarga.
Perbuatan tersebut perlu menjadi fokus kajian untuk diketahui motivasi,
alasan, dan tujuannya sehingga dapat dicari solusi yang tepat untuk diatasi atau
dicegah terjadinya pelanggaran yang berdampak luas bagi kehidupan berbangsa
dan bernegara.Dampak tersebut, antara lain, berupa pengacauan administrasi
kependudukan, status kewarganegaraan, perlindungan istri dan anak, serta harta
kekayaan mereka.Hal ini akan menjadi masalah dalam kehidupan rumah tangga
dan keluarga,baik selama perkawinan maupun jika terjadi perceraian suami istri.
Berdasar pada beberapa kelemahan tersebut di atas, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 mengatur beberapa asas yang dapat berfungsi sebagai
penghambat dan mengatur sedemikian rupa dalam pasal-pasalnya guna mencegah
terjadinya pelanggaran, baik terhadap asas-asas maupun terhadap norma-norma
yang terjelma dalam rumusan pasal-pasal Undang-Undang Perkawinan. Asas-asas
dimaksud,antara lain, asas suka rela, asas partisipasi keluarga,asas perceraian
asas kebaikan derajat kaum wanita, dan asas keharusan pencatatan perkawinan dan
perceraian maupun pejabat pencatat perkawinan dan perceraian.8
Rumusan perkawinan di atas ini merupakan rumusan Undang-undang No. 1
Tahun 1974 yang dituangkan dalam Pasal 1. Dalam penjelasannya disebutkan:
’’Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertamanya ialah ke-Tuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian,sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani,tetapi unsur bathin/rohani juga mempunyai peranan yang penting”9
Rumusan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 di atas
ini pada dasarnya mengandung inti dan tujuan yang sama dengan
rumusan-rumusan perkawinan dari para ahli/sarjana .
Menurut Anwar Harjono mengatakan Pernikahan adalah suatu perjanjian
suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk
keluarga bahagia.Dari rumusan perkawinan tersebut jelaslah bahwa perkawinan itu
tidak hanya merupakan ikatan lahir saja atau ikatan bathin saja , akan tetapi ikatan
kedua-duanya .
Sebagai ikatan lahir ,perkawinan merupakan hubungan antara seorang pria
dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri.ikatan lahir ini
merupakan hubungan formal yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan
dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat. Ikatan lahir ini terjadi dengan
adanya upacara perkawinan yakni pengucapan akad nikah bagi yang beragama
Islam .
8
Ibid , hal. 69
9
Sebagai ikatan bathin , perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin
karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang
wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri . Dalam taraf permulaan , ikatan
bathin ini diawali dan ditandai dengan adanya persetujuan dari calon mempelai
untuk melangsungkan perkawinan . Selanjutnya dalam hidup bersama ikatan
bathin ini tercermin dari adanya kerukunan suami istri yang bersangkutan .
Terjalinnya ikatan lahir dan ikatan bathin merupakan dasar utama dalam
membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal .
Dalam rumusan perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 itu
tercantum juga tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal . Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan
bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan , akan
tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya , dan tidak boleh diputuskan
begitu saja .Karenanya tidak diperkenankan perkawinan yang hanya dilangsungkan
untuk sementara waktu saja seperti kawin kontrak . Pemutusan perkawinan dengan
perceraian hanya diperbolehkan dalam keadaan yang sangat terpaksa .10
B. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan
Kata sah berarti menurut hukum yang berlaku,kalau perkawinan itu
dilaksanakan tidak menurut tata-tertib hukum yang telah ditentukan maka
perkawinan itu tidak sah. Jadi kalau tidak menurut aturan Undang-undang No 1
10
Tahun 1974 berarti tidak sah menurut perundangan, kalau tidak menurut aturan
hukum agama berarti tidak sah menurut agama, begitu pula kalau tidak menurut
tata-tertib hukum adat tidak sah menurut hukum adat.11
Syarat Materil dan Formal:
Syarat adalah segala hal yang harus dipenuhi menurut ketentuan peraturan
undang-undang. Syarat perkawinan adalah segala hal mengenai perkawinan yang
harus dipenuhi menurut ketentuan peraturan undang-undang sebelum perkawinan
dilangsungkan. Syarat perkawinan itu banyak dan telah dirinci dalam ketentuan
Undang-Undang Perkawinan.
Syarat perkawinan diklasifikasikan menjadi dua kelompok,yaitu:
a. Syarat materil(subjektif)
Syarat materil adalah syarat-syarat yang ada dan melekat pada diri
pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan.Karena itu, disebutjuga syarat
subjektif.
b. Syarat formal (objektif)
Syarat formal adalah tata cara dan prosedur melangsungkan perkawinan
menurut hukum agama dan Undang-Undang yang disebut juga syarat objektif.
11
Syarat-syarat perkawinan yang dibahas dalam uraian ini hanya terbatas
pada syarat materil (subjektif). Syarat materil (subjektif) tersebut meliputi syarat
materil perkawinan monogami.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan
perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut di
bawah ini , sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 s/d 12 :
1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai:
Pasal 6 ayat (1) :Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.Pada penjelasannya disebutkan:Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun’’
Syarat perkawinan ini memberikan suatu jaminan agar tidak terjadi lagi adanya
perkawinan paksa dalam masyarakat kita. Ketentuan ini sudah selayaknya
mengingat masalah perkawinan sebenarnya merupakan urusan pribadi seseorang
sebagai bagian daripada hak asasi manusia. Sehingga oleh karena itu maka sudah
seharusnya apabila urusan perkawinan ini lebih banyak diserahkan kepada
keinginan masing-masing pribadi untuk menentukan pilihan sendiri siapa yang
akan dijadikan kawan hidup dalam berumah tangga. Pilihan ini harus benar-benar
dilakukan secara bebas tanpa ada paksaan dari pihak manapun juga.
2. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21
Tahun
Syarat perkawinan ini disebutkan dengan jelas dalam Pasal 6 ayat (2) , (3) , (4) ,
Pasal 6 ayat (2) : Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
Pasal 6 ayat (3) : Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin maksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. Pasal 6 ayat (4) : Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
Pasal 6 ayat (5) : Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya , maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2) , (3) dan (4) pasal ini.
Pasal 6 ayat (6) : Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain12
3. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan calon mempelai wanita
sudah mencapai 16 Tahun
Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan:
’’Perkawinan hanya boleh diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.”
Ketentuan Undang-undang perkawinan ini adalah untuk mencegah
terjadinya perkawinan anak-anak yang masih di bawah umur . Sehingga oleh
karena itu perkawinan gantung yang dikenal dalam masyarakat ataupun juga tidak
diperkenankan.Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak
dalam hubungan darah yang tidak boleh kawin.
12
Hubungan darah yang tidak boleh kawin menurut Undang-undang
Perkawinan pada pasal 8 adalah sebagai berikut:
a) Hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah
b) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara,antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan
saudara neneknya
c) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri
d) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan , anak susuan , saudara susuan dan
bibi/paman susuan
e) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri,
dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang
f) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku ,
dilarang kawin.
4. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain
Syarat untuk melangsungkan perkawinan ini tercantum dalam Pasal 9
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan : Seorang yang masih terikat
tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi , kecuali dalam hal yang
tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.13
13
Pasal 3 menyatakan:
Pasal 3 Ayat (1) :Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
Pasal 3 Ayat (2):Pengadilan dapat member izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
5. Bagi suami istri yang telah bercerai lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai
lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka
kawin kembali untuk ketiga kalinya
Dalam Pasal 10 Undang-undang perkawinan disebutkan: ”Oleh karena
perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga
yang kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan
harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan
ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga
suami maupun istri benar-benar saling menghargai satu sama lain.
6. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda
Menurut Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 waktu tunggu
tersebut diatur sebagai berikut :
1.Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2)
undang-undang ditentukan sebagai berikut:
a) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan
130 (seratus tiga puluh) hari
b) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tungu bagi yang
sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang
bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari
c) Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,
waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan
2. Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian
sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi
hubungan kelamin.
3. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu dihitung sejak
jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap
sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian tenggang waktu tunggu
dihitung sejak kematian suami.14
Syarat-Syarat perkawinan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dicantumkan pada buku ke satu tentang orang, Bab ke empat, bagian ke satu
tentang perkawinan mulai dari Pasal 27 sampai Pasal 49:
Pasal 27: Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat oleh perkawinan dengan satu orang perempuan saja; seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja.
Pasal 28: Asas perkawinan menghendaki adanya persetujuan bebas dari calon suami dan calon istri.
Pasal 29: Laki-laki yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur lima belas tahun penuh, tidak diperkenankan mengadakan perkawinan. Namun jika ada alasan-alasan penting, pemerintah berkuasa menghapuskan larangan ini dengan memberikan dispensasi.
14
Pasal 30: Perkawinan dilarang antara mereka yang satu sama lainnya mempunyai hubungan darah dalam garis ke atas maupun garis ke bawah, baik karena kelahiran yang sah maupun karena kelahiran yang tidak sah, atau karena perkawinan; dalam garis ke samping, antara kakak-beradik laki-perempuan, sah atau tidak sah.
Pasal 31 KUH Perdata Perkawinan juga dilarang karena alasan-alasan berikut:
1.Antara ipar laki-laki dan ipar perempuan, sah atau tidak sah, kecuali bila suami atau istri yang menyebabkan terjadinya periparan itu telah meninggal atau bila atas dasar ketidakhadiran si suami atau si istri telah diberikan izin oleh hakim kepada suami atau istri yang tinggal untuk melakukan perkawinan lain;
2.Antara paman atau paman orang tua dan kemenakan perempuan atau anak perempuan kemenakan, demikian pula antara bibi atau bibi orang tua dan kemenakan laki-laki atau anak laki-laki kemenakan, yang sah atau tidak sah. Jika ada alasan-alasan penting, pemerintah dengan memberi dispensasi, berkuasa menghapuskan larangan yang tercantum dalam pasal ini.
Pasal 32: Seseorang yang dengan keputusan pengadilan telah dinyatakan melakukan zinah, sekali-kali tidak diperkenankan kawin dengan pasangan zinahnya itu.
Pasal 33: Antara orang-orang yang perkawinannya telah dibubarkan sesuai dengan ketentuan pasal 199 nomor 3? atau 4?, tidak boleh untuk kedua kalinya dilaksanakan perkawinan kecuali setelah lampau satu tahun sejak pembubaran perkawinan mereka yang didaftarkan dalam daftar catatan sipil. Perkawinan lebih lanjut antara orang-orang yang sama dilarang.
Pasal 34: Seorang wanita tidak boleh melakukan perkawinan baru, kecuali setelah lampau jangka waktu tiga ratus hari sejak pembubaran perkawinan yang terakhir.
meninggal atau berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang lain.
Pasal 36: Selain izin yang diharuskan dalam pasal yang lalu, anak-anak sah yang belum dewasa memerlukan juga izin dari wali mereka, bila yang melakukan perwalian adalah orang lain daripada ayah atau ibu mereka; bila izin itu diperlukan untuk kawin dengan wali itu atau dengan salah satu dari keluarga sedarahnya dalam garis lurus, diperlukan izin dari wali pengawas. Bila wali atau wali pengawas atau ayah atau ibu yang telah dipecat dari kekuasaan orang tua atau perwaliannya, menolak memberi izin atau tidak dapat menyatakan kehendaknya, maka berlakulah alinea kedua pasal yang lalu, asal orang tua yang tidak dipecat dari kekuasaan orang tua atau dari perwaliannya atas anaknya telah memberikan izin itu.
Pasal 37: Bila ayah dan ibu telah meninggal atau berada dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendak mereka, maka mereka masing-masing harus digantikan oleh tua mereka, sejauh mereka masih hidup dan tidak dalam keadaan yang sama. Bila orang lain daripada orang-orang tersebut di atas melakukan perwalian atas anak-anak dibawah umur itu, maka dalam hal seperti yang dimaksud dalam alinea yang lalu, si anak memerlukan lagi izin dari wali atau wali pengawas, sesuai dengan perbedaan kedudukan yang dibuat dalam pasal yang lalu. Alinea kedua pasal 35 berlaku, bila antara mereka yang izinnya diperlukan menurut alinea satu atau alinea dua pasal ini ada perbedaan pendapat atau bila salah satu atau lebih tidak menyatakan pendiriannya.
Pasal 38: Bila ayah dan ibu serta kakek dan nenek si anak tidak ada, atau bila mereka semua berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendak mereka, anak sah yang masih di bawah umur tidak boleh melakukan perkawinan tanpa izin wali dan wali pengawasnya. Bila baik wali maupun wali pengawas, atau salah seorang dari mereka, menolak untuk memberi izin atau tidak menyatakan pendirian, maka pengadilan negeri di daerah tempat tinggal anak masih di bawah umur, atas permohonannya berwenang memberi izin untuk melakukan perkawinan, setelah mendengar dan memanggil dengan sah wali, wali pengawas, dan keluarga sedarah atau keluarga semenda.
antara mereka yang izinnya diperlukan menurut alinea pertama dan kedua, dan salah seorang atau lebih menolak memberikan izin itu, maka pengadilan negeri di daerah hukum tempat tinggal anak yang di bawah umur itu, atas permohonan si anak berkuasa memberi izin untuk melakukan perkawinan, setelah mendengar atau memanggil dengan sah mereka yang izinnya diperlukan. Bila baik ayah maupun ibu yang mengakui anak di bawah umur itu telah meninggal atau berada dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendak mereka, diperlukan izin dari wali dan wali pengawas. Bila kedua-duanya atau salah seorang menolak untuk memberi izin, atau tidak menyatakan pendirian, maka berlaku pasal 38 alinea kedua, kecuali apa yang ditentukan di situ mengenai keluarga sedarah atau keluarga semenda.
Pasal 40: Anak tidak sah yang tidak diakui, tidak boleh melakukan perkawinan tanpa izin wali atau wali pengawas, selama ia masih di bawah umur. Bila kedua-duanya, atau salah seorang, menolak untuk memberikan izin atau untuk menyatakan pendirian, pengadilan negeri di daerah hukum tempat tinggal anak yang masih di bawah umur itu, atas permohonannya, berkuasa memberikan izin untuk setelah mendengar atau memanggil dengan sah wali atau wali pengawas si anak.
Pasal 41: Penetapan-penetapan pengadilan negeri dalam hal-hal yang termaksud dalam enam pasal yang lalu, diberikan tanpa bentuk hukum acara. Penetapan-penetapan itu, baik yang mengabulkan permohonan izin, maupun yang menolak, tidak dapat dimohonkan banding. (s.d.u. dg. S. 1927-456.) Mendengar mereka yang izinnya diperlukan seperti yang termaksud dalam enam pasal yang lalu, bila mereka bertempat tinggal di luar kabupaten tempat kedudukan pengadilan negeri itu, boleh dilimpahkan kepada pengadilan negeri di tempat tinggal atau tempat kedudukan mereka, dan pengadilan negeri ini akan menyampaikan berita acaranya kepada pengadilan negeri yang disebut pertama. Pemanggilan mereka yang izinnya diperlukan, dilakukan dengan cara seperti yang ditentukan dalam pasal 333 terhadap keluarga sedarah dan keluarga semenda. Mereka yang disebut pertama, ataupun mereka yang disebut terakhir, boleh mewakilkan diri dengan cara seperti yang tercantum dalam pasal 334.
Pasal 42: Anak sah, yang telah dewasa, tetapi belum genap tiga puluh tahun, juga wajib untuk mohon izin ayah dan ibunya untuk melakukan perkawinan. Bila ia tidak memperoleh izin itu, ia boleh memohon perantaraan pengadilan negeri tempat tinggalnya, dan dalam hal itu harus diindahkan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal berikut.
dan si ibu, beserta anak itu, agar dalam suatu sidang tertutup kepada mereka diberi penjelasan-penjelasan yang dianggap berguna oleh pengadilan demi kepentingan mereka masing-masing. Mengenai pertemuan pihak-pihak tersebut harus dibuat berita acara tanpa mencantumkan alasan-alasan yang mereka kemukakan.
Pasal 44: Bila baik ayahnya maupun ibunya tidak hadir, perkawinan dapat dilangsungkan dengan penunjukan akta yang memperlihatkan ketidakhadiran itu.
Pasal 45: Bila anak itu tidak hadir, maka perkawinannya tidak dapat dilaksanakan, kecuali sesudah permohonan diajukan sekali lagi untuk perantaraan pengadilan.(KUH Perdata 47, 48.)
Pasal 46: Bila, setelah anak itu dan kedua orang tua atau salah satu orang tua hadir, kedua orang tua itu atau salah seorang tetap menolak, maka perkawinan tidak boleh dilaksanakan bila belum lampau tiga bulan, terhitung dari hari pertemuan itu.
Pasal 47: Ketentuan-ketentuan dalam lima pasal terakhir ini juga berlaku untuk anak tak sah terhadap ayah dan ibu yang mengakuinya.
Pasal 48: Sekiranya kedua orang tua atau salah satu tidak berada di Indonesia, pemerintah berkuasa memberi dispensasi dari kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam pasal 42 sampai dengan pasal 47.
Pasal 49: Dalam pengertian ketidakmungkinan bagi para orang tua atau para kakek-nenek untuk memberi izin kepada anak di bawah umur untuk melakukan perkawinan, dalam hal-hal yang diatur dalam pasal 35, 37, 38 dan 39, sekali-kali tidak termasuk ketidakhadiran terus-menerus atau sementara di Indonesia.15
Kekurangan Pasal 26 KUH Perdata, tidak memperhatikan beberapa hal seperti :
1.Unsur agama,Undang-Undang tidak mencampurkan upacara-upacara perkawinan menurut peraturan Undang-Undang tidak memperhatikan larangan-larangan untuk kawin seperti ditentukan peraturan agama.
2.Segi biologis,Undang-Undang tidak memperhatikan faktor-faktor biologis seperti kemandulan.
3.Segi motif,Undang-Undang tidak memperdulikan motif yang mendorong para pihak untuk melangsungkan perkawinan.
15
Jadi, KUH Perdata hanya memperhatikan segi-segi formalitasnya saja.
Positifnya Pasal 26 KUH Perdata:
A. Perkawinan monogami sesuai dengan Pasal 27 KUH Perdata.
B. Hakikat perkawinan adalah suatu lembaga yang abadi dan hanya dapat putus karena kematian.
C. Cerai tetap dibolehkan tetapi karena alasan-alasan tertentu (limitatif).
C. Perkawinan Berbeda Agama Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dan KUH Perdata
Indonesia adalah Negara yang dikenal kemajemukannya dalam adat –
istiadat, budaya dan Agama. Kebebasan beragama di Indonesia juga dijamin oleh
Konstitusi pada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Salah satu sorotan utama dalam
sistem pergaulan di masyarakat terkait dengan keberadaan agama adalah tentang
perkawinan antar umat beragama atau perkawinan beda agama.
Perkawinan beda agama dapat diartikan sebagai perkawinan yang
dilaksanakan oleh sepasang calon suami istri yang berbeda agama atau keyakinan
pada saat melangsungkan perkawinan.
Menurut pendapat yang berpegang teguh pada Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini,Undang-Undang-Undang-Undang Perkawinan Undang-Undang-Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 sebenarnya bukan tidak mengatur tentang perkawinan beda
agama, tetapi secara implisit ada (diatur) dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, yang berbunyi: ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”16
Karena itu tergantung kepada agama yang dianut calon mempelai, apakah
agamanya memperkenankan atau tidak dilangsungkannya perkawinan beda agama,
dengan memperhatikan Pasal 8 butir f Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
16
Tahun 1974 tentang larangan perkawinan yang berbunyi: ”Perkawinan dilarang
antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan
lain yang berlaku, dilarang kawin.”17
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa dasar hukum perkawinan di
Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan, diantaranya adalah :
1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
3. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
4. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 1 Tahun
1974
5. Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia18
Seperti diketahui bahwa Undang-Undang Perkawinan memberikan peluang
yang besar terhadap agama atau kepercayaan untuk menentukan sah atau tidaknya
suatu perkawinan.19
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak secara tegas dan eksplisit
menentukan apakah perkawinan beda agama dibolehkan atau dilarang. Hal ini
dikarenakan UU No. 1 Tahun 1974 menggunakan norma penunjuk (
verwijzingsgregel ) pada hukum agama dan kepercayaan masing – masing. Oleh
karena itu para penegak hukum di badan peradilan maupun lembaga pencatat
perkawinan sering tidak konsisten dalam menyelesaikan persoalan perkawinan
beda agama ini karena bergantung pada penafsiran agama dan hukum yang
berbeda – beda.20
Undang-undang perkawinan hanya ada pembatasan pada perbedaan
kewarganegaraannya antara mereka yang berkawin. Dengan demikian,
Undang-17
Ibid , hal. 98
18
Abdulkadir Muhammad, Op.cit , hal.67
19
Ahmad Tholabi Kharlie , Hukum Keluarga Indonesia , Jakarta , Sinar Grafika , 2013 , hal.244
20
http://darahapsarinastiti.blogspot.com/2011/12/perkawinan-beda-agama.html di akses
undang perkawinan tidak mengatur antara dua orang yang berbeda golongan
maupun agama. Misalnya, bagaimana kalau golongan bumiputera yang beragama
Islam harus berkawin dengan golongan keturunan agama lain, sekiranya tiap-tiap
agama dalam peraturannya melarang seorang pemeluk agama itu berkawin dengan
orang yang memeluk agama lain. Maka apabila laki-laki dan seorang perempuan,
yang masing-masing memeluk agama lain, maka biasanya salah satu dari mereka
mengalah dan beralih kepada agama dari pihak lain.
Tetapi sering pula terjadi, bakal suami isteri masing-masing memeluk teguh
kepercayaannya dan tetap akan memeluk agama masing-masing. Hal demikian ini
tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Hanya sebelum Undang-Undang
Perkawinan ini ada, perkawinan yang demikian itu juga digolongkan perkawinan
campuran yang diatur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijken yang termuat
dalam Staatsblad 1898-158 atau lebih dikenal dengan GHR. Dalam Pasal 1
menyebutkan bahwa perkawinan di Indonesia antara dua orang yang
masing-masing takluk pada hukum yang berlainan satu sama lain, dinamakan ‘perkawinan
campuran’. Sedangkan Pasal 1 ayat (2) menentukan bahwa perbedaan agama,
kebangsaan atau asal usul tidak merupakan penghalang bagi suatu perkawinan.
Dalam GHR ini cukup jelas, kepada siapa ia harus tunduk kalau terjadi
perkawinan antaragama. Oleh karena itu dengan adanya Pasal 66 Undang-Undang
Perkawinan, GHR ini tidak berlaku lagi. Pasal ini, bunyi lengkapnya adalah: untuk
perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan
atas undang-undang ini, maka Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi
No. 74). Dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh
telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.Kalau memang
terjadi perkawinan yang berlainan agama, hukum mana yang akan berlaku, ini juga
tidak jelas dalam Undang-Undang Pekawinan.Karena dalam Undang-Undang
Perkawinan dalam Pasal 2 menyebutkan: Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.21
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal yang dijadikan sebagai
landasan perkawinan beda agama adalah Pasal 2 ayat (1), Pasal 8 huruf f dan Pasal
57.
Pasal 2 ayat (1) berbunyi: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Sedangkan pasal 8 huruf f berbunyi:
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 berbunyi :
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Terhadap ketiga pasal di atas muncul beberapa penafsiran yang berbeda
yang mengakibatkan terjadinya perbedaan pemahaman tentang perkawinan beda
agama di Indonesia sebagaimana akan dijelaskan pada uraian di bawah.
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 66, maka semua peraturan yang
mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974,
dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab
Undang-21
undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan
peraturan perkawinan campuran. Secara contrario, dapat diartikan bahwa beberapa
ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU No. 1 Tahun
1974.
Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon
suami isteri dapat dilihat dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada
Pasal 2 ayat 1, bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada Pasal 10 PP No.9 Tahun
1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai
pencatat dan dihadiri dua orang saksi.Tata cara perkawinan dilakukan menurut
hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
Memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan
ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1 Tahun 1974
Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran,
dengan argumentasi pada Pasal 57 tentang perkawinan campuran yang
menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang
berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat
ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974, oleh karena itu berdasarkan Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 maka
persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan
campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan.22
Perkawinan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam masyarakat.
Dengan hidup bersama, kemudian melahirkan keturunan yang merupakan sendi
utama bagi pembentukan negara dan bangsa. Mengingat pentingnya peranan hidup
bersama,pengaturan mengenai perkawinan memang harus dilakukan oleh
22
http://alexanderizki.blogspot.com/2011/03/perkawinan-beda-agama-hukum-dan.html,di
negara.Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi
semakin kompleks.Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering tersiar
dalam berbagai mmedia terjadinya perkawinan yang dianggap dalam kehidupan
bermasyarakat.Sebagai contoh,perkawinan campuran,perkawinan sejenis,kawin
kontrak,dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang
berbeda.Walaupun perkawinan campuran dan perkawinan beda agama sama sekali
berbeda, bukan tidak mungkin pada saat yang sama perkawinan campuran juga
menyebabkan perkawinan beda agama.
Hal ini disebabkan karena pasangan yang berbeda agama.selain
permasalahan yang berhubungan dengan pengakuan negara atau pengakuan dari
kepercayaan atau agama atas perkawinan, pasangan yang melaksanakan
perkawinan tersebut seringkali menghadapi masalah-masalah lain di kemudian
hari, terutama untuk perkawinan berbeda agama.Salah satu pendapat mengatakan
bahwa masalah agama merupakan masalah pribadi sendiri-sendiri.Namun, di pihak
lain, ada yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama dilarang oleh agama
sehingga tidak dapat diterima.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dalam konsepsi hukum perdata, perkawinan hanya dipandang sebagai
hubungan keperdataan saja.Artinya, tidak ada campur tangan dari Undang-Undang
terhadap upacara-upacara keagamaan yang melangsungkan
perkawinan.Undang-Undang hanya mengenal perkawinan perdata,yaitu perkawinan yang
dilangsungkan di hadapan seorang pegawai catatan sipil. Demikian juga dengan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang berlaku di
Indonesia.Untuk melangsungkan sebuah perkawinan,hanya dibutuhkan dua macam
syarat yaitu:
Syarat materil yang merupakan inti dalam melangsungkan perkawinan pada
umumnya. Syarat ini meliputi :
A. Syarat materil mutlak yang merupakan syarat yang berkaitan
dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk
B. Syarat materil relative, yaitu ketentuan yang merupakan larangan
bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu terdiri atas:
1) Larangan kawin dengan keluarga sedarah
2) Larangan kawin karena zina
3) Larangan kawin untuk memperbaharui perkawinan setelah
adanya perceraian, jika belum lewat waktunya satu tahun.
C. Syarat formal yaitu syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan
dilangsungkan mencakup pemberitahuan ke pegawai catatan sipil
(Pasal 50-51 KUH Perdata)23
Dengan aturan tentang peraturan yang mengatur tentang keabsahan
perbedaan agama di Indonesia tidak dijelaskan secara lengkap di KUH Perdata,
tetapi untuk aturan yang lebih jelas Indonesia menggunakan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974.mengenai kasus tentang perkawinan berbeda agama tersebut.
Perkawinan di Luar Negeri:
Pada pasal 56 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur perkawinan di luar negeri,
baik yang dilakukan olehsesama warga negara Indonesia di luar negeri atau salah
satu pihaknya adalah warga negara Indonesia sedang yang lain adalah warga
negara asing, adalah sah bila dilakukan menuruthukum yang berlaku di negara di
mana perkawinan itu berlangsung dan bagi warga negara Indonesia tidak
melanggar Undang-Undang ini.
Pasal 56 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa dalam waktu satu tahun
setelah suami isteri itu kembali diwilayah Indonesia, surat bukti perkawinan harus
didaftarkan di kantor pencatatan perkawinantempat tinggal mereka.
23
D. Pengertian perceraian
Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan hakim
pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang.Oleh karena
itu perlu dipahami jiwa dari peraturan mengenai perceraian itu serta akibat-akibat
yang mungkin timbul setelah suami isteri itu perkawinannya putus.Kemudian tidak
kalah urgensinya adalah alasan-alasan yang mendasari putusnya perkawinan itu
serta sebab-sebab apa terjadi perceraian.24
Dengan diundangkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, maka perceraian tidak dapat lagi dilakukan
dengan sewenang-wenang seperti banyak terjadi sebelumnya.Tetapi sekarang ini
harus dilakukan dengan prosedur hukum dan alasan-alasan yang dapat
dibenarkan.25
Istilah Perceraian Menurut Undang-Undang:
Kata ”cerai” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: v (kata kerja),1.
Pisah; 2. Putus hubungan sebagai suami istri; talak. Kemudian, kata
”perceraian”mengandung arti: n (kata benda), 1. Perpisahan; 2. Perihal bercerai
(antara suami istri); perpecahan.26
Istilah ”perceraian” secara yuridis berarti putusnya perkawinan,yang
mengakibatkan putusnya hubungan sebagai suami istri atau berhenti barlaki-bini
(suami istri) sebagaimana diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia di atas.
24
Martiman Prodjohamidjojo ,Hukum Perkawinn Indonesia , Jakarta , PT. Abadi , 2002 , hal. 41
25
Victor M. Situmorang , Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia , Jakarta , 1996 , hal. 44
26
Istilah perceraian menurut UU No. 1 Tahun 1974 sebagai aturan hukum
Positif tentang perceraian menunjukkan adanya:
a. Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh suami atau istri untuk memutuskan
hubungan perkawinan di antara mereka.
b. Peristiwa hukum yang memutuskan hubungan suami dan istri, yaitu kematian
suami atau istri yang bersangkutan, yang merupakan ketentuan yang pasti dan
langsung ditetapkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
c. Putusan hukum yang dinyatakan oleh pengadilan yang berakibat hukum
putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri.
Pengertian perceraian menurut Undang-undang:
Perceraian menurut Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 adalah ”Putusnya
perkawinan”. Adapun yang dimaksud dengan perkawinan adalah ”Ikatan lahir
batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.Jadi, perceraian adalah putusnya ikatan
lahir batin antara suami istri yang mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga
(rumah tangga) antara suami dan istri tersebut.
Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 memuat ketentuan imperative bahwa
perceraian hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan, setelah Pengadilan yang
bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak.Sehubungan dengan pasal
ini, Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati menjelaskan bahwa walaupun
yang seharusnya tidak perlu campur tangan pihak ketiga, dalam hal ini pemerintah,
tetapi demi menghindari tindakan sewenang-wenangan, terutama dari pihak suami
(karena pada umumnya pihak yang superior dalam keluarga adalah suami) dan
juga untuk kepastian hukum,maka perceraian harus melalui saluran lembaga
peradilan.27
Pengertian perceraian dapat dijelaskan dari beberapa perspektif hukum berikut:
1. Perceraian menurut hukum Islam yang telah dipositifkan dalam Pasal dan Pasal
39 UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam PP No. 9 Tahun 1975,
mencakup antara lain sebagai berikut.
a) Perceraian dalam pengertian cerai talak, yaitu perceraian yang
diajukan permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada
Pengadilan Agama,yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat
hukumnya sejak saat perceraian itu dinyatakan (diikrarkan) di depan siding
Pengadilan Agama (vide Pasal 14 sampai dengan Pasal 18 PP No. 9 Tahun
1975).
b) Perceraian dalan pengertian cerai gugat, yaitu perceraian yang diajukan
gugatan cerainya oleh dan atas inisiatif istri kepada Pengadilan Agama,
yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak
jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap (vide Pasal 20 sampai dengan Pasal 36).
27
2. Perceraian menurut hukum agama selain hukum Islam, yang telah pula
dipositifkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan dijabarkan dalam PP No. 9 Tahun
1975,yaitu perceraian yang gugatan cerainya diajukan oleh dan atas inisiatif suami
atau istri kepada Pengadilan Negeri, yang dianggap terjadi beserta segala akibat
hukumnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar cacatan oleh Pegawai
Pencatat di Kantor Catatan Sipil (vide Pasal 20 dan Pasal 34 ayat (2) PP No. 9
Tahun 1975).28
E. Akibat Dari Suatu Perceraian
Perceraian adalah peristiwa hukum yang akibatnya diatur oleh hukum, atau
peristiwa hukum yang diberi akibat hukum. Perceraian menimbulkan akibat hukum
putusnya perkawinan. Selain itu, ada beberapa akibat hukum lebih lanjut dari
perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 41 UU No. 1 tahun 1974, sebagai
berikut.
1. Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,pengadilan memberi
keputusannya.
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat
memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
memikul biaya tersebut.
28
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.29
Karena terjadi perceraian, ada tiga akibat yang perlu diperhatikan,yaitu
akibat terhadap anak dan istri, terhadap harta perkawinan, dan terhadap status.
Ketiga macam akibat perkawinan putus karena perceraian tersebut dibahas dalam
uraian berikut ini.
Akibat terhadap anak dan istri
Menurut ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan, ada tiga hal yang
perlu dipatuhi sebagai akibat perkawinan putus karena perceraian.Tiga hal tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Pertama
Bapak dan ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya
mereka semata-mata untuk kepentingan anak. Apabila ada perselisihan tentang
penguasaan anak,pengadilan putusannya.
b. Kedua
Bapak bertanggung jawab atas smua biaya pemeliharaan dan pendidikn
yang diperlukan anak.Apabila bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, pengadilan dapat menetapkan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut.
29