• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Perceraian bagi anak di tinjau dari hukum islam dan hukum perdata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Akibat Perceraian bagi anak di tinjau dari hukum islam dan hukum perdata"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh:

SEPTI SURA YAH 0044119307

PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA JURUSAN AL AHWAL ASY SYAHSIYAH

FAKUL T AS SYARI' AH DAN HUKUJ\1 UIN SY ARIF I-IIDA YATULLAH JAKARTA

(2)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari'ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam

Oleh:

SEPTI SURA Y AH 0044119307

Di Bawah Bimbingan:

Prof. DR. H. Ahmad Sutarmadi

NIP. 150031177

PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA

JURUSAN Al AHWAL ASY SYAHSIYAH

FAKULTAS SY ARI' AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA

(3)

DARI HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDAT A telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakaiia pada tanggal 2 Juni 2004. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata I (S 1) pada Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhsiyah.

Penguji I

Jakaita, 2 Juni 2004 Sidang Munaqasyah

Anggota:

Dekan Fakultas Syari'ah

Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, M.A. NIP. 150 050 917

Sekretaris Merangkap Anggota

Dffl. A"f/!rifudho Il, S.H.

NIP. 150 268 783

Muhammad Taufik, M.Ag. NIP. 150 290 159

Kama usdiana, S.Ag., M.H. NIP. 150 285 972

Pembimbing,

。セセ@

(4)

Segala puji hanya milik Allah Tuhan Pencipta dan Pernelihara semesta alam.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Na.bi Muhammad SAW,

keluarga, sahabat-sahabatnya dan pengikutnya hingga hari pembalasan.

Salah satu sya.ra.t untuk menyelesaikan studi dan miencapai Gelar Sarjana

Strata Satu (SI) di Perguruan Tinggi termasuk UIN SyarifHidayatullah Jakarta adalah

111e111buat karya tulis ilmiah dalam bi:;ntuk skripsi. Dalam ra.ngka itulah penulis

membuat skripsi ini dengan judul "AKIBAT PERCERAIAN BAGI ANAK

DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA."

Dalam penulisan skripsi ini, tentunya tidak sedikit kesulitan serta hambatan

yang penulis hadapi. Namun, Alhamdulillah berkat usaha dan kegigihan hati disertai

dorongan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara lat1gsung ataupun tidak

langsung, kesulitan serta hambatan tersebut dapat diatasi dengan sebaik-baiknya dan

akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.

Olch karcna itu, dengan penuh suka cita penulis ingin menghaturkan terima

kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

I. Dekan Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Jakarta, Prof. DR. H. Hasanudin

AF, MA. yang selalu memberikan dukungan moril kepada penulis.

2. Ketua Jurusan al-Ahwal asy-Syahsiyah, Dra. Hj. Halimah Ismail dan

(5)

3. Bapak Dosen Prof. DR. H. AJuuad Sutarmadi yang telah berkenan

meltiangkan waktunya untuk memberi bimbingan dan nasehat sampai

sclesainya penulisan skripsi ini.

4. Bapak dan !bu kepala Perpustakaan Pusat dan Syari'ah yang telah bersedia

meminjamkan buku ataupun bahan bacaan lainnya.

5. Ayahanda Mansur dan Ibunda Amdaroh yang selalu mendo'akan dan

memberikan motivasi untuk kesuksesan anakmu ini. Serta saudara-saudaraku

Bang Adang, K' Desi, K' Edi dan keponakanku Riska yang selalu menjadi

"musuhku" di saat bosan dan letih.

6. Terima kasih untuk Ade S, yang sudah banyak membantu penulis , tidak lupa

teman-temanku Dina, Ema, Nunung, Rodiah, Edah, Suci, Ana, Qwink dan

seluruh keluarga besar PA/A-B. Kalian akan selalujadi yang terbaik.

Akhirnya penulis berharap semoga amal baik yang telah mereka berikan

mendapatkan imbalan yang setimpal dari Allah SWT.

Jakarta, 18 Mei. 2004 M 28 Rab1'Ul Awai 1425 H

(6)

Halaman

KATA PEN GANT AR ... .

DAFT AR ISi ... iii

BABI PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Metode Penelitian... 5

E. Sistematika Penulisan ... 6

BAB II TINJAUAN TEORITIS TENT ANG PERCERAIAN A. Menurut Hukum Islam 1. Pengertian Perceraian 7 2. Alasan Perceraian ... 14

3. Aki bat Perceraian ... ... ... ... ... ... 17

B. Menurut Hukum Perdata I. Pengertian Perceraian ... 20

2. Alasan Perceraian ... 23

(7)

1 . Pemeliharaan Anak 30

2. Biaya Hidup Anak ... 39

B. Menurut Hukum Perdata

I. Pemeliharaan Anak ... 41

2. Biaya Hidup Anak ... 46

C. Analisis Perbandingan Masalah Pemeliharaan Anak Dan Biaya

Hidup Anak Menurut Hukum Islam Dan Hukum Perdata ... 48

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran-saran ... .

DAFTAR PUSTAKA

(8)

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu asas perkawinan yang disyari'atkan ialah perkawinan untuk

selama-lamanya yang diliputi oleh rasa kasih sayang dan sa.ling mencintai. Karena

itu agama Islam mengharamkan perkawinan yang tujuannya untuk sementara,

dalam waktu-waktu yang tertentu sekedar untuk melepaskan hawa nafsu saja,

seperti nikah mut'ah, nikah muhallil 1dan sebagainya.2

Melakukan perkawinan bukan pula semata-mata untuk kesenarigan lahiriah

melainkan juga membentuk suatu lembaga yang dengannya kaum pria dan wanita

dapat memelihara diri dari kesesatan dan perbuatan tak senonoh, melahirkan dan merawat anak untuk melanjutkan keturunan manusia serta memenuhi kebutuhan

seksual yang wajar dan diperlukan untuk menciptakan kenyamanan dan

kebahagiaan. 3

Akan tetapi kenyataan membuktikan bahwa memelihara kelestarian dan

menciptakan kebahagiaan sebuah perkawinan tidaklah rnudah, ha! ini dapat

1

Nikah muhallil adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang Jelaki terhadap seorang perempuan yang telah ditalak tiga oleh suaminya dengan tujuan agar wanita tersebut dapat dinikahi oleh suaminya yang pertama. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1986), Cet. ke-2, h. 82.

2

Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Cet. ke-1, h.144

3

(9)

dikarenakan keduanya berlainan tabiat dan tujuan hidup. Adalah di)cetahui dan diakui bahwa pergaulan yang sangat erat dan rapat diantara pergaulan di dunia ini adalah pergaulan antara suami isteri. Hari-hari untuk bertemu tidaklah tertentu, bahkan setiap siang dan malam, berbulan dan bertahun, mereka bergaul dan berkumpul. Selama dan sepanjang pergaulan itu tentu menghendaki serta membutuhkan kasih sayang, penyesuaian pendapat dan pandangan hidup, tetapi tidaklah mustahil apabila di antara suami isteri terdapat perbedaan-perbedaan mengenai sifat, watak, pendidikan dan pandangan hidup, hal. mana kadang-kadang dapat menimbulkan kerenggangan ... Berdasarkan ungkapan di atas, tidaklah mustahil jika dalam masyarakat dijumpai bahwa kehidupan perkawinan terkadang dengan sesuatu atau beberapa sebab tidak dapat diperbaiki lagi, dan berakhir

d engan perceraian. . 4

Perceraian memang suatu malapetaka, tetapi suatu malapetaka yai1g perlu untuk tidalc menimbulkan malapetaka lain yang lebih besar. Karena itu perceraian adalal1 pintu daruratnya perkawinan guna kemaslahatan bersama. Untuk itulah Tuhan mengadakan peraturai1-peraturan perceraian di samping peraturan perkawinan dan atas dasai· ini pulalah negara Republik Indonesia mengatur hal-hal

4

M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985),

(10)

yang tidak di atur hukumnya dalam agama, demi kebahagiaan dan ketentraman keluarga, masyarakat dan negara5•

Sebagaimana perkawinan, perceraian juga menimbulkan berbagai akibat hukum baik terhadap suami isteri, harta benda maupun anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Dalam ha! perceraian anak adalah pihak yang paling menderita baik fisik maupun mental.

Sebagai anlanah dan pelanjut keturunan dalam sejarah umat manusia, sudah selayaknya anak-anak mendapat pemeliharaan, pendidikan dan pembiayaan hidup dari kedua orang tuanya, baik orang tua masih terikat dalam perkawinan ataupun setelah perceraian. Sehingga anak dapat menjadi orang yang berbudi Juhur dan tidak merasakan kurangnya kasih sayang dari kedua orang tua walaupun mereka telah berpisah.

Sehubungan dengan pentingnya masalah perlindungan anak setelah perceraian, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah tersebut khususnya ha! yang berkaitan dengan pemeliharaan dan biaya hidup anak yang ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Perdata, yang kemudian dirumuskan menjadi sebuah judul skripsi yaitu "AKIBAT PERCERAIAN BAGI ANAK DITIN.JAU DARI HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA."

5

(11)

B. Batasan Dan Rumusan Masalah

Banyak ha! yang dapat menyebabkan suatu ikatan perkawinan berakhir

dengan perceraian sebagaimana tersebut di atas. Begitu pula dengan akibat yang

ditimbulkan dari perceraian tersebut, baik terhadap suan1i isteri, harta benda

maupun anak-anak mereka. Berbagai masalah hukum ym1g ditimbulkan oleh

perceraian menarik untuk dikaji, namun untuk menyamakan persepsi dalam

pembahasan skripsi ini penulis hanya akan membahas masalah pemeliharaan dan

biaya hidup anak akibat perceraian.

Setelah mengetahui batasan .. masalah dan berdasarkan latar belakang

masalah yang telah diungkapkan, maka penulis akan memberikan rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Apa saja alasan dan akibat hukum yang dapat ditimbulkan dm"i suatu perceraian

menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata?

2. Bagaimana sebenarnya pemeliharam1 anak setelah perceraian ditinjau dari

Hukum Islam dan Hukum Perdata?

3. Bagaimana dengan biaya hidup anak setelah perceraian ditinjau dari dua sisi

hukum tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui alasan dan akibat dari perceraian ditinjau dari Hukum Islam

(12)

2. Untuk lebih mengetahui masalah pemeliharaan anak setelah terjadinya

perceraian.

3. Untuk lebih mengetahui masalah biaya hidup anak setelah perceraian.

D. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan, penulis menggunakan

metode "Studi Kepustakaan", yaitu dengan mengumpulkan data-data dari berbagai

sumber yang ada kaitan dan relevansinya dengan pokok bahasan dalam skripsi ini

baik sifatnya primer ataupun sekunder..

Selanjutnya data-data tersebut dianalisa dengan menggunakan "Metode

Komparatif' yaitu dengan membandingkan antara Hukwn Islam dan Hukum

Perdata terhadap suatu masalah yang kemudian disajikan dalam kerangka deduktif

yaitu memaparkan permasalahan secara umum untuk kemudian ditarik

kesimpulannya secara khusus.

Dengan kata lain, metode yang akan dikembangkan adalah metode

deskriptif analitis, yakni dengan memaparkan tema tersebut secara teratur,

kemudian dianalisis dengan berbagai pandangan dan informasi lainnya.

Sedangkan teknis penulisannya tetap menggunakan buku "Pedoman

Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah" yang disusun oleh UIN

Jakarta Press. Dengan beberapa pengecualian, yaitu:

I. Dalam daftar pustaka al-Qur'an al-Karim dicantumkan pada urutan pertama

(13)

2. Kutipan langsung yang berasal dari te1jemahan ayat-ayat al-Qur'an dan Kitab

Undang-undang Hukum Perdata tidak disertai catatan kaki (footnote).

3. Kutipan te1jemahan al-Qur'an, al-Hadits dan Kitab Undang-undang Hukum

Perdata ditulis satu spasi meskipun kurang dari 6 baris.

E. Sistcmatika Pcnulisan

Untuk lebih memudahkan pembahasan clan penulisan, maka penulis

mengklasifikasikan pennasalahan dalam beberapa bah dengan sistematika sebagai

berikut:

BABI : Merupakan bah Pendahuluan, terdiri dari Latar Belakang Masalah,

Batasan Dan Rumusan masalah, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian,

Sistematika Penulisan.

BAB II : Merupakan uraian sekitar Perceraian, yang tercliri dari ; Pengertian,

Alasan dan Akibat Perceraian menurut Hukum Islam clan Hukum

Perdata.

BAB III : Uraian tentang Akibat Perceraian Bagi Anak., yang terdiri dari;

masa!ah Pemeliharaan Anak dan Biaya Hidup Anak rnenurut Hukum

Islam dan Hukum Perdata serta menganalisis kedua permasalahan

tersebut dari sisi persamaan dan perbedaaimya.

BAB IV : Merupakan bah Penutup, yang terdiri dari Kesimpulan dan

(14)

A. Mennrut Hnkum Islam

1. Pengertian Perceraian

Putusnya perkawinan antara suami isteri biasa dikenal dengan istilah

"perceraian". Perceraian berasal dari kata "cerai" yang ュQセョオイオエ@ bahasa berarti

"pisah" atau "talak" .1 Sedangkan perceraian dalam istilah ahli fiqh disebut "talak"

atau "furqoh''. Talak artinya membuka ikatan atau membatalkan pe1janjian.

Furqoh berarti bercerai, lawan dari berkumpul, kemudian kedua kata ini dijadikan

istilah oleh ahli-ahli fiqh yang berarti perceraian antara suami isteri.2

Talak dapat pula didefinisikan:

Artinya:

"Melepas ikatan perkawinan (nikah). "3

Sedangkan Sayyid Sabiq mengemukakan definisi talak yaitu.:

1

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa lndonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), Cet. ke-1, h.163

2 Kamal Muchtar,

Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, l 987), Cet. ke- l, h. l 44

3

Sayyid Al Imam Muhammad Bin Ismail Al Kahlani dan As San'ani, Subulu As Salam,

(15)

Artinya:

"Talak ialah melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami

isteri. "4

Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa talak pada dasarnya merupakan

earn untuk melepaskan ikatan perkawinan. Dan sudah menjadi ketentuan syara'

bahwa talak itu adalah hak laki-laki atau suami dan hanya ia saja yang boleh

mentalak isterinya, orang lain biarpun familinya tidak berhak kalau tidak sebagai

wakil yang sah dari suami tersebut. Islam menjadikan talak hak laki-laki atau

suami adalah karena laki-laki atau suamilah yang dibebani kewajiban

perbelanjaan rumah tangga, nafkah isteri, anak-anak dan kewajiban lain.5 Adapun

dasar hukum yang menjelaskan masalah talak diantaranya ialah:

Artinya:

"Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati masa iddahnya maka rujukilah mereka dengan cara yang ma 'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim kepada dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan

hukum-hukum Allah permainan ... "(Q.S. Al Baqarah/2: 231)

4

Sayyid Sabiq, Fiqh Al Sunnah, (Beirut: Dar Al Fikr, 1983), Cet. ke-4, Jilid 2, h. 206

5

M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985),

(16)

seq.

Macam-macam talak:

I. Talak raj'i, yaitu talak suami kepada isterinya dengan hak suami kembali lagi

kepada bekas isterinya tanpa melakukan akad nikah baru, seperti talak satu

a tau talak dua. U ntuk dapat kembali rujuk, maka bekas suami isteri pernah

melakukan hubungan seksual dan tanpa uang ganti rugi (tebusan) dari pihak

isteri.

2. Talak ba'in, yaitu talak suami yang dijatuhkan kepada iseri dan suami tidak

boleh rujuk kecuali dengan akad nikah baru.

Talak ba'in terbagi menjadi dua bagian, yaitu:

a. Talak ba'in shugro (kecil), yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada

isterinya yang belum dicampuri (qobla al dukhul), atau talak yang

disertakan tebusan/ uang ganti rugi dari isteri (khulu').6

b. Talak ba'in kubro (besar), yaitu talak ketiga yang dijatuhkan suami kepada

isterinya. Bagi kcdua belah pihak tidak boleh rujuk atau melakukan akad

nikah baru kecuali bekas isteri telah melakukan perkawinan baru dengan

laki-laki lain, kalau perkawinan itu putus karena perceraian atau suami

meninggal maka ia dapat melakukan perkawinan dengan bekas suami

pertama setelah selesai menjalani masa iddahnya.7

6 Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT. Bina llmu, 1993), h.331

7

(17)

Dalam Islam talak hanyalah salah satu bentuk yang dapat menyebabkan putusnya perkawinan selain khulu'. Khulu' berarti permintaan talak oleh isteri kepada suaminya dengan membayar tebusan. Menurut ahli fiqh, khulu' adalah isteri memisahkan diri dari suaminya dengan ganti rugi kepadanya. 8 Ganti rugi (tebusan) merupakan salah satu bagian pokok dari pengertian khulu', jika ganti rugi tidak ada maka khulu'nya juga tidak sah. Dasar hukum khulu' Q.S. Al Baqarah/2:229.

Adapun hal-hal yang dapat memicu terjadinya talak atau khulu', yaitu: a. Ta'lik Talak

Ta'lik Talak mempunyai arti suatu talak yang digantungkan jatuhnya kepada te1jadinya suatu ha! yang memang mungkin terjadi yang telah disebutkan lebih dahulu dalam suatu perjanjian.9 Dasar hukum diperbolehkannya ta'lik ialah Q.S. An Nisaa/4: 128.

b. Syiqaq

Syiqaq adalah perselisihan atau percekcokan antara suami isteri.10 Berarti pula perselisihan suami isteri yang diselesaikan oleh dua orang

8

Sayyid Sabiq, Op. cit, h.253

9

Ibid

(18)

h.50.

hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari

'] k · · 11

p1 m 1sten.

Penunjukan hakam dari kedua belah pihak ini diharapkan dapat

mengadakan perdamaian dan perbaikan untuk menyelesaikan

persengketaan diantara dua belah pihak suami isteri. Dasar hukum syiqaq

Q.S. An Nisa/4:35.

c. Ila'

Ila' adalah suatu kebiasaan yang dilakukan oleh orang Arab di

zaman jahiliyah. Meng-ila' isterinya ialah seorang suami bersumpah tidak

akan menyetubuhi isterinya. Dengan datangnya Islam, maka adat tercela

yang dibiasakan orang Arab itu diubah dengan menetapkan untuk ila'

suatu pembatasan, bahwa ila' itu hanya sampai empat bulan saja dan

setelah empat bulan suami harus memilih antara kembali kepada isterinya

(menyetubuhinya) lagi dengan membayar kafarat sumpah atau

menceraikan.12 Dasar hukum dari ila' ialah Q.S. Al Baqarah/2: 226.

d. Zhihar

Zhihar berarti punggung. Maksuclnya ialah: perkataan suam1

kepacla isterinya, "untukku engkau seperti punggung ibuku." Apabila

suami telah mengucapkan perkataan tersebut, maka isterinya itu haram

11

Kamal Mukhtar, Op. cit., h.173

12

(19)

dicampurinya sebagaimana ia haram mencampuri ibunya. Dan untuk dapat

kembali mencampuri isterinya, maka wajib baginya untuk membayar

kafarat (denda). Zhihar adalah salah satu bentuk perceraian pada masa

Arab Jahiliyyah.13 Masalah zhihar diatur dalan1 Q.S. Al Mujadalah/58:1-4,

dan Al Ahzab/33:4.

e. Fasakh

Fasakh berarti rusak atau batal.14 Memfasakh akad nikah berarti

membatalkan dan melepaskan ikatan perkawinan suami isteri. Fasakh

dapat terjadi karena sebab _yang berkenaan dengan akad (sah atau

tidaknya) atau dengan sebab yang datang setelah ber!akunya akad.15

f. Mubara'ah16

Mubara'ah merupakan bentuk lain dari perceraian berdasarkan

persetuj uan kedua be I ah pihak dari suan1i isteri. Kalau dalam khulu

dikenal adanya iwadl (semacam penggantian atau tebusan), maka dalam

mubara'ah yang diperlukan hanyalah persetujuan kedua belah pihak dari

suami isteri yang sama-sama ingin memutuskan ikatan perkawinan, dan

13 Kamal Muchtar, Op. cit., h.181

14

Mahmud yunus, Kamus Arab-indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 316

15

l-1.S.A. Al Hamdani, Risa/ah Nikah, (Pekalongan: Raja Murah, 19fW), h.42

16

(20)

"kedua pihak telah merasa puas hanya dengan kemungkinan terlepas dari

ikatan masing-masing. "17

g. Fahisyah

Fahisyah atau faahisyah artinya kekejian. Dalam hukum

perkawinan fahisyah umumnya diaitikan perzinaan. Dapat pula diaitikan

semua perbuatan buruk dari pihak suami atau isteri yang mencemarkan

nama keluarga tersebut. Dengan demikian fahisyah dapat diaitikan berbuat

zina, pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar

disembuhkan. Dasar hukum fa.hisyah adalah Q.S. An Nisaa/4:15. 18

h. Murtad

Kalau salah seorang dari suami isteri itu ke luar dari agama Islam

atau murtad, maka putuslah hubungan perkawinan mereka.19

1. Li'an

Li'an berasal dari kata la'n yang berarti kutukan. Disebut Ji'an

karena masing-masing pihak suami isteri mengutuk pihak yang lain

setelah masing-masing menyatakan persaksian empat kaii.20 Li'an dapat

pula diartikan sebab suami isteri yang bermula'anah pada ucapan yang

kelima "sesungguhnya laknat Allah akan jatuh padanya jika ia tergolong

17

M. Djamil Latif, Op.cit., h.60

18

Sayuti Thalib, Op. cit., h. l 13

19 Ibid. h.l 19

2

°

(21)

orang yang dusta." Dasar hukum li'an terdapat dalam Q.S. An

Nuur/24:6-7.21

2. Alasan Perceraian

Langgengnya kehidupan perkawinan mernpakan suatu tujuan yang sangat

diinginkan oleh Islam. Akad nikah diadakan untuk selamanya hingga meninggal

dunia, agar suami isteri bersama-sama dapat mewujudkan rnmah tangga tempat

berlindung dan menikmati kasih sayang. Tetapi, ketika :;alah satu pihak atau

kedua belah pihak dari suami isteri merasa bahwa kehidupan perkawinannya tidak

dapat dilanjutkan adalah merupakan alasan pokok perceraian.

Oleh sebab itu Islam memberikan hak talak kepada suami untuk

menceraikan isterinya dan hale khulu' kepada isteri untulc menceraikan

suaminya.22

Walaupun Islam membolehkan perceraian, narnun pada pnns1pnya

perceraian dilarang, ini dapat dilihat pada isyarat Rasulullah SAW, bahwa talak

atau perceraian adalah perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah.

/ a / -;; / } \ -;: \ / / !\

jEjQセQZセセNゥGNGゥャQセNゥGNGゥャQェセ[jセZェセAM[セᄋ」NゥGNGゥャQセセPGN|ゥ@

,.,

,., ,.,

,,.,-r; \

(,.

4=\t\

セMG@

"-":-L.

0'.

l_,.:i-'

|セBNi@

0

Gv-)

セIスQj@

1,:0

セ@

21

Sayid Sabiq, Op. cit., h.270

22

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan da/am Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), h.

(22)

Artinya:

"Sesuatu perbuatan yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah

talak (perceraian). (I-LR. Abu Daud, Ibn Majah dinilai shahih oleh Hakim).23

Pada dasarnya Al-Qur'an tidak memberi suatu ketentuan yang

mengharuskan suarm untuk mengemukakan sesuatu alasan untulc

mempergunakan haknya menjatuhkan talak kepada isterinya. Namun suatu alasan

yang mungkin dikemukakan suan1i untuk menjatuhkan talak kepada isterinya

bahwa ia merasa tidak senang lagi kepada isterinya. Demikian juga isteri dapat

mengemukakan alasan bahwa ia merasa sudah tidak senar1g Jagi kepada

suaminya, dan dengan alasan ini ia minta diceraikar1 kepada suaminya. Walaupun

talak semacam ini sangat di benci, tetapi talaknya sah. Namun untuk terwujudnya

hadits Nabi tersebut, demi kelangsungan perkawinan tidak ada halangan bila

alasan-alasan yang dapat dijadikan untuk perceraian ditetapkan harus ada.24

Alasan-alasan yang membolehkan suami menjatuhkan talak ialah:

a. Isteri berbuat zina.

b. Isteri nusyuz, 25 setelah diberi nasihat dengan segala daya upaya.

c. Isteri suka mabuk, penjudi, atau melakukan kejahatan yang mengganggu

keamanan rum ah tangga. 26

23

Sayyid Al Imam Muhammad Bin Ismail Al Kahlani dan as San'ani, Op. cit., h.168

24

M. Djamil Latif, Op. cit, h, 43

25 Nusyuz

ialah sikap tidak patuh dari isteri dengan tidak ada alasan yang dapat diterima oleh syara. (Lihat Sulairnan Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru, 1995, h. 398)

26

(23)

Demikian pula isteri boleh menuntut cerai dari suaminya dengan khulu',

berdasarkan alasan:

a. Kedua suami isteri tidak dapat mendirikan hukum-hukum Allah, yaitu bergaul

secara ma'ruf.

b. Isteri sangat benci kepada suan1inya lantaran sebab-sebab yang tidak

disukainya, sehingga ia takut tidak akan dapat mematuhi suaminya.27

Sedangkan menurut Abdul Qadir Djaelani, alasim perceraian tersebut

adalah:

a. Pertengkaran atau perselisihan yang tidak bisa di atasi lagi.

b. Suan1i dipenjarakan seumur hidup atau jik.a suami pergi dan tidak ada

beritanya lagi atau suami cacat yang tidak memungkinkan untuk bisa mencari

nafkah guna kepentingan isterinya, atau mungkin juga salah satu pihak

berkelakuan jahat atau berperangi kejam atau terlalu bakhil dalam

menafkahkan keluarganya.28

Dan sebagai perbandingan, terpenuhinya alasan lmtuk dapat terjadinya

perceraian menurut Hukum Islam telah diserap oleh Undang-undang Perkawinan

No. I Talmn 1974 pasal 39 ayat 2, yaitu:

Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak alcan dapat hidup rukun sebagai suarni isteri.

27

Ibid., h.132

(24)

Alasan-alasan yang dimaksud dalam Hukum Islam tersebut telah

dibukukan dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 19. Perceraian

dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena ha! lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.

f. Antara suami dan isteri terus-menerus te1jadi perselisihan dan gertengkaran dan tidak ada harapan akan hid up rukun lagi dalam rumah tangga. 9

Banyaknya alasan perceraian yang dikemukakan pada dasarnya berawal

dari ketidaksenangan antara pasangan suami isteri yang alchirnya menimbulkan

dampak permasalahan lain.

3. Akibat Perceraian

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalal1 sebagai berikut:

a. Akibat bagi bekas suami dan isteri

1. Kepada bekas suami wajib membayar atau melunasi maskawin yang belum

dibayar atau dilunasi, sebagaimana firman Allah Surat An Nisa/4: 4.

2. Bekas suami wajib memberi mut'ah, yakni memberi suatu pemberian guna

menggembirakan isteri yang telah ditalalmya (talalc yang tidak atas

29

(25)

permintaan isteri) itu, baik berupa uang maupun benda, sesuai dengan

keadaan dan kedudukan suami.

3. Bekas suami wajib memberi nafkab 'iddah, yakni biaiya hidup isteri selama

jangka waktu 'iddab raj'i.

4. Bekas suami wajib menyediakan perumaban, yakni tempat kediaman bagi

isteri yang telah ditalak raj'i, sedang bagi isteri yang ditalak ba'in hanya

disediakan tempat kediaman kalau ia dalam keadaan hamil.

5. Bekas suami wajib memberikan pakaian, yakni kain baju menurut ma'ruf

bagi isteri yang ditalak.30

Prof. DR. H. Malunud Yunus dalam bukunya Hukum Perkawinan Dalam

Islam menambahkan babwa bekas suami wajib memberi belanja untuk

pemeliharaan dan kewaj iban bagi pendidikan anaknya-auaknya menurut batas

kemampuau dau kesauggupannya, sesuai dengan kedudukan suami sampai

anak-anaknya itu baligh lagi berakal dan mempunyai penghasilan.31

Ketika terjadi perceraian, maka bekas suami berhak untuk rujuk kembali

kepada bekas isterinya selama dalam masa 'iddab.32 Dan untuk bekas isteri

selama masa 'iddah wajib menjaga diri dan kehormatannya serta tidak menerima

pinangan orang lain. Adapun 'iddah yang diwajibkan untuk bekas isteri adalah:

30

M. Djamil Latif, Op. cil., h. 41 et seq.

31

Mahmud Yunus, Op. cit., h. 126

32

(26)

1. 'Iddah isteri yang haid, tiga kali suci;

2. 'Iddah isteri yang tidak Jagi haid, tiga bulan;

3. 'lddah isteri yang ditinggal mati suaminya, empat bulan sepuluh hari;

4. 'lddah isteri yang hamil, sampai melahirkan;

5. Bagi isteri yang belum disetubuhi maka tidak ada 'iddah baginya.33

b. Akibat bagi harta kckayaan

Dalam Islam tidak dikenal percampuran harta kekayaan antara suami isteri

karena pernikahan. Harta kekayaan isteri tetap menjadi m:ilik isteri dan dikuasai

penuh olehnya; demikian pula harta.. kekayaan suami tetap menjadi milik suami

dan dikuasai penuh olehnya. Karena itu pula menurut HU:kum Islam perempuan

yang bersuami tetap dianggap cakap bertindak hukum, sehingga ia dapat

melakukan segala perbuatan hukum dalam masyarakat.

Jika dalam perkawinan diperoleh haita, maka haita ini adalah ha1ta

syirkah, yaitu harta bersama dari suami isteri. Tetapi dalam ha! haita kekayaan

yang terpisah, masing-masing dari suami isteri tidah berhak dan be1wewenang

alas kekayaan masing-masing. Harta kekayaan ini meliputi haita bawaan, haita

yang diperoleh oleh salah seorang suami isteri atas usahanya sendiri dan harta

yang diperoleh karena hadiah atau warisan.

Kematian salah satu pihak menimbulkan hak saling waris-mewarisi dari

kekayaan tersebut tetapi perceraian tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap

harta kekayaan tersebut. Berbeda dengan harta syirkah yang merupakai1 haita

33

(27)

kekayaan tambahan karena usaha bersama, apabila ikatan perkawinan putus baik

meninggalnya salah satu pihak atau perceraian, maka harta i:ni dibagi antara suami

isteri.34

c. Akibal bagi anak

Perceraian mengakibatkan adanya pemeliharaan anak (hadhanah) serta

aluran tentang biaya hidup anak yang hams ditanggung orang tua, ha! ini akan

dibahas lebih lanjut dalam bab selanjutnya.

B. Menurut I-Iukum Perdata

I. Pengcrtian Perceraian

Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau

tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.35

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) dijelaskan bahwa

"perceraian" adalah salah satu sebab saja dari bubar atau hapusnya perkawinan,

karena dalam pasal 199 disebutkan bahwa hal-hal yang yang dapat menyebabkan

bubarnya perkawinan adalah:

a. karena kematian

b. karena keadaan tak hadir si suami atau si isteri, selan1a sepuluh tahun, diikuti dengan perkawinan baru isterinya atau suaminya ...

c. karena putusan Hakim setelah adanya perpisahan meja dan ranjang dan pembukuan pernyataan bubarnya perkawinan dalam putusan itu dalam register catatan sipil. ..

34

M. Abdul Djamil, Op.cit., h.83

35

(28)

d. karena perceraian ...

Sebab-sebab hapusnya perkawinan tersebut akan dijelaskan secara global,

sebagai berikut;

a. Karena kematian

Bubamya perkawinan karena kematian kiranya tidak perlu mendapat

penjelasan lebih lanjut, karena dengan meninggalnya salah satu pihak, maka

ikatan perkawinan dengan sendirinya hapus.

b. Perihal tak hadirnya salah satu pihak, ini diatur dalam pasal-pasal berikut:

Pasal 493 BW: jika seorang di antara suami isteri telah meninggalkan

tempat tinggalnya selama I 0 tahun dan tidak ada kabar bagaimana nasibnya,

maka orang yang ditinggalkan dapat minta izin dari Pengadilan untuk

memanggil yang pergi tadi di dalam suatu panggilan umum 3 kali

berturut-turut.

Pasal 494 BW: jika setelah panggilan yang ke-3 ia tidak datang, maim

Pengadilan dapat memberi izin kepada orang yang clitinggalkan itu untuk

kawin.

Pasal 495 BW: jika izin untuk kawin telah diberikan, tapi belum

te1jadi sesuatu perkawinan, maka jika yang pergi itu datang kembali izin yang

(29)

Jika perkawinan telah terjadi dan yang perg1 datang, maka yang

belakangan ini berhak kawin dengan orang lain. 36

c. Perpisahan meja dan ranjang

Bagi sepasang suami isteri yang tidak dapat hidup bersama tetapi

menurut kepercayaan agama atau keinsyafannya sendiri mungkin keberatan

terhadap suatu perceraian, oleh Undang-undang diberikan kemungkinan untuk

meminta suatu "perpisahan meja dan tempat tidur (echschelding van tavel en

bed)." Cara pemecahan ini ada baiknya, karena kesempatan untuk berdamai

yang selalu masih terbuka dan kedua pihak masih terikat oleh pe1ialian

perkawinan.37

Untuk meminta perpisahan meja dan tempat tidur harus ada alasan

yang sah. Undang-undang menyebutkan alasan-alasan yang sama seperti yang

ditetapkan untuk alasan suatu perceraian, tetapi di samping itu ada juga alasan

yang dinamakan "perbuatan-perbuatan melampaui batas"

(bultensporigheden), sedangkan penganiayaan dan penghinaan berat juga

merupakan alasan untuk minta perpisahan ini.(pasal 33 BW)

Hakim dapat juga mengizinkan perpisahan meja dan tempat tidur atas

persetujuan kedua belah pihak dengan tak usah mengajukan sesuatu alasan,

36

Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1986), h.122.

37

(30)

asal saja perkawinan itu sudah berlangsung paling sedikit dua tahun. (pasal

236 BW)

Akibat perpisahan meja dan tempat tidur, suami isteri dibebaskan dari

kewajibannya untuk tinggal bersama dan dengan sendirinya membawa

pemisahan kekayaan. Tetapi tidak berakibat hapusnya kekuasaan orang tua

(ouderlijke macht).38

d. Karena perceraian

Adapun yang menjadi dasar bubarnya perkawinan ini, adalah perceraian

yang tidak didahului oleh perpisahan meja dan tempat tidur.

2. Alasan Pcrccraian

Undang-undang tidak memperbolehkan percera1an dengan

pemufakatan saja antara suami isteri, tetapi harus ada alasan yang sah. Dalam

pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) dijelaskan bahwa

alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian perkawinan adalah:

a. Zina (over!>pel);

b. Ditinggalkan dengan sengaja (kwaadwilige verlating);

c. Penghukuman yang melibihi 5 (lima) tahun karena dipersalahkan

melakukan suatu kejahatan;

d. Penganiyaan berat atau membahayakan jiwa.

311

(31)

Undang-undang menambahkan dua alasan: a. salah satu pihak

mcnclapat cacacl baclan atau panyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan

kewajibannya sebagai suami isteri; b. antara suami isteri terus-menerus terjadi

perselisihan atau pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi

dalam rumah tangga (pasal 19 PP.9/1975).39

Untuk lebih jelasnya penulis akan memaparkan alasan-alasan tersebut:

a. Zina

zma adalah persetubuhan yang dilakuka11 oeh laki-laki atau

perempuan yang telah kawin rlengan perempuan atau laki-laki yang bukan

isteri atau suaminya.40 Bagi pihak lain yang tidak kawin ha! yang

demikian ini tidak diartikan sebagai zina.

Penafsiran yang sempit ini merupakan pengertian zina dalam Kitab

Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 284. Berbeda dengan zina

dalam pengertian Hukum Islam, yaitu hubungan kelamin diantara seorang

lelaki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam

hubungan perkawinan, tidak menjadi masalah apakah salah seorang atau

kedua belah pihak telah memiliki pasangan hidupnya masing-masing

39

Subekti, Op. cil., h.42, et seq.

(32)

ataupun belum menikah sama sekali, kata "zina" ini dikenakan baik

terhadap seorang atau keduanya telah menikah ataupun belum.41

Apapun pengertian zina dalam Hukum Islam dan Hukum Perdata,

zina tetap merupakan salah satu alasan penting untuk memohon

perceraian. Zina erat kaitannya dengan sanksi pidana, karena biasanya

pihak yang bersalah dituntut lebih <lulu di hadapan hakim pidana. Dan atas

dasar putusan ini perkara perdatanya tidak akan mengalan1i kesulitan

untuk diputuskan. Hakim tidak memerlukan pembuktian yang lain.42

Pasal 284 KUHP merupakan suatu delik aduan yang berarti tidak

dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau isteri yang

dirugikan. 43 0 !eh karena itu, pengakuan di muka sidang dianggap sebagai

pembuktian yang sempurna.

b. Tentang alasan perceraian, karena salah satu pihak meninggalkan pihak

yang lain harus memenuhi dua syarat yar1g diatur dalam pasal 211 dan

pasal 218 BW, yaitu:

1. Harns ada unsur kesengajaan meninggalkan tempat tinggal, yaitu

harus ada sikap tegas w1tuk menolak hi.dup bersarna-sama. Jika suami

mengusir isteri atau suami meninggalkan tempat tinggal untuk

41 Abdur Rahman i DOI,

Tindak Pidana Da/am Syari 'at Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta 1992), Cet. ke-1, h.31

42

Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan Dan Perceraian, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991), h.195

43

(33)

berdiam di satu tempat di mana isteri tidak mungkin ikut tinggal di

situ, maka hanya isteri yang dapat menuntut suami.

2. Kepergian tersebut harus berlangsung lima tahun dan harus

berlangsung terns. Kalau dalam waktu itu yang pergi datang kembali

kemudian pergi lagi, maka waktu lima tahun harus dihitung mulai

kepergian yang kedua. Jika setelah Iima tahun yang pergi datang

kembali maka tuntutan akan gugur jika perceraian belum diputuskan

oleh Hakim. Jika kepergian itu karena alasan yang sah, maka tenggang

waktu lima tahun itu mulai berlaku pada waktu hapusnya alasan yang

sah itu.44

c. Pcrceraian bcrdasarkan penghukuman ditentukan dalam pasal 210 dan

pasal 219 BW;

Penghukuman karena zma dan penghukum:m yang berlangsung

selama lima tahun atau lebih terhadap salah seorang dari suam1 isteri,

maka untuk memperoleh perceraian cukuplah kiranyajika sebuah turunan

dari keputusan itu disampaikan kepada Pengadilan Negeri disertai dengan

surat keterangan yang menyatakan, bahwa keputusan itu telah

memperoleh kekuatan mutlak.

Kalau keputusan penghukuman itu telah lewat enam bulan tanpa ada

tuntutan perceraian oleh pihak yang lain, maka tuntutan perceraian

menj adi gugur.

44

(34)

d. Perceraian karena melukai berat atau penganiayaan.

Perceraian karena hal ini kiranya sudah culmp jelas, hanya perlu

diterangkan bahwa percobaan pembunuhan yang tidak dilakukan dengan

perbuatan melukai atau penganiayaan bukan mernpakan alasan untuk

bercerai.45

Selain keempat alasan tersebut masih ada satu alasan lagi yang

terdapat dalam yuriprudensi yaitu ketegangan yang tidak dapat diperbaiki

lagi. Alasan ini diambil dari Ordonansi Perkawinan Orang Indonesia

Kristen (HOCI) staatblad 1933 No.74.

3. Akibat Perccraian

a. Akibat bagi suami isteri

Pada saat dibukukannya surat keputusan perceraian dalam register

Catalan Sipil maka bubarlah perkawinan, dengan demikian maka segala

hale dan kewajiban yang bersumber pada perkawinan tidak ada lagi.46

Bagi bekas suami maka dia berhak untuk melangsungkan

perkawinan barn. Berbeda dengan bekas isteri yang berlaku baginya

jangka waktu tunggu untuk melangsungkan perkawinan barn yaitu selama

tiga ratus hari, hal ini tertera dalam pasal 34 BW:

45 Ibid.

(35)

Seorang perempuan tak diperbolehkan kawin lagi, melainkan setelah lewat waktu tiga ratus hari semenjak perkawinan terakhir dibubarkan.

Mengenai pemberian nafkah, menurut pasal 225 BW apabila pihak

suami atau isteri atas kemenangan siapa perceraian itu dinyatakan tidak

mempunyai penghasilan yang cukup guna membehmjai nafkahnya, maka

Pengadilan Negeri boleh menentukan sejumlah uang tunjangan dari harta

kekayaan pihak yang lain. Selanjutnya pasal 227 BW menjelaskan bahwa

kewajiban memberi tunjangan ini akan berakhir dengan meninggalnya

salah satu pihak. 47

Sedangkan penetapan jumlah nafkah ditentukan oleh Hakim

berdasarkan kepentingan pihak penuntut dan penghasilan (kekayaan)

pihak pemberi nafkah.

b. Akibat bagi harta kekayaan

Hukum Perdata menganut paharn adanya persatuan harta kekayaan

(benda) suami isteri sebelwn dilangsungkarmya perkawinan sepanjang

para pihak tidak menentukan yang lain. Hal ini berdasarkan pasal

119

BW:

Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan isteri, sekedar mengenai itu dengan pe1janjian kawin tidak diadakan ketentuan lain ...

47

(36)

Oleh karena itu, apabila perkawinannya dengan persatuan harta kekayaan maka pembagiannya pun harus dilakukim menurut cara-cara seperti tersebut dalam pasal 232 BW.48

Jika suami dan isteri yang dicerai itu, telah berkawin dengan persatuan harta kekayaan, maka pembagian barang-barang persatuan hams berlangsung dalam ha! dan dengan earn yang sarna seperti teratur dalarn bab keenam.

Pembagian ha1ia kekayaan tersebut telah ditentukan caranya dalam Pasal 128 BW:

Setelah bubarnya persatuan, maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka masing-masing, dengan tak mempedulikan soal dari pihak yang mimakah barang-barang itu diperolehnya ...

Keadaan ini akan memungkinkan tmtuk merubah status sosial seseorang, yang tadinya miskin menjadi kaya setelah cerai dengan seorang hartawan.

c. Akibat bagi anak

Anak merupakan pihak yang paling menderita ketika terjadi perceraian, baik fisik maupun mental. Akibat yang jelas terlihat adalah tentang hak asuh, dengan siapa anak akan tinggal nantinya dan masalah biaya hidup anak selanjutnya. Oleh karena itu, untnk lebih jelasnya masalah hak asuh (pemeliharaan) anak dan biaya hidnpnya akan dijelaskan lebih lanjut dalarn bab selanjutnya.

48

(37)

A. Menurut Hukum Islam

1. Pemeliharaan Anak

Pemeliharaan anak terdiri dari dua kata, yaitu kata pemeliharaan dan kata anak. Pemeliharaan berasal dari kata pelihara artinya ュセョェ。ァ。L@ membela dan mendidik secara baik-baik.1 Sedangkan kata anak diartikan sebagai: 1. turunan kedua .. ., 2. manusia yang masih -kecil. .. 2 sehingga kata anak dimaksudkan sebagai keturunan kedua yang masih kecil.

Pada dasarnya tanggung jawab pemeliharaan anak menjadi beban orang tuanya, baik kedua orang tuanya masih hidup rukun atau ketika perkawinan mereka gaga! karena perceraian. 3

Pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian dalam Islam disebut dengan hadhanah (:;;WI). Hadhanah berasal dari kata

l:.>--.;..;-.:r4>·

yang beraiti memeluk

atau mengasuh anak 4

1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, I 988), Cet. ke-1, h.661

2 Ibid., h.30

3 Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), Cet.

ke-3, h.247

(38)

Menurut ahli fiqh hadhanah ialah melakukan pemeliharaan anak-anak

yang masih kecil baik laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar tetapi

belum tamyiz, tanpa perintah dari padanya, menyediakan sesuatu yang

menjadikan kebaikannya, menjaga dari sesuatu yang menyakitinya dan

merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri

menghadapi hidup dan memikul tanggtmgjawabnya.5

Hadhanah dapat pula diartikan dengan penguasaan, pemeliharaan,

perawatan dan pendidikan anak yang di bawah umur, dapat dilakukan oleh bapak

atau ibu sampai anak itu mumayyiz.6

Sedangkan as San'ani mengemukakan definisi hadhanah yaitu:

Aiiinya:

"Memelihara orang yang belum mampu mengurus diri sendiri, dan

menjaganya dari sesuatu yang dapat membinasakan atau membahayakannya. "7

Dari beberapa ta'rif tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud

dengan hadhanah ialah mengasuh atau memelihara anak yang belum mumayiz

supaya menjadi manusia yang hidup sempurna dan bertanggung jawab. Mengasuh

anak yang masih keeil merupakan suatu kewajiban dan itu adalah haknya, sebab

apabila disia-siakan tentu akan menimbulkan bencana dan kebinasaan baginya.

5

Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, (Beirut: Dar al Fikr, 1983), Cet. ke-4, Ji lid 2, h.288

6

Andi Thahir Hamid, Peradilan Agama dan Bidangnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), cet. ke-1,h.31

7

Sayyid al Imam Muhammad bin Ismail al kahlani dan as San'ani, Subu/u as Salam,

(39)

Kalau sebelum perceraian orang tua berkewajiban untuk memperhatikan

segala kebutuhan anak sekaligus menjaga harta bendanya, begitu pula sebalilmya

ketika orang tua bercerai. Dan menurut Undang-undang Perkawinan No. I Tahun

1974, anak yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau belum pernah

melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tua selama mereka

tidak dicabut dari kekuasaannya.

Kekuasaan orang tua dapat dicabut berdasarkan ketentuan Undang-undang

Perkawinan No.I Tahun 1974 pasal 49 (!), yaitu:

I. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;

2. Ia berkelakuan buruk sekali.

Dan ketika anak tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya, ia berada

di bawah kekuasaan wali. Adapun hal-hal yang bersangkutan dengan perwalian

adalah meliputi pribadi analc yang bersangkutan maupun harta bendanya hal ini

juga ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 50 (2). Perwalian

juga dapat dicabut berdasarkan Undang-undang Perkawinan No.I Tahun 1974

pasal 49 (I).

Dan ketika terjadi perceraian antara suami isteri, sedang mereka

mempunyai anak kecil, maka ibu lebih berhalc dari bapalc untuk mengasuh anak

(40)

lebih cakap untuk mengasuh dan merawatnya. Oleh karena itu, ibu yang

didahulukan dari pada bapak, semua ini untuk kebaikan masa depannya.8

Firman Allah:

/ / / . / / / / / / / . / / D

セセHZZZ[Bi|セ@

jsH|ᄋNセ|@

. '\

.(b .

セ@

".:'i:;'G--:;.,o·

セセgjgg@

セM

v

,A> V'

u,....u:::_:

,,

,,

セ@

v

u ;..

v..

,.,,,

0 / . / . ) / . } D

」セイイZ@

ッセ|I@

.

..

P[セセZNセ]]gセZ[NカMZゥNゥ[j[j|@

,,

Artinya:

"para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi

makan dan pakaian kepada para ibu dengan ma 'ruf .. " (Q.S. Al Baqarilh/2: 233)

Adapun aturan yang lebih mengutamakan ibu sebagai pengasuh

berdasarkan hadits Rasul:

Artinya:

Dari Abdullah bin 'Amr bahwasannya seorang perempuan berkata: "

Ya Rasulul/ah! Sesungguhnya anakku ini adalah dari kandunganku, dari susuku ia mendapat minuman dan pangkuanku adalah tempat berlindungnya. Dan sesungguhnya bapaknya telah menceraikan a/cu dan ia hendak mengambil anak

ini dariku. " Maka Rasulullah bersabda: " Engkau lebih berhak terhadap anak ini

8 A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka al Husna, 1994), Cet.

(41)

selama engkau belum menikah lagi. " (H.R. Ahmad dan Abu Daud dinilai shahih oleh Hakim)9

Tiada terdapat ikhtilaf dikalangan ulama terhadap permasalahan ibu lebih

berhak dari bapak dalam ha! mengasuh anak.

Ibnu Abbas menurut hadits yang dikeluarkan oleh Abdur Razzaq,

menyatakan:

A1tinya:

"Bau ibunya, tilamnya dan panas tubuhnya lebih baik bagi anak yang nersangkutan dari padamu (ayah) sqmpai dia remaja dan dapat memilih (anatar

ibu dan bapaknya) untuk (kebaikan) dirinya. "10

Tetapi ketika perceraian terjadi karena ibunya yang pindah agama

(murtad), atau sebaliknya, perkawinannya <lulu dilaksanakim pada waktu mereka

sama-sama belum Islam, kemudian suami masuk Islam sementara isteri tidak mau

mengikutinya, riwayat dari Rafi' ibn Sinan ra, menyatakan:

9 Sayyid al Imam Muhammad bin Ismail al Kahlani dan as San'ani, Op. cit., h.227

(42)

Artinya:

" la masuk Islam dan isterinya menolak untuk masuk Islam, maka Nabi SAW mendudukan ibu di satu sisi dan bapak di sisi lain, dan beliau mendudukan si anak di antara keduanya. Kemudian anak itu cenderung kepada ibunya. Beliau bersabda: "Ya Allah berilah petunjuk (hidayah) kepadanya." Kemudian anak itu cenderung kepada bapaknya dan memegangnya. " (Hadits dikeluarkan Abu Daud, al Nasa'I dan dinilai shahih oleh Hakim).11

Hadits tersebut oleh mayoritas ulama disepakati sebagai dasar bahwa

masalah hadhanah atau pemeliharaan anak oleh ibu yang bukan muslim,

dipandang tidak berhak karena kekafirannya.12

Apabila ibu berhalangan untuk memelihara anak.nya, atau perceraian

te1jadi ketika anak belum mumayyiz disusul dengan kematian ibunya, maka

kedudukannya digantikan oleh:

1. !bu dari ibu (nenek) dan seterusnya ke atas;

2. Bapak;

3. Ibu dari bapak;

4. !bu dari ibunya bapak dan seterusnya ke atas;

5. Kerabat terdekat yang perempuan; dan

6. Kerabat yang terdekat laki-laki.13

Hal ini kemudian dibukukan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 156 (a).

II Ibid, h. 228

12

Ahmad Rafiq, Hu/cum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), Cet. ke-3, h.253

13

(43)

Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya,

kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

I. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;

2. Ayah;

3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;

4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

Adapun syarat utama untuk dapat mengasuh anak, orang tersebut harus

mampu dan cakap. Dan untuk menilai mampu atau tidaknya dilihat kepada

beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut adalah:

I. Islam

Wanita kafir tidak boleh mengasuh anak kecil yang beragama Islam, karena

hadhanah (asuhan) itu adalah semacam kekuasaan dan wewenang. Sedang

Allah melarang orang kafir menguasai orang islam, sebagaimana firman-Nya.

Artinya:

'"Dan Allah seka/i-kali tidak akan memberi ijin kepada orang-orang

kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. "

2. Baligh (dewasa)

Anak-anak tidak boleh mengasuh, karena dia sendiri masih memerlukan

(44)

3. Berakal

Orang gila dan orang yang kurang akalnya tidak boleh mengasuh anak, sebab

keduanya tidak sanggup mengurus diri masing-masing, apalagi mengurus

orang lain.

4. Mampu

Orang buta dan orang yang berpenyakitan tems-menerus, dan orang lanjut

umur (pikun) dan wanita yang tidak sanggup mengurus rumah tangga, tidak

boleh mengasuh. Jika mereka ditunjuk untuk mengasuh atau mendidik,

dikhawatirkan anak itu akan menjadi terlantar dan sia-sia.

5. Jujur dan dipercaya

Wanita fasik (jahat) bermoral rendah dan berakhlak: buruk, tidak boleh

mengasuh, sebab di bawah asuhannya dikhawatirkan akan berpindah tingkah

lakunya itu kepada anak yang diasuh.

6. Tidak kawin

Apabila wanita pengasuh itu kawin, maka gugurlah hak hadhanah dari

padanya.

7. Merdeka

Budak atau hamba sahaya tidak boleh mengasuh, karena ia sibuk melayani

majikannya, sehingga tidal< ada tempo untuk itu.14

14

(45)

Mengenai lamanya masa mengasuh, para ahli fiqh berbeda pendapat, hal

ini dikarenakan tidak adanya ketentuan dalam nash. Adapun pendapat-pendapat

para ahli fiqh tersebut ialah:

a. Madzhab Hanafy, mengasuh anak kecil itu habis masanya kalau anak itu

sudah tidak membutuhkan pemeliharaan wanita dan sudah sanggup

melaksanakan keperluannya yang vital, seperti makan, minum, berpakaian

dan mandi. Dan untulc anak perempuan diperpanjang sampai ia dewasa tanpa

adanya ketentuan berapa tahun umurnya, ini berdasarkan pendapat yang lama.

Tetapi dalam pendapat yang baru, menetapkan 7 (tujuh) tahun bagi anak

laki-laki dan 9 (sembilan) tahun bagi anak perempuan.

b. Madzhab Maliki, masa asuhan anak laki-laki 、ゥー・イー。ゥセェ。ョァ@ sainpai ia dewasa

dan masa asuhan anak perempuan sampai ia menikah dan hidup dengan

tenang bersama-sama dengan suaminya.

c. Madzhab Syafi'i, sebaiknya anak itu diberi hak untuk memilih kalau ia sudah

mumayyiz.15

d. Madzhab Hambali, memberi batas mengasuh anak yaitu sampai anak berumur

7 (tujuh) tahun baik laki-laki maupun perempuan.16

15 Zakariya Ahmad Al Barry, Hukum Anak-anak Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,

1977), h.61

16 M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985),

(46)

Para ulama fiqh memang tidak sepakat dalam menentukan batas akhir

pemeliharaan (asuhan) anak, namun hal yang sangat mendasar untuk

menentukannya adalah terletak pada kondisi anak, dengan batas minimal sampai

anak terse but tan1yiz atau berumur tujuh tahun.

Jika masa pemeliharaan telah berakhir, maka ibu dan bapak dari anak

tersebut harus bermusyawarah tentang siapa yang harus mengasuh. Jika keduanya

sepakat, maka dilaksanakanlah kesepakatan itu. Tetapi jika keduanya bersengketa,

maka diserahkan kepada anak bersangkutan untuk memilih. 17 Hal ini berdasarkan

hadits Rasulullah SAW:

/ \ / / # / / . / )\ / /

<.fi_

0

L

セZcP@

HBGセ@

lヲェjセZNGs@

I

.0l (ify

t":.'.::..J\:;

•t:-;1

セiセ@

•:II

ャ「HZGセ@

c.J.

I

;j

,..,.,.,,...,>"' .. ·,.,, .. / / / .. / / /"

/ }

'

/ )\ セ@

'

/ / / / / / /

-:::JA.i:.r

..

セ@

,...,,..

セ@

.0ll

セ@

/

.0l1JfyJw .

セ\[G[BェjjZNNRセ」NjNiN[@

/

.

,,,,,,v,,,....

0'.

/ /

J!;:. ..

jJJ

,,

/// / ) i /

,>..?-\

0

GV") . ...

セᄋ@

(j ....:

I

..G

)

セNAェ@

,:.;_

セ@ NセN@

,..._,.... / / "r /

,, ,,

セ@

!.1;1

rM

/

Artinya:

Dari Abu Hurairah RA bahwa seorang perempuan berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya suamiku hendak membawa anakku dan sungguh anak ini berguna bagiku dan dialah yang mengambil air untukku dari sumur Abu

'Inabah" Maka datanglah suami perempuan itu. Maka Nabi SAW bersabda: "

Hai anak! lni bapakmu dan ini ibumu, maka pilihlah diantara keduanya yang

engkau sukai. " Maka anak itu memilih ibunya, maka pergilah perempuan itu

dengan anaknya. (H.R. Ahmad dan At Turmudzi).18

17

A. Fuad Said, Op. cit., h.225

(47)

Pilihan yang dij atuhkan anak tidak bersifat be bas mutlak, karena

adakalanya pilihan anak itu belum tepat dan acap kali salah. Dalam hal ini

diperbolehkan bagi Hakim untuk mengubah pilihan anak.

Pada hakikatnya tidak ada suatu ketentuan pasti dalam masalah ini,

terserah kepada kemashlahatan anak bersangkutan, di mana dia dapat lebih

berkembang dan bermanfaat, maka disitulah ia berada.19

2. Biaya Hidup Anak

Menurut Islam biaya hidup anak merupakan tanggung jawab bapaknya,

baik selama perkawinan berlangsung maupun setelah perceraian. Apabila setelah

perceraian, anak yang masih kecil dan menyusu berada di bawah pemeliharaan

ibunya, sedangkan masa 'iddahnya telah habis, maka ibu berhak mendapatkan

upah atas pemeliharaan dan penyusuan tersebut. Hal ini karena ia tidal< lagi

menerima nafkah dari bapak anak tersebut. Upal1 tersebut wajib diberikan baik

diminta ataupun tidak. 20

Firman Allal1:

Artinya:

" ... kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu ma/ca berikanlah kepada mereka upahnya ... "

19

A. Fuad Said, Op. cit., h.228

20

(48)

Adapun besar biaya yang ditanggung oleh bapak untuk anaknya

disesuaikan dengan kemampuan si bapak, berdasarkan firman Allah .

-:: 0 ) \ .,,,..., / !\ -'..-'.'."' 0 / ) / J

'YI

(.;;.Lil

iセ@

Y

.Lil

iセ@

(fr;'.

C:.

j4

セゥGN[Mカ@

MNNNNG|ZセZ[[LN@

»

0::;

A·':'-: ..

J

セ@

⦅[セ@

2;/J

;

/

..

/ /

..

/ ,,,,,... / / / / / ' /

"

セ@

(V:

ゥッOP[aォjャIセセMセNlゥャャセA^Aヲ|\GNエZB@

,,.

Artinya:

"Hendaklah orang yang mampu memberi najkah menurut

kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi najkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya.

Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. "

(Q.S. At Talak: 7).

Tetapi jika ayah tidak mampu, karena ia orang susah, dan berpenghasilan

rendah dan anak itu tidak mempunyai harta, sedangkan si ibu menolak untuk

mengasuhnya kecuali dengan upah dan tiada seorang pun diantara kaum kerabat

yang mau mengasuhnya, maka si ibu berkewajiban mengasuhnya secara mutlak.

Dan biaya pemeliharaan atau rawatan itu tetap menjadi hutang suami yang tidak

gugur, kecuali dengan ditunaikan.21 Kewajiban tersebut dapat pula ditanggung

oleh kerabat ahli waris yang terdekat yang mampu. Tetapi apabila ada orang lain

yang dengan suka rela mendidik anak itu tanpa ongkos, maka ha! tersebut dapat

diserahkan kepada pendidik suka rela tersebut.22

21 A. Fuad Said, Op. cit., h. 224

22

(49)

Namun apabila bapak dengan sengaja menelantarkan anaknya dengan

tidak memberikan biaya hidupnya padahal bapak cukup mampu, maka Islam

memperingatkan bahwa perbuatan tersebut adalah dosa. Hal ini berdasarkan

ketentuan hadits berikut:

'

// -::: / 1' ' ' / / .f\ \

セ@

ZセセNゥAャャセNゥAャ|j[カNGjャZ[@

,,...,...

:Jl:;

セNlゥャャセセセ@

PGNゥAャ「NsMセ@

/ ,,... ,,..,.,,,,.,. / .

) /

.

(JLllo\.,v-) .

NNZZゥセセZ[Gcヲ@

..

..

01

セiセᄋ@

;,,.v--,,.,.

'.:JC

Artinya:

Dari Abdullah bin 'Umar RA berkata, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: "Seseorang telah cukup dikatakan berbuat dosa, bila ia

menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya." (H.R. An Nasai).23

Masa pembiayaan anak akan berakhir yakni bagi anak laki-laki apabila ia

telah dewasa, dapat bekerja dan berdiri sendiri. Sedangkan bagi anak perempuan

sampai ia kawin, ketika anak perempuan telah kawin maka nafkahnya menjadi

kewajiban suaminya.24

B. Mcnurut Hukum Pcrdata

1. Pcmcliharaan Anak

Seorang anak yang sah sampai pada waktu ia mencapai usia dewasa atau

kawin berada di bawah kekuasaan orang tua (ouderlijke macht) selama kedua

23

Sayyid al Imam Muhammad bin Ismail al Kahlani dan as San'ani, Op. cit., h. 67 24

(50)

orang tua itu terikat dalam hubungan perkawinan, tidak dipecat dan dibebaskan

dari kekuasaannya.

Ketentuan tersebut berdasarkan Pasal 299 BW:

Sepanjang perkawinan bapak dan ibu, tiap-tiap anak sampa1 ia menjadi dewasa, tetap di bawah kekuasaan mereka, sekedar mereka tidak dibebaskan atau dipecet dari kekuasaan itu.

Kekuasaan orang tua terutama berisi kewajiban untuk mendidik dan

memelihara anaknya yang meliputi pemberian nafkah pakaian dan perumahan.25

Adapun penge1iian belum dewasa dalam pasal 299 BW dijelaskan dalam

pasal 330 BW, yaitu:

Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa ...

Jadi unsur yang penting adalah:

a. belum mencapai umur dua puluh satu tahun

b. belum kawin26

Kekuasaan orang tua dapat menjadi hapus selain karena perceraian juga

karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang se1ia pada waktu

anak-anak itu sudah menjadi dewasa atau telah kawin dan kekuasaan ini diganti dengan

suatu perwalian.

25

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1992), Cet. ke XXIV, h.50.

26

Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT. Bina Aksara,

(51)

Perwalian (voogdij) adalah pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan

harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak berada di

bawah kekuasaan orang tua. 27

Anak yang berada di bawah perwalian disebut pupil, mereka adalah:

a. anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang

tua;

b. anak sah yang orang tuanya telah bercerai;

c. anak yang lahir diluar perkawinan (natuurlijk kind).

Jika salah satu orang tua meninggal, menurut pasal 345 BW orang tua

yang lainnya dengan sendirinya menj adi wali dari anak-,maknya. Perwalian ini

dinamakan perwalian menurut uandang-undang (wettelijke voogdij). Sedangkan

menurut pasal 359 BW, seorang anak yang lahir diluar perkawinan berada di

bawah perwalian orang tua yang mengakuinnya. Apabila seorang anak yang tidak

berada di bawah kekuasaan orang tua ternyata tidak mempunyai wali, Hakim

akan mengangkat seorang wali atas permintaan salah satu pihak yang

berkepentingan atau karena jabatannya (datieve voogdij). Ada pula dalam pasal

355 BW dinyatakan, kemungkinan seorang ayah atau ibu di dalam surat

wasiatnya (testament) mengangkat seorang wali untuk anaknya. Pengangkatan

yang dimaksudkan akan berlalu, jika orang tua yang lainnya karena sesuatu sebab .

tidak menjadi wali. Perwalian semacam ini dinamakan pe1walian menurut wasiat

(testamentaice voogdij).

27

(52)

Pada urnumnya dalam tiap perwalian, hanya ada seorang wali saja, kecuali

apabila seorang wali-ibu (moedervoogdes) kawin lagi, dalam hal mana suaminya

menjadi kawan wali (modevoogd).28

Adapun perwalian yang terjadi karena perceraian, maka Hakim menunjuk

salah satu dari kedua orang tua anak tersebut. Mengenai perwalian ini ada

ketentuan-ketentuan seperti berikut:

a. Setelah oleh Hakim dijatuhkan putusan di dalam ha! perceraian ia harus

memanggil bekas suarni isteri dan semua keluarga sedarah dan semenda dari

anak-anak yang belum dewasa untuk didengar tentang pengangkatan seorang

wali. Hakim kemudian rnenetapkan untuk tiap anak siapa dari antara dua

orang tua itu yang harus menjadi wali. Dalam ha! ini bisa terjadi bahwa ada

beberapa anak yang diserahkan kepada perwalian si ayah dan lainnya kepada

si ibu. Di dalam ha! itu orang ketiga dapat juga ditetapkan menjadi wali

pengawas.

b. Jika setelah perceraian mempunyai kekuatan mutlak, terjadi sesuatu ha! yang

penting, maka atas permintaan bekas suami isteri, penetapan pengangkatan

wali dapat diubah oleh Hakim. 29

28

Subekti, Op. cit., h. 53

(53)

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa seorang

Hakim mempunyai peranan yang sangat pent:ing dalam menentukan hak

perwalian terhadap anak ketika orang tua bercerai.

Ketika akan menetapkan perwalian, malrn Hakim harus mendengar

keterangan dari keluarga pihak ayah maupun dari pihak ibu yang rapat

hubungannya dengan anak-analc tersebut. Hakim merdeka untuk menetapkan ayah

atau ibu yang menjadi wali, tergantung dari siapa yang dipandang paling cakap

atau lebih baik mengingat kepentingan anak-anak.30

Dan bila mereka tidak cakap. dalam menunaikan kewajiban memelihara

dan mendidik anak-anak mereka, maka mereka akan dibebaskan dari kewajiban

ini. Pasal 382 (c) BW menjelaskan:

Apabila wali bapak dan wali ibu tak cakap atau tak mampu menunaikan kewajiban memelihara dan mendidik analc-analc mereka, dan kepentingan anak-anak atas dasar lain talc menentang alcan pembebasan mereka dari perwalian, maka atas permintaan Dewan Perwalian atau tuntutan Jawatan Kejaksaan, bolehlah kedua mereka oleh Pengadilan Negeri tempat tinggal mereka, atau Pengadilan Negeri tempat tinggal mereka terakhir, dibebaskan dari perwalian itu terhadap seoran

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian memiliki semangat dan kepedulian yang tinggi dari masyarakat terhadap tanggap bencana; (5) Ada tempat relokasi untuk hunian tetap yang telah disediakan oleh pemerintah

The most important modules that you can find here are as follows: • Project model : This is used to work with the Visual Studio project • Text control : This allows you to work

Fokus penelitian kali ini untuk mengetahui Tujuan dan manfaat stilistika/ Uslūb dalam al- Qur’an , dan memberi gambaran tentang bagaimana terjadinya kesesuaian ayat yang di

Pelaksanaan supervisi dilaksanakan oleh pelaku supervisi dan subjek yang akan disupervisi, pelaku supervise adalah unsur yang paling dekat atau langsung

yang terdapat dalam pada metode targhib wa tarhib adalah tidak. realistik, sehingga tidak mudah di visualkan oleh anak

 Dengan proses cuklim yaitu batuan yang mengandung perak yang sudah diambil akan terlarut dalam larutan asam nitrat dan meninggalkan endapan

Pertama-tama Penulis ingin mengucapkan Puji Syukur Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tiada hentinya memberikan rahmat, anugerah, berkat, serta hidayah- Nya kepada Penulis, sehingga

Berdasarkan defenisi-defenisi yang dikemukakan para ahli di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan adalah setiap aktivitas terorganisir