• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Tingkat Kecukupan Gizi, Aktivitas Fisik Dan Pola Konsumsi Pangan Bebas Gluten Dan Kasein Dengan Status Gizi Anak Penyandang Autis Di Kota Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Antara Tingkat Kecukupan Gizi, Aktivitas Fisik Dan Pola Konsumsi Pangan Bebas Gluten Dan Kasein Dengan Status Gizi Anak Penyandang Autis Di Kota Bogor"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN GIZI,

AKTIVITAS FISIK DAN POLA KONSUMSI PANGAN BEBAS

GLUTEN DAN KASEIN DENGAN STATUS GIZI ANAK

PENYANDANG AUTIS DI KOTA BOGOR

ELVI HAYATTI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan antara Tingkat Kecukupan Gizi, Aktivitas Fisik dan Pola Konsumsi Pangan Bebas Gluten dan Kasein dengan Status Gizi Anak Penyandang Autis di Kota Bogor benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

(4)
(5)

ABSTRAK

ELVI HAYATTI. Hubungan antara Tingkat Kecukupan Gizi, Aktivitas Fisik dan Pola Konsumsi Pangan Bebas Gluten dan Kasein dengan Status Gizi Anak Penyandang Autis Di Kota Bogor. Dibimbing oleh SRI ANNA MARLIYATI.

Penelitian ini bertujuan untuk memelajari hubungan antara tingkat kecukupan gizi, aktivitas fisik, dan pola konsumsi pangan bebas gluten dan kasein dengan status gizi anak penyandang autis di Kota Bogor. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan jumlah subjek 34 orang. Subjek adalah ibu anak autis yang bersedia untuk menjadi responden penelitian. Tempat dan subjek penelitian dipilih secara purposive. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari–Maret 2015. Berdasarkan uji korelasi pearson terdapat hubungan signifikan antara tingkat kecukupan energi (r=0.462, p=0.006) dengan status gizi. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi (r=0.294, p=0.091). Berdasarkan uji korelasi spearman terdapat hubungan signifikan antara antara rata-rata konsumsi gluten (r=0.606, p=0.000), rata-rata konsumsi kasein dengan status gizi (r=0.531, p=0.001). Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan vitamin A (r=0.021, p=0.906), tingkat kecukupan vitamin B6 (r=0.028, p=0.874), tingkat kecukupan vitamin C (r=0.056, p=0.754), aktivitas fisik di Sekolah (r=0.166, p=0.349), dan aktivitas fisik di waktu luang dengan status gizi (r=0.011, p=0.951).

Kata Kunci : Aktivitas fisik, autis, gluten dan kasein, tingkat kecukupan gizi

ABSTRACT

ELVI HAYATTI. Correlation Between Nutrition Adequacy Level, Physical Activity And Gluten Free Casein Free Dietary Pattern With Nutritional Status Of Autism In Bogor City. Supervised by SRI ANNA MARLIYATI.

This research was aimed to study correlation between nutrition adequacy level, physical activity and gluten free casein free dietary pattern with nutritional status of autism in Bogor City. The study design was cross sectional with 34 subjects. The subjects were mother of autism who were willing to be respondent. Place and subjects were selected purposively. The research was conducted on February-March 2015. Pearson correlation test showed significant correlation between the adequacy of energy (r=0.462, p=0.006) with nutritional status. There was no significant relation between the adequacy of protein with nutritional status (r=0.294, p=0.091). Spearman correlation test showed significant correlation between the average of gluten (r=0.606, p=0.000), the average of casein with nutritional status (r=0.531, p=0.001). There was no significant relation between the adequacy of vitamin A (r=0.021, p=0.906), the adequacy of vitamin B6 (r=0.028, p=0.874), the adequacy of vitamin C (r=0.056, p=0.754), physical activity at School (r=0.166, p=0.349),and physical activity at free time with nutritional status (r=0.011, p=0.951).

(6)
(7)

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN GIZI,

AKTIVITAS FISIK DAN POLA KONSUMSI PANGAN BEBAS

GLUTEN DAN KASEIN DENGAN STATUS GIZI ANAK

PENYANDANG AUTIS DI KOTA BOGOR

ELVI HAYATTI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

Dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2015 adalah pola konsumsi dan status gizi anak autis dengan judul Hubungan antara Tingkat Kecukupan Gizi, Aktivitas Fisik dan Pola Konsumsi Pangan Bebas Gluten dan Kasein dengan Status Gizi Anak Penyandang Autis di Kota Bogor. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Keluarga tercinta dan tersayang: Ayahanda (Bapak Damsir), ibunda (Ibu Sawatimar), Andriansyah (kakak), Meddy Stiadhi (kakak), Felia Dina Riyes (kakak), serta seluruh keluarga besar atas segala doa, dukungan moril, dan perhatian serta kasih sayang yang diberikan.

2. Dr.Ir. Sri Anna Marliyati, MS selaku dosen pembimbing skripsi dan Prof.Dr.Ir.Ali Khomsan, MS selaku dosen penguji dan pembimbing akademik atas waktu, bimbingan, dan motivasi, serta saran dalam membantu proses penyelesaian penyusunan karya ilmiah ini.

3. Kepala sekolah SLB Tunas kasih 2, Dharma Wanita-C, Mentari Kita, Al-Irsyad, Sekolah Dasar Negeri Inklusi Perwira dan Sekolah Dasar Negeri Semeru 6 serta staff pengajar dan tata usaha yang telah membantu dan mendampingi selama proses pengambilan data, serta siswa-siswi penyandang autis dan orang tua siswa-siswi yang bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

4. Teman-teman tercinta : Laeli Nur Fitriani, Soraya Qatrunnada, Nur’Afifah Komalasari, Penghuni Wisma Pingky (Rica Monica, Ai Anis, Deya Silviani, Nur Khoiriyah, Nadia N, Mbak nono) yang selalu bersama 3 tahun ini dan selalu memberikan semangat dan doanya yang luar biasa, dan Defri Frisandi yang selalu memberikan dukungan dan perhatian setiap waktunya.

5. Teman-teman Enumerator : Kiki Yunita Sari, Yasmin Nafisah, Rahmadini, Asmi Faradina, Ziyaadah Aqliyah yang banyak sekali membantu dalam proses pengambilan data.

6. Teman-teman Gizi Masyarakat 48, teman-teman KKP Desa Sukajaya Bogor 2014, Ahli gizi dan pekerja di Rumah Sakit Pasar Rebo PKL 2014 serta teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala perhatian, dukungan, semangat, dan motivasi yang selalu diberikan kepada penulis.

Tidak lupa penulis mohon maaf atas segala kekurangan dalam penyusunan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Hipotesis 4

Manfaat Penelitian 4

KERANGKA PEMIKIRAN 5

METODE PENELITIAN 7

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian 7

Jumlah dan Cara Pengambilan Subjek 7

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 8

Pengolahan dan Analisis Data 9

Definisi Operasional 11

HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Keadaan Umum Lokasi Penelitian 12

Karakteristik Subjek 13

Karakteristik Keluarga 14

Status Gizi 16

Pola Konsumsi Pangam 18

Tingkat Kecukupan Gizi 20

Aktivitas Fisik 23

Frekuensi Konsumsi Gluten dan Kasein 24

Hubungan Antar Variabel 26

SIMPULAN DAN SARAN 30

DAFTAR PUSTAKA 31

LAMPIRAN 37

(12)

DAFTAR TABEL

1. Variabel, jenis, dan cara pengambilan data 8

2. Kategori Status gizi berdasarkan IMT/U 10

3. Sebaran subjek berdasarkan asal sekolah 12

4. Sebaran jenis kelamin subjek berdasarkan usia 13

5. Sebaran umur orangtua subjek 14

6. Sebaran keluarga subjek berdasarkan tingkat pendidikan 15 7. Sebaran orangtua subjek berdasarkan pekerjaan 16 8. Sebaran subjek berdasarkan pendapatan orangtua 16

9. Sebaran subjek berdasarkan status gizi 17

10.Sebaran subjek berdasarkan status gizi, jenis kelamin dan usia 17 11.Frekuensi konsumsi pangan sumber karbohidrat (kali/minggu) 18 12.Frekuensi konsumsi pangan sumber protein hewani (kali/minggu) 19 13.Frekuensi konsumsi pangan sumber protein nabati (kali/minggu) 19 14.Frekuensi konsumsi pangan sumber buah dan sayur 20

15.Tingkat kecukupan gizi subjek 20

16.Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan gizi 22 17.Sebaran subjek berdasarkan aktivitas fisik di sekolah dan waktu luang 24 18.Sebaran subjek berdasarkan konsumsi pangan sumber gluten dan kasein 24

19.Frekuensi konsumsi pangan sumber gluten 25

20.Frekuensi konsumsi pangan sumber kasein 26

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pemikiran penelitian hubungan antara tingkat kecukupan gizi, aktivitas fisik, dan pola konsumsi pangan bebas gluten dan kasein dengan status gizi anak penyandang autis di Kota Bogor

DAFTAR LAMPIRAN

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Anak merupakan individu yang berada pada rentang pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Tahap pertumbuhan dan perkembangan anak pun bervariasi, ada yang cepat dan ada yang lambat. Proses perkembangan anak meliputi fisik, kognitif, konsep diri, pola koping, dan perilaku sosial (Hidayat 2004). Pada beberapa kondisi terdapat beberapa anak yang mengalami masalah perkembangan, salah satu gangguan yang menjadi sorotan saat ini adalah autis. Setiap orangtua yang mempunyai anak yang telah didiagnosis autis oleh dokter akan memberikan diet kepada anak tersebut berdasarkan kebutuhannya, karena anak autis ada yang mengalami alergi terhadap makanan yang dikonsumsi setiap hari sehingga diperlukan diet khusus kepada anak tersebut. Semakin Bertambah atau berkembangnya ilmu pengetahuan maka semakin banyak pula penelitian di bidang kesehatan khususnya mengenai diet dan pemberian diet (Sintowati 2007).

Center For Disease Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat pada bulan Maret 2013 melaporkan, bahwa prevalensi autis meningkat menjadi 1:50 dalam kurun waktu setahun terakhir. Hal tersebut bukan hanya terjadi di negara-negara maju seperti Inggris, Australia, Jerman dan Amerika namun juga terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Prevalensi autis di dunia saat ini mencapai 15-20 kasus per 10 000 anak atau berkisar 0.l5-0.20%. Jika angka kelahiran di Indonesia 6 juta per tahun maka jumlah penyandang autis di Indonesia bertambah 0.15% atau 6.900 anak per tahunnya (Mashabi dan Tajudin 2009).

Penelitian terkait yang telah dilakukan tahun 2004 di Bogor diperoleh hasil bahwa sebanyak 68.24% anak autis menunjukkan adanya perbaikan perilaku pada tingkat hiperaktivitas setelah dilakukan terapi diet (Latifah 2004). Diet yang biasa diberikan untuk penderita autis diantaranya diet Gluten Free Casein Free (GFCF), diet anti yeast/ fermentasi dan intoleransi makanan berupa zat pengawet, zat pewarna makanan dan zat penambah rasa makanan. Perbaikan atau penurunan perilaku autis dapat dilihat dalam waktu 1- 3 minggu untuk diet Gluten Free Casein Free (GFCF) 1-2 minggu untuk diet anti yeast/ fermentasi. Penelitian tahun 2012 di Bandung melaporkan bahwa sebanyak 85% orangtua yang tidak patuh dalam menerapkan diet Gluten Free Casein Free (GFCF) berdampak pada terjadinya gangguan perilaku anak mereka seperti tantrum (mengamuk) dibandingkan pada anak autis yang orangtuanya patuh dalam menjalankan diet (Sofia 2012).

(14)

atas dua komponen protein yaitu gliadin dan glutenin. Kasein adalah protein kompleks pada susu yang mempunyai sifat khas yaitu dapat menggumpal dan membentuk massa yang kompak (Rosemary 2009).

Ramadayanti dan Margawati (2013) melakukan penelitian yang melibatkan 15 anak dengan usia yang berkisar antara 6–14 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak autis sebagian besar laki-laki yaitu 80%. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi perilaku pemilihan makanan pada anak autis dengan pertimbangan bahwa pemilihan jenis makanan yang benar secara tidak langsung akan mempengaruhi status gizi anak. Permasalahan makan pada anak autis diantaranya yaitu menolak makan, picky eaters (memilih-milih makanan), kesulitan menerima makanan baru, luapan kekesalan atau kemarahan (tantrum), dan gerakan mengunyah sangat pelan.

Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi status gizi pada anak, di antaranya adalah asupan zat gizi dan aktivitas fisik (Brown 2005). Basu et al. (2007) menyatakan adanya perbedaan status gizi anak dengan autisme status gizi normal. Penelitian yang dilakukan oleh Ingtyas (2005) dan Mathur et al. (2007) menunjukkan bahwa anak dengan autisme mengalami defisit asupan gizi yaitu diantaranya energi, protein, zat besi (Fe), vitamin A, vitamin B, dan vitamin C. Penelitian Foley (2008) dan Llyod (2012) menunjukkan bahwa aktivitas anak dengan autis lebih rendah dibandingkan dengan anak normal karena penurunan fungsi motorik, terutama anak usia sekolah. Asupan gizi yang tidak terpenuhi oleh anak autis dapat berpengaruh terhadap status gizi anak tersebut.

Menurut Washnieski (2009), ada beberapa rintangan atau hambatan dalam upaya menerapkan diet GFCF diantaranya adanya perlawanan dari anak, pembatasan diet yang membuat anak sulit untuk makan, masalah lingkungan sekolah, orangtua tidak tahu cara menyiapkan makanan yang bebas kasein dan gluten, dan cara menemukan sumber yang dapat membantu untuk mengimplementasikan diet. Hal-hal tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang tidak mendukung orangtua dalam menerapkan diet GFCF kepada anak mereka. Orangtua merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap penerapan diet GFCF pada anak autisme, karena pola makan pada anak autisme tidak terlepas dari peran seorang ibu dalam menyediakan makanan yang baik serta bergizi dan sesuai dengan kebutuhannya. Hasil dari penelitian Koka (2011) menunjukkan bahwa pengetahuan, sikap dan tindakan ibu dalam pemberian makan pada anak autis berada dalam kategori cukup yaitu 68.8% untuk pengetahuan, 59.4% untuk sikap, dan 43.8% untuk tindakan.

(15)

Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana tingkat kecukupan gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin B6,

dan vitamin C) anak autis?

2. Bagaimana aktivitas fisik yaitu saat aktivitas fisik di sekolah dan aktivitas fisik saat waktu luang anak autis?

3. Bagaimana pola konsumsi yaitu frekuensi makan, jenis sumber gluten dan kasein yang dikonsumsi anak autis?

4. Apakah terdapat hubungan antara tingkat kecukupan gizi dengan status gizi anak autis?

5. Apakah terdapat hubungan antara tingkat kecukupan gizi dengan aktivitas fisik anak autis?

6. Apakah terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan status gizi?

7. Apakah terdapat hubungan pola konsumsi pangan bebas gluten dan kasein dengan aktivitas fisik anak autis?

8. Apakah terdapat hubungan pola konsumsi pangan bebas gluten dan kasein dengan status gizi anak autis?

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan gizi, aktivitas fisik dan pola konsumsi pangan bebas gluten dan kasein dengan status gizi anak penyandang autis di Kota Bogor.

Tujuan Khusus

Berdasarkan tujuan umum di atas, terdapat beberapa tujuan khusus yaitu untuk :

1. Mengidentifikasi tingkat kecukupan gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin B6, dan vitamin C) pada anak autis di Kota Bogor

2. Mengidentifikasi aktivitas fisik pada anak autis di Kota Bogor

3. Mengidentifikasi pola konsumsi pangan bebas gluten dan kasein pada anak autis di Kota Bogor

4. Menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin B6, dan vitamin C) dengan status gizi anak autis di Kota Bogor

5. Menganalisis hubungan antara aktivitas fisik dengan status gizi pada anak anak autis di Kota Bogor

(16)

Hipotesis

1. Terdapat hubungan antara tingkat kecukupan gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin B6, dan vitamin C dengan status gizi pada anak autis di Kota Bogor.

2. Terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan status gizi (IMT/U) pada anak autis di Kota Bogor.

3. Terdapat hubungan antara pola konsumsi pangan bebas gluten dan kasein dengan status gizi (IMT/U) pada anak autis di Kota Bogor.

Manfaat Penelitian

(17)

KERANGKA PEMIKIRAN

Menurut Journal Developmental and Physical Disabilities (2011), autis adalah gangguan perkembangan sistem syaraf dengan ciri-ciri gangguan interaksi sosial, gangguan komunikasi, tingkah laku repetitive dan stereotyped, ketertarikan dan aktivitas (APA 2000). Autis adalah gangguan perkembangan yang mencakup bidang komunikasi, interaksi, dan perilaku yang luas dan berat. Kunci kesembuhan anak autis ada dua, yaitu intervensi terapi perilaku dengan metode ABA (Applied Behaviour Analysis) dan intervensi biomedis. Intervensi biomedis salah satunya dapat dilakukan dengan pengaturan pola konsumsi pangan. Hal ini terkait dengan salah satu penyebab autis yaitu gangguan metabolisme.

Selain melakukan pengaturan konsumsi pangan, diperlukan berbagai terapi untuk memperbaiki perkembangan anak autis. Lingkungan keluarga perlu bekerja sama mendukung diet anak, misalnya dengan cara menyediakan diet GFCF sepanjang hari. Pola konsumsi suatu keluarga sangat dipengaruhi oleh karakteristik keluarga, yaitu pendapatan orang tua, pendidikan orang tua, serta besar keluarga. Pola konsumsi dari seorang anak akan mempengaruhi status gizi. Selain itu, status gizi juga dipengaruhi oleh aktivitas fisik dan status kesehatan anak. Pola konsumsi ditentukan dari karakteristik keluarga terutama dari pendapatan orang tua.

Peran ibu di dalam keluarga selain mengasuh anak juga memegang peranan penting dalam pendampingan proses perkembangan anak termasuk dalam hal pemilihan makanan yang tepat sesuai dengan kebutuhan anak. Pemilihan makanan yang sesuai harus diberikan secara tepat untuk mencegah terjadinya kekurangan gizi pada anak autis. Konsumsi gluten dan kasein masih terbilang kurang dilihat dari jumlah konsumsi gluten dan kasein di Indonesia, namun jika ada pengaruh dari luar rumah dapat mengubah hal tersebut. Sangat penting bagi seseorang yang menerapkan diet pangan bebas gluten dan kasein untuk membaca label makanan mengingat banyaknya makanan kemasan menggunakan bahan makanan tersebut. Banyak penelitian menunjukkan bahwa pemberian pangan bebas gluten dan kasein pada autisme akan memberikan respon terhadap perubahan perilaku.

(18)

Keterangan :

: Diteliti : Tidak diteliti

: Hubungan dianalisis : Hubungan tidak dianalisis

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian hubungan antara tingkat kecukupan gizi, aktivitas fisik dan pola konsumsi pangan bebas gluten dan kasein dengan status gizi anak penyandang autis di Kota Bogor

Karakteristik keluarga

- Umur

- Pendidikan Orangtua - Pekerjaan Orangtua - Pendapatan Orangtua

Karakteristik Subjek

- Umur

- Jenis Kelamin

Status Gizi Anak Autis Pola konsumsi pangan bebas gluten dan kasein

- Jenis - Frekuensi

Aktivitas Fisik

Status kesehatan Tingkat kecukupan

Pengetahuan Ibu Akses terhadap

(19)

METODE

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan jenis pendekatan kuantitatif dengan desain Cross Sectional karena peneliti ingin melihat hubungan variabel independen dengan variabel dependen. Variabel independen meliputi tingkat kecukupan gizi(energi, protein, vitamin A, vitamin B6, vitamin C), aktivitas fisik, serta pola konsumsi pangan bebas gluten dan kasein dan variabel depeden yaitu status gizi (IMT/U). Penelitian dilakukan di 5 lokasi yaitu 4 SLB di Bogor yaitu SLB-C Dharma Wanita, SLB Mentari Kita, SLB–C Tunas Kasih 2, SLB-Al Irsyad Al-Islamiyyah, dan 1 sekolah inklusi yaitu SDN Perwira. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive dengan pertimbangan (1) kemudahan akses dan perizinan, (2) Ibu bersedia untuk berpartisipasi, (3) belum dilakukan penelitian di tempat tersebut. Pengambilan data penelitian berlangsung pada bulan Februari-Maret 2015.

Jumlah dan Cara Pengambilan Subjek

Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah anak autis yang merupakan siswa Sekolah Luar Biasa (SLB) dan sekolah inklusi yang terdapat di lokasi penelitian yaitu SLB-C Dharma Wanita, SLB Mentari Kita, SLB –C Tunas Kasih 2, SLB-Al Irsyad Al-Islamiyyah, dan SDN Inklusi Perwira. Subjek harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu (1) anak mengalami autis, (2) Ibu bersedia untuk diwawancarai, (3) bersedia berpartisipasi di dalam penelitian. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini yaitu siswa yang tidak bersedia melakukan pengukuran dan orang tua yang tidak kooperatif.

Penentuan jumlah contoh minimal yang diambil berdasarkan perhitungan rumus cross sectional (estimasi proporsi) yaitu:

n

=

1−�/22 �2

Keterangan : n = jumlah sampel

�1−�/22 = tingkat kepercayaan 95% (1.96)

p = prevalensi anak autis gizi lebih 10% (Mujiyanti 2011) q = 1-p

d = toleransi estimasi 10%

(20)

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer status gizi diperoleh dari hasil pengukuran antropometri yaitu berat badan dan tinggi badan anak autis. Pengukuran antropometri dilakukan dengan menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0.1 kg dan nilai maksimum 120 kg dan untuk pengukuran tinggi badan menggunakan microtoise dengan ketelitian 0.1 cm dan nilai maksimum 200 cm. Data primer juga diperoleh dari pengisian kuesioner oleh ibu subjek yang menjadi sampel dalam penelitian. Kuesioner di modifikasi dari Rahmawati (2013), Addyca (2012) dan Syafitri (2008) yang terdapat pada Lampiran 3. Penyebaran kuesioner dilakukan dengan cara wawancara kuesioner langsung yang dilakukan dengan orang tua anak autis yang meliputi (1) karakteristik subjek (usia dan jenis kelamin) (2) karakteristik keluarga meliputi (usia, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan), (3) data tingkat kecukupan gizi meliputi (energi, protein, vitmain A, vitamin B6, dan vitamin C) yang didapat menggunakan metode food record 2x24 jam, pengisian kuesioner dilakukan sendiri oleh ibu subjek selama 2 hari berturut-turut agar data lebih akurat dalam menulis nama masakan, cara persiapan dan pemasakan bahan makanan untuk anak autis yang diberikan secara khusus, (3) kuesioner Food Frequency Quetionaire (FFQ) meliputi frekuensi makan dan nama bahan makanan (4) kuesioner pola konsumsi pangan bebas gluten dan kasein meliputi (frekuensi makan, jenis konsumsi pangan sumber gluten dan kasein), (5) kuesioner aktivitas fisik diperoleh dengan menggunakan PAQ-C untuk usia 8-14 tahun yang telah dimodifikasi yang dibagi menjadi 2 bagian yaitu aktivitas fisik saat di Sekolah dan aktivitas fisik saat waktu luang.

Data sekunder yang diperoleh meliputi gambaran umum terkait lokasi penelitian serta daftar anak autis yang didapatkan dari 4 SLB (Sekolah Luar Biasa) dan 1 sekolah inklusi di Kota Bogor. Jenis data dan cara pengumpulan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Variabel, jenis dan cara pengumpulan data

No Variabel Data Cara Pengumpulan 1. Karakteristik Subjek Usia

Jenis kelamin

Kuesioner

2. Karakteristik Keluarga Usia Pendidikan Pekerjaan Pendapatan Besar keluarga

Kuesioner

(21)

Tabel 1 Variabel, jenis dan cara pengumpulan data (lanjutan)

No Variabel Data Cara Pengumpulan 4. sumber gluten dan kasein

- Pangan sumber analisis deskriptif dan inferensia. Data diolah dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 dan Statistical Package for Service Solutions (SPSS) 16 for Windows. Uji Shapiro-Wilk dilakukan untuk mengetahui normalitas data yaitu data karakteristik subjek (usia dan jenis kelamin), karakteristik keluarga (usia, pendapatan, pekerjaan dan pendapatan). Uji korelasi pearson digunakan untuk mengetahui hubungan status gizi dengan kecukupan energi dan kecukupan protein. Uji korelasi spearman dilakukan untuk mengetahui hubungan antara status gizi, kecukupan vitamin A, vitamin B6, vitamin C, rata-rata konsumsi gluten dan kasein, dan aktivitas fisik di Sekolah dan waktu luang.

Karakteristik keluarga meliputi data tentang ayah dan ibu subjek meliputi usia yang dibagi menjadi 3 kategori, menurut Hurlock (1999) yaitu dewasa muda (18-41 tahun), dewasa tengah (41-60 tahun), dan dewasa lanjut (>60 tahun), pendidikan terakhir terdiri atas SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi. Pekerjaan terdiri atas beberapa kategori yaitu pedagang/wiraswasta, PNS/TNI/POLRI, karyawan swasta, ibu rumah tangga atau yang lainnya. Besar keluarga menurut Hurlock (1999) terdiri atas 3 kriteria yaitu kecil (anggota keluarga ≤ 4 orang), sedang (5-7 orang), dan besar (≥ 8 orang). Besar pendapatan keluarga terdiri atas total keseluruhan pendapatan ayah dan ibu subjek setiap bulannya dalam satuan rupiah.

(22)

dalam gram sesuai dengan yang disajikan. Tingkat kecukupan energi dan protein dikategorikan dengan menggunakan cut of point Depkes (1996) yang dibedakan menjadi defisit tingkat berat (<70% AKE), defisit tingkat sedang (70-79% AKE), defisit tingkat ringan (80-89% AKE), normal (90-119% AKE), dan lebih (≥120% AKE). Sementara tingkat kecukupan untuk vitamin dikategorikan menjadi dua yaitu kurang (<77% angka kecukupan) dan cukup (≥77% angka kecukupan) (Gibson 2005).

Aktivitas Fisik didapatkan dengan menggunakan kuesioner aktivitas fisik PAQ-C (Physical Activity Quetinaire) untuk usia 8-14 tahun yang telah dimodifikasi. Data aktivitas terbagi menjadi 2 bagian yaitu (1) aktivitas fisik di Sekolah dan (2) aktivitas fisik saat waktu luang. Pengisian kuesioner mengenai aktivitas fisik yang dilakukan dengan wawancara secara langsung kepada orangtua subjek. Perhitungan nilai kuesioner dilakukan dengan cara mengkonversi jawaban kuesioner subjek ke dalam angka sesuai skor yang telah ditentukan (A=1, B=2, C=3, D=4, E=5). Pertanyaan terdiri atas 9 soal yang tiap soalnya memiliki nilai. Nilai total aktivitas fisik dilakukan dengan menjumlahkan seluruh skor.

Pola konsumsi sampel terdiri atas frekuensi makan, jenis pangan sumber gluten dan kasein yang dikonsumsi diukur dengan menggunakan metode Food Frequencies Questionnaries (FFQ) kemudian ditambah dengan keterangan jenis makanan yang disukai, alergi dan konsumsi suplemen. Cara yang dilakukan dalam metode ini adalah ibu subjek diminta untuk memberikan tanda pada daftar makanan yang tersedia di dalam kuesioner tersebut mengenai frekuensi konsumsi pangan gluten dan kasein. Kemudian direkapitulasi frekuensi konsumsi makanan sumber gluten dan kasein pada waktu tertentu.

Status gizi dilihat dari hasil pengukuran IMT menurut umur dengan menggunakan software WHO Antro Plus. Data yang diperoleh berdasarkan usia, jenis kelamin, berat badan (BB), dan tinggi badan (TB). Kategori status gizi berdasarkan IMT/U dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 kategori status gizi berdasarkan IMT/U

Indeks Z-score Status gizi IMT berdasarkan umur

Kemudian melakukan analisis data dengan cara penggolongan status gizi dibagi menjadi 3 kelompok yaitu gizi kurang, gizi normal, dan gizi lebih dengan Z-score <-2SD diberi kode 1, Z-score <+1SD diberi kode 2 dan Z-score >+1SD diberi kode 3.

Analisis statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Karakterisitik subjek meliputi umur dan jenis kelamin dan karakteristik keluarga subjek meliputi usia, pekerjaan, pendidikan, pekerjaan, pendapatan orangtua dengan menggunakan anilisis deskriptif.

(23)

4. Pola konsumsi gluten dan kasein menggunakan analisis deskriptif.

5. Tingkat kecukupan gizi meliputi energi, protein, vitamin A, vitamin B6, dan vitamin C menggunakan analisis deskriptif.

6. Aktivitas fisik subjek menggunakan analisis deskriptif.

7. Hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi diuji dengan menggunakan analisis korelasi Pearson.

8. Hubungan antara tingkat kecukupan vitamin A, vitamin B6, vitamin C dengan status gizi menggunakan analisis korelasi Spearman.

9. Hubungan antara konsumsi gluten dan kasein dengan status gizi yang diuji menggunakan analisis korelasi Spearman.

10.Hubungan antara aktivitas fisik (aktivitas sekolah dan aktivitas waktu luang) dengan status gizi yang diuji menggunakan analisis korelasi Spearman.

Definisi Operasional

Autis adalah gangguan perkembangan pada anak yang ditandai adanya gangguan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial disertai dengan kurangnya intelektual dan perilaku dalam rentang dan keparahan yang luas.

Subjek adalah anak yang mengalami autisme yang terdapat di lokasi penelitian dan termasuk dalam kriteria inklusi.

Karakteristik Subjek adalah keadaan subjek yang meliputi usia, jenis kelamin, berat badan, dan tinggi badan.

Karakteristik Keluarga adalah kondisi keluarga subjek yang meliputi usia, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan besar keluarga.

Usia Orang Tua adalah usia ayah dan ibu subjek saat penelitian berlangsung dan dinyatakan dalam tahun.

Pendidikan Orang Tua adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang ditempuh oleh ayah dan ibu subjek.

Pekerjaan Orang Tua adalah jenis pekerjaan ayah dan ibu subjek untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Besar Keluarga adalah keseluruhan anggota keluarga yang terdiri atas suami, istri dan anak.

Tingkat Kecukupan Gizi adalah perbandingan antara jumlah zat gizi yang diasup dengan angka kecukupan

Aktivitas Fisik adalah indeks kegiatan fisik responden yang dilakukan selama satu minggu dan diukur dengan menggunakan kuesioner modifikasi PAQ-C. Pola Konsumsi adalah frekuensi makan, jenis pangan sumber gluten dan kasein

serta jenis makanan yang disukai.

Status Gizi adalah keadaan gizi subjek yang diukur dengan menggunakan indeks antropometri IMT/U baku standar WHO 2010 dan keputusan Menkes 2010. Gluten adalah protein yang secara alami terdapat dalam bahan pangan ataupun

hasil olahan tepung-tepungan, oat, dan barley.

(24)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di lima tempat yaitu 1) SLB-C Tunas Kasih 2 Jl. Lingkar Utara No.16 Yasmin Kelurahan Semplak, Kecamatan Bogor Barat, 2) SLB Mentari Kita Jl.Janaka III No. 25 Bumi Indraprasta II Kelurahan Tegalgundil Kecamatan Bogor Utara, 3) SLB-C Dharma Wanita Jl. Malabar Ujung No. 2 Kelurahan Tegallega, Kecamatan Bogor Tengah, 4) SLB Al-Irsyad Al-Islamiyyah Jl. Jalan Sedane Blk 23 A Kelurahan Empang, Kecamatan Bogor Selatan, 5) SDN Perwira Jl. Perwira No. 4 Kelurahan Pabaton, Kecamatan Bogor Tengah. Sebaran subjek berdasarkan asal sekolah disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Sebaran subjek berdasarkan asal sekolah

Asal sekolah n %

SLB Tunas Kasih 2 5 14.7 SLB Mentari Kita 5 14.7 SLB-C Dharma Wanita 5 14.7 SLB Al-Irsyad Al-Islamiyyah 4 11.7 SDN Perwira 15 44.1

Total 34 100.0

Jumlah anak autis di Sekolah Luar Biasa (SLB) sangat sedikit dikarenakan anak autis memerlukan penanganan dan pengajaran yang khusus secara individu agar dapat mengurangi risiko gangguan perilaku. Di SLB Tunas Kasih 2 jumlah anak autis sebanyak 5 anak (14.7%), SLB Mentari Kita 5 anak (14.7%), SLB Dharma Wanita-C 5 anak (14.7%), SLB Al-irsyad Al-Islammiyah sebanyak 4 anak (11.7%), dan SDN Inklusi Perwira jumlah anak autis sebanyak 15 anak (44.1%). Total jumlah secara keseluruhan anak autis khusus di Sekolah Luar Biasa dan SDN Inklusi adalah 34 anak.

SLB (Sekolah Luar Biasa) di dua lokasi penelitian yaitu SLB Tunas Kasih 2 dan Dharma Wanita-C memiliki 3 jenjang pendidikan yaitu Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) serta terbagi menjadi tiga tingkat ketunaan yaitu tuna netra (Tipe A), tuna rungu (Tipe B), dan tuna grahita (C dan C1). Sementara, SLB Mentari Kita dan SLB Irsyad Al-Islammiyah hanya pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan terdiri atas beberapa jenis Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) diantaranya anak autis.

Fasilitas yang dimiliki oleh sekolah meliputi fasilitas fisik, lahan, dan non fisik. Fasilitas fisik yang dimiliki meliputi ruang kelas, ruang guru, ruang TU dan Kepala Sekolah, UKS, kantin, musholla, gudang, dan toilet. Fasilitas lahan yang ada terdiri atas halaman, lapangan olah raga, kebun, dan tempat parkir. Fasilitas non fisik/ekstrakurikuler yang ada di sekolah meliputi menari, bermusik, dan berenang.

(25)

anak autis di SLB terdapat 1-2 orang guru yang membimbing proses belajar-mengajar di dalam kelas. SLB Mentari Kita membuka kelas individu, yaitu kelas behaviour theraphy, speech theraphy, sensory integration, dan brain gym yang bertujuan untuk melatih siswa secara khusus dengan 1 orang pengajar.

SDN Perwira merupakan satu dari sedikit sekolah inklusi yang berada di Kota Bogor dengan jumlah anak berkebutuhan khusus yang mencapai 70% dari seluruh jumlah siswanya, dengan total jumlah anak autis sebanyak 15 anak. SDN Perwira memiliki tujuan agar peserta berkebutuhan khusus usia wajib belajar dapat memperoleh layanan pendidikan sama seperti peserta didik pada umumnya tanpa melihat kekhususan dan menghasilkan lulusan yang memiliki kecakapan, keterampilan, dan pengetahuan sesuai dengan kemampuan atau potensi peserta didik.

Karakteristik Subjek

Usia dan Jenis Kelamin

Usia yang menjadi faktor inklusi pada penelitian ini dibatasi menjadi 4 kelompok berdasarkan AKG 2013, yaitu 7-9 tahun, 10-12 tahun, 13-15 tahun, dan 16-18 tahun, sehingga terdapat perbedaan jumlah zat gizi yang dibutuhkan pada setiap kategori umur. Berdasarkan Tabel 4 sebagian besar subjek berusia 7-9 tahun yang berjumlah 13 anak (38.2%) yang semua berjenis kelamin laki-laki, usia 10-12 tahun berjumlah 11 anak (32.4%) yang terdiri atas 9 anak laki-laki dan 2 anak perempuan, usia 13-15 tahun berjumlah 8 anak (23.5%) yang terdiri atas 7 anak laki-laki dan 1 anak perempuan, dan usia 16-18 tahun berjumlah 2 anak yang berjenis kelamin laki-laki. Berdasarkan sebaran subjek, usia terendah adalah 7 tahun dan usia tertinggi adalah 18 tahun. Jumlah subjek pada penelitian ini telah dianggap mewakili populasi karena telah memenuhi jumlah minimal sampel pada penelitian ini. Sebaran jenis kelamin subjek berdasarkan usia disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran jenis kelamin subjek berdasarkan usia

Kelompok Usia (tahun)

(26)

mempengaruhi interaksi sosial dapat mempunyai andil pada perilaku yang berkaitan dengan anak autis (Wargasetia 2003).

Karakteristik Keluarga

Usia Orang Tua

Usia orang dewasa menurut Hurlock (1999) dikategorikan menjadi dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan dewasa lanjut (>60 tahun). Usia orangtua akan mempengaruhi kualitas pengasuhan terhadap anaknya. Umur biasanya mempengaruhi kesiapan seseorang untuk menjalani proses-proses dalam kehidupannya. Tahapan kehidupan salah satunya dijalani dengan berkeluarga. Usia orangtua dapat mempengaruhi kesiapan menjalankan peranannya, terutama dalam memenuhi kebutuhan anak untuk menunjang tumbuh kembang yang optimal (Anfamedhiarifda 2006).

Usia yang semakin bertambah pada dewasa awal akan lebih mampu memecahkan masalah yang dihadapi dengan cukup baik tanpa emosional, sedangkan umur orangtua pada dewasa madya merupakan suatu masa transisi dari masa dewasa ke masa lanjut usia. Rentang usia orangtua subjek berada pada masa dewasa dini (18-40 tahun) dan dewasa madya (41-60 tahun). Bertambahnya usia orangtua diharapkan perhatian dan pengasuhan terhadap anak terutama anak autis yang membutuhkan penanganan khusus juga semakin baik. Usia ayah subjek sebagian besar (76.5%) berada pada kategori dewasa madya yaitu pada kisaran usia 41-60 tahun. Umur ibu subjek berada pada kelompok dewasa awal (50%) dengan kisaran umur 18-40 tahun dan dewasa madya (50%) dengan kisaran umur 41-60 tahun. Rata-rata usia ayah subjek adalah 47.1 tahun dan rata-rata usia ibu subjek adalah 40.7 tahun. Sebaran umur orangtua subjek disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran umur orangtua subjek

Kategori Usia Ayah Ibu n % n % Dewasa Awal (18-40 tahun) 8 23.5 17 50.0 Dewasa Madya (41-60 tahun) 26 76.5 17 50.0 Dewasa Lanjut ( >60 tahun) 0 0.0 0 0.0

Total 34 100 34 100

Pendidikan Orang Tua

Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi nilai-nilai yang dianut, cara berpikir, cara pandang bahkan persepsi terhadap suatu masalah (Sumarwan 2003). Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah seseorang dalam menerima informasi (Hidayat 2004 dalam Fitriadini 2010). Menurut Yudesti (2012) dan Ernawati (2006) semakin tinggi tingkat pendidikan orangtua semakin baik pertumbuhan anak.

(27)

pemeliharaan kesehatan, dan referensi kehidupan keluarga. Menurut BPS (2006), tingkat pendidikan dapat diukur dari pendidikan terakhir yang ditamatkan. Tingkatan pendidikan orang tua subjek beragam pada 7 kategori tingkatan pendidikan yaitu tidak tamat SD/sederajat, SMP/sederajat, SMA/sederajat, Diploma, sarjana, S2/S3. Sebaran keluarga subjek berdasarkan tingkat pendidikan orangtua disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran keluarga subjek berdasarkan tingkat pendidikan orangtua

Tingkat pendidikan Ayah Ibu

n % n %

Tidak tamat SD 0 0.0 0 0.0 SD/sederajat 0 0.0 2 5.9 SMP/sederajat 1 2.9 2 5.9 SMA/sederajat 9 26.5 12 35.3

Diploma 1 2.9 1 2.9

Sarjana 20 58.8 16 47.1

S2/S3 3 8.8 1 2.9

Total 34 100.0 34 100.0

Presentase tingkat pendidikan orangtua subjek yang tidak tamat SD tidak ada. Tingkat pendidikan SD/sederajat untuk ibu subjek sebanyak 5.9%. SMP/sederajat untuk ayah subjek sebanyak 2.9% dan ibu subjek 5.9%. Tingkat pendidikan SMA/sederajat ayah subjek 26.5% dan ibu subjek 35.3%. Kemudian untuk tingkat pendidikan Diploma, ayah subjek sebanyak 2.9% dan ibu subjek sebanyak 2.9%. Sebagian besar orangtua subjek berada pada tingkat pendidikan sarjana sebanyak 58.8% untuk ayah subjek, dan 47.1% untuk ibu subjek. Sedangkan S2/S3 orangtua subjek sebanyak 8.8% untuk ayah subjek, dan 2.9% untuk ibu subjek. Sehingga kesimpulannya tingkat pendidikan sebagian besar pada orangtua subjek adalah sarjana dari 34 total subjek.

Pekerjaan Orangtua

Pekerjaan menggambarkan pendapatan keluarga, sedangkan pendapatan menggambarkan tingkat sosial ekonomi. Faktor pendapatan memiliki peranan besar dalam persoalan gizi dan kebiasaan makan keluarga terutama tergantung kemampuan keluarga untuk membeli pangan yang dibutuhkan keluarga tersebut (Azwar 2000). Data pekerjaan dikategorikan ke dalam tujuh kelompok, yaitu Tidak bekerja, Pedagang/Wiraswasta, PNS, Pelaut, Petani, Ibu rumah tangga, dan Dokter. Berdasarkan Tabel 7, sebagian besar ayah subjek bermata pencaharian pedagang/wiraswasta 64.7% dan PNS 17.6%, sedangkan sebagian kecil ayah subjek bekerja sebagai dokter sebanyak 5.9% dan tidak bekerja 2.9%. Sementara sebagian besar ibu subjek sebagai ibu rumah tangga sebanyak 64.7%.

(28)

sebagai pedagang/wiraswasta, 11.8% sebagai PNS, dan 2.9% sebagai dokter. Sebaran orangtua subjek berdasarkan pekerjaan disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran orangtua subjek berdasarkan pekerjaan

Pekerjaan Ayah Ibu merupakan jumlah dari pendapatan ayah dan ibu setiap bulannya. Persentase tingkat pendapatan orang tua subjek yaitu kategori tinggi (> Rp5 000 000/bulan), dan sangat tinggi (> Rp15 000 000/bulan). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa besar pendapatan orangtua subjek berada pada rentang ekonomi menengah ke atas.

Berdasarkan standar BPS Jawa Barat (2014) seluruh orang tua subjek laki-laki dan perempuan (100%) termasuk dalam kategori tidak miskin, dimana pendapatannya melebihi Rp302735/perkapita/bulan. Meningkatnya pendapatan akan meningkatkan peluang untuk membeli pangan dengan kuantitas dan kualitas yang lebih baik, sebaliknya penurunan pendapatan akan menyebabkan menurunya daya beli pangan baik secara kualitas maupun kuantitas (Sulistyoningsih 2012). Sebaran subjek berdasarkan pendapatan orangtua disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran subjek berdasarkan pendapatan orangtua

Pendapatan total n %

(29)

dipengaruhi oleh pendidikan ibu. Ibu yang memiliki pendidikan yang baik cenderung dapat menangkap informasi lebih baik sehingga perkembangan anak menjadi baik. Sebaran subjek berdasarkan status gizi disajikan pada Tabel 9. Dokumentasi kegiatan disajikan pada Lampiran 1.

Tabel 9 Sebaran subjek berdasarkan status gizi

Status Gizi Laki-laki Perempuan Total n % N % n %

Rata-rata status gizi yang diukur dengan IMT/U adalah 0.49. Adapun nilai z-score subjek berada antara -3.00 hingga 3.72. Presentase status gizi subjek mayoritas berstatus gizi normal yaitu 14 anak laki-laki (41.2%) dan yang mengalami gizi lebih serta obes sebanyak 12 anak laki-laki (34.3%). Jenis kelamin mempengaruhi jumlah kelebihan berat badan pada anak autis. Penelitian Curtin et al. (2010) menunjukkan bahwa jumlah anak autis yang kelebihan berat badan lebih banyak pada anak laki-laki (79%) dibandingkan perempuan (21%). Hal ini sejalan dengan penelitian Li et al. (2010), overweight dan obesity lebih banyak terjadi pada anak laki-laki (19.4%) dibandingkan perempuan (13.2%). Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Evan et al. (2011) menunjukkan bahwa anak autis mengosumsi lebih banyak minuman manis serta makanan ringan jika dibanding dengan anak normal, namun konsumsi buah dan sayur lebih rendah. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara konsumsi terhadap IMT anak autis. Sebaran subjek berdasarkan status gizi, jenis kelamin, dan usia disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Sebaran subjek berdasarkan status gizi, jenis kelamin, dan usia

(30)

11.8% (4 anak laki-laki) dan 8.8% (3 anak laki-laki). Kemudian yang mengalami obesitas 8.8% (3 anak laki-laki) pada kelompok usia 13-15 tahun. Selanjutnya gizi kurang sebesar 11.8% (4 anak laki-laki) pada rentang usia 7-9 tahun dan 10-12 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Andyca (2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan status gizi pada responden. Penelitian lainnya yang terkait yaitu Li et al (2010) tentang Dietary habits and overweight/obesity in adolescent in Xi’an, China pada anak usia 11-17 tahun pada tahun 2004, memperlihatkan overweight dan obesity lebih banyak terjadi pada anak laki-laki (19.4%) dibandingkan dengan perempuan (13.2%).

Pola Konsumsi Pangan

Data pola konsumsi diperoleh secara kualitatif dengan menggunakan Food frequency Questionnaire yaitu menilai frekuensi suatu jenis pangan atau suatu kelompok pangan yang dikonsumsi seseorang dalam periode waktu tertentu sehingga kuesioner ini dapat memberikan informasi mengenai pola konsumsi pangan seseorang (Gibson 2005). Konsumsi jenis pangan meliputi bahan makanan sumber karbohidrat, sumber protein hewani, sumber protein nabati, kelompok sayuran, dan kelompok buah. Frekuensi rata-rata konsumsi pangan sumber karbohidrat yang paling banyak adalah nasi sebanyak 22.2 kali/minggu. Frekuensi makan sebagian besar subjek relatif sama setiap harinya yaitu tiga kali sehari. Kebiasaan makan tiga kali sehari dari setiap kelompok subjek dianggap sudah baik untuk menghindari masalah gizi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suhardjo (2000) guna menghindari terjadinya masalah gizi, frekuensi makan sebaiknya 3 kali sehari. Data frekuensi konsumsi pangan sumber karbohidrat disajikan pada Tabel 11, sedangkan sebaran subjek berdasarkan frekuensi konsumsi pangan sumber karbohidrat, protein, vitamin A, vitamin B6, dan vitamin C disajikan pada Lampiran 2.

Tabel 11 Frekuensi konsumsi pangan sumber karbohidrat

Nama Bahan Makanan Frekuensi konsumsi (kali/minggu) Sumber Karbohidrat

Nasi 22.2±4.71

Kentang 2.41±4.11

Bihun 1.29±2.03

Ubi Jalar 0.44±0.71 Singkong 0.61±0.71

(31)

Tabel 12 Frekuensi konsumsi pangan sumber protein hewani

Nama Bahan Makanan Frekuensi konsumsi Kali/minggu Sumber Protein Hewani

Telur ayam 5.85±0.36 Ikan air tawar 1.80±2.22 Ikan laut 2.22±3.60 Daging sapi 2.50±4.99

Ayam 3.70±3.61

Bakso 1.11±2.91 Sosis 0.96±1.78 Daging Kambing 0.02±0.17

Frekuensi konsumsi pangan sumber protein nabati yang paling banyak adalah tempe 5.38 kali/minggu. Alasan ibu subjek sering memberikan tempe karena rasanya yang enak, harganya yang murah, dan selalu tersedia di Pasar. Menurut Yudana (2003), menunjukkan bahwa tempe kaya akan serat, kalsium, vitamin B, zat besi. Frekuensi konsumsi pangan sumber protein nabati disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Frekuensi konsumsi pangan sumber protein nabati

Nama Bahan Makanan Frekuensi konsumsi (kali/minggu) Sumber Protein Nabati

Tahu 2.69±4.46

Tempe 5.38±6.03

Kacang hijau 0.61±1.34 Kacang tanah 0.86±1.75 Kacang merah 0.23±0.53

(32)

Tabel 14 Frekuensi konsumsi pangan kelompok buah dan sayuran

Nama Bahan Makanan Frekuensi konsumsi (kali/minggu) Sumber Kelompok Buah

Pisang 2.54±4.96 Mangga 1.14±1.89 Jeruk 1.88±2.50 Apel 0.84±1.75 Rambutan 0.53±1.27 Pepaya 0.65±1.42

Sumber Kelompok sayuran Wortel 5.24±6.76 Bayam 2.53±3.98 Tomat 1.55±2.45 Buncis 1.80±2.94 Tauge 1.03±1.98 Sawi 1.11±1.99

Tingkat Kecukupan Zat Gizi

Menurut Permenkes (2013), Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktifitas tubuh untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Penelitian Defeat Autism Now dalam McCandless (2003) menunjukkan bahwa anak autis mengalami defisiensi pada beberapa zat gizi. Anak autis sebagian besar mengalami defisiensi pada vitamin A, vitamin B6, dan vitamin C. Data tingkat kecukupan gizi disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15 Tingkat kecukupan gizi subjek

Zat Gizi % Tingkat Kecukupan Gizi

% Terendah % Tertinggi %Rata-rata Energi (Kal) 49 121 86±14.4 Protein (g) 69 191 110±27.8 Vitamin A (µg) 13 794 154±190.3 Vitamin B6 (mg) 62 140 90±19.7

Vitamin C (mg) 16 207 41±42.9

(33)

kecukupan energi anak berkebutuhan khusus berdasarkan kelompok usia 10-18 tahun tergolong kurang dengan persentase terendah 25%.

Protein adalah zat gizi yang disusun oleh asam amino. Protein memiliki fungsi selain sebagai sumber energi juga sebagai zat pembangun serta pemeliharaan sel-sel dan jaringan tubuh yang rusak (Gibson 1990, Supariasa 2002). Makanan yang mengandung protein yang tinggi biasanya juga mengandung lemak yang tinggi sehingga dapat mengakibatkan kelebihan berat badan atau kegemukan dan obesitas (Almatsier 2004). Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata tingkat kecukupan protein subjek sebesar 110±27.8% dengan tingkat kecukupan protein terendah yaitu 69% dan tertinggi 191% (Tabel 15). Sumber protein yang paling banyak dikonsumsi oleh subjek adalah telur, daging ayam, tahu dan tempe. Berdasarkan uji normalitas Shapiro Wilk, data tingkat kecukupan protein tersebar normal dengan nilai signifikansi p = 0.222 atau p>0.05. Dianah (2011) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan protein dengan kegemukan, tetapi yang mengonsumsi protein “lebih” terjadi pada subjek dengan status gizi overweight dan obesity. Hal ini juga ditemukan oleh Yussac dkk (2007) menunjukkan bahwa asupan protein pada kelompok anak yang gemuk melebihi jumlah protein yang dibutuhkan (sekitar 10-12%).

Vitamin A berfungsi dalam penglihatan, diferensiasi sel, kekebalan tubuh, pertumbuhan, dan perkembangan tubuh serta mencegah kanker dan penyakit jantung. Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan kebutaan dan meningkatkan risiko terkena penyakit saluran pernapasan dan diare, keterlambatan pertumbuhan serta meningkatkan angka kematian anak jika kekurangan lebih dari 30% (Almatsier 2009). Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata tingkat kecukupan vitamin A sebesar 154±190.3%, dengan tingkat kecukupan vitamin A terendah yaitu 13% dan tertinggi 794%. Tingginya tingkat kecukupan vitamin A karena beberapa subjek mengonsumsi makanan seperti hati ayam dan wortel. Sementara itu rendahnya tingkat kecukupan vitamin A karena sebagian kecil subjek tidak menyukai sayuran dan buah-buahan. Hal ini didukung oleh Ingtyas (2005) bahwa terjadinya defisit vitamin A pada anak autis sebesar 72.1%. Berdasarkan uji normalitas Shapiro Wilk, data tingkat kecukupan vitamin A tersebar tidak normal dengan nilai signifikansi p = 0.000 atau p<0.05.

Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2013, kecukupan vitamin B6 untuk usia 7-18 tahun laki-laki dan perempuan berada pada rentang 1.0-1.3 mg. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata tingkat kecukupan vitamin B6 sebesar 90±19.7% dengan tingkat kecukupan vitamin B6 terendah yaitu 62% dan tertinggi 140%. Berdasarkan uji normalitas Shapiro Wilk, data tingkat kecukupan vitamin B6 tersebar tidak normal dengan nilai signifikansi p = 0.044 atau p<0.05. Vitamin B6 penting untuk mempertahankan fungsi otak yang sehat, pembentukan sel darah merah, pemecahan protein, sintesa antibodi sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh. Dampak kekurangan vitamin B6 adalah terjadi pecah-pecah disudut bibir, kerusakan kulit, mudah mual-mual, lidah tidak kasar, mudah pening, anemi, dan terjadi sawan pada anak kecil (Linder 1992).

(34)

kecukupan vitamin C terendah yaitu 16% dan tertinggi 207%. Berdasarkan uji normalitas Shapiro Wilk, data tingkat kecukupan vitamin B6 tersebar tidak normal dengan nilai signifikansi p = 0.000 atau p<0.05. Berdasarkan hasil wawancara yang mendalam, rendahnya tingkat kecukupan vitamin C karena beberapa subjek memiliki alergi terutama pada buah-buahan yang asam dan tidak terlalu menyukai sayuran berwarna hijau. Menurut Ingtyas (2005), asupan vitamin C pada anak berkebutuhan khusus masih tergolong lebih rendah dibandingkan dengan anak normal sebesar 83.6% subjek.

Tingkat kecukupan energi subjek sebagian besar berada pada kategori defisit ringan (80-89%) dan normal (90-119%). Subjek mendapat cukup asupan energi dari menu makanan yang mereka konsumsi. Berdasarkan hasil foodrecord 2x24 jam, diketahui bahwa subjek sudah baik dalam pola konsumsi pangan dengan 3 kali makan mencakup protein hewani, nabati, sayur dan buah, sehingga kecukupan energi terpenuhi. Presentase tingkat kecukupan energi kategori defisit sedang (70-79%) dan defisit berat (<70%) sebanyak 29.4%. Hal ini dikarenakan sebagian kecil subjek tidak mengonsumsi beberapa jenis makanan yang menjadi sumber energi seperti susu dan makanan yang mengandung gluten (roti, kue, biskuit dan lain-lain) dengan menerapkan diet GFCF (Gluten Free Casein Free). Tingkat kecukupan protein subjek berada pada kategori normal (90-119%) yaitu sebanyak 44.1% dengan jumlah 15 anak. Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan energi, protein, vitamin A, vitamin B6, dan vitamin C disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan energi, protein, vitamin A, vitamin B6, dan vitamin C

Zat Gizi Kategori n %

Energi Defisit Berat (<70%) 4 11.8 Defisit sedang (70-79%) 6 17.6 Defisit ringan (80-89%) 11 32.4 Normal (90-119%) 12 35.3

Berlebihan (≥120%) 1 2.9

Protein Defisit Berat (<70%) 2 5.9 Defisit sedang (70-79%) 2 5.9 Defisit ringan (80-89%) 3 8.8 Normal (90-119%) 15 44.1

Berlebihan (≥120%) 12 35.3

Vitamin A Kurang (<77%) 13 38.2

Cukup (≥77%) 21 61.8

Vitamin B6 Kurang (<77%) 6 17.6

Cukup (≥77%) 28 82.4

Vitamin C Kurang (<77%) 29 85.3

Cukup (≥77%) 5 14.7

(35)

pangan. Asupan protein pada anak usia sekolah yang berada dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan yang pesat membutuhkan protein lebih banyak perkilogram berat badan dibanding orang dewasa (IOM 2005). Kemudian sebagian kecil subjek berada pada tingkat kecukupan protein defisit sedang dan berat yaitu, sebanyak 5.9%. Hal tersebut karena sebagian kecil subjek tidak mengonsumsi pangan sumber gluten (protein gandum) dan kasein (protein susu). Kedua protein menyebabkan alergi jika dikonsumsi karena di dalam usus halus kedua jenis protein tersebut dipecah menjadi fraksi-fraksi molokuler yang kecil yang disebut peptida (gabungan dua asam amino atau lebih). Beberapa peptida yang dihasilkan bersifat narkotika terhadap anak autis (Winarno dan Agustina 2008).

Tingkat kecukupan vitamin A pada sebagian besar subjek sudah cukup baik, sebanyak 61.8% masuk dalam kategori cukup, sedangkan 38.2% masuk dalam kategori kurang. Penelitian yang dilakukan oleh Mathur et al. (2007) menunjukkan adanya defisit vitamin A pada anak autis tetapi tidak disebutkan angka defisit vitamin A tersebut. Kekurangan Vitamin A dapat menyebabkan kebutaan dan meningkatkan risiko terkena penyakit saluran pernapasan dan diare, keterlambatan pertumbuhan serta meningkatnya angka kematian anak jika kekurangan lebih dari 30%.

Berdasarkan Tabel 16, tingkat kecukupan vitamin B6 tergolong kategori cukup yaitu 82.4% dengan jumlah 28 subjek dan 17.6% tergolong kategori kurang dengan jumlah 6 subjek. Asupan vitamin B6 pada anak autis masih tergolong rendah yaitu sebesar 68.9% untuk vitamin B6 (Ingtyas 2005). Kekurangan vitamin B6 menunjukkan gejala seperti lemah, sifat lekas marah dan susah tidur (Linder 1992). Berdasarkan penelitian Asha et al. (2006) menunjukan bahwa perubahan suasana hati di pengaruhi oleh status vitamin B6 dalam tubuh.

Asupan vitamin C masuk dalam kategori kurang sebanyak 85.3% subjek. Konsumsi vitamin C yang kurang dikarenakan subjek pada penelitian ini tidak mengonsumsi beraneka ragam sayuran. Sayuran yang banyak dikonsumsi adalah wortel dan bayam. Tubuh tidak dapat memproduksi vitamin C sehingga diperlukan asupan dari makanan atau suplemen. Asupan vitamin C yang cukup pada anak dapat membantu pengaturan pergerakan usus secara tepat karena kemampuannya sebagai pencahar dan dapat membantu meningkatkan penyerapan kalsium dan zat besi (McCandless 2003). Bahan makanan yang banyak mengandung vitamin C adalah daun singkong, daun katuk, daun melinjo, daun pepaya, sawi, pepaya, gandaria, dan buah-buahan yang berasa asam.

Aktivitas Fisik

(36)

fisik tinggi, sedangkan untuk aktivitas fisik pada waktu luang yaitu 58.8% subjek tergolong rendah dan 41.2% subjek tergolong tinggi. Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dengan menggunakan PAQ-C modifikasi kepada orangtua subjek, rendahnya aktivitas fisik saat di sekolah karena kegiatan rutin seperti olahraga (senam, voli, dan bola kaki) di dalam kurikulum dilakukan satu kali dalam seminggu. Selanjutnya orangtua subjek mengaku bahwa kegiatan setelah pulang sekolah dan makan siang adalah bermain gadget, tiduran, duduk, mengerjakan tugas, nonton TV, makan dan tidur. Sebaran subjek berdasarkan aktivitas fisik dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu aktivitas fisik di sekolah dan waktu luang yang disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17 Sebaran subjek berdasarkan aktivitas fisik di sekolah dan waktu luang

Aktivitas Fisik n(%) Mean Min Max

Frekuensi Konsumsi Gluten Dan Kasein

Makanan merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan bagi penyandang autis dikarenakan ada beberapa makanan yang dilarang dikonsumsi, yaitu produk susu maupun gandum. Opioid bersumber dari kasein (protein dari susu sapi atau domba) dan gluten (protein dari gandum) yang dikonsumsi anak lewat makanan sehari-hari. Pada anak yang memiliki pencernaan normal, protein dari susu sapi dan gandum dapat dicerna sempurna sehingga rantai protein pecah total. Namun, anak yang pencernaannya tidak sempurna sulit mencerna sehingga rantai protein tidak terpecah total, melainkan menjadi rantai-rantai pendek asam amino yang disebut peptida. Di dalam otak, peptida akan disergap opioid reseptor yang kemudian berfungsi dan bereaksi seperti morfin (Danuatmaja 2003).

Data pada penelitian menunjukkan bahwa anak penyandang autis masih mengonsumsi makanan yang mengandung gluten dan kasein dalam bentuk roti kering dan susu kotak sebagai jenis cemilan yang bisa diperoleh dimana saja. Sebaran subjek berdasarkan konsumsi pangan sumber gluten dan kasein disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18 Sebaran subjek berdasarkan konsumsi pangan sumber gluten dan kasein

(37)

Menurut Widodo (2005) ada kaitan erat antara autis dengan alergi makanan. Gluten dan kasein merupakan komponen makanan yang dapat berpotensi menyebabkan alergi pada anak autis. Mayoritas subjek masih mengonsumsi makanan yang mengandung gluten maupun kasein. Implementasi orangtua saat ini, hanya bisa pada tahap mengurangi atau mengatur frekuensi pemberian makanannya saja. Beberapa hal yang melatarbelakangi sulitnya orangtua dalam menjalankan diet diantaranya keterbatasan bahan makanan sebagai alternatif pengganti, makanan yang mengandung gluten dan kasein merupakan kesukaan anak, sehingga orangtua merasa tidak tega jika tidak memberikannya.

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar subjek masih mengonsumsi makanan yang mengandung gluten dan kasein. Sebanyak 88.2% subjek mengonsumsi makanan sumber gluten dan 67.6% mengonsumsi makanan sumber kasein. Gluten terdapat pada gandum, rye, oat, dan barley. Jadi, pada makanan yang perlu dihindari umumnya adalah sereal, roti, pasta, pizza, biskuit, dan cake. Bahan pengganti gluten adalah sereal beras atau jagung, pasta tepung beras dan cake tepung beras, tepung polenta, roti tepung jagung, padi-padian, dan berbagai produk bebas gluten (Perreta 2009). Frekuensi konsumsi pangan sumber gluten disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19 Frekuensi konsumsi pangan sumber gluten

Jenis Frekuensi Tahu lapis tepung 0.43±1.29

Donat 0.52±0.83

Wafer 2.36±4.44

Ikan lapis tepung 0.38±1.25 Nugget

(38)

gluten yang paling sering dikonsumsi yaitu roti tawar 2.54 kali/minggu) dan jenis yang paling jarang dikonsumsi adalah spagheti 0.11 kali/minggu.

Bahan pangan yang perlu dihindari selain gluten adalah kasein. Bahan olahan kasein diantaranya susu (fullcream, semi-skim, dan skim), keju, yoghurt, mentega, dan susu cokelat. Alternatif penggantinya adalah susu, keju atau yoghurt dari kedelai, serta susu dan mentega dari kacang-kacangan lainnya (Perreta 2009). Frekuensi rata-rata konsumsi makanan sumber kasein sebanyak 0.89 kali/minggu dengan frekuensi rata-rata jenis makanan sumber kasein yang paling sering dikonsumsi yaitu susu sapi kemasan 2.65 kali/minggu. Pemahaman ibu tentang diet untuk anak autis yaitu diet bebas gluten bebas kasein merupakan hal mendasar yang menentukan bagaimana tindakan ibu dalam pemilihan jenis bahan makanan yang akan dikonsumsi oleh anak. Berdasarkan pada pengetahuan dan pengalaman ibu, atau informasi mengenai diet yang ibu dapatkan dari dokter, tempat terapi dan informasi dari internet. Frekuensi konsumsi pangan sumber kasein disajikan pada Tabel 20.

Tabel 20 Frekuensi konsumsi pangan sumber kasein

Jenis Frekuensi (kali / minggu) Susu sapi 0.07±0.24 Susu kambing 0.00±0.00 Susu sapi kemasan 2.65±5.29 Susu full cream 0.77±1.99 Mentega 2.13±3.52 Susu fermentasi 0.63±1.77 Susu bubuk skim 0.01±0.09 Rata-rata 0.89±1.09

Hasil secara keseluruhan terkait frekuensi konsumsi gluten dan kasein menunjukkan konsumsi pangan sumber gluten lebih tinggi jika dibandingkan dengan konsumsi pangan sumber kasein, hal ini dapat dilihat dari jumlah subjek yang masih mengonsumsi pangan sumber gluten (88.2%) dengan frekuensi rata-rata konsumsi pangan sumber gluten yaitu 0.92 kali/minggu dan kasein (67.6%) dengan frekuensi rata-rata konsumsi pangan 0.89 kali/minggu. Hal tersebut diduga karena pangan sumber kasein pada produk susu dan hasil olahannya relatif lebih mudah dikenali dibandingkan dengan gluten.

Hubungan Antara Variabel

Hubungan Antara Tingkat Kecukupan Energi dengan Status Gizi

(39)

Asupan makanan merupakan faktor yang berpengaruh langsung secara linear dalam menentukan status gizi seseorang. Berdasarkan penelitian Berkey et al. dalam Paratmanitya tahun 2012 menunjukkan bahwa peningkatan IMT dalam masa satu tahun pengamatan terjadi lebih besar pada responden yang memiliki rata-rata asupan kalori lebih tinggi. Menurut Dianah (2011) terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat kecukupan energi dengan kegemukan, kemudian sejalan dengan penelitian Yussac dkk (2007), terdapat hubungan yang bermakna antara asupan energi dengan obesitas menurut klasifikasi z score IMT/U.

Hubungan Antara Tingkat Kecukupan Protein dengan Status Gizi

Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi (r=0.294, p=0.091). Hal ini sejalan dengan Dianah (2011), tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat kecukupan protein dengan kegemukan. Menurut Muchlisa (2013), asupan protein yang kurang atau lebih tidak berpengaruh pada perubahan berat badan karena kelebihan asupan protein tidak disimpan oleh tubuh seperti yang terjadi pada kelebihan energi. Hasil dua penelitian sebelumnya juga memperoleh hasil yang sama yaitu penelitian Makalew et al. (2013), tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan protein dengan status gizi anak sekolah dasar di Kecamatan Langowan Barat. Penelitian Yulni et al. (2013), tidak terdapat hubungan antara asupan protein dengan status gizi pada anak sekolah dasar di Makasar.

Berdasarkan hasil food record yang dilakukan selama 2 hari, sumber protein yang paling banyak dikonsumsi oleh subjek adalah telur, ayam, tahu dan tempe. Fungsi utama protein adalah untuk pertumbuhan. Sementra itu, fungsi protein yang lainnya adalah sebagai sumber energi ketika tubuh mengalami kekurangan energi baik dari karbohidrat maupun lemak. Protein akan dipergunakan jika glukosa atau asam lemak di dalam tubuh terbatas (Almatsier 2009).

Hubungan Antara Tingkat Kecukupan Vitamin A dengan Status Anak Autis Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat kecukupan vitamin A dengan status gizi (r=0.021, p=0.906). Hal ini sejalan dengan penelitian Rahmawati (2013) tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan vitamin A dengan status gizi lebih. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Ingtyas (2005) dan Basu et al. (2007) yang menyatakan bahwa tingkat kecukupan vitamin A pada autis tergolong kurang, meskipun tidak ada data terkait presentasenya. Perbedaan hasil penelitian ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya desain penelitian dan jumlah responden.

Hubungan Antara Tingkat Kecukupan Vitamin B6 dengan Status Gizi pada

Anak Autis

(40)

kategori cukup yakni 82.4%. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Basu et al.(2007) asupan vitamin B6 anak autis tergolong rendah, namun tidak dijelaskan adanya hubungan dengan status gizi.

Makanan yang mengandung vitamin B6 yang dikonsumsi oleh subjek berdasarkan food record 2x24 jam, bahwa sebagian subjek mengonsumsi daging, hati, kacang kedelai, dan pisang, dimana bahan makanan tersebut merupakan sumber makanan yang mengandung vitamin B6. Berdasarkan penelitian Handoyo (2003) bahwa anak autis perlu diberikan terapi pemberian suplemen vitamin B6, jika dalam asupan makan sehari-hari anak kurang dari tingkat kecukupan. Hal ini bertujuan agar suplementasi dapat bekerja pada susunan saraf pusat dikarenakan pada penyandang autis terdapat kelainan pada otak mereka.

Hubungan Antara Tingkat Kecukupan Vitamin C dengan Status Gizi pada Anak Autis

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat kecukupan vitamin C dengan status gizi (r=0.056, p=0.754). Hasil ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Basu et al. (2007) menunjukkan bahwa anak autis mengonsumsi vitamin C dalam jumlah kurang secara signifikan dibanding anak normal. Rata-rata asupan vitamin C masih dibawah AKG yaitu 85.3% AKG. Asupan vitamin C pada subjek berasal dari wortel (47.1%) dengan frekuensi 1-2 kali/minggu, tempe (64.8%) dengan frekuensi 1-2 kali/minggu dan >6 kali/minggu, jeruk dan pisang 50% dengan frekuensi 1-2 kali/minggu. Sumber vitamin C yang sering dikonsumi vitamin C diperoleh dari sumber makanan nabati, sayur-sayuran, dan buah-buahan terutama yang bercita rasa asam (Almatsier 2009).

Hubungan Antara Aktivitas Fisik dengan Status Gizi pada Anak Autis

Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara aktivitas fisik di sekolah (r=0.166, p=0.349) dan aktivitas fisik di waktu luang (r=0.011, p=0.951) dengan status gizi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2013) yang juga tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan status gizi lebih. Aktivitas fisik yang kurang akan menyebabkan pengeluaran energi yang sedikit. Ketidakseimbangan antara aktivitas fisik, pengeluaran energi dan konsumsi pangan akan berdampak pada status gizi dan status kesehatan. Perkembangan fasilitas-fasilitas berbasis teknologi menyebabkan terbatasnya gerak dan aktivitas. Hal ini menyebabkan meningkatnya waktu menonton televisi.

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian hubungan antara tingkat kecukupan gizi, aktivitas fisik dan pola konsumsi pangan bebas gluten dan kasein dengan status gizi anak penyandang autis di Kota Bogor
Tabel 1  Variabel, jenis dan cara pengumpulan data
Tabel 1  Variabel, jenis dan cara pengumpulan data (lanjutan)
Tabel 4  Sebaran jenis kelamin subjek berdasarkan usia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, pendikan orang tua, dan pekerjaan orang tua serta status ekonomi mempengaruhi asupan zat gizi individu, dapat dilihat dari

Berdasarkan hasil uji korelasi antara karakteristik individu yang meliputi usia contoh dan uang saku dengan preferensi terhadap penyelenggaraan makanan, tidak didapatkan hubungan

Data primer yang dikumpulkan meliputi karakteristik anak (usia, jenis kelamin, dan besar uang saku), kebiasaan jajan (frekuensi, jenis dan jumlah makanan jajanan),

Variabel yang dipelajari pada penelitian ini meliputi profil: status TB-paru; karakteristik subjek (usia, jenis kelamin, pekerjaan dan pendidikan); status gizi;

Data primer meliputi data karakteristik penjamah makanan (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan lama berkerja), karakteristik santri putri (tanggal lahir,

Usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, pendikan orang tua, dan pekerjaan orang tua serta status ekonomi mempengaruhi asupan zat gizi individu, dapat dilihat dari

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dan mengisi lembaran kuesioner untuk mengetahui usia responden dan jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan untuk mengetahui