• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Gender dalam Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Hutan Rakyat (Kasus Desa Bojonggenteng Kecamatan Jampangkulon Kabupaten Sukabumi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Gender dalam Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Hutan Rakyat (Kasus Desa Bojonggenteng Kecamatan Jampangkulon Kabupaten Sukabumi)"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS GENDER DALAM KETAHANAN PANGAN

RUMAH TANGGA PETANI HUTAN RAKYAT

(Kasus Desa Bojonggenteng Kecamatan Jampangkulon

Kabupaten Sukabumi)

FERA NUR AINI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Gender dalam Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Hutan Rakyat (Kasus Desa Bojonggenteng Kecamatan Jampangkulon Kabupaten Sukabumi) adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

ABSTRAK

FERA NUR AINI. Analisis Gender dalam Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Hutan Rakyat (Kasus Desa Bojonggenteng Kecamatan Jampangkulon Kabupaten Sukabumi). Dibimbing oleh TITIK SUMARTI.

Ketahanan pangan menjadi isu universal di tengah ancaman kerawanan pangan dunia. Hutan rakyat memberikan solusi dengan menjadi salah satu penyedia pangan. Sehubungan dengan itu, perempuan dan laki-laki memegang peranan penting yang berbeda. Perempuan mengelola pangan, sedangkan laki-laki mengelola hutan rakyat. Penelitian ini menggunakan Kerangka Harvard untuk menganalisis pembagian kerja, akses dan kontrol, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode yang digunakan adalah survei pada petani hutan rakyat Desa Bojonggenteng. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kontribusi hutan rakyat, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan tingkat penguasaan lahan berpengaruh positif; ukuran rumah tangga berpengaruh negatif; pembagian kerja, serta akses dan kontrol gender tidak berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumah tangga. Laki-laki mendominasi kegiatan produktif dan perempuan mendominasi kegiatan reproduktif. Pada kegiatan sosial, laki-laki dan perempuan cenderung melakukannya bersama. Akses dan kontrol pada aspek sumberdaya dan manfaat berbeda antara laki-laki dan perempuan. Faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain adalah budaya Sunda dan agama Islam.

Kata kunci: gender, hutan rakyat, kerangka harvard, ketahanan pangan

ABSTRACT

FERA NUR AINI. Gender Analysis in Household Food Security of Private Forest Farmers (Case of Desa Bojonggenteng Kecamatan Jampangkulon Kabupaten Sukabumi). Supervised by TITIK SUMARTI.

Food security became a universal issue in the face of world food vulnerability. Private forests provide a solution by becoming one of the food providers. Accordingly, women and men hold different important role. Women manage the food, while men manage private forests. This study uses the Harvard Framework for analyzing the division of labor, access and control of gender, and the factors that influence it. The method used was a survey on private forest farmers of Bojonggenteng Village. The results showed the level of private forests contribution, education level, income level, and tenure level has a positive effect; the household size has negative effect; division of labor, access and control gender had no effect on household food security. Men dominate on productive activities and women dominate on reproductive activities. In the social activities, both of them tend to do it. Access to and control over resources and benefits aspects are different between men and women. Factors influencing include Sundanese culture and the Islamic religion.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

ANALISIS GENDER DALAM KETAHANAN PANGAN

RUMAH TANGGA PETANI HUTAN RAKYAT

(Kasus Desa Bojonggenteng Kecamatan Jampangkulon

Kabupaten Sukabumi)

FERA NUR AINI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Analisis Gender dalam Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Hutan Rakyat (Kasus Desa Bojonggenteng

Kecamatan Jampangkulon Kabupaten Sukabumi) Nama : Fera Nur Aini

NIM : I34100122

Disetujui oleh

Dr Ir Titik Sumarti MC, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah mencurahkan karunia agung-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Analisis Gender dalam Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Hutan Rakyat (Kasus Desa Bojonggenteng Kecamatan Jampangkulon Kabupaten Sukabumi) tepat waktu. Penelitian dilaksanakan sejak bulan September 2013 sampai Oktober 2013 di Desa Bojonggenteng dengan sumber dana penelitian berasal dari Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) Kementrian Agama RI. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Titik Sumarti selaku pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penelitian hingga penyelesaian skripsi ini.

2. Bapak Hadiyanto selaku dosen penguji petik sekaligus penguji akademik dan Ibu Ekawati Sri wahyuni selaku dosen penguji utama.

3. Orang tua tercinta, Ibu Emi Hanifah dan Bapak Dimyati, serta Faisal Fahmi dan Devi Atika Muyassaroh, kakak dan adik tersayang yang selalu berdoa dan senantiasa melimpahkan kasih sayangnya untuk penulis.

4. Kementrian Agama RI yang yang telah memberikan beasiswa Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) untuk menempuh pendidikan di IPB. 5. Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang, khususnya Bapak Kyai dan Ibu

Nyai Dimyathi Romly selaku pengasuh asrama Al Husna yang telah memberikan ilmu dan doa yang luar biasa.

6. Seluruh ustadz dan ustadzah serta ibu/ bapak guru dan dosen yang pernah menularkan ilmu-ilmunya kepada penulis.

7. Seluruh civitas akademika IPB khususnya FEMA dan SKPM yang telah mendukung seluruh proses pembelajaran selama perkuliahan 7 semester ini.

8. Masyarakat dan aparat Desa Bojonggenteng yang telah bersedia memberikan berbagai informasi terkait penelitian ini. Khususnya keluarga Iin, Bapak Mansur dan Ibu Asmanah.

9. Teman-teman seperjuangan saat di sekolah dan pesantren, khususnya alumni Al Husna, Ikalum dan Fortteens yang selalu berbagi keceriaan. 10.Saudara-saudara bonus dari Allah, 59 orang anggota CSS MoRA IPB 47

yang telah memberikan warna selama hidup di kampus rakyat ini.

11.Teman-teman SKPM 47 yang telah menemani perjalanan meraih ilmu yang bermanfaat. Sahabat-sahabat penulis yang telah memberi semangat dan menemani penulis dalam proses penulisan laporan ini, serta semua pihak yang telah mendukung penulis.

Semoga karya ilmiah ini menjadi sumber ilmu yang berkah dan bermanfaat bagi pembacanya.

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1 

Latar Belakang 1 

Perumusan Masalah 2 

Tujuan Penelitian 3 

Manfaat Penelitian 3 

PENDEKATAN TEORITIS 5 

Tinjauan Pustaka 5 

Kerangka Pemikiran 12 

Definisi Operasional 14 

METODE 17 

Lokasi dan Waktu 17 

Teknik Sampling 17 

Teknik Pengumpulan Data 18 

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 18 

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 19 KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA PETANI HUTAN RAKYAT 25 PENGARUH KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA PETANI

HUTAN RAKYAT 33

PENGARUH KONTRIBUSI HUTAN RAKYAT TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA PETANI HUTAN RAKYAT 39 ANALISIS GENDER DAN PENGARUHNYA TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA PETANI HUTAN RAKYAT 43

SIMPULAN DAN SARAN 51 

Simpulan 51 

Saran 51 

DAFTAR PUSTAKA 52 

(14)

DAFTAR TABEL

1 Jadwal pelaksanaan penelitian 17

2 jenis penggunaan dan persentase luas lahan di Desa Bojonggenteng

tahun 2013 20

3 Tingkat pendidikan perempuan dan laki-laki Desa Bojonggenteng 21 4 Jenis pekerjaan perempuan dan laki-laki usia 18-56 tahun Desa

Bojonggenteng 21

5 Tingkat penguasaan lahan penduduk Desa Bojonggenteng 22 6 Tingkat ketahanan pangan petani hutan rakyat Desa

Bojonggenteng 25

7 Luas lahan dan hasil panen dari berbagai kelompok pangan 27 8 Jenis hewan, jumlah pemilik dan perkiraan jumlah ternak pada

kelompok pangan hewani 28

9 Jumlah pengeluaran pangan petani hutan rakyat Desa Bojonggenteng 30 10 Data jumlah kader terlatih, bayi dan balita serta status gizi bayi dan

balita di lima Posyandu Desa Bojonggenteng 30 11 Jumlah, pemanfaat, dan kondisi berbagai jenis sumber air bersih di

Desa Bojonggenteng 31

12 Hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat ketahanan pangan

rumah tangga 33

13 Hubungan antara tingkat pendapatan dan tingkat ketahanan pangan

rumah tangga 34

14 Hubungan antara tingkat penguasaan lahan dan tingkat ketahanan

pangan rumah tangga 35

15 Hubungan antara ukuran rumah tangga dan tingkat ketahanan

pangan rumah tangga 36

16 Hubungan antara tingkat kontribusi hutan rakyat sebagai sumber

pangan dan tingkat ketahanan pangan rumah tangga 41 17 Hubungan antara tingkat kontribusi hutan rakyat sebagai sumber

pangan dan tingkat ketahanan pangan rumah tangga 42 18 Hubungan antara tingkat beban kerja perempuan dan tingkat

ketahanan pangan rumah tangga 43

19 Profil persentase aktivitas petani hutan rakyat Desa Bojonggenteng 44 20 Tingkat akses dan kontrol perempuan terhadap sumberdaya dan

manfaat 45

21 Profil akses dan kontrol petani hutan rakyat Desa Bojonggenteng

terhadap sumber daya 46

22 Profil akses dan kontrol petani hutan rakyat Desa Bojonggenteng

(15)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka konseptual ketahanan pangan dan indikator generik 6

2 Kerangka pemikiran 13

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta Desa Bojonggenteng viii  

2 Kerangka sampling penelitian ix 

3 Gambaran biaya produksi xii 

4 Kuesioner xii 

5 Panduan wawancara mendalam xix 

6 Hasil olah data korelasi rank Spearman xx 

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peta Ketahanan dan Kerawanan Pangan (FSVA)1 dari World Food Programme (WFP) dan Pemerintah Indonesia tahun 2009 menunjukkan 87 dari 237 juta atau 36,7% masyarakat Indonesia masih berada dalam status rawan pangan atau tidak tahan pangan. Pengertian ketahanan pangan dijelaskan dalam UU Pangan Nomor 18 Tahun 2012 sebagai berikut:

“... Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan ...”

Pesan Presiden Republik Indonesia pada peluncuran FSVA tersebut adalah bahwa Pemerintah Indonesia menyadari sepenuhnya peran strategis untuk mencapai ketahanan pangan di dalam negeri dengan merevitalisasi sektor kehutanan dan perikanan sejak 2005 (WFP 2011). Salah satu upaya revitalisasi di sektor kehutanan adalah kebijakan perluasan hutan oleh Kementrian Kehutanan dengan program pengembangan hutan rakyat. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.04/Menhut-V/2004: 111-2 mendefinisikan hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50%.

Tiap tahunnya izin perluasan kawasan hutan rakyat dari Kementrian Kehutanan adalah seluas 3.698,24 ha sehingga luas hutan rakyat meningkat 2,44% pada tahun 2012. Pengembangan hutan rakyat dilakukan untuk menunjang perluasan hutan demi menyangga keseimbangan lingkungan, khususnya di Pulau Jawa. Selain ditanami tegakan (kayu), hutan rakyat juga dikombinasikan dengan beragam tanaman penghasil pangan dan peternakan yang menjadi salah satu sumber ketersediaan pangan, seperti singkong, ubi, ayam, kambing, dan lain-lain.

Secara mikro, pangan dikelola oleh tiap rumah tangga, untuk itu salah satu faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga adalah karakteristik sosial ekonominya. Fathonah dan Prasodjo (2011) menyebutkan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga yang berhubungan dengan ketahanan pangan antara lain adalah tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan. Hal serupa juga diungkap dalam penelitian Taridala et al. (2010) yang menunjukkan bahwa tingkat pendapatan dan ukuran rumah tangga berpengaruh terhadap tingkat ketahanan pangan. Suhardianto (2007) menambahkan bahwa ada berbagai faktor determinan yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan, dua di antaranya adalah pendapatan dan tingkat penguasaan lahan.

1

(18)

2

Anggota rumah tangga terdiri atas perempuan dan laki-laki yang memiliki pembagian kerja, akses, dan kontrol dalam rumah tangga tersebut serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. WFP (2011) menyatakan hampir dua pertiga masyarakat dunia yang mengalami kelaparan kronis adalah kaum perempuan dan anak perempuan. Artinya perempuan lebih tidak akses terhadap pangan. Meskipun demikian banyak kaum perempuan berperan sebagai aktor yang mengupayakan pengentasan kelaparan di lingkungan mereka. Hubeis (2010) menjelaskan pada wilayah perdesaan – tempat terbesar kelaparan terjadi – perempuan mengelola sebagian besar kegiatan pertanian untuk konsumsi domestik dan penanggungjawab terhadap pengelolaan makanan.

Akan tetapi, kerja perempuan sering kali tidak dikenal dan kurang memperoleh akses ke sumber daya, pendidikan atau pelatihan, dan finansial (Hubeis 2010). Selain itu perempuan memberikan sumbangan yang sedikit untuk pendapatan rumah tangga yang akan digunakan dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Hal ini terjadi karena adanya kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan di dunia kerja. Kesenjangan upah tersebut juga terjadi di bidang kehutanan yang memiliki stereotip bahwa pekerjaan yang ada di kawasan hutan adalah pekerjaan laki-laki. Perempuan hanya berperan dominan pada pekerjaan domestik dan sangat minim partisipasinya dalam pengaturan pengelolaan hutan (Varghese dan Reed 2012). Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan banyak terjadi ketidakadilan gender di bidang kehutanan seperti stereotip, subordinasi, dan beban kerja ganda pada perempuan.

Desa Bojonggenteng merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Jampangkulon, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Luas hutan rakyat di wilayah ini mencapai 27,986 ha. Penduduk lokal menyebutnya dengan kebon atau leweung (Suparwanti 2009). Desa Bojonggenteng memiliki potensi pangan yang cukup baik dilihat dari sumber daya alamnya yang melimpah yaitu area persawahan, perkebunan rakyat, dan hutan rakyat yang cukup luas. Walau demikian, Desa Bojonggenteng juga memiliki permasalahan yang cukup besar dalam produksi pangan karena daerah Sukabumi bagian selatan dikenal mengalami kesulitan air. Pemilihan lokasi penelitian di Desa Bojonggenteng diharapkan dapat relevan dengan tujuan penelitian. Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya di lokasi lain, fokus penelitian yang digunakan hanya terletak pada gender dan kehutanan atau gender dan ketahanan pangan saja. Untuk itu, penelitian ini mengambil fokus baru dengan mengidentifikasi hubungan ketiganya: gender, ketahanan pangan rumah tangga, dan hutan rakyat.

Perumusan Masalah

(19)

3 untuk dikaji karena keberagaman sumber pangan yang bisa didapatkan di sana. Konsep baru upaya perluasan kawasan hutan yang sedang dikembangkan adalah hutan rakyat. Fungsinya tidak hanya menjadi sumber pangan namun juga sumber pendapatan bagi pemiliknya. Untuk itu, penting untuk diteliti lebih lanjut mengenai bagaimana pengaruh karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dan pengaruh kontribusi hutan rakyat terhadap ketahanan pangan rumah tangga petani hutan rakyat.

Selanjutnya, pengelolaan hutan rakyat lebih banyak dilakukan oleh laki-laki karena dianggap lebih kuat, jika perempuan ikut serta pun hanya dibayar dengan upah yang lebih rendah dari laki-laki. Sebaliknya, dalam pengelolaan pangan perempuan mengambil peranan yang sangat besar dari proses pemilihan pangan sampai penyajiannya. Keseluruhan peran perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga petani hutan rakyat dapat kita lihat dengan menganalisis bagaimana pembagian kerja, akses, dan kontrol gender dalam rumah tangga dan pengaruhnya terhadap ketahanan pangan rumah tangga petani hutan rakyat.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Menganalisis tingkat ketahanan pangan rumah tangga petani hutan rakyat. 2. Menganalisis pengaruh karakteristik sosial ekonomi rumah tangga terhadap

ketahanan pangan rumah tangga petani hutan rakyat.

3. Menganalisis pengaruh kontribusi hutan rakyat terhadap ketahanan pangan rumah tangga petani hutan rakyat.

4. Menganalisis pembagian kerja, akses, dan kontrol gender dalam rumah tangga dan pengaruhnya terhadap ketahanan pangan rumah tangga petani hutan rakyat. 5. Menguraikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembagian kerja, akses, dan kontrol gender dalam ketahanan pangan rumah tangga petani hutan rakyat.

Manfaat Penelitian

(20)
(21)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Rumah tangga merupakan seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik/ sensus dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Bagi rumah tangga, pangan adalah kebutuhan dasar yang menjadi prioritas utama. Bahkan menurut Hariyadi dalam Taridala et al. (2010) pangan bukan hanya basic need tapi juga basic right. Pemenuhan kebutuhan pangan digambarkan dengan kondisi ketahanan pangan di rumah tangga tersebut. Konsep ketahanan pangan disebutkan dalam UU No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan pasal 1 ayat 4. Konsep ini sering kali diperdebatkan penggunaannya dengan konsep kedaulatan pangan. Pada UU yang sama definisi kedaulatan pangan disebutkan dalam pasal 2 sebagai berikut:

“... kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal ...”

Perbedaan yang nampak pada dua konsep tersebut adalah unit analisis yang digunakan. Ketahanan pangan menganalisis kondisi pangan pada aras makro (negara) sampai mikro (perseorangan) sementara kedaulatan pangan menekankan penjelasan pada kebijakan pangan di aras makro (negara dan bangsa).

Indikator-indikator yang dipakai untuk mengukur ketahanan pangan suatu rumah tangga berbeda dalam setiap penelitian. Penelitian Taridala et al. (2010) menggunakan indikator ketahanan pangan rumah tangga berupa frekuensi makan, yaitu bila anggota suatu rumah tangga dapat makan paling tidak tiga kali dalam sehari, masuk kriteria tahan pangan. Selanjutnya rumah tangga yang anggotanya makan dua kali atau kurang dari itu, masuk kriteria tidak tahan pangan. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa status gizi anggota rumah tangga merupakan suatu indikator ketahanan pangan.

(22)

6

Gambar 1 Kerangka konseptual ketahanan pangan dan indikator generik.

1) Ketersediaan Pangan

Ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi, ketersediaan pangan di pasar maupun di tingkat rumah tangga. Pada dasarnya produksi pangan mencerminkan kondisi pendapatan petani. Selain itu produksi pangan diharapkan dapat menyediakan pangan dengan harga yang dapat dijangkau konsumen. Untuk mencapai ketersediaan pangan yang diperoleh dari proses produksi sangat bergantung pada sumber daya alam, fisik, dan manusia. Pangan yang dimaksud dalam ketersediaan pangan meliputi produk serealia, kacang-kacangan, minyak nabati, sayur-sayuran, buah-buahan, rempah, gula, dan produk hewani karena porsi utama kebutuhan kalori harian berasal dari sumber pangan karbohidrat yang merupakan setengah dari kebutuhan energi per orang per hari.

2) Aksesibilitas Pangan

Akses pangan terkait dengan akses ekonomi untuk memperoleh pangan yang dipengaruhi oleh pendapatan rumah tangga dan harga pangan (Fathonah dan Prasodjo 2011). Maxwell dan Frankenberger (1992) dan Chung et al. (1997) seperti dikutip Amirian (2009) menjelaskan hal tersebut berkaitan dengan kepemilikan sumberdaya untuk memproduksi pangan yang dibutuhkan seperti kualitas lahan pemilikan dan penguasaan lahan, pemilikan ternak dan aset lainnya, harga pangan maupun daya beli 3) Pemanfaatan Pangan

(23)

7 maupun jenis pangan yang dikonsumsi. Dengan demikian konsumsi pangan dapat dilihat dari frekuensi dan keragaman pangan. Faktor yang mempengaruhi adalah ketersediaan air bersih, sanitasi, pola asuh balita, fasilitas kesehatan, dan pendidikan.

Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga

Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga merupakan sifat yang melekat pada rumah tangga dan akan mempengaruhi kondisi sosial ekonomi serta pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Fathonah dan Prasodjo (2011) menyebutkan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga yang berhubungan dengan ketahanan pangan antara lain adalah tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan. Hal serupa juga diungkap dalam penelitian Taridala et al. (2010) yang menunjukkan bahwa tingkat pendapatan dan ukuran rumah tangga berpengaruh terhadap tingkat ketahanan pangan. Suhardianto (2007) menambahkan bahwa ada berbagai faktor determinan yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan, dua di antaranya adalah pendapatan dan tingkat penguasaan lahan.

1) Tingkat pendidikan

Hubungan antara tingkat pendidikan pengelola pangan seluruh rumah tangga dengan tingkat ketahanan pangan seluruh rumah tangga adalah semakin meningkat tingkat pendidikan pengelola pangan, maka akan semakin tahan pangan tingkat ketahanan pangannya (Fathonah dan Prasodjo 2011). Tingkat pendidikan formal anggota rumah tangga sangat penting karena diduga berkaitan dengan pengetahuan akan pangan dan gizi beserta pengelolaannya.

2) Tingkat pendapatan

Selain tingkat pendidikan, Fathonah dan Prasodjo (2011) juga menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendapatan rumah tangga dengan tingkat ketahanan pangan seluruh rumah tangga. Semakin tinggi tingkat pendapatan, maka akan semakin tahan pangan tingkat ketahanan pangannya. Taridala et al. (2010) juga mengungkapkan hasil yang sama bahwa pendapatan rumah tangga petani sebagian besar diperoleh dari usaha tani keluarga, untuk itu usaha tani keluarga menjadi sangat penting sebagai penopang ketahanan pangan.

Pendapatan yang tinggi akan membuat akses terhadap pangan menjadi lebih mudah. Sumber terbesar kedua adalah pendapatan di luar usaha tani yang sebagian besar disumbangkan dari pendapatan suami. Pendapatan juga diperoleh dari usaha bersama dan hasil pemberian keluarga walaupun persentasenya kecil. Tingkat pendapatan rumah tangga dilihat dari akumulasi pendapatan seluruh anggota rumah tangga, terutama yang berusia produktif dan memiliki pekerjaan dengan jumlah penghasilan tertentu yang tetap dalam jangka waktu tertentu pula.

(24)

8

3) Ukuran rumah tangga

Taridala et al. (2010) menyebutkan variabel sosial ekonomi yang paling berpengaruh terhadap pencapaian ketahanan pangan rumah tangga adalah ukuran rumah tangga. Jika jumlah anggota rumah tangga bertambah, maka peluang untuk mencapai ketahanan pangan berkurang. Sebagaimana diketahui bahwa jumlah anggota keluarga seperti dua sisi mata uang yang berbeda. Salah satu sisinya sebagai salah satu sumber pendapatan jika berada dalam usia produktif dan bekerja, sehingga dapat membantu keuangan keluarga dan akan berdampak terhadap ketahanan pangan rumah tangga petani. Sementara pada sisi yang lain sebagai beban bagi keluarga petani jika dalam usia yang tidak produktif (Husaini 2012).

Fazrina et al. (2013) mengutip BKKBN dalam mengelompokkan ukuran rumahtangga ke dalam tiga kelompok, yaitu rumahtangga kecil bila jumlah anggota rumah tangga sama dengan 4 orang, rumah tangga sedang bila jumlah anggota rumahtangga antara 5 dan 6 orang, dan rumahtangga besar bila anggotanya 7 orang atau lebih.

4) Tingkat penguasaan lahan

Suhardianto (2007) menyebutkan bahwa ada banyak faktor determinan yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan, beberapa di antaranya adalah tingkat penguasaan lahan, tingkat pendapatan, pengetahuan petani, dan lain-lain. Lahan merupakan media tanam yang paling penting bagi petani dalam kegiatan produksi. Penguasaan lahan petani tidak hanya dilihat dari kepemilikan tetapi pada luasan yang digarapnya baik pada lahan milik pribadi, lahan sewa, lahan paro-an, maupun jenis kepemilikan lainnya. Jumlah lahan yang dikuasai akan menentukan jumlah hasil produksi petani dalam jangka waktu tertentu. Hutan Rakyat

UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dalam penjelasan pasal 5 ayat 1 menyebutkan bahwa hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat. Keputusan Menteri Kehutanan No. 101/kpts-V/1996 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Penyaluran Dana Reboisasi dalam Rangka Pinjaman untuk Usaha Perhutanan Rakyat kepada Mitra Usaha disebutkan bahwa hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha dan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan lebih dari 50% dan atau pada tanaman tahun pertama sebanyak minimal 500 tanaman.

Menurut Toha dalam kutipan Hardjanto (2001) dinyatakan bahwa hutan rakyat adalah salah satu bentuk hutan kemasyarakatan yang dimiliki dan diusahakan oleh masyarakat (rakyat), baik secara perorangan, individu maupun oleh swasta maupun badan usaha masyarakat yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memenuhi kebutuhan masyarakat akan hasil hutan, serta untuk pelestarian lingkungan hidup.

(25)

9 jenis pohon), polikultur (berbagai jenis pohon) dan agroforestry (kombinasi usaha kehutanan dengan usaha tani lainnya: tanaman pangan, perkebunan, peternakan, dan lain-lain). Hutan rakyat dengan sistem agroforestry yang berkombinasi dengan tanaman pangan akan mempengaruhi ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan masyarakat.

Hutan rakyat memiliki dimensi sosial, ekonomi, dan ekologi dalam pengelolaan sumber daya hutan. Manfaat sosial hutan rakyat adalah sebagai sumber natura bagi masyarakat sekitar, konsumsi non komersial untuk tetangga, sumber kehidupan untuk adat tertentu, dan lain-lain. Manfaat ekonominya didapatkan dari hasil hutan berupa kayu dan non kayu yang akan menjadi sumber pendapatan dan sumber pangan. Di samping itu manfaat ekologinya adalah untuk pengawetan tanah dan air, perlindungan tanaman-tanaman pertanian, sumber simpanan karbon, meningkatkan kualitas lingkungan, dan sebagainya.

Kegiatan pengelolaan hutan rakyat terdiri atas: pengadaan benih atau bibit tanaman, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran. Pengadaan benih atau bibit dapat diperoleh dari anakan alami, membeli, atau pemberian dari pemerintah. Kegiatan persiapan lahan adalah pembersihan lahan (tebas bakar, tebas, atau pembenaman), pembuatan lubang tanam, dan pemberian pupuk yang dilakukan sebelum musim hujan tiba. Penanaman dilakukan dengan mengunakan pola monokultur maupun campuran. Pada tahap pemeliharaan, kegiatan yang dilakukan adalah pemupukan, pendangiran, dan pemberantasan hama penyakit. Sementara itu sistem yang digunakan dalam pemanenan adalah tebang habis, tebang pilih, dan tebang butuh. Kegiatannya adalah penebangan, pemotongan sortimen, penyaradan, dan pengangkutan. Petani hutan rakyat dapat memasarkan produknya secara langsung ke konsumen maupun melewati tengkulak. Tenaga kerja yang digunakan adalah keluarga, upahan, maupun gotong royong. Perempuan biasanya terlibat dalam semua kegiatan kecuali penebangan dan pengangkutan karena adanya stereotip kegiatan tersebut merupakan pekerjaan laki-laki yang memiliki tenaga lebih besar.

Pemangku kepentingan di hutan rakyat adalah masyarakat yang terdiri atas petani dan buruh tani, swasta (perusahaan atau individu) yang biasanya menanamkan modal untuk usaha hutan rakyat, koperasi, instansi pemerintah dari desa, daerah, hingga pusat, industri saw mill, dan perantara (tengkulak). Selain tanaman kayu seperti sengon, albasiah, jati, dan jenis kayu lainnya, hutan rakyat juga menghasilkan tanaman pangan dan pangan hewani. Tanaman pangan yang biasa ditanam terdiri atas padi-padian, umbi-umbian dan pangan berpati, buah/biji berminyak, kacang-kacangan, gula aren, sayur dan buah. Tanaman-tanaman tersebut bisanya ditanam bercampur dengan tanaman berkayu maupun berada di bawahnya dengan sistem tumpangsari. Pangan hewani diperoleh dari sistem agroforestry yang mengombinasikan hutan dengan peternakan. Namun pada beberapa kasus, hutan rakyat tidak ditanami tanaman pangan karena tidak adanya modal serta kurangnya pengetahuan petani terhadap sistem tumpangsari dan tanaman pangan yang cocok ditanam di bawah tegakan. Akibatnya fungsi hutan rakyat sebagai penyedia pangan pun tidak terpenuhi.

Gender dan Analisis Gender

(26)

10

sosial maupun kultural. Gender tidak mengacu pada perbedaan biologis tetapi perbedaan sifat perempuan dan laki-laki yang mengacu pada nilai-nilai sosial budaya yang menentukan peranan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan pribadinya dan kehidupan masyarakat. Hubeis (2010) menyebutkan nilai-nilai gender yang ditanamkan mencakup sifat, cara bertingkah laku, dan berperan. Kasus yang terjadi di Indonesia misalnya, perempuan dicitrakan sebagai sosok manusia yang lemah dan emosional sehingga perlu dilindungi, sedangkan lelaki digambarkan sebagai sosok manusia gagah-perkasa dan pelindung. Akibatnya muncul stereotip nilai gender yang lebih banyak menempatkan perempuan pada titik subordinat baik di bidang ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, maupun lainnya.

Hubeis (2010) menambahkan kesenjangan gender tersebut menggambarkan adanya gap dalam pencapaian manfaat hasil pembangunan antara perempuan dan laki-laki terkait dengan kebutuhan dasar manusia. Hal ini dibuktikan dengan adanya selisih nilai Human Development Index (HDI) dan Gender related Development Index (GDI) yang menggambarkan adanya kesenjangan kualitas hidup antara perempuan dan laki-laki. Alat ukur lainnya adalah Gender Empowerment Measurement (GEM) yang mengukur berdasarkan aspek pemberdayaan. Indeks pemberdayaan gender selalu meningkat tiap tahun, artinya posisi Indonesia semakin kuat untuk mencapai kesetaraan gender. Data Pembangunan Manusia Berbasis Gender tahun 20122 menunjukkan nilai GEM tahun 2011 adalah 69,14, meningkat jauh dari tahun 2005 yang hanya bernilai 59,7. Sementara tahun sebelumnya yaitu tahun 2010, angkanya mencapai 68,15. Hal ini didukung oleh terbitnya Inpres No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dan beragam perundang-undangan lainnya serta komitmen terhadap kesepakatan internasional. Akibatnya terjadi perubahan paradigma pemberdayaan perempuan dari Women in Development (WID) menjadi Gender and Development (GAD) yang tidak hanya berorientasi pada perempuan, tetapi pada pencapaian kesetaraan dan kesederajatan atau kesederajatan dan keadilan, dalam tatanan kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara (Hubeis 2010).

Handayani dan Sugiarti (2008) menjelaskan kesadaran dan pengakuan meningkat terhadap lemahnya perencanaan pembangunan dalam memperhitungkan sumbangan perempuan dan dampak pembangunan terhadap aspirasi dan kepentingan perempuan. Pengakuan tersebut didasarkan pada faktor-faktor empiris pembangunan maupun pelaksanaannya yang telah mengakibatkan kerugian bagi perempuan. Oleh karena itu diperlukan suatu pendekatan baru untuk meningkatkan peran dan partisipasi laki-laki dan perempuan dalam proses pembangunan. Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan strategi perencanaan pembangunan yang dapat mengintegrasikan aspirasi, kepentingan, serta peranan perempuan dan laki-laki dalam pembangunan. Salah satu teknik yang dapat diterapkan adalah analisis gender untuk mengungkapkan hubungan sosial laki-laki dan perempuan.

Salah satu alat analisis gender adalah kerangka Harvard yang dapat digunakan untuk keperluan menganalisis situasi hubungan gender dalam keluarga dan masyarakat. Kerangka Harvard terdiri atas tiga komponen, Overholt et al.

2

(27)

11 (1986) dikutip oleh ILO (tanpa tahun) menyatakan komponen tersebut adalah profil aktivitas, profil akses dan kontrol, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembagian kerja, akses, dan kontrol.

1) Profil Aktivitas

Profil aktivitas didasarkan pada pembagian kerja gender yang dapat dilihat dari profil kegiatan. Profil ini mencakup informasi mengenai siapa yang melakukan kegiatan, kapan dan di mana kegiatan dilaksanakan, berapa frekuensi dan waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan tersebut, dan berapa pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan tersebut. Analisis pembagian kerja dimaksudkan untuk mengidentifikasi kegiatan potensial pembangunan, kapasitas waktu laki-laki dan perempuan untuk ikut dalam pembangunan, ketidakseimbangan beban kerja antara laki-laki dan perempuan, serta ketidakseimbangan pendapatan antara laki-laki dan perempuan.

Kegiatan dalam profil aktivitas terdiri atas kegiatan produktif, kegiatan reproduktif, dan kegiatan sosial.Kegiatan produktif adalah kegiatan yang memberikan kontribusi terhadap pendapatan keluarga dalam bentuk uang maupun barang. Salah satu laporan penelitian di bidang gender dan kehutanan, Engelhardt dan Rahmina (2011) menyatakan bahwa pembukaan lahan dilakukan utamanya oleh laki-laki tua dan muda. Menebang pohon, membakar semak, dan menyiapkan lahan pertanian didominasi oleh laki-laki. Menyemai benih, menanam, dan menyiang rumput dilakukan oleh kedua gender, namun perempuan mengambil bagian yang lebih besar dan lebih memakan waktu. Pemanfaatan Hasil Hutan Non-Kayu (HHNK) dari rotan dan bambu didominasi oleh kaum perempuan yang menghasilkan kerajinan tangan dan memiliki keterampilan menenun.

Kegiatan reproduktif dan tugas rumah tangga adalah kegiatan yang menjamin kelangsungan hidup manusia dan keluarga, seperti mengumpulkan kayu bakar, membersihkan rumah, mencuci pakaian, memasak, merawat anak-anak, dan merawat orang tua dan orang sakit didominasi oleh perempuan. Laki-laki kurang begitu terlibat.

(28)

12

2) Profil Akses dan Kontrol

Akses adalah kesempatan untuk menggunakan sumber daya maupun hasilnya tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Selanjutnya kontrol adalah penguasaan atau kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Profil akses dan kontrol (peluang dan penguasaan) terhadap sumber daya mencakup informasi mengenai siapa yang mempunyai peluang dan penguasaan terhadap sumber daya fisik atau material, pasar komoditas dan pasar kerja, dan sumber daya sosial-budaya. Berikutnya, profil peluang dan penguasaan terhadap manfaat mencakup informasi mengenai siapa yang mempunyai peluang dan penguasaan atas hasil pendapatan, kekayaaan bersama, kebutuhan dasar, pendidikan, prestise, dan seterusnya. Analisis ini berguna untuk mengidentifikasi kekurangan sumber daya yang nantinya dapat di atasi oleh program pembangunan, ketidakseimbangan peluang dan penguasaan antara perempuan dan laki-laki, siapa yang memperoleh manfaat dari penggunaan sumber daya dan potensi apa yang dapat digunakan atau ditingkatkan dalam program pembangunan.

Akses dan kontrol juga dapat dilihat dari tinggi rendahnya partisipasi. Aksesibilitas dapat diukur dengan partisipasi kuantitatif, yaitu berapa jumlah laki-laki dan perempuan yang berperanserta dalam lembaga tertentu dengan kedudukan dan tugas apa. Selanjutnya kontrol diukur dengan partisipasi kualitatif yaitu bagaimana peranan laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan kebijakan di lembaga tersebut. Analisis ini dilakukan pada lembaga formal maupun informal yang ada di desa. Kegunaan analisis ini adalah untuk memperlihatkan hierarki wewenang, ketidak seimbangan dalam pengambilan keputusan, peran serta, dan alasan keterbatasan perempuan. Selain itu pola pengambilan keputusan dalam keluarga juga dapat digunakan untuk melihat siapa bertanggungjawab untuk apa, siapa memperoleh manfaat apa, dan siapa yang bisa dijadikan mitra untuk program pembangunan.

3) Faktor-faktor pengaruh

Untuk memecahkan permasalahan yang menyangkut hubungan gender perlu dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi pembagian kerja, akses dan kontrol terhadap sumber daya dan manfaat, partisipasi dalam lembaga, dan pengambilan keputusan dalam keluarga. Faktor-faktor tersebut bisa berupa struktur kependudukan, kondisi ekonomi, kondisi politik, pola-pola sosial budaya, sistem norma, perundang-undangan, sistem pendidikan, lingkungan, religi, dan lain-lain. Analisis ini berguna untuk mengaji dampak, kesempatan, dan kendala faktor-faktor tersebut dalam mengupayakan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.

Kerangka Pemikiran

(29)

13 tangga, kontribusi hutan rakyat, serta pembagian kerja, akses dan kontrol gender. Selain itu terdapat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembagian kerja, akses dan kontrol gender. Berikut adalah gambar kerangka pemikiran yang diusulkan oleh peneliti:

Variabel Pengaruh Variabel Terpengaruh

Gambar 2 Kerangka pemikiran

Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tingkat kontribusi hutan rakyat sebagai sumber pangan dan sumber pendapatan berpengaruh terhadap tingkat ketahanan pangan rumah tangga petani hutan rakyat.

2. Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga yaitu: tingkat pendidikan anggota rumah tangga, tingkat pendapatan rumah tangga, ukuran rumah tangga dan tingkat penguasaan lahan berpengaruh terhadap tingkat ketahanan pangan rumah tangga petani hutan rakyat.

3. Tingkat beban kerja, akses, dan kontrol dalam rumah tangga berpengaruh terhadap tingkat ketahanan pangan rumah tangga petani hutan rakyat.

Tingkat

Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga 1. Tingkat pendidikan anggota rumah tangga 2. Tingkat pendapatan rumah tangga

3. Tingkat penguasaan lahan 4. Ukuran rumah tangga Kontribusi Hutan Rakyat

1. Tingkat kontribusi sebagai sumber pangan 2. Tingkat kontribusi sebagai sumber pendapatan

Analisis gender (Kerangka Harvard) 1. Tingkat Beban Kerja 2. Tingkat Akses 3. Tingkat Kontrol

Keterangan:

Hubungan yang akan diuji Hubungan yang tidak

Faktor-faktor Pengaruh

(30)

14

Definisi Operasional

Penelitian ini mengukur 10 variabel, 6 variabel diukur dengan menggunakan skor yang sudah ditentukan sebelumnya dalam kuesioner [lihat lampiran 4]. Variabel-variabel tersebut adalah tingkat kontribusi hutan rakyat sebagai sumber pendapatan, tingkat pendidikan, ukuran rumah tangga, tingkat beban kerja, tingkat akses, dan tingkat kontrol. Empat variabel dan bagian dari variabel yang belum diberi skor sebelumnya, diukur atau digolongkan berdasarkan standar deviasi (sd) data dari 30 responden. Variabel-variabel atau bagian variabel tersebut adalah jumlah pengeluaran pangan, tingkat ketahanan pangan rumah tangga, tingkat kontribusi hutan rakyat sebagai sumber pangan, tingkat pendapatan, dan tingkat penguasaan lahan. Definisi operasional dari variabel-variabel penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tingkat ketahanan pangan rumah tangga

Indikator ketahanan pangan rumah tangga yang digunakan adalah tingkat ketersediaan pangan, tingkat aksesibilitas pangan, dan tingkat pemanfaatan pangan.

a. Tingkat ketersediaan pangan adalah jumlah ragam pangan secara fisik dalam rumah tangga selama satu tahun terakhir yang berasal dari segala sumber, baik diproduksi sendiri maupun tidak, termasuk cadangan pangan beserta faktor-faktor yang mempengaruhi produksinya. Data akan diukur dari jumlah pangan, jumlah cadangan pangan, dan skor kondisi faktor pengaruh ketersediaan pangan yang diperoleh dari Tabel Kuesioner 3 dan sebagian Tabel Kuesioner 4.

b. Tingkat aksesibilitas pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup secara kuantitas maupun keragaman pangan dan kemudahan memperoleh pangan tersebut. Data akan diukur dari cara memperoleh pangan, cara mencapai tempat pembelian, dan jumlah pengeluaran pangan yang diperoleh dari pertanyaan (1) dan sebagian Tabel Kuesioner 4. Sebelum dijumlahkan, data pengeluaran pangan akan digolongkan sebagai berikut:

skor 3 jika x > x + 1/2 sd, yaitu x > Rp148.600,54

skor 2 jika x -1/2 sd ≤ x ≥ x + 1/2 sd, yaitu Rp44.732,804 ≤ x ≥

Rp148.600,54

skor 1 jika x < x -1/2 sd, yaitu x < Rp44.732,804

c. Tingkat pemanfaatan pangan adalah jumlah frekuensi makan dan nilai dari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap manfaat yang diperoleh tubuh dari pangan tersebut. Data akan diukur dengan menjumlahkan skor dari jawaban pertanyaan (2)-(10) pada bagian pemanfaatan pangan.

Skor dari tiga indikator tersebut diakumulasikan dan menjadi skor ketahanan pangan yang digolongkan sebagai berikut:

Tinggi jika x > x + 1/2 sd, yaitu x > 82,47

Sedang jika x -1/2 sd ≤ x ≥ x + 1/2 sd, yaitu 63,87 ≤ x ≥ 82,47

Rendah jika x < x -1/2 sd, yaitu x < 63,87

2. Tingkat kontribusi hutan rakyat

(31)

15 a. Kontribusi hutan rakyat sebagai sumber pangan adalah jumlah produk hutan

rakyat berupa hasil hutan non kayu: tanaman pangan, tanaman hortikultura, tanaman perkebunan dan ternak yang dimanfaatkan sebagai pangan oleh rumah tangga dalam satu tahun terakhir. Data diukur dari hasil hutan yang dikonsumsi oleh rumah tangga responden dan digolongkan sebagai berikut: Tinggi jika x >x + 1/2 sd, yaitu x > 7,7075

Sedang jika x -1/2 sd ≤ x ≥ x + 1/2 sd, yaitu 3,4925 ≤ x ≥ 7,7075

Rendah jika x < x -1/2 sd, yaitu x < 3,4925

b. Sumber pendapatan adalah saldo yang diperoleh dari keseluruhan penjualan hasil hutan dikurangi biaya produksi selama satu tahun terakhir untuk non kayu dan selama periode terakhir penjualan untuk tanaman kayu dalam satuan rupiah. Data diukur berdasarkan persentase pendapatan hasil hutan dari keseluruhan pendapatan, dengan penggolonggan sebagai berikut:

Tinggi jika x > 66,8% dari pendapatan total rumah tangga per tahun

Sedang jika 33.4% ≤ x ≥ 66,7% dari pendapatan total rumah tangga per tahun

Rendah jika x <33,3% dari pendapatan total rumah tangga per tahun 3. Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga

Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga terdiri atas tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, ukuran rumah tangga dan tingkat penguasaan lahan.

a. Tingkat pendidikan adalah pendidikan terakhir yang ditempuh anggota rumah tangga pada saat mengisi kuesioner. Anggota rumah tangga yang pendidikan terakhirnya SMA/ sederajat dan perguruan tinggi mendapat skor (3), SD/ sederajat dan SMP/ sederajat skor (2), tidak/ belum sekolah skor (1). Skor dijumlahkan dan dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga kemudian hasilnya digolongkan menjadi:

Tinggi jika bernilai 3 Sedang jika bernilai 2 Rendah jika bernilai 1

b. Tingkat pendapatan adalah jumlah pemasukan netto uang atau barang yang bisa diuangkan dari seluruh anggota rumah tangga yang bekerja dalam satu bulan, digolongkan sebagai berikut:

Tinggi jika x >x + 1/2 sd, yaitu x > Rp4.051.192

Sedang jika x -1/2 sd ≤ x ≥ x + 1/2 sd, yaitu Rp301.274 ≤ x ≥

RP4.051.192

Rendah jika x < x -1/2 sd, yaitu x < Rp301.274

c. Tingkat penguasaan lahan adalah jumlah lahan yang digarap oleh petani, baik milik sendiri, sewa, maupun jenis kepemilikan lainnya, digolongkan sebagai berikut:

Tinggi jika x >x + 1/2 sd, yaitu x > 1,424

Sedang jika x -1/2 sd ≤ x ≥ x + 1/2 sd, yaitu -0.044≤ x ≥ 1,424

Rendah jika x < x -1/2 sd, yaitu x < -0,044

d. Ukuran rumah tangga adalah jumlah anggota rumah tangga yang tinggal dalam satu dapur, digolongkan sebagai berikut:

(32)

16

4. Analisis Gender

Kerangka Harvard digunakan untuk menganalisis pembagian kerja, akses, kontrol, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

a. Tingkat Beban Kerja yaitu jumlah kegiatan yang dilakukan oleh individu pada profil aktivitas (pembagian kerja) produktif, reproduktif, dan sosial. Beban kerja yang akan diukur adalah tingkat beban kerja pada perempuan, jika dikerjakan oleh perempuan akan mendapatkan skor 3, jika dikerjakan bersama mendapatkan skor 2, dan skor 1 jika dikerjakan laki-laki. Setelah dikalikan, hasilnya dibagi dengan jumlah kegiatan masing-masing responden. Skor akhir yang didapat akan digolongkan sebagai berikut:

Tinggi jika 2,4 ≤ x ≥ 3 Sedang jika 1,7 ≤ x ≥ 2,3 Rendah jika 1 ≤ x ≥ 1,6

b. Tingkat Akses adalah jumlah kesempatan individu untuk menggunakan sumber daya fisik/ material, pasar komoditas dan tenaga kerja, sumber daya sosial-budaya dan berbagai aspek manfaat. Tingkat akses yang akan diuji adalah tingkat akses pada perempuan. Jika dilakukan oleh perempuan akan mendapatkan skor 3, jika dikerjakan bersama mendapatkan skor 2, dan skor 1 jika dikerjakan laki-laki. Setelah dikalikan, hasilnya dibagi dengan jumlah kegiatan masing-masing responden. Skor akhir yang didapat akan digolongkan sebagai berikut:

Tinggi jika 2,4 ≤ x ≥ 3 Sedang jika 1,7 ≤ x ≥ 2,3 Rendah jika 1 ≤ x ≥ 1,6

c. Tingkat kontrol adalah jumlah penguasaan atau kewenangan penuh individu untuk mengambil keputusan atas penggunaan sumber daya fisik/ material, pasar komoditas dan tenaga kerja, sumber daya sosial-budaya dan berbagai aspek manfaat. Tingkat kontrol yang akan diuji adalah tingkat kontrol pada perempuan. Jika dilakukan oleh perempuan akan mendapatkan skor 3, jika dikerjakan bersama mendapatkan skor 2, dan skor 1 jika dikerjakan laki-laki. Setelah dikalikan, hasilnya dibagi dengan jumlah kegiatan masing-masing responden. Skor akhir yang didapat akan digolongkan sebagai berikut: Tinggi jika 2,4 ≤ x ≥ 3

(33)

METODE

Penelitian mengenai analisis gender dalam ketahanan pangan rumah tangga petani hutan rakyat ini termasuk penelitian explanatory (penjelasan) yang dilakukan melalui pendekatan kuantitatif didukung pendekatan kualitatif. Tipe penelitian explanatory merupakan analisis data dengan cara menjelaskan hubungan kausal antar variabel-variabel melalui pengujian hipotesis. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode survei, yaitu penelitian yang memperoleh data dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh populasi dengan menggunakan kuesioner (Singarimbun dan Effendi 1989).

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Desa Bojonggenteng, Kecamatan Jampangkulon, Kabupaten Sukabumi. Lokasi penelitian dipilih karena Desa Bojonggenteng merupakan salah satu desa yang yang memiliki potensi hutan rakyat yang cukup baik dan belum pernah ada penelitian mengenai analisis gender dalam ketahanan pangan rumah tangga di desa tersebut. Pemilihan tempat penelitian ini diharapkan relevan dengan data yang ingin diperoleh dan tujuan penelitian. Berikut adalah perencanaan jadwal pelaksanaan penelitian yang akan dilakukan:

Tabel 1 Jadwal pelaksanaan penelitian

Kegiatan Jun Sep Okt Nov Des Jan

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Penyusunan proposal skripsi Kolokium Pengambilan data lapangan

Pengolahan dan analisis data Penulisan draft skripsi Sidang skripsi Perbaikan laporan penelitian

Teknik Sampling

(34)

18

adalah 30 rumah tangga dari 112 kerangka sampling. Responden survei ditentukan dengan menggunakan teknik simple random sampling, yaitu sebuah sampel yang diambil sedemikian rupa sehingga tiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel (Singarimbun dan Effendi 1989). Proses pemilihan sampel dilakukan dengan melakukan sensus seluruh rumah tangga dari keterangan ketua RT untuk mendapatkan kerangka sampling dengan kriteria rumah tangga yang menguasai hutan rakyat dengan suami dan istri yang masih hidup. Setelah mendapatkan kerangka sampling, pengambilan sampel dilakukan secara acak dengan menggunakan fungsi RANDBETWEEN pada Microsoft Excel 2007.

Teknik Pengumpulan Data

Jenis data dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif. Data kuantitatif diperoleh menggunakan pedoman kuesioner terstruktur dengan teknik wawancara, sedangkan data kualitatif diperoleh dengan mewawancarai responden atau informan menggunakan panduan wawancara mendalam. Data kuantitatif digunakan untuk mengetahui pengaruh hubungan antar variabel yang diuji dalam penelitian. Selanjutnya data kualitatif digunakan untuk memberikan penjelasan pada data kuantitatif. Berdasarkan sumbernya, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dari pengumpulan data di lapangan dengan panduan kuesioner dan panduan wawancara mendalam. Berikutnya data sekunder didapatkan dari dokumentasi lembaga yang terkait dan studi literatur yang berhubungan dengan penelitian.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

(35)

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

Letak Lokasi, Struktur Desa dan Keadaan Alam

Desa Bojonggenteng merupakan salah satu desa di Kecamatan Jampangkulon. Luas wilayahnya3 mencapai 438,734 ha. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Nagraksari, sebelah timur dengan Desa Bojongsari dan sebelah barat dengan Desa Ciparay, ketiganya masih berada dalam wilayah Kecamatan Jampangkulon. Sementara sebelah selatan berbatasan dengan Desa Banyumurni Kecamatan Cibitung. Jarak ke ibukota kecamatan sekitar 3 km (15 menit), 63 km ke ibukota kabupaten (2 jam), dan 201 km (7 jam) ke ibu kota provinsi.

Orang luar yang belum pernah ke Desa Bojonggenteng biasanya akan “mabuk” selama perjalanan karena semua jalannya berkelok sejak memasuki wilayah Kabupaten Sukabumi. Hampir tidak ditemukan jalanan yang lurus. Transportasi umum yang dapat digunakan adalah bus dan mobil elf yang lebih dikenal dengan sebutan mobil “setan”4. Waktu tempuh dari terminal Lembursitu di Kota Sukabumi adalah sekitar 3 jam. Selama perjalanan, pemandangan yang bisa dinikmati adalah pegunungan, hutan, kebun teh, sawah dan jurang-jurang pinggir jalan yang tidak dipagari.

Wilayah Desa Bojonggenteng terbagi menjadi 4 RW dan 14 RT dengan pembagian sebagai berikut:

RW 1 : Bojonggenteng 1 (RT 01), Selajati (RT 02), Bojonggenteng 3 (RT 03), Bojonggenteng 2 (RT 04)

RW 2 : Sindanglaya (RT 05), Palalangon 1 (RT 06), Palalangon 2 (RT 07), Cinagen (RT 08)

RW 3 : Simpangbungur (RT 09), Sukamanah (RT 10), Selapajang (RT 11) RW 4 : Bakanjati 3 (RT 12), Bakanjati 1 (RT 13) , Bakanjati 2 (RT 14)

Curah hujan di wilayah ini mencapai 3,444 mm dengan jumlah bulan hujan 6 bulan. Suhu rata-rata harian adalah 28oC. Seluruh wilayahnya terletak di dataran rendah dan tidak memiliki tanah yang berpotensi erosi. Warna tanah sebagian besar adalah hitam dan abu-abu dengan tekstur lampungan serta kemiringan tanah 30 derajat. Tidak ada jenis tanah basah seperti rawa, danau, dan sebagainya

3

Data isian profil desa tahun 2013 menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara jumlah rincian luas lahan per sektor penggunaannya dan jumlah luas lahan yang disebutkan. Luas lahan yang disebutkan adalah 344,274 ha sedangkan luas lahan per sektor jika dijumlahkan menjadi 438,734 ha. Data Gapoktan menuliskan luas lahan pertanian adalah 544,27 ha. Sementara menurut data BPS Kabupaten Sukabumi (Kecamatan Jampangkulon Dalam Angka 2011) adalah 366 ha. Diduga terdapat tumpang tindih penggunaan lahan, ketidaktepatan pengukuran, kesalahan atau kekurangan pendataan.

4

(36)

20

Tabel 2 Jenis penggunaan dan persentase luas lahan di Desa Bojonggenteng Tahun 2013a

Jenis penggunaan lahan Luas (ha) Persentase (%)

Pemukiman 33,2 7,57

Persawahan 244 55,61

Perkebunan 0,75 0,17

Pekarangan 6 1,37

Sarana prasarana (termasuk tanah bengkok) 60,324 13,75

Ladang/tegalan 66,474 15,15

Hutan 27,986 6,38

Total luas 438,734 100

a

Diolah dari data isian profil Desa Bojonggenteng tahun 2013.

Penggunaan lahannya terdiri atas persawahan, pemukiman, perkebunan, pekarangan, ladang, dan lain-lain. Tabel 2 menunjukkan bahwa lahan di desa tersebut paling banyak digunakan sebagai areal persawahan sebesar 55,61%. Tipe persawahan di desa ini adalah sawah irigasi setengah teknis dan sawah tadah hujan. Desa ini juga memiliki tanah dengan bahan galian berupa batu cadas yang dimiliki oleh perorangan.

Kondisi lingkungan Desa Bojonggenteng tergolong cukup baik karena tidak ada pencemaran udara, air, maupun kebisingan serta tidak berpotensi erosi. Hanya saja banyak sumber mata air yang mulai hilang, lahan pertanian yang dikonversi, serta kemusnahan flora dan fauna langka. Desa ini mengalami kekeringan atau kesulitan air hampir di semua wilayahnya. Kesulitan air diduga akibat perubahan iklim dan perilaku manusia yang kurang menjaga lingkungan, salah satunya hutan. Menurut Wak Muh5, dulu sungai biasa digunakan untuk mencuci, tapi sekarang tidak lagi karena sungai Cibereum sudah rusak sampai ke bagian hulunya. Tanah-tanah menjadi keras dan berlumpur sehingga tidak gembur lagi. Sawah-sawah menjadi kering dan tidak bisa dibayot6. Jalan masuk kampung yang dulunya rimbun dengan pepohonan hutan kini sudah sangat jauh berkurang dan berubah menjadi pemukiman warga.

Keadaan Penduduk

Total penduduk Desa Bojonggenteng adalah 2770 orang yang terdiri atas 1361 (49,1%) laki-laki dan 1409 (50,9 %) perempuan. Mereka tersebar dalam 857 rumah tangga dengan kepadatan penduduk 7 per km. Sejumlah 2148 orang berusia produktif (15-64 tahun), terdiri atas 919 (42,8%) laki-laki dan 1229 (57,2%) perempuan. Penduduk berusia produktif menanggung 622 usia non produktif. Beberapa orang yang usianya tidak lagi produktif masih bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

5

Wak Muh adalah tokoh masyarakat sekaligus ketua RW 10 Kampung Sukamanah. Usianya yang sudah tua membuat beliau prihatin dengan kondisi desanya yang jauh berubah dari saat beliau kecil. Wak Muh mengatakan “Tolong sampaikan pada pemerintah, ciptakan pengairan di Sukabumi selatan!”. Wawancara dilakukan pada tanggal 11 Oktober 2013.

6

(37)

21

Tabel 3 Tingkat pendidikan perempuan dan laki-laki Desa Bojonggentenga Tingkat Pendidikan Perempuan % Laki-laki %

Belum sekolah (3-6 tahun) 112 4,4 82 3,2

Tidak sekolah (7-56 tahun) 0 0 4 0,2

Sedang atau tamat SD/ sederajat 516 20,3 494 19,4 Sedang atau tamat SLTP/ sederajat 434 17,1 311 12,2 Sedang atau tamat SLTA/ sederajat 299 11,8 235 9,2 Sedang atau tamat perguruan tinggi 50 2,0 86 3,4

Total 1329 52,3 1212 47,7

a

Diolah dari data isian profil Desa Bojonggenteng tahun 2013.

Sebagian besar penduduk merupakan tamatan Sekolah Dasar dengan persentase 39,7 %. Tabel 3 menunjukkan bahwa perempuan lebih akses terhadap pendidikan dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan yang sudah lulus SD, SLTP, dan SLTA memiliki persentase yang lebih banyak dibandingkan laki-laki. Jumlah perempuan yang tidak sekolah pada usia 7-56 tahun juga tidak ada, sementara laki-laki masih ada 4 orang yang tidak sekolah. Hanya saja pada tingkat perguruan tinggi jumlah laki-laki lebih besar 1,4% dari perempuan yang sedang atau tamat perguruan tinggi.

Tabel 4 Jenis pekerjaan perempuan dan laki-laki usia 18-56 tahun Desa Bojonggentenga

Jenis pekerjaan Perempuan % Laki-laki %

Petani 42 3,46 240 19,77

Buruh Tani 115 9,47 79 6,51

PNS/ TNI/ POLRI/ Pensiunan 92 7,58 96 7,91 Buruh Non Tani / Karyawan 161 13,26 101 8,32 Pengusaha Kecil dan

Menengah 142

11,70

53 4,37

Lainnya 23 1,89 59 4,86

Jumlah 585 48,19 629 51,81

a

Diolah dari data isian profil Desa Bojonggenteng tahun 2013.

Data penduduk usia 18-56 tahun7 terdiri atas 776 laki-laki dan 732 perempuan. Tabel 4 menunjukkan 18,9 % laki-laki pada usia tersebut belum atau tidak bekerja, sementara perempuan mencapai angka 20,1 %. Mereka yang dinyatakan belum atau tidak bekerja merupakan anak sekolah yang tidak bekerja,

7

(38)

22

ibu rumah tangga, penyandang disabilitas dan penduduk yang bekerja tidak tetap. Data profil desa tahun 2013 juga menyebutkan bahwa sejumlah 55,7 % laki-laki pada usia tersebut sudah tamat SLTP, sementara perempuan sudah mencapai angka 58,9 %. Kualitas pendidikan perempuan yang lebih baik dari laki-laki juga dapat dilihat dari tidak adanya lagi perempuan yang buta aksara dan masih ada 3 laki-laki buta aksara. Tabel 4 menunjukkan penduduk Desa Bojonggenteng sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani sesuai dengan mayoritas penggunaan lahan [lihat tabel 2] yaitu persawahan. Luas lahan yang digunakan untuk bercocok tanam relatif sempit.

Tabel 5 Tingkat penguasaan lahan penduduk Desa Bojonggentenga Kategori kepemilikan Jumlah rumah tangga Persentase (%)

< 0,2 ha 360 39,87

0,2-0,5 ha 275 30,45

0,5-1 ha 240 26,58

> 1 ha 27 3

Jumlah total penduduk 903 100

a

Diolah dari data isian profil Desa Bojonggenteng tahun 2013.

Tabel 5 menunjukkan sebagian besar masyarakat memiliki lahan <0,2 ha sampai dengan 1 ha. Lahan yang sempit menyebabkan komoditas pertanian yang bisa ditanam tidak banyak. Selain komoditas padi sawah, tanaman lain yang sering ditanam adalah singkong. Tanaman hortikultura yaitu sayuran dan buah-buahan jarang ditanam karena sulit untuk pengairannya. Komoditas tersebut harus didatangkan dari wilayah lain.

Kelembagaan

Desa Bojonggenteng memiliki beberapa lembaga yang aktif seperti Badan Pemusyawaratan Desa (BPD), Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD), Lembaga Pertimbangan Pembangunan Masyarakat Daerah (LP2MD), PKK, RT, RW, Badan Usaha Milik Desa (BUMDES), MUI, PNPM Mandiri, karang taruna, Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dan Unit Pengumpul Zakat (UPZ) serta partai-partai politik. Anggotanya didominasi laki-laki terkecuali PKK.

Beberapa lembaga yang berpengaruh langsung terhadap pemenuhan kebutuhan pangan adalah Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) yang berperan menggantikan Koperasi Unit Desa (KUD) di Desa Bojonggenteng dengan jenis usaha berupa simpan pinjam. Dana yang diperoleh dari simpan pinjam, selain digunakan untuk usaha juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk pangan.

(39)

23 Silaturahmi Desa Sehat (FSDS) yang programnya dilaksanakan dengan kerja sama antara pemerintah desa dan Puskesmas. Salah satu programnya adalah perbaikan pangan dan gizi.

Berbeda dengan PNPM Mandiri yang dikenal baik oleh masyarakat, peran Gapoktan hampir tidak terdengar. Masyarakat menyebut ketua Gapoktan dengan sebutan tengkulak karena istilah ini lebih populer. Fungsi Gapoktan sebagai penunjang produksi pangan kurang dirasakan oleh para petani karena fasilitasnya dimonopoli oleh orang-orang tertentu. Sementara itu UPZ hanya berperan pada waktu-waktu tertentu ketika zakat berupa beras dan uang dibagikan.

Latar Belakang Sosial dan Budaya

Penduduk Desa Bojonggenteng 100% beragama Islam dan hampir seluruhnya bersuku Sunda. Hanya ada 1 orang laki-laki Suku Batak, 3 laki-laki Suku Jawa, 1 perempuan Suku Jawa. Masyarakat masih memiliki rasa tolong-menolong dan gotong-royong yang tinggi, termasuk saling memberi makanan. Tidak ada perayaan adat kecuali perkawinan, kematian dan agama. Pada perayaan agama misalnya Idul Adha mereka akan membawa makanan terbaik yang ada di rumah ke masjid untuk kemudian dimakan bersama-sama dengan warga lainnya. Jamuan makan ini dikenal dengan nama botram atau ngariung makan.

Upacara-upacara adat pun sudah tidak ditemukan di Desa Bojonggenteng, meskipun masih banyak yang memegang tradisi seperti penggunaan rumah panggung. Hanya tradisi ini yang masih dipegang oleh sebagian masyarakat. Rumah panggung terbuat dari kayu, bambu, dan anyaman bambu. Bentuknya sederhana karena mereka berkeyakinan tidak boleh memiliki rumah yang lebih megah dari masjid. Jika ingin memperbaiki kondisi rumah, kondisi masjid juga harus diperbaiki dan diutamakan.

Tradisi tersebut ada di kampung-kampung tertentu seperti Sukamanah, Simpangbungur, Selapajang, Sindanglaya, Palalangon dan hanya sebagian kecil di kampung-kampung lainnya. Kampung yang dekat dengan pusat desa atau jalan provinsi sudah mengikuti gaya rumah modern. Tradisi ini menyebabkan kondisi masjid di tiap kampung selalu bersih, nyaman, dan terkesan megah dibandingkan dengan rumah-rumah di sekitarnya.

Ajaran agama yang dipegang masyarakat pun cukup unik. Masih banyak yang mengikuti ajaran Islam versi Sarekat Islam (SI). Organisasi masyarakat yang sudah tidak eksis lagi di kancah nasional ini masih memiliki banyak pengikut setia di beberapa kampung di Desa Bojonggenteng. Perkumpulan mereka yang tergabung dalam Persatuan Sarekat Islam Indonesia (PSII) aktif mengadakan pengajian termasuk pengkaderan pada generasi-generasi muda mereka.

Sementara itu budaya yang berhubungan dengan pangan seperti lumbung padi khusus (leuit) pada tiap rumah sudah tidak ada lagi. Sekarang masyarakat menyimpan padi atau berasnya di sudut-sudut dapur. Bangunan khusus untuk padi (leuit) hanya bisa ditemukan di beberapa rumah yang ditinggali oleh orang-orang yang sangat tua di kampung-kampung yang jauh dari pusat desa seperti Kampung Sindanglaya.

Sarana dan Prasarana

(40)

24

dan lain-lain. Puskesmas dan kantor desa terletak berdampingan di pusat desa, yaitu Kampung Bojonggenteng I.

Kegiatan Posyandu dan Posbindu merupakan kegiatan rutin yang dilakukan setiap bulan dengan tujuan meningkatkan kesehatan ibu, anak dan lansia. Kegiatan tersebut dilaksanakan sebanyak lima kali dalam satu bulan, yaitu tanggal 9 di Posyandu Mawar I Selapajang (RT 11), tanggal 10 di Posyandu Cempaka Bakanjati 1 (RT 13), tanggal 14 di Posyandu Plamboyan Bojonggenteng 1 (RT 01), tanggal 18 di Posyandu Dahlia Palalangon 1 (RT 06), dan tanggal 20 di Posyandu Mawar II Sukamanah (RT 10). Kegiatan Posbindu dilaksanakan setelah kegiatan Posyandu selesai.

Jalan desa sudah beraspal walaupun ada beberapa bagian yang rusak, terutama pada kampung-kampung yang jauh dari pusat desa. Kendaraan umum yang bisa digunakan adalah angkot di sepanjang jalan provinsi yang melewati Kampung Simpangbungur, Kampung Bojonggenteng I, dan Kampung Cinagen. Sementara kampung lainnya menggunakan kendaraan ojek yang sudah memiliki pangkalan tertentu. Untuk keamanan dan lingkungan, Desa Bojonggenteng memiliki lembaga keamanan Siskamling dengan hansip dan Linmasnya yang bekerjasama dengan Babinkamtibmas dan mitra Koramil.

(41)

KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA

PETANI HUTAN RAKYAT

Pengukuran ketahanan pangan didasarkan pada 3 indikator menurut pendapat Chung et al. (1997) yang dikutip Amirian (2009) yaitu: ketersediaan pangan, aksesibilitas pangan, dan pemanfaatan pangan. Berdasarkan total nilai ketiga komponen tersebut diperoleh hasil pada tabel 6 bahwa tingkat ketahanan pangan rumah tangga petani hutan rakyat Desa Bojonggenteng termasuk dalam kategori “sedang” yaitu sebesar 66,7%.

Tabel 6 Tingkat ketahanan pangan petani hutan rakyat Desa Bojonggentenga

Tingkat ketahanan pangan Jumlah Persentase (%)

Tinggi 8 26,7

Sedang 20 66,7

Rendah 2 6,6

a

Diolah dari hasil kuesioner penelitian lapangan

Nilai ketahanan pangan ditentukan oleh ragam pangan yang dikonsumsi, ragam cadangan pangan, kondisi faktor-faktor yang mempengaruhi produksi pangan, cara memperoleh pangan, kemudahan memperoleh pangan, jumlah pengeluaran pangan, frekuensi makan, dan kondisi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penyerapan makanan.

Suatu rumah tangga dikatakan memiliki ketahanan pangan yang tinggi jika 1) Mengonsumsi 11 ragam pangan yaitu: padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang-kacangan, minyak nabati, sayur-sayuran, buah-buahan, rempah-rempah, gula, dan produk hewani 2) Memiliki cadangan pangan 3) Faktor-faktor yang mempengaruhi produksinya mendukung yaitu: adanya kredit usaha tani, memiliki sarana produksi pertanian, air tersedia, iklim mendukung, tidak ada bencana alam, tidak ada hama dan penyakit tanaman maupun ternak 4) Pangan banyak yang diproduksi sendiri 5) Mendapatkan pangan dengan cara yang mudah (misalnya dekat dengan pasar) 6) Jumlah pengeluaran untuk pangan cukup tinggi, artinya banyak pangan yang dikonsumsi 7) Frekuensi makan tiga kali sehari 8) Kondisi sanitasi, air bersih dan lainnya tercukupi dan dalam keadaan baik serta 9) Pernah mengikuti penyuluhan pangan atau gizi.

Kondisi ketahanan pangan masyarakat Desa Bojonggenteng yang rata-rata “sedang” disebabkan adanya faktor produksi yang kurang mendukung yaitu kurang tersedianya air serta adanya hama dan penyakit tanaman. Selain itu masyarakat yang pernah mendapatkan penyuluhan pangan atau gizi juga sangat sedikit. Masyarakat yang rumahnya jauh dari pasar desa juga memiliki skor yang lebih kecil pada kemudahan mendapatkan pangan.

Ketersediaan Pangan

(42)

26

dari segala sumber, baik diproduksi sendiri maupun tidak beserta faktor-faktor yang mempengaruhi produksinya. Kelompok pangan yang dianjurkan Food and Agriculture Organization (FAO) dalam pola penyediaan pangan harapan dengan kecukupan energi untuk Indonesia yaitu: padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, lemak dan minyak, biji berminyak/ kacang-kacangan, gula dan sayur-sayuran, semuanya tersedia di Desa Bojonggenteng. Kelompok pangan tertentu seperti beberapa jenis sayuran dan buah-buahan harus didatangkan dari daerah lain melalui para distributor pangan. Kesulitan air menyebabkan banyak tanaman dan hewan tidak bisa diproduksi sendiri oleh masyarakat Desa Bojonggenteng.

Bahan makanan pokok petani hutan rakyat Desa Bojonggenteng adalah beras yang mayoritas diproduksi sendiri. Dua belas dari 30 responden merupakan petani padi sawah, 14 lainnya memiliki sawah yang di-paro-kan, 4 sisanya tidak memiliki sawah. Luas sawah yang sempit (rata-rata 0,349 ha) membuat para petani jarang memiliki cadangan pangan. Hanya delapan orang yang setiap tahunnya memiliki cadangan padi. Beberapa responden bahkan tetap harus membeli beras di pasar karena produksi padinya tidak bisa mencukupi kebutuhan pangan selama setahun penuh. Sebagian lainnya mengatakan tidak memiliki cadangan padi karena harus memberikan beras kepada anak-anaknya yang telah tinggal di kota sebagai ungkapan kasih sayang.

Pangan sumber karbohidrat lain seperti jagung dan umbi-umbian tidak dikonsumsi secara rutin. Saat musim panennya tiba, barulah pangan tersebut dikonsumsi dalam bentuk berbagai olahan tradisional khas Sunda. Bentuk cadangan pangan untuk kedua jenis pangan ini tidak berupa bahan mentah, melainkan dalam bentuk olahan setengah jadi maupun makanan siap konsumsi seperti keripik, kerupuk, opak, dan lain-lain.

Masyarakat Desa Bojonggenteng sangat gemar mengonsumsi opak jampang (opak ketan), opak singkong, ranginang, dan rangining8. Empat jenis makanan ini hampir tidak pernah absen seharipun dari meja makan dan meja tamu. Bahkan beberapa orang menjadikan opak sebagai lauk dan hanya dimakan bersama nasi. Tiap harinya opak jampang akan didatangkan dari Kecamatan Surade untuk dijual di Desa Bojonggenteng. Ada juga beberapa rumah tangga yang memproduksi Opak sendiri, baik untuk dijual (mentah atau matang) maupun dikonsumsi sendiri. Selain itu pada pagi hari mereka juga sering mengonsumsi uli atau ketan goreng. Sumber pangan selain padi jarang diproduksi sendiri karena kondisi daerah mereka yang sulit air dan adanya perubahan iklim. Frekuensi panen padi dalam setahun maksimal hanya dua kali, bahkan mayoritas hanya satu kali. Kesulitan air membuat hasil produksi pertanian kurang beragam. Petani tidak bisa membudidayakan tanaman yang membutuhkan banyak air maupun memelihara ternak dengan baik. Hanya satu dari 30 responden yang menanam sayuran, lainnya menanam kacang-kacangan seperti kacang kedelai dan kacang tanah atau menanam jagung. Tanaman tersebut juga tidak dapat ditanam sepanjang tahun,

8

(43)

27 bergantung pada kondisi air yang tersedia. Buah-buahan yang diproduksi di Desa Bojonggenteng adalah buah-buahan yang berasal dari pohon, bukan tanaman. Buah-buahan ini ditanam di pekarangan atau leuweung (hutan rakyat) bercampur dengan rempah-rempah dan tanaman kayu. Para petani yang memiliki ternak biasanya juga menggabungkan kandang ternaknya di lahan tersebut (sistem agrosylvopasture). Ternak yang biasa dipelihara oleh masyarakat Desa Bojonggenteng adalah ayam, kambing, domba, dan manila (itik). Tabel 7 menjelaskan berbagai macam sumber pangan yang terdata oleh pemerintah Desa Bojonggenteng :

Tabel 7 Luas lahan dan hasil panen dari berbagai kelompok pangana Kelompok Pangan Jenis Tanaman Luas (ha) Hasil Panen (ton/ha)

Padi-padian Padi Sawah 251,25 3,5

Jagung 1 3

Umbi-umbian Ubi Kayu 0,25 4,0

Ubi Jalar 0,25 4,0

Kacang-kacangan Kacang Kedelai 0,25 2

Kacang Tanah 1 3

Minyak dan Lemak Kelapa 0,30 600

Sayur Kacang Panjang 0,25 2,4

Cabe 1,00 2,0

Bawang Merah 0,25 2,5

Tomat 0,25 2,0

Mentimun 1,00 3,0

Buncis 0,15 1,5

Terong 0,25 1,6

Bayam - 2,5

Kangkung 0,25 2,5

Buah Mangga 3,00 5,0

Pepaya 2,00 2,0

Pisang 3,00 4,0

Nangka 0,25 3,0

Kedongdong 0,30 4,0

Jambu Klutuk 0,15 3,0

Rempah-rempah Cengkeh 0,05 300

Lada 0,15 0,08

Gula - -

-Pangan Hewani Ikan 1,40 2

a

Diolah dari data isian profil Desa Bojonggenteng tahun 2013.

(44)

28

Tabel 8 Jenis hewan, jumlah pemilik dan perkiraan jumlah ternak pada kelompok pangan hewani a

Kelompok Pangan Jenis hewan Pemilik Perkiraan Jumlah (ekor)

Pangan Hewani Sapi 2 2

Diolah dari data isian profil Desa Bojonggenteng tahun 2013.

Hasil produksi pertanian langsung dijual ke konsumen, tengkulak, pengecer, pasar atau sebagian dikonsumsi sendiri. Khusus untuk hasil ternak langsung dijual ke konsumen atau tengkulak karena tidak ada pengecer. Petani tidak hanya memasarkan hasil mentah namun termasuk produk-produk olahan seperti telur asin, keripik, kerupuk, opak, produk kerajinan, dan lain-lain. Responden yang berprofesi sebagai petani jarang yang mengambil kredit keuangan untuk membiayai produksi [lihat lampiran gambaran biaya produksi]. Sementara responden yang berprofesi sebagai pedagang semuanya mengambil kredit untuk menambah modal usaha.

Kondisi yang mempengaruhi faktor produksi adalah ada atau tidaknya kredit usaha tani, sarana produksi pertanian, iklim yang buruk, hama dan penyakit tanaman atau ternak, bencana alam, dan ketersediaan air. Faktor yang berpengaruh paling dominan adalah bagi masyarakat Desa Bojonggenteng adalah ketersediaan air. Sulitnya air membuat sistem irigasi desa terpuruk sehingga tidak ada sawah irigasi teknis. Jenis sawah di Desa Bojonggenteng adalah sawah tadah hujan dan sebagian kecil merupakan sawah irigasi setengah teknis9. Desa ini belum pernah mengalami bencana alam yang berarti dan iklimnya juga dinilai masih cukup mendukung untuk usaha pertanian.

Faktor lainnya adalah hama dan penyakit tanaman/ ternak yang juga menekan angka produktivitas pertanian. Para petani mengatasinya dengan obat-obatan atau pestisida kimia yang didapatkan di kios-kios pertanian pasar Cinagen. Data isian profil desa tahun 2013 menunjukkan sarana produksi pertanian yang terdapat di Desa Bojonggenteng adalah 3 penggilingan padi, 12 traktor dan 1 pabrik pengolahan pangan.

Aksesibilitas Pangan

Masyarakat Desa Bojonggenteng memiliki kemudahan untuk memperoleh pangan yang cukup tinggi. Selain tersedia pasar desa yang besar, masyarakat juga memiliki kebiasaan saling memberi bahan pangan saat panen kepada tetangga dan

9

Gambar

Gambar 1  Kerangka konseptual ketahanan pangan dan indikator generik.
Gambar 2  Kerangka pemikiran
Tabel 1  Jadwal pelaksanaan penelitian
Tabel 3  Tingkat pendidikan perempuan dan laki-laki Desa Bojonggentenga
+7

Referensi

Dokumen terkait

(5) Penerapan jarwo transplanter akan optimal jika sistem pembibitan benih padi dilakukan dengan cara yang sesuai tuntutan teknis pengoperasian alsin tersebut

Jika kita mempunyai variabel A yang bertipe array yang berisi 5 elemen dari tipe int, maka untuk mengakses elemen-elemen array tersebut kita dapat juga menggunakan pointer (misalnya

Hipertensi atau tekanan darah tinggi memberikan kelainan pada retina berupa retinopati hipertensi, dengan arteri yang besarnya tidak teratur, eksudat pada retina, edema

Gaya kepemimpinan dapat memengaruhi oranglain melalui keadaan sekitar, sesuai dengan pendapat Thoha: 2002 gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang

(2) Menteri atau gubernur yang diberikan delegasi oleh Menteri untuk memberikan izin pembuangan air limbah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara

tergantung pada latihan yang sering dilakukan untuk mengembangkan berpikir kritis (Fakhriyah, 2014) Kenyataan yang ditemui pada mahasiswa PGSD FKIP Universitas

nyaman berhubungan dengan gejala terkait penyakit (tidak nyaman terhadap luka dekubitus). Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama

Sebagian besar responden adalah ibu-ibu yang mempunyai tingkat pengetahuan sedang tentang imunisasi dasar anak dan mempunyai pengalaman menjadi kader lebih dari 5 sampai dengan