• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Resistensi Beberapa Klon Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Dari Kebun Konservasi Terhadap Penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Uji Resistensi Beberapa Klon Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Dari Kebun Konservasi Terhadap Penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc."

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

UJI RESISTENSI BEBERAPA KLON KARET

(Hevea brasiliensis Muell. Arg.) DARI KEBUN KONSERVASI

TERHADAP PENYAKIT GUGUR DAUN

Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.

SKRIPSI

OLEH :

WIRAWAN PRAMANA 050302049

HPT

DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

UJI RESISTENSI BEBERAPA KLON KARET

(Hevea brasiliensis Muell. Arg.) DARI KEBUN KONSERVASI

TERHADAP PENYAKIT GUGUR DAUN

Skripsi Sebagai Salah Syarat Untuk Dapat Memperoleh Gelar Sarjana di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian

(3)

ABSTRACT

Wirawan Pramana “Resistence Test Of Various Rubber Clone From Conservation Estate To Leaf Fall Disease Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.” .With the conselling Mr. Ir. Kasmal Aripin, MSi as leader, Mr. Ir. Lahmuddin Lubis, MP as couthor and Mr. Ir Aidi Daslin Sagala, MS as counseling field.

The research was conducted in Laboratory Plant Protection Sungei Putih Rubber Research Center since January 2010 to April 2010.

The objective of the research was to know level of resistence of various rubber clone from conservation estate to leaf fall disease C. gloeosporioides.

The research Complete Random Device (CRD) design non factorial with 30 treatments and 3 replicated. Clone were PB 260, PB 254, PB 350, PB 359, PB 217, PB 330, PB 340, PB 312, PB 314, PB 366, IRR 112, IRR 5, IRR 105, IRR 107, IRR 118, IRR 119, IRR 104, IRR 136, IRR 12, IRR 7, RRIM 908, RRIM 921, RRIM 937, RRIM 901, RRIM 911, RRIC 100, RRIC 102, RRIC 110, RRII 105, RRII 176.

The result of research showed that PB 340, PB 314, IRR 112, IRR 119 and IRR 136 are relatively resistence clone. PB 254, PB 350, PB 312, PB 366, IRR 105, IRR 107, IRR 104, IRR 7, RRIM 911 and RRIC 100 are moderate clone. PB 217, IRR 12, RRIM 908, RRIC 102 and RRIC 110 are relatively susceptible clone. PB 260, PB 359, PB 330, IRR 118, RRIM 921, RRIM 937, RRIM 901, RRII 105 and RRII 176 are susceptible clone.

(4)

ABSTRAK

Wirawan Pramana “Uji Resistensi Beberapa Klon Karet

(Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Dari Kebun Konservasi Terhadap Penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.”. Dengan komisi

pembimbing Bapak Ir. Kasmal Aripin, MSi selaku ketua, Bapak Ir. Lahmuddin Lubis, MP selaku anggota dan Bapak Ir. Aidi Daslin Sagala, MS selaku pembimbing lapangan.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Proteksi Tanaman Pusat Penelitian Karet Sungei Putih dari bulan Januari 2010 sampai April 2010.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat resistensi beberapa klon karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) terhadap penyakit gugur daun

Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc..

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial dengan 30 perlakuan dengan 3 ulangan. Klon karet yang digunakan dalam penelitian adalah PB 260, PB 254, PB 350, PB 359, PB 217, PB 330, PB 340, PB 312, PB 314, PB 366, IRR 112, IRR 5, IRR 105, IRR 107, IRR 118, IRR 119, IRR 104, IRR 136, IRR 12, IRR 7, RRIM 908, RRIM 921, RRIM 937, RRIM 901, RRIM 911, RRIC 100, RRIC 102, RRIC 110, RRII 105, RRII 176.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa PB 340, PB 314, IRR 112, IRR 119 dan IRR 136 adalah klon yang tergolong agak resisten. PB 254, PB 350, PB 312, PB 366, IRR 105, IRR 107, IRR 104, IRR 7, RRIM 911 dan RRIC 100 adalah klon yang moderat. PB 217, IRR 12, RRIM 908, RRIC 102 dan RRIC 110 adalah klon yang tergolong agak rentan. PB 260, PB 359, PB 330, IRR 118, RRIM 921, RRIM 937, RRIM 901, RRII 105 dan RRII 176 adalah klon yang tergolong rentan.

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 3 Mei 1985 dari ayah Bambang

Soemanto dan ibu Ainul Mardiah. Penulis merupakan putra ke-3 dari 4

bersaudara.

Tahun 1998 Penulis lulus dari SD Al-Azhar 2 Medan, tahun 2001 lulus

dari SLTP Kemala Bhayangkari 1 Medan, tahun 2004 lulus dari SMU Dharma

Pancasila Medan dan pada tahun 2005 lulus seleksi masuk USU melalui jalur

SPMB Penulis memilih program studi Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas

Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, Penulis mengikuti seminar nasional

”Tindak Lanjut Pembangunan Pertanian Pasca Swasembada Beras 2008” sebagai

peserta, anggota bidang dakwah Komunikasi Muslim HPT (KOMUS HPT)

periode 2008 – 2009, anggota Dana dan Usaha (Danus) BKM Al – Mukhlisin FP

USU periode 2008 – 2009, melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di

PT. Bakrie Sumatera Plantation, Tbk di Kisaran Kabupaten Asahan dan

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis ucapkan kepada Allah swt karena atas berkat

rahmat-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Adapun judul skripsi ini “Uji Resistensi Beberapa Klon Karet

(Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Dari Kebun Konservasi Terhadap Penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.” sebagai salah satu

syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Departemen Hama dan Penyakit

Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada kesempatan kali ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada

Ir. Kasmal Arifin, MSi selaku ketua, Ir. Lahmuddin, MP selaku anggota dan

Ir. Aidi Daslin Sagala, MS selaku pembimbing lapangan yang telah banyak

memberikan pengetahuannya kepada Penulis. Tak lupa Penulis mengucapkan

terima kasih kepada keluarga, teman – teman HPT 2005 dan keluarga besar Balai

Pusat Penelitian Karet Sungei Putih yang telah banyak memberikan dukungan

dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan

baik dari segi isi maupun tata cara penulisan. Oleh karena itu, Penulis

mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk perbaikan skripsi

ini.

Akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

(7)
(8)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 30 Saran ... 30

DAFTAR PUSTAKA

(9)

DAFTAR TABEL

No. Judul Hal

1. Uji Beda Rataan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides

2 hsi sampai 8 hsi ... 19

2 . Luas Pertumbuhan Biakan C. gloeosporioides ... 23

(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Hal

1. Gejala Serangan C. gloeosporioides ... 8

2. Haemocytometer ... 16

3. Histogram Intensitas Serangan C. gloeosporioides 2 hsi – 8 hsi ... 21

4. Konidia C. gloeosporioides ... 22

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Hal

1. Bagan Percobaan ... 32

2. Data Intensitas Serangan (%) 2 hsi ... 34

3. Data Intensitas Serangan (%) 2 hsi ditransformasi Arc Sin √x ... 35

4. Data Intensitas Serangan (%) 4 hsi ... 36

5. Data Intensitas Serangan (%) 4 hsi ditransformasi Arc Sin √x ... 37

6. Data Intensitas Serangan (%) 6 hsi ... 38

7. Data Intensitas Serangan (%) 6 hsi ditransformasi Arc Sin √x ... 39

8. Data Intensitas Serangan (%) 8 hsi ... 40

9. Data Intensitas Serangan (%) 8 hsi ditransformasi Arc Sin √x ... 41

10. Data Jumlah Konidia ... 42

11. Data Jumlah Konidia ditransformasi Arc Sin √x ... 43

12. Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides ... 44

13. Skala Intensitas Serangan ... 46

14. Pengujian Resistensi Metode Cakram Daun ... 47

(12)

ABSTRACT

Wirawan Pramana “Resistence Test Of Various Rubber Clone From Conservation Estate To Leaf Fall Disease Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.” .With the conselling Mr. Ir. Kasmal Aripin, MSi as leader, Mr. Ir. Lahmuddin Lubis, MP as couthor and Mr. Ir Aidi Daslin Sagala, MS as counseling field.

The research was conducted in Laboratory Plant Protection Sungei Putih Rubber Research Center since January 2010 to April 2010.

The objective of the research was to know level of resistence of various rubber clone from conservation estate to leaf fall disease C. gloeosporioides.

The research Complete Random Device (CRD) design non factorial with 30 treatments and 3 replicated. Clone were PB 260, PB 254, PB 350, PB 359, PB 217, PB 330, PB 340, PB 312, PB 314, PB 366, IRR 112, IRR 5, IRR 105, IRR 107, IRR 118, IRR 119, IRR 104, IRR 136, IRR 12, IRR 7, RRIM 908, RRIM 921, RRIM 937, RRIM 901, RRIM 911, RRIC 100, RRIC 102, RRIC 110, RRII 105, RRII 176.

The result of research showed that PB 340, PB 314, IRR 112, IRR 119 and IRR 136 are relatively resistence clone. PB 254, PB 350, PB 312, PB 366, IRR 105, IRR 107, IRR 104, IRR 7, RRIM 911 and RRIC 100 are moderate clone. PB 217, IRR 12, RRIM 908, RRIC 102 and RRIC 110 are relatively susceptible clone. PB 260, PB 359, PB 330, IRR 118, RRIM 921, RRIM 937, RRIM 901, RRII 105 and RRII 176 are susceptible clone.

(13)

ABSTRAK

Wirawan Pramana “Uji Resistensi Beberapa Klon Karet

(Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Dari Kebun Konservasi Terhadap Penyakit Gugur Daun Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.”. Dengan komisi

pembimbing Bapak Ir. Kasmal Aripin, MSi selaku ketua, Bapak Ir. Lahmuddin Lubis, MP selaku anggota dan Bapak Ir. Aidi Daslin Sagala, MS selaku pembimbing lapangan.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Proteksi Tanaman Pusat Penelitian Karet Sungei Putih dari bulan Januari 2010 sampai April 2010.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat resistensi beberapa klon karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) terhadap penyakit gugur daun

Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc..

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial dengan 30 perlakuan dengan 3 ulangan. Klon karet yang digunakan dalam penelitian adalah PB 260, PB 254, PB 350, PB 359, PB 217, PB 330, PB 340, PB 312, PB 314, PB 366, IRR 112, IRR 5, IRR 105, IRR 107, IRR 118, IRR 119, IRR 104, IRR 136, IRR 12, IRR 7, RRIM 908, RRIM 921, RRIM 937, RRIM 901, RRIM 911, RRIC 100, RRIC 102, RRIC 110, RRII 105, RRII 176.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa PB 340, PB 314, IRR 112, IRR 119 dan IRR 136 adalah klon yang tergolong agak resisten. PB 254, PB 350, PB 312, PB 366, IRR 105, IRR 107, IRR 104, IRR 7, RRIM 911 dan RRIC 100 adalah klon yang moderat. PB 217, IRR 12, RRIM 908, RRIC 102 dan RRIC 110 adalah klon yang tergolong agak rentan. PB 260, PB 359, PB 330, IRR 118, RRIM 921, RRIM 937, RRIM 901, RRII 105 dan RRII 176 adalah klon yang tergolong rentan.

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman karet atau Hevea brasiliensis Muell. Arg. termasuk famili

Euphorbiaceae. Tanaman karet ini dalam beberapa bahasa, antara lain rubber

(Inggris), Chauco (Spanyol), Para-rubber (Belanda), Caoutchouc (Perancis),

Kautschuk (Jerman), Seringueira (Portugis), Karet (Indonesia) (Sianturi, 1992).

Sejak berabad-abad yang lalu, karet telah dikenal dan digunakan secara

tradisional oleh penduduk asli di daerah asalnya, yakni Brasil-Amerika Selatan.

Karet tumbuh secara liar di lembah-lembah sungai Amazone dan secara

tradisional diambil getahnya oleh penduduk setempat untuk digunakan dalam

berbagai keperluan, antara lain sebagai bahan untuk menyalakan api dan bola

untuk permainan. Akan tetapi meskipun telah diketahui penggunaannya oleh

Colombus dalam pelayarannya ke Amerika Selatan pada akhir abad ke-15 dan

bahkan oleh penjelajah-penjelajah berikutnya pada awal abad ke-16, sampai saat

itu karet masih belum menarik perhatian orang-orang Eropa (Setyamidjaja, 1995).

Setelah astronom de la Condamine mengirimkan contoh benda misterius

yang elastis yang dinamai orang Indian “caoutchouc” yang berasal dari Peru tahun

1736, barulah tanaman karet dikenal di Perancis. Karet yang diambil de la

Condamine bukanlah karet tanaman Hevea, tetapi adalah karet tanaman Castillos

elastica Cerv. Beberapa tahun kemudian barulah diketahui bahwa getah karet bisa

(15)

Tanaman karet sendiri mulai dikenal di Indonesia sejak zaman penjajahan

Belanda. Awalnya, karet ditanam di kebun Raya Bogor sebagai tanaman baru

untuk dikoleksi. Selanjutnya, karet dikembangkan menjadi tanaman perkebunan

dan tersebar di beberapa daerah (Tim Penulis PS, 1996).

Karet alam merupakan salah satu komoditas pertanian yang penting untuk

Indonesia dan lingkup internasional. Di Indonesia, karet merupakan salah satu

hasil pertanian yang banyak menunjang perekonomian negara. Hasil devisa yang

diperoleh dari karet cukup besar. Bahkan, Indonesia pernah menguasai produksi

karet dunia dengan mengungguli hasil dari negara-negara lain dan negara asal

tanaman karet sendiri yaitu di daratan Amerika Selatan. Posisi Indonesia sebagai

produsen karet nomor satu di dunia akhirnya terdesak oleh dua negara tetangga,

Malaysia dan Thailand (Tim Penulis PS, 2008).

Tanaman karet memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan

komoditas lainnya, yaitu: (1) dapat tumbuh pada berbagai kondisi dan jenis lahan,

serta masih mampu dipanen hasilnya meskipun pada tanah yang tidak subur, (2)

mampu membentuk ekologi hutan, yang pada umumnya terdapat pada daerah

lahan kering beriklim basah, sehingga karet cukup baik untuk menanggulangi

lahan kritis, (3) dapat memberikan pendapatan harian bagi petani yang

mengusahakannya, dan (4) memiliki prospek harga yang cukup baik, karena

kebutuhan karet dunia semakin meningkat setelah China membuka pasar baru

bagi karet Indonesia (Anonimousb, 2009).

Penyakit sering menimbulkan kerugian yang cukup berarti pada tanaman

karet. Setiap tahun kerugian yang ditimbulkannya bisa mencapai jutaan rupiah

(16)

disebabkan oleh rusaknya tanaman karet saja, tetapi juga oleh biaya pengendalian

penyakit yang sangat mahal (Tim Penulis PS, 1996).

Penyakit tanaman karet merupakan kendala dominan dibandingkan dengan

gangguan lainnya. Di samping menurunkan produksi karet, penyakit dapat

mengakibatkan gagalnya suatu program pengembangan tanaman karet

(Pawirosoemardjo dkk, 1998).

Penyakit daun Colletotrichum merupakan penyakit yang relatif baru pada

karet di Indonesia dan baru mendapat perhatian pada tahun 1970-an. Pada tahun

1989 – 1992 timbul epidemi penyakit gugur daun Colletotrichum di Kalimantan

terutama Kalimantan Barat (Semangun, 2000).

Jamur ini umum terdapat di alam sebagai saprofit yang juga dapat

memarasit bermacam-macam tumbuhan. Selain pada karet, C. gloeosporioides

dapat menyebabkan penyakit pada kakao, kopi, jeruk, apokat dan terung

(Semangun, 2000).

Di Jawa Barat penyakit dapat menyebabkan kerugian 7 – 40 % tergantung

dari intensitas penyakit, sedang di Sri Lanka kerugian rata-rata mendekati 12 %.

Penyakit daun Colletotrichum merupakan penyakit karet yang paling luas

(17)

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui tingkat resistensi beberapa klon karet

(Hevea brasiliensis Muell. Arg.) terhadap penyakit gugur daun

Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc..

Hipotesa Penelitian

Di antara klon karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) terdapat tingkat

resistensi yang berbeda - beda terhadap penyakit gugur daun

Colletotrichum gloeosporioides Penz. et Sacc..

Kegunaan Penelitian

- Sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Departemen

Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

Medan.

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Penyakit

Adapun klasifikasi Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. menurut

Dwidjoseputro (1978) sebagai berikut :

Divisio : Mycota

Subdivisio : Eumycotyna

Kelas : Deuteromyces

Ordo : Melanconiales

Family : Melanconiaceae

Genus : Colletotrichum

Spesies : Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.

C. gloeosporioides umumnya mempunyai konidium hialin, berbentuk

silinder dengan ujung-ujung tumpul, kadang-kadang berbentuk agak jorong

dengan ujung yang membulat dan pangkal yang sempit terpancung, tidak

bersekat, berinti satu, 9 – 24 x 3 – 6 μm, terbentuk pada konidiofor seperti fialid,

berbentuk silinder, hialin atau agak kecokelatan. Telemorf jamur ini adalah

Glomerella cingulata (Stonem) Spauld. et v. Schrenk (Semangun, 2000).

Konidia terbentuk tunggal pada ujung-ujung konidiofor. Konidiofir

pendek, tidak berwarna, tidak bercabang, tidak bersekat. Sering ditemukan pada

aservuli dari jamur Colletotrichum, tetapi tidak tetap tergantung kondisi tempat

(19)

Konidia berbentuk lengkung, panjang 10 – 15 μm dan lebar 5 – 7 μm.

Acervulli yang lunak, yang diproduksi di jaringan terinfeksi, biasanya dengan

setae, sederhana, konidiofor berbentuk lurus (Anonimousd, 2009).

Konidium berbentuk jorong atau bulat telur dengan bagian ujung

membulat, tidak bersepta dengan warna hialin. Patogen mempunyai hifa bersepta,

warna hialin yang kemudian berubah menjadi gelap. Spora keluar dari aservulus

seperti massa lendir berwarna merah jambu (Anonimousc, 2009).

Aservuli tersusun di bawah epidermis tumbuhan inang. Epidermis pecah

apabila konidia telah dewasa. Konidia keluar sebagai percikan berwarna putih,

kuning, jingga, hitam atau warna lain sesuai pigmen yang dikandung konidia

(Dwidjoseputro, 1978).

Konidia yang diproduksi adalah sebagai hasil dari pembelahan sel secara

mitosis dan hasil pembelahan tersebut identik dengan sel induknya. Konidia

biasanya diproduksi dalam jumlah besar dan merupakan suatu bentukan dari

jamur untuk mempertahankan diri dari keadaan luar atau kondisi lingkungan yang

tidak menguntungkan. Keberadaan konidia ini pada suatu tempat atau area, pada

umumnya dapat merupakan suatu indikator adanya perkembangan penyakit pada

tanaman budidaya dan konidia ini dapat diproduksi secara terus – menerus dalam

(20)

Gejala Serangan

Karakteristik antraknosa adalah bercak pada daun. Bercak oval atau tidak

teratur pada permukaan daun. Pada kondisi lembab bercak bertambah luas dan

tidak teratur pada area nekrotik (Singh, 1998).

Daun muda tampak lemas berwarna hitam, keriput, bagian ujungnya mati,

menggulung dan akhirnya gugur. Daun tua tampak bebercak cokelat atau hitam

kemudian menjadi lubang, mengeriput dan sebagian ujungnya mati. Pucuk,

ranting dan buah menampakkan gejala seperti pada daun (Tim Penulis PS, 2008).

Bercak karena Colletotrichum khususnya pada daun muda yang agak

dewasa dapat dikenal dari adanya spora (konidium) jamur berwarna merah jambu.

Pada daun yang lebih dewasa serangan Colletotrichum dapat menyebabkan tepi

dan ujung daun berkeriput dan pada permukaan daun terdapat bercak-bercak bulat

berwarna cokelat dengan tepi kuning, bergaris tengah 1 – 2 mm. Bila daun

bertambah umurnya, bercak akan berlubang di tengahnya dan bercak tampak

menonjol dari permukaan daun (Semangun, 2000).

Pada daun terjadi bercak-bercak jorong atau tidak teratur, berwarna

cokelat kelabu. Pada umumnya ukuran bercak tidak lebih dari 5 mm, tetapi

bercak-bercak dapat menyatu sehingga membentuk bercak yang besar. Pusat

bercak sering pecah sehingga bercak berlubang. Daun yang sakit keras mengering

(21)

Gambar 1. Gejala Serangan Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. Sumber : Foto langsung

Serangan suatu patogen terhadap beberapa kultivar (varietas, klon) satu

jenis tumbuhan tertentu sering tampak adanya reaksi yang berbeda – beda dari

kultivar – kultivar itu yang berkisar antara sangat rentan dan sangat tahan

(Semangun, 1996).

Tumbuhan toleran jelas rentan terhadap patogen tetapi tumbuhan tersebut

tidak mati dan umumnya memperlihatkan sedikit kerusakan akibat serangan

patogen. Tumbuhan toleran baik karena pertumbuhan yang luar biasa bagus atau

karena strukturnya yang sangat keras merupakan hal yang mungkin terdapat

dalam sebagian besar kombinasi inang – patogen (Agrios, 1996).

Beberapa tumbuhan terhindar dari penyakit karena tumbuhan tersebut

rentan terhadap patogen hanya pada tingkat pertumbuhan tertentu dan oleh karena

itu jika patogen tidak ada atau tidak aktif pada waktu – waktu tersebut maka

tumbuhan tersebut dapat terhindar dari infeksi (Agrios, 1996).

Pada tumbuhan yang rentan terjadi hubungan yang kompatibel antara

inang dan patogen sehingga patogen dapat meluas dalam badan inang tanpa

hambatan (Semangun, 1996).

(22)

Banyak varietas tumbuhan yang sedikit banyak tahan terhadap ras patogen

sedangkan varietas tersebut rentan terhadap ras – ras lain dari patogen yang sama.

Dengan kata lain, tergantung pada ras patogen yang digunakan untuk menginfeksi

suatu varietas, varietas tersebut mungkin tahan terhadap suatu ras patogen dan

rentan terhadap ras lain (Agrios, 1996).

Ketahanan dapat juga terjadi karena tumbuhan tidak peka terhadap toksin

atau enzim yang dihasilkan oleh patogen. Ini dapat disebabkan karena tumbuhan

mengandung senyawa – senyawa yang menginaktifkan toksin atau enzim yang

dihasilkan oleh patogen (Semangun, 1996).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyakit

Perkembangan penyakit sangat dibantu oleh kelembapan. Adanya hujan

pada saat pembentukan daun-daun baru setelah masa gugur daun akan diikuti oleh

serangan Colletotrichum yang berat. Kebun-kebun yang letaknya agak tinggi pada

umumnya mendapat serangan Colletotrichum lebih berat. Spora tumbuh paling

baik pada suhu 25 °C – 28 °C, sedang di bawah 5 °C dan di atas 40 °C spora tidak

dapat berkecambah. Suhu optimum untuk pertumbuhan dan sporulasi C.

gloeosporioides adalah 27 – 29 °C (Semangun, 2000).

Penyakit sangat dibantu oleh kelembapan udara dan hujan. Pada cuaca

yang sangat lembab jamur membentuk banyak spora pada bagian-bagian tanaman

yang sakit. Infeksi dibantu oleh kelembapan yang tinggi terutama jika hal ini

terjadi bersamaan dengan perkembangan yang cepat dari bagian tanaman tertentu.

(23)

Serangan jamur terjadi pada waktu tanaman membentuk daun muda

selama musim hujan. Serangan berat biasanya terdapat pada klon peka dan kebun

yang terletak pada ketinggian di atas 200 m dari permukaan laut serta beriklim

basah. Penularan jamur berlangsung dengan perantaraan spora yang dibawa oleh

angin dan air hujan terutama pada malam hari atau cuaca lembab

(Anonimousa, 2009).

Beberapa jamur tumbuh lebih cepat pada suhu lebih rendah daripada yang

lainnya dan dapat sangat jelas berbeda diantara ras dari jamur yang sama. Suhu

mempengaruhi jumlah spora yang terbentuk dalam suatu unit area tanaman dan

jumlah spora yang dilepaskan dalam waktu periode tertentu. Sebagai hasilnya,

beberapa penyakit berkembang terbaik dalam area, musim atau tahun dengan suhu

lebih dingin, sementara yang lainnya akan berkembang terbaik dimana dan saat

suhu relatif tinggi (Abadi, 2003).

Daur Penyakit

Jamur disebarkan dengan spora (konidium). Dalam cuaca yang lembab

massa spora yang berwarna merah jambu tadi menjadi lunak dan mudah tersebar

oleh percikan air hujan dan oleh aliran udara yang lembab. Konidium membentuk

buluh kecambah yang membentuk apresorium pada ujungnya. Penetrasi terjadi

langsung dengan menembus kutikula, merusak dinding sel dan benang-benang

jamur berkembang di dalam dan di antara sel-sel. Mula-mula kloroplas rusak dan

diikuti dengan rusaknya mitokondria. Selama proses infeksi patogen melepaskan

enzim poligalakturonase, selulase, pektin metilesterase dan juga menghasilkan

(24)

Air sangat berperan dalam membantu pemencaran spora jamur, sklerotia,

miselium dalam tanah dan bakteri. Sedangkan percikan air hujan dapat

menyebabkan terpencarnya bakteri dan spora jamur tertentu yang ada pada

permukaan tumbuhan. Spora yang ada di udara juga dapat jatuh ke permukaan

tumbuhan atau tanah karena air hujan (Abadi, 2003).

Kelembapan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan

sukulentis pada tumbuhan dan ini dapat mengurangi ketahanan terhadap parasit.

Kelembapan kebun dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya kerapatan

tanaman, pohon pelindung yang terlalu rimbun, topografi, angin dan sebagainya

(Semangun, 1996).

Pengendalian Penyakit

Pengendalian Colletotrichum dapat dilakukan dengan cara :

1. Kebun ditanami klon yang tahan seperti BPM 1, LCB 1320, PR 261, AVROS

2037 atau GT 1.

2. Pembibitan okulasi tidak disusun terlalu rapat untuk mengurangi kelembaban

agar jamur tidak dapat berkembang.

3. Untuk mempercepat pembentukan daun muda, tanaman diberi pupuk ekstra

beberapa kali dimulai pada saat terbentuknya daun – daun baru hingga daun

menjadi hijau.

4. Untuk perlindungan tanaman digunakan fungisida Dithane M – 45 0,25 %,

Manzate M – 200 0,2 %, Cobox 0,5 % atau Cupravit 0,5 % sebanyak lima kali

semprotan dengan selang seminggu sekali.

(25)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Proteksi Tanaman Pusat

Penelitian Karet Sungei Putih Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang

Sumatera Utara pada ketinggian 80 mdpl. Penelitian dilaksanakan pada bulan

Januari 2010 sampai dengan selesai bulan April 2010.

Bahan dan Alat Bahan

Adapun bahan-bahan yang digunakan adalah daun dari klon karet PB 260,

PB 217, PB 312, PB 314, PB 254, PB 330, PB 340, PB 350, PB 359, PB 366, IRR

5, IRR 7, IRR 12, IRR 104, IRR 105, IRR 107, IRR 112, IRR 119, IRR 136,

RRIM 901, RRIM 908, RRIM 911, RRIM 921, RRIM 937, RRIC 100, RRIC 102,

RRIC 110, RRII 105, RRII 176, isolat C. gloeosporioides, Potato Dextrose Agar

(PDA), aquadest steril, kapas, kertas saring, kain muslin, kertas label, alkohol 96

%, klorox 0,1 %.

Alat

Adapun alat-alat yang digunakan adalah petridish, erlenmeyer, beaker

glass, gelas ukur, autocalve, mikroskop, mikropipet, haemocytometer, inkubator,

coverglass, lampu bunsen, pinset, hot plate, jarum ose, preparat, planimeter,

(26)

Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap

(RAL) non faktorial yang terdiri dari 30 perlakuan dengan 3 ulangan. Setiap daun

dari klon karet yang digunakan terdiri dari 30 jenis :

(27)

Model linier yang digunakan adalah :

Yij = µ + αi + ∑ij

Keterangan :

Yij = Respon atau nilai pengamatan dari perlakuan ke-i ulangan ke-j

μ = Nilai tengah umum

αi = Pengaruh perlakuan ke-i

∑ij = Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i ulangan ke-j

Bila dalam pengujian sidik ragam diperoleh perlakuan berbeda nyata atau

sangat nyata maka dilakukan Uji Jarak Duncan (UJD) (Bangun, 1990).

Pelaksanaan Penelitian Persiapan Bahan Inokulasi

Daun yang terserang Colletotrichum diambil dari kebun Pusat Penelitian

Karet Sungei Putih. Kemudian digunting bagian yang sakit dan dibiakkan dalam

media PDA. Isolat yang diperoleh dibiakkan kembali sampai diperoleh biakan

murni. Dari biakan murni isolat diperbanyak dalam media PDA. Biakan murni

Colletotrichum ditetesi aquadest steril secukupnya kemudian dikikis dengan jarum

ose sehingga seluruh konidia pada ujung konidiofor terlepas dan masuk ke dalam

larutan. Larutan ini disaring dengan kain muslin sehingga potongan-potongan

miselium atau bagian-bagian yang kasar dari media akan tertinggal pada kain

muslin sedangkan yang dapat lolos hanya suspensi. Kemudian jumlah konidia

C. gloeosporioides pada suspensi ini dihitung dengan menggunakan

haemocytometer dengan cara sebagai berikut :

- Dibersihkan permukaan kamar hitung dengan air kemudian dikeringkan dengan

(28)

- Diletakkan deck glass kemudian dijepit dengan penjepit yang ada di sebelah

kanan – kiri.

- Diambil suspensi dengan mikropipet kemudian diteteskan di tepi deck glass

sehingga suspensi masuk ke kamar hitung dan menyebar secara merata.

- Diletakkan haemocytometer pada meja mikroskop dan hitung jumlah konidia

yang ada dengan rumus sebagai berikut :

Jumlah konidia = ∑ (a + b + c + d + e) x 50000

Hasil perhitungan jumlah konidia C. gloeosporioides :

a = 11 konidia

Maka untuk membuat kerapatan 4 x 104 konidia ml / air digunakan rumus

pengenceran sebagai berikut :

V1 N1 = V2 N2

100 x 215 . 104 = V2 x 4 . 104

V2 = 5375 ml

(29)

Gambar 2. Haemocytometer Sumber : www.google.com

Inokulasi pada Cakram Daun (Leaf Disc)

Inokulasi penyakit dengan menggunakan metode cakram daun. Daun yang

sehat diambil dari lapangan dan disterilkan permukaan daun dengan aquades.

Kemudian dilubangi dengan pelubang gabus (cork borer) sehingga terbentuk

cakram daun dengan diameter 2 cm. Cakram daun direndam dengan suspensi

C. gloeosporioides dengan kerapatan 4 x 104 konidia/ml selama 1 – 2 menit.

Cakram daun diletakkan di dalam cawan petri dilapisi kertas saring yang lembab.

Setiap cawan petri diletakkan 10 cakram daun yang disusun secara acak kemudian

ditutup.

Parameter Pengamatan

Intensitas Serangan pada Cakram Daun (Leaf Disc)

Cakram daun yang telah diinokulasi dengan suspensi C. gloeosporioides

diamati 2 hari sekali sebanyak 4 kali pengamatan yaitu pada hari ke 2, 4, 6 dan 8

hsi. Pengamatan dilakukan dengan membandingkan luas bercak yang timbul

dengan luas cakram daun secara visual. Adapun pengukuran skala bercak pada

cakram daun adalah sebagai berikut :

Skala 0 = Tidak terdapat bercak pada cakram daun

(30)

Skala 2 = Terdapat bercak < ½ bagian dari luas cakram daun

Skala 3 = Terdapat bercak > ½ - ¾ bagian dari luas cakram daun

Skala 4 = Terdapat bercak > ¾ bagian dari luas cakram daun

Nilai intensitas serangan penyakit dihitung dengan rumus :

I =

(

)

100

n = Jumlah daun pada setiap kategori serangan

v = Nilai skala dari setiap kategori serangan

Z = Nilai skala dari kategori yang tertinggi

N = Jumlah seluruh daun yang akan diamati

Klasifikasi penilaian intensitas serangan C. gloeosporioides :

(31)

Morfologi Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.

Mengamati morfologi C. gloeosporioides dengan menggunakan

mikroskop dan menghitung luas pertumbuhan biakan murni C. gloeosporioides

per hari dengan menggunakan planimeter.

Jumlah Konidia

Menghitung jumlah konidia setiap perlakuan dengan menggunakan

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Intensitas Serangan pada Cakram Daun (Leaf Disc)

Tabel 1. Uji Beda Rataan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides 2 hsi sampai 8 hsi.

Perlakuan Intensitas Serangan (%) Total Rataan

2 h s i 4 h s i 6 h s i 8 h s i

(33)

Pada pengamatan intensitas serangan 2 hsi, intensitas serangan tertinggi

terdapat pada perlakuan PB 359 sebesar 30 % sedangkan intensitas terendah

terendah pada perlakuan PB 260, PB 254, PB 330, PB 340 dan PB 312 sebesar

3,7 %. Perlakuan PB 359 pada pengamatan intensitas serangan 2 hsi tergolong

dalam kategori agak resisten karena memiliki nilai skala 21 – 40 %.

Pada pengamatan intensitas serangan 4 hsi, intensitas serangan tertinggi

terdapat pada perlakuan IRR 118 sebesar 71,66 % dan terendah pada perlakuan

PB 254 sebesar 26,44 %. Perlakuan IRR 118 pada pengamatan intensitas serangan

4 hsi tergolong dalam kategori agak rentan karena memiliki nilai skala 61 – 80 %.

Pada pengamatan intensitas serangan 6 hsi, intensitas serangan tertinggi

terdapat pada perlakuan IRR 118 dan RRIM 937 sebesar 90 %, sedangkan

terendah pada perlakuan IRR 119 sebesar 31,09 %. Perlakuan IRR 118 dan RRIM

937 pada pengamatan intensitas serangan 6 hsi tergolong dalam kategori rentan

karena memiliki nilai skala 81 – 100 %.

Pada pengamatan intensitas serangan 8 hsi, intensitas serangan tertinggi

terdapat pada perlakuan PB 260, PB 359, PB 330, IRR 118, RRIM 921, RRIM

937, RRIM 901 dan RRII 105 sebesar 90 % dan terendah pada perlakuan IRR 136

sebesar 33,16 %. Perlakuan PB 260, PB 359, PB 330, RRIM 921, RRIM 901 dan

RRII 105 pada pengamatan intensitas serangan 8 hsi tergolong dalam kategori

(34)

3

Gambar 4. Histogram Intensitas Serangan (%) Colletotrichum gloeosporioides 2 hsi - 8 hsi

2 hsi

4 hsi

6 hsi

(35)

Morfologi Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.

Hasil pengamatan morfologi jamur yang diamati secara mikroskopik,

konidia berbentuk batang dengan ujung membulat, tidak bersekat, hialin dan

konidiofor berbentuk lurus seperti yang terlihat pada Gambar 4 dan Gambar 5.

Gambar 4. Konidia Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. Sumber : Foto langsung

Gambar 5. Konidiofor dan Miselium C. gloeosporioides Penz. Sacc. Sumber : Foto langsung

Konidia

Konidiofor

(36)

Pengamatan pertumbuhan biakan C. gloeosporioides dilakukan pada satu

biakan dalam petridish. Petridish mula – mula ditumbuhi miselium berwarna putih

yang lama kelamaan menjadi putih kelabu. Biakan jamur memenuhi petridish

dalam waktu satu minggu. Luas pertumbuhan biakan C. gloeosporioides

dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Luas Pertumbuhan Biakan Colletotrichum gloeosporioides

Hari Luas Pertumbuhan

1 hsi 1,4 cm2

2 hsi 10,6 cm2

3 hsi 14,1 cm2

4 hsi 22,3 cm2

5 hsi 32,3 cm2

6 hsi 50,5 cm2

(37)

Jumlah Konidia

Daftar sidik ragam pengamatan jumlah konidia dapat dilihat pada

Lampiran 10 – 11.

Pada ulangan I jumlah konidia yang paling banyak terdapat pada

perlakuan IRR 107 berjumlah 94 konidia dan yang paling sedikit pada perlakuan

RRIM 908 berjumlah 9 konidia.

Pada ulangan II jumlah konidia yang paling banyak terdapat pada

perlakuan RRIC 102 berjumlah 89 konidia dan yang paling sedikit pada perlakuan

IRR 119 berjumlah 9 konidia.

Pada ulangan 3 jumlah konidia yang paling banyak terdapat pada

perlakuan RRIM 911 berjumlah 100 konidia dan yang paling sedikit pada

(38)

Pembahasan

Intensitas Serangan Pada Cakram Daun (Leaf Disc)

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa semua perlakuan pada 2 hsi sudah mulai

menunjukkan adanya gejala serangan dari C. gloeosporioides dengan tingkat

intensitas serangan yang berbeda – beda. Perlakuan , PB 254, PB 330, PB 340 dan

PB 312 mempunyai intensitas serangan paling kecil memiliki ketahanan yang

sama pada 2 hsi dan tergolong kategori tahan. Sedangkan yang paling tinggi pada

perlakuan PB 359 dan tergolong kategori agak resisten. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Semangun (1996) yang menyatakan jika kita membandingkan

serangan suatu patogen terhadap beberapa kultivar (varietas, klon) satu jenis

tumbuhan tertentu sering tampak adanya reaksi yang berbeda – beda dari kultivar

– kultivar itu yang berkisar antara sangat rentan dan sangat tahan.

Pada 4 hsi intensitas serangan setiap perlakuan mengalami peningkatan

yang cukup besar. Perlakuan IRR 118 mempunyai intensitas serangan tertinggi

dan masuk dalam kategori agak rentan. Sedangkan perlakuan IRR 136

mempunyai intensitas serangan terendah. Gen ketahanan IRR 136 masih bisa

mengatasi serangan C. gloeosporioides dibanding gen ketahanan IRR 118 yang

mulai tidak sanggup mengatasi serangan C. gloeosporioides. Hal ini sesuai

pernyataan Agrios (1996) yang menyatakan bahwa tumbuhan tahan terhadap

patogen baik karena tumbuhan tersebut masuk ke dalam taksonomi yang imun

terhadap patogen atau karena tumbuhan tersebut memiliki gen ketahanan untuk

mengatasi virulensi patogen.

(39)

satu pertahanan struktural. Hal ini sesuai dengan pernyataan Abadi (2003) yang

menyatakan bahwa ketebalan dinding sel epidermis juga sangat menentukan

resistensi tanaman terhadap patogen tertentu. Pada dinding sel epidermis yang

tebal, penetrasi langsung oleh jamur sukar dilakukan bahkan mungkin tidak dapat

dilakukan.

Pada 8 hsi PB 260, PB 359, PB 330, PIRR 118, PRRIM 921, PRRIM 937,

PRRIM 901 dan PRRII 105 tergolong kategori rentan, dimana IRR 118 dan

RRIM 937 sudah tergolong rentan pada 6 hsi. Perlakuan yang tergolong rentan ini

mempunyai hubungan yang sesuai antara patogen yang virulen dengan tumbuhan

atau inang yang rentan terhadap patogen. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Semangun (1996) yang menyatakan bahwa pada tumbuhan yang rentan terjadi

hubungan yang kompatibel antara inang dan patogen sehingga patogen dapat

meluas dalam badan inang tanpa hambatan.

Morfologi Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.

Hasil pengamatan morfologi jamur secara mikroskopik, konidia C. gloeosporioides berbentuk silinder dengan ujung membulat, tidak mempunyai

sekat dan hialin. Hal ini sesuai dengan pernyataan Anonimousc (2009) yang

menyatakan bahwa konidium berbentuk jorong atau bulat telur dengan bagian

ujung membulat, tidak bersepta dengan warna hialin.

C. gloeosporioides mempunyai konidiofor berbentuk lurus, tidak bersekat

dan hialin. Hal ini sesuai dengan pernyataan Alexopoulus and Mims (1979) yang

menyatakan bahwa konidia terbentuk tunggal pada ujung-ujung konidiofor,

(40)

Jumlah Konidia

Jumlah konidia setiap perlakuan berbeda – beda yang tampak pada kamar

hitung haemocytometer. Pada ulangan I jumlah konidia yang paling banyak

terdapat pada perlakuan IRR 107 berjumlah 94 konidia dan yang paling sedikit

pada perlakuan RRIM 908 berjumlah 9 konidia. Pada ulangan II jumlah konidia

yang paling banyak terdapat pada perlakuan RRIC 102 berjumlah 89 konidia dan

yang paling sedikit pada perlakuan IRR 119 berjumlah 9 konidia. Pada ulangan 3

jumlah konidia yang paling banyak terdapat pada perlakuan RRIM 911 berjumlah

100 konidia dan yang paling sedikit pada perlakuan RRIM 908 berjumlah 11

konidia.

Banyaknya jumlah konidia ini bisa mempengaruhi tingkat

serangan C. gloeosporioides. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yudiarti (2007)

yang menyatakan bahwa keberadaan konidia ini pada suatu tempat atau area, pada

umumnya dapat merupakan suatu indikator adanya perkembangan penyakit pada

tanaman budidaya.

Banyaknya konidia pada klon yang tahan tidak akan mampu menginfeksi

lebih lanjut karena pertahanan klon yang salah satunya menghasilkan senyawa –

senyawa yang digunakan untuk mengendalikan patogenisitas jamur. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Semangun (1996) yang menyatakan bahwa ketahanan dapat

juga terjadi disebabkan karena tumbuhan mengandung senyawa – senyawa yang

(41)
(42)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. PB 340, PB 314, IRR 112, IRR 119 dan IRR 136 adalah klon yang tergolong

agak resisten.

2. PB 254, PB 350, PB 312, PB 366, IRR 105, IRR 107, IRR 104, IRR 7, RRIM

911 dan RRIC 100 adalah klon yang moderat.

3. PB 217, IRR 12, RRIM 908, RRIC 102 dan RRIC 110 adalah klon yang

tergolong agak rentan.

4. PB 260, PB 359, PB 330, IRR 118, RRIM 921, RRIM 937, RRIM 901, RRII

105 dan RRII 176 adalah klon yang tergolong rentan.

5. Hasil pengamatan konidia C. gloeosporioides berbentuk batang dengan

ujung membulat, tidak bersekat dan hialin.

6. Hasil pengamatan konidia yang paling banyak ditemukan pada perlakuan

RRIM 911berjumlah 100 konidia dan paling sedikit pada perlakuan RRIM 908

dan pada perlakuan IRR 119 berjumlah 9 konidia.

Saran

Penelitian ini dapat dilanjutkan di lapangan untuk mengetahui apakah

(43)

DAFTAR PUSTAKA

Abadi, A.L. 2003. Ilmu Penyakit Tumbuhan II. Bayumedia Publishing, Malang.

Agrios, N. G,. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Edisi Ketiga. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Alexopoulus, C. J. and C. W. Mims. 1979. Introductory Mycology. Jhon Weley and Sons, New York.

Anonimousa. 2009. Penyakit Daun . Diakses dari http://bibitkaret.blogspot.com /2009/05/c-penyakit-daun.html. Tanggal 13 Oktober 2009.

_________b. 2009. Karet. Diakses dari http://primatani.litbang.deptan.go.id/index. php?option=com_content&task=view&id=134&Itemid=56.

Tanggal 6 Juni 2009.

_________c. 2009. Antraknosa (Antrachnose) : Colletotrichum gloeosporioides

(Penz.) Sacc. Diakses dari http://greenery.phpnet.us/index.php?option=com

_content&task=view&id=33&Itemid=29. Tanggal 6 Juni 2009.

_________d. 2009. Colletotrichum gloeosporioides. Diakses dari

?hl=id&sl=en&u=http://www.extento.hawaii.edu/kbase/crop/Type/c_gloeo. htm&ei=hEcmSo2-N8qJkQXfitncBg&sa=X&oi=translate&resnum=5&ct= result&prev=/search%3Fq%3Dcolletotrichum%2Bgloeosporioides%26hl% 3Did. Tanggal 6 Juni 2009.

Bangun, M. K,. 1990. Rancangan Percobaan. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Dwidjoseputro, D. S,. 1978. Pengantar Mikologi. Bandung.

Pawirosoemardjo, S., Syafiuddin dan Sujatno. 1998. Resistensi Klon Harapan terhadap Penyakit Utama Tanaman Karet. Lokakarya Nasional Pemuliaan Karet 1998 dan Diskusi Nasional Prospek Karet dalam Abad 21. Pusat Penelitian Karet. Asosiasi Peneliti Perkebunan Indonesia.

Semangun, H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

___________. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

(44)

Sianturi, H. S. D,. 1992. Budidaya Tanaman Karet. Fakultas Pertanian USU, Medan.

Singh, R. S,. 1998. Plant Diseases. Seventh Edition. Oxford & IBH Publishing CO. PVT. Ltd, New Delhi.

Tim Penulis PS. 1996. Karet. Strategi Pemasaran Tahun 2000. Budidaya dan

Pengolahan. Penebar Swadaya, Jakarta.

____________. 2008. Panduan Lengkap Karet. Penebar Swadaya, Jakarta.

Unterstenhover, G,. 1986. The Basic Principles of Crop Protection Field Trial. Pflanzenchulz-Nachricten Bayer Ag, Laverkusen.

(45)
(46)
(47)

Lampiran 2. Data Intensitas Serangan (%) 2 hsi

Perlakuan Ulangan Total Rataan

(48)

Lampiran 3. Data Intensitas Serangan (%) 2 hsi ditransformasikan Arc Sin √x

Perlakuan Ulangan Total Rataan

(49)

Lampiran 4. Data Intensitas Serangan (%) 4 hsi

Perlakuan Ulangan Total Rataan

(50)

Lampiran 5. Data Intensitas Serangan (%) 4 hsi ditransformasikan Arc Sin √x

Perlakuan Ulangan Total Rataan

(51)

Lampiran 6. Data Intensitas Serangan (%) 6 hsi

Perlakuan Ulangan Total Rataan

(52)

Lampiran 7. Data Intensitas Serangan (%) 6 hsi ditransformasikan Arc Sin √x

Perlakuan Ulangan Total Rataan

(53)

Lampiran 8. Data Intensitas Serangan (%) 8 hsi

Perlakuan Ulangan Total Rataan

(54)

Lampiran 9. Data Intensitas Serangan (%) 8 hsi ditransformasikan Arc Sin √x

Perlakuan Ulangan Total Rataan

(55)

Lampiran 10. Data Jumlah Konidia

Perlakuan Ulangan Total Rataan

(56)

Lampiran 11. Data jumlah konidia ditrnasformasikan dengan Arc Sin √x

Perlakuan Ulangan Total Rataan

(57)
(58)
(59)

Lampiran 12. Skala Intensitas Serangan

Skala 0 Skala 1

Skala 2 Skala 3

(60)
(61)

Lampiran 14. Biakan Colletotrichum. gloeosporioides Penz. Sacc.

Biakan 1 hsi Biakan 2 hsi

Biakan 3 hsi Biakan 4 hsi

Biakan 5 hsi Biakan 6 hsi

Gambar

Gambar 2. Haemocytometer Sumber : www.google.com
Tabel 1. Uji Beda Rataan Intensitas Serangan (%) C. gloeosporioides 2 hsi sampai                8 hsi
Gambar 4. Histogram Intensitas Serangan (%) Colletotrichum gloeosporioides 2 hsi - 8 hsi
Tabel 2. Luas Pertumbuhan Biakan Colletotrichum gloeosporioides
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya modul interaktif ini, mudah-mudahan bisa membantu dalam proses belajar-mengajar dan para pelajar yang ingin menambah pengetahuan tentang

Maka, Pokja ULPD Propinsi Kepulauan Riau menyatakan PELELANGAN GAGAL atas pekerjaan Pembangunan Dock Kering Speed Boat Kantor Wilayah DJBC Khusus Kepulauan Riau

calon peserta lelang yang masih membutuhkan n diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanya Kementerian Keuangan www.lpse.depkeu.go.id selama waktu. Senin tanggal 09

calon peserta lelang yang masih membutuhkan n diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanya Kementerian Keuangan www.lpse.depkeu.go.id selama waktu. Senin tanggal 09

acara penjelasan Dokumen Lelang Pekerjaan Konstruksi Rumah Dinas Markoni Kanwil DJP Kalimantan Timur. 001/ULPD.KALTIM/MARKONI.KWL.DJP/2016 kumen dilaksanakan

Sehubungan dengan kegiatan Pemilihan Langsung Pascakualifikasi Pekerjaan pekerjaan Rehab Jalan Lingkungan di Kantor Pusat Pendidikan dan Pelatihan Regional Makassar

Evaluasi teknis dilakukan tehadap peserta yang memenuhi persyaratan administrasi. Unsur-unsur yang dievaluasi sesuai dengan yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan..

The cash low statement is one of the primary statements in inancial reporting (along with the statement of comprehensive income, the balance sheet and the statement of changes in