OLEH MASYARAKAT DI KEPULAUAN BANGKA-BELITUNG
YULIAN FAKHRURROZI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Studi Etnobiologi, Etnoteknologi dan Pemanfaatanan Kekuak (Xenosiphon sp.) oleh Masyarakat di Kepulauan Bangka-Belitung ini adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian disertasi ini.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Bogor, 01 Pebruari 2011
ABSTRACT
YULIAN FAKHRURROZI. Studies on Ethnobiology, Ethnotechnology and the Utilization of Kekuak (Xenosiphon sp.) by People in Bangka-Belitung Islands. Under supervision of JOHN HALUAN, ARI PURBAYANTO and SOEWARNO T. SOEKARTO
The main objectives of this research are to study kekuak utilization aspects by people in Bangka-Belitung Islands and to develope its sustainable utilization concepts. The specific objectives are: to analyze kekuak ethnobiological aspects (ethnoecology, ethnozoology, and taxonomy); to analyze its ethnotecnological aspects (technical and operation, local patterns and rules); and to analyze kekuak utilizing aspects (bait, food, and commercial utilities).
This research was devided into three topics: Ethnobiology of kekuak in Bangka-Belitung Islands; Ethnotechnology of kekuak in Bangka-Belitung Islands; and Utilization of kekuak by Bangka-Belitung people. This study was focused in kekuak utilization activities of local people, as case study at some locations in this province region. Laboratorium test and observation activities were done in Bogor. There are stratification level of local people knowledges about kekuak, related to their role and position in utilization chain of this biota, and the fishermen have much amount of knowledges about it. White sand beach type, especially in intertidal zone is known as main habitat of kekuak, that local people made as fishing ground. The existence of kekuak is known by fishermen from a mark of the nest surface likes a dog footprint.
Fishing kekuak by local people is mainly used for commercial food. There are three kinds of gear applied, i.e.: cucok, rangkang and serampang. All of them are still classified as traditional gears. The catching techniques with them called
nyucok, ngerangkang and nyerampang, all of them are classified as taken by wounding methods. The fishing activities with operating thoose gears or techniques appraised still environment friendly. Local custom policy and certain patterns in commercial fishing play an important role as a guarantee for population balance of kekuak in habitat, and the sustainability utilization.
Local people use kekuak as bait and food materials. Kekuak is appraised as qualified natural bait and potential developed as commercial natural bait for professional and recreational fishing, beside as local specific food which halal, delicious, and nutritious, so far still secure for consumption, and potential developed with product diversification with creative ideas, for increasing economic values.
In this research, the biota of kekuak was identified as Xenosiphon sp., and aims for a new species, or moreover, a new subgenera, member of Sipuncula that have been clearly identified. Anatomically this biota has a specific character, that is, it is no post-esophageal loop on its gut and it does not have a paire of protractor muscles unlike other members of Xenosiphon.
RINGKASAN
YULIAN FAKHRURROZI. Studi Etnobiologi, Etnoteknologi dan Pemanfaatan Kekuak (Xenosiphon sp.) oleh Masyarakat di Kepulauan Bangka-Belitung. Dibimbing oleh JOHN HALUAN, ARI PURBAYANTO dan SOEWARNO T. SOEKARTO
Kekuak adalah sejenis biota laut anggota Filum Sipuncula (peanutworm) yang biasa juga disebut wak-wak oleh masyarakat di Kepulauan Bangka-Belitung. Hewan ini adalah salah satu kekayaan keanekaragaman hayati laut di daerah kepulauan tersebut, yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, baik sebagai bahan umpan maupun pangan yang kemudian mereka tangkap secara komersial.
Pemanfaatan kekuak oleh masyarakat di Kepulauan Bangka-Belitung belum pernah diteliti. Tujuan umum penelitian ini adalah mempelajari aspek-aspek pemanfaatan kekuak oleh masyarakat di Kepulauan Bangka-Belitung dan mengembangkan konsep pemanfaatan berkelanjutan berbasis kebijaksanaan lokal. Tujuan khusus: menganalisis aspek etnobiologi kekuak (etnoekologi, etnozoologi dan taksonomi); menganalisis aspek etnoteknologi kekuak (teknis dan operasi, pola dan aturan lokal, serta dinamika perkembangan terkait penangkapan komersial); dan menganalisis aspek pemanfaatan kekuak (manfaat umpan, pangan dan komersialnya).
Penelitian ini dibagi menjadi tiga topik yaitu: Etnobiologi kekuak di Kepulauan Belitung; Etnoteknologi kekuak di Kepulauan Bangka-Belitung; Pemanfaatan kekuak oleh masyarakat Bangka-Belitung. Penelitian ini difokuskan pada kegiatan pemanfaatan kekuak oleh masyarakat setempat, berupa studi kasus partisipatif melalui wawancara, pengamatan dan diskusi konfirmasi. Dilakukan pada beberapa lokasi yaitu di Pebuar (Bangka Barat) dan Nangkabesar (Bangka Tengah) sebagai lokasi utama; dengan lokasi-lokasi pendukungnya yaitu: Pantai Olifir dan Pantai Burongmandi (Belitung Timur); Semulut (Bangka Barat) dan Pangkalpinang. Untuk keperluan analisis juga dilakukan pengujian dan pengamatan laboratorium di Bogor. Analisis informasi dan data emik (pengetahuan lokal) umumnya dilakukan secara deskriptif-kualitatif, meliputi analisis konten, analisis komparatif dan analisis kronologis, yang dikonfirmasi dengan data etik (ilmu pengetahuan) dari hasil pengujian dan pengamatan di laboratorium.
Sebagai record data baru, hasil identifikasi pada penelitian ini menunjukkan biota kekuak lebih mendekati genus Xenosiphon sebagai
Xenosiphon sp. Adanya karakteristik kekuak yang berbeda dan khas, mengarahkannya pada pembentukan spesies bahkan subgenus baru, atau bisa diusulkan sebagai spesies ke-148 anggota Filum Sipuncula yang telah teridentifikasi jelas. Ciri khas biota ini secara anatomis yaitu: saluran ususnya tanpa belokan pasca-kerongkongan; dan juga tidak memiliki sepasang otot protraktor, tidak seperti pada anggota genus Xenosiphon lainnya.
Penangkapan kekuak oleh masyarakat setempat di Bangka-Belitung terutama untuk tujuan pangan komersial, menggunakan tiga jenis alat tangkap, yaitu cucok (alat tangkap warisan dari leluhur), rangkang dan serampang (alat tangkap temuan warga setempat), ketiganya dinilai masih tergolong jenis alat tangkap tradisional. Teknik tangkapnya yaitu nyucok, ngerangkang dan nyerampang, semuanya tergolong metode pengambilan dengan pelukaan. Kegiatan penangkapan kekuak yang mengoperasikan ketiga jenis alat tangkap dengan teknik tangkap masing-masing dinilai masih ramah lingkungan.
Kebijakan adat setempat (pemali ngesik dalam kegiatan nyucok dan
kawasan ‘pengopongan timah’) dan pola-pola khas dalam penangkapan komersial (pola musim dan waktu tangkap, serta pola zonasi dan pindah lokasi tangkap) berperan menjamin keseimbangan populasi kekuak di habitatnya dan kelestarian pemanfaatannya oleh masyarakat setempat. Warga masyarakat setempat juga berjasa menjaga pengetahuan teknis terkait pemanfaatan kekuak sebagai warisan dan tradisi leluhur. Mereka pun berperan membuat inovasi terkait penangkapan, menguji, dan mengadaptasikannya di lingkungan sekitar mereka demi keberlanjutan pemanfaatan kekuak.
Masyarakat Bangka-Belitung menggunakan kekuak sebagai bahan umpan dan pangan. Awalnya kekuak merupakan pangan indigenus etnik Seka’, kemudian pangan subsisten etnik Melayu, dan akhirnya menjadi pangan istimewa etnik Tionghoa yang bernilai ekonomis (komersial). Berdasarkan pengetahuan lokal (emik) yang dikaji di sini dan dikonfirmasi secara etik (ilmu), kekuak adalah umpan alami yang bermutu dan potensial dikembangkan sebagai umpan alami komersial penunjang kegiatan memancing profesional ataupun rekreasional, sekaligus sebagai sumber pendapatan potensial bagi nelayan. Selain itu kekuak merupakan bahan pangan khas yang halal, lezat dan bergizi, sejauh ini aman dikonsumsi serta potensial dikembangkan melalui diversifikasi produknya dengan berbagai gagasan kreatif demi peningkatan nilai ekonomisnya, memperpanjang rantai pemanfaatan, membuka lapangan kerja baru dan menambah pendapatan keluarga nelayan dan para penangkap kekuak.
Kekuak panggang kelup adalah kuliner kekuak khas Pebuar yang unik dan inspiratif, memunculkan beberapa gagasan baru pada penelitian ini seperti kekuak sebagai casing sosis edibel untuk dipanggang ataupun digoreng. Kekuak basah atau kering yang digoreng tepung bisa menutupi bentuk aslinya yang kurang menarik. Kekuak kering yang dipotong-potong pendek membuatnya lebih mudah untuk diolah, dikemas, disimpan, dibawa serta lebih menarik dan mudah pula untuk dinikmati.
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
STUDI ETNOBIOLOGI, ETNOTEKNOLOGI
DAN PEMANFAATAN KEKUAK (Xenosiphon sp.)
OLEH MASYARAKAT DI KEPULAUAN BANGKA-BELITUNG
Oleh:
YULIAN FAKHRURROZI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 22 Desember 2010, 1. Dr.Ir. Domu Simbolon, MSi.
2. Prof.Dr.Ir. Mulyono S. Baskoro, MSc.
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 01 Pebruari 2011, 1. Prof.Dr.Ir. Daniel R.O. Monintja
KATA PENGANTAR
Puji-yukur kepada Allah SWT, dengan rahmat-Nya disertasi berjudul
‘Studi Etnobiologi, Etnoteknologi dan Pemanfaatan Kekuak (Xenosiphon sp.) oleh Masyarakat di Kepulauan Bangka-Belitung’ inipun akhirnya rampung juga.
Terima kasih sangat kepada Prof.Dr.Ir. John Haluan, MSc., Prof.Dr.Ir. Ari Purbayanto, MSc. dan Prof.Dr. Soewarno T. Soekarto, MSc. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah dengan sabar memberi masukan, arahan dan dukungan. Terima kasih juga kepada bapak-bapak yang berkenan me-review
naskah disertasi dan menjadi penguji luar komisi ujian tertutup dan terbuka. Terima kasih kepada para pengelola dan teknisi di Lab Tanah FAPERTA, Lab Produktivitas dan Lingkungan Perairan FPIK IPB dan Lab Uji Pangan BBPP Pascapanen Pertanian Cimanggu, yang telah memberi fasilitas dan ikut membantu pengujian dan pengamatan sampel-sampel penelitian. Terima kasih juga kepada semua warga masyarakat Bangka-Belitung khususnya di Pangkalpinang, Pebuar, Nangkabesar, Semulut dan Manggar yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini. Terima kasih kepada Rektor Universitas Bangka Belitung dan segenap jajaran yang telah memberi izin, kesempatan dan dukungan demi penyelesaian studi ini. Terima kasih juga kepada rekan-rekan seperjuangan, semua pihak dan individu terkait studi dan penelitian ini yang tidak bisa disebutkan satu demi satu.
Terima kasih teramat dalam buat Ibu-Bapak tercinta atas doa-restu dan kasih-sayang sepanjang hayat, juga adik-adik dan semua ponakanku tersayang serta seluruh keluarga besar penulis, atas pengorbanan dan kesabarannya menanti penyelesaian studi ini, teristimewa buat Pamanda Prof.Dr. Yusril Ihza Mahendra, MSc. atas dukungan moriil-materiil selama ini. Terima kasih khusus buat istriku tercinta yang selalu setia menemani dalam menapaki pahit-getir perjuangan ini.
Semoga Allah membalas semua kebaikan tadi dengan pahala berlipat-ganda, semoga pula karya ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya, amin. Atas segala kesalahan, kekurangan dan kekhilafan, penulis mohon dimaafkan.
Bogor, 01 Februari 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Manggar, Belitung Timur pada 11 Juli 1969 sebagai putra sulung dari Bapak H. Yuslim Ihza dan Ibu Hj. Martini MS, AMa.Pd. Pada 15 Desember 2007 penulis menikah dengan Annita Meilanny, SPd.
Lulus dari SMAN di kota Manggar pada 1988, penulis diterima pada program S1 di IPB Bogor pada tahun yang sama melalui jalur PMDK, namun tidak berlanjut. Pada 1990 penulis diterima kuliah pada program S1 Jurusan Pendidikan Biologi, FPMIPA, IKIP Jakarta melalui jalur UMPTN dan lulus pada Maret 1995. Penulis kemudian bekerja sebagai guru pada beberapa sekolah dan lembaga bimbingan belajar di Jakarta sampai 1998.
Pada 1998 penulis melanjutkan pendidikan S2 Program Studi Biologi (Taksonomi Tumbuhan) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan lulus pada Januari 2001, kemudian melanjutkan S3 Program Studi Teknologi Kelautan (Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Laut) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada 2002, keduanya di Program/Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Sejak tahun 2008 penulis adalah staf pengajar tetap Program Studi Biologi pada Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi Universitas Bangka Belitung.
Terkait penelitian ini, penulis telah menerbitkan karya ilmiah berjudul
“Tiga Jenis Alat Tangkap Kekuak untuk Tujuan Komersial di Bangka: Studi kasus Pebuar (Bangka Barat) dan Pulau Nangkabesar (Bangka Tengah)” di Jurnal Akuatik (ISSN 1978-1652) Volume 3 No. 2 Tahun 2009. Disamping itu karya
DAFTAR ISI
2.2 Pemanfaatan Sipuncula... 13
2.3 Metode Penangkapan... 15
2.4 Kearifan Lokal dan Pengetahuan Tradisional... 19
2.5 Kepulauan Bangka-Belitung... 23
3 METODOLOGI PENELITIAN... 25
3.1 Metode Umum... 25
3.2 Lokasi dan Waktu... 25
3.3 Pengumpulan Informasi dan Data... 26
3.4 Pengolahan dan Analisis Data... 28
4 KONDISI DAERAH PENELITIAN... 29
4.1 Lokasi Pemanfaatan Kekuak... 29
4.2 Masyarakat Penangkap Kekuak Komersial... 30
5 ETNOBIOLOGI KEKUAK DI KEPULAUAN BANGKA-BELITUNG. 33 5.1 Pendahuluan... 33
6 ETNOTEKNOLOGI KEKUAK DI KEPULAUAN BANGKA-BELITUNG... 75
6.1 Pendahuluan... 75
6.2 Metode Penelitian... 76
6.3.1 Analisis teknis penangkapan kekuak komersial... 77
7 PEMANFAATAN KEKUAK OLEH MASYARAKAT BANGKA BELITUNG 125 7.1 Pendahuluan... 125
8 PEMBAHASAN UMUM... 181
8.1 Karakteristik, Kondisi dan Status Aspek Terkait Pemanfaatan Kekuak.... 181
8.1.1 Aspek etnobiologi... 181
8.1.2 Aspek etnoteknologi... 182
8.1.3 Aspek pemanfaatan... 184
8.2 Pengembangan Konsep Pemanfaatan Kekuak Berkelanjutan... 187
8.2.1 Aspek biologi... 187
8.2.2 Aspek teknologi... 188
8.2.3 Aspek ekonomi... 190
8.3 Strategi Pengelolaan Pemanfaatan Kekuak yang Adaptif... 193
9 KESIMPULAN UMUM... 197
9.1 Kesimpulan... 197
9.2 Saran... 198
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Klasifikasi anggota Filum Sipuncula - 144 spesies revisi Cutler (1994)…. 13
2 Perbedaan epistemologis antara science dan wisdom (Villorro 1982)... 20
3 Situs-situs pemanfaatan kekuak sebagai lokasi utama penelitian... 29
4 Jumlah penangkap kekuak komersial di Bangka (2007-2009)... 31
5 Perbandingan karakter antara kekuak dan beberapa spesies pembanding... 68
6 Perbedaan karakter antara kekuak dan beberapa genus Sipunculidae... 69
7 Perbandingan tiga jenis alat tangkap kekuak di Bangka... 89
8 Perbandingan teknik tangkap kekuak komersial di Bangka... 91
9 Perbandingan operasi penangkapan kekuak komersial di Bangka... 93
10 Penilaian aspek tradisional alat tangkap kriteria Hutabarat (2001)... 94
11 Karakter pelukaan/pemaksaan pada teknik tangkap kekuak... 96
12 Bedah kasus kebijakan pemali ngesik pada gawe nyucok di Pebuar... 101
13 Bedah kasus kebijakan pengopongan timah di Pebuar... 103
14 Jadwal umum kegiatan musim tangkap kekuak setahun (rekonstruksi)... 105
15 Proses adaptasi inovasi penangkapan kekuak komersial di Pebuar... 116
16 Proses adaptasi inovasi penangkapan kekuak komersial di Nangkabesar.... 116
17 Perbedaan cucok rotan dengan cucok paralon... 119
18 Perbedaan ngerangkang biasa dengan ngerangkang plus... 121
19 Perbedaan pengunaan umpan kekuak antara dua kasus unik... 133
20 Kelebihan/kekurangan penggunaan umpan kekuak di Manggar... 134
21 Kelebihan/kekurangan penggunaan umpan kekuak di Pebuar... 134
22 Karakteristik umpan kekuak menurut pengetahuan nelayan... 135
23 Penilaian umpan kekuak (Djatikusumo 1975 dan Tampubolon 1980)….... 137
24 Komposisi proksimat kekuak segar (%)... 139
25 Komposisi asam amino daging kekuak segar (%)... 140
26 Kategorisasi konsumsi pangan kekuak masyarakat setempat... 148
27 Kandungan proksimat daging kekuak untuk konsumsi (%)... 149
28 Kandungan asam amino daging kekuak untuk konsumsi (%)... 151
29 Kandungan asam lemak produk kekuak... 152
30 Kandungan beberapa unsur penting dalam kekuak... 153
31 Perbedaan mutu daging kekuak segar hasil tiga macam teknik tangkap... 155
32 Harga rata-rata komoditas kekuak basah/segar di Pebuar 2008/2009... 169
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka pikir penelitian... 8
2 Sipunculus nudus dan Xenosiphon branchiatus... 9
3 Kedudukan Filum Sipuncula diantara filum-filum lain (Anonim 2009)... 10
4 Hubungan filogenetik antar-genus dalam filum (Cutler & Gibbs)... 11
5 Sipunculus nudus tubuh bagian dalam (Anonimª 2009)... 12
6 Cara menangkap terung di Selat Madura (Subani & Barus 1989)... 16
7 Peta daerah penelitian di Kepulauan Bangka-Belitung... 26
8 Pantai pasir putih berupa beting (1) dan gosong (2)... 38
9 Pantai berterumbu karang (1) dan pantai berhutan bakau (2)... 40
10 Skema posisi marinsekap terkait habitat/lokasi tangkap kekuak... 42
11 Diagram bagian-bagian lingkungan laut (Davis 1986)... 43
12 Tekstur tanah (substrat) beberapa lokasi tangkap kekuak di Bangka... 44
13 Tanda lubang sarang kekuak, mirip jejak anjing... 46
14 Sketsa bentuk umum lubang sarang kekuak... 46
15 Urutan teknik nyucok kekuak untuk keperluan umpan... 47
16 Perkiraan bentuk sarang dan posisi kekuak... 48
17 Kekuak dewasa yang bertelur... 51
18 Kekuak yang masih kecil, ditemukan saat menangkap yang dewasa... 52
19 Kekuak kering dijual di pasar (digantung bersama produk lain)... 54
20 Kekuak hasil nyucok dan nyerampang sedang dijemur... 54
21 Kekuak hasil nyucok baru saja tertangkap (masih utuh)... 56
22 Kekuak segar hasil ngerangkang... 56
23 Sisa-sisa gerak kekuak yang baru terkena cucok... 57
24 Spesimen kekuak utuh hasil nyucok, introvert membesar sebagian... 58
25 Variasi bentuk introvert (anterior) pada spesimen kekuak basah... 58
26 Variasi bentuk ekor (posterior) spesimen kekuak... 58
27 Variasi motif pemukaan luar kulit badan kekuak... 59
28 Badan depan kekuak, variasi susunan POS... 59
29 Permukaan kulit dan POS badan tengah kekuak motif tidak seragam... 59
30 Spesimen kekuak basah hasil ngerangkang (belum dibalik)... 60
31 Bagian dalam tubuh spesimen kekuak basah awetan... 61
32 Bagian dalam spesimen kekuak basah non-awetan... 61
33 Bagian dalam utuh tubuh kekuak... 62
34 Pita-pita otot longitudinal (POL) terpisah (separated)... 63
35 Bentang potongan dinding badan tengah kekuak... 63
36 Anatomi badan atas kekuak dengan kondisi introvert sedang keluar... 64
37 Anatomi badan atas kekuak dengan kondisi introvert sedang masuk... 64
38 Sketsa anatomi tubuh kekuak (gambar rekonstruksi)... 65
39 Nyucok di atas tanah dan di genangan air... 78
40 Proses pengeringan kekuak pada tali (1) dan kayu (2) jemuran... 79
41 Kaum perempuan Pebuar dan gawe nyucok... 80
42 Ngerangkang di kolom air (1 menikam; 2 mengangkat)... 82
43 Kaum lelaki Pebuar dan gawe ngerangkang... 83
44 Nyerampang di air (1 menancap; 2 mengungkit; 3 mengambil)... 86
45 Gawe nyerampang warga Nangkabesar... 87
47 Nelayan dan perlengkapan menangkap kekuak... 90
48 Sketsa perkiraan cara kekuak terkena alat tangkap... 92
49 Luka kekuak akibat nyucok (1), ngerangkang (2) dan nyerampang (3)... 96
50 Ngesik atau nuis, menyayati permukaan lubang kekuak dengan pisau... 100
51 Skema zonasi tangkap kekuak kasus Pebuar dan Nangkabesar... 106
52 Peta daerah dan lokasi tangkap kekuak kawasan Pebuar... 110
53 Peta daerah dan lokasi tangkap kekuak Pulau Nangkabesar... 111
54 Cucok dari rotan dan pipa paralon... 108
55 Ngerangkang plus, kompresor sebagai alat bantu utama... 120
56 Rancang-ulang alat tangkap kekuak bongkar-pasang... 123
57 Ikan gagok, target mancing hobi... 129
58 Pantai (bekas pelabuhan) Olifir Manggar... 130
59 Pantai Burongmandi... 130
60 Nelayan Pebuar menyiapkan pancing rawai... 132
61 Tembilok di kayu bakau (1), tembilok segar (2), langsung makan (3)... 142
62 Kekuak kering mentah... 143
63 Kekuak segar (1), dimakan mentah langsung (2) atau sebagai lauk (3)... 144
64 Tembilok panggang-lilit khas Belinyu (1 cara lilit; 2 cara panggang)... 142
65 Kekuak panggang-kelup khas Pebuar (1 cara kelup; 2 cara panggang)... 145
66 Pohon kendu atau keremuntingen... 145
67 Kekuak hasil ngerangkang... 155
68 Terung setelah dibalik... 156
69 Kumpulan serat daging (*) kekuak segar yang lepas ... 156
70 Kemasan kekuak kering mentah (1) dan siap saji (2) di pasar/toko... 157
71 Tangkai daun paku resam... 162
72 Kekuak kelup tangkai bambu dan resam... 162
73 Tendangan pada kekuak kelup goreng... 163
74 Penggunaan kekuak sebagai casing sosis edibel... 164
75 Percobaan pewarnaan pada kekuak dengan biji kesumba dan kunyit... 164
76 Kekuak kelup mini goreng biasa (*) dan goreng tepung (#)... 165
77 Menjemur kekuak basah dengan cara dibelah dulu... 166
78 Potongan kekuak kering dibelah dan dibuat keripik goreng... 166
79 Penyimpanan tidak praktis (1) dan pengemasan praktis (2)... 167
80 Rantai pemasaran kekuak kering dan cara pembayaran pengumpul... 174
81 Data kekuak kering 2005 Pebuar dan Nangkabesar... 175
82 Data kekuak kering 2006 dan 2008 Nangkabesar... 176
83 Rantai pemasaran kekuak basah (segar) kasus Pebuar... 179
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR ISTILAH
Anastomosing Terhubung atau bertemunya (interkomunikasi) antara dua pita (jalur) otot yang berlainan pangkalnya
Belokan paska kerongkongan (BPK)
Suatu putaran lepas usus antara kerongkongan dan gulungan terketat (Sipunculus gut)
Bos Tenggkulak; pedagang pengumpul; pengumpul
Coelom Rongga badan (tubuh)
Daerah tangkap Area dimana berada lokasi-lokasi tangkap pada kurun waktu tertentu di suatu wilayah
Etnobiologi Studi ilmiah tentang hubungan dinamik antara masyarakat, biota dan lingkungan dari masa lalu sampai kini
Etnoekologi Bidang etnobiologi yang fokusnya mendokumentasi, menggambarkan dan memahami bagaimana suatu masyarakat memandang, mengelola dan menggunakan seluruh ekosistem
Etnoteknologi Studi ilmiah tentang pengetahuan teknis yang dimiliki oleh masyarakat lokal; atau tentang teknik-teknik yang dimiliki oleh masyarakat tradisional, terutama terkait produksi dan pemanfaatan sumberdaya
Etnozoologi Bidang etnobiologi yang fokusnya hubungan antara hewan dan masyarakat manusia sepanjang sejarah
Gawe Kegiatan; pekerjaan
Introvert Bagian depan/kepala (belalai) yang bisa keluar-masuk rongga badan (coelom)
Kebijaksanaan lokal Pandangan, keputusan dan tindakan yang muncul dari atau dikeluarkan oleh masyarakat lokal berdasarkan pengetahuan, keyakinan, pengalaman dan pemikiran mereka sehingga bernilai positif dari berbagai aspek
Lokasi tangkap Area kegiatan penangkapan pada saat tertentu di suatu daerah tangkap
Ngesik (nuis) Perbuatan menyayati permukaan sarang kekuak dengan benda tajam seperti pisau untuk memperjelas lubangnya agar mudah ditusuk pada saat gawe nyucok
Otot retraktor (OR) Otot penarik yang fungsinya membantu menarik introvert masuk kedalam coelom
Panggang kelup Cara panggang dengan memasukkan (menyusupkan) separuh badan kekuak kedalam dengan tangkainya
Panggang lilit Cara panggang dengan melilitkan kekuak pada tangkainya
Partisipatori (partisipatif) Berperan-serta atau mengikut-sertakan masyarakat lokal sebagai objek sekaligus subjek penelitian
Pemakaian Tindakan mengenakan/menghabiskan sesuatu yang bernilai pakai untuk menunaikan/menjalankan suatu pekerjaan atau mencapai suatu tujuan
Pemali’ Pantangan atau larangan adat di suatu tempat yang jika dilanggar diyakini akan mendatangkan kutukan bagi pelanggar atau bencana di lingkungan tersebut
Pemanfaatan Semua upaya dan tindakan terkait dalam mengambil sesuatu yang bermanfaat/berguna (sumberdaya) dan mempergunakannya untuk berbagai keperluan/tujuan
Pengetahuan tradisional Segala sesuatu yang diketahui oleh masyarakat lokal yang didapat dari generasi sebelum-sebelumnya atau hasil dari pengalaman mereka selama ini
Penggunaan Tindakan memakai atau menggunakan sesuatu yang berguna atau bermanfaat untuk memenuhi/mencapai suatu keperluan/tujuan atau kebutuhan
Pita otot longitudinal (POL) Lapisan terdalam dari dua lapisan otot dinding badan atau introvert
Pita otot sirkular (POS) Lapisan terluar dari dua lapisan otot dinding badan atau introvert
Ruap Periode surut air laut terendah (bonang)
Takok Bagian kepala alat tangkap yang mirip mata panah Taru’ atau keunda’ Periode surut air laut tanggung (konda)
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai negara kepulauan, Indonesia amat kaya akan keanekaragaman
hayati di lingkungan lautnya. Keanekaragaman budaya berbagai etnik
penduduknya sebagai sumberdaya manusia lokal, makin melengkapi kekayaan
hayati tadi. Setiap etnik berperan menyumbangkan pengetahuan lokal berupa
berbagai bentuk dan pola pemanfaatan sumberdaya alam lokal di lingkungannya.
Bentuk dan pola yang umumnya masih tradisional dan sederhana itu merupakan
potensi dalam upaya pengembangan pemanfaatan sumberdaya yang lestari atau
berkelanjutan.
Bangka dan Belitung adalah salah satu wilayah yang penduduknya berasal
dari masyarakat berbagai etnik, Melayu adalah etnik yang dominan. Sebagai
provinsi kepulauan, penduduk aslinya sebagian besar masyarakat pesisir yang
kehidupannya mendapat pengaruh kondisi laut, meskipun tidak bergantung penuh
pada laut. Dalam kegiatan produksi mereka memanfaatkan sumberdaya hayati di
lingkungan perairan laut untuk memenuhi kebutuhan ekonomi (subsisten dan
komersial), yang umumnya masih tradisional, sederhana dan belum optimal,
terutama yang unik dan khas.
Salah satu sumberdaya perairan pantai yang sudah lama dimanfaatkan
masyarakat Melayu setempat adalah sejenis biota anggota Sipuncula yang disebut
‘kekuak’ atau ‘wak-wak’. Penangkapan biota ini oleh warga masyarakat beberapa
tempat di wilayah ini, sudah rutin dilakukan sebagai kegiatan musiman. Tanpa
pola pemanfaatan yang mempertimbangkan keseimbangan alamiah di lingkungan
mereka, mana mungkin kegiatan rutin itu masih bisa berlangsung hingga kini.
Secara turun-temurun kekuak sudah dipakai nelayan setempat sebagai
umpan, tetapi telah lama pula dijadikan sebagai pangan, khususnya di Bangka.
Sekelompok warga di beberapa tempat di Bangka bahkan sengaja menangkapnya
untuk dijual sebagai produk pangan, kebanyakan pembelinya adalah masyarakat
dari etnik Tionghoa setempat. Meskipun begitu, sampai kini kekuak belum
terdaftar sebagai komoditas hasil laut dalam statistik perikanan setempat,
penangkapannya, padahal dalam sejarah perkembangan pemanfaatannya banyak
hal menarik yang perlu dipelajari.
Berdasarkan informasi prapenelitian, Jebus (Bangka Barat) dan
Sungaiselan (Bangka Tengah) adalah dua wilayah kecamatan yang menarik dan
mewakili sebagai lokasi utama penelitian ini. Di lokasi pertama tinggal
komunitas penangkap kekuak dengan jenis alat dan teknik tangkap yang sudah
diterapkan turun-temurun, selain itu terjadi pula perkembangan penangkapan
dengan jenis alat/teknik baru. Pengetahuan perihal penangkapan tadi ditransfer ke
lokasi kedua, yang penerapannya melahirkan teknik dan pola tangkap baru, hasil
adaptasi terhadap kondisi lingkungan berbeda.
Informasi ilmiah mendasar tentang pemanfaatan kekuak yang jadi
fenomena dalam kehidupan masyarakat setempat ini belum pernah ada, adalah
alasan utama penelitian ini dilakukan, demi mempelajari dan menggali potensinya
untuk kemudian dikembangkan. Penelitian ini juga harus mengungkap secara
ilmiah pengetahuan masyarakat setempat tentang kekuak dan peranan mereka
sepanjang sejarah pemanfaatannya, terutama terkait biota, penangkapan dan
manfaatnya. Ellen et al. (2000) menyatakan, pengetahuan dan tradisi masyarakat
lokal sering dianggap statis dan tidak berubah padahal pada kenyataannya
mengalami perubahan dan dinamis.
Pengetahuan tradisional sering dilecehkan karena dianggap tidak ilmiah,
tidak atau belum bisa dijelaskan secara kuantitatif (terukur oleh metode
penelitian), walaupun fakta mencatat manfaatnya sering bisa mengatasi persoalan
masyarakat sehari-hari (Soedjito dan Sukara 2006). Kajian dalam penelitian ini
memakai pendekatan analisis studi kasus, terutama dengan perspektif etnobiologi
yang lalu dikembangkan pada perspektif etnoteknologi dan zoologi-ekonomi.
Rifai (2000) menyatakan selama ini etnobiologi banyak terbukti menjadi
instrumen berharga dalam memecahkan berbagai masalah mutakhir global, seperti
penemuan obat tradisional untuk kanker, dan bentuk-bentuk pengelolaan sasi
untuk pemanfaatan sumberdaya hayati tanpa menguras stok. Namun disadari kini,
banyak pengetahuan tradisional keburu lenyap sebelum sempat dicatat atau
Pendekatan tadi dipilih penelitian ini karena belum pernah ada informasi
ilmiah tentang aspek pemanfaatan kekuak, apalagi aspek biologinya yang khusus
dan rinci karena teknis pengamatannya relatif sulit dan butuh waktu lama. Saat ini
informasi yang tersedia, relatif murah dan mudah dijangkau tentang semua itu
cuma dari pengetahuan masyarakat setempat. Dengan sumberdaya terbatas,
memanfaatkan pengetahuan lokal dalam penelitian ini adalah pilihan terbaik.
Terkait hal ini, Soejito dan Sukara (2006) menyatakan bahwa mengilmiahkan
pengetahuan tradisional amat penting, karena inilah cara paling efektif untuk
menambah dan memajukan khasanah keilmuan di Indonesia, hasilnya pun pasti
bisa diterapkan karena telah lama sekali dipraktekkan melalui tradisi
masing-masing etnik pemiliknya, sekaligus mengangkat citra dan upaya mencari solusi
efektif untuk tiap masalah di masing-masing lokalitas.
Bagi masyarakat nelayan setempat, penghasilan dari kekuak sama
pentingnya dengan kelestarian pemanfaatannya. Secara ekonomi telah terbukti
selama ini kekuak menjadi salah satu sumber pendapatan tambahan mereka, tetapi
peningkatan kegiatan pemanfaatannya cenderung berpotensi mengancam
kelestarian populasinya di habitat. Mengingat pentingnya arti ekonomi dan
kelestarian kekuak bagi mereka, penelitian ini perlu dilakukan mengarah pada
bagaimana agar pemanfaatannya tetap lestari, disamping optimal. Hal ini bisa
dijadikan masukan bagi pemerintah setempat dalam merancang pembangunan
berbasis kekuatan lokal dan kemandirian masyarakatnya.
Paradigma umum kajian etnobiologi selama ini masih menekankan
kegiatan eksplorasi (inventarisasi) semua jenis tumbuhan/hewan yang
dimanfaatkan kelompok etnik pada kawasan tertentu, yang biasanya lebih mudah
diungkap secara kuantitatif. Sedikit bergeser dari situ, kajian penelitian ini
menekankan eksplorasi satu jenis biota yang dimanfaatkan masyarakat lokal
namun bukan merupakan komoditas lazim, yang lebih relevan diungkap secara
kualitatif sebagai penelitian dasar. Pengetahuan lokal tentang jenis biota tadi pun
sudah lebih jauh pada aspek teknis pemanfaatan, sehingga kajian
etnoteknologinya perlu lebih ditekankan mendampingi kajian etnobiologinya.
Terkait pendekatan induktif dan kualitatif, Rifai (2000) mengingatkan
pada etnobiologi) memang amat menentukan corak ilmu yang dihasilkan, jika dari
semula pendekatan kualitatif sudah berhasil menelurkan berbagai teori etnobotani
yang amat berharga untuk mengembangkan ilmunya, maka legitimasi
pendekatannya tidak perlu dipersoalkan, selama pendekatan itu menjawab sesuatu
persoalan dengan baik, kegunaannya pun pasti akan diterima dengan tangan
terbuka oleh ilmu dan teknologi.
1.2 Perumusan Masalah
Pemanfaatan kekuak oleh masyarakat di Kepulauan Bangka-Belitung
sudah dilakukan secara turun-temurun, tetapi belum ada laporan apalagi kajian
ilmiahnya. Penelitian ilmiah tentang pemanfaatan kekuak di daerah ini bisa
dipertimbangkan sebagai informasi dasar yang dibutuhkan bagi upaya
pengembangan potensi lokal demi meningkatnya kesejahteraan masyarakat
khususnya komunitas nelayan. Inti dari artikel 7 dan 10 dari Code of Conduct for
Responsible Fisheries (FAO 1999) adalah bahwa semua yang terlibat dalam
pengelolaan perikanan harus mengadopsi langkah konservasi jangka panjang dan
pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan, namun harus didasarkan pada bukti
ilmiah terbaik dan tersedia.
Pemanfaatan kekuak oleh masyarakat setempat dengan berbagai aspeknya
memang belum pernah diteliti. Dilihat dari masih terus berlangsungnya kegiatan
rutin musiman masyarakat menangkapnya di beberapa tempat berbekal
pengetahuan lokal, menandakan pemanfaatannya selama ini berkelanjutan, meski
begitu belum diketahui secara ilmiah sampai sejauh mana dan apa jaminannya.
Sementara itu, di tempat-tempat lain kegiatan ini terancam bahkan menghilang,
namun ada pula yang belum optimal. Untuk itu pemanfaatan kekuak terutama
kegiatan penangkapannya adalah masalah yang harus diteliti, demi tersedianya
bukti ilmiah terbaik yang dibutuhkan.
Karakteristik kekuak dan habitatnya adalah aspek biologi yang amat
penting diketahui sebagai informasi dasar dalam upaya menyusun strategi
pengelolaan sumberdaya kekuak (konservasi jangka panjang dan pemanfaatannya
yang berkelanjutan). Sudah berapa banyak sumberdaya hayati yang dimanfaatkan
ilmiah mendasar dan pengabaian pengetahuan informal (tradisional dan lokal)
tentang aspek ini.
Penangkapan kekuak komersial sebagai proses hulu kegiatan pemanfaatan,
merupakan aspek yang penting diketahui dalam sistem pengelolaan sumberdaya
hayati lokal, penentu seberapa besar keuntungan bagi masyarakat pemanfaatnya
dan seberapa besar tekanan/ancaman terhadap kelestarian populasi di habitatnya.
Selama ini ketiadaan/miskinnya pengetahuan dan informasi ilmiah akibat belum
adanya kepedulian dan studi, telah membiarkan masalah terkait keberlanjutan
pemanfaatan kekuak komersial di wilayah ini. Aspek ini mencakup peralatan dan
teknik tangkap serta pola pemanfaatan dan aturan lokal terkait yang ada.
Aspek manfaat kekuak pun belum pernah diteliti apalagi hal ini
merupakan sebuah dilema. Penggunaannya sebagai umpan dan pangan sebagai
proses hilir kegiatan pemanfaatan, terutama yang bersifat komersial akhirnya
menjadi penyebab utama mengapa biota kekuak ditangkap. Kondisi ini secara
langsung mempengaruhi pola dan aturan pemanfaatannya. Di satu sisi
pengungkapan nilai guna/ekonomisnya berpotensi menguntungkan penangkap dan
konsumen. Diversifikasi penggunaannya pun berpotensi memberi nilai tambah
dan lapangan kerja baru bagi masyarakat. Namun, di sisi lain secara tidak
langsung hal ini pun bisa mengganggu kelestarian populasinya dan mengancam
kelangsungan pemanfaatannya sendiri. Sejauh mana dan bagaimana potensi
penggunaan ini bisa mengoptimalkan pemanfaatan kekuak dengan tetap
berkelanjutan, juga merupakan masalah yang perlu diteliti.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengungkapkan aspek-aspek
pemanfaatan kekuak oleh masyarakat di Kepulauan Bangka-Belitung dan
mengembangkan konsep pemanfaatan berkelanjutannya berbasis kearifan lokal
(local wisdom). Tujuan-tujuan khususnya adalah: (1) Menganalisis aspek
etnobiologi kekuak (etnoekologi, etnozoologi dan taksonomi); (2) Menganalisis
aspek etnoteknologi kekuak (teknis dan operasi, pola dan aturan lokal, serta
dinamika perkembangan penangkapan komersial); (3) Menganalisis pemanfaatan
Manfaat-manfaat penelitian ini: (1) Terselamatkannya perbendaharaan
sekaligus memperkaya khasanah pengetahuan tradisional (traditional heritage);
(2) Berkembangnya metode kajian pemanfaatan sumberdaya berbasis kearifan
lokal; (3) Sebagai penghargaan atas peran-peran masyarakat lokal dalam
mengelola sumberdaya hayati di lingkungannya; dan (4) Sebagai masukan bagi
upaya pengembangan manfaat komersial kekuak yang lebih menguntungkan dan
berkesinambungan bagi masyarakat lokal (komunitas nelayan dan penangkap).
1.4 Kerangka Pemikiran
Konsep pemanfaatan kekuak berkelanjutan yang sudah ada dalam
kehidupan masyarakat di Kepulauan Bangka-Belitung perlu dikembangkan.
Sebelumnya, harus diketahui lebih dulu bagaimana karakteristik, kondisi dan
status aspek-aspek terkait yang sekaligus menggambarkan bagaimana konsep
pemanfaatan berkelanjutan itu, sebagai bagian dari kearifan lokal. Demi
memperoleh pengetahuan (data dan informasi) tentang itu semua, agar bisa
menjadi bukti ilmiah terbaik dan tersedia, untuk diadopsi sebagai langkah
konservasi jangka panjang dan pemanfaatan berkelanjutan seperti telah digariskan
dalam CCRF, maka dilakukanlah penelitian ini.
Kerangka pikir penelitian ini mencakup input (masukan), proses dan
output (keluaran) yang secara skematik bisa dilihat pada Gambar 1. Bagian input
adalah proses yang terjadi di lingkungan perairan laut dan sumberdaya hayati
lokal dimana terdapat biota kekuak, dan di lingkungan masyarakat dan budaya
lokal dimana terdapat sistem pengetahuan terkait pemanfaatan sumberdaya alam.
Bagian proses merupakan ruang lingkup penelitian ini, mengungkap
kegiatan pemanfaatan kekuak oleh masyarakat lokal, melalui pendekatan analisis
terhadap aspek-aspek biologi, penangkapan komersial dan manfaat. Analisis
aspek biologi (perspektif etnobiologi) mencakup: etnoekologi untuk karakteristik
lingkungan habitat kekuak, etnozoologi untuk karakteristik biota, dan taksonomi
untuk status biosistematik. Analisis aspek penangkapan (perspektif
etnoteknologi), mencakup: teknis penangkapan komersial kekuak, pola dan aturan
lokal pemanfaatan, dan dinamika perkembangan penangkapan. Sedangkan analisis
umpan, pangan, dan manfaat komersial. Pendekatannya bersifat interdisiplin
(lintasbidang) sesuai subtopik kajian.
Secara umum dalam setiap pendekatan analisis pada bagian proses, data
emik hasil wawancara berupa pengetahuan lokal terkait yang diolah menjadi
informasi, lalu dikonfirmasi dengan data etik dari hasil pengamatan lapangan,
kajian laboratorium dan pustaka (proporsi sesuai kondisi data dan keperluan
analisis). Hasil kajian juga akan menunjukkan gambaran status pengetahuan lokal
terkait dan status kegiatan pemanfaatan kekuak di lokasi-lokasi fokus, terutama
kondisi keberlanjutannya.
Hasil kajian aspek-aspek tadi merupakan informasi berguna untuk menilai
(memperbandingkan) dan mengevaluasi kasus-kasus serupa dan terkait
pemanfaatan kekuak di Bangka dan Belitung, berkenaan dengan upaya konservasi
jangka panjang dan pemanfaatan berkelanjutan biota kekuak. Hasil penilaian/
evaluasi tersebut berguna untuk mengembangkan konsep pemanfaatan kekuak
berkelanjutan berbasis kearifan lokal. Konsep-konsep pengembangan itu
merupakan output yang berguna, sebagai sumber informasi (bahan masukan/
pertimbangan) yang bisa diadopsi dalam menyusun strategi pengelolaan
Keterangan: SDA sumberdaya alam; SDHL sumberdaya hayati laut; pendekatan analisis
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
proses
Kegiatan pemanfaaan kekuak oleh masyarakat lokal
Masyarakat dan
Langkah konservasi jangka panjang dan pemanfaatan berkelanjutan
Etnoekologi Etnozoologi Taksonomi Etnobiologi
-Belum diketahui bagaimana karakteristik, kondisi dan status aspek-aspek terkait pemanfaatan berkelanjutan (biologi, teknologi dan ekonomi)
-Belum diketahui bagaimana konsep masyarakat lokal terkait pemanfaatan kekuak berkelanjutan dan bagaimana
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Sipuncula
Dari morfologinya biota kekuak tergolong Filum Sipuncula yang lebih
dekat dengan genus Sipuncula dan Xenosiphon. Sipuncula dideskripsikan sepintas
sebagai hewan laut mirip cacing tapi tanpa segmen (Gambar 2), tubuhnya terbagi
menjadi badan utama (trunk) dan belalai (introvert) yang bisa ditarik ke dalam
atau belakang, perbandingan panjang kedua bagian itu bervariasi untuk tiap-tiap
jenis (Cutler 1994). Sipuncula merupakan filum minor dalam kelompok besar
hewan bilateria (Gambar 3), yaitu kelompok hewan yang bersifat tripoblastik,
tubuhnya simetris bilateral dan terbentuk dari tiga macam lapisan benih
(endodermis, mesodermis dan ektodermis).
Gambar 2 Sipunculus nudus dan Xenosiphon branchiatus (Sumber: Anonimª 2009 & Kawauchi 2011)
Meskipun bentuk fisiknya mirip cacing, namun hipotesis filogenetik
terbaru menunjukkan Sipuncula tidak ada jejak ciri penting Annelida seperti
adanya segmentasi dan chaetae (seta). Ciri bersama seperti berbentuk “cacing”,
adanya introvert dan larva trochophore, tidak membatasi mereka secara unik.
Hipotesis kedua menempatkannya lebih dekat ke Mollusca minimal secara fisik
(Gambar 3), beberapa ciri keduanya sama pada saat perkembangan dini,
contohnya setelah fertilisasi dan pembelahan telur, susunan ciri sel keduanya
dalam embrio disebut ‘simpang Mollusca’. Dan hipotesis ketiga, berkenaan
dengan ciri bersama Mollusca dan Sipuncula, dijadikan ciri primitif kelompok
lebih besar yang disebut Trocozoa dimana Annelida juga termasuk di dalamnya
(Cutler 1994).
introvert
trunk
Sipunculus nudus Xenosiphon branchiatus
Filum ini secara khusus belum dipelajari dengan baik, dilaporkan baru
sekitar 300 jenis yang telah dideskripsi secara formal, semua di laut dan umumnya
perairan dangkal (Kozloff 1990). Ada yang meliang semipermanen dalam pasir
dan lumpur, ada yang di celah karang, dalam kerang kosong, bahkan mengebor
ke dalam karang. Merekapun tidak meninggalkan lubang di permukaan pasir atau
lumpur untuk menunjukkan kehadiran mereka, sehingga relatif sulit untuk
ditemukan dan ditangkap (Romimohtarto dan Juwana 2001).
Gambar 3 Kedudukan Filum Sipuncula diantara filum-filum lain (Anonim 2009)
Berbagai sumber melaporkan perkiraan jumlah jenisnya secara beragam
(147-320), terdapat di berbagai habitat bentik laut dingin, sedang dan tropik pada
semua kedalaman, dari zone intertidal sampai 6.860 m. Hasil revisi Cuttler
(1994), baru 144 spesies yang telah teridentifikasi valid dari 17 genus, 6 famili, 4
ordo dan 2 kelas (Tabel 1), tapi setelah filogeninya direkonstruksi menjadi 147
spesies (Schulze et al. 2005). Hubungan filogenetik antar-genusnya seperti
diusulkan Cutler dan Gibbs (1985) tampak pada Gambar 4, dari kedekatannyha
diperkirakan kekuak adalah salah satu anggota dari Sipunculus atau Xenosiphon.
Porifera
Chordata Hemichordata Echinodermata Lophophorates
Chaetognatha Arthropoda Onychophora Echiura Pogonophora Annelida Sipuncula Mollusca Nemertea Aschelminthes Platyhelminthes Ctenophora Cnidaria
Bilateria
Gambar 4 Hubungan filogenetik antar-genus dalam filum (Cutler & Gibbs 1985)
Sebagian besar bagian yang bisa dikenali dari sipuncula adalah mulut,
yang dikelilingi massa tentakel dan semuanya bisa dikembalikan (dimasukkan) ke
dalam badan (badan utama). Saluran pencernaan sipuncula mulai dari mulut
hingga ke akhir posterior badan, kemudian berbalik arah dengan cara
berpelin-ganda dan berakhir di anus pada sisi dorsi-ventral badannya, Gambar 5
memperlihatkan skema anatomi (struktur organ dalam) salah satu anggotanya.
Sipuncula mempunyai sebuah coelom (rongga). Meskipun tidak mempunyai
sistem pembuluh darah, cairan interstitial mengangkut oksigen dan nutrien ke
sekeliling tubuh. Sebuah ruang terpisah berisi tentakel-tentakel berlubang, yang
mengalirkan oksigen dari tentakel ke coelom. Dinding tubuhnya kuat dan berotot,
jika terancam sebagian tubuhya ditarik masuk ke dalam menyerupai buah kacang
sehingga dinamai ‘cacing kacang’ (Edmonds 2000).
Perilaku sipuncula relatif sedikit yang diketahui, sebagian besar jenis
menarik tentakel dan introvert secara cepat mengikuti rangsangan taktil. Banyak
jenis sifatnya fototaksis negatif dan sembunyi ke dalam sedimen atau karang jika
jangkar dan perototan introvert untuk menarik tubuh ke depan. Phascolion
strombus, penghuni cangkang kerang, bisa mengairi cangkangnya untuk
menaikkan kandungan oksigen dengan kontraksi perototan dinding tubuh.
Berenang cuma dilaporkan ada pada Sipunculus yaitu dengan ‘membanatkan’
badan utama secara tidak terarah (Edmonds 2000).
Gambar 5 Sipunculus nudus, tubuh bagian dalam (Anonim 2009)
Sebagian besar sipuncula termasuk Sipunculus dan Xenosiphon dilihat dari
cara makan bersifat sebagai deposit feeder dengan tentakel yang sederhana,
kecuali angota Themiste sebagai filter feeder dengan tentakel bercabang rumit.
Jenis-jenis penghuni pasir mencerna sedimen dan campuran biomassa yang
dikumpulkan dengan tentakel-tentakel. Tentakel jarang tampak di atas dasar laut
selama siang hari, mungkin dijulurkan pada malam hari untuk memeriksa dan
mengambil sedimen di sekeliling sebagai partikel makanan. Jenis penghuni
karang memakai kait-kait introvertnya, sebagian besar pada malam hari, untuk
mengikis sedimen dan organisme epifauna dari permukaan karang sekelilingnya
(Cutler 1994). Dilaporkan oleh Jeuniaux (1969) bahwa pada usus halus
Sipunculus nudus ada aktivitas kitinolitik tertentu (kitinase dan kitobiase).
Umumnya sipuncula berumah dua, cuma sejenis diketahui hermafrodit
yaitu Nephasoma minutum. Themiste lageniformes bersifat partenogenesis
fakultatif. Aspidosiphon elegans dilaporkan bereproduksi aseksual dengan tunas.
Selain itu pada sipuncula tidak diketahui ada dimorfisme seksual. Gonad cuma
lazim selama periode reproduktif. Gamet dilepaskan ke dalam coelom tempat
pematangan berlangsung. Gamet matang diambil nefridia dan dilepaskan ke air
melalui nefridiofor (Rice 1993).
nephridium
intestine
anus esophagus retractor muscles
ventral nerve chord
mouth
Sampai kini belum ada jenis sipuncula yang termasuk daftar merah IUCN.
Karena fase larvanya yang panjang, kebanyakan jenisnya tersebar luas. Tingkat
kemelimpahan dari jarang sampai amat umum (kerapatan Themiste lageniformes
bisa sampai 2.000 ekor lebih tiap m²). Perusakan habitat seperti mangrove dan
dasar rumput laut bisa mengancam populasi regionalnya (Rice 1976).
Tabel 1 Klasifikasi anggota Filum Sipuncula - 144 spesies revisi Cutler (1994)
Kelas Ordo Familia Genus Subgenus
Sipunculidea Sipunculiformes Sipunculidae (24) Sipunculus (10) Sipunculus (8)
Austrosiphon (2)
Xenosiphon (2)
Siphonosoma (10)
Siphonomeccus (1)
Phascolopsis (1)
Golfingiiformes Golfingiidae (36) Golfingia (10) Golfingia (9)
Spinata (1)
Phascolosomatidea Phascolosomatiformes Phascolosomatidae (23) Phascolosoma (18) Phascolosoma (16)
Fisherana (2)
Apionsoma (4) Apionsoma (3)
Edmonsius (1)
Antillesoma (1)
Aspidosiphoniformes Aspidosiphonidae (22) Aspidosiphon (19) Akrikos (5)
Aspidosiphon (7)
Paraspidosiphon (7)
Lithacrosiphon (2)
Cleosiphon (1)
2.2 Pemanfaatan Sipuncula
Di luar sipuncula sudah banyak jenis poliket (polichaeta) yang
dimanfaatkan masyarakat lokal di berbagai belahan dunia, baik untuk umpan dan
Di Samoa dan Fiji setiap Oktober dan November sejenis polychaeta yang disebut
palolo (mbalolo), biasa ditangkap untuk dijadikan makanan. Di Lombok dan
sekitarnya setiap Pebruari ada acara bau nyale, yaitu tradisi masyarakat setempat
menangkap nyale, yaitu sejenis poliket dari marga Neanthes (Nereis). Di Maluku
sejenis poliket serupa yang disebut laor muncul dan ditangkap setiap Maret, juga
dijadikan makanan oleh masyarakat setempat (Romimohtarto & Juwana 2001).
Masih sedikit sekali laporan ilmiah yang menulis tentang pemanfaatan
jenis-jenis sipuncula oleh masyarakat lokal, beberapa informasi menyebutkan
diantaranya meskipun tanpa menyebutkan jenisnya yang mana saja. Di beberapa
bagian dunia para nelayan memakai sipuncula sebagai umpan, sebagian besar
merupakan penghuni pasir yang ukurannya lebih besar. Di Jawa dan bagian barat
Carolina serta beberapa bagian Cina, sipuncula juga dimakan oleh masyarakat
lokal. Romimohtarto dan Juwana (2001) menulis, Phascolosoma lurco yang
dilaporkan paling banyak ditemukan di Malaysia dan Singapura, biasa dijadikan
sebagai makanan bebek. Di Sukolilo, Jawa Timur seperti dilaporkan oleh Subani
dan Barus (1989), masyarakat nelayan setempat memanfaatkan biota sejenis
sipuncula yang disebut terung sebagai makanan yang enak. Di Pulau Nusalaut,
Maluku Tengah, sejenis sipuncula yang disebut sia-sia dilaporkan juga dimakan
masyarakat setempat (Pamungkas 2010).
Khusus tentang kekuak, jenis sipuncula ini biasa digunakan sebagai umpan
oleh para nelayan Kepulauan Seribu, seperti di Pulau Pari. Informasi lain
mengatakan bahwa beberapa tahun menjelang kemerdekaan, di kota Dabo,
Singkep kekuak dijual sebagai makanan ringan di warung-warung kopi. Ada juga
informan mengatakan bahwa kekuak merupakan salah satu makanan hasil laut
yang sering dijual di pasar Kota Palembang, yang kemungkinan dibawa dari
Bangka. Terakhir, Pratomo (2005) melaporkan bahwa uwa-uwa (wak-wak)
dipakai masyarakat nelayan di Pulau Kemujan (Kepulauan Karimunjawa) sebagai
umpan untuk memancing.
Romimohtarto dan Juwana (2001) menulis bahwa Phascolosoma lurco
setelah ditangkap ditaruh dulu semalaman di air tawar, baru kemudian diberikan
kepada bebek. Sedangkan Subani dan Barus (1989) menulis bahwa sejenis
dijadikan kerupuk terung, yaitu dengan cara mejemur (mengeringkan) dan
menggorengnya. Sejenis sipuncula lainnya dilaporkan menjadi makanan lezat di
kota Xiamen provinsi Fujian, Cina yang dibuat jeli (Edmonds 2000).
Kekuak yang dijual di warung-warung kopi di Dabo, Singkep, merupakan
kekuak kering yang dipanggang sebagai makanan ringan. Di Palembang kekuak
pun dijual di pasar sebagai makanan, sebelum disajikan juga dipanggang dulu lalu
dipukul-pukul dan dinikmati dengan sambal asam, seperti makan cumi atau ikan
juhi kering, merupakan makanan ringan khas warga etnik Tionghoa di Indonesia.
Pemanfaatan anggota Sipuncula sebagai umpan oleh nelayan atau
pemancing ikan, khususnya kekuak seperti di Kepulauan Seribu, tidak jauh
berbeda dengan pemanfaatan anggota poliket, namun kiranya perlu
dikaji-kembangkan lebih lanjut terkait potensinya, terutama potensi komersialnya.
Sebagaimana ditulis oleh Romimohtarto dan Juwana (2001), di Inggris hobi
mancing adalah olahraga yang mewah, sehingga usaha budidaya cacing untuk
umpan, atau lebih tepatnya industri umpan, bisa membuka lapangan kerja baru
yang berpotensi menguntungkan dan menggembirakan berbagai pihak.
Informasi ilmiah (literatur) tentang bagaimana cara mengolah jenis-jenis
sipuncula yang dimanfaatkan, baik untuk umpan dan makanan (pakan) hewan
piaraan maupun terutama untuk makanan (pangan) manusia belum ada. Informasi
tentang kandungan gizinya, sebagai produk pangan dan tinjauan ilmiah mengenai
teknik pengolahannya pun belum pernah ada. Begitupun literatur tentang
kelebihan dan kekurangan sipuncula sebagai umpan dan potensinya sebagai
pakan, juga belum pernah ada. Apalagi tentang kekuak yang belum pernah
diteliti, belum jelas spesies dan kedudukannya dalam taksonomi, karena itu
penelitian ini merupakan rintisannya.
2.3 Metode Penangkapan
Informasi ilmiah tentang cara tangkap anggota Sipuncula yang
dimanfaatkan masih sangat sedikit. Romimohtarto dan Juwana (2001) cuma
menulis bahwa Phascolosoma lurco yang dipakai untuk pakan bebek, ditangkap
dengan menggalinya di rawa mangrove, tanpa menyebutkan dengan alat apa.
Namun, Subani dan Barus (1989) sudah menulis bahwa para nelayan Sukolilo
dengan garu atau garit dari bambu dan dioperasikan beberapa orang dalam satu
perahu (Gambar 6). Alat itu merupakan satu-satunya jenis alat tangkap terung di
Indonesia. Masyarakat Pulau Nusalaut menangkap sia-sia sejenis Sipuncula di
perairan pantai Maluku Tengah menggunakan linggis (Pamungkas 2010).
Sementara itu, nelayan di Pulau Pari (Kepulauan Seribu) menangkap wak-wak
(kekuak) dengan penusuk sederhana yang terbuat dari sebilah rotan. Pratomo
(2005) juga melaporkan bahwa masyarakat nelayan di Pulau Kemujan (Kepulauan
Karimunjawa) menangkap uwa-uwa (kekuak) dengan pacucu’an dari rotan.
Gambar 6 Cara menangkap terung di Selat Madura (Subani & Barus 1989)
Dengan kategorisasi metode penangkapan ikan yang dirangkum oleh
Brandt (2005), penggunaan alat penusuk dari rotan untuk menangkap kekuak di
Kepulauan Seribu (Pulau Pari) bisa dikategorikan sebagai metode penangkapan
dengan pelukaan (taken by wounding), karena rotan masuk dari mulut ke dalam
rongga tubuh kekuak hampir sepanjang ukurannya. Penggunaan alat garu dan
garit untuk menangkap terung di Sukolilo belum ada keterangan lebih lanjut,
tetapi dari bentuk alat dan cara menggunakan, termasuk metode pengambilan
tanpa pelukaan (without wounding).
Menurut Hutabarat (2001), teknik tangkap tradisional harus memenuhi
empat syarat yaitu: (1) relatif sederhana dan tanpa mesin atau alat elektronik; (2)
cukup lama diterapkan (minimal 30 tahun); dan (4) dilakukan secara
turun-temurun. Teknik tangkap kekuak di Kepulauan Seribu dan Karimunjawa, juga
teknik tangkap terung di Selat Madura memenuhi semua syarat tersebut. Terkait
sumberdaya atau keanekaragaman hayati lokal, keberadaan teknik-teknik lokal
menurut Alcorn (1996) adalah salah satu wujud tindakan konservasi masyarakat
asli (lokal), tetapi pendapat ini cuma berlaku jika satu jenis alat tangkap cuma
bisa menangkap satu jenis biota saja yang ukuran tubuhnya juga tertentu saja.
Pemanfaatan sumberdaya perikanan laut yang berkelanjutan harus
dilakukan dengan pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab melalui
teknologi berwawasan lingkungan, yang misinya diterjemahkan lagi ke dalam
bentuk teknologi ramah lingkungan (Sudirman 2003). Asian Productivity
Organization (2002) menyatakan bahwa kriteria perikanan berkelanjutan adalah
bagaimana bekerja secara maksimal dan kontinu membantu para nelayan,
sehingga dapat melakukan pemanfaatan yang ramah lingkungan, secara teknik
bisa dilakukan (efektif) dan secara ekonomi (komersial) menguntungkan,
termasuk mendukung penyediaan ketahanan pangan. Menurut Gopankumar
(2002), prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan adalah penggunaan
sumberdaya perikanan jangka panjang yang memperhatikan karakteristik biologi,
ekologi termasuk konservasi dan adanya sharing keuntungan.
Terkait pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab, Pasal 7 (7.1.1) dari
Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO 1999) menyebutkan:
Negara-negara dan semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan perikanan, melalui suatu
kerangka kebijakan hukum dan kelembagaan yang tepat, harus mengadopsi
langkah konservasi jangka panjang dan pemanfatan sumberdaya perikanan
berkelanjutan. Langkah-langkah konservasi dan pengelolaan pada tingkat lokal,
nasional, subregional dan regional, harus didasarkan pada bukti ilmiah terbaik dan
tersedia serta dirancang untuk menjamin kelestarian jangka panjang sumberdaya
perikanan pada tingkat yang dapat mendukung pencapaian tujuan pemanfaatan
optimum, dan mempertahankan ketersediaan untuk generasi kini dan mendatang:
pertimbangan-pertimbangan jangka pendek tidak boleh mengabaikan tujuan ini.
Menurut Baskoro (2006) suatu alat tangkap dikatakan ramah lingkungan
tidak merusak habitat; (3) menghasilkan ikan berkualitas tinggi; (4) tidak
membahayakan nelayan; 5) produksi tidak membahayakan konsumen; (6)
by-catch rendah; (7) dampak terhadap biodiversitas rendah; (8) tidak membahayakan
ikan-ikan yang dilindungi; dan (9) dapat diterima secara sosial. Semua kriteria ini
ditentukan lebih rinci dengan empat subkriteria penilaian yang berturut-turut
semakin meningkat, namun berlaku pada penangkapan ikan-ikan target umum.
Kriteria tradisional ataupun ramah lingkungan tadi sebenarnya jika dipakai
untuk menilai berbagai jenis alat/teknik tangkap kekuak di lapangan (yang
diterapkan masyarakat lokal dalam kegiatan penangkapan), kemungkinan belum
tentu juga cocok dengan kondisi yang ada, tetapi minimal sebagai acuan pertama
dalam menilai, untuk kemudian disempurnakan (dikembangkan) dengan kriteria
lain yang lebih sesuai fakta di lapangan. Pola-pola pengelolaan tradisional yang
sebagian belum/tidak bisa terbukti secara ilmiah tetapi hasilnya telah terbukti
efektif menjamin keberlanjutan pemanfaatan selama puluhan/ratusan tahun, perlu
dihargai/dihormati (jika tidak bisa diadopsi) karena hal itu merupakan wujud
kepedulian (tangungjawab) masyarakat lokal, yang lebih dulu hadirnya ketimbang
hegemoni kaidah ilmiah modern yang kini mendominasi (banyak diadopsi).
Paradigma klasik dalam perikanan tangkap tradisional adalah bagaimana
agar pemanfaatan sumberdaya perikanan bisa berkesinambungan (sustainabilitas
produksi) sebagai prioritas, barulah kemudian pendapatan yang cukup (cenderung
minimalis). Namun, paradigma dalam perikanan tangkap modern prioritasnya
adalah bagaimana agar produksi dan keuntungan bisa maksimal, barulah
kemudian keberlanjutannya. Pada paradigma perikanan tangkap yang
bertanggungjawab CCRF (FAO 1999) ada istilah ‘hasil tangkap optimum’,
‘efektivitas penangkapan’ dan ‘selektivitas alat tangkap’, atau dengan kata lain
optimalisasi produksi sekaligus keberlanjutannya, pada sisi ini tampak hal ini
lebih mendekati paradigma perikanan tangkap tradisional.
Selama ini orientasi perikanan tangkap tradisional pada prakteknya
cenderung ‘kesinambungan hasil yang cukup’ (penggunaan seperlunya demi hari
ini dan esok) sebagai prinsip kegiatan produksi sistem ekonomi subsisten
(bertahan). Hal itu tergambar dari peribahasa Melayu: “Selagi ada jangan
“Tinggalkan (sebagian) untuk ular”. Sementara itu, orientasi perikanan tangkap
modern pada prakteknya cenderung ‘aji mumpung’ (oportunis) dan ‘dengan modal
dan risiko besar, untung jauh lebih besar’, sebagai prinsip kegiatan produksi
sistem ekonomi industrial (komersial-kapitalistik). Terkait hal ini Charles (2001)
mengklasifikasi penangkap (nelayan) menjadi empat kelompok utama yaitu:
subsisten, native (indigenus), komersial, dan rekreasional; untuk yang komersial
dibagi lagi menjadi: skala kecil (artisanal) dan skala besar (industrial).
2.4 Kearifan Lokal dan Pengetahuan Tradisional
Kata kearifan berasal dari kata ‘arif yang berarti tahu dan ma’rifat yang
berarti pengetahuan (knowledge), tingkatannya masih di bawah fahm
(pemahaman) dan fiqh (pengertian) (Jazairy 2001), sehingga kearifan lokal sama
saja maknanya dengan pengetahuan lokal (local knowledges). Namun demikian,
telah terjadi proses ‘ameliorasi’ (perluasan) makna kata ‘kearifan’ menyamai
makna wisdom (kebijaksanaan), sebaliknya terjadi proses ‘peyorasi’
(penyempitan) makna kata ‘kebijakan’ menyamai makna policy (keputusan
politis), yang sebenarnya berasal dari kata bijak/bijaksana (wise) yang juga
diartikan arif (makna peyoratif). Oleh karena itulah, kata local wisdom lebih
populer diterjemahkan sebagai ‘kearifan lokal’ daripada ‘kebijaksanaan lokal’
yang sebetulnya secara bahasa adalah lebih tepat.
Pengetahuan tradisional merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat
setempat, merupakan hasil interaksi manusia dengan alam dan lingkungannya
yang berlangsung lama dan turun-temurun (Solihin 2006). Menurut Soekanto
(2000), kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kesenian,
moral, hukum, adat-istiadat dan lain-lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan
yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Pengetahuan tradisional adalah sistem terpadu antara kepercayaan dan
praktek khusus dalam kelompok budaya berbeda (Posey 1996). Pada tradisi
ilmiah Barat, pengetahuan (knowledge) dibedakan dengan science (sains, ilmu),
pengetahuan tradisional pun masih bagian dari wisdom (kearifan/kebijaksanaan).
Menurut Soedjito dan Sukara (2006), selayaknya sistem pengetahuan dunia tidak
cuma dimonopoli pengetahuan formal (sains didikan sekolahan), karena masih
Tabel 2 Perbedaan epistemologis antara science dan wisdom (Villoro 1982)
SCIENCE WISDOM
Societal Individual Universal Local
General Particular or singular
Unpersonal Personal Abstract Concrete Theoretical Practical Specialized Global
Toledo (1992) dengan mengutip pendapat Villoro (1982), menjelaskan
perbedaan epistemologis antara science dan wisdom (Tabel 2). Melihat
karakteristik wisdom, sebenarnya ‘kearifan’ (kebijaksanaan) lokal cikal-bakalnya
adalah berbagai bentuk ‘kearifan’ (wisdom, kebijaksanaan) dan pengetahuan
(ma’rifat, knowledge) dari seseorang, beberapa individu ataupun sekelompok
warga dalam suatu komunitas masyarakat dengan lokalitas tertentu, yang seiring
perjalanan waktu melembaga sebagai kesepakatan bersama ataupun ditetapkan
sebagai aturan adat/lokal. Jadi kearifan (kebijaksanaan) lokal adalah hasil
pelembagaan kejeniusan masyarakat lokal, yang prosesnya telah, sedang dan akan
terjadi nanti, sebagai pertanda mereka pun belajar dari alam dan pengalaman
(berubah sikap menjadi lebih baik daripada sebelumnya). Hal itu tergambar dari
dua peribahasa Melayu yang kini sudah menjadi umum yaitu “Alam terkembang
menjadi guru” dan “Pengalaman adalah guru yang terbaik”.
Salah satu ciri masyarakat tradisional adalah ketergantungan
(keterbatasan) yang tinggi terhadap lingkungan dan sumberdaya alamnya, terlebih
pada masyarakat tradisional di pesisir dan pulau-pulau terpencil. Ketergantungan
manusia terhadap alam tetumbuhan misalnya, diketahui sudah ada sejak zaman
prasejarah dari bukti-bukti paleoetnobotani (Smith 1986), sebaliknya karena itu
pula peran manusia atau kelompok etnik dengan segala tata-aturan kehidupannya
amat menentukan nasib lingkungannya. Ketergantungan itu mengharuskan
mereka hidup menyatu dengan alam sekitar, atau berusaha agar seimbang antara
kehidupannya dan lingkungannya. Dengan begitu sebisa mungkin mereka hidup
tanpa menimbulkan kerusakan bagi alam, supaya kerusakan tersebut tidak
Terkait fenomena tadi Lovelock (1979) pernah mengusulkan hipotesis
GAIA, bahwa bumi berfungsi sebagai organisme tunggal, mengatur diri-sendiri
dalam membuat keadaan-keadaan optimum demi kelangsungan hidupnya dengan
keberadaan kehidupan itu sendiri. Implikasinya sebagai ide ilmiah Barat amat
mendekati pemahaman masyarakat asli umumnya, termasuk orang Cina purba,
dimana hubungan manusia dengan alam sepatutnya sebagai partisipan dalam
sebuah sistem kehidupan yang lebih besar (Reichel-Dolmatoff 1976).
Strategi konservasi keragaman hayati mencakup kegiatan memanfaatkan,
mempelajari dan menyelamatkan (Wilson 1995). Sudah jadi kebiasaan masyarakat
lokal, selama masih mau terus memanfaatkan suatu sumberdaya hayati di
lingkungannya, selama itu pula mereka tetap menjaga/menyelamatkannya. Seiring
berjalannya kedua kegiatan itu, proses pembelajaran terkait sumberdaya itu pun
berlangsung, termasuk mekanisme transfer pengetahuannya dalam masyarakat,
antar anggota, generasi, kelompok atau daerah berbeda.
Ellen et al. (2000) menyatakan, pengetahuan dan tradisi masyarakat lokal
sering dianggap statis (tidak berubah) tetapi faktanya berubah (dinamis). Tentang
pandangan skeptis ilmuwan terhadap pengetahuan lokal terkait dilupakannya dan
kesalahpahaman terhadap sistem pengetahuan/pengelolaan lokal, Neis (1992)
mengatakan bahwa pemakaian metode ilmiah adalah suatu keganjilan karena
pengetahuan tradisional punya begitu banyak informasi tidak terucapkan, tetapi
metoda ilmiah berusaha mengurangi, mengujinya dan mengontrol seluruh variabel
lain. Kini pengetahuan tradisional pemanfaatan tumbuhan dan hewan oleh
masyarakat lokal dan pribumi kian banyak menghilang sebelum sempat dicatat/
diketahui para peneliti, padahal informasi itu amat penting bagi kelestarian
pemanfaatan keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam lokal.
Selama ini pengetahuan tradisional terkait kegiatan masyarakat lokal
memanfaatkan keanekaragaman hayati di lingkungannya, telah banyak dikaji
dalam etnobiologi. Sejalan dengan itu cabang-cabang kajian etnobiologi seperti
etnobotani (pengetahuan botanik tradisional/lokal) dan etnoekologi dikembangkan
dalam biologi sebagai disiplin dengan metode tersendiri. Toledo (1992) termasuk
biolog yang berperan mengembangkan etnoekologi sebagai disiplin dengan