• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi etnobiologi, etnoteknologi dan pemanfaatan kekuak oleh masyarakat di kepulauan Bangka Belitung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi etnobiologi, etnoteknologi dan pemanfaatan kekuak oleh masyarakat di kepulauan Bangka Belitung"

Copied!
246
0
0

Teks penuh

(1)

OLEH MASYARAKAT DI KEPULAUAN BANGKA-BELITUNG

YULIAN FAKHRURROZI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Studi Etnobiologi, Etnoteknologi dan Pemanfaatanan Kekuak (Xenosiphon sp.) oleh Masyarakat di Kepulauan Bangka-Belitung ini adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian disertasi ini.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bogor, 01 Pebruari 2011

(4)
(5)

ABSTRACT

YULIAN FAKHRURROZI. Studies on Ethnobiology, Ethnotechnology and the Utilization of Kekuak (Xenosiphon sp.) by People in Bangka-Belitung Islands. Under supervision of JOHN HALUAN, ARI PURBAYANTO and SOEWARNO T. SOEKARTO

The main objectives of this research are to study kekuak utilization aspects by people in Bangka-Belitung Islands and to develope its sustainable utilization concepts. The specific objectives are: to analyze kekuak ethnobiological aspects (ethnoecology, ethnozoology, and taxonomy); to analyze its ethnotecnological aspects (technical and operation, local patterns and rules); and to analyze kekuak utilizing aspects (bait, food, and commercial utilities).

This research was devided into three topics: Ethnobiology of kekuak in Bangka-Belitung Islands; Ethnotechnology of kekuak in Bangka-Belitung Islands; and Utilization of kekuak by Bangka-Belitung people. This study was focused in kekuak utilization activities of local people, as case study at some locations in this province region. Laboratorium test and observation activities were done in Bogor. There are stratification level of local people knowledges about kekuak, related to their role and position in utilization chain of this biota, and the fishermen have much amount of knowledges about it. White sand beach type, especially in intertidal zone is known as main habitat of kekuak, that local people made as fishing ground. The existence of kekuak is known by fishermen from a mark of the nest surface likes a dog footprint.

Fishing kekuak by local people is mainly used for commercial food. There are three kinds of gear applied, i.e.: cucok, rangkang and serampang. All of them are still classified as traditional gears. The catching techniques with them called

nyucok, ngerangkang and nyerampang, all of them are classified as taken by wounding methods. The fishing activities with operating thoose gears or techniques appraised still environment friendly. Local custom policy and certain patterns in commercial fishing play an important role as a guarantee for population balance of kekuak in habitat, and the sustainability utilization.

Local people use kekuak as bait and food materials. Kekuak is appraised as qualified natural bait and potential developed as commercial natural bait for professional and recreational fishing, beside as local specific food which halal, delicious, and nutritious, so far still secure for consumption, and potential developed with product diversification with creative ideas, for increasing economic values.

In this research, the biota of kekuak was identified as Xenosiphon sp., and aims for a new species, or moreover, a new subgenera, member of Sipuncula that have been clearly identified. Anatomically this biota has a specific character, that is, it is no post-esophageal loop on its gut and it does not have a paire of protractor muscles unlike other members of Xenosiphon.

(6)
(7)

RINGKASAN

YULIAN FAKHRURROZI. Studi Etnobiologi, Etnoteknologi dan Pemanfaatan Kekuak (Xenosiphon sp.) oleh Masyarakat di Kepulauan Bangka-Belitung. Dibimbing oleh JOHN HALUAN, ARI PURBAYANTO dan SOEWARNO T. SOEKARTO

Kekuak adalah sejenis biota laut anggota Filum Sipuncula (peanutworm) yang biasa juga disebut wak-wak oleh masyarakat di Kepulauan Bangka-Belitung. Hewan ini adalah salah satu kekayaan keanekaragaman hayati laut di daerah kepulauan tersebut, yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, baik sebagai bahan umpan maupun pangan yang kemudian mereka tangkap secara komersial.

Pemanfaatan kekuak oleh masyarakat di Kepulauan Bangka-Belitung belum pernah diteliti. Tujuan umum penelitian ini adalah mempelajari aspek-aspek pemanfaatan kekuak oleh masyarakat di Kepulauan Bangka-Belitung dan mengembangkan konsep pemanfaatan berkelanjutan berbasis kebijaksanaan lokal. Tujuan khusus: menganalisis aspek etnobiologi kekuak (etnoekologi, etnozoologi dan taksonomi); menganalisis aspek etnoteknologi kekuak (teknis dan operasi, pola dan aturan lokal, serta dinamika perkembangan terkait penangkapan komersial); dan menganalisis aspek pemanfaatan kekuak (manfaat umpan, pangan dan komersialnya).

Penelitian ini dibagi menjadi tiga topik yaitu: Etnobiologi kekuak di Kepulauan Belitung; Etnoteknologi kekuak di Kepulauan Bangka-Belitung; Pemanfaatan kekuak oleh masyarakat Bangka-Belitung. Penelitian ini difokuskan pada kegiatan pemanfaatan kekuak oleh masyarakat setempat, berupa studi kasus partisipatif melalui wawancara, pengamatan dan diskusi konfirmasi. Dilakukan pada beberapa lokasi yaitu di Pebuar (Bangka Barat) dan Nangkabesar (Bangka Tengah) sebagai lokasi utama; dengan lokasi-lokasi pendukungnya yaitu: Pantai Olifir dan Pantai Burongmandi (Belitung Timur); Semulut (Bangka Barat) dan Pangkalpinang. Untuk keperluan analisis juga dilakukan pengujian dan pengamatan laboratorium di Bogor. Analisis informasi dan data emik (pengetahuan lokal) umumnya dilakukan secara deskriptif-kualitatif, meliputi analisis konten, analisis komparatif dan analisis kronologis, yang dikonfirmasi dengan data etik (ilmu pengetahuan) dari hasil pengujian dan pengamatan di laboratorium.

(8)

Sebagai record data baru, hasil identifikasi pada penelitian ini menunjukkan biota kekuak lebih mendekati genus Xenosiphon sebagai

Xenosiphon sp. Adanya karakteristik kekuak yang berbeda dan khas, mengarahkannya pada pembentukan spesies bahkan subgenus baru, atau bisa diusulkan sebagai spesies ke-148 anggota Filum Sipuncula yang telah teridentifikasi jelas. Ciri khas biota ini secara anatomis yaitu: saluran ususnya tanpa belokan pasca-kerongkongan; dan juga tidak memiliki sepasang otot protraktor, tidak seperti pada anggota genus Xenosiphon lainnya.

Penangkapan kekuak oleh masyarakat setempat di Bangka-Belitung terutama untuk tujuan pangan komersial, menggunakan tiga jenis alat tangkap, yaitu cucok (alat tangkap warisan dari leluhur), rangkang dan serampang (alat tangkap temuan warga setempat), ketiganya dinilai masih tergolong jenis alat tangkap tradisional. Teknik tangkapnya yaitu nyucok, ngerangkang dan nyerampang, semuanya tergolong metode pengambilan dengan pelukaan. Kegiatan penangkapan kekuak yang mengoperasikan ketiga jenis alat tangkap dengan teknik tangkap masing-masing dinilai masih ramah lingkungan.

Kebijakan adat setempat (pemali ngesik dalam kegiatan nyucok dan

kawasan ‘pengopongan timah’) dan pola-pola khas dalam penangkapan komersial (pola musim dan waktu tangkap, serta pola zonasi dan pindah lokasi tangkap) berperan menjamin keseimbangan populasi kekuak di habitatnya dan kelestarian pemanfaatannya oleh masyarakat setempat. Warga masyarakat setempat juga berjasa menjaga pengetahuan teknis terkait pemanfaatan kekuak sebagai warisan dan tradisi leluhur. Mereka pun berperan membuat inovasi terkait penangkapan, menguji, dan mengadaptasikannya di lingkungan sekitar mereka demi keberlanjutan pemanfaatan kekuak.

Masyarakat Bangka-Belitung menggunakan kekuak sebagai bahan umpan dan pangan. Awalnya kekuak merupakan pangan indigenus etnik Seka’, kemudian pangan subsisten etnik Melayu, dan akhirnya menjadi pangan istimewa etnik Tionghoa yang bernilai ekonomis (komersial). Berdasarkan pengetahuan lokal (emik) yang dikaji di sini dan dikonfirmasi secara etik (ilmu), kekuak adalah umpan alami yang bermutu dan potensial dikembangkan sebagai umpan alami komersial penunjang kegiatan memancing profesional ataupun rekreasional, sekaligus sebagai sumber pendapatan potensial bagi nelayan. Selain itu kekuak merupakan bahan pangan khas yang halal, lezat dan bergizi, sejauh ini aman dikonsumsi serta potensial dikembangkan melalui diversifikasi produknya dengan berbagai gagasan kreatif demi peningkatan nilai ekonomisnya, memperpanjang rantai pemanfaatan, membuka lapangan kerja baru dan menambah pendapatan keluarga nelayan dan para penangkap kekuak.

Kekuak panggang kelup adalah kuliner kekuak khas Pebuar yang unik dan inspiratif, memunculkan beberapa gagasan baru pada penelitian ini seperti kekuak sebagai casing sosis edibel untuk dipanggang ataupun digoreng. Kekuak basah atau kering yang digoreng tepung bisa menutupi bentuk aslinya yang kurang menarik. Kekuak kering yang dipotong-potong pendek membuatnya lebih mudah untuk diolah, dikemas, disimpan, dibawa serta lebih menarik dan mudah pula untuk dinikmati.

(9)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

(10)
(11)

STUDI ETNOBIOLOGI, ETNOTEKNOLOGI

DAN PEMANFAATAN KEKUAK (Xenosiphon sp.)

OLEH MASYARAKAT DI KEPULAUAN BANGKA-BELITUNG

Oleh:

YULIAN FAKHRURROZI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 22 Desember 2010, 1. Dr.Ir. Domu Simbolon, MSi.

2. Prof.Dr.Ir. Mulyono S. Baskoro, MSc.

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 01 Pebruari 2011, 1. Prof.Dr.Ir. Daniel R.O. Monintja

(13)
(14)
(15)

KATA PENGANTAR

Puji-yukur kepada Allah SWT, dengan rahmat-Nya disertasi berjudul

‘Studi Etnobiologi, Etnoteknologi dan Pemanfaatan Kekuak (Xenosiphon sp.) oleh Masyarakat di Kepulauan Bangka-Belitung’ inipun akhirnya rampung juga.

Terima kasih sangat kepada Prof.Dr.Ir. John Haluan, MSc., Prof.Dr.Ir. Ari Purbayanto, MSc. dan Prof.Dr. Soewarno T. Soekarto, MSc. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah dengan sabar memberi masukan, arahan dan dukungan. Terima kasih juga kepada bapak-bapak yang berkenan me-review

naskah disertasi dan menjadi penguji luar komisi ujian tertutup dan terbuka. Terima kasih kepada para pengelola dan teknisi di Lab Tanah FAPERTA, Lab Produktivitas dan Lingkungan Perairan FPIK IPB dan Lab Uji Pangan BBPP Pascapanen Pertanian Cimanggu, yang telah memberi fasilitas dan ikut membantu pengujian dan pengamatan sampel-sampel penelitian. Terima kasih juga kepada semua warga masyarakat Bangka-Belitung khususnya di Pangkalpinang, Pebuar, Nangkabesar, Semulut dan Manggar yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini. Terima kasih kepada Rektor Universitas Bangka Belitung dan segenap jajaran yang telah memberi izin, kesempatan dan dukungan demi penyelesaian studi ini. Terima kasih juga kepada rekan-rekan seperjuangan, semua pihak dan individu terkait studi dan penelitian ini yang tidak bisa disebutkan satu demi satu.

Terima kasih teramat dalam buat Ibu-Bapak tercinta atas doa-restu dan kasih-sayang sepanjang hayat, juga adik-adik dan semua ponakanku tersayang serta seluruh keluarga besar penulis, atas pengorbanan dan kesabarannya menanti penyelesaian studi ini, teristimewa buat Pamanda Prof.Dr. Yusril Ihza Mahendra, MSc. atas dukungan moriil-materiil selama ini. Terima kasih khusus buat istriku tercinta yang selalu setia menemani dalam menapaki pahit-getir perjuangan ini.

Semoga Allah membalas semua kebaikan tadi dengan pahala berlipat-ganda, semoga pula karya ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya, amin. Atas segala kesalahan, kekurangan dan kekhilafan, penulis mohon dimaafkan.

Bogor, 01 Februari 2011

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Manggar, Belitung Timur pada 11 Juli 1969 sebagai putra sulung dari Bapak H. Yuslim Ihza dan Ibu Hj. Martini MS, AMa.Pd. Pada 15 Desember 2007 penulis menikah dengan Annita Meilanny, SPd.

Lulus dari SMAN di kota Manggar pada 1988, penulis diterima pada program S1 di IPB Bogor pada tahun yang sama melalui jalur PMDK, namun tidak berlanjut. Pada 1990 penulis diterima kuliah pada program S1 Jurusan Pendidikan Biologi, FPMIPA, IKIP Jakarta melalui jalur UMPTN dan lulus pada Maret 1995. Penulis kemudian bekerja sebagai guru pada beberapa sekolah dan lembaga bimbingan belajar di Jakarta sampai 1998.

Pada 1998 penulis melanjutkan pendidikan S2 Program Studi Biologi (Taksonomi Tumbuhan) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan lulus pada Januari 2001, kemudian melanjutkan S3 Program Studi Teknologi Kelautan (Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Laut) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada 2002, keduanya di Program/Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Sejak tahun 2008 penulis adalah staf pengajar tetap Program Studi Biologi pada Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi Universitas Bangka Belitung.

Terkait penelitian ini, penulis telah menerbitkan karya ilmiah berjudul

“Tiga Jenis Alat Tangkap Kekuak untuk Tujuan Komersial di Bangka: Studi kasus Pebuar (Bangka Barat) dan Pulau Nangkabesar (Bangka Tengah)” di Jurnal Akuatik (ISSN 1978-1652) Volume 3 No. 2 Tahun 2009. Disamping itu karya

(17)

DAFTAR ISI

2.2 Pemanfaatan Sipuncula... 13

2.3 Metode Penangkapan... 15

2.4 Kearifan Lokal dan Pengetahuan Tradisional... 19

2.5 Kepulauan Bangka-Belitung... 23

3 METODOLOGI PENELITIAN... 25

3.1 Metode Umum... 25

3.2 Lokasi dan Waktu... 25

3.3 Pengumpulan Informasi dan Data... 26

3.4 Pengolahan dan Analisis Data... 28

4 KONDISI DAERAH PENELITIAN... 29

4.1 Lokasi Pemanfaatan Kekuak... 29

4.2 Masyarakat Penangkap Kekuak Komersial... 30

5 ETNOBIOLOGI KEKUAK DI KEPULAUAN BANGKA-BELITUNG. 33 5.1 Pendahuluan... 33

6 ETNOTEKNOLOGI KEKUAK DI KEPULAUAN BANGKA-BELITUNG... 75

6.1 Pendahuluan... 75

6.2 Metode Penelitian... 76

(18)

6.3.1 Analisis teknis penangkapan kekuak komersial... 77

7 PEMANFAATAN KEKUAK OLEH MASYARAKAT BANGKA BELITUNG 125 7.1 Pendahuluan... 125

8 PEMBAHASAN UMUM... 181

8.1 Karakteristik, Kondisi dan Status Aspek Terkait Pemanfaatan Kekuak.... 181

8.1.1 Aspek etnobiologi... 181

8.1.2 Aspek etnoteknologi... 182

8.1.3 Aspek pemanfaatan... 184

8.2 Pengembangan Konsep Pemanfaatan Kekuak Berkelanjutan... 187

8.2.1 Aspek biologi... 187

8.2.2 Aspek teknologi... 188

8.2.3 Aspek ekonomi... 190

8.3 Strategi Pengelolaan Pemanfaatan Kekuak yang Adaptif... 193

9 KESIMPULAN UMUM... 197

9.1 Kesimpulan... 197

9.2 Saran... 198

(19)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Klasifikasi anggota Filum Sipuncula - 144 spesies revisi Cutler (1994)…. 13

2 Perbedaan epistemologis antara science dan wisdom (Villorro 1982)... 20

3 Situs-situs pemanfaatan kekuak sebagai lokasi utama penelitian... 29

4 Jumlah penangkap kekuak komersial di Bangka (2007-2009)... 31

5 Perbandingan karakter antara kekuak dan beberapa spesies pembanding... 68

6 Perbedaan karakter antara kekuak dan beberapa genus Sipunculidae... 69

7 Perbandingan tiga jenis alat tangkap kekuak di Bangka... 89

8 Perbandingan teknik tangkap kekuak komersial di Bangka... 91

9 Perbandingan operasi penangkapan kekuak komersial di Bangka... 93

10 Penilaian aspek tradisional alat tangkap kriteria Hutabarat (2001)... 94

11 Karakter pelukaan/pemaksaan pada teknik tangkap kekuak... 96

12 Bedah kasus kebijakan pemali ngesik pada gawe nyucok di Pebuar... 101

13 Bedah kasus kebijakan pengopongan timah di Pebuar... 103

14 Jadwal umum kegiatan musim tangkap kekuak setahun (rekonstruksi)... 105

15 Proses adaptasi inovasi penangkapan kekuak komersial di Pebuar... 116

16 Proses adaptasi inovasi penangkapan kekuak komersial di Nangkabesar.... 116

17 Perbedaan cucok rotan dengan cucok paralon... 119

18 Perbedaan ngerangkang biasa dengan ngerangkang plus... 121

19 Perbedaan pengunaan umpan kekuak antara dua kasus unik... 133

20 Kelebihan/kekurangan penggunaan umpan kekuak di Manggar... 134

21 Kelebihan/kekurangan penggunaan umpan kekuak di Pebuar... 134

22 Karakteristik umpan kekuak menurut pengetahuan nelayan... 135

23 Penilaian umpan kekuak (Djatikusumo 1975 dan Tampubolon 1980)….... 137

24 Komposisi proksimat kekuak segar (%)... 139

25 Komposisi asam amino daging kekuak segar (%)... 140

26 Kategorisasi konsumsi pangan kekuak masyarakat setempat... 148

27 Kandungan proksimat daging kekuak untuk konsumsi (%)... 149

28 Kandungan asam amino daging kekuak untuk konsumsi (%)... 151

29 Kandungan asam lemak produk kekuak... 152

30 Kandungan beberapa unsur penting dalam kekuak... 153

31 Perbedaan mutu daging kekuak segar hasil tiga macam teknik tangkap... 155

32 Harga rata-rata komoditas kekuak basah/segar di Pebuar 2008/2009... 169

(20)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pikir penelitian... 8

2 Sipunculus nudus dan Xenosiphon branchiatus... 9

3 Kedudukan Filum Sipuncula diantara filum-filum lain (Anonim 2009)... 10

4 Hubungan filogenetik antar-genus dalam filum (Cutler & Gibbs)... 11

5 Sipunculus nudus tubuh bagian dalam (Anonimª 2009)... 12

6 Cara menangkap terung di Selat Madura (Subani & Barus 1989)... 16

7 Peta daerah penelitian di Kepulauan Bangka-Belitung... 26

8 Pantai pasir putih berupa beting (1) dan gosong (2)... 38

9 Pantai berterumbu karang (1) dan pantai berhutan bakau (2)... 40

10 Skema posisi marinsekap terkait habitat/lokasi tangkap kekuak... 42

11 Diagram bagian-bagian lingkungan laut (Davis 1986)... 43

12 Tekstur tanah (substrat) beberapa lokasi tangkap kekuak di Bangka... 44

13 Tanda lubang sarang kekuak, mirip jejak anjing... 46

14 Sketsa bentuk umum lubang sarang kekuak... 46

15 Urutan teknik nyucok kekuak untuk keperluan umpan... 47

16 Perkiraan bentuk sarang dan posisi kekuak... 48

17 Kekuak dewasa yang bertelur... 51

18 Kekuak yang masih kecil, ditemukan saat menangkap yang dewasa... 52

19 Kekuak kering dijual di pasar (digantung bersama produk lain)... 54

20 Kekuak hasil nyucok dan nyerampang sedang dijemur... 54

21 Kekuak hasil nyucok baru saja tertangkap (masih utuh)... 56

22 Kekuak segar hasil ngerangkang... 56

23 Sisa-sisa gerak kekuak yang baru terkena cucok... 57

24 Spesimen kekuak utuh hasil nyucok, introvert membesar sebagian... 58

25 Variasi bentuk introvert (anterior) pada spesimen kekuak basah... 58

26 Variasi bentuk ekor (posterior) spesimen kekuak... 58

27 Variasi motif pemukaan luar kulit badan kekuak... 59

28 Badan depan kekuak, variasi susunan POS... 59

29 Permukaan kulit dan POS badan tengah kekuak motif tidak seragam... 59

30 Spesimen kekuak basah hasil ngerangkang (belum dibalik)... 60

31 Bagian dalam tubuh spesimen kekuak basah awetan... 61

32 Bagian dalam spesimen kekuak basah non-awetan... 61

33 Bagian dalam utuh tubuh kekuak... 62

34 Pita-pita otot longitudinal (POL) terpisah (separated)... 63

35 Bentang potongan dinding badan tengah kekuak... 63

36 Anatomi badan atas kekuak dengan kondisi introvert sedang keluar... 64

37 Anatomi badan atas kekuak dengan kondisi introvert sedang masuk... 64

38 Sketsa anatomi tubuh kekuak (gambar rekonstruksi)... 65

39 Nyucok di atas tanah dan di genangan air... 78

40 Proses pengeringan kekuak pada tali (1) dan kayu (2) jemuran... 79

41 Kaum perempuan Pebuar dan gawe nyucok... 80

42 Ngerangkang di kolom air (1 menikam; 2 mengangkat)... 82

43 Kaum lelaki Pebuar dan gawe ngerangkang... 83

44 Nyerampang di air (1 menancap; 2 mengungkit; 3 mengambil)... 86

45 Gawe nyerampang warga Nangkabesar... 87

(21)

47 Nelayan dan perlengkapan menangkap kekuak... 90

48 Sketsa perkiraan cara kekuak terkena alat tangkap... 92

49 Luka kekuak akibat nyucok (1), ngerangkang (2) dan nyerampang (3)... 96

50 Ngesik atau nuis, menyayati permukaan lubang kekuak dengan pisau... 100

51 Skema zonasi tangkap kekuak kasus Pebuar dan Nangkabesar... 106

52 Peta daerah dan lokasi tangkap kekuak kawasan Pebuar... 110

53 Peta daerah dan lokasi tangkap kekuak Pulau Nangkabesar... 111

54 Cucok dari rotan dan pipa paralon... 108

55 Ngerangkang plus, kompresor sebagai alat bantu utama... 120

56 Rancang-ulang alat tangkap kekuak bongkar-pasang... 123

57 Ikan gagok, target mancing hobi... 129

58 Pantai (bekas pelabuhan) Olifir Manggar... 130

59 Pantai Burongmandi... 130

60 Nelayan Pebuar menyiapkan pancing rawai... 132

61 Tembilok di kayu bakau (1), tembilok segar (2), langsung makan (3)... 142

62 Kekuak kering mentah... 143

63 Kekuak segar (1), dimakan mentah langsung (2) atau sebagai lauk (3)... 144

64 Tembilok panggang-lilit khas Belinyu (1 cara lilit; 2 cara panggang)... 142

65 Kekuak panggang-kelup khas Pebuar (1 cara kelup; 2 cara panggang)... 145

66 Pohon kendu atau keremuntingen... 145

67 Kekuak hasil ngerangkang... 155

68 Terung setelah dibalik... 156

69 Kumpulan serat daging (*) kekuak segar yang lepas ... 156

70 Kemasan kekuak kering mentah (1) dan siap saji (2) di pasar/toko... 157

71 Tangkai daun paku resam... 162

72 Kekuak kelup tangkai bambu dan resam... 162

73 Tendangan pada kekuak kelup goreng... 163

74 Penggunaan kekuak sebagai casing sosis edibel... 164

75 Percobaan pewarnaan pada kekuak dengan biji kesumba dan kunyit... 164

76 Kekuak kelup mini goreng biasa (*) dan goreng tepung (#)... 165

77 Menjemur kekuak basah dengan cara dibelah dulu... 166

78 Potongan kekuak kering dibelah dan dibuat keripik goreng... 166

79 Penyimpanan tidak praktis (1) dan pengemasan praktis (2)... 167

80 Rantai pemasaran kekuak kering dan cara pembayaran pengumpul... 174

81 Data kekuak kering 2005 Pebuar dan Nangkabesar... 175

82 Data kekuak kering 2006 dan 2008 Nangkabesar... 176

83 Rantai pemasaran kekuak basah (segar) kasus Pebuar... 179

(22)

DAFTAR LAMPIRAN

(23)

DAFTAR ISTILAH

Anastomosing Terhubung atau bertemunya (interkomunikasi) antara dua pita (jalur) otot yang berlainan pangkalnya

Belokan paska kerongkongan (BPK)

Suatu putaran lepas usus antara kerongkongan dan gulungan terketat (Sipunculus gut)

Bos Tenggkulak; pedagang pengumpul; pengumpul

Coelom Rongga badan (tubuh)

Daerah tangkap Area dimana berada lokasi-lokasi tangkap pada kurun waktu tertentu di suatu wilayah

Etnobiologi Studi ilmiah tentang hubungan dinamik antara masyarakat, biota dan lingkungan dari masa lalu sampai kini

Etnoekologi Bidang etnobiologi yang fokusnya mendokumentasi, menggambarkan dan memahami bagaimana suatu masyarakat memandang, mengelola dan menggunakan seluruh ekosistem

Etnoteknologi Studi ilmiah tentang pengetahuan teknis yang dimiliki oleh masyarakat lokal; atau tentang teknik-teknik yang dimiliki oleh masyarakat tradisional, terutama terkait produksi dan pemanfaatan sumberdaya

Etnozoologi Bidang etnobiologi yang fokusnya hubungan antara hewan dan masyarakat manusia sepanjang sejarah

Gawe Kegiatan; pekerjaan

Introvert Bagian depan/kepala (belalai) yang bisa keluar-masuk rongga badan (coelom)

Kebijaksanaan lokal Pandangan, keputusan dan tindakan yang muncul dari atau dikeluarkan oleh masyarakat lokal berdasarkan pengetahuan, keyakinan, pengalaman dan pemikiran mereka sehingga bernilai positif dari berbagai aspek

Lokasi tangkap Area kegiatan penangkapan pada saat tertentu di suatu daerah tangkap

Ngesik (nuis) Perbuatan menyayati permukaan sarang kekuak dengan benda tajam seperti pisau untuk memperjelas lubangnya agar mudah ditusuk pada saat gawe nyucok

(24)

Otot retraktor (OR) Otot penarik yang fungsinya membantu menarik introvert masuk kedalam coelom

Panggang kelup Cara panggang dengan memasukkan (menyusupkan) separuh badan kekuak kedalam dengan tangkainya

Panggang lilit Cara panggang dengan melilitkan kekuak pada tangkainya

Partisipatori (partisipatif) Berperan-serta atau mengikut-sertakan masyarakat lokal sebagai objek sekaligus subjek penelitian

Pemakaian Tindakan mengenakan/menghabiskan sesuatu yang bernilai pakai untuk menunaikan/menjalankan suatu pekerjaan atau mencapai suatu tujuan

Pemali’ Pantangan atau larangan adat di suatu tempat yang jika dilanggar diyakini akan mendatangkan kutukan bagi pelanggar atau bencana di lingkungan tersebut

Pemanfaatan Semua upaya dan tindakan terkait dalam mengambil sesuatu yang bermanfaat/berguna (sumberdaya) dan mempergunakannya untuk berbagai keperluan/tujuan

Pengetahuan tradisional Segala sesuatu yang diketahui oleh masyarakat lokal yang didapat dari generasi sebelum-sebelumnya atau hasil dari pengalaman mereka selama ini

Penggunaan Tindakan memakai atau menggunakan sesuatu yang berguna atau bermanfaat untuk memenuhi/mencapai suatu keperluan/tujuan atau kebutuhan

Pita otot longitudinal (POL) Lapisan terdalam dari dua lapisan otot dinding badan atau introvert

Pita otot sirkular (POS) Lapisan terluar dari dua lapisan otot dinding badan atau introvert

Ruap Periode surut air laut terendah (bonang)

Takok Bagian kepala alat tangkap yang mirip mata panah Taru’ atau keunda’ Periode surut air laut tanggung (konda)

(25)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai negara kepulauan, Indonesia amat kaya akan keanekaragaman

hayati di lingkungan lautnya. Keanekaragaman budaya berbagai etnik

penduduknya sebagai sumberdaya manusia lokal, makin melengkapi kekayaan

hayati tadi. Setiap etnik berperan menyumbangkan pengetahuan lokal berupa

berbagai bentuk dan pola pemanfaatan sumberdaya alam lokal di lingkungannya.

Bentuk dan pola yang umumnya masih tradisional dan sederhana itu merupakan

potensi dalam upaya pengembangan pemanfaatan sumberdaya yang lestari atau

berkelanjutan.

Bangka dan Belitung adalah salah satu wilayah yang penduduknya berasal

dari masyarakat berbagai etnik, Melayu adalah etnik yang dominan. Sebagai

provinsi kepulauan, penduduk aslinya sebagian besar masyarakat pesisir yang

kehidupannya mendapat pengaruh kondisi laut, meskipun tidak bergantung penuh

pada laut. Dalam kegiatan produksi mereka memanfaatkan sumberdaya hayati di

lingkungan perairan laut untuk memenuhi kebutuhan ekonomi (subsisten dan

komersial), yang umumnya masih tradisional, sederhana dan belum optimal,

terutama yang unik dan khas.

Salah satu sumberdaya perairan pantai yang sudah lama dimanfaatkan

masyarakat Melayu setempat adalah sejenis biota anggota Sipuncula yang disebut

‘kekuak’ atau ‘wak-wak’. Penangkapan biota ini oleh warga masyarakat beberapa

tempat di wilayah ini, sudah rutin dilakukan sebagai kegiatan musiman. Tanpa

pola pemanfaatan yang mempertimbangkan keseimbangan alamiah di lingkungan

mereka, mana mungkin kegiatan rutin itu masih bisa berlangsung hingga kini.

Secara turun-temurun kekuak sudah dipakai nelayan setempat sebagai

umpan, tetapi telah lama pula dijadikan sebagai pangan, khususnya di Bangka.

Sekelompok warga di beberapa tempat di Bangka bahkan sengaja menangkapnya

untuk dijual sebagai produk pangan, kebanyakan pembelinya adalah masyarakat

dari etnik Tionghoa setempat. Meskipun begitu, sampai kini kekuak belum

terdaftar sebagai komoditas hasil laut dalam statistik perikanan setempat,

(26)

penangkapannya, padahal dalam sejarah perkembangan pemanfaatannya banyak

hal menarik yang perlu dipelajari.

Berdasarkan informasi prapenelitian, Jebus (Bangka Barat) dan

Sungaiselan (Bangka Tengah) adalah dua wilayah kecamatan yang menarik dan

mewakili sebagai lokasi utama penelitian ini. Di lokasi pertama tinggal

komunitas penangkap kekuak dengan jenis alat dan teknik tangkap yang sudah

diterapkan turun-temurun, selain itu terjadi pula perkembangan penangkapan

dengan jenis alat/teknik baru. Pengetahuan perihal penangkapan tadi ditransfer ke

lokasi kedua, yang penerapannya melahirkan teknik dan pola tangkap baru, hasil

adaptasi terhadap kondisi lingkungan berbeda.

Informasi ilmiah mendasar tentang pemanfaatan kekuak yang jadi

fenomena dalam kehidupan masyarakat setempat ini belum pernah ada, adalah

alasan utama penelitian ini dilakukan, demi mempelajari dan menggali potensinya

untuk kemudian dikembangkan. Penelitian ini juga harus mengungkap secara

ilmiah pengetahuan masyarakat setempat tentang kekuak dan peranan mereka

sepanjang sejarah pemanfaatannya, terutama terkait biota, penangkapan dan

manfaatnya. Ellen et al. (2000) menyatakan, pengetahuan dan tradisi masyarakat

lokal sering dianggap statis dan tidak berubah padahal pada kenyataannya

mengalami perubahan dan dinamis.

Pengetahuan tradisional sering dilecehkan karena dianggap tidak ilmiah,

tidak atau belum bisa dijelaskan secara kuantitatif (terukur oleh metode

penelitian), walaupun fakta mencatat manfaatnya sering bisa mengatasi persoalan

masyarakat sehari-hari (Soedjito dan Sukara 2006). Kajian dalam penelitian ini

memakai pendekatan analisis studi kasus, terutama dengan perspektif etnobiologi

yang lalu dikembangkan pada perspektif etnoteknologi dan zoologi-ekonomi.

Rifai (2000) menyatakan selama ini etnobiologi banyak terbukti menjadi

instrumen berharga dalam memecahkan berbagai masalah mutakhir global, seperti

penemuan obat tradisional untuk kanker, dan bentuk-bentuk pengelolaan sasi

untuk pemanfaatan sumberdaya hayati tanpa menguras stok. Namun disadari kini,

banyak pengetahuan tradisional keburu lenyap sebelum sempat dicatat atau

(27)

Pendekatan tadi dipilih penelitian ini karena belum pernah ada informasi

ilmiah tentang aspek pemanfaatan kekuak, apalagi aspek biologinya yang khusus

dan rinci karena teknis pengamatannya relatif sulit dan butuh waktu lama. Saat ini

informasi yang tersedia, relatif murah dan mudah dijangkau tentang semua itu

cuma dari pengetahuan masyarakat setempat. Dengan sumberdaya terbatas,

memanfaatkan pengetahuan lokal dalam penelitian ini adalah pilihan terbaik.

Terkait hal ini, Soejito dan Sukara (2006) menyatakan bahwa mengilmiahkan

pengetahuan tradisional amat penting, karena inilah cara paling efektif untuk

menambah dan memajukan khasanah keilmuan di Indonesia, hasilnya pun pasti

bisa diterapkan karena telah lama sekali dipraktekkan melalui tradisi

masing-masing etnik pemiliknya, sekaligus mengangkat citra dan upaya mencari solusi

efektif untuk tiap masalah di masing-masing lokalitas.

Bagi masyarakat nelayan setempat, penghasilan dari kekuak sama

pentingnya dengan kelestarian pemanfaatannya. Secara ekonomi telah terbukti

selama ini kekuak menjadi salah satu sumber pendapatan tambahan mereka, tetapi

peningkatan kegiatan pemanfaatannya cenderung berpotensi mengancam

kelestarian populasinya di habitat. Mengingat pentingnya arti ekonomi dan

kelestarian kekuak bagi mereka, penelitian ini perlu dilakukan mengarah pada

bagaimana agar pemanfaatannya tetap lestari, disamping optimal. Hal ini bisa

dijadikan masukan bagi pemerintah setempat dalam merancang pembangunan

berbasis kekuatan lokal dan kemandirian masyarakatnya.

Paradigma umum kajian etnobiologi selama ini masih menekankan

kegiatan eksplorasi (inventarisasi) semua jenis tumbuhan/hewan yang

dimanfaatkan kelompok etnik pada kawasan tertentu, yang biasanya lebih mudah

diungkap secara kuantitatif. Sedikit bergeser dari situ, kajian penelitian ini

menekankan eksplorasi satu jenis biota yang dimanfaatkan masyarakat lokal

namun bukan merupakan komoditas lazim, yang lebih relevan diungkap secara

kualitatif sebagai penelitian dasar. Pengetahuan lokal tentang jenis biota tadi pun

sudah lebih jauh pada aspek teknis pemanfaatan, sehingga kajian

etnoteknologinya perlu lebih ditekankan mendampingi kajian etnobiologinya.

Terkait pendekatan induktif dan kualitatif, Rifai (2000) mengingatkan

(28)

pada etnobiologi) memang amat menentukan corak ilmu yang dihasilkan, jika dari

semula pendekatan kualitatif sudah berhasil menelurkan berbagai teori etnobotani

yang amat berharga untuk mengembangkan ilmunya, maka legitimasi

pendekatannya tidak perlu dipersoalkan, selama pendekatan itu menjawab sesuatu

persoalan dengan baik, kegunaannya pun pasti akan diterima dengan tangan

terbuka oleh ilmu dan teknologi.

1.2 Perumusan Masalah

Pemanfaatan kekuak oleh masyarakat di Kepulauan Bangka-Belitung

sudah dilakukan secara turun-temurun, tetapi belum ada laporan apalagi kajian

ilmiahnya. Penelitian ilmiah tentang pemanfaatan kekuak di daerah ini bisa

dipertimbangkan sebagai informasi dasar yang dibutuhkan bagi upaya

pengembangan potensi lokal demi meningkatnya kesejahteraan masyarakat

khususnya komunitas nelayan. Inti dari artikel 7 dan 10 dari Code of Conduct for

Responsible Fisheries (FAO 1999) adalah bahwa semua yang terlibat dalam

pengelolaan perikanan harus mengadopsi langkah konservasi jangka panjang dan

pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan, namun harus didasarkan pada bukti

ilmiah terbaik dan tersedia.

Pemanfaatan kekuak oleh masyarakat setempat dengan berbagai aspeknya

memang belum pernah diteliti. Dilihat dari masih terus berlangsungnya kegiatan

rutin musiman masyarakat menangkapnya di beberapa tempat berbekal

pengetahuan lokal, menandakan pemanfaatannya selama ini berkelanjutan, meski

begitu belum diketahui secara ilmiah sampai sejauh mana dan apa jaminannya.

Sementara itu, di tempat-tempat lain kegiatan ini terancam bahkan menghilang,

namun ada pula yang belum optimal. Untuk itu pemanfaatan kekuak terutama

kegiatan penangkapannya adalah masalah yang harus diteliti, demi tersedianya

bukti ilmiah terbaik yang dibutuhkan.

Karakteristik kekuak dan habitatnya adalah aspek biologi yang amat

penting diketahui sebagai informasi dasar dalam upaya menyusun strategi

pengelolaan sumberdaya kekuak (konservasi jangka panjang dan pemanfaatannya

yang berkelanjutan). Sudah berapa banyak sumberdaya hayati yang dimanfaatkan

(29)

ilmiah mendasar dan pengabaian pengetahuan informal (tradisional dan lokal)

tentang aspek ini.

Penangkapan kekuak komersial sebagai proses hulu kegiatan pemanfaatan,

merupakan aspek yang penting diketahui dalam sistem pengelolaan sumberdaya

hayati lokal, penentu seberapa besar keuntungan bagi masyarakat pemanfaatnya

dan seberapa besar tekanan/ancaman terhadap kelestarian populasi di habitatnya.

Selama ini ketiadaan/miskinnya pengetahuan dan informasi ilmiah akibat belum

adanya kepedulian dan studi, telah membiarkan masalah terkait keberlanjutan

pemanfaatan kekuak komersial di wilayah ini. Aspek ini mencakup peralatan dan

teknik tangkap serta pola pemanfaatan dan aturan lokal terkait yang ada.

Aspek manfaat kekuak pun belum pernah diteliti apalagi hal ini

merupakan sebuah dilema. Penggunaannya sebagai umpan dan pangan sebagai

proses hilir kegiatan pemanfaatan, terutama yang bersifat komersial akhirnya

menjadi penyebab utama mengapa biota kekuak ditangkap. Kondisi ini secara

langsung mempengaruhi pola dan aturan pemanfaatannya. Di satu sisi

pengungkapan nilai guna/ekonomisnya berpotensi menguntungkan penangkap dan

konsumen. Diversifikasi penggunaannya pun berpotensi memberi nilai tambah

dan lapangan kerja baru bagi masyarakat. Namun, di sisi lain secara tidak

langsung hal ini pun bisa mengganggu kelestarian populasinya dan mengancam

kelangsungan pemanfaatannya sendiri. Sejauh mana dan bagaimana potensi

penggunaan ini bisa mengoptimalkan pemanfaatan kekuak dengan tetap

berkelanjutan, juga merupakan masalah yang perlu diteliti.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengungkapkan aspek-aspek

pemanfaatan kekuak oleh masyarakat di Kepulauan Bangka-Belitung dan

mengembangkan konsep pemanfaatan berkelanjutannya berbasis kearifan lokal

(local wisdom). Tujuan-tujuan khususnya adalah: (1) Menganalisis aspek

etnobiologi kekuak (etnoekologi, etnozoologi dan taksonomi); (2) Menganalisis

aspek etnoteknologi kekuak (teknis dan operasi, pola dan aturan lokal, serta

dinamika perkembangan penangkapan komersial); (3) Menganalisis pemanfaatan

(30)

Manfaat-manfaat penelitian ini: (1) Terselamatkannya perbendaharaan

sekaligus memperkaya khasanah pengetahuan tradisional (traditional heritage);

(2) Berkembangnya metode kajian pemanfaatan sumberdaya berbasis kearifan

lokal; (3) Sebagai penghargaan atas peran-peran masyarakat lokal dalam

mengelola sumberdaya hayati di lingkungannya; dan (4) Sebagai masukan bagi

upaya pengembangan manfaat komersial kekuak yang lebih menguntungkan dan

berkesinambungan bagi masyarakat lokal (komunitas nelayan dan penangkap).

1.4 Kerangka Pemikiran

Konsep pemanfaatan kekuak berkelanjutan yang sudah ada dalam

kehidupan masyarakat di Kepulauan Bangka-Belitung perlu dikembangkan.

Sebelumnya, harus diketahui lebih dulu bagaimana karakteristik, kondisi dan

status aspek-aspek terkait yang sekaligus menggambarkan bagaimana konsep

pemanfaatan berkelanjutan itu, sebagai bagian dari kearifan lokal. Demi

memperoleh pengetahuan (data dan informasi) tentang itu semua, agar bisa

menjadi bukti ilmiah terbaik dan tersedia, untuk diadopsi sebagai langkah

konservasi jangka panjang dan pemanfaatan berkelanjutan seperti telah digariskan

dalam CCRF, maka dilakukanlah penelitian ini.

Kerangka pikir penelitian ini mencakup input (masukan), proses dan

output (keluaran) yang secara skematik bisa dilihat pada Gambar 1. Bagian input

adalah proses yang terjadi di lingkungan perairan laut dan sumberdaya hayati

lokal dimana terdapat biota kekuak, dan di lingkungan masyarakat dan budaya

lokal dimana terdapat sistem pengetahuan terkait pemanfaatan sumberdaya alam.

Bagian proses merupakan ruang lingkup penelitian ini, mengungkap

kegiatan pemanfaatan kekuak oleh masyarakat lokal, melalui pendekatan analisis

terhadap aspek-aspek biologi, penangkapan komersial dan manfaat. Analisis

aspek biologi (perspektif etnobiologi) mencakup: etnoekologi untuk karakteristik

lingkungan habitat kekuak, etnozoologi untuk karakteristik biota, dan taksonomi

untuk status biosistematik. Analisis aspek penangkapan (perspektif

etnoteknologi), mencakup: teknis penangkapan komersial kekuak, pola dan aturan

lokal pemanfaatan, dan dinamika perkembangan penangkapan. Sedangkan analisis

(31)

umpan, pangan, dan manfaat komersial. Pendekatannya bersifat interdisiplin

(lintasbidang) sesuai subtopik kajian.

Secara umum dalam setiap pendekatan analisis pada bagian proses, data

emik hasil wawancara berupa pengetahuan lokal terkait yang diolah menjadi

informasi, lalu dikonfirmasi dengan data etik dari hasil pengamatan lapangan,

kajian laboratorium dan pustaka (proporsi sesuai kondisi data dan keperluan

analisis). Hasil kajian juga akan menunjukkan gambaran status pengetahuan lokal

terkait dan status kegiatan pemanfaatan kekuak di lokasi-lokasi fokus, terutama

kondisi keberlanjutannya.

Hasil kajian aspek-aspek tadi merupakan informasi berguna untuk menilai

(memperbandingkan) dan mengevaluasi kasus-kasus serupa dan terkait

pemanfaatan kekuak di Bangka dan Belitung, berkenaan dengan upaya konservasi

jangka panjang dan pemanfaatan berkelanjutan biota kekuak. Hasil penilaian/

evaluasi tersebut berguna untuk mengembangkan konsep pemanfaatan kekuak

berkelanjutan berbasis kearifan lokal. Konsep-konsep pengembangan itu

merupakan output yang berguna, sebagai sumber informasi (bahan masukan/

pertimbangan) yang bisa diadopsi dalam menyusun strategi pengelolaan

(32)

Keterangan: SDA sumberdaya alam; SDHL sumberdaya hayati laut; pendekatan analisis

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

proses

Kegiatan pemanfaaan kekuak oleh masyarakat lokal

Masyarakat dan

Langkah konservasi jangka panjang dan pemanfaatan berkelanjutan

Etnoekologi Etnozoologi Taksonomi Etnobiologi

-Belum diketahui bagaimana karakteristik, kondisi dan status aspek-aspek terkait pemanfaatan berkelanjutan (biologi, teknologi dan ekonomi)

-Belum diketahui bagaimana konsep masyarakat lokal terkait pemanfaatan kekuak berkelanjutan dan bagaimana

(33)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Sipuncula

Dari morfologinya biota kekuak tergolong Filum Sipuncula yang lebih

dekat dengan genus Sipuncula dan Xenosiphon. Sipuncula dideskripsikan sepintas

sebagai hewan laut mirip cacing tapi tanpa segmen (Gambar 2), tubuhnya terbagi

menjadi badan utama (trunk) dan belalai (introvert) yang bisa ditarik ke dalam

atau belakang, perbandingan panjang kedua bagian itu bervariasi untuk tiap-tiap

jenis (Cutler 1994). Sipuncula merupakan filum minor dalam kelompok besar

hewan bilateria (Gambar 3), yaitu kelompok hewan yang bersifat tripoblastik,

tubuhnya simetris bilateral dan terbentuk dari tiga macam lapisan benih

(endodermis, mesodermis dan ektodermis).

Gambar 2 Sipunculus nudus dan Xenosiphon branchiatus (Sumber: Anonimª 2009 & Kawauchi 2011)

Meskipun bentuk fisiknya mirip cacing, namun hipotesis filogenetik

terbaru menunjukkan Sipuncula tidak ada jejak ciri penting Annelida seperti

adanya segmentasi dan chaetae (seta). Ciri bersama seperti berbentuk “cacing”,

adanya introvert dan larva trochophore, tidak membatasi mereka secara unik.

Hipotesis kedua menempatkannya lebih dekat ke Mollusca minimal secara fisik

(Gambar 3), beberapa ciri keduanya sama pada saat perkembangan dini,

contohnya setelah fertilisasi dan pembelahan telur, susunan ciri sel keduanya

dalam embrio disebut ‘simpang Mollusca’. Dan hipotesis ketiga, berkenaan

dengan ciri bersama Mollusca dan Sipuncula, dijadikan ciri primitif kelompok

lebih besar yang disebut Trocozoa dimana Annelida juga termasuk di dalamnya

(Cutler 1994).

introvert

trunk

Sipunculus nudus Xenosiphon branchiatus

(34)

Filum ini secara khusus belum dipelajari dengan baik, dilaporkan baru

sekitar 300 jenis yang telah dideskripsi secara formal, semua di laut dan umumnya

perairan dangkal (Kozloff 1990). Ada yang meliang semipermanen dalam pasir

dan lumpur, ada yang di celah karang, dalam kerang kosong, bahkan mengebor

ke dalam karang. Merekapun tidak meninggalkan lubang di permukaan pasir atau

lumpur untuk menunjukkan kehadiran mereka, sehingga relatif sulit untuk

ditemukan dan ditangkap (Romimohtarto dan Juwana 2001).

Gambar 3 Kedudukan Filum Sipuncula diantara filum-filum lain (Anonim 2009)

Berbagai sumber melaporkan perkiraan jumlah jenisnya secara beragam

(147-320), terdapat di berbagai habitat bentik laut dingin, sedang dan tropik pada

semua kedalaman, dari zone intertidal sampai 6.860 m. Hasil revisi Cuttler

(1994), baru 144 spesies yang telah teridentifikasi valid dari 17 genus, 6 famili, 4

ordo dan 2 kelas (Tabel 1), tapi setelah filogeninya direkonstruksi menjadi 147

spesies (Schulze et al. 2005). Hubungan filogenetik antar-genusnya seperti

diusulkan Cutler dan Gibbs (1985) tampak pada Gambar 4, dari kedekatannyha

diperkirakan kekuak adalah salah satu anggota dari Sipunculus atau Xenosiphon.

Porifera

Chordata Hemichordata Echinodermata Lophophorates

Chaetognatha Arthropoda Onychophora Echiura Pogonophora Annelida Sipuncula Mollusca Nemertea Aschelminthes Platyhelminthes Ctenophora Cnidaria

Bilateria

(35)

Gambar 4 Hubungan filogenetik antar-genus dalam filum (Cutler & Gibbs 1985)

Sebagian besar bagian yang bisa dikenali dari sipuncula adalah mulut,

yang dikelilingi massa tentakel dan semuanya bisa dikembalikan (dimasukkan) ke

dalam badan (badan utama). Saluran pencernaan sipuncula mulai dari mulut

hingga ke akhir posterior badan, kemudian berbalik arah dengan cara

berpelin-ganda dan berakhir di anus pada sisi dorsi-ventral badannya, Gambar 5

memperlihatkan skema anatomi (struktur organ dalam) salah satu anggotanya.

Sipuncula mempunyai sebuah coelom (rongga). Meskipun tidak mempunyai

sistem pembuluh darah, cairan interstitial mengangkut oksigen dan nutrien ke

sekeliling tubuh. Sebuah ruang terpisah berisi tentakel-tentakel berlubang, yang

mengalirkan oksigen dari tentakel ke coelom. Dinding tubuhnya kuat dan berotot,

jika terancam sebagian tubuhya ditarik masuk ke dalam menyerupai buah kacang

sehingga dinamai ‘cacing kacang’ (Edmonds 2000).

Perilaku sipuncula relatif sedikit yang diketahui, sebagian besar jenis

menarik tentakel dan introvert secara cepat mengikuti rangsangan taktil. Banyak

jenis sifatnya fototaksis negatif dan sembunyi ke dalam sedimen atau karang jika

(36)

jangkar dan perototan introvert untuk menarik tubuh ke depan. Phascolion

strombus, penghuni cangkang kerang, bisa mengairi cangkangnya untuk

menaikkan kandungan oksigen dengan kontraksi perototan dinding tubuh.

Berenang cuma dilaporkan ada pada Sipunculus yaitu dengan ‘membanatkan’

badan utama secara tidak terarah (Edmonds 2000).

Gambar 5 Sipunculus nudus, tubuh bagian dalam (Anonim 2009)

Sebagian besar sipuncula termasuk Sipunculus dan Xenosiphon dilihat dari

cara makan bersifat sebagai deposit feeder dengan tentakel yang sederhana,

kecuali angota Themiste sebagai filter feeder dengan tentakel bercabang rumit.

Jenis-jenis penghuni pasir mencerna sedimen dan campuran biomassa yang

dikumpulkan dengan tentakel-tentakel. Tentakel jarang tampak di atas dasar laut

selama siang hari, mungkin dijulurkan pada malam hari untuk memeriksa dan

mengambil sedimen di sekeliling sebagai partikel makanan. Jenis penghuni

karang memakai kait-kait introvertnya, sebagian besar pada malam hari, untuk

mengikis sedimen dan organisme epifauna dari permukaan karang sekelilingnya

(Cutler 1994). Dilaporkan oleh Jeuniaux (1969) bahwa pada usus halus

Sipunculus nudus ada aktivitas kitinolitik tertentu (kitinase dan kitobiase).

Umumnya sipuncula berumah dua, cuma sejenis diketahui hermafrodit

yaitu Nephasoma minutum. Themiste lageniformes bersifat partenogenesis

fakultatif. Aspidosiphon elegans dilaporkan bereproduksi aseksual dengan tunas.

Selain itu pada sipuncula tidak diketahui ada dimorfisme seksual. Gonad cuma

lazim selama periode reproduktif. Gamet dilepaskan ke dalam coelom tempat

pematangan berlangsung. Gamet matang diambil nefridia dan dilepaskan ke air

melalui nefridiofor (Rice 1993).

nephridium

intestine

anus esophagus retractor muscles

ventral nerve chord

mouth

(37)

Sampai kini belum ada jenis sipuncula yang termasuk daftar merah IUCN.

Karena fase larvanya yang panjang, kebanyakan jenisnya tersebar luas. Tingkat

kemelimpahan dari jarang sampai amat umum (kerapatan Themiste lageniformes

bisa sampai 2.000 ekor lebih tiap m²). Perusakan habitat seperti mangrove dan

dasar rumput laut bisa mengancam populasi regionalnya (Rice 1976).

Tabel 1 Klasifikasi anggota Filum Sipuncula - 144 spesies revisi Cutler (1994)

Kelas Ordo Familia Genus Subgenus

Sipunculidea Sipunculiformes Sipunculidae (24) Sipunculus (10) Sipunculus (8)

Austrosiphon (2)

Xenosiphon (2)

Siphonosoma (10)

Siphonomeccus (1)

Phascolopsis (1)

Golfingiiformes Golfingiidae (36) Golfingia (10) Golfingia (9)

Spinata (1)

Phascolosomatidea Phascolosomatiformes Phascolosomatidae (23) Phascolosoma (18) Phascolosoma (16)

Fisherana (2)

Apionsoma (4) Apionsoma (3)

Edmonsius (1)

Antillesoma (1)

Aspidosiphoniformes Aspidosiphonidae (22) Aspidosiphon (19) Akrikos (5)

Aspidosiphon (7)

Paraspidosiphon (7)

Lithacrosiphon (2)

Cleosiphon (1)

2.2 Pemanfaatan Sipuncula

Di luar sipuncula sudah banyak jenis poliket (polichaeta) yang

dimanfaatkan masyarakat lokal di berbagai belahan dunia, baik untuk umpan dan

(38)

Di Samoa dan Fiji setiap Oktober dan November sejenis polychaeta yang disebut

palolo (mbalolo), biasa ditangkap untuk dijadikan makanan. Di Lombok dan

sekitarnya setiap Pebruari ada acara bau nyale, yaitu tradisi masyarakat setempat

menangkap nyale, yaitu sejenis poliket dari marga Neanthes (Nereis). Di Maluku

sejenis poliket serupa yang disebut laor muncul dan ditangkap setiap Maret, juga

dijadikan makanan oleh masyarakat setempat (Romimohtarto & Juwana 2001).

Masih sedikit sekali laporan ilmiah yang menulis tentang pemanfaatan

jenis-jenis sipuncula oleh masyarakat lokal, beberapa informasi menyebutkan

diantaranya meskipun tanpa menyebutkan jenisnya yang mana saja. Di beberapa

bagian dunia para nelayan memakai sipuncula sebagai umpan, sebagian besar

merupakan penghuni pasir yang ukurannya lebih besar. Di Jawa dan bagian barat

Carolina serta beberapa bagian Cina, sipuncula juga dimakan oleh masyarakat

lokal. Romimohtarto dan Juwana (2001) menulis, Phascolosoma lurco yang

dilaporkan paling banyak ditemukan di Malaysia dan Singapura, biasa dijadikan

sebagai makanan bebek. Di Sukolilo, Jawa Timur seperti dilaporkan oleh Subani

dan Barus (1989), masyarakat nelayan setempat memanfaatkan biota sejenis

sipuncula yang disebut terung sebagai makanan yang enak. Di Pulau Nusalaut,

Maluku Tengah, sejenis sipuncula yang disebut sia-sia dilaporkan juga dimakan

masyarakat setempat (Pamungkas 2010).

Khusus tentang kekuak, jenis sipuncula ini biasa digunakan sebagai umpan

oleh para nelayan Kepulauan Seribu, seperti di Pulau Pari. Informasi lain

mengatakan bahwa beberapa tahun menjelang kemerdekaan, di kota Dabo,

Singkep kekuak dijual sebagai makanan ringan di warung-warung kopi. Ada juga

informan mengatakan bahwa kekuak merupakan salah satu makanan hasil laut

yang sering dijual di pasar Kota Palembang, yang kemungkinan dibawa dari

Bangka. Terakhir, Pratomo (2005) melaporkan bahwa uwa-uwa (wak-wak)

dipakai masyarakat nelayan di Pulau Kemujan (Kepulauan Karimunjawa) sebagai

umpan untuk memancing.

Romimohtarto dan Juwana (2001) menulis bahwa Phascolosoma lurco

setelah ditangkap ditaruh dulu semalaman di air tawar, baru kemudian diberikan

kepada bebek. Sedangkan Subani dan Barus (1989) menulis bahwa sejenis

(39)

dijadikan kerupuk terung, yaitu dengan cara mejemur (mengeringkan) dan

menggorengnya. Sejenis sipuncula lainnya dilaporkan menjadi makanan lezat di

kota Xiamen provinsi Fujian, Cina yang dibuat jeli (Edmonds 2000).

Kekuak yang dijual di warung-warung kopi di Dabo, Singkep, merupakan

kekuak kering yang dipanggang sebagai makanan ringan. Di Palembang kekuak

pun dijual di pasar sebagai makanan, sebelum disajikan juga dipanggang dulu lalu

dipukul-pukul dan dinikmati dengan sambal asam, seperti makan cumi atau ikan

juhi kering, merupakan makanan ringan khas warga etnik Tionghoa di Indonesia.

Pemanfaatan anggota Sipuncula sebagai umpan oleh nelayan atau

pemancing ikan, khususnya kekuak seperti di Kepulauan Seribu, tidak jauh

berbeda dengan pemanfaatan anggota poliket, namun kiranya perlu

dikaji-kembangkan lebih lanjut terkait potensinya, terutama potensi komersialnya.

Sebagaimana ditulis oleh Romimohtarto dan Juwana (2001), di Inggris hobi

mancing adalah olahraga yang mewah, sehingga usaha budidaya cacing untuk

umpan, atau lebih tepatnya industri umpan, bisa membuka lapangan kerja baru

yang berpotensi menguntungkan dan menggembirakan berbagai pihak.

Informasi ilmiah (literatur) tentang bagaimana cara mengolah jenis-jenis

sipuncula yang dimanfaatkan, baik untuk umpan dan makanan (pakan) hewan

piaraan maupun terutama untuk makanan (pangan) manusia belum ada. Informasi

tentang kandungan gizinya, sebagai produk pangan dan tinjauan ilmiah mengenai

teknik pengolahannya pun belum pernah ada. Begitupun literatur tentang

kelebihan dan kekurangan sipuncula sebagai umpan dan potensinya sebagai

pakan, juga belum pernah ada. Apalagi tentang kekuak yang belum pernah

diteliti, belum jelas spesies dan kedudukannya dalam taksonomi, karena itu

penelitian ini merupakan rintisannya.

2.3 Metode Penangkapan

Informasi ilmiah tentang cara tangkap anggota Sipuncula yang

dimanfaatkan masih sangat sedikit. Romimohtarto dan Juwana (2001) cuma

menulis bahwa Phascolosoma lurco yang dipakai untuk pakan bebek, ditangkap

dengan menggalinya di rawa mangrove, tanpa menyebutkan dengan alat apa.

Namun, Subani dan Barus (1989) sudah menulis bahwa para nelayan Sukolilo

(40)

dengan garu atau garit dari bambu dan dioperasikan beberapa orang dalam satu

perahu (Gambar 6). Alat itu merupakan satu-satunya jenis alat tangkap terung di

Indonesia. Masyarakat Pulau Nusalaut menangkap sia-sia sejenis Sipuncula di

perairan pantai Maluku Tengah menggunakan linggis (Pamungkas 2010).

Sementara itu, nelayan di Pulau Pari (Kepulauan Seribu) menangkap wak-wak

(kekuak) dengan penusuk sederhana yang terbuat dari sebilah rotan. Pratomo

(2005) juga melaporkan bahwa masyarakat nelayan di Pulau Kemujan (Kepulauan

Karimunjawa) menangkap uwa-uwa (kekuak) dengan pacucu’an dari rotan.

Gambar 6 Cara menangkap terung di Selat Madura (Subani & Barus 1989)

Dengan kategorisasi metode penangkapan ikan yang dirangkum oleh

Brandt (2005), penggunaan alat penusuk dari rotan untuk menangkap kekuak di

Kepulauan Seribu (Pulau Pari) bisa dikategorikan sebagai metode penangkapan

dengan pelukaan (taken by wounding), karena rotan masuk dari mulut ke dalam

rongga tubuh kekuak hampir sepanjang ukurannya. Penggunaan alat garu dan

garit untuk menangkap terung di Sukolilo belum ada keterangan lebih lanjut,

tetapi dari bentuk alat dan cara menggunakan, termasuk metode pengambilan

tanpa pelukaan (without wounding).

Menurut Hutabarat (2001), teknik tangkap tradisional harus memenuhi

empat syarat yaitu: (1) relatif sederhana dan tanpa mesin atau alat elektronik; (2)

(41)

cukup lama diterapkan (minimal 30 tahun); dan (4) dilakukan secara

turun-temurun. Teknik tangkap kekuak di Kepulauan Seribu dan Karimunjawa, juga

teknik tangkap terung di Selat Madura memenuhi semua syarat tersebut. Terkait

sumberdaya atau keanekaragaman hayati lokal, keberadaan teknik-teknik lokal

menurut Alcorn (1996) adalah salah satu wujud tindakan konservasi masyarakat

asli (lokal), tetapi pendapat ini cuma berlaku jika satu jenis alat tangkap cuma

bisa menangkap satu jenis biota saja yang ukuran tubuhnya juga tertentu saja.

Pemanfaatan sumberdaya perikanan laut yang berkelanjutan harus

dilakukan dengan pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab melalui

teknologi berwawasan lingkungan, yang misinya diterjemahkan lagi ke dalam

bentuk teknologi ramah lingkungan (Sudirman 2003). Asian Productivity

Organization (2002) menyatakan bahwa kriteria perikanan berkelanjutan adalah

bagaimana bekerja secara maksimal dan kontinu membantu para nelayan,

sehingga dapat melakukan pemanfaatan yang ramah lingkungan, secara teknik

bisa dilakukan (efektif) dan secara ekonomi (komersial) menguntungkan,

termasuk mendukung penyediaan ketahanan pangan. Menurut Gopankumar

(2002), prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan adalah penggunaan

sumberdaya perikanan jangka panjang yang memperhatikan karakteristik biologi,

ekologi termasuk konservasi dan adanya sharing keuntungan.

Terkait pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab, Pasal 7 (7.1.1) dari

Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO 1999) menyebutkan:

Negara-negara dan semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan perikanan, melalui suatu

kerangka kebijakan hukum dan kelembagaan yang tepat, harus mengadopsi

langkah konservasi jangka panjang dan pemanfatan sumberdaya perikanan

berkelanjutan. Langkah-langkah konservasi dan pengelolaan pada tingkat lokal,

nasional, subregional dan regional, harus didasarkan pada bukti ilmiah terbaik dan

tersedia serta dirancang untuk menjamin kelestarian jangka panjang sumberdaya

perikanan pada tingkat yang dapat mendukung pencapaian tujuan pemanfaatan

optimum, dan mempertahankan ketersediaan untuk generasi kini dan mendatang:

pertimbangan-pertimbangan jangka pendek tidak boleh mengabaikan tujuan ini.

Menurut Baskoro (2006) suatu alat tangkap dikatakan ramah lingkungan

(42)

tidak merusak habitat; (3) menghasilkan ikan berkualitas tinggi; (4) tidak

membahayakan nelayan; 5) produksi tidak membahayakan konsumen; (6)

by-catch rendah; (7) dampak terhadap biodiversitas rendah; (8) tidak membahayakan

ikan-ikan yang dilindungi; dan (9) dapat diterima secara sosial. Semua kriteria ini

ditentukan lebih rinci dengan empat subkriteria penilaian yang berturut-turut

semakin meningkat, namun berlaku pada penangkapan ikan-ikan target umum.

Kriteria tradisional ataupun ramah lingkungan tadi sebenarnya jika dipakai

untuk menilai berbagai jenis alat/teknik tangkap kekuak di lapangan (yang

diterapkan masyarakat lokal dalam kegiatan penangkapan), kemungkinan belum

tentu juga cocok dengan kondisi yang ada, tetapi minimal sebagai acuan pertama

dalam menilai, untuk kemudian disempurnakan (dikembangkan) dengan kriteria

lain yang lebih sesuai fakta di lapangan. Pola-pola pengelolaan tradisional yang

sebagian belum/tidak bisa terbukti secara ilmiah tetapi hasilnya telah terbukti

efektif menjamin keberlanjutan pemanfaatan selama puluhan/ratusan tahun, perlu

dihargai/dihormati (jika tidak bisa diadopsi) karena hal itu merupakan wujud

kepedulian (tangungjawab) masyarakat lokal, yang lebih dulu hadirnya ketimbang

hegemoni kaidah ilmiah modern yang kini mendominasi (banyak diadopsi).

Paradigma klasik dalam perikanan tangkap tradisional adalah bagaimana

agar pemanfaatan sumberdaya perikanan bisa berkesinambungan (sustainabilitas

produksi) sebagai prioritas, barulah kemudian pendapatan yang cukup (cenderung

minimalis). Namun, paradigma dalam perikanan tangkap modern prioritasnya

adalah bagaimana agar produksi dan keuntungan bisa maksimal, barulah

kemudian keberlanjutannya. Pada paradigma perikanan tangkap yang

bertanggungjawab CCRF (FAO 1999) ada istilah ‘hasil tangkap optimum’,

‘efektivitas penangkapan’ dan ‘selektivitas alat tangkap’, atau dengan kata lain

optimalisasi produksi sekaligus keberlanjutannya, pada sisi ini tampak hal ini

lebih mendekati paradigma perikanan tangkap tradisional.

Selama ini orientasi perikanan tangkap tradisional pada prakteknya

cenderung ‘kesinambungan hasil yang cukup’ (penggunaan seperlunya demi hari

ini dan esok) sebagai prinsip kegiatan produksi sistem ekonomi subsisten

(bertahan). Hal itu tergambar dari peribahasa Melayu: “Selagi ada jangan

(43)

“Tinggalkan (sebagian) untuk ular”. Sementara itu, orientasi perikanan tangkap

modern pada prakteknya cenderung ‘aji mumpung’ (oportunis) dan ‘dengan modal

dan risiko besar, untung jauh lebih besar’, sebagai prinsip kegiatan produksi

sistem ekonomi industrial (komersial-kapitalistik). Terkait hal ini Charles (2001)

mengklasifikasi penangkap (nelayan) menjadi empat kelompok utama yaitu:

subsisten, native (indigenus), komersial, dan rekreasional; untuk yang komersial

dibagi lagi menjadi: skala kecil (artisanal) dan skala besar (industrial).

2.4 Kearifan Lokal dan Pengetahuan Tradisional

Kata kearifan berasal dari kata ‘arif yang berarti tahu dan ma’rifat yang

berarti pengetahuan (knowledge), tingkatannya masih di bawah fahm

(pemahaman) dan fiqh (pengertian) (Jazairy 2001), sehingga kearifan lokal sama

saja maknanya dengan pengetahuan lokal (local knowledges). Namun demikian,

telah terjadi proses ‘ameliorasi’ (perluasan) makna kata ‘kearifan’ menyamai

makna wisdom (kebijaksanaan), sebaliknya terjadi proses ‘peyorasi’

(penyempitan) makna kata ‘kebijakan’ menyamai makna policy (keputusan

politis), yang sebenarnya berasal dari kata bijak/bijaksana (wise) yang juga

diartikan arif (makna peyoratif). Oleh karena itulah, kata local wisdom lebih

populer diterjemahkan sebagai ‘kearifan lokal’ daripada ‘kebijaksanaan lokal’

yang sebetulnya secara bahasa adalah lebih tepat.

Pengetahuan tradisional merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat

setempat, merupakan hasil interaksi manusia dengan alam dan lingkungannya

yang berlangsung lama dan turun-temurun (Solihin 2006). Menurut Soekanto

(2000), kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kesenian,

moral, hukum, adat-istiadat dan lain-lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan

yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Pengetahuan tradisional adalah sistem terpadu antara kepercayaan dan

praktek khusus dalam kelompok budaya berbeda (Posey 1996). Pada tradisi

ilmiah Barat, pengetahuan (knowledge) dibedakan dengan science (sains, ilmu),

pengetahuan tradisional pun masih bagian dari wisdom (kearifan/kebijaksanaan).

Menurut Soedjito dan Sukara (2006), selayaknya sistem pengetahuan dunia tidak

cuma dimonopoli pengetahuan formal (sains didikan sekolahan), karena masih

(44)

Tabel 2 Perbedaan epistemologis antara science dan wisdom (Villoro 1982)

SCIENCE WISDOM

Societal Individual Universal Local

General Particular or singular

Unpersonal Personal Abstract Concrete Theoretical Practical Specialized Global

Toledo (1992) dengan mengutip pendapat Villoro (1982), menjelaskan

perbedaan epistemologis antara science dan wisdom (Tabel 2). Melihat

karakteristik wisdom, sebenarnya ‘kearifan’ (kebijaksanaan) lokal cikal-bakalnya

adalah berbagai bentuk ‘kearifan’ (wisdom, kebijaksanaan) dan pengetahuan

(ma’rifat, knowledge) dari seseorang, beberapa individu ataupun sekelompok

warga dalam suatu komunitas masyarakat dengan lokalitas tertentu, yang seiring

perjalanan waktu melembaga sebagai kesepakatan bersama ataupun ditetapkan

sebagai aturan adat/lokal. Jadi kearifan (kebijaksanaan) lokal adalah hasil

pelembagaan kejeniusan masyarakat lokal, yang prosesnya telah, sedang dan akan

terjadi nanti, sebagai pertanda mereka pun belajar dari alam dan pengalaman

(berubah sikap menjadi lebih baik daripada sebelumnya). Hal itu tergambar dari

dua peribahasa Melayu yang kini sudah menjadi umum yaitu “Alam terkembang

menjadi guru” dan “Pengalaman adalah guru yang terbaik”.

Salah satu ciri masyarakat tradisional adalah ketergantungan

(keterbatasan) yang tinggi terhadap lingkungan dan sumberdaya alamnya, terlebih

pada masyarakat tradisional di pesisir dan pulau-pulau terpencil. Ketergantungan

manusia terhadap alam tetumbuhan misalnya, diketahui sudah ada sejak zaman

prasejarah dari bukti-bukti paleoetnobotani (Smith 1986), sebaliknya karena itu

pula peran manusia atau kelompok etnik dengan segala tata-aturan kehidupannya

amat menentukan nasib lingkungannya. Ketergantungan itu mengharuskan

mereka hidup menyatu dengan alam sekitar, atau berusaha agar seimbang antara

kehidupannya dan lingkungannya. Dengan begitu sebisa mungkin mereka hidup

tanpa menimbulkan kerusakan bagi alam, supaya kerusakan tersebut tidak

(45)

Terkait fenomena tadi Lovelock (1979) pernah mengusulkan hipotesis

GAIA, bahwa bumi berfungsi sebagai organisme tunggal, mengatur diri-sendiri

dalam membuat keadaan-keadaan optimum demi kelangsungan hidupnya dengan

keberadaan kehidupan itu sendiri. Implikasinya sebagai ide ilmiah Barat amat

mendekati pemahaman masyarakat asli umumnya, termasuk orang Cina purba,

dimana hubungan manusia dengan alam sepatutnya sebagai partisipan dalam

sebuah sistem kehidupan yang lebih besar (Reichel-Dolmatoff 1976).

Strategi konservasi keragaman hayati mencakup kegiatan memanfaatkan,

mempelajari dan menyelamatkan (Wilson 1995). Sudah jadi kebiasaan masyarakat

lokal, selama masih mau terus memanfaatkan suatu sumberdaya hayati di

lingkungannya, selama itu pula mereka tetap menjaga/menyelamatkannya. Seiring

berjalannya kedua kegiatan itu, proses pembelajaran terkait sumberdaya itu pun

berlangsung, termasuk mekanisme transfer pengetahuannya dalam masyarakat,

antar anggota, generasi, kelompok atau daerah berbeda.

Ellen et al. (2000) menyatakan, pengetahuan dan tradisi masyarakat lokal

sering dianggap statis (tidak berubah) tetapi faktanya berubah (dinamis). Tentang

pandangan skeptis ilmuwan terhadap pengetahuan lokal terkait dilupakannya dan

kesalahpahaman terhadap sistem pengetahuan/pengelolaan lokal, Neis (1992)

mengatakan bahwa pemakaian metode ilmiah adalah suatu keganjilan karena

pengetahuan tradisional punya begitu banyak informasi tidak terucapkan, tetapi

metoda ilmiah berusaha mengurangi, mengujinya dan mengontrol seluruh variabel

lain. Kini pengetahuan tradisional pemanfaatan tumbuhan dan hewan oleh

masyarakat lokal dan pribumi kian banyak menghilang sebelum sempat dicatat/

diketahui para peneliti, padahal informasi itu amat penting bagi kelestarian

pemanfaatan keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam lokal.

Selama ini pengetahuan tradisional terkait kegiatan masyarakat lokal

memanfaatkan keanekaragaman hayati di lingkungannya, telah banyak dikaji

dalam etnobiologi. Sejalan dengan itu cabang-cabang kajian etnobiologi seperti

etnobotani (pengetahuan botanik tradisional/lokal) dan etnoekologi dikembangkan

dalam biologi sebagai disiplin dengan metode tersendiri. Toledo (1992) termasuk

biolog yang berperan mengembangkan etnoekologi sebagai disiplin dengan

Gambar

Gambar 1  Kerangka pikir penelitian
Gambar 3  Kedudukan Filum Sipuncula diantara filum-filum lain (Anonim  2009) b
Gambar 4 Hubungan filogenetik antar-genus dalam filum (Cutler & Gibbs 1985)
Gambar 5  Sipunculus nudus , tubuh bagian dalam (Anonim   2009) a
+7

Referensi

Dokumen terkait

 Jumlah penumpang angkutan laut antar pulau yang datang di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada Februari 2015 tercatat sebanyak 8,87 ribu orang, juga mengalami

 Jumlah penumpang angkutan laut antar pulau yang berangkat dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada Maret 2017 tercatat sebanyak 7,37 ribu orang, naik sebesar

 Jumlah penumpang angkutan laut antar pulau yang berangkat dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada Januari 2017 tercatat sebanyak 10,47 ribu orang, turun

Himpunan Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2015 40 menelaah kesesuaian antara RKA-SKPD dan DPPA-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kebijakan

Pemerintah kepulauan Bangka Belitung menyadari bahwa komoditas lada merupakan komoditas unggulan daerah, namun usaha-usaha yang dilakukan pemerintah daerah dalam

 Jumlah penumpang angkutan laut antar pulau yang datang di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada Maret 2016 tercatat sebanyak 5,79 ribu orang Jumlah tersebut naik

Indeks Kekayaan Jenis (R) maupun Indeks Keanekaragaman Jenis (H) hutan kerangas yang telah 15 tahun ditambang pasir kuarsa lebih tinggi dibandingkan dengan yang baru 5

 Jumlah penumpang angkutan laut antar pulau yang datang di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada November 2014 tercatat sebanyak 20,18 ribu orang, juga