• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Perubahan Harga Sapi Terhadap Permintaan Dan Penawaran Pada Usaha Penggemukan Sapi Bali Di Nusa Tenggara Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Perubahan Harga Sapi Terhadap Permintaan Dan Penawaran Pada Usaha Penggemukan Sapi Bali Di Nusa Tenggara Barat"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PERUBAHAN HARGA SAPI TERHADAP

PERMINTAAN DAN PENAWARAN PADA USAHA

PENGGEMUKAN SAPI BALI DI NUSA TENGGARA BARAT

SASONGKO WIJOSENO RUSDIANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pengaruh Perubahan Harga Sapi terhadap Permintaan dan Penawaran pada Usaha Penggemukan Sapi Bali di Nusa Tenggara Barat adalah benar karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2016.

Sasongko Wijoseno Rusdianto

NIM H363100121

1 Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar

(4)

SASONGKO WIJOSENO RUSDIANTO. Pengaruh Perubahan Harga Sapi terhadap Permintaan dan Penawaran pada Usaha Penggemukan Sapi Bali di Nusa Tenggara Barat. Dibimbing oleh HENY KS DARYANTO, KUNTJORO and ATIEN PRIYANTI.

Usaha penggemukan sapi bali di Nusa Tenggara Barat merupakan produsen sapi siap potong untuk memenuhi kebutuhan daging sapi. Populasi sapi potong di NTB didominasi oleh sapi bali yang memiliki potensi pemasaran baik di tingkat lokal maupun nasional. Sapi bali bakalan tersedia cukup di pasaran untuk mendukung usaha penggemukan. Usaha penggemukan sapi umumnya dilakukan oleh peternak kecil, merupakan sumber pendapatan dan penyerap tenaga kerja di pedesaan. Dalam sistem pemasaran sapi usaha penggemukan sering kali dihadapkan dengan perubahan harga sapi (fluktuasi harga sapi), oleh karena itu peternak harus selalu mencari informasi harga untuk melakukan keputusan pada manajemen usaha penggemukan. Penelitian ini bertujuan : 1) Mendeskripsikan kinerja usaha penggemukan sapi bali di Nusa Tenggara Barat, 2) Menganalisis pengaruh perubahan harga sapi potong di tingkat pasar terhadap permintaan sapi bakalan dan penawaran sapi hasil penggemukan pada usaha penggemukan ternak sapi bali di Nusa Tenggara Barat, 3) Menganalisis dampak perubahan harga sapi potong di tingkat pasar terhadap pendapatan pada usaha penggemukan sapi bali di Nusa Tenggara Barat.

Penelitian dilakukan bulan Juli sampai September tahun 2014, pada 44 peternak sapi dengan jumlah penjualan sapi satu tahun terakhir 113 sapi, pada usaha penggemukan sapi bali. Lokasi penelitian dan kelompok sampel ditentukan secara

purposive pada dua kelompok peternak di dua desa : Repok Nyerot dan Gemel di

Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah, dengan pertimbangan kedua desa dapat merepresentasikan usaha penggemukan sapi bali yang dilakukan di wilayah NTB. Data yang dikumpulkan : 1) Data sekunder yaitu data harga sapi potong lintas waktu bulanan dan tahunan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB; 2) Data primer hasil wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur. Analisis data dengan sistem persamaan simultan dengan Two-Stage Least Square

(2SLS), menggunakan perangkat lunak Statistic Analysis System (SAS versi 9.0). Hasil analisis menunjukkan bahwa perubahan harga sapi potong di tingkat pasar berpengaruh negatif terhadap permintaan sapi bakalan. Sapi bakalan adalah input utama usaha penggemukan, pembelian sapi bakalan dilakukan di pasar hewan menyebabkan harga sapi bakalan yang diterima mengikuti perubahan harga sapi potong di tingkat pasar. Permintaan sapi bakalan dipengaruhi secara signifikan dan negatif oleh harga sapi bakalan yang dibayar peternak.

Permintaan sapi bakalan memberikan pengaruh signifikan dan positif terhadap penawaran sapi hasil penggemukan, sehingga kenaikan harga sapi bakalan dapat memberikan dampak pada menurunnya penawaran sapi hasil penggemukan. Perubahan harga sapi potong di tingkat pasar tidak mempengaruhi penawaran sapi hasil penggemukan, karena penjualan sapi hasil penggemukan sebagian besar dilakukan di luar pasar hewan sehingga penawaran sapi hasil penggemukan lebih dipengaruhi oleh harga sapi hasil penggemukan.

(5)

limbah pertanian. Pada sistem pemeliharaan tradisional umumnya kualitas pakan (hijauan dan limbah pertanian) kurang diperhatikan sehingga memerlukan pakan dedak untuk meningkatkan produksi sapi.

Permintaan input-input produksi saling terkait antara permintaan pakan hijauan dengan pakan limbah pertanian dan permintaan pakan dedak. Biaya terhadap input-input pakan hijauan, pakan limbah pertanian dan pakan dedak menentukan besarnya biaya pakan. Permintaan sapi bakalan dipengaruhi oleh biaya pakan, semakin besar biaya pakan maka permintaan terhadap sapi bakalan meningkat sehingga meningkatkan penawaran sapi hasil penggemukan. Penerimaan ditentukan oleh harga sapi dan penawaran sapi hasil penggemukan. Pendapatan usaha penggemukan sapi tergantung pada keuntungan per ekor sapi dan jumlah penjualan sapi per tahun.

Simulasi menunjukkan bahwa dengan menurunkan harga sapi bakalan menyebabkan kenaikan permintaan sapi bakalan dan menaikkan penawaran sapi hasil penggemukan, sehingga berdampak pada peningkatan pendapatan per tahun. Selanjutnya kenaikan harga sapi hasil penggemukan menyebabkan kenaikan produksi dan penawaran sapi hasil penggemukan yang berdampak terhadap peningkatan pendapatan per tahun.

Disimpulkan bahwa usaha penggemukan sapi bali di Nusa Tenggara Barat bersifat tradisional, pemberian pakan umumnya berkualitas rendah dengan berat badan sapi bakalan rata-rata 208 kg/ekor dalam waktu penggemukan 183 hari menghasilkan sapi penggemukan rata-rata 257 kg/ekor. Perubahan harga sapi berpengaruh terhadap permintaan sapi bakalan tetapi tidak berpengaruh terhadap penawaran sapi hasil penggemukan. Harga sapi bakalan berpengaruh negatif terhadap permintaan sapi bakalan dan harga sapi hasil penggemukan berpengaruh positif terhadap penawaran sapi hasil penggemukan. Produksi sapi dipengaruhi secara positif oleh umur sapi bakalan dan pakan dedak. Pendapatan usaha penggemukan ditentukan keuntungan yang diperoleh dan jumlah penjualan sapi per tahun. Implikasinya bahwa diperlukan kebijakan pemerintah untuk mendukung usaha penggemukan dalam meningkatkan pendapatan peternak adalah melalui subsidi terhadap harga sapi bakalan dan harga sapi hasil penggemukan.

(6)

SASONGKO WIJOSENO RUSDIANTO. The Effect of Fluctuations in Cattle Price on the Supply and Demand in the Bali-Cattle Fattening Business in West Nusa Tenggara. Supervised by HENY KS DARYANTO, KUNTJORO and ATIEN PRIYANTI.

The bali cattle fattening business in West Nusa Tenggara is producer of ready-to-slaughter cattle to fulfil needs of beef. The population of beef cattle in NTB are dominated by bali cattles and has a lot of potential for marketing both in the local and national level. The number of bali cattle feeders in the market must be adequate in order to support the fattening business. The fattening business is mostly conducted by small-scale farmers and it plays an important role in the people’s income, providing employment and fulfilling the need for beef. The marketing system for fattened beef cattle often faces changes in the price of cattle (fluctuations in cattle price); therefore, the farmers must always be on the lookout for information regarding the price of cattle in order to make managerial decisions in their fattening business. This study aims to: 1) describing the performance of bali cattle fattening in West Nusa Tenggara, 2) analyze the effect of fluctuations in the beef cattle price at market level on the demand for feeders and the supply of fattened cattle in the bali-cattle fattening business in West Nusa Tenggara, 3) to analyze the effect of fluctuations in beef cattle price at market level on income of the bali-cattle fattening business in West Nusa Tenggara.

This study was conducted between July and September 2014 on 44 cattle farmers who had sold 113 heads of cattle in the previous year in the bali-cattle fattening business. The study location and respondents were determined purposively from two farmers groups in two villages, Repok Nyerot and Gemel in Jonggat Sub-district, Central Lombok Regency, because these two villages could represent the bali-cattle fattening business conducted in West Nusa Tenggara. The data that were collected included: 1) secondary data, the monthly and annual time-series data from the Animal Husbandry and Animal Health Agency of West Nusa Tenggara Province; 2) data compiled through interviews using a structured list of questions. The data were analyzed using the simultaneous equation system with the Two-Stage Least Square (2SLS) method with help from the Statistic Analysis System (SAS version 9.0) software .

The results of the analysis demonstrate that changes in the price of beef cattle in market level negatively affect to the demand for feeders. The feeders are the main input in the cattle-fattening business, and purchase of feeders in the livestock market causes the price of the feeders that will be received to follow the changes in the price of beef cattle at market level. The demand for feeders is significantly and negatively influenced by the price of feeders paid.

(7)

type of feed given daily to increase productivity. An increase in the price of bran does not decrease the demand for bran because it depends on the demand for feed in the form of roughage and agricultural waste products. In the traditional husbandry system the quality of feed (roughage and agricultural waste products) is usually neglected; therefore, bran is needed to increase cattle productivity.

There is a relationship between the demands for production inputs, namely the demand for roughage and the demand for agricultural waste products and feed. The cost of inputs, roughage, agricultural waste, and bran, determine the cost of feed. The demnd for feeders is influenced by feed cost; the higher the feed cost, the higher the demand for feeders which will lead to an increase in the fattened cattle supply. The revenue is determined by the price of cattle and the supply of fattened cattle. The income from the cattle fattening business is depend by the profit per head of cattle and the number of cattle sold annually. An increase in feeder price could decrease the demand fore feeders and decrease the supply of fattened cattle, leading to a decrease in the profit received. The simulation demonstrates that decreasing the price of feeders causes an increase in the demand for feeders and increase the supply of fattened cattle which in the end would increase the annual income. Furthermore in which the increase in fattened cattle price causes an increased production and supply of fattened cattle, resulted in an increased annual income.

Conclusion that Bali cattle fattening business in West Nusa Tenggara are traditional, the feeding is generally of low quality with a weight of cows on average 208 kg / head within 183 days of fattening cattle feedlot produces an average of 257 kg / head. Changes in cattle price affect the demand for feeders but do not have any influence of the supply of fattened cattle. The price of feeders has a negative influence on the demand for feeders and the price of fattened cattle has a positive influence on the supply of fattened cattle. Cattle production is positively influenced by the age of the feeders and bran.The income from the fattening business is determined by the profit received and the number of cattle sold annually. The implications that needs the government policy for support order to aid the fattening business to increase the farmers’ income, the government should subsidize the price of feeders and the price of fattened cattle.

(8)

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

PENGGEMUKAN SAPI BALI DI NUSA TENGGARA BARAT

SASONGKO WIJOSENO RUSDIANTO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS

Prof (R) Dr. Ir. I Wayan Rusastra, APU

Penguji pada Sidang Promosi : Prof. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS

(11)

Tenggara Barat

Nama Mahasiswa : Sasongko Wijoseno Rusdianto

(12)
(13)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya tulis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli sampai bulan September 2014 ini ialah perubahan harga sapi, dengan judul Pengaruh Perubahan Harga Sapi terhadap Permintaan dan Penawaran pada Usaha Penggemukan Sapi Bali di Nusa Tenggara Barat.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Komisi Pembimbing, Ibu Dr Ir Heny KS Daryanto, MEc, Bapak Prof Dr Kuntjoro dan Ibu Dr Ir Atien Priyanti, MSc yang telah memberikan pembimbing dan arahan landasan teori, sistematika berpikir dan pengamatan empirik dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi.

2. Penguji Luar Komisi pada Ujian Prakualifikasi Lisan, Bapak Dr Ir Parulian Hutagaol, MS, dan Ibu Dr Ir Anna Fariyanti, MS dan Ibu Dr Meti Ekayani, S Hut, MSc wakil Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian.

3. Penguji luar komisi pada Ujian Tertutup dan Tim Promosi luar komisi : Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS dan Prof (R) Dr Ir I Wayan Rusastra, APU. Bapak Dr. Ir. Lukman M Baga, MS yang mewakili Dekan Pascasarjana pada pelaksanaan Ujian Tertutup. Bapak Dr. Ir. Yusman Syaukat, MS yang mewakili Rektor Institut Pertanian Bogor pada pelaksanaan Sidang Promosi.

4. Koodinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian, Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS yang telah memfasilitasi selama studi, pelaksanaan penelitian serta penulisan disertasi.

5. Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah menerima untuk melaksanakan studi.

6. Staf Pengajar pada Fakultas Eknomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama melaksanakan studi

7. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan studi dan Staf Badan Litbang Pertanian yang telah membantu kelancaran administrasi.

8. Dr Ir Dwi Praptomo S, MS, Dr Ir Ketut Puspadi, MEd dan Dr Ir Tanda Panjaitan, MSc yang telah memberikan dukungan pada penelitian.

9. Almarhun ayahanda Rusman Siswowarsokusumo, ibunda Siswanti, istri Farida Sukmawati M, SPt, ananda Febrianti Retno Wulaningrum, Syaiful Anwar Budisantoso dan adinda Irawati Sesotyaningrum, SE serta seluruh anggota keluarga atas dukungan dan do’a selama pelaksanaan studi.

10.Pegawai Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa Tenggara Barat, Pegawai Pasar Hewan Praya dan Masbagik, Kelompok peternak Pade Angen dan Pantang Mundur.

11.Rekan-rekan, staf pada Sekretariat Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, atas bantuan dan dukungan selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2016.

(14)

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 5

Kebaruan Penelitian 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 9

Usaha Penggemukan Sapi di NTB 9

Perubahan Harga Sapi 10

Permintaan Sapi Bakalan 11

Produksi Usaha Penggemukan Sapi 12

Biaya Produksi Usaha Penggemukan Sapi 13

Lama Waktu Penggemukan 13

Pendapatan Usaha Penggemukan Sapi 14

Kebijakan Usaha Sapi Potong 15

3 KERANGKA TEORITIS 17

Faktor Produksi Sapi 17

Biaya Produksi Usaha Penggemukan Sapi 17

Keuntungan Usaha Penggemukan Sapi 18

Waktu Produksi 20

Kerangka Pemikiran Konseptual 22

4 METODE PENELITIAN 27

Jenis dan Sumber Data 27

Lokasi Penelitian 27

Penentuan Sampel 27

Variabel dan Pengukurannya 29

Analisis Data 32

Spesifikasi Model 32

Blok Permintaan Sapi Bakalan 33

Blok Produksi 34

Blok Penawaran Sapi Hasil Penggemukan 38

Blok Pendapatan Usaha Penggemukan 39

Identifikasi Pendugaan Model 44

Validasi dan Simulasi Model 44

Validasi Model 44

Simulasi Model 45

5. DESKRIPSI USAHA PENGGEMUKAN SAPI BALI 47

Profil Usaha Penggemukan Sapi 47

Sistem Usaha Penggemukan Sapi 53

(15)

Hasil Penggemukan Sapi 56

Penjualan Sapi Hasil penggemukan 61

Pendapatan dari Penjualan Sapi 62

6. PENDUGAAN MODEL PENGGEMUKAN SAPI BALI 65

Analisis Ragam 65

Permintaan Sapi Bakalan 66

Produksi Sapi 69

Permintaan Input Pakan Hijauan 70

Permintaan Input Pakan Limbah Pertanian 71

Permintaan Input Pakan Dedak 72

Permintaan Input Tenaga Kerja 73

Lama Waktu Penggemukan 73

Penawaran Sapi Hasil Penggemukan 74

Pendapatan Usaha Penggemukan Sapi 77

7 DAMPAK PERUBAHAN HARGA SAPI TERHADAP PENDAPATAN 79

Validasi Model Persamaan Simultan 79

Dampak Kebijakan terhadap Pendapatan Usaha Penggemukan 81

Dampak Perubahan Harga Sapi Bakalan 81

Dampak Perubahan Harga Sapi Hasil Penggemukan 83

8. UPAYA MENGATASI PERUBAHAN HARGA SAPI 85

Harga Sapi Bakalan 85

Harga Sapi Hasil Penggemukan 86

Perubahan Harga Sapi terhadap Pendapatan Usaha Penggemukan 87

9. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 89

Simpulan 89

Implikasi Kebijakan dan Saran Penelitian Lanjutan 89

(16)

2 Sampel penelitian 28 3 Simulasi perubahan harga sapi bakalan dan harga sapi hasil

penggemukan

45

4 Karakteristik peternak yang menjadi responden dalam penelitian pada usaha penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun 2014

51

5 Klasifikasi responden pada usaha penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun 2014

51

6 Nilai rata-rata dan standar error mean variabel pada usaha penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun 2014

63

7 Analisis ragam persamaan struktural model penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun 2014

65

8 Hasil estimasi parameter persamaan permintaan sapi bakalan pada usaha penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun 2014

69

9 Hasil estimasi parameter persamaan produksi sapi pada usaha penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun 2014

70

10 Hasil estimasi parameter persamaan permintaan hijauan pakan hijauan pada usaha penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun 2014

71

11 Hasil estimasi parameter persamaan permintaan pakan limbah pertanian pada usaha penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun 2014

71

12 Hasil estimasi parameter persamaaan permintaan pakan dedak pada usaha penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun 2014

72

13 Hasil estimasi parameter persamaan permintaan tenaga kerja pada usaha penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun 2014

73

14 Hasil estimasi parameter penggunaan waktu penggemukan pada usaha penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun 2014

74

15 Hasil estimasi parameter persamaan penawaran sapi potong pada usaha penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun 2014

77

16 Pendapatan usaha penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun 2014

78

17 Validasi model penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun 2014

80

(17)

1 Fluktuasi harga ternak sapi 2009-2013 (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB)

3

2 Kerangka pemikiran konseptual pengaruh perubahan harga terhadap

pembelian sapi bakalan dan penjualan sapi hasil penggemukan 26 3 Hubungan antar variabel dalam model persamaan simultan 41 4 Harga sapi potong di tingkat pasar, persentase pembelian sapi bakalan

dan persentase penjualan sapi hasil penggemukan pada Kabupaten Lombok Tengah tahun 2014

53

5 Perubahan harga sapi potong terhadap pembelian sapi bakalan pada usaha penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun 2014

67

6 Harga sapi bakalan terhadap pembelian sapi bakalan pada usaha penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun 2014

68

7 Perubahan harga sapi potong di tingkat pasar terhadap penjualan sapi hasil penggemukan pada usaha penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun 2014

75

8 Pengaruh harga sapi hasil penggemukan terhadap penjualan sapi hasil penggemukan pada usaha penggemukan sapi bali di Kabupaten Lombok Tengah tahun 2014

76

DAFTAR LAMPIRAN

1 Daftar nama variabel dalam model 97

2 Spesifikasi model usaha penggemukan sapi bali 99 3 Program estimasi model usaha penggemukan sapi bali 104 4 Hasil estimasi model usaha penggemukan sapi bali 105 5 Program simulasi model usaha penggemukan sapi bali 113 6 Hasil simulasi model usaha penggemukan sapi bali 114 7 Program simulasi model usaha penggemukan sapi bali, harga sapi

bakalan diturunkan sebesar 10 persen

115

8 Hasil simulasi model usaha penggemukan sapi bali, harga sapi bakalan diturunkan sebesar 10 persen

116

9 Program simulasi model usaha penggemukan sapi bali, harga sapi hasil penggemukan dinaikkan sebesar 10 persen

117

10 Hasil simulasi model usaha penggemukan sapi bali, harga sapi hasil penggemukan dinaikkan sebesar 10 persen

(18)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sapi potong adalah ternak penghasil daging yang merupakan bahan pangan sumber protein yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pemenuhan kebutuhan daging sapi nasional sebagian besar berasal daerah-daerah produsen sapi di wilayah Indonesia dan dari impor. Kebutuhan daging sapi meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, meningkatnya pendapatan rumah tangga dan kesadaran akan bahan pangan berkualitas. Konsumsi daging sapi nasional pada tahun 2009 sampai 2012, meningkat rata-rata sebesar 4 persen per tahun. Peningkatan produksi rata-rata sebesar 7.5 persen per tahun dan peningkatan pemotongan sapi rata-rata 4.7 persen per tahun untuk memenuhi peningkatan kebutuhan konsumsi (Ditjennak Kemtan 2013).

Pemerintah melalui “Program Swasembada Daging Sapi” (PSDS) berupaya meningkatkan kesejahteraan peternak sapi melalui pemberdayaan peternak dan mengoptimalkan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi. Di samping itu upaya tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sapi dan daging sapi secara swadaya agar dapat mengurangi impor. Pemenuhan kebutuhan yang berasal dari impor berdampak negatif pada menurunnya harga sapi dan daging sapi lokal. Hal ini menyebabkan menurunnya peluang usaha bagi peternakan sapi berskala kecil di dalam negeri dan mengganggu produktivitas sapi lokal (Matondang dan Rusdiana 2013; Purba dan Hadi 2012).

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah salah satu produsen sapi potong nasional, dengan potensi populasi sapi potong sekitar 4.6 persen dari total populasi nasional (Soedjana et al. 2013). Untuk mendukung PSDS, Pemerintah provinsi NTB mengeluarkan program “Bumi Sejuta Sapi” (BSS) dilaksanakan sejak tahun 2009 (Pemda NTB 2009). Pada awal pelaksanaan BSS tahun 2009 sampai 2010 jumlah pengeluaran sapi potong menurun sebesar 32.09 persen (Tabel 1), hal ini diduga disebabkan pembatasan pengeluaran sapi potong oleh Pemerintah NTB pada awal pelaksanaan program BSS. Tahun 2011 peningkatan pengeluaran sapi potong sebesar 167 persen (Disnak NTB 2014).

Tabel 1 Populasi, pemotongan dan pengeluaran sapi potong di NTB

Uraian 2009 2010 2011 2012 2013

Populasi (ekor) 680.544 695.951 784.037 916.560 1.002.731 Pemotongan (ekor) 31.823 47.930 50.511 55.103 46.593 Produksi daging

(ton/thn) 7.912 9.668 10.958 12.431 13.884 Pengeluaran sapi

potong (ekor) 8.248 5.601 11.713 13.590 20.793 Sumber : Disnak NTB (2009 - 2013)

(19)

sebesar 2.07 kg/ kapita/tahun, dengan laju peningkatan konsumsi daging sapi dari tahun 2009 sampai 2012 rata-rata sebesar 16 persen per tahun. Artinya jumlah sapi potong yang dibutuhkan meningkat setiap tahun, namun persoalan pada berat sapi potong di pasaran perlu mendapat perhatian dalam pemenuhan kebutuhan daging sapi. Pemotongan sapi yang tidak dikontrol akan mengarah pada pemotongan sapi dengan berat badan yang rendah (kurang dari 250 kg), sehingga untuk memenuhi kebutuhan daging sapi yang sama diperlukan jumlah sapi yang lebih banyak (Purba dan Hadi 2012). Pada dasarnya pemerintah tidak membenarkan pemotongan sapi dengan berat badan kurang dari 250 kg, tetapi tidak mudah untuk melakukan pengawasan secara menyeluruh (Rutherford 2004).

Produsen sapi potong di NTB adalah peternakan rakyat dengan skala usaha kecil. Usaha ternak sapi potong merupakan salah satu sumber pendapatan daerah dan penyerap tenaga kerja di pedesaan (Pemda NTB 2009). Jumlah rumah tangga pertanian di NTB adalah sebanyak 600.613 KK dan sekitar 47.69 persen adalah rumah tangga pada sub sektor peternakan sapi (BPS 2013). Dikenal 2 tipe usaha peternakan sapi potong yaitu usaha perbibitan dan usaha penggemukan. Pengembangan usaha sapi potong baik melalui usaha perbibitan maupun usaha penggemukan telah dilaksanakan pada program PSDS dan BSS melalui bantuan modal dan pendampingan oleh sarjana peternakan.

Usaha penggemukan (fattening) sapi merupakan produsen sapi siap potong. Sapi dipelihara dalam kandang sepanjang hari pada kandang komunal dengan sistem penyediaan pakan secara tradisional (Rutherford 2004). Usaha penggemukan sapi yang bersifat komersial belum banyak dilakukan pada peternakan rakyat. Hal ini disebabkan keterbatasan pengetahuan dan sumber daya yang dimiliki seperti pakan yang diberikan adalah jenis pakan yang tersedia di sekitarnya seperti rumput alam, rumput gajah, limbah pertanian dan dedak, menyebabkan produksi sapi relatif rendah. Rendahnya produksi harian (pertambahan berat badan harian) menyebabkan penggemukan sapi membutuhkan waktu yang relatif panjang. Variasi lama waktu penggemukan tergantung pada berat sapi bakalan pada awal penggemukan, berat sapi pada saat dijual dan pertambahan berat badan harian (Dahlanudin et al. 2013; Panjaitan et al. 2013).

Sapi bali dikenal sebagai salah satu plasma nutfah provinsi NTB, dengan jumlah sekitar 90 persen dari total populasi. Penyebarannya yang luas sehingga terdapat di seluruh wilayah NTB, dan bakalan sapi bali relatif tersedia di pasaran. Hal ini berpotensi mendukung usaha penggemukan sapi di NTB (Purba dan Hadi 2012). Pengembangan usaha penggemukan sapi bali sekaligus merupakan upaya melestarikan plasma nutfah, untuk mengurangi dampak negatif dari sapi persilangan yaitu salah satunya adalah penurunan daya adaptasi. Hal ini semakin memperkuat posisi sapi bali untuk dikembangkan sebagai sapi potong (Matondang dan Rusdiana 2013); Dirpangtan 2013). Sapi bali juga memiliki potensi pasar yang luas baik di tingkat lokal maupun nasional, terbukti dengan meningkatnya permintaan sapi potong yang berasal dari luar daerah setiap tahun.

(20)

tingkat pasar diduga mempengaruhi harga sapi bakalan dan harga sapi hasil penggemukan. Pola perubahan harga sapi yang berbeda setiap tahun menyebabkan peternak harus melakukan pertimbangan dan keputusan pada permintaan input sapi bakalan maupun penawaran output sapi hasil penggemukan. Oleh karena itu peternak selalu mencari informasi harga sapi di tingkat pasar untuk dapat memutuskan permintaan sapi bakalan dan penawaran sapi hasil penggemukan.

Perubahan harga sapi potong di tingkat pasar pada Gambar 1, menunjukkan pada tahun 2009 sampai 2011 harga sapi potong cenderung stagnan, namun pada tahun 2012 cenderung meningkat hingga tahun 2013. Rutherford (2004) menyatakan bahwa terbentuknya harga sapi di tingkat pasar ditentukan secara kompleks oleh faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran sapi potong dan perubahan harga terjadi karena pengaruh kondisi pasar.

Gambar 1 Fluktuasi harga ternak sapi 2009-2013 (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB)

(21)

Perumusan Masalah

Perubahan harga sapi potong di tingkat pasar menentukan tingkat harga sapi bakalan yang harus dibayar peternak. Harga sapi menjadi pertimbangan penting dalam memutuskan berat sapi bakalan yang dibeli, penyerapan biaya terbesar adalah pada pembelian sapi bakalan. Dengan demikian perubahan harga sapi potong menentukan perolehan pendapatan usaha penggemukan. Pada penawaran sapi hasil penggemukan, harga ditentukan oleh pembeli sapi. Harga sapi hasil penggemukan ditetapkan oleh pembeli sapi, juga ditentukan oleh harga sapi potong di tingkat pasar.

Perilaku ekonomi peternak sebagai pengelola usaha penggemukan sapi mewujudkan keputusan pada permintaan sapi bakalan dan penawaran sapi hasil penggemukan dengan pertimbangan harga sapi. Pengetahuan dan pengalaman peternak menjadi salah satu kekuatan dalam menentukan langkah yang dilakukan untuk menerapkan strategi usaha penggemukan sapi, yaitu keputusan untuk menyediakan sapi bakalan dan penjualan sapi hasil penggemukan. Informasi perubahan harga sapi potong di tingkat pasar umumnya besifat relatif, sehingga seringkali peternak salah menentukan strategi usaha dan tidak memberikan menguntungkan.

Upaya dilakukan peternak untuk menghadapi kenaikan harga sapi bakalan umumnya dilakukan dengan cara tradisional seperti penundaan pembelian sapi bakalan jika terjadi kenaikan harga sapi. Peternak tidak mempertimbangkan bahwa penundaan pembelian sapi bakalan menyebabkan usaha penggemukan tidak produktif. Sebaliknya di dalam penawaran sapi hasil penggemukan, kenaikan harga sapi potong tidak dapat segera direspon oleh peternak dengan meningkatkan penawaran, karena penggemukan sapi memerlukan waktu.

Turunnya harga sapi dapat meningkatkan permintaan sapi bakalan, namun pada penawaran sapi hasil penggemukan akan menerima harga sapi yang rendah dan berdampak pada menurunnya pendapatan. Strategi yang biasa dilakukan untuk menghadapi perubahan harga sapi potong agar memperoleh harga yang lebih tinggi adalah dengan dilakukan penundaan penjualan sampai harga kembali naik. Penundaan penjualan menyebabkan tambahan total biaya produksi, sehingga dapat mempengaruhi pendapatan.

Berdasarkan pada uraian di atas, maka berikut ini dapat dirumuskan permasalahan utama yaitu :

1. Mengapa peternak perlu mengetahui informasi harga sapi potong yang berlaku di pasaran? Apakah perubahan harga sapi potong di tingkat pasar mempengaruhi keputusan peternak pada permintaan sapi bakalan dan penawaran sapi hasil penggemukan?

2. Apakah permintaan sapi bakalan dan penawaran sapi hasil penggemukan mempengaruhi pendapatan usaha penggemukan sapi bali di NTB? Bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi perubahan harga sapi potong di tingkat pasar untuk menjamin perolehan pendapatan usaha penggemukan sapi?

(22)

Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan kinerja usaha penggemukan sapi bali di Nusa Tenggara Barat.

2. Menganalisis pengaruh perubahan harga sapi potong di tingkat pasar terhadap permintaan sapi bakalan dan penawaran sapi hasil penggemukan pada usaha penggemukan sapi bali di Nusa Tenggara Barat.

3. Menganalisis dampak perubahan harga sapi potong di tingkat pasar terhadap pendapatan usaha penggemukan sapi bali di Nusa Tenggara Barat.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat diimplementasikan oleh berbagai kalangan yaitu :

1. Petani/peternak sapi dan kelembagaan usaha ternak sapi, dalam mengembangkan usaha penggemukan ternak sapi yang dapat memberikan peningkatan pendapatan. Hasil penelitian dapat membantu peternak untuk menentukan keputusan yang diambil dalam menghadapi fluktuasi harga. 2. Pemerintah Daerah NTB. Memberikan sumbangan pemikiran kepada

pemerintah untuk dijadikan sebagai pertimbangan dalam menyusun program-program pengembangan usaha peternakan sapi potong yang menguntungkan dan dapat menjamin kesejahteraan peternak. Menjadi pendorong dalam peningkatan produksi sapi potong, sehingga tujuan swasembada daging sapi dapat tercapai. Memberikan gambaran pada pemerintah dalam menentukan instrumen yang dapat dijadikan dalam penyusunan kebijakan.

3. Ilmuan dan praktisi. Memberikan informasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi akademisi, ilmuan dan masyarakat lainnya.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada usaha penggemukan sapi bali, dipelihara secara intensif dengan lama pemeliharaan kurang lebih 6 (enam) bulan. Sifat usaha mengarah pada komersial. Status kepemilikan sapi adalah milik sendiri, karena yang dipelajari adalah respon peternak terhadap adanya perubahan harga sapi tanpa intervensi dari pihak lain. Biaya-biaya yang dikeluarkan secara tunai dikalkulasikan dalam mengukur tingkat pendapatan, sedangkan faktor-faktor produksi yang tidak dikeluarkan tunai baik berupa barang maupun jasa, dikalkulasikan sesuai nilai yang berlaku.

(23)

Analisis perubahan harga diukur berdasarkan pada harga pasar sapi potong di tingkat pasar di NTB. Harga sapi potong di tingkat pasar adalah nilai sapi hidup per kilogram berat badan. Pembelian sapi bakalan maupun penjualan sapi hasil penggemukan per ekor tergantung pada berat badan dan harga yang diterima. Harga sapi bakalan dan harga sapi hasil penggemukan yang diterima ditentukan secara tidak langsung oleh harga sapi potong di tingkat pasar. Dalam penelitian ini pendugaan dilakukan terhadap permintaan sapi bakalan dan penawaran sapi hasil penggemukan serta produksi dan keuntungan yang diperoleh akibat adanya perubahan harga sapi potong.

Proses produksi dalam usaha penggemukan sapi ditentukan oleh waktu penggemukan, memasukkan variabel waktu dalam proses produksi yang diimplementasikan pada lama pemeliharaan (penggemukan). Perilaku ekonomi akan dipelajari dalam penelitian ini dengan unit analisis ternak sapi, mengukur biaya yang dikeluarkan berdasarkan penggunaan satuan unit input pada satu satuan waktu.

Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan metode survei melalui wawancara pada peternak sapi. Pada umumnya peternak tidak memiliki catatan yang terkait dengan usaha penggemukan, maka informasi yang dikumpulkan adalah usaha penggemukan yang dilakukan pada tahun 2013 sampai 2014. Informasi yang diperoleh tergantung pada kemampuan peternak untuk mengingat aktivitas yang telah dilakukan pada usaha penggemukan. Oleh sebab itu dalam penelitian ini terbatas pada informasi usaha penggemukan yang dilakukan.

Pakan hijauan yang diberikan per hari diperhitungkan berdasarkan kebutuhan pakan sapi (feed intake) per hari. Pakan limbah pertanian tidak diberikan setiap hari, tetapi diberikan saat pakan hijauan tidak diberikan. Penggunaan tenaga kerja diperhitungkan dalam satuan waktu kerja (jam) untuk per ekor sapi. Input seperti pakan hijauan (rumput alam) dan pakan limbah pertanian (jerami padi) tidak seluruhnya dibayar tunai. Harga input tersebut dihitung berdasarkan biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan pakan hijauan dan limbah pertanian. Upah tenaga kerja diperhitungkan sebagai biaya oportunitas, karena tenaga kerja untuk sapi tidak dibayar secara tunai. Besarnya upah dihitung berdasarkan upah buruh tani yang berlaku pada usaha tani di sekitar lokasi usaha penggemukan. Harga input variabel seperti pakan dan tenaga kerja diasumsikan tidak mengalami perubahan, sehingga pada penelitian ini tidak melakukan simulasi terhadap perubahan harga input pakan dan tenaga kerja.

Pada penelitian ini unit analisis adalah ternak sapi, agar dapat menganalisis pengaruh perubahan harga sapi potong di tingkat pasar terhadap permintaan sapi bakalan dan penawaran sapi hasil penggemukan. Oleh karena itu pada penelitian ini tidak dapat menganalisis skala usaha penggemukan ternak sapi.

Kebaruan Penelitian

(24)

usaha penggemukan sapi tidak menjelaskan tingkat harga pada permintaan input (pembelian sapi bakalan) maupun penawaran output (penjualan sapi hasil penggemukan). Harga sapi diperhitungkan pada kondisi yang konstan, sedangkan harga sapi yang diterima peternak bisa berbeda antar waktu. Perbedaan harga antar waktu menggambarkan bahwa harga bersifat dinamis, maka diperlukan suatu pendekatan untuk dapat menganalisis pengaruh perubahan harga sapi potong di tingkat pasar terhadap harga sapi bakalan dan harga sapi hasil penggemukan yang diterima peternak.

(25)
(26)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Usaha Penggemukan Sapi di NTB

Pola pengembangan peternakan sapi di NTB yang dilakukan pemerintah adalah dengan sistem kelompok kandang kolektif (kandang komunal) terutama di pulau Lombok; sedangkan di pulau Sumbawa dengan sistem penggembalaan (Lar-So). Penetapan pengembangan berdasarkan pertimbangan kultur setempat. Di pulau Lombok luas lahan untuk ternak relatif sempit dengan kepemilikan sapi antara 2 sampai 3 ekor per peternak, sehingga pemeliharaan dilakukan secara intensif. Di pulau Sumbawa padang penggembalaan masih tersedia dan dapat dimanfaatkan secara umum, dengan aturan-aturan masyarakat sekitarnya. Jumlah pemilikan sapi di pulau Sumbawa lebih besar antara 9 sampai 10 ekor per peternak, pemeliharaan secara semi intensif dan ekstensif (Pemda NTB 2009).

Usaha peternakan sapi rakyat di terutama di pulau Lombok sebagian besar dilakukan secara berkelompok dalam lingkungan kandang kolektif, dan merupakan kumpulan kandang individu yang dibangun secara berkelompok. Kelompok kandang kolektif terdiri dari 5 sampai 56 anggota. Keterbatasan lahan untuk kandang dan faktor keamanan ternak menjadi alternatif pembentukan kelompok-kelompok peternakan yang memelihara sapi secara bersama dalam suatu kandang kolektif (ACIAR 2005). Kandang kolektif berfungsi untuk menjaga lingkungan dari pencemaran limbah sapi pada lingkungan sekitar. Sistem kandang kelompok menguntungkan bagi peternak untuk melakukan manajemen pemeliharaan, dan memudahkan pemasaran sapi karena umumnya pembeli sapi langsung ke kandang kelompok untuk melakukan pembelian sapi. Transaksi bisa dilakukan sewaktu-waktu, mengingat bahwa pasar hewan memiliki jadwal operasi. Jual-beli di kandang kolektif pembeli tidak membayar biaya retribusi, biaya jasa pedagang perantara dan biaya transportasi. Panjaitan et al. (2010), berdasarkan hasil pengkajian pada kelompok SMD melaporkan bahwa walaupun berada pada suatu organisasi kelompok, namun manajemen pemeliharaan sapi bersifat perorangan.

Hasil penelitian Dahlanuddin et al. (2013) pada bulan Maret sampai Juli 2012 terhadap penggemukan sapi di tiga desa yang berada di Kabupaten Lombok Tengah yaitu : Montong Oboq, Bun Prie dan Repok Nyerot. Keragaman bobot awal penggemukan, lama penggemukan, pertambahan berat badan harian (PBBH) dan bobot jual (berat badan sapi saat dijual) menghasilkan perolehan keuntungan yang berbeda berkisar antara 8 sampai 11 persen. Perbedaan harga pembelian sapi bakalan dan harga penjualan sapi hasil penggemukan berkisar 3 sampai 9 persen. Perbedaan waktu pembelian dan penjualan sapi antar peternak dapat menyebabkan harga yang diterima tidak sama. Dengan demikian perbedaan harga dan faktor-faktor lain seperti lama penggemukan, PBBH dapat mempengaruhi perbedaan perolehan keuntungan.

(27)

atas 300 kg per ekor, salah satunya disebabkan pengiriman sapi jantan berkualitas baik ke luar daerah. Matondang dan Rusdiana (2013) menyatakan bahwa persilangan sapi lokal dengan sapi unggul asal luar negeri (limosin, simental dan brahman) yang tidak terkontrol yang dilakukan pada peternak/petani berakibat pada menurunnya sifat genetis sapi lokal, salah satunya yaitu menurunkan daya adaptasi terhadap lingkungan. Harga seekor sapi bali adalah nilai dari jumlah dagingnya, produk sisa hasilnya (kulit, jeroan) dan performan dari sifat yang diturunkan (sifat genetik). Harga sapi di pasaran ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran (Rutherford, 2004).

Pada sistem pemasaran sapi di NTB cara penentuan harga masih dengan taksiran, cara ini dikehendaki terutama oleh pedagang sapi untuk mendapatkan margin yang lebih tinggi. Cara tradisional ini lebih banyak merugikan peternak. Penjualan sapi oleh peternak lebih banyak kepada pedagang pengumpul atau jagal, mereka datang ke kandang untuk membeli sapi, karena meskipun peternak membawa ke pasar hewan tidak ada jaminan untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi sehingga lebih memilih menjual sapi di tempat (Purba dan Hadi, 2012)

Perubahan Harga Sapi

Harga menurut Ward dan Schroeder (2002) dibentuk oleh dua hal yaitu yaitu price determination : harga sebagai refleksi dari penawaran dan permintaan,

price discovery : harga yang terbentuk karena adanya persaingan antara para

penjual dan para pembeli, ini terkait dengan jumlah dan kualitas. Harga yang berlaku dalam transaksi individual dipengaruhi oleh keadaan umum harga pasar, pada posisi harga rendah atau tinggi. Perubahan harga komoditi pertanian naik atau turun relatif sering terjadi, dibanding dengan harga barang non pertanian. Harga produk pertanian relatif tidak stabil karena produksi yang relatif tetap harus menghadapi perubahan yang besar pada permintaan.

Penjualan sapi pada harga yang lebih tinggi akan meningkatkan pendapatan peternak, memberikan dampak positif pada permintaan input. Perubahan struktur harga juga dapat mengubah metode produksi. Penggunaan input produksi yang berkualitas dan peningkatan jumlah input termasuk penyerapan tenaga kerja dan peningkatan upah pada sektor peternakan dapat mengubah harga sapi (Jefferis 2007). Kenaikan harga pakan berpengaruh terhadap kenaikan harga sapi di tingkat produsen (usaha ternak), walaupun pada kasus tertentu harga sapi harus menyesuaikan harga sapi di tingkat pasar. Variasi harga sapi terhadap penggunaan input yang sama terkait dengan waktu, dimana ada perbedaan harga pakan antar musim. Di samping itu permintaan dan penawaran pasar dapat mempengaruhi harga sapi (Burdin 2011).

(28)

Pemasaran yang dilakukan pada usaha sapi potong ada dua hal penting yang perlu diperhatikan yaitu pemanfaatan informasi pasar tentang harga dan tren harga, sehingga memberikan keputusan yang lebih baik. Kedua adalah tidak mengadakan sapi bakalan yang lebih kecil setelah penjualan sapi untuk dapat penyediaan input lainnya. Pembelian sapi bakalan yang lebih kecil merupakan keputusan yang tidak tepat (Meyer 2015).

Indeks Harga

Beberapa metode yang digunakan untuk mengukur indeks harga seperti indeks harga sederhana (tak tertimbang), dan indeks harga tertimbang seperti metode : Laspeyers dan Paasche (Frank 1997). Indeks harga tertimbang yang mengukur tingkat perubahan harga bersama kuantitas komoditi yang berdasarkan penghitungan tahun dasar. Laspeyers menghitung berdasarkan pada kuantitas komoditi tahun dasar atau waktu lalu; sedangkan Paasche berdasarkan pada harga komoditi tahun berjalan (waktu saat ini). Indeks harga sederhana adalah relatif harga yang membandingkan satu harga komoditi pada waktu tertentu terhadap waktu sebelumnya, dengan rumus : ; dimana Pn : harga

sekarang, Po : harga yang lalu (waktu dasar).

Permintaan Sapi Bakalan

Faktor-faktor yang menentukan produksi usaha penggemukan sapi adalah : sapi bakalan, pakan dan tenaga kerja (Mulyana 2009; Ratnawaty dan Budianto 2011; Budiraharjo et al. 2011; Dahlanuddin et al. 2013). Kualitas sapi bakalan menentukan efektivitas terhadap input-input yang diberikan untuk menghasilkan produksi. Harga sapi bakalan tergantung pada kondisi kesehatannya, penampilan, umur dan berat badan. Pada peternakan sapi rakyat faktor produksi pakan terkait dengan penggunaan tenaga kerja, karena hijauan pakan sapi diperoleh peternak dengan mencari pada sumber pakan yang tersedia di sekitarnya dan bergantung pada sumberdaya alam. Perbedaan harga pakan tergantung pada kualitas pakan, disamping itu intensitas pemberian pakan mempengaruhi biaya untuk pakan.

Ayalew et al (2013) menyatakan bahwa pada peternakan skala kecil penentuan harga melalui tawar-menawar sangat kuat, keterlibatan perantara menurunkan keuntungan yang diperoleh peternak, karena biaya transaksi yang harus dikeluarkan. Sebagian besar (87%) penentuan harga melalui tawar menawar. Pembelian sapi bakalan lebih banyak (81.8%) membeli sapi bakalan pada peternak lain di luar wilayah mereka. Harga sapi akan mengalami perubahan pada waktu-waktu tertentu yang terkait dengan kehidupan sosial-budaya masyarakat. Peningkatan permintaan pada hari-hari besar keagamaan meningkatkan harga sapi.

(29)

Permintaan sapi bakalan sangat ditentukan oleh pasar sapi potong dan daging sapi secara keseluruhan. Harga sapi bakalan berubah-ubah tergantung pada berat badannya. Sapi bakalan yang lebih berat dapat memiliki pertumbuhan yang lebih baik pada saat penggemukan. Berat sapi bakalan menentukan lama waktu penggemukan, sehingga keputusan terhadap pembelian sapi bakalan adalah melalui pertimbangan waktu terkait dengan ketersediaan pakan dan pertimbangan keuntungan (Meyer 2015).

Produksi Usaha Penggemukan Sapi

Sarma et al. (2014) menyampaikan bahwa variabel-variabel yang berkontribusi terhadap produksi pada penggemukan sapi adalah biaya pakan, biaya obat-obatan, biaya tenaga kerja, air dan panjang waktu penggemukan. Elfadl et al. (2015) dalam penelitian terhadap penggemukan sapi menggunakan persamaan regresi berganda untuk mengestimasi besaran dan arah hubungan antara variabel dependen dengan variabel-variabel independen. Variabel-variabel independen dianggap mempengaruhi produksi yaitu lama waktu penggemukan, berat badan awal, pertambahan berat badan harian.

Faktor penunjang produksi yang disediakan oleh peternak pada usaha penggemukan sapi adalah kandang dan peralatan kandang. Kandang berfungsi untuk melindungi ternak dari kondisi lingkungan, untuk memudahkan pemeliharaan dan menjaga keamanan ternak dari gangguan lainnya. Biaya yang dikeluarkan untuk membangun kandang tergantung pada bahan baku yang digunakan, luasan kandang serta bentuk dan konstruksi (permanen atau semi permanen). Peralatan untuk kebersihan kandang dan ternak, menyediakan pakan dan minum yang dikelompokkan sebagai biaya tetap adalah : ember, cangkul, parang, keranjang. Perhitungan biaya tetap berdasarkan nilai penyusutan, untuk kandang berdasarkan biaya pembangunan dan masa ekonomis; untuk peralatan berdasarkan pada harga alat dan masa ekonomis masing-masing alat. Biaya tetap lainnya seperti sewa lahan untuk menanam pakan dan pembayaran iuran dapat diperhitungkan dalam pengeluaran tahunan atau bulanan (Handayani et al. 2010; Budiharjo et al. 2011, Ratnawaty dan Budianto 2011).

Jerami sebagai pakan alternatif untuk memanfaatkan limbah dan mengatasi kekurangan hijauan. Jerami umumnya memiliki kandungan nutrisi yang relatif rendah karena memiliki kandungan serat kasar yang tinggi. Jerami padi memiliki kandungan protein 3.5 sampai 4.5 persen, serat kasarnya 31.5 sampai 46.5 persen. Untuk mengatasi keterbatasannya banyak digunakan dengan tidak memberikan sebanyak 100 persen dalam ransum atau dengan diberi tambahan dedak padi dan probiotik, untuk meningkatkan daya cerna. Daya cerna pakan akan mempengaruhi produktivitas sapi (Sugama dan Budiari 2012) .

(30)

produktivitas. Penelitian oleh Prisdiminggo et al. (2012) dilakukan di Lombok Utara dengan pakan rumput menghasilkan PBBH sebesar 0.22 ± 0.04. Penelitian yang dilakukan oleh Dahlanuddin et al. (2013) di Kabupaten Lombok Tengah (Tabel 2) dengan pakan dasar turi mendapatkan PBBH yaitu 0.44 ± 0.13; 0.32 ± 0.03 dan 0.58 ± 0.05. Hasil penelitian Panjaitan et al. (2013) di Kabupaten Sumbawa dengan hijauan pakan yang ditambahkan tanaman lamtoro (Leucaena

leucephala) mendapatkan PBBH 0.56 ± 0.09 kg/ekor/hari.

Biaya Produksi Usaha Penggemukan Sapi

Hubungan antara harga dan biaya produksi selalu menjadi persoalan dalam bidang pertanian. Harga harus dapat menutupi biaya produksi atau biaya produksi harus lebih rendah dari harga. Keuntungan merupakan peternak pendapatan yang diperoleh dari selisih harga penjualan sapi penggemukan dengan harga sapi bakalan dan biaya-biaya yang dikeluarkan selama proses produksi. Peternak memutuskan untuk menjual berdasarkan pertimbangan untuk memperoleh keuntungan. Selanjutnya keuntungan menjadi pertimbangan untuk memutuskan pembelian sapi bakalan, hal ini terkait dengan keputusan ketika menghadapi perubahan harga di tingkat pasar.

Penelitian yang dilakukan Ardhani (2006) analisis terhadap usaha penggemukan sapi di Kalimantan Timur, yang memisahkan antara biaya tetap dan biaya variabel. Pengemukan sapi umur 2 sampai 2.5 tahun dengan bobot awal rata-rata 200 kg/ekor, menghasilkan PBBH sebesar 0.7 kg/ekor/hari dan waktu penggemukan 4 bulan. Keuntungan yang diperoleh adalah Rp 7.842 /ekor/hari. Setiap penambahan biaya sebesar Rp 100 menghasilkan penerimaan sebesar Rp 116. Ardhani menyatakan berdasarkan analisis yang dilakukan bahwa input pakan menyerap biaya yang terbesar. Kualitas dan kuantitas pakan dapat mempengaruhi produktivitas ternak.

Lama Waktu Penggemukan

Waktu penggemukan optimal dapat diterapkan oleh peternak untuk meningkatkan pendapatan (Setiawan et al. 2013; Rusdianto et al. 2015). Penentuan waktu penggemukan yang optimal merupakan bagian yang penting bagi perolehan pendapatan dan keberlanjutan usaha penggemukan sapi di Turki (Sahin et al. 2009). Panjang waktu pemeliharaan ditentukan oleh berat badan sapi bakalan, pakan dan modal. Sapi bali dengan tingkat produktivitas yang relatif rendah untuk kategori sapi potong memerlukan waktu yang relatif panjang untuk mencapai berat sapi potong.

(31)

musim hujan karena ketersediaan hijauan untuk pakan sapi memiliki kuantitas mencukupi kebutuhan pakan. Kualitas pakan rendah dengan jumlah yang terbatas dapat menyebabkan produksi penggemukan kurang optimal sehingga membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk mencapai bobot jual sapi potong.

Dahlanuddin et al. (2013) menyatakan bahwa untuk menghasilkan produksi berturut-turut 149 kg, 42 kg dan 124 kg menggunakan waktu penggemukan berturut-turut 375 hari, 144 hari dan 249 hari. Ratnawaty dan Budianto (2007), pada pengemukan sapi bali di Nusa Tenggara Timur; untuk menghasilkan produksi sebesar 100 kg membutuhkan waktu penggemukan 255 hari. Mlote et al. (2013) dalam penelitian penggemukan sapi lokal di Tanzania penggemukan dilakukan untuk menghasilkan produksi sebesar 58.6 kg membutuhkan waktu 92 hari. Malole et al. (2014) pada penggemukan sapi Short Horn Zebu di Tanzania dengan hasil yang diperoleh yaitu untuk menghasilkan produksi masing-masing 151.2 kg dan 155.25 kg, memerlukan waktu penggemukan selama 126 dan 87 hari, lama waktu penggemukan memberikan pengaruh signifikan terhadap keuntungan.

Mohammed et al. (2013) melalui estimasi fungsi keuntungan linear menyatakan bahwa lama waktu pemeliharaan dan biaya pembelian sapi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perolehan laba. Waktu pemeliharaan dapat berkorelasi dengan perolehan keuntungan dari penjualan sapi. Penggunaan input produksi termasuk sapi bakalan membutuhkan waktu penggemukan yang berbeda, sehingga keuntungan maksimum dapat tercapai pada waktu penggemukan yang berbeda pada tiap jenis sapi maupun sistem pemeliharaan.

Sarma et al. (2014) pada usaha penggemukan sapi lokal di Banglades, memperoleh hasil bahwa keuntungan maksimum tercapai pada waktu penggemukan 4 bulan. Setiawan et al. (2013) menyatakan bahwa keuntungan maksimum adalah pada lama waktu penggemukan 1.5 bulan. Malole et al. (2014), menyatakan bahwa keuntungan maksimum tercapai pada lama penggemukan 4.3 bulan. Rusdianto et al. (2015), memperoleh hasil bahwa keuntungan maksimum tercapai pada penggunaan waktu penggemukan 6.4 bulan.

Pendapatan Usaha Penggemukan Sapi

Dalam sistem pemasaran ternak di Afrika yang diamati oleh Shiimi et al. (2010), bahwa biaya transaksi relatif tinggi yang harus dibayarkan oleh peternak kecil. Infrastruktur menyebabkan meningkatnya biaya transportasi untuk pemasaran antar wilayah. Untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi peternak dapat melakukan penjualan di luar pasar hewan. Pada dua variabel yaitu biaya transportasi dan ketidakpastian harga, hasilnya menunjukkan bahwa biaya transportasi menyebabkan biaya transaksi meningkat dan mempengaruhi pendapatan. Walaupun demikian peternak kurang peka terhadap berat badan sapi yang dihasilkan dibandingkan dengan pendapatan yang diinginkan akibat pola pemasaran yang dikendalikan oleh perubahan harga.

(32)

Penentuan harga ternak masih menggunakan cara taksiran pada penampilan secara visual, sedangkan penentuan harga menggunakan berat badan masih jarang diterapkan. Penetapan harga melalui tawar-menawar, harga sapi masih dipengaruhi penawaran dan permintaan sapi.

Biaya produksi mempengaruhi pendapatan peternak, keuntungan diperoleh jika penerimaan dari penjualan sapi lebih tinggi dari biaya yang dikeluarkan untuk produksi. Besarnya biaya produksi pada usaha penggemukan sapi, juga dipengaruhi oleh lama penggemukan, sehingga mempengaruhi pendapatan yang diterima. Lama penggemukan tergantung pada input produksi, termasuk sapi bakalan. Mulyana (2009), menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan usaha penggemukan sapi di Jambi yaitu : biaya sapi bakalan, biaya tenaga kerja, biaya kandang dan biaya peralatan kandang. Biaya terbesar yang dikeluarkan adalah pembelian sapi bakalan (57.36%), berikutnya adalah biaya tenaga kerja (34,14%), biaya penyusutan kandang (7.68%), dan biaya penyusutan peralatan kandang (0.82%). Berdasarkan analisis sidik ragam yang dilakukan secara simultan diperoleh hasil bahwa secara parsial faktor yang mempengaruhi pendapatan peternak adalah biaya sapi bakalan dan biaya tenaga kerja.

Perbedaan skala usaha menghasilkan perbedaan perolehan keuntungan, telah dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Risqina et al. (2011) di Kabupaten Sumenep. Perolehan keuntungan menjadi relatif kecil, jika seluruh input yang digunakan diperhitungkan sebagai biaya. Oleh karena itu umumnya biaya tenaga kerja tidak diperhitungkan dalam pengeluaran tunai. Pemeliharaan sapi potong skala 2 sampai 3 dan 4 sampai 6 dengan lama pemeliharaan berturut-turut adalah 25.07 bulan dan 36.42 bulan mendapatkan selisih harga pembelian dan harga penjualan per ekor berturut-turut Rp 817.715 dan Rp 1.334.098.

Pada penggemukan sapi PO pada peternakan rakyat, perbedaan musim dapat memberikan pengaruh terhadap pendapatan. Perbedaan pendapatan rata-rata pada musim kemarau dan hujan berturut-turut sebesar Rp 83.804/periode dan 102.022/periode. Pada musim hujan pakan tersedia cukup, sehingga pakan hijauan diperoleh dengan biaya yang rendah (Priyanti et al. 2012)

Pada penelitian yang telah dilaksanakan oleh Ekowati (2012), yaitu Analisis Usaha Ternak Sapi Potong dan Optimalisasi Usaha Peternakan berbasis sistem Agribisnis di Jawa Tengah, yang fokus pada sistem agribisnis. Penelitian dilakukan di Jawa Tengah pada pendekatan rumahtangga tani mengukur alokasi waktu terhadap konsumsi barang dan jasa untuk produksi penggemukan sapi. Analisis pendapatan usahatani dengan fungsi keuntungan menggunakan metode deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi ternak dipengaruhi oleh curahan waktu kerja, jumlah pakan yang diberikan. Pendapatan dipengaruhi oleh harga sapi, harga pakan hijauan, upah tenaga kerja.

Kebijakan Usaha Sapi Potong

Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam mendukung usaha penggemukan sapi potong terutama ditujukan pada peternakan rakyat. Pengembangan usaha ternak dipengaruhi pula oleh dukungan aturan dan kebijakan pemerintah (Maluyu

et al. 2010). Kebijakan pemerintah yang sifatnya top down menyulitkan

(33)

kajian (riset). Riset dapat dilakukan bersama yang melibatkan perguruna tinggi dan lembaga penelitian dan mengaktifkan kembali lembaga penyuluhan (Tawaf dan Kuswaryan 2006 dalam Mayulu et al. 2010).

Pemerintah perlu memfasilitasi peternak kecil melalui aliran dan ketersediaan produk sapi potong. Pengembangan industri sapi potong mempunyai prospek yang sangat baik dengan memanfaatkan sumber daya alam termasuk pemanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan. Permintaan akan daging sapi yang terus mengalami peningkatan diperlukan upaya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yaitu dengan meningkatkan populasi, produksi dan produktivitas sapi potong (Bamualim et al. 2008 dalam Mayulu et al. 2010; Matondang dan Rusdiana 2013).

Pendekatan teknis tidak sepenuhnya mampu meningkatkan pertumbuhan populasi sapi potong yang lebih lambat dari pertumbuhan permintaan sapi potong. Untuk itu diperlukan pula pendekatan ekonomis terutama dengan memperhatikan harga sebagai sinyal pasar. Perbaikan infrastruktur dengan meningkatkan fungsi pasar sebagai sumber informasi pasar yang akurat (Yusdja dan Ilham 2004). Opsi kebijakan yang dapat dipertimbangkan untuk memacu produksi peternakan salah satunya adalah mengembangkan informasi pasar secara nasional, baik pasar input maupun produk peternakan, agar menjamin harga produk secara reguler (Mayulu

et al. 2010). Kebijakan pakan nasional mendukung peningkatan populasi sapi dan

pengembangan usaha sapi potong. Pakan adalah komponen usaha ternak sapi yang utama untuk produksi dan produktivitas, sehingga diperlukan ketersediaan pakan yang cukup. Kelangkaan pakan akan mengakibatkan biaya pakan yang tinggi sehingga tidak efisien bagi usaha ternak sapi potong, diketahui bahwa biaya pakan dapat mencapai 50 persen dari total biaya produksi (Dirpangtan, 2013).

Pengembangan usaha penggemukan sapi dirasa penting untuk menyediakan sapi-sapi siap potong. Salah satu penyebab terkurasnya populasi sapi adalah pemotongan sapi jantan pada berat badan yang belum optimal, terutama pada jenis sapi lokal seperti sapi bali (Mayulu et al. 2010; Purba dan Hadi 2012). Sapi bali dengan berat badan di atas 300 kg/ekor saat ini di NTB sudah sulit didapat, karena dijadikan prioritas untuk dikirim ke luar provinsi sehingga untuk mendapatkan jumlah daging yang sama diperlukan jumlah sapi yang lebih banyak (Purba dan Hadi 2012).

(34)

3

KERANGKA TEORITIS

Faktor Produksi Sapi

Dalam suatu kegiatan produksi, kombinasi dari beberapa input diubah menjadi output. Produksi jangka pendek dimana besarnya produksi tergantung pada input variabel dan input tetap. Fungsi produksi merupakan pernyataan diskriptif yang menyatakan output yang dapat dihasilkan dengan sejumlah input tertentu. Fungsi produksi ditetapkan berdasarkan pada kombinasi penggunaan input untuk menghasilkan output (Debertin 1986; Nicholson 2002; Sugiarto et al. 2005). Teori produksi memfokuskan perhatian pada keputusan produksi, yaitu seberapa besar produksi yang harus dihasilkan untuk memaksimumkan pendapatan (Debertin 1986).

Fungsi produksi ditulis dalam bentuk matematis yaitu :

(1)

dimana

Y = Produksi

x1-xn = Input produksi variabel

Z1 - Zm = Input tetap

Perubahan-perubahan faktor-faktor produksi (x1, - xn,) mempengaruhi produksi (Y). Antara Y dengan x; produksi tergantung pada penggunaan input tertentu dari awal pemeliharaan sampai menghasilkan produksi. Pada penggemukan sapi yang dilakukan oleh peternakan rakyat tidak memiliki batasan waktu produksi. Untuk mencapai produksi tertentu waktu yang digunakan ditentukan oleh manajemen pemeliharaan. Kuantitas dan kualitas input-input produksi yang digunakan juga memiliki kontribusi terhadap penggunaan waktu.

Penentuan produksi didasari oleh keputusan untuk a) meminimumkan biaya pada target produksi tertentu, atau b) memaksimumkan produksi pada ketersediaan biaya tertentu. Kedua pilihan ditujuan untuk mencapai tujuan keuntungan maksimum.

Biaya Produksi Usaha Penggemukan Sapi

Biaya yang dikeluarkan untuk input-input yang digunakan dalam proses produksi, dalam penelitian ini diperhitungkan dalam jangka pendek. Total biaya yang dikeluarkan termasuk biaya tetap dan biaya variabel (Debertin 1986), dengan persamaan sebagai berikut :

(2)

(35)

Total biaya yang dikeluarkan termasuk biaya tetap pada persamaan (2) yaitu penyusutan (depresiasi) yaitu menurunnya nilai dari bangunan kandang serta peralatannya, dan penggunaan biaya tetap lainnya. Dalam produksi jangka pendek di mana biaya tetap ⁄ maka persamaan biaya produksi ditulis dalam persamaan linear (Henderson dan Quant 1980; Nicholson 2002), ditunjukkan dalam persamaan sebagai berikut :

(3)

dimana : xi adalah input variabel ke-i; r1, r2, n adalah harga input ke-i (i=1, 2, …, 4).

Input sapi bakalan (x1) tidak diperhitungkan dalam per unit waktu karena biaya hanya diperhitungkan pada saat pembelian. Biaya input produksi lainnya dikeluarkan selama waktu pemeliharaan. Dengan demikian biaya yang dikeluarkan per unit satuan input dengan penggunaan waktu produksi, maka total biaya produksi menjadi pada persamaan berikut :

(4)

Biaya total adalah biaya untuk input-input variabel yang digunakan. Biaya yang dikeluarkan atas penggunaan input variabel harga input ke-i (ri)dan jumlah input yang digunakan (xi).

Keuntungan Usaha Penggemukan Sapi

Pada suatu usaha peternakan harga ditetapkan berdasarkan pada biaya yang dikeluarkan untuk input variabel dan input tetap yang digunakan untuk menghasilkan barang. Di sisi lain harga pasar merupakan refleksi dari jumlah permintaan dan penawaran barang. Perubahan terhadap permintaan dan penawaran akan membentuk keseimbangan pasar pada harga dan jumlah tertentu. Keuntungan normal dari suatu usaha dapat diperoleh pada tingkat harga yang sama antara harga pasar dan harga barang yang dihasilkan dengan pengeluaran biaya rata-rata dan biaya marginal.

Henderson dan Quandt (1980), menyatakan bahwa harga suatu barang berdasarkan pada biaya yang dikeluarkan untuk setiap proses produksi dengan bentuk penerapan pada kondisi kompetitif. Harga setiap barang sama dengan nilai dari faktor-faktor yang ditambahkan dan dibutuhkan untuk produksi.

Hasil penjualan produk (output) merupakan penerimaan (revenue) yang diperoleh dari sejumlah kuantitas output dan harga yang berlaku (price). Keuntungan yang diperoleh merupakan selisih total biaya yang digunakan untuk memproduksi dengan penerimaan; semakin besar selisih (perbedaan) akan semakin besar keuntungan yang diperoleh. Jika mengharapkan keuntungan maksimum maka keputusan yang dibuat berdasarkan pada konsep marginal, pada selisih yang menilai positif (Nicholson 2002).

(36)

(Henderson dan Quant 1980; Debertin 1986; Frank 1997), dengan persamaan sebagai berikut :

- (5)

(6)

dimana p = harga output; y = output; sedangkan total biaya produksi adalah ∑ . Pada persamaan (6) adalah biaya total dari seluruh faktor produksi dengan waktu produksi yang digunakan dengan penggunaan input produksi yaitu :

Asumsi-asumsi yang digunakan dalam model fungsi keuntungan adalah : a) Peternak sebagai unit analisis ekonomi berusaha memaksimumkan keuntungan dan b). Peternak melakukan pembelian input dan penjualan output dalam pasar bersaing sempurna, atau peternak sebagai penerima harga (price taker) (Mandaka dan Hotagaol 2005). Fungsi keuntungan yang secara umum dijabarkan melalui penurunan matematika (Lau dan Yotopoulus 1972). Peternak sebagai produsen akan menambah jumlah input selama biaya marginal yang dikeluarkan lebih kecil dari penerimaan marginal, sehingga masih memperoleh keuntungan. Model yang sama juga digunakan oleh Agustian (2012). Fungsi keuntungan berdasarkan fungsi produksi pada persamaan (1) dan fungsi keuntungan pada persamaan (6) maka persamaannya adalah :

π f , , ∑ (7)

Turunan pertama kondisi perlu untuk maksimisasi laba Debertin (1986); Beattie dan Taylor (1994); Hartono (1999) adalah :

f , , (8)

Keuntungan maksimum dapat dicapai jika produk marginal sama dengan harga input.

(9)

Jika persamaan (9), dinormalkan dengan harga output (p) maka diperoleh persamaan :

dimana adalah harga input ke-i. dengan demikian produk marginal sama

dengan rasio harga input dan outputnya, ini menjadi keputusan peternak untuk mengalokasikan penggunaan inputnya dalam jangka pendek. Jika persamaan (8) dinormalkan dengan harga output (p) maka diperoleh persamaan :

∑ (11)

(37)

dimana adalah sebagai fungsi keuntungan UOP (Unit Output Price). Pada saat keuntungan maksimum maka penggunaan input sebesar dipengaruhi oleh harga sendiri dan input lain. Nilai dapat diturunkan dari persamaan (11), yaitu :

(12)

Substitusi persamaan (12) ke dalam (11) diperoleh :

( ) ∑ (13)

Selama sebagai fungsi dari , maka persamaan (13) dapat ditulis sebagai berikut :

(14)

Persamaan (14) merupakan fungsi keuntungan yang memberikan nilai maksimum dari keuntungan jangka pendek untuk harga output, harga input variabel ( . Jika persaman (14) dinormalkan dengan harga output maka diperoleh :

(15)

dimana adalah harga input.

Persamaan tersebut merupakan fungsi keuntungan UOP sebagai fungsi harga input variabel yang dinormalkan dengan harga output. Untuk menganalisis penawaran output dan permintaan input pada penelitian ini dapat diperoleh fungsi penawaran output dan prmintaan input yang diturunkan langsung dari fungsi keuntungan secara parsial (Agustian, 2012) :

Fungsi penawaran output :

(16)

Fungsi permintaan input :

(17)

Waktu Produksi

Faktor waktu dalam usaha penggemukan merupakan bagian yang penting untuk mengukur produksi sapi terkait dengan penggunaan input dan biaya input yang dikeluarkan. Lama waktu yang digunakan untuk menghasilkan sapi siap potong menentukan frekuensi penjualan sapi sehingga menentukan perolehan pendapatan usaha penggemukan.

(38)

input-input produksi seperti pakan dan tenaga kerja searah dengan waktu yang digunakan. Pada perjalanan produksi akan banyak dihadapi masalah teknis maupun ekonomi; seperti ketersediaan pakan hijauan, ketersediaan jerami, upah tenaga kerja yang menentukan penggunaan tenaga kerja untuk sapi. Kelangkaan satu jenis pakan akan menyebabkan peningkatan permintaan terhadap jenis pakan lain karena adanya sifat substitusi. Jika waktu penggemukan diperhitungkan sebagai input maka (Soekartawi 1994; Debertin 1986) :

dengan kendala

Maka :

: kapasitas input yang digunakan tergantung waktu; : produksi ditentukan oleh waktu;

: kontribusi input tertentu bervariasi menurut waktu.

( ∑ )⁄ ∑ (18)

Produsen berusaha meningkatkan keuntungan pada waktu yang

sesingkat-singkatnya; pada laba = ⁄

Agar * maksimum maka :

⁄ ⁄ (19)

Gambar

Tabel 1  Populasi, pemotongan dan pengeluaran sapi potong di NTB
Gambar 1 Fluktuasi harga ternak sapi 2009-2013 (Dinas Peternakan dan
Gambar 2 Kerangka pemikiran konseptual pengaruh perubahan harga terhadap
Gambar 3  Hubungan antar  variabel  dalam model persamaan simultan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dikatakan emboli paru masif jika trombus menyumbat lebih dari 50% vaskularisasi daerah pulmo atau jika terdapat dua atau lebih lobar vessel yang tersumbat oleh trombus

VII, Nomor 35, 15 Nubuwwah 1392 HS/November 2013 10 ini, dan semua yang terjadi ini telah diberitahukan oleh Hadhrat Masih Mau’ud as dan beliau tampilkan di hadapan kita dan untuk

Lamhot Hutabarat (2010) Pengaruh PDB sektor industri terhadap kualitas lingkungan ditinjau dari tingkat emisi sulfur dan CO 2 di lima negara anggota ASEAN periode 1980- 2000

Dari uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa peran PPTK dalam pengadaan barang/jasa sesuai dengan PERMENDAGRI nomor 13 tahun 2006 adalah menyiapkan dokumen

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan: 1).Dengan pemberian reward dan punishment akan mendorong karywan untuk dapat melaksanakan tugas

DC. Stapf.) terhadap pembentukan granuloma pada tikus putih betina inflamasi akibat penanaman butiran kapas yang telah dicelupkan ke dalam suspensi kaolin I 0%. Ekstrak

“PENGEMBANGAN SISTEM KEAMANAN BRANKAS MENGGUNAKAN NFC DENGAN OTENTIKASI PASSWORD VIA SMS DILENGKAPI KAMERA CCTV (HARDWARE)” beserta seluruh isinya adalah karya saya