• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi pengaturan hasil dalam pengelolaan hutan rakyat di kabupaten Jepara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi pengaturan hasil dalam pengelolaan hutan rakyat di kabupaten Jepara"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI PENGATURAN HASIL DALAM PENGELOLAAN

HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN JEPARA

ANITA SOPIANA

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

SUMMARY

ANITA SOPIANA. Yield Regulation study of community Forest Management in

Jepara. Under Supervision of HERRY PURNOMO and BAHRUNI.

Wood material needs in forest industry exceed the capacity of natural forest resources in producing sustainable timber. One of alternative to solve the scarcity of timber is doing the community forest development. Unfortunately, management of community forest in Indonesia nowdays still individualistic and has no formal management yet. Therefore, the society need guidance to manage the community forest intensively in order to the farmer could get optimum benefit in developing community forest. The aims of this study are to identify motivating factor and inhibiting factor of the society in developing community forest, determine the optimal cycle as base of yield regulation to subtitute the need cycle and to identify the farmer’s perspective in forming unit management of community forest.

This research was conducted in Damarwulan, Clering and Suwawal village, Jepara regency, Jawa Tengah province. This research was conducted by using interview and observation method with purpossive sampling technique to the households which has the community forest bussiness. Determination of optimum cycle for teak and sengon used Net Present Value (NVP) calculation for every kind of cycle. NPV calculation of sengon started from 3 years cycle until 10 years cycle and for teak started from 10 years cycle until 25 years cycle.

The reason of those community forests development is because most of the farmers think that the community forests could become saving for the future. The obstacle in developing community forest in research site is leak of knowledge of the farmer to increase product of community forest. Determination of optimum cycle is different in every village. Optimum cycle for sengon in Damarwulan is 8 years with NPV Rp. 2.651.734/ha. Clering is 8 years with NPV Rp. 1.638.570/ha. And Suwawal is 9 years with NPV Rp. 14.077.134/ha. Optimum cycle for teak in Damarwulan is 14 years with NPV Rp. 848.500/ha, Clering is 19 years with NPV Rp. 3.596.256/ha, and Suwawal is 19 years with NPV Rp. 9.912.060/ha. A t otal of 67 respondents (74,44%) in research site agreed to form community forest institution in village level in order to the price of timber does not get down and to simplify the marketing. Therefore to develope intensive community forests in research site need to form an institution of community forest farmer group. By that institution, the farmer would be guided to increase the motivation in developing and utilize community forest optimally. In the other hand, the institution could create a cooperation form between community forest farmer so that it could raise culture of community forest management with bussiness oriented.

(3)

RINGKASAN

ANITA SOPIANA. Studi Pengaturan Hasil dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di

Kabupaten Jepara. Dibimbing oleh HERRY PURNOMO dan BAHRUNI.

Kebutuhan bahan baku kayu untuk industri kehutanan saat ini telah melampaui kemampuan sumberdaya hutan alam dalam memproduksi kayu secara lestari. Salah satu upaya yang dilakukan untuk menanggulangi masalah kelangkaan kayu, yakni dengan melakukan pengembangan hutan rakyat. Namun disayangkan, karakteristik pengelolaan hutan rakyat di Indonesia saat ini masih bersifat individual dan belum mempunyai manajemen formal. Oleh karena itu diperlukan pengarahan mengenai pengelolaan hutan rakyat secara intensif agar petani mendapatkan manfaat yang optimal dalam pengembangan usaha hutan rakyat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor pendorong dan penghambat bagi petani dalam rangka pengembangan usaha hutan rakyat, menentukan daur optimal sebagai basis pengaturan hasil pengganti daur butuh dan mengidentifikasi perspektif petani di dalam pembentukan kesatuan unit pengelolaan hutan rakyat.

Penelitian ini dilakukan di Desa Damarwulan, Clering dan Suwawal, Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Penelitian ini dilakukan dengan sistem wawancara dan observasi lapang menggunakan teknik purposive sampling terhadap

rumah tangga yang memiliki usaha hutan rakyat. Penentuan daur optimal jenis sengon dan jati yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan perhitungan Net Present Value (NPV) pada setiap daur. Perhitungan NPV untuk jenis Sengon mulai

daur 3 tahun sampai 10 tahun dan jenis Jati mulai daur 10 tahun sampai 25 tahun. Alasan pengembangan usaha hutan rakyat yang dilakukan oleh petani di lokasi penelitian sebagian besar dikarenakan usaha hutan rakyat ini dapat dijadikan sebagai tabungan untuk masa depan. Hambatan dalam pengembangan usaha hutan rakyat di lokasi penelitian yakni kurangnya pengetahuan petani dalam rangka peningkatan hasil dari hutan rakyat. Penentuan daur optimal untuk jenis jati dan sengon berbeda-beda tiap desanya. Daur optimal untuk jenis Sengon di Damarwulan yakni 8 tahun dengan NPV Rp 2.651.734/ha , Clering yakni 8 tahun dengan NPV sebesar Rp 1.683.570/ha, dan Suwawal yakni 9 tahun dengan NPV sebesar Rp 14.077.134/ha. Daur optimal untuk jenis Jati di Damarwulan yakni 14 tahun dengan NPV sebesar Rp 848.500/ha, Clering yakni 19 tahun dengan NPV sebesar Rp 3.596.256/ha, dan Suwawal yakni 19 tahun dengan NPV sebesar Rp 9.912.060/ha. Sebanyak 67 orang responden (74,44%) setuju untuk membentuk kelembagaan hutan rakyat di tingkat desa dengan alasan agar harga kayu yang dijual tidak jatuh dan mempermudah pemasaran. Oleh karena itu untuk mengembangkan usaha hutan rakyat secara intensif di lokasi penelitian perlu dibentuk suatu kelembagaan kelompok tani hutan rakyat. Dengan adanya kelembagaan tersebut, petani akan dibina untuk meningkatkan motivasi dalam membangun dan memanfaatkan hutan rakyat secara optimal. Selain itu pula, adanya kelembagaan tersebut dapat menciptakan suatu bentuk hubungan kerjasama antar petani hutan rakyat sehingga nantinya dapat memunculkan budaya pengelolaan hutan rakyat yang berorientasikan bisnis.

(4)

STUDI PENGATURAN HASIL DALAM PENGELOLAAN

HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN JEPARA

ANITA SOPIANA

E14060374

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Studi Pengaturan Hasil dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Jepara adalah karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2011

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Studi Pengaturan Hasil dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Kabupaten Jepara

Nama : Anita Sopiana

NRP : E14060374

Menyetujui: Dosen Pembimbing

Ketua, Anggota,

Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp Dr. Ir. Bahruni, MS NIP. 19640421 198803 1 002 NIP. 19610501 198803 1 003

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Hutan IPB

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul Studi Pengaturan Hasil dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kabupaten Jepara ini dapat diselesaikan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan daur ekonomis yang paling menguntungkan bagi petani hutan rakyat sebagai pengganti daur butuh serta mengidentifikasikan perspektif petani di dalam pembentukan kesatuan unit pengelolaan hutan rakyat.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan arahan kepada petani dalam menggali sumber pertumbuhan ekonomi yang optimal untuk membangun dan mengembangkan usaha hutan rakyat. Penelitian ini disajikan dalam enam bab, yakni: bab satu berisi pendahuluan, bab dua berisi tinjauan pustaka yang terkait, bab tiga berisi metode penelitian, bab empat berisi gambaran kondisi umum lokasi penelitian, bab lima berisi hasil dan pembahasan serta bab enam berisi kesimpulan dan saran.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta atas limpahan kasih sayang dan untaian doa yang tulus dalam di setiap helaian nafasnya, yang selalu memotivasi penulis untuk terus berusaha dan bersabar dalam menjalani setiap langkah kehidupan ini.

Terima kasih kepada Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp dan Dr. Ir. Bahruni, MS selaku dosen Pembimbing Utama dan Pembimbing Anggota skripsi atas kesediaannya untuk meluangkan waktu dan kesempatannya serta ilmu yang diberikan selama ini. Sekaligus sebagai orangtua yang telah membimbing, menasehati, mengingatkan, menegur dan mengarahkan serta mendoakan agar penulis cepat menyelesaikan penyusunan karya ilmiah ini.

(8)

Penghargaan dan terima kasih kepada Bapak Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Kabupaten Jepara beserta jajarannya yang telah memberikan data dan informasi serta bantuanya yang sangat berguna bagi penulis selama melakukan penelitian.

Ibu Wiwi beserta keluarga, bapak Supangtrimo beserta keluarga, bapak Yudi beserta keluarga dan bapak Sulton beserta keluarga terima kasih atas keikhlasannya dalam menyediakan tempat tinggal dan asupan makanan untuk penulis selama melakukan penelitian.

Terima kasih kepada Sukesti Budiarti, Linda Sri, Rida Mulyani, May Caesarry, Woro Sutia lestari, Elisda Damayanti, Nurlailati Ramdhani, Elang Maulidah, Linda Zakiyah, Ratna Ningsih, Hamidah, Syifaur Rahma, Ana Dairiana, Nina Indah Kumalasari, Dzulafifah, Ahsana Rizka, Andriani Wijiastuti, Luffi Hapsari, Hania Purwitasari, Dwi Maryani, Iyis Puji Lestari, Dian Oktavianingsih, Paskari Ariska Wayana, Andi Rustandi dan Sentot Purwanto atas semua doa, bantuan dan dukungannya selama ini hingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Serta rekan-rekan MNH 43 lainnya terima kasih atas kebersamaannya selama ini.

Penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi seluruh pembaca.

Bogor, Juni 2011

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 8 September 1987 sebagai anak pertama dari pasangan Bapak Effendi dan Ibu Husnawati. Jenjang pendidikan yang dilalui penulis yakni pendidikan Sekolah Dasar di MI Saadatuddarain Jakarta tahun 1994, pendidikan Sekolah Lanjutan Pertama di MTSN 1 Jakarta tahun 2000 dan pendidikan Sekolah Menegah Atas di SMAN 55 Jakarta pada tahun 2003. Pada tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 55 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Melalui program mayor-minor penulis masuk ke Jurusan Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB pada tahun ajaran 2007/2008.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan yakni sebagai staf Kewirausahaan Himpunan Profesi Mahasiswa Forest Management Student Club (FMSC) tahun 2007-2008 dan staf Kemahasiswaan dan Kesejahteraan

Sosial Lingkungan (KKSL) Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan (BEM-E) tahun 2008-2009. Selain itu pula, penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Dendrologi Hutan tahun 2008 dan asisten mata kuliah Inventarisasi Sumberdaya Hutan tahun 2009.

Penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) pada tahun 2008 di daerah Baturaden-Cilacap, Praktek Pengenalan Hutan (PPH) pada tahun 2009 di Gunung Walat, Sukabumi dan di KPH Cianjur Perum Perhutani Unit III Jawa Barat serta Praktek Kerja Lapang (PKL) pada tahun 2010 di PT Saribumi Kusuma, Kalimantan Barat.

(10)
(11)

5.2 Hubungan Luas Kepemilikan Hutan Rakyat dengan Tingkat

Pendidikan, Pekerjaan Utama dan Penghasilan ... 28

5.3 Pengembangan Usaha Hutan Rakyat 5.3.1 Faktor Pendorong Usaha Hutan Rakyat ... 29

5.3.2 Faktor Penghambat Usaha Hutan Rakyat ... 32

5.4 Kondisi Umum Struktur Hutan Rakyat ... 34

5.5 Pengelolaan Hutan Rakyat 5.5.1 Penanaman ... 38

5.5.2 Pola Tanam ... 39

5.5.3 Pemeliharaan ... 39

5.5.4 Pemanenan ... 39

5.6 Simulasi Net Present Value untuk Menentukan Daur Optimal Jenis Sengon dan Jati di Setiap Desa 5.6.1 Simulasi Net Present Value untuk Menentukan Daur Optimal Jenis Sengon di Setiap Desa ... 44

5.6.2 Simulasi Net Present Value untuk Menentukan Daur Optimal Jenis Jati di Setiap Desa ... 48

5.7 Mean Annual Increament (MAI) dan Current Annual Increament (CAI) Sengon dan Jati ... 53

5.8 Kesatuan Unit Pengaturan Hasil Hutan Rakyat 5.8.1 Perspektif Petani terhadap Pembentukan Lembaga Pengaturan Hasil Hutan Rakyat ... 55

5.8.2 Modal Sosial yang Membentuk Lembaga Pengaturan Hasil Hutan Rakyat ... 59

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 61

6.2 Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62

(12)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Luas dan persentase penggunaan tanah di Kabupaten Jepara 2008 ... 19

2. Karakteristik petani hutan rakyat berdasarkan kelompok umur ... 23

3. Karakteristik petani hutan rakyat berdasarkan tingkat pendidikan ... 24

4. Karakteristik petani hutan rakyat berdasarkan pekerjaan utama ... 25

5. Karakteristik petani hutan rakyat berdasarkan tingkat penghasilan ... 26

6. Luas lahan rata-rata kepemilikan hutan rakyat dan jumlah pohon rata-rata yang dimiliki petani tiap jenis tiap jenis ... 26

7. Sistem pembangunan usaha hutan rakyat setiap desa ... 27

8. Hubungan antar variabel dengan luas kepemilikan hutan rakyat ... 28

9. Faktor pendorong dalam pengembangan usaha hutan rakyat ... 10. Faktor penghambat dalam pengembangan usaha hutan rakyat ... 33

11. Jumlah pohon sengon rata-rata per ha pada tiap kelas diameter ... 36

12. Jumlah pohon jati rata-rata per ha pada tiap kelas diameter ... 37

13. Umur tebang pohon sengon ... 39

14. Alasan penebangan pohon sengon ... 40

15. Umur tebang pohon jati ... 40

16. Alasan penebangsn pohon jati ... 40

17. Bentuk penjualan kayu ... 41

18. Pihak yang menentukan harga kayu ... 41

19. Persamaan regresi diameter dan tinggi bebas cabang terhadap umur untuk jenis sengon... 42

20. Persamaan regresi diameter dan tinggi bebas cabang terhadap umur untuk jenis jati ... 42

21. Persamaan eksponensial pendugaan jumlah pohon sengon per ha ... 42

22. Persamaan eksponensial pendugaan jumlah pohon jati per ha ... 43

23. Pendugaan Jumlah pohon sengon per ha tiap umur ... 43

24. Pendugaan jumlah pohon jati per ha tiap umur ... 43

25. Harga pohon berdiri jenis sengon per meter kubik ... 44

26. Harga pohon berdiri jenis jati per meter kubik ... 44

27. Simulasi Net Present Value untuk menentukan daur optimal sengon di setiap desa ... 45

(13)

29. Simulasi Net Present Value untuk menentukan daur optimal jati

di setiap desa ... 48 30. Potensi jati yang dipanen tiap desa pada daur optimal ... 52 31. Mean Annual Increament (MAI) dan Current Annual Increament (CAI)

untuk jenis sengon ... 53 32. Mean Annual Increament (MAI) dan Current Annual Increament (CAI)

untuk jenis jati ... 54 33. Distribusi jawaban petani terhadap pembentukan lembaga pengaturan

hasil hutan rakyat secara berkelompok ... 56 34. Alasan petani setuju untuk membentuk lembaga pengaturan hasil

hutan rakyat secara berkelompok... 56 35. Alasan petani tidak setuju untuk membentuk lembaga pengaturan

(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman 1. Grafik MAI dan CAI ... 10 2. Kodisi hutan rakyat di Desa Damarwulan, Clering dan Suwawal ... 27 3. Hasil perhitungan jumlah pohon sengon per ha berdasarkan kelas

diameter di setiap desa ... 36 4. Hasil perhitungan jumlah pohon jati per ha berdasarkan kelas

diameter di setiap desa ... 37 5. Teknik penanaman bibit dengan cara trubus ... 38 6. Simulasi Net Present Value untuk menentukan daur optimal sengon

di setiap desa ... 44 7. Pemanfaatan kayu sengon untuk pembangunan atap rumah ... 46 8. Simulasi Net Present Value untuk menentukan daur optimal jati

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman 1. Hasil pengukuran diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang

rata-rata di setiap desa untuk jenis sengon ... 64 2. Hasil pengukuran diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang

rata-rata di setiap desa untuk jenis jati ... 64 3. Analisis regresi pendugaan diameter dan tinggi bebas cabang pohon

sengon dan jati tiap desa ... 65 4. Hasil pendugaan diameter, tinggi bebas cabang, volume per pohon

dan volume per ha untuk jenis sengon ... 69 5. Hasil pendugaan diameter, tinggi bebas cabang, volume per pohon

dan volume per ha untuk jenis jati ... 70 6. Jumlah pohon sengon per ha pada setiap umur yang diperoleh dari

hasil pengukuran di lapangan ... 72 7. Jumlah pohon jati per ha pada setiap umur yang diperoleh dari hasil

pengukuran di lapangan ... 72 8. Contoh perhitungan pendugaan pohon sengon dan jati per ha

tiap umur ... 73 9. Peta administrasi Kabupaten Jepara ... 76 10. Analisis regresi antar luas kepemilikan hutan rakyat dengan tingkat

Pendidikan, pekerjaan dan penghasilan ... 77 11. Faktor pendorong dan penghambat dalam pengusahaan rakyat tiap desa .... 78 12. Estimasi jumlah pohon sengon yang dipanen setiap m³ ... 79 13. Estimasi jumlah pohon jati yang dipanen setiap m³ ... 79 14. Mean Annual Increament (MAI) dan Current Annual Increament (CAI)

jenis sengon di setiap desa... 80 15. Mean Annual Increament (MAI) dan Current Annual Increament (CAI)

jenis jati di setiap desa ... 81

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebutuhan bahan baku kayu industri kehutanan saat ini telah melampaui kemampuan sumberdaya hutan alam dalam memproduksi kayu secara lestari. Hal ini berkaitan dengan peningkatan jumlah penduduk Indonesia, sehingga keperluan akan kayu semakin hari semakin meningkat. Kebutuhan kayu secara nasional diperkirakan mencapai 33,2 juta m3, sementara pasokan kayu dari hutan negara hanya mampu mencapai sekitar 8.058.734 m3 (BPS 2008). Kesenjangan tersebut mendorong pemanfaatan sumberdaya hutan ke arah eksploitasi yang berlebihan sehingga menyebabkan sumberdaya hutan tersebut cenderung tidak mampu mengembalikan tingkat produktivitasnya.

Salah satu alternatif dalam pemecahan masalah tersebut yakni dengan melakukan pembangunan hutan rakyat di luar kawasan hutan. Adanya hutan rakyat selain dapat membantu memenuhi kebutuhan kayu, juga dapat memberikan peran positif baik secara ekonomi maupun ekologi. Secara ekonomi adanya hutan rakyat dapat meningkatkan pendapatan petani, penyedia lapangan pekerjaan dan memacu pembangunan ekonomi daerah. Sedangkan secara ekologi, hutan rakyat mampu berperan positif dalam mengendalikan erosi dan limpasan permukaan, memperbaiki kesuburan tanah, dan menjaga keseimbangan tata air.

(17)

Diperlukan adanya suatu konsep pengaturan hasil dan pengembangan yang dapat memaksimalkan hasil hutan rakyat. Salah satunya dengan mencermati lebih dalam mengenai ketertarikan masyarakat terhadap pembangunan dan pengembangan hutan di lahan miliknya yang didasarkan pada kelestarian hasil dengan cara bekerjasama antar pemilik hutan rakyat. Hal tersebut dilakukan untuk menciptakan budaya pengelolaan hutan rakyat yang berorientasi bisnis, sehingga nantinya dapat menjadi salah satu solusi dalam memecahkan permasalahan dalam pengelolaan hutan rakyat yang selama ini dihadapi oleh petani hutan rakyat

Selama ini Kabupaten Jepara terkenal sebagai sentra industri mebel, oleh karena itu pengembangan usaha hutan rakyat di Kabupaten Jepara harus terus ditingkatkan. Adanya hutan rakyat tersebut akan mempermudah tersediannya bahan baku industri mebel yang ada di Kabupaten Jepara. Selain itu dengan adanya pengembangan usaha hutan rakyat ini diharapkan dapat melestarikan potensi sumberdaya hutan. Berdasarkan uraian tersebut maka dilakukan penelitian yang berjudul “Studi Pengaturan Hasil dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kabupaten Jepara” yang merupakan salah satu unsur pengelolaan hutan rakyat untuk jangka panjang dan dapat memberikan keuntungan optimal untuk petani hutan rakyat.

1.2 Perumusan Masalah

(18)

Melihat kondisi tersebut maka perlu dilakukan upaya perbaikan pengelolaan hutan rakyat agar memberikan hasil yang lestari, baik dari sisi ekonomi maupun ekologi. Perbaikan pengelolaan hutan rakyat yang dimaksud yaitu dengan melakukan analisis daur optimal secara finansial. Atas dasar itulah, penentuan jatah panen haruslah diatur untuk setiap petani hutan rakyat sehingga dapat membantu petani untuk menentukan daur yang paling menguntungkan dan memperoleh pendapatan yang berkesinambungan serta hasil hutan rakyat yang tetap lestari.

Proses kelembagaan dalam rangka pengaturan hasil hutan rakyat juga sangat diharapkan karena memiliki peran yang penting untuk mengatur mekanisme kelompok dan musyawarah. Maka dari itu, untuk menjamin kelestarian hasil hutan rakyat diperlukan penguatan kelembagaan diantara kelompok tani sehingga terbentuk aturan-aturan internal mengenai sistem pengelolaan hutan rakyat baik itu berkaitan dengan penanaman, pengaturan hasil, pemasaran dan lain-lain yang berkaitan dengan kelancaran pengelolaan hutan rakyat.

1.3Tujuan

1. Mengidentifikasi faktor pendorong dan penghambat bagi petani dalam rangka pengembangan usaha hutan rakyat.

2. Menentukan daur optimal sebagai basis pengaturan hasil pengganti daur butuh. 3. Mengidentifikasi perspektif petani di dalam pembentukan kesatuan unit

pengelolaan hutan rakyat.

1.4 Manfaat

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Hutan Rakyat

Menurut Departemen Kehutanan (1995), hutan rakyat sebagai salah satu bentuk hutan kemasyarakatan yang dimiliki oleh masyarakat atau rakyat, baik secara perorangan, kelompok, maupun swasta ataupun badan usaha masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memenuhi kebutuhan masyarakat akan hasil hutan serta pelestarian lingkungan hidup. Selanjutnya ketentuan luas lahan minimal untuk hutan rakyat adalah sebesar 0.25 ha dengan penutupan lahan oleh tajuk tanaman kayu-kayuan lebih dari 50% atau pada tahun pertama sebanyak 500 batang setiap hektarnya.

Hutan rakyat selama ini hanya dilihat sebagai kumpulan pohon-pohon yang tumbuh dan berkembang di atas lahan milik rakyat, sehingga banyak dijumpai dalam kalkulasi ekonomi hutan rakyat yang muncul kepermukaan berkaitan dengan hasil kayu saja. Hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa Fakultas Kehutanan mengenai hutan rakyat, seringkali menghitung kontribusi pendapatan hutan rakyat terhadap pendapatan keluarga tani. Umumnya perhitungan pendapatan hutan rakyat tersebut hanya berasal dari unsur kayunya saja. Hal ini terjadi karena komoditi yang dilihat dari hutan rakyat hanya pohon-pohon saja (Awang 2005).

(20)

2.2 Manfaat Hutan Rakyat

Menurut Djajapertunda (1995), mengungkapkan bahwa hutan rakyat berperan penting dan memiliki manfaat-manfaat yang cukup menyakinkan, diantaranya:

1. Hutan rakyat merupakan sumber pendapatan masyarakat yang berkesinambungan dan berbentuk tabungan.

2. Keberadaan hutan rakyat dapat membuka lapangan kerja yang cukup berarti. 3. Produksi hutan rakyat yang berupa kayu dan non kayu dapat mendorong

dibangunnya industri yang akan mempunyai peran penting dalam ekonomi nasional.

4. Hutan rakyat yang dibangun di lahan-lahan kritis dapat berperan dalam melindungi bahaya erosi, sedangkan hutan rakyat yang memilih jenis-jenis tertentu dapat meningkatkan kesuburan.

5. Hutan rakyat dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pendapatan Negara melalui berbagai pajak dan pungutan.

6. Hutan rakyat dapat meningkatkan pemanfaatan lahan secara optimal termasuk lahan-lahan marginal.

2.3 Pengelolaan Hutan Rakyat

Pada dasarnya pengelolaan hutan rakyat merupakan upaya menyeluruh dari kegiatan-kegiatan merencanakan, membina, mengembangkan, menilai, dan mengawasi pelaksanaan kegiatan produksi, pengelolaan hasil, dan pemasaran secara terencana dan berkesinambungan. Tujuan akhir dari pengelolaan hutan rakyat adalah adanya upaya peningkatan dari kayu rakyat terhadap peningkatan pendapatan pemiliknya secara berkesinambungan terus-menerus sepanjang daur (LP IPB 1990).

Menurut Lembaga Penelitian IPB (1990), kerangka dasar sistem pengelolaan hutan rakyat melibatkan beberapa sub sistem produksi, sub sistem pengolahan hasil dan sub sistem pemasaran hasil. Tujuannya yang ingin dicapai dari tiap-tiap sub sistem adalah sebagai berikut :

(21)

2. Sub sistem pengolahan hasil adalah terciptanya kombinasi bentuk hasil yang memberikan keuntungan besar bagi pemilik lahan hutan rakyat.

3. Sub sistem pemasaran hasil adalah tercapainya tingkat penjual yang optimal, dimana semua produk yang dihasilkan dari hutan rakyat terjual dipasaran.

Meskipun konsep pengelolaan hutan rakyat lestari belum menjangkau petani hutan rakyat secara menyeluruh, perubahan orientasi ke arah komersial ternyata mampu membawa pengelolaan hutan rakyat lebih bisa bertahan dibandingkan dengan hutan alam. Berkaitan dengan orientasi dan motivasi petani menanam kayu, maka penentuan jenis pohon yang ditanam merupakan pertimbangan penting yang harus diupayakan petani. Pasar membutuhkan jenis kayu tertentu dan kualitas yang memadai untuk bahan baku industri, sehingga masyarakat petani harus mengetahu jenis-jenis yang dibutuhkan pasar saat ini dan jangka waktu ke depan (Achmad et al 2010).

Luas kepemilikan lahan yang terbatas menyebabkan petani harus mampu menentukan jumlah dan jenis pohon yang ditanam, karena hal ini berpengaruh terhadap produktivitas dan kualitas kayu yang dihasilkan. Penilaian yang mudah untuk mengukur produktivitas dan kualitas tegakan adalah dengan melihat penampilan pertumbuhan pohon (diameter dan tinggi). Mindawati et al. dalam Review Hasil Penelitian Hutan Rakyat (2006), mengemukakan bahwa pertumbuhan diameter dan tinggi sangat dipengaruhi kesuburan tanah, iklim, sumber bibit, pola tanam dan teknik bududaya yang diterapkan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi penilaian daur ekonomi dan umur optimal pada berbagai prediksi pertumbuhan dan nilai tegakan.

(22)

2.4 Pengaturan Hasil Hutan Rakyat

Kelestarian hasil diharapkan dapat dicapai melalui pengaturan hasil. Pengaturan hasil hutan memang diperlukan untuk menghitung volume kayu yang boleh ditebang pada setiap tahun, agar jumlah tebangan selama periode tertentu sama dengan jumlah riap dari seluruh tegakan.

Pengusahaan hutan memerlukan waktu yang sangat panjang untuk mencapai saat pemanenan. Dilain pihak pengelolaan hutan selalu didasarkan pada azas kelestarian sumberdaya. Dalam azas tersebut, pemungutan hasil hutan harus dilakukan pengaturan hasil sehingga tidak mengurangi potensi hutan dilapangan (Departemen Kehutanan 1992). Hal tersebut mendorong perlunya pengaturan hasil agar kegiatan pemungutan hasil dapat dilakukan secara terus-menerus tetapi tidak menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya hutan bahkan sedapat mungkin meningkatkan kualitas hutan.

Menurut Lembaga Penelitian IPB (1990), ada beberapa metode pengaturan hasil dalam pengelolaan hutan yang lestari yaitu berdasarkan luas, volume dan jumlah batang. Metode pengaturan hasil pada hutan rakyat berbeda dengan pengaturan hasil pada hutan negara. Pengaturan hasil pada hutan rakyat lebih sulit dari pengaturan hasil pada hutan negara. Hal ini terjadi karena hutan rakyat memiliki keragaman yang sangat besar baik dalam struktur tanaman, perilaku pemilik, dan luas lahan yang relatif kecil.

Metode pengaturan hasil yang biasa dipakai pada hutan rakyat adalah metode jumlah batang. Pengaturan hasil pada hutan rakyat menggunakan metode jumlah batang yaitu pengelolaan pohon demi pohon dari berbagai struktur tanaman pada lahan milik yang bertujuan untuk kelestarian pendapatan bagi setiap petani hutan rakyat. Nantinya dari pengaturan hasil dengan menggunakan metode jumlah batang ini diharapkan dapat menghasilkan suatu rumusan dasar pengaturan kelestarian hasil yang dapat dimengerti dengan mudah oleh petani hutan rakyat.

2.5 Analisis Finansial

(23)

yang paling menguntungkan melalui berbagai pilihan. Analisis finansial ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: komposisi jenis yang dikembangkan, daur ekonomis vegetasinya, tingkat suku bunga dan biaya-harga yang berlaku di suatu daerah sehingga hasil kajian analisis ini bersifat site spesifik, artinya keputusan yang diperoleh dari kajian ini tidak secara otomatis bisa diterapkan di tempat lain. Namun sebagai acuan, petani (pengembang) hutan rakyat bisa lebih bijaksana dan menyadari risiko dan konsekuensi dalam menjatuhkan pilihan terhadap jenis apa yang sebaiknya dikembangkan termasuk model atau pola tanamnya, tentunya setelah kelayakan teknis dan ekologinya terpenuhi terlebih dahulu. Hasil analisis finansial ini bukan merupakan instrumen tunggal dalam pengambilan keputusan untuk menentukan suatu pilihan jenis yang akan dikembangkan pada hutan rakyat, tetapi lebih merupakan salah satu alat pendukung dari serangkaian alat yang harus tersedia (Acmad et al. 2010).

Kriteria investasi yang dipakai adalah Net Present Value (NPV) yang menunjukkan kelebihan benefit dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan pada suatu tingkat bunga tertentu, Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Ratio) yang menunjukkan berapa kali lipat benefit yang akan diperoleh dari cost yang telah dikeluarkan, dan Internal Rate of Return (IRR) yang menggambarkan kemampuan suatu usaha dalam mengembalikan bunga pinjaman serta untuk mengetahui prosentase keuntungan tiap tahun. Apabila nilai NPV > 0; Net B/C Ratio > 0; IRR > tingkat bunga yang berlaku, maka usaha hutan rakyat layak dilaksanakan (Acmad et al. 2010).

2.6 Daur

(24)

Berdasarkan Departemen Kehutanan (1992) disebutkan ada enam macam daur, yaitu:

1. Daur fisik

Yaitu jangka waktu yang berimpitan dengan periode hidup suatu jenis untuk kondisi temapat tumbuh tertentu, sampai jenis tersebut mati secara alami. Kadang-kadang juga didefinisikan sama dengan umur, sampai pohon tersebut masih mampu menghasilkan biji yang baik untuk melakukan permudaan. Jadi daur ini tidak mempunyai hubungan yang erat dengan nilai ekonomi suatu hutan.

2. Daur silvikultur

Yaitu jangka waktu selama hutan masih menunjukkan pertumbuhan baik, dan dapat menjamin permudaan, dengan kondisi yang sesuai dengan tempat tumbuh. Daur silvikultur sangat dekat atau hampir mirip dengan daur fisik. Daur silvikultur pada umumnya sangat panjang dan mempunyai batas yang amat lebar.

3. Daur teknik

Yaitu jangka waktu perkembangan sampai suatu jenis dapat menghasilkan kayu atau hasil hutan lainnya, untuk keperluan tertentu. Untuk suatu jenis, daur fisik bergantung pada tujuan pengelolaannya. Misalnya, daur untuk kayu bakar dan pulp pada umumnya pendek, tetapi daur untuk kayu pertukangan, sering kali amat panjang.

4. Daur volume maksimum

Yaitu jangka waktu perkembangan suatu tegakan yang memberikan hasil kayu tahunan terbesar, baik dari hasil penjarangan maupun tebangan akhir. Daur ini merupakan perkembangan yang terpenting dan paling banyak dipakai di lapangan, baik secara langsung atau tidak langsung. Panjang daur volume maksimum ini berhimpit dengan umur tegakan pada waktu riap rata-rata tahunan (MAI, mean annual increament) mencapai maksimum. Umur tersebut juga merupakan titik potong antara grafik MAI dengan CAI (current annual increament).

(25)

m3/ha

MAI

Umur (thn)

Gambar 1 Grafik MAI dan CAI.

5. Daur pendapatan maksimum

Daur ini juga dikenal sebagai daur “bunga hutan” maksimum, yaitu daur yang menghasilkan rata-rata pendapatan bersih maksimum. Di sini, pendapatan bersih dihitung dari hasil penjarangan dan hasil akhir, setelah dikurangi dengan daur volume maksimum. Rata-rata pendapatan tahunan bersih diperoleh dari total pendapatan bersih dibagi dengan panjang daur.

6. Daur finansial

Daur ini digunakan untuk memperoleh keuntungan maksimum dalam nilai uang. Di kehutanan, keuntungan dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu dari nilai harapan lahan dan dari hasil finansial.

2.7 Riap

Riap tegakan dibentuk oleh pohon-pohon yang masih hidup di dalam tegakan, tetapi penjumlahan dari riap pohon ini tidak akan sama dengan riap tegakannya, karena dalam periode tertentu beberapa pohon dalam tegakan dapat saja mati, busuk atau beberapa lainnya mungkin ditebang. Sebagian besar pepohonan pada inventarisasi awal tumbuh naik ke kelas diameter berikutnya yang lebih besar (upgrowth). Pada kelas diameter kecil, penambahan pohon pada inventarisasi berikutnya berasal dari ingrowth yang tidak terhitung pada inventarisasi awal. Jumlah pohon dalam tegakan berkurang akibat kematian yang

(26)

terjadi pada keseluruhan diameter, dimana laju kematian terbesar terjadi pada kelas diameter terkecil (Davis et al. 1987).

Riap dibedakan ke dalam riap tahunan berjalan (Current Annual Increament, CAI), riap periodik (Periodic Increament, PI), dan riap rata-rata tahunan (Mean Annual Increament, MAI). CAI adalah riap dalam satu tahun berjalan, PI adalah riap dalam satu waktu periode tertentu, sedangkan MAI adalah riap rata-rata (per tahun) yang terjadi sampai periode waktu tertentu (Prodan 1968).

2.8 Jati (Tectona grandis Linn. f.)

Jati dikenal luas sebagai tanaman yang tumbuh pada tapak beriklim tropis. Sering dijumpai sebagai tanaman sela pada sistem agroforestry. Salah satu kayu serbaguna, digunakan untuk konstruksi ringan dan berat, bahan bangunan rumah, kayu pertukangan, ukiran dan lain-lain.

Pada kondisi baik, tinggi pohon jati mencapai 30 – 40 m. Pada habitat kering, pertumbuhan menjadi terhambat, cabang lebih banyak, melebar dan membentuk semak. Pada tapak bagus, batang bebas cabang 15 – 20 m atau lebih, percabangan kurang dan rimbun. Pohon tua sering berbanir dan beralur. Kulit batang tebal, abu-abu atau coklat ke abu-abuan. Secara morfologis buah jati tergolong keras, terbungkus kulit berdaging, lunak tidak merata (tipe buah batu). Ukuran buah bervariasi 5 – 20 mm, umumnya 11 – 17 mm (Sumarna 2003).

Secara umum, pengembangan jati sampai dekade tahun 70-an masih bersifat konvensional. Pengembangan budidaya jati masih mengandalkan teknik perbanyakan secara generatif, yaitu perbanyakan tanaman yang berasal dari biji atau benih pohon induk yang terpilih. Pengembangan tanaman jati secara konvensional (generatif) memiliki kendala, yaitu tanaman baru dapat berproduksi sekitar 40-60 tahun.

(27)

belum tentu lebih baik dibandingkan kayu jati hasil budidaya secara konvensional. Namun demikian dapat mendorong masyarakat untuk membudidayakannya (Siregar 2005).

2.9Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen)

Sengon merupakan pohon multiguna, baik daun, batang, maupun sistem perakarannya dapat digunakan untuk beragam keperluan. Kayu sengon digunakan untuk tiang bangunan rumah, papan, peti kas, perabotan rumah tangga, pagar, tangkai dan kotak korek api, pulp, kertas dan lain-lain. Sengon merupakan jenis vegetasi daerah tropik. Suhu yang diperlukan oleh sengon untuk pertumbuhannya berkisar 22°C - 33°C. Pohon Sengon berbatang lurus, tidak berbanir, kulit berwarna kelabu keputih-putihan, licin, tidak mengelupas, dan memiliki batang bebas cabang mencapai 20 m. Tajuk berbentuk seperti perisai, agak jarang, dan selalu hijau. Tajuk yang agak jarang ini memungkinkan beberapa jenis tanamana perdu tumbuh dengan baik di bawahnya (Atmosuseno 1998).

Sengon termasuk jenis yang cepat tumbuh tanpa memerlukan tindakan silvikultur yang rumit dan berkembang dengan baik pada tanah yang relatif kering, agak lembab bahkan di daerah tandus. Di daerah tropis seperti Indonesia, sengon dapat tumbuh dengan baik pada tanah-tanah yang lembab dengan tipe iklim A, B dan C menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson (Griffoen 1954 dalam Setyawan 2002).

3.10 Kelembagaan Hutan Rakyat

(28)
(29)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September - Oktober 2010 di Kabupaten Jepara-Jawa Tengah, meliputi Desa Damarwulan (Kec. Keling), Desa Clering (Kec. Donorejo) dan Desa Suwawal (Kec. Mlonggo).

3.2 Alat dan Objek Penelitian

Beberapa alat yang dipergunakan seperti alat pengukur keliling (pita ukur), alat pengukur tinggi (haga hypsometer), tally sheet, alat pengukur jarak (meteran), alat tulis dan hitung, alat dokumentasi, kuesioner, dan program komputer. Objek penelitian adalah hutan rakyat, petani hutan rakyat dan pedagang pengumpul.

3.3 Batasan Operasional

1. Penelitian ini merupakan studi pada lahan hutan rakyat di wilayah Kabupaten Jepara, sehingga kesimpulan yang diperoleh hanya berlaku untuk daerah kasus. 2. Hasil produksi yang diperoleh dari lahan hutan rakyat yang akan diteliti dalam

penelitian ini berupa hasil hutan kayu.

3. Analisis daur finansial dan kelestarian hasil pada penelitian ini dibatasi pada jenis jati dan sengon.

3.4 Jenis dan Sumber Data

(30)

Data sekunder merupakan data penunjang yang berhubungan dengan obyek penelitian yang diperoleh melalui instansi-instansi terkait, internet dan studi literatur. Data-data tersebut, antara lain: data potensi hutan rakyat, keadaan umum lokasi, keadaan sosial ekonomi masyarakat, keadaan tanah, topografi dan kelerengan lahan di wilayah Kabupaten Jepara (Jepara Dalam Angka 2009).

3.5 Metode Pengambilan Sampel

Penelitian ini dilakukan dengan metode purposive sampling secara bertahap. Pada tahap pertama dipilih tiga kecamatan memperhatikan potensi pengembangan hutan rakyat, yakni kecamatan yang mempunyai luas hutan rakyat kecil, sedang dan tinggi. Pada tahap kedua untuk setiap kecamatan dipilih satu contoh desa yang luas hutan rakyatnya paling besar. Pada tahap ketiga untuk setiap desa diambil sampel rumah tangga petani yang mengusahakan hutan rakyat. Pengambilan sampel untuk rumah tangga petani hutan rakyat didasari oleh pengarahan dan informasi dari penyuluh lapang di setiap lokasi penelitian. Responden petani hutan rakyat yang diambil sebagai sample sebanyak 30 responden setiap desa. Singarimbun et al. (1995) menyatakan bahwa dalam penelitian survei standar minimal responden yang diambil sebanyak 30 orang.

Pengukuran potensi tegakan dilakukan dengan plot contoh berupa circular plot atau plot lingkaran dengan luasan 0,02 ha (Jari-jari lingkaran 7,98 m) untuk tegakan dengan kelas umur I dan II (1 – 20 tahun) , luasan 0,04 ha (jari-jari lingkaran 11,28m) untuk tegakan kelas umur III dan IV (21 – 40 tahun), luasan 0,1 ha (jari-jari lingkaran 17.8m) untuk tegakan kelas umur V, VI dan masak tebang/miskin riap (Keputusan Direktorat Jenderal Kehutanan nomor 143/Kpts/DJ/I/1974 tentang Peraturan Inventarisasi Hutan Jati dan Peraturan Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) Khusus Kelas Perusahaan Tebang Habis Jati, Perum Perhutani). Pengukuran dan pencatatan mencakup jenis atau spesies, keliling, dan tinggi pohon bebas cabang.

3.6 Metode Analisis Data

(31)

a. Masukkan data-data hasil pengukuran diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang yang diperoleh dari pengukuran lapang (Lampiran 1 dan 2) ke dalam software minitab 14.

b. Maka akan diperoleh persamaan regresi hubungan antara umur dengan diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang (Lampiran 3) sebagai berikut:

Log diamater = a + b Log umur

Log tinggi bebas cabang = a + b Log umur

c. Setelah itu akan didapat nilai pendugaan diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang pada tiap umur untuk jenis sengon dan jati (Lampiran 4 dan 5)

2. Pendugaan jumlah pohon per ha setiap umur

Liocourt (1898) dalam Davis et al. (1987) menyatakan bahwa tegakan hutan tidak seumur dapat digambarkan konstan rasio antara jumlah pohon dalam kelas umur berurutan, umumnya sebaran eksponensial membentuk kurva J terbalik.

Langkah-langkah yang dilakukan :

a. Kelompokkan data mengenai jumlah pohon per ha pada tiap umur yang diperoleh di lapang (Lampiran 6 dan 7).

b. Lakukan perhitungan dengan menggunakan rumus J terbalik dengan rumus sebagai berikut (Lampiran 8):

N = Ke-

au

Keterangan:

N = Jumlah pohon per ha setiap umur (batang/ha) K & a = Tetapan yang menunjukkan struktur tegakan e = Bilangan Logaritma

u = umur

(32)

3. Pengukuran volume pohon pada tiap umur

Volume pohon pada tiap umur diperoleh dengan memasukkan variabel diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang pada tiap umur ke dalam

4. Pengukuran volume tegakan per ha pada tiap umur

Volume tegakan per ha pada tiap umur (c) diperoleh dengan mengalikan hasil pengukuran volume pohon tiap umur (a) dengan pendugaan rata-rata jumlah pohon per ha tiap umur (b).

c = a x b

5. Perhitungan daur finansial berdasarkan Net Present Value (NPV) menurut Nugroho (2008), Davis et al. (1987), dan Gittinger (1986)

Net Present Value (NPV) merupakan nilai sekarang dari manfaat atau pendapatan dan biaya atau pengeluaran. Dengan demikian apabila NPV bernilai positif dapat diartikan bahwa usaha yang dilakukan memperoleh keuntungan. Sebaliknya NPV yang bernilai negatif menunjukkan kerugian.

(33)

NPV= 0; maka proyek tidak untung dan tidak juga rugi, jadi tergantung pada penilaian subyektif pengambilan keputusan.

NPV< 0; maka proyek ini merugikan karena keuntungan lebih kecil dari biaya, jadi lebih baik tidak dilaksanakan

Langkah-langkah yang dilakukan, yakni:

a. Pendapatan dalam pengusahaan hutan rakyat diperoleh dari rumus, sebagai berikut: Bt = c x d

Keterangan:

Bt = pendapatan (benefit) pada tahun ke-t c = volume tegakan per ha pada setiap umur

d = harga jual kayu per m³ pada setiap kelas diameter

b. Pengeluaran dalam pengusahaan hutan rakyat diperoleh dari rumus, sebagai berikut: Ct = d + e + ∑ f + ∑ g

Keterangan:

Ct = biaya (cost) pada tahun ke-t

d = biaya penanaman, meliputi kegiatan di dalam yakni: persiapan lapang, pembuatan lubang tanam dan penanaman

e = biaya pengadaan bibit f = biaya pemeliharaan g = pajak

5. Riap Rata-Rata Tahunan (MAI) dan Riap Tahunan Berjalan (CAI)

Perhitungan riap rata-rata tahunan berdasarkan rumus Prodan (1968), sebagai berikut:

MAI volume =

(m

3

/ha/tahun)

Perhitungan riap tahunan berjalan berdasarkan rumus Prodan (1968) sebagai berikut:

CAI volume

=

=

(m

3

/ ha)

Keterangan:

Vn = Volume tegakan pada saat umur n (

m

3

/ ha)

(34)

BAB 1V

KONDISI UMUM LOKASI

4.1. Keadaan Umum Kabupaten Jepara 4.1.1. Letak dan kondisi wilayah geografis

Jepara adalah salah satu Kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yang terletak pada 5° 43` 20,67” sampai 6° 47` 25,83” Lintang Selatan dan 110° 9` 48,02” sampai 110° 58`37,40” Bujur Timur, dengan luas wilayah 100.413,189 ha atau 1.004,132 km². Kabupaten Jepara terbagi atas 16 Kecamatan, 183 Desa dan 11 Kelurahan, serta 1.235 RW dan 4.441 RT. Peta administrasi Kabupaten Jepara disajikan pada Lampiran 9.

Batas wilayah Kabupaten Jepara adalah sebagai berikut : 1. Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Jawa.

2. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa.

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Kudus dan Pati. 4. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Demak.

Tabel 1 Luas dan persentase penggunaan tanah di Kabupaten Jepara 2008

No Penggunaan Tanah Luas (ha) Persentase (%)

1 Tanah Sawah 26.291,056 26,18

2 Tanah Untuk Bangunan & Halaman Sekitarnya 28.287,309 28,17

3 Tegal 18.436,233 18,36

4 Padang Rumput 8,000 0,01

5 Rawa Yang Tidak Ditanami 21,000 0,02

6 Tambak 1.201,386 1,20

7 Kolam 9,545 0,01

8 Tanah Yang Sementara Tidak Diusahakan 330,700 0,33

9 Tanah Untuk Tanaman Kayu-kayuan 1.535,462 1,53

10 Hutan Negara 17.562,272 17,49

11 Perkebunan Negara/Swasta 3.954,288 3,94

12 Tanah Lainnya (Jalan, Sungai, Kuburan, 2.775,938 2,76

Lambiran, Tanah Gede, Lapangan Olah Raga, dll)

Jumlah 100.413,189 100,00

(35)

4.1.2 Jenis tanah

Ada 5 jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Jepara yaitu :

1. Andosol Coklat, terdapat di perbukitan bagian utara dan puncak Gunung Muria seluas 3.525,469 ha (3,15%).

2. Regosol, terdapat di bagian utara seluas 2.700,857 ha (2,69%).

3. Alluvial, terdapat di sepanjang pantai barat seluas 19.126,433 ha (19,05%). 4. Assosiasi Mediteran, terdapat di pantai barat seluas 9.667,857 ha (6,63%). 5. Latosol, adalah jenis tanah yang paling dominan di Kabupaten Jepara dan

terdapat di perbukitan Gunung Muria seluas 65.392,573 ha (65,12%).

4.1.3 Ketinggian tempat dan solum tanah

Kabupaten Jepara secara garis besar memiliki pembagian alam yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu :

1. Daerah dataran tinggi dengan ketinggian > 100 mdpl dengan kelerengan antara 25–40% meliputi Kecamatan Batealit, Mlonggo, Pakisaji, Bangsri, Kembang, Keling, Donorojo, Mayong dan Nalumsari.

2. Daerah dataran sedang dengan ketinggian antara 50–100 mdpl dengan kelerengan antara 8–15% meliputi sebagian Kecamatan Tahunan, Mlonggo, Pakisaji, Bangsri, Kembang, Keling, Donorojo, Mayong, Nalumsari dan Karimunjawa.

3. Daerah dataran rendah dengan ketinggian < 50 mdpl dengan kelerengan berkisar antara 0–8% meliputi sebagian Kecamatan Welahan, Tahunan, Jepara, Mlonggo, Pakisaji, Bangsri, Kembang, Keling, Donorojo, Mayong, Nalumsari dan Karimunjawa.

4.1.4 Sosial ekonomi

4.1.4.1 Keadaan penduduk berdasarkan umur dan jenis kelamin

(36)

1.086 jiwa per km², dimana kepadatan penduduk terbesar berada di Kecamatan Jepara (3.087 jiwa per km²) sedangkan kepadatan penduduk terendah berada di Kecamatan Karimunjawa (122 jiwa per km²).

4.1.4.2 Keadaan penduduk berdasarkan mata pencaharian

Mata pencaharian yang banyak menyerap tenaga kerja di Kabupaten Jepara adalah sector industri (44,93%) dan pertanian (18,49%), selebihnya berusaha/bekerja di sektor pertambangan, listrik, konstruksi, keuangan dan jasa-jasa lainnya.

4.1.4.3 Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan berdasarkan umur 10 tahun ke atas di Kabupaten Jepara, yakni: tidak/belum pernah sekolah (8,49%), tidak/belum tamat SD (18,24%), tamatan SD (33,07%), tamatan SLTP (21,3%), tamatan SMU (12,27%), tamatan SMK (1,64%), tamatan D1 (0,78%), tamatan D3 (1,08%), tamatan S1/S2/S3 (3,14%).

4.2 Kondisi Umum Kecamatan Keling

(37)

4.3 Kondisi Umum Kecamatan Donorejo

Kecamatan Donorejo mempunyai luas wilayah 10.864 ha. Kecamatan Donorejo berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Kecamatan Keling disebelah selatan, Kecamatan Kembang disebelah barat dan Kabupaten Pati disebelah timur. Kecamatan Donorejo ini mempunyai potensi sumber daya hutan berupa hutan rakyat seluas 977 ha dan Hutan Negara seluas 4.233 ha. Di kecamatan Donorejo ini sekitar 32% dari luas total wilayahnya merupakan lahan kritis seluas 3.502 ha. Desa yang terpilih menjadi lokasi penelitian adalah Clering. Desa Clering mempunyai luas administrasi 2.366 ha. Berdasarkan hasil wawancara dengan penyuluh lapang diduga bahwa luas hutan rakyat yang ada di Desa Clering sekitar 20% dari luas administrasi desa, yakni sebesar 473,2 ha. Jumlah penduduk Desa Clering sebanyak 5584 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki sebayak 2845 jiwa dan perempuan sebanyak 2.739 Jiwa. Sumber mata pencaharian penduduk Desa Clering sebagian besar adalah petani sebanyak 1.886 (50,7%) orang dari total 3.714 orang yang bekerja.

4.4 Kondisi Umum Kecamatan Mlonggo

(38)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Profil Umum Petani Hutan Rakyat

Petani hutan rakyat merupakan profesi sampingan yang saat ini ditekuni oleh sebagian masyarakat di lokasi penelitian, dimana hutan rakyat yang dibangun diusahakan secara individu. Mayoritas jenis pohon yang ditanam adalah jati (Tectona grandis) dan sengon (Paraserianthes falcataria), adapun jenis lain seperti mahoni (Swietenia mahagoni), medang-medangan, jengkol (Pithecollobium Jiringa), kapuk (Ceiba petandra) dan waru (Hibiscus tiliaceus) ditanam dalam jumlah kecil.

Pengelompokkan responden petani hutan rakyat pada masing-masing desa penelitian berdasarkan kelompok umur disajikan pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2 Karakteristik petani hutan rakyat berdasarkan kelompok umur

Desa Kelompok Umur (Tahun) Jumlah (Orang)

20-30 31-40 41-50 >50

Damarwulan 0 6 14 10 30

Clering 0 12 13 5 30

Suwawal 1 7 14 8 30

Jumlah (Orang) 1 25 41 23 90

Persentase (%) 1,11 27,78 45,56 25,55 100

(39)

Tingkat pendidikan mempunyai pengaruh terhadap pola/sikap petani dalam menerima hal baru/inovasi dari luar yang diharapkan dapat meningkatkan usaha mereka. Untuk mengetahui tingkat pendidikan responden petani hutan rakyat pada masing-masing desa penelitian disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakteristik petani hutan rakyat berdasarkan tingkat pendidikan

Desa Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang)

Tidak

Tabel 3 tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang dominan ditempuh oleh responden adalah tingkat Sekolah Dasar sebanyak 28 orang (31,11%). Responden yang menempuh sekolah hingga tingkat sekolah dasar itu didominasi oleh responden berumur 50 tahun. Walaupun demikian, setidaknya para responden di lokasi penelitian pernah mengenyam bangku pendidikan Sekolah Dasar sehingga mereka telah dapat membaca dan menulis. Tingkat pendidikan formal yang cukup rendah tersebut dapat dipahami karena kondisi ekonomi keluarga pada saat dulu tidak cukup mendukung untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu dimungkinkan juga karena kurang tersedianya sarana prasarana serta jarak yang cukup jauh untuk menjangkau sarana pendidikan yang ada.

Pekerjaan utama responden petani hutan rakyat yang terdapat di lokasi penelitian terbagi menjadi dua kategori, yakni perkerjaan utama di sektor pertanian dan non pertanian. Mengenai pekerjaan utama responden dapat disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Karakteristik petani hutan rakyat berdasarkan pekerjaan utama

Desa Pekerjaan Utama Jumlah (Orang)

Sektor pertanian Sektor Non Petani

Damarwulan 29 1 30

Clering 14 16 30

Suwawal 6 24 30

Jumlah (Orang) 49 41 90

(40)

Tabel 4 menunjukkan bahwa persentase responden yang pekerjaan utamanya di sektor pertanian dan non pertanian mempunyai nilai yang tidak jauh berbeda, yakni sektor pertanian (54,44%) dan non pertanian (45,56%). Pekerjaan utama responden di sektor non pertanian cukup beragam seperti supir, pengusaha batako, pegawai negeri, guru, pegawai swasta, pedagang, pengusaha kecil mebel dan ukiran. Berbeda dengan dua desa penelitian yang lain, di Desa Suwawal kebanyak respondennya mempunyai pekerjaan utama diluar sektor pertanian. Hal itu dikarena Desa Suwawal letaknya tidak jauh dengan pusat Kota Jepara sehingga peluang bekerja di luar sektor pertanian cukup besar, kebanyakan dari mereka lebih tertarik untuk bekerja sebagai pengusaha kecil mebel dan ukiran kayu.

Tingkat penghasilan yang diperoleh responden dari pekerjaan utama mereka terbagi menjadi empat kelas. Berikut ini adalah Tabel yang menyajikan tingkat penghasilan responden setiap bulan dari pekerjaan utama mereka.

Tabel 5 Karakteristik petani hutan rakyat berdasarkan tingkat penghasilan

Desa Tingkat Penghasilan (Rp/bulan) Jumlah

(Orang) responden mempunyai tingkat penghasilan yang sudah cukup baik karena besarnya penghasilan yang diperoleh oleh sebagian responden mempunyai nilai di atas Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Jepara tahun 2010 yakni sebesar Rp 702.000/bulan (www.nakertrans.jateng.go.id).

(41)

masing-masing jenis yang ada di Desa Damarwulan memiliki jumlah yang paling kecil bila dibandingkan dengan dua desa lainnya, yakni sengon (827 batang/ha) dan jati (440 batang/ha). Besarnya jumlah pohon rata-rata per ha untuk masing-masing jenis di Desa Damarwulan sangat bertolak belakang dengan besarnya luas kepemilikan rata-rata hutan rakyat di desa tersebut. Hal itu terjadi karena responden di Desa Damarwulan didominasi oleh kelompok petani yang mengusahakan hutan rakyat dengan sistem agroforestry dengan tanaman pertanian seperti singkong, kopi, lada, pisang dan jahe sehingga jarak tanam yang digunakan oleh responden kurang beraturan bila dibandingkan dengan dua desa lainnya. Selain itu pula karena sebagian responden yang ada, baru saja melakukan penebangan pohon untuk menutupi kebutuhan yang sifatnya mendesak sehingga ketika dilakukan pengukuran di lapangan jumlah pohon yang ditemui tinggal sedikit.

Tabel 6 Luas rata-rata kepemilikan hutan rakyat dan jumlah pohon rata-rata yang dimiliki petani tiap jenis didominasi oleh pola campuran (43,33%). Menurut Awang (2005) kepemilikan jenis lahan, usaha tani yang dilakukan oleh petani hutan rakyat secara spesifik memiliki pola tanam yang sangat beragam. Akan tetapi sebagian besar hutan rakyat pada umumnya menggunakan pola tanaman campuran, yaitu campuran tanaman kayu-kayuan dan tanaman pangan.

Tabel 7 Sistem pembangunan usaha hutan rakyat setiap desa

Desa Monokultur Campuran Agroforestry Jumlah (orang)

Damarwulan 1 12 17 30

Clering 13 15 2 30

Suwawal 15 12 3 30

Jumlah (orang) 29 39 22 90

(42)

Damarwulan Clering

Suwawal

Gambar 2 Kondisi hutan rakyat di Desa Damarwulan, Clering dan Suwawal.

5.2 Hubungan Luas Kepemilikan Hutan Rakyat dengan Tingkat Pendidikan, Pekerjaan Utama dan Penghasilan Responden

Berdasarkan hasil analisis regresi yang dilakukan antara luas kepemilikan hutan rakyat dengan tingkat pendidikan, pekerjaan utama dan penghasilan responden maka diperoleh persamaan sebagai berikut :

Ý = 0.230 + 0.0216 Х1+ 0.0464 Х2 - 0.00000002 Х3

(43)

terhadap besarnya luas kepemilikan hutan rakyat dilakukan uji t yang dijelaskan pada Tabel 8. Berdasarkan hasil pengujian pada Lampiran 10 dapat diketahui bahwa faktor pendidikan, pekerjaan utama dan penghasilan tidak nyata mempengaruhi luas kepemilikan hutan rakyat (P > 0,05).

Tabel 8 Hubungan antar variabel dengan besarnya luas kepemilikan hutan rakyat

Variabel t hit P

Pendidikan 1,58 0,119

Pekerjaan utama 0,56 0,574

Penghasilan -0,15 0,879

Luasnya kepemilikan hutan rakyat yang dimiliki para responden sebenarnya dipengaruhi oleh besarnya lahan yang diwariskan oleh orangtua mereka terdahulu, meskipun dahulu ketika orangtua mereka mewarisi lahan tersebut bukan dalam bentuk lahan hutan rakyat tetapi masih dalam bentuk lahan pertanian. Kemudian mereka sendirilah yang merubah lahan yang ditanami oleh tanaman pertanian menjadi lahan yang ditanami oleh tanaman kehutanan. Mereka membangun hutan rakyat karena melihat semakin banyak orang/tetangga mereka yang mulai membangun hutan rakyat dengan alasan hutan rakyat dapat memberikan keuntungan yang cukup besar sehingga merekapun tertarik untuk mengusahakannya, serta adanya anjuran dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan daerah setempat untuk mulai membangun dan menggembangkan usaha hutan rakyat.

5.3 Pengembangan Usaha Hutan Rakyat

Kegiatan pengembangan usaha hutan rakyat di tiga lokasi penelitian dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor pendorong dan kendala (Lampiran 11).

5.3.1 Faktor pendorong

(44)

kecocokan lahan yang ada, mengikuti jejak orang lain dan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri mebel.

Tabel 9 Faktor pendorong pengembangan usaha hutan rakyat

No. Faktor Pendorong Frekuensi

Jawaban

Persentase (%)

1 Tenaga kerja yang dibutuhkan sedikit 18 13

2 Mudah dalam pengelolaannya 34 24

3 Tabungan masa depan 67 47

4 Kecocokan lahan 7 5

5 Meneruskan usaha orangtua 6 4

6 Mengikuti jejak oranglain 8 6

7 Memenuhi kebutuhan bahan baku untuk industri mebel 2 1

Jumlah 142 100

1. Tenaga kerja yang dibutuhkan sedikit

Sebanyak 13% dari seluruh jawaban yang ada menyatakan bahwa jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pengusahaan rakyat yang sedikit mendorong responden untuk mengembangkan usaha hutan rakyat. Kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang cukup mudah dan sederhana serta tidak memerlukan perawatan yang intensif menyebabkan tenaga kerja yang dibutuhkan sedikit.

2. Mudah dalam pengelolaannya

Sebanyak 24% dari seluruh jawaban yang ada menyatakan bahwa mudahnya pengelolaan hutan rakyat yang mendorong responden untuk mengembangkan usaha hutan rakyat. Pengelolaan hutan rakyat yang mudah dan sederhana serta tidak memerlukan perawatan yang intensif menjadikan pengelolaan hutan rakyat yang selama ini dilakukan sangat minim terhadap tindakan silvikultur. Hal tersebut menjadikan usaha hutan rakyat ini cukup mudah dikelola oleh petani yang mengembangkannya.

(45)

pembersihan lahan, pembuatan lubang tanam, pemberian pupuk, penanaman bibit dan pendangiran. Selanjutnya pada kegiatan pemeliharaan, beberapa hal yang dilakukan meliputi: penyiangan dan penyemprotan.

Kegiatan pemeliharaan, biasanya dilakukan setahun sekali atau dua kali. Kegiatan pemeliharaan pada hutan rakyat biasanya dilakukan oleh petani pada musim libur, sehingga kegiatan tersebut tidak mengganggu pekerjaan utama mereka dan tak jarang pula anak-anak merekapun turut membantunya. Kebanyakan responden melakukan pemeliharaan untuk jenis sengon hingga tahun ke-3 dan jenis Jati hingga tahun ke-5 atau ke-8. Beberapa tahun berikutnya hingga pohon ditebang biasanya dibiarkan tanpa dilakukan tindakan pemeliharaan.

3. Sumber tabungan di masa depan

(46)

4. Warisan yang diturunkan oleh orangtua

Sebanyak 4% dari seluruh jawaban yang ada menyatakan bahwa faktor pendorong responden untuk mengusahakan hutan rakyat karena usaha hutan rakyat merupakan usaha yang diwariskan oleh orangtua. Mereka sangat tertarik melanjutkan usaha ini karena melihat keberhasilan yang dicapai orangtua mereka dari kegiatan usaha hutan rakyat ini dan ingin tetap melestarikan warisan yang diberikan oleh orangtua mereka agar tidak sia-sia. Seorang responden sempat berkata “Sejak dahulu orangtua saya berjuang keras untuk mempertahankan dan melestarikan usaha hutan rakyat ini, jika usaha hutan rakyat dibiarkan dan disia-siakan berarti saya tidak menghargai dan menghormati orangtua saya. Saya tidak ingin menjadi anak durhaka sehingga saya berkeinginan untuk terus melanjutkan usaha hutan rakyat ini bahkan untuk kedepannya lagi saya akan menurunkannya kepada anak cucu saya”. Pengusahaan hutan rakyat sebagai upaya pelestarian warisan nenek moyang merupakan faktor pendorong yang muncul dari dalam diri orang yang mengusahakannya. Keberhasilan pengusahaan hutan rakyat juga ditentukan oleh persepsi masyarakat terhadap pentingnya pelestarian nilai-nilai atau budaya yang diwariskan oleh nenek moyangnya.

5. Kecocokan lahan

(47)

6. Mengikuti jejak orang lain

Sebanyak 6% dari seluruh jawaban yang ada menyatakan bahwa faktor pendorong responden untuk mengusahakan hutan rakyat karena mengikuti jejak orang lain. Beberapa responden beralasan demikian karena mereka melihat oranglain sukses dalam mengembangkan usaha hutan rakyat. Mereka berharap suatu saat nanti bisa merasakan kesuksesan yang selama ini dirasakan oleh orang lain tersebut.

7. Memenuhi kebutuhan bahan baku industri mebel

Sebanyak 1% dari seluruh jawaban yang ada menyatakan bahwa faktor pendorong responden untuk mengusahakan hutan rakyat karena nantinya dapat digunakan untuk menyediakan sumber bahan baku industri mebel. Dalam hal ini kebetulan yang menjawabnya merupakan para pengusaha yang memiliki industri mebel. Mereka memprioritaskan untuk menanam Jati agar kelak bisa digunakan untuk industri mebel sebab kian hari keberadaan tanaman Jati semakin menurun sehingga sulit diperoleh dan harga kayunya menjadi semakin mahal.

5.3.2 Faktor penghambat

Faktor penghambat merupakan faktor yang menghalangi responden untuk mengembangkan usaha hutan rakyat. Faktor penghambat yang mempengaruhi responden dalam mengembangkan usaha hutan rakyat disajikan pada Tabel 10. Beberapa jawaban yang diberikan responden mengenai faktor kendala yang mempengaruhi petani dalam mengembangkan usaha hutan rakyat, antara lain: adanya serangan hama, kurangnya pengetahuan dalam rangka meningkatkan hasil hutan rakyat yang maksimal, lamanya pertumbuhan, keterbatasan modal dan harga jual kayu cenderung murah.

Tabel 10 Faktor penghambat pengembangan usaha hutan rakyat

No. Faktor Kendala Frekuensi Jawaban Persentase (%)

1 Serangan hama 22 21

2 Kurangnya pengetahuan dalam rangka

meningkatkan hasil hutan rakyat yang maksimal

41 40

3 Lamanya pertumbuhan 19 18

4 Keterbatasan modal 17 17

5 Harga jual kayu cenderung murah 4 4

(48)

1. Serangan hama

Sebanyak 22% dari total jawaban yang ada menyatakan bahwa faktor yang menghambat responden untuk mengembangkan usaha hutan rakyat karena adanya serangan hama pada tanaman. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, hama yang ada kebanyakan menyerang tanaman sengon. Pada beberapa tegakan sengon yang ada, hama yang menyerang disebut uter-uter. Cara yang sering digunakan oleh petani jika sengon terserang hama uter-uter tersebut adalah dengan menebang pohon yang terserang lalu dimusnahkan, agar uter-uter tidak menjalar kemana-mana. Tanaman yang terkena hama ini dapat menyebabkan kerugian ekonomi bagi para petani. Sedangkan hama yang menyerang tanaman jati sangat jarang ditemui.

2. Kurangnya pengetahuan dalam rangka meningkatkan hasil hutan rakyat yang maksimal

Sebanyak 40% dari total jawaban yang ada menyatakan bahwa faktor yang menghambat responden untuk mengusahakan hutan rakyat karena kurangnya pengetahuan petani dalam rangka meningkatkan hasil hutan rakyat yang maksimal. Kurangnya pengetahuan atau informasi mengenai pangsa pasar sehingga petani dengan mudah dapat menyesuaikan jenis tanaman yang laku dipasaran serta mengenai sistem pembangunan hutan rakyat yang seperti apa yang dapat memberikan hasil/pendapatan yang optimal bagi petani dengan luas hutan rakyat yang sempit.

3. Lamanya pertumbuhan

(49)

berdampak pada menurun harga jual kayu. Muslich dan Krisdianto (2006) menjelaskan bahwa batang kayu rakyat umumnya merupakan kayu muda (juvenile) yang menghasilkan kayu dengan berat jenis rendah yang menyebabkan kayu kurang awet secara alami. Berbeda dengan kayu dari hutan alam yang umumnya ditebang ketika sudah masak tebang sehingga kayu memiliki berat jenis dan kerapatan tinggi yang menyebabkan tingginya kualitas kayu.

4. Keterbatasan modal

Sebanyak 17% dari total jawaban yang ada menyatakan bahwa faktor yang menghalangi responden untuk mengembangkan usaha hutan rakyat karena adanya keterbatasan modal yang dimiliki. Menurut beberapa responden meski pengelolaan hutan rakyat ini cukup mudah dan tidak terlalu banyak biaya yang dikeluarkan akan tetapi keterbatasannya modal masih mereka rasakan karena selama ini pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan utama masih rendah sehingga untuk menutupi biaya pengembangan hutan rakyat ini masih dirasa kurang mencukupi. Diperlukan adanya pemberian pinjaman modal kepada para petani hutan rakyat agar dapat mengembangkan usahanya lebih maksimal lagi. 5. Harga jual kayu yang cenderung murah

Sebanyak 4% dari total jawaban yang ada menyatakan bahwa faktor yang menghalangi responden untuk mengembangkan usaha hutan rakyat karena harga jual kayu yang cenderung murah. Harga jual kayu kerap ditentukan oleh para pembeli (tengkulak). Dalam hal ini petani kerap berada pada posisi yang lemah dalam menetapkan harga jual kayu terutama ketika petani menjual kayu dalam keadaan terdesak.

5.4 Kondisi Umum Struktur Hutan Rakyat

(50)

Tabel 11 Jumlah pohon Sengon rata-rata per ha pada tiap kelas diameter

Desa Jumlah Sengon rata-rata per ha (batang/ha) pada setiap kelas diameter (cm)

< 10 11-15 16-20 21-25 26-30 31-35 36-40 > 40

Damarwulan 263 233 177 71 44 27 8 4

Clering 436 300 114 31

Suwawal 369 316 243 53

Tabel 12 Jumlah pohon Jati rata-rata per ha pada tiap kelas diameter

Desa Kerapatan Jati rata-rata per ha (batang/ha) pada setiap kelas diameter (cm)

< 10 11-15 16-20 21-25

Damarwulan 200 194 38 8

Clering 307 287 75

Suwawal 435 329 68

Kondisi tegakan hutan rakyat sengon yang ada di Desa Damarwulan, Clering dan Suwawal menggambarkan penurunan jumlah pohon per ha pada kelas diameter yang semakin besar. Hal itu mungkin terjadi karena responden di Desa Damarwulan dan Clering melakukan penebangan pohon dengan sistem tebang pilih. Sistem tebang pilih yang dilakukan responden yakni memilih pohon yang berdiameter lebih besar untuk ditebang terlebih dahulu. Namun sistem tebang pilih yang dilakukan kurang memperhatikan waktu masak tebang pohon sehingga kualitas kayu dan pendapatan yang diperoleh responden dari kegiatan penebangan tersebut kurang optimal.

(51)

Suwawal kebanyakan respondennya baru menanam tanaman jati sekitar 5 tahun yang lalu. Gambar 3 dan 4 memperlihatkan bahwa kelas diameter yang lebih kecil memiliki jumlah pohon per ha yang lebih banyak dibandingkan dengan kelas diameter yang lebih besar.

Gambar 3 Hasil perhitungan jumlah pohon sengon per ha di setiap desa.

Gambar 4 Hasil perhitungan jumlah pohon jati per ha di setiap desa.

Gambar

Tabel 1  Luas dan persentase penggunaan tanah di Kabupaten Jepara 2008
Tabel 2  Karakteristik petani hutan rakyat berdasarkan kelompok umur
Tabel 4  Karakteristik petani hutan rakyat berdasarkan pekerjaan utama
Tabel 5  Karakteristik petani hutan rakyat berdasarkan tingkat penghasilan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada dasarnya faktor penyebab kondisi tersebut telah dipertimbangkan dalam peraturan pengadaan barang dan jasa yang ada, diantaranya dalam proses pengadaan barang dan

Electrolarynx yang bebas genggam ( hands-free ) dengan kontrol on/off otomatis menjadikan EL lebih praktis dan akan membuat pasien lebih fleksibel. Beberapa penelitian

Dalam rangka berkontribusi terhadap permasalahan dan solusi lalu lintas sepeda motor di Indonesia dan untuk melanjutkan penelitian terakhir tersebut, maka studi ini berupaya

Menurut Depkes RI (1990) dikutip dari Yogaswara (2001) bahwa penyimpanan adalah kegiatan dan usaha untuk melakukan pengurusan, penyelenggaraan dan pengaturan barang persediaan

pasal.. pasal ini sudah bisa melaksanakan, karena prosesnya ini panjang. Kan ini orang yang tidak mau bayar pajak. Ternyata terobosan ke bank sudah boleh,

Dalam hal permasalahan tidak dapat diselesaikan berdasarkan Ayat 1, Para Ketua Komisi Bersama akan membawa permasalahan tersebut kepada Menteri Pertahanan

Jadi, pada penelitian ini akan dilakukan perancangan chassis mobil minimalis roda tiga yang sesuai dengan kriteria penggunaan chassis pada umumnya yang memiliki

Perangkat RIA ini yang menggunakan 5 detektor perlu ditingkatkan performanya (gambar 1), baik pada sistim elektronik, sistim penggerak dan sistim perangkat