• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Peremajaan Optimum dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Keputusan Petani Melakukan Peremajaan Karet : Studi Kasus Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Peremajaan Optimum dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Keputusan Petani Melakukan Peremajaan Karet : Studi Kasus Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan)."

Copied!
205
0
0

Teks penuh

(1)

1

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia memiliki potensi yang sangat besar di sektor pertanian khususnya di sektor perkebunan. Sektor perkebunan memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap produk domestik bruto (PDB) bagi negara. Berdasarkan data BPS (2011) diketahui bahwa pada tahun 2010, sektor pertanian khususnya pada tanaman perkebunan mampu memberikan kontribusi sebesar 2,1 persen dari total produk domestik bruto nasional. Peningkatan PDB yang tinggi terjadi pada perkiraan tahun 2010 yaitu sebesar 21,4 persen dibandingkan pada tahun 2009 yang hanya mengalami peningkatan sebesar 5,15 persen dari tahun 2008. Peningkatan yang terjadi tersebut dapat menjadi salah satu indikator bahwa masih banyak penduduk Indonesia yang menggantungkan hidup pada sektor pertanian khususnya pada tanaman perkebunan.

Tabel 1. Luas Lahan Komoditi Perkebunan di Indonesia (Ribu Ha)

Komoditi Tahun

2006 2007 2008 2009 2010 ⃰

Karet 513,2 514,0 515,8 482,7 472,2

Kelapa Sawit 3748,5 4101,7 4451,8 4888,0 5032,8

Coklat 101,2 106,5 98,4 95,3 95,9

Kopi 53,6 52,5 58,3 48,7 48,7

Tembakau 5,1 5,8 4,6 4,2 4,2

Sumber : Badan Pusat Statistik (2011) Keterangan : * Angka sementara

(2)

2 Tabel 2. Produksi Komoditi Perkebunan di Indonesia (Ton)

Komoditi Tahun

2006 2007 2008 2009 2010 ⃰

Karet 2.637.231 2.755.172 2.751.286 2.440.347 2.591.935 Kelapa Sawit 17.350.848 17.664.725 17.539.788 18.640.881 19.844.901

Coklat 769.386 740.006 803.594 809.583 844.626

Kopi 682.158 676.476 698.016 682.590 684.076

Tembakau 146.265 146.851 168.037 176.510 122.276

Sumber : Badan Pusat Statistik (2011) Keterangan : * Angka sementara

Berdasarkan Tabel 2, perbandingan total produksi dari lima tanaman perkebunan tahun 2006-2010 menunjukkan bahwa total produksi karet merupakan total produksi terbesar kedua setelah kelapa sawit. Hal ini dapat dikarenakan jumlah luas lahan karet yang ada merupakan luas lahan kedua setelah kelapa sawit. Terlihat jelas bahwa total produksi karet di Indonesia mulai tahun 2006-2008 mengalami peningkatan dan mengalami penurunan pada tahun 2009, kemudian mengalami peningkatan kembali pada tahun 2010. Penurunan jumlah produksi dapat terjadi salah satunya karena penurunan luas lahan yang terjadi pada tahun tersebut.

Data Kementerian Pertanian Indonesia tahun 2010 menyebutkan bahwa Indonesia memiliki luas lahan perkebunan karet yang paling luas di dunia, yaitu sekitar 3,4 juta hekar. Luas lahan perkebunan karet tersebut tersebut terdiri dari perkebunan rakyat (PR), perkebunan besar negara (PBN), dan perkebunan besar swasta (PBS). Perkebunan rakyat merupakan perkebunan karet yang dimiliki dan dikelola oleh rakyat. Sedangkan perkebunan besar negara yaitu perkebunan karet yang dikelola dan dimiliki negara dan perkebunan besar swasta yaitu perkebunan karet yang dikelola perusahaan perekebunan swasta.

Perkebunan karet rakyat mencapai 85 persen dari total luas perkebunan karet yang ada di Indonesia dan hanya delapan persen perkebunan besar milik negara serta tujuh persen perkebunan besar milik swasta1. Berdasarkan Tabel 3

1

[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2011. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Seluruh Indonesia Menurut Pengusahaan.

(3)

3 dapat dilihat bahwa luas lahan perkebunan karet rakyat (PR) paling luas dibandingkan perkebunan besar negara (PBN) dan perkebunan besar swasta (PBS). Namun produktivitas karet dari PR paling rendah dibandingkan PBN dan PBS. Bahkan pada tahun 2008 dan 2009, produktivitas karet cenderung menurun. Produktivitas karet yang lebih rendah dapat dikarenakan kualitas dari klon karet yang ditanam, teknologi budidaya yang belum diterapkan petani seperti penggunaan pupuk, dan umur karet yang sudah tua dan rusak (Akiefnawati, Wibawa, Joshi, dan Noordwjik, 2007).

Tabel 3. Luas Areal, Produksi, dan Produktivitas Karet di Indonesia Tahun Luas Areal

(ribu Ha)

Produksi ( ribu Ton) Produktivitas (Ton/Ha)

PR PBN PBS PR PBN PBS PR PBN PBS

2006 2.833 238 275 2.082 265 288 0,735 1,117 1,049 2007 2.900 238 275 2.176 277 301 0,751 1,164 1,092 2008 2.910 238 275 2.173 276 300 0,747 1,162 1,091 2009 2.911 239 284 1.942 238 259 0,667 0,997 0,912 2010*) 2.934 236 274 2.065 252 274 0,704 1,066 1,001 2011**) 2.935 239 276 2.105 260 276 0,717 1,087 1,000 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2011), diolah

Keterangan : * Angka sementara ** Angka estimasi

Penggunaan bibit unggul pada perkebunan karet rakyat tergolong masih rendah. Sumber bibit karet pada perkebunan rakyat biasanya berupa bibit cabutan atau bibit dengan mutu yang rendah (Akiefnawati, Wibawa, Joshi, dan Noordwjik, 2007). Penggunaan bibit yang seperti itu, dapat menyebabkan produktivitas karet menjadi lebih rendah dibandingkan dengan produktivitas karet yang menggunakan bibit unggul. Faktor lain yang diduga menyebabkan rendahnya produktivitas karet pada perkebunan rakyat yaitu dari teknis produksi atau pengelolaan kebun karet. Pengelolaan perkebunan karet rakyat belum sepenuhnya melakukan penerapan teknik dan manajemen usaha yang efisien. Pengelolaan kebun karet yang dilakukan masih sederhana. Setelah bibit karet ditanam untuk selanjutnya dibiarkan tanpa ada perawatan pada kebun karet sehingga menyebabkan produktivitas karet yang rendah ( Sadikin dan Irawan, 2004).

(4)

4 menjadi salah satu penyebab rendahnya produktivitas karet. Direktorat Jenderal Perkebunan melalui program revitalisasi perkebunan tahun 2009 merencanakan pengembangan perkebunan dengan melakukan peremajaan pada tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, karet, dan kakao. Luas perkebunan karet yang diremajakan pada program tersebut mencapai 217.000 Ha. Luas karet yang akan diremajakan tersebut mencapai sekitar 6,8 persen dari total luas lahan karet yang ada dan merupakan nilai tertinggi jika dibandingkan dengan luas peremajaan perkebunan kelapa sawit maupun kakao yang masing-masing hanya seluas 99.000 Ha dan 31.000 Ha. Tingginya luas perkebunan karet yang diremajakan, mengindikasikan bahwa banyak perkebunan karet yang sudah tua, rusak, dan kurang produktif dan telat untuk diremajakan.

Produktivitas karet yang semakin menurun dan rendah dapat ditingkatkan dengan cara memperbaiki penggunaan faktor input yang digunakan, seperti penggunaan bibit unggul dan penggunaan pupuk (Akiefnawati, Wibawa, Joshi, & Noordwjik, 2007). Permasalahan umur produksi atau karet yang sudah tua dapat dilakukan dengan peremajaan dari karet itu sendiri. Peremajaan memiliki peran yang penting dalam pengelolaan suatu perkebunan. Perkebunan yang diremajakan dapat diperbaiki dan ditingkatkan tingkat produktivitas dengan cara penggunaan bibit unggul pada saat peremajaan dilakukan. Bibit unggul yang digunakan pada perkebunan dapat menghasilkan getah karet lebih banyak dibandingkan dengan bibit karet sebelumnya yang sudah tua.

(5)

5 memiliki luas mencapai 665.129 Ha atau sebesar 29% dari total luas lahan di Sumatera.

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa peningkatan produktivitas karet di Sumatera Selatan dari tahun 2005-2008 mengalami peningkatan. Namun pada tahun 2009 dan 2010, produktivitas karet mengalami penurunan. Pada tahun 2009 terjadi penurunan produktivitas karet dan juga penurunan luas lahan karet. Penurunan luas lahan karet diduga karena terjadi konversi lahan dari perkebunan karet menjadi perkebunan kelapa sawit ataupun perkebunan karet menjadi perumahan atau komplek pertokoan. Banyaknya perkebunan karet yang memiliki tanaman karet yang sudah tua sehingga tidak produktif lagi namun belum dilakukan peremajaan terhadap lahan karet tersebut dapat menjadi salah satu penyebab turunnya produktivitas karet.

Tabel 4. Luas dan produksi karet di Provinsi Sumatera Selatan

Tahun Luas Areal (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/Ha)

2005 655.230 450.495 876

2006 648.754 517.799 980

2007 659.134 542.538 1.013

2008 662.788 543.698 1.017

2009 659.769 484.000 925

2010 665.129 515.965 959

Sumber : Deptan (2010)

Produktivitas karet di Sumatera Selatan pada tahun 2010 juga mengalami penurunan. Penurunan yang terjadi tersebut tidak diikuti dengan penurunan luas lahan karet. Sebaliknya luas lahan karet mengalami peningkatan pada tahun ini dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dapat menjadi salah satu indikator bahwa produktivitas karet di Sumatera Selatan mengalami penurunan beberapa tahun terakhir. Produktivitas yang semakin menurun ini dapat dikarenakan banyaknya perkebunan karet yang sudah tua sehingga tidak lagi produktif ataupun penggunaan input yang belum maksimal.

(6)

6 merupakan salah satu kabupaten di Sumatera selatan yang memiliki wilayah yang paling luas. Jenis tanah yang cocok untuk tanaman perkebunan serta lokasi yang cukup dekat dengan pabrik pengolahan karet, menjadi salah satu faktor pendukung untuk pengembangan perkebunan karet.

Berdasarkan data Pemerintahan Daerah Kabupaten Banyuasin tahun 2011, Kabupaten ini memiliki luas 11.832,99 kilometer persegi . Wilayah ini sangat berpotensi untuk terus berkembang khusunya di sektor perkebunan karet. Namun dengan wilayah yang luas tidak selalu menjamin dapat meningkatkan produksi dan produktivitas karet di Indonesia, khususnya di Kabupaten Banyuasin sendiri.

Berdasarkan data Dinas Perkebunan Sumatera Selatan tahun 2010 pada Tabel 5 diketahui bahwa total luas perkebunan karet di Kabupaten Banyuasin pada tahun 2009 yaitu 82.875 hektar. Dari total lahan tersebut terdapat sekitar 22,6 persen luas lahan perkebunan karet yang sudah rusak dan tua. Luas lahan yang rusak tersebut harus segera dilakukan peremajaan agar dapat kembali menghasilkan. Dengan jumlah luas lahan yang rusak tersebut dapat mengindikasikan bahwa masih terdapat petani yang belum meremajakan kebun karet yang rusak. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan untuk memilih Kabupaten Banyuasin sebagai tempat penelitian.

Tabel 5. Luas Perkebunan Karet Kabupaten Banyuasin Tahun 2009

No. Keterangan Luas areal (Ha)

1 Lahan Karet 82.875

2 Lahan Karet Belum Menghasilkan (BM) 20.499 3 Lahan Karet Telah Menghasilkan (TM) 53.680

4 Lahan Karet yang Rusak 18.696

Sumber : Dinas Perkebunan Sumatera Selatan (2011)

1.2. Perumusan Masalah

(7)

7 perkebunan karet rakyat2. Namun produktivitas yang dihasilkan paling rendah dibandingkan dengan perkebunan milik negara dan swasta. Permasalahan yang dihadapi terkait dengan komoditi karet rakyat pada umumnya yaitu produktivitas dan mutu karet yang masih rendah. Rendahnya produktivitas karet rakyat ini salah satunya dikarenakan banyaknya perkebunan karet yang sudah tua dan rusak. Pada tahun 2009, diketahui bahwa sebanyak lebih dari 150.000 hektar perkebunan karet rakyat di Sumatera Selatan merupakan perkebunan karet yang sudah tua yang berumur di atas 25 tahun, salah satunya terdapat di Kabupaten Banyuasin.3. Tanaman karet yang tua dapat membuat produksi menjadi turun dan berujung pada menurunnya produktivitas karet pada petani.

Perkebunan karet yang sudah tua dan rusak dapat memberikan kerugian bagi petani yaitu dari sisi biaya yang dikeluarkan dan juga pendapatan yang diterima oleh petani. Biaya yang dikeluarkan petani akan semakin besar dikarenakan adanya perawatan serta pemupukan yang perlu ditingkatkan agar mampu meningkatkan hasil produksi. Petani juga akan menerima pendapatan yang semakin kecil karena produksi yang dihasilkan semakin menurun serta dengan diikuti pengeluaran biaya produksi yang semakin besar. Kemungkinan juga terdapat faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi petani untuk melakukan peremajaan, yaitu itu berupa faktor ekonomi, sosial ataupun demografi.

Peremajaan pada perkebunan karet umumnya masih belum banyak dilakukan pada perkebunan rakyat. Peremajaan bila dilihat dari sisi petani dapat mengakibatkan pendapatan petani menjadi berkurang. Pada saat peremajaan dilakukan, petani tidak akan memperoleh pendapatan dari karet karena belum menghasilkan. Apabila mata pencaharian petani hanya bersumber dari karet saja, maka ketika dilakukan peremajaan petani dapat kehilangan sumber pendapatannya.

Peremajaan yang belum dilakukan oleh petani diduga juga karena petani kekurangan modal. Petani harus mengeluarkan modal untuk peremajaan namun juga harus memenuhi kebutuhan selama karet yang diremajakan belum

2

Republika. 2009. Ribuan Hekatare Karet Sumsel Perlu Diremajakan.

http://binaukm.com/2011/09/karet-sebagai-komoditas-perkebunan-unggulan/[12 Juli 2010] 3

(8)

8 berproduksi. Hal inilah salah satunya yang diduga membuat peremajaan masih sedikit yang melakukannya. Petani perlu mencari penghasilan lain selama peremajaan agar kebutuhan rumah tangga dapat terpenuhi.

Perkebunan karet yang sudah berumur di atas 25 tahun seharusnya dilakukan peremajaan. Namun masih masih terdapat petani yang belum melakukannya. Hal tersebut dapat dipengaruhi beberapa faktor yang memengaruhi keputusan petani untuk melakukan peremajaan pada kebun karet mereka. Perkebunan karet yang dilakukan peremajaan diharapkan mampu meningkatkan produktivitas serta pendapatan petani karet. Biaya yang dikeluarkan pada saat peremajaan yaitu berupa investasi pada perkebunan tersebut tidak semahal pada saat melakukan pembukaaan kebun baru. Hal ini dikarenakan petani tidak perlu mengeluarkan biaya investasi baru seperti membeli lahan ataupun peralatan yang sudah dimiliki sebelumnya pada saat perkebunan karet didirikan. Perkebunan karet yang sudah rusak dan tua harus segera dilakukan peremajaan agar dapat meningkatkan produktivitas serta memberikan pendapatan yang lebih kepada petani dimasa mendatang. Manfaat peremajaan juga harus dapat dirasakan oleh petani dengan adanya peningkatan produktivitas dan diikuti dengan meningkatnya pendapatan petani.

Berdasarkan penjelasan dari uraian di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan yaitu :

1. Berapa umur optimum peremajaan karet pada perkebunan karet rakyat? 2. Faktor-faktor apa yang memengaruhi petani untuk melakukan peremajaan

karet?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dengan adanya penelitian ini adalah :

1. Mengetahui umur optimum peremajaan karet pada perkebunan karet rakyat. 2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi petani untuk melakukan

peremajaan karet.

1.4. Manfaat Penelitian

(9)

9 merumuskan dan merencanakan kebijakan dalam membuat program peremajaan perkebunan karet. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi literatur untuk penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup penelitian

(10)

10

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Usahatani Karet

Usahatani karet yaitu suatu bentuk usahatani yang dilakukan petani melalui pengusahaan karet. Banyak penelitian yang melakukan penelitian terkait dengan usahatani karet, baik berupa pendapatan petani ataupun dari sisi kelayakan pelaksanaannya ataupun system yang diterapkan pada usahatani. Penelitian yang dilakukan Batubara (2004) terkait dengan usahatani karet yaitu tentang usahatani karet rakyat yang dibina UPP TCSDP. Batubara (2004) meneliti usahatani yang dilakukan dapat memberikan keutungan atau tidak bagi petani. Analisis keuntungan usahatani karet yang dilakukan menggunakan alat analisis Net B/C, NPV, dan IRR. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat kegiatan usahatani dalam pembentukan modal untuk investasikan kembali pada intensifikasi dan perluasan kebun karet. Hasil penelitian menunjukkan pembentukan modal dari usahatani karet layak untuk diinvestasikan jika luas lahan karet mencapai 2 Ha. Nilai NPV yang diperoleh pada saat umur karet berumur 13 tahun yaitu Rp 15.378.976,00 diikuti dengan nilai IRR 15,00 persen dan Net B/C>1. Nilai-nilai tersebut diperoleh pada tingkat harga yang sama yaitu dengan nilai kurs US $ 1 (Rp 9.000,00/Kg).

Tujuan lain dari penelitian Batubara (2004) yaitu untuk mengetahui keuntungan yang diperoleh dari usahatani karet binaan UPP TCSDP. Keuntungan yang diterima dari hasil analisis diketahui lebih tinggi dibandingkan dengan upah minimum sektoral sektor pertanian dan perkebunan pada saat itu di Provinsi Sumatera Selatan. Upah standar minimum sektoral diperoleh dengan standar jam kerja 7 jam per hari kerja, sedangkan petani karet rata-rata memiliki jam kerja sekitar 5 jam kerja per hari. Hal ini data menandakan bahwa usahatani karet pada daerah binaan UPP TCSDP menguntungkan bagi petani dan petani masih mengandalkan karet untuk memenuhi kebutuhan mereka.

(11)

11 memberikan pendapatan usahatani karet yang menguntungkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada saat terjadi kondisi gejolak perekonomian yang ekstrim dilihat dari nilai R/C dan BEP, maka formula buka sadap kebun karet dengan jenis tanaman karet dari klon quick starter (klon PB 260) masih mampu memberikan keuntungan yang signifikan. Keuntungan yang akan diperoleh dari penerapan formula tersebut yaitu berupa pengembalian investasi menjadi lebih awal dan biaya investasi selama masa Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) dapat dikurangi. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan bibit karet yang unggul dapat memberikan keutungan yang lebih bagi petani dalam usahatani karet.

Perkebunan karet yang biasanya dikelola oleh petani rakyat berbentuk perkebunan karet seperti hutan. Hal ini dapat dikarenakan kebiasaaan atau adat petani pada derah tersebut ataupun dikarenakan adanya kelebihan dengan pola penanaman karet yang dibiarkan tumbuh liar seperti di hutan. Pola tanam karet yang seperti itu dinamakan pengembangan karet dengan pola atau sistem wanatani. Penelitian yang dilakukan Suhatini et.al (2003) menyatakan bahwa pengembangan usahtani karet berbasiskan sistem wanatani merupakan salah satu upaya meningkatkan produktivitas karet rakyat dan pendapatan petani karet. Penulis membagi usahatani sistem wanatani karet di Kabupaten Sanggau menjadi tiga pola wanatani berbasis karet atau Rubber Agroforesty System (RAS). Pola pertama yaitu pola RAS 1 berupa hutan karet produktif. Pola ini memiliki tujuan untuk melakukan penghematan biaya sarana produksi dan efisiensi tenaga kerja serta upaya untuk melestarikan keanekaragaman hayati. Pola kedua yaitu pola RAS 2 berupa sistem wanatani kompleks yang memiliki tujuan untuk memanfaatkan tenaga kerja secara optimal serta melakukan diversifikasi komoditi. Pola yang terakhir yaitu pola RAS 3 yang merupakan reklamasi lahan alang-alang. Pola terakhir ini bertujuan untuk menjaga kesuburan tanah dan diversifikasi komoditi.

(12)

12 penelitian menunjukkan bahwa melalui analisis pendapatan riil petani, pendapatan yang diperoleh dengan pola RAS lebih tinggi dibandingkan dengan yang di luar RAS. Pendapatan rata-rata yang diperoleh dari pola RAS 1, 2, dan 3 yaitu sebesar Rp5.301.392 per 0,5 ha per tahun, sedangkan pendapatan rata-rata di luar RAS yaitu sebesar Rp1.100.204 per 0,5 ha per tahun.

Berdasrakan studi empiris yang sudah ada dapat disimpulkan, usahatani karet masih menguntungkan bagi petani. Usahatani karet dengan sitem wanatani dan penggunanaan bibit unggul dapat memberikan keuntungan yang lebih bagi petani karet.

2.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Peremajaan Tanaman Tahunan

Berdasarkan studi-studi empiris yang telah ditulis, penentuan peremajaan karet dipengaruhi oleh beberapa faktor. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Boerhendhy dan Amypalupy (2010) diketahui bahwa faktor-faktor yang memengaruhi peremajaan karet yaitu jumlah produksi dan nilai ekonomis. Faktor jumlah produksi dapat diketahui dari nilai produktivitas karet yang dihasilkan. Sedangkan nilai ekonomis dilihat dari harga pokok karet kering yang sedang berlaku.

Boerhendhy dan Amypalupy (2010) dalam penelitiannya juga menjelaskan bahwa petani harus melakukan peremajaan ketika produktivitas karet yang dihasilkan rendah yaitu sekitar 400-500 kg/ha/tahun. Petani juga dianjurkan untuk melakukan peremajaan pada saat harga pokok karet kering saat berada pada harga yang rendah yaitu sekitar Rp 7.000,00/kg, karena dinilai harga tersebut sudah tidak ekonomis lagi bagi petani.

Jenahar (2003) dalam penelitiannya tentang peremajaan optimum karet menjelaskan bahwa terdapat tiga faktor yang dapat menghambat dan memengaruhi peremajan optimum dari karet. Faktor-faktor tersebut yaitu faktor teknik, faktor ekonomi, dan faktor administrasi. Faktor teknik yang dapat memengaruhi dan menghambat pelaksanaan yaitu dari adanya ketersediaan bibit yang terjamin mutunya untuk digunakan petani.

(13)

13 yang sudah dianggarkan dan direncanakan. Ketidaksesuaian anggaran biaya yang direncanakan dan dianggarkan dengan realisasi biaya yang dikeluarkan menjadi salah satu hal yang menghambat petani untuk melakukan peremajaan. Hal tersebut dikarenakan petani dapat menjadi kekurangan modal akibat dari biaya yang dikeluarkan lebih besar daripada biaya yang sudah diperhitungkan sebelumnya.

Faktor yang juga mampu memengaruhi dan menghambat peremajaan karet yaitu dari faktor administrasi. Faktor administrasi dapat menghambat dan memengaruhi dari segi perencanaan dan evaluasi dalam melakukan peremajaan kare. karakteristik petani di Indonesia yang masih kurang dalam melakukan pencatatan selama melakukan kegiatan usahatani mengakibatkan sulitnya mencari data serta informasi. Kurangnya data serta informasi yang terkumpul dalam inventarisasi pekerjaan-pekerjaan yang lalu menjadi hambatan dalam melakukan perencanaan dan evaluasi peremajaan.

Sutarna (2000) dalam penelitiannya mengelompokkan faktor peremajaan optimal tanaman teh menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu merupakan faktor yang terdapat di dalam perusahaan teh itu sendiri seperti faktor tenaga kerja dan faktor lainnya yang masih mampu dikendalikan oleh perusahaan teh. Faktor eksternal yaitu merupakan faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh perusahaan teh tersebut, seperti harga jual, perubahan nilai uang, iklim, serta tingkat suku bunga pinjaman untuk investasi.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dari temuan studi-studi yang telah dilakukan, peremajaan karet lebih dipengaruhi oleh dua kelompok besar yaitu faktor ekonomi dan teknik. Faktor teknik terkait dengan budidaya seperti bibit, luas lahan, dan tenaga kerja. Sedangkan faktor ekonomi berhubungan dengan harga karet dan harga input karet serta perubahan atau flukuasi tingkat suku bunga.

(14)

14 lebih cenderung pada perusahaan perkebunan karet besar. Sehingga untuk melihat faktor-faktor lain yang memengaruhi keputusan petani selain dari faktor teknis dan ekonomi, juga dilihat faktor dari karakteristik petani seperti usia, pendidikan, pengalaman, keluarga petani dan pendapatan petani baik yang dari karet atau pendapatan lain di luar usahatani karet.

2.3. Peranan Tanaman Sela dan Tumpang Sari dalam Peremajaan

Terkait dengan faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani melakukan peremajaan karet, salah satunya yaitu adanya alternatif income atau pendapatan lain bagi petani apada saat karet diremajakan. Tanaman sela dapat menjadi salah satu alternatif income selama peremajaan bagi petani yang tidak mempunyai pendapatan lain selain dari karet. Selain dalam memberikan tambahan pendapatan bagi petani selama peremajaan, tanaman sela juga dapat memberikan manfaat langsung kepada tanaman karet yang diremajakan. Seperti pada penelitian yang dilakukan Rosyid (2007) yaitu tentang pengaruh tanaman sela terhadap pertumbuhan karet pada areal peremajaan di Kabupaten Sarolangun, Jambi. Pada penelitiannya diketahui bahwa tanaman sela dapat berpengaruh positif terhadap pertumbuhan karet yang sedang pada masa peremajaan. Pada penelitian diketahui bahwa rata-rata pertumbuhan tanaman karet klon PB 260 yang menggunakan tanaman sela pada areal peremajaan karet di daerah tersebut sama dengan pertumbuhan klon pada tingkat penelitian.

(15)

15 dari uraian sebelumnya bahwa tanaman sela seperti padi dan sayuran lainnya memiliki manfaat dalam pemenuhan kebutuhan pangan petani pada saat kebun karet mereka diremajakan.

Selain itu, tanaman sela kurang dirasakan manfaatnya apabila dilakukan penanaman ubi kayu dan tanaman sejenis lainnya yang satu family dengan tanaman karet. Hal ini dikarenakan tanaman sela tersebut mampu untuk menjadi inang berbagai penyakit karet seperti jamur akar putih, Odium dan lain-lain. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Djukri (2006), dimana tanaman sela tidak akan memiliki manfaat lagi pada saat tanaman karet sudah mencapai umur lebih dari 3 tahun setelah penanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman karet dapat membuat bobot basah umbi, bobot kering umbi serta produksi umbi per petak menjadi menurun pada tahun ke 2 dan ke 3 penanaman umbi talas. Tanaman karet dapat membuat intensitas cahaya yang diterima oleh umbi talas menjadi berkurang. Hal ini disebabkan pada tahun ke 2 dan ke 3 penanaman, tanaman karet sudah mulai tumbuh banyak daun sehingga menjadi lebih rindang dari sebelumnya.

Menurut Tjasadihardja et al (1995) manfaat lain yang dapat diperoleh dari tanaman sela selama peremajaan yaitu dengan melakukan fungsi rotasi tanaman dengan pola tanam dari tanaman sela. Hal ini merupakan hal yang sangat penting karena tanaman sela dapat menutup tanah sepanjang tahun dengan tanaman produktif. Tanah yang ditutupi dapat membantu serta mengurangi gulma seperti alang-alang karena dapat dikendalikan bersamaan dengan pemeliharaan tanaman semusim yang ditanam. Hal ini juga dapat menandakan bahwa adanya tanaman sela, dapat membantu untuk mengurangi pertumbuhan gulma pada saat peremajaan dilakukan.

(16)

16 ketika tanaman tahunan tersebut dilakukan tumpang sari dengan tanaman lain maka nilai Net N/C yang didapat yaitu sebesar 0,96 atau Net B/C <1.

Berdasarkan studi empiris terkait dengan manfaat tanaman sela terhadap peremajaan dan pendapatan yang diterima petani, tanaman sela memiliki pengaruh yang positif pada beberapa penelitian yang telah dilakukan. Tanaman sela tidak mengganggu pertumbuhan tanaman utama dan tanaman utama khususnya karet dapat berkembang lebih baik dibandingkan dengan tanaman yang tidak ditanami tanaman sela. Penerapan tanaman sela juga harus disesuaikan dengan kondisi komoditi dan lingkungan tempat petani melakukan peremajaan.

2.4. Peremajaan Optimum Tanaman Perkebunan

Peremajaan merupakan salah satu hal yang penting dalam usaha untuk mempertahankan kontinuitas produksi tanaman perkebunan. Umur penentuan peremajaan untuk setiap tanaman perkebunan memiliki jumlah tahun yang berbeda-beda tergantung dari komoditinya. Sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk menentukan saat optimum peremajaan tanaman perkebunan. Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk menghitung umur atau saat optimum peremajaan, salah satunya yaitu metode Faris (Ismail & Mamat 2002; Sutarna 2000; Ernah 2010).

(17)

17 RM 200 dan RM 220 maka saat optimum peremajaan secara berurutan berubah menjadi 26 dan 25 tahun.

Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Ernah (2010) yaitu melakukan penentuan saat optimum peremajaan pada tanaman kakao. Penentuan saat optimum tanaman kakao tidak dipengaruhi oleh perubahan harga jual dari kakao. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa perubahan harga yang dibuat tidak memengaruhi saat optimum peremajaan namun lebih dipengaruhi dari perubahan nilai tingkat suku bunga yang terjadi. Semakin rendah nilai tingkat suku bunga maka saat optimum peremajaan akan semakin cepat atau pendek.

Hasil penelitian lain tentang saat optimum peremajaan tanaman perkebunan yaitu pada tanaman teh. Pada penelitian ini Sutarnah (2000) tidak melakukan uji sensitivitas seperti yang dilakukan pada kedua penelitian sebelumnya. Sutarnah (2000) hanya melihat saat optimum peremajaan teh melalui dua kondisi yaitu secara finansial dan secara ekonomi. Saat optimum peremajaan tanaman teh secara finansial ataupun ekonomi tidak mengalami perbedaan. Saat optimum peremajaan pada kedua keadaan tersebut didapat pada tahun ke 41 dari tahun nol penanaman teh. Perbedaan antara kondisi finansial dan kondisi ekonomi dari penelitian tersebut yaitu dari penggunaan harga jual teh. Harga jual teh pada perhitungan secara finansial menggunakan harga yang sebenarnya dan perhitungan secara ekonomi mengunakan harga bayangan dari teh.

Berdasarkan hasil penelitian Sutarnah (2000) juga dapat disimpulkan bahwa perubahan harga pada tanaman teh juga tidak memengaruhi saat optimum peremajaan pada tanaman teh. Namun memang belum adaya penelitian lebih lanjut tentang faktor apa yang paling memengaruhi saat optimum dari tanaman perkebunan. Sehingga tidak dapat diketahui secara pasti faktor yang memengaruhi saat optimum peremajaan suatu tanaman perkebunan.

(18)

18 Kedua metode tersebut tidak memiliki perebedaan dalam menentukan saat optimum peremajaan dan luas optimum peremajaan.

Pada penelitiannya Jenahar (2003) menggunakan perubahan keadaan produksi karet yaitu pada keadaan produksi karet normal, pesimis, dan optimis. Kondisi karet pada keadaan normal, pesimis, dan optimis selain dari produksi karet juga dipengaruhi dari harga jual karet dan tingkat inflasi yang terjadi. Keadaan normal dan optimis yang dibuat menggunakan harga jual dan tingkat inflasi yang sama namun pada saat kondisi pesimis menggunakan harga jual dan tingkat inflasi yang lebih rendah dibandingkan dua kondisi sebelumnya.

(19)

19

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis yang diugunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan konsep peremajaan, hipotesis faktor-faktor yang memengaruhi petani melakukan peremajaan dan konsep peremajaan optimum.

3.1.1. Konsep Umur Optimum Peremajaan

Umur optimum peremajaan tahun dimana sebaiknya peremajaan dilakukan dan apabila melewati tahun tersebut maka akan terjadi kerugian. Penentuanan saat atau umur optimum peremajaan merupakan kegiatan yang dilakukan untk menentukan batas umur ekonomis dengan mempertahankan kontinuitas atau keberlanjutan produksi agar tercapai kondisi yang optimal sepanjang kegiatan produksi berlangsung.

Banyak metode yang dapat digunakan dalam melakukan penentuan umur optimum peremajaan. Salah satu metode yang dapat digunakan yaitu metode yang digunakan Faris. Faris (1960) dalam Sutarna (2002) membahas penentuan optimum peremajaan dengan tiga tipe atau konsep dari asset produksi yang dimiliki. Terdapat tiga konsep peramajaan yang dikemukan oleh Faris dalam Ernah (2010) dan Ismail dan Mamat (2002) yaitu :

1. Produksi jangka pendek dengan penerimaan yang diwujudkan dengan cara penjualan asset. Konsep pertama ini biasanya digunakan pada produksi jangka pendek yaitu kira-kira mencapai waktu enam bulan. Penerimaan usaha yang berproduksi pada jangka pendek akan diperoleh dengan cara menjual asetnya yaitu tanaman itu sendiri. Peremajaan optimum pada konsep pertama ini ditentukan dengan mengetahui nilai tambahan penerimaan bersih (marginal net revenue (MNR)) sama dengan penerimaan bersih rata-rata (average net revenue).

(20)

20 produksi seperti jati atau gaharu. Pengusahaan kebun jati untuk mendaptkan penerimaan dari penjualan kayu diperoleh pada saat tanaman jati ditebang. Selama jati belum ditebang maka tidak akan penerimaan yang akan diperoleh. Prinsip yang digunakan pada konsep kedua Faris (1960) yaitu peremajan optimum dapat ditentukan pada saat tambahan penerimaan bersih (MNR) dari kegiatan ini sama atau mendekati dengan nilai amortisai tertinggi dari pendapatan bersih dari kegiatan selanjutnya (anticipated of net revenue). 3. Produksi jangka panjang yang diwujudkan dengan cara penjualan hasil

sepanjang hidup asset. Maksud dari konsep ketiga mnejelaskan bahwa suatu usaha jangka panjang dimana penerimaan diperoleh dari hasil produksi sepanjang umur asset. Konsep ini biasanya digunakan untuk menentukan umur optimum peremajaan pada tanaman perkebunan seperti kopi, karet, teh, kelapa sawit, dan kakao. Prinsip peremajaan optimum pada konsep ketiga yaitu penerimaan bersih (net revenue) tahunan tahunan merupakan tambahan penerimaan bersih (marginal net revenue), sehingga saat peremajaan optimum terjadi pada saat keuntungan bersih per tahun sama dengan amortisasi dari nilai kini keuntungan selama masa pengusahaan (amortisasi of net revenue

(21)

21

Gambar 1. Grafik hubungan antara umur dengan MR, MC, MNR dan ANR

Sumber : Sutarna (2000)

Penentuan saat atau umur optimum peremajaan dengan menggunakan metode Faris berbeda dengan penentuan optimum dengan cara pendekatan break event point. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1 yaitu grafik hubungan antara umur dengan Marginal Revenue (MR), Marginal Cost (MC), Marginal Net Revenue (MNR), dan Amortised Net Revenue (ANR). Dari Gambar dapat dilihat bahwa penentuan umur optimum peremajaan dengan pendekatan break event point terjadi pada saat MC sama dengan MR yaitu pada titik O2 dan berada pada umur di titik X2. Sedangkan penentuan umur optimum peremajaan dengan metode Faris (1960) dalam Sutarna (2000) terjadi pada saat grafik MNR memotong grafik ANR yaitu pada titik O1 yang berada pada umur di titik X1. Penentuan umur optimum peremajaan dengan metode Faris terjadi lebih cepat dibandingkan dengan penentuan umur optimum berdasarkan pendekkatan break event point. Prinsip penentuan saat optimum peremajaan dengan metode Faris diterapkan pada usaha yang sifatnya jangka panjang dan faktor bunga juga ikut diperhitungkan.

MNR

ANR

MR MC

(22)

22 3.1.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keputusan Petani Melakukan

Peremajaan

Peremajaan dalam bahasa lain dapat digunakan dengan istilah replacement,

replanting, rejuvenation, atau bahkan renovation. Dalam artian luas peremajaan adalah suatu kegiatan untuk memperbarui dari kondisi lama yang sudah mulai turun fungsi atau tidak memiliki lagi nilai fungsinya. Peremajaan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan istilah replanting atau penggantian tanaman. Peremajaaan (replanting) dilakukan pada kebun-kebun yang memiliki tanaman sudah tidak berproduksi lagi.

Dalam penelitian ini terdapat beberapa hipotesis faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani melakukan peremajaan karet. Faktor-faktor yang diduga memengaruhi keputusan petani dalam melakukan peremajaan dibagi menjadi dua faktor utama yaitu faktor social ekonomi dan faktor teknis. Faktor sosial ekonomi terdiri dari faktor pengalaman petani, pendidikan, proporsi penghasilan lain dan jumlah tanggunagn anggota keluarga. Sedangakn faktor teknis yang digunakan dalam penentuan faktor-faktor hanya luas lahan petani. 1. Usia Petani

(23)

23 2. Pendidikan

Pendidikan sangat berhubungan terhadap pola pikir petani. Variabel pendidikan diharapkan nanti dapat berpengaruh positif terhadap peluang petani dalam melakukan peremajaan. Seperti yang dijelaskan Soekartawi (2005) bahwa petani yang memeiliki pendidikan lebih tinggi akan relatif lebih cepat melakukan adopsi dalam inovasi teknologi. Hal ini dikarenakan petani yang berpendidikan cenderung akan memiliki pola pikir untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal dengan tindakan yang efisien. Sehingga apabila dikaitkan ke peremajaan maka petani yang berpendidikan diduga akan melakukan peremajaan pada kebun mereka untuk mendapatkan hasil yang maksimal dibandingkan tetap melakukan penyadapan dengan produksi yang rendah, atau secara ekonomi tidak menguntungkan lagi.

3. Pengalaman Petani

Pengalaman petani adalah salah satu variabel independen yang diduga memengaruhi keputusan petani dalam melakukan peremajaan. Usia, pengalaman dan pendidikan merupakan faktor yang mampu memengaruhi cara pikir dan keputusan seseorang, Peengalaman petani yang digunakan adalah pengalaman petani responden dalam usahatani karet secara keseluruhan yaitu petani responden yang meremajakan dan tidak meremajakan. Hipotesis yang digunakan pada variable ini adalah semakin lama pengalaman petani maka diduga sementara peluang petani untuk melakukan peremajaan akan semakin tinggi.

4. Jumlah Tanggungan Anggota Keluarga

(24)

24 hidup yang banyak akan cenderung membuat petani untuk menunda untuk melakukan peremajaan.

5. Proporsi Penghasilan lain

Proporsi penghasilan lain petani yaitu berupa persentase penghasilan lain dalam pendapatan total yang dimiliki petani. Faktor ini memiliki hubungan dengan jumlah pendapatan yang diperoleh petani. Faktor ini ikut diperhitungkan karena diduga memiliki pengaruh yang positif terhadap keputusan petani dalam melakukan peremajaan karet. Semakin tinggi atau besar proporsi penghasilan lain dibandingkan dengan pendapatan karet dalam pendapatan total petani maka tingkat kesejahteraan petani akan semakin meningkat. Hal ini dapat menyebabkan petani cenderung untuk melakukan peremajan pada kebun karet mereka.

6. Luas lahan yang Dimiliki

Luas lahan merupakan luas lahan total yang dimiliki dan dikelola oleh petani petani karet responden. Luas lahan dapat menjadi salah satu tolok ukur dari ukuran usahatani. Semakin luas lahan yang dimiliki maka semakin besar ukuran usahatani yang dimiliki. Secara teoritis, luas lahan diduga akan memiliki pengaruh positif terhadap keputusan melakukan peremajaan. Soekartawi (2005) menjelaskan bahwa ukuran usahatani selalu memiliki hubungan yang positif dalam pengambilan keputusan petani untuk menerapkan teknologi baru. Hal ini dilihat dalam hubungan pada keputusan petani untuk melakukan peremajaan yaitu dapat dikarenakan semakin luas lahan yang dimiliki petani, maka petani akan semakin mudah untuk mengatur pola tanam karet. Luas lahan diduga juga salah satu faktor yang akan menentukan keputusan petani dalam melakukan peremajaan.

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

(25)

25 perkebunan tersebut dilakukan dengan cara melihat daerah penelitian secara langsung di Kabupaten Banyuasin. Kemudian dilanjutkan dengan memilih beberapa desa dan petani yang memiliki kebun karet yang sudah melakukan peremajan dalam kurun 5 tahun terakhir dan petani yang memiliki kebun karet yang sudah tua dan rusak . Perkebunan karet milik rakyat yang tidak meremajakan merupakan perkebunan peremajaan kebun karet yang umur karetya sudah mencapai atau melebihi umur optimum peremajaan karet.

Analisis peremajaan optimum yang dilakukan yaitu dengan menggunakan data yang diperoleh dari petani karet rakyat. Data yang digunakan dalam analisis ini berupa faktor teknis dari petani karet yaitu berupa penerimaan tunai dari karet dan pengeluaran yang dilakukan berupa biaya-biaya yang digunakan selama pengusahaan karet. Menurut (Soekartawi et al, 1986), penerimaan tunai adalah nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani sedangkan Pegeluaran tunai usaha tani (farm payment) adalah jumlah uang yang dikeluarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Penerimaan tunai karet diperoleh dari hasil produksi getah karet yang dijual petani. Penerimaan dan pengeluaran diperlukan untuk menghitung cashflow karet. Hasil perhitungan cashflow

kemudian digunakan sebagai perhitungan dalam menentukan umur optimum peremjaan karet.

Analisis penentuan umur atau saat optimum peremajaan menggunakan metode Faris (1960). Terdapat tiga konsep peremajaan dalam metode Faris (1960). Namun konsep yang digunakan dalam metode tersebut yaitu hanya salah satu konsep dari ketiga konsep yang ada. Konsep yang digunakan adalah konsep peremajaan optimum dengan adanya produksi jangka panjang yang diwujudkan dengan cara penjualan hasil sepanjang hidup asset. Maksud dari konsep ini yaitu menjelaskan bahwa suatu usaha jangka panjang dimana penerimaan diperoleh dari hasil produksi sepanjang umur asset. Konsep ini biasanya digunakan untuk menentukan umur optimum peremajaan pada tanaman perkebunan seperti kopi, karet, teh, kelapa sawit, dan kakao.

(26)

26 per tahun sama dengan amortisasi dari nilai kini keuntungan selama masa pengusahaan (amortisasi of net revenue). Mengingat tanaman karet termasuk tanaman tahunan dan perkebunan yang memiliki silkus hidup yang cukup panjang, maka konsep yang sesuai sebagai penentuan umur optimum peremajaan yaitu konsep ketiga.

Hasil analisis dari peremajaan optimum karet rakyat selanjutnya dianalisis secara deskriptif melalui hasil dari observasi lapang dan wawancara ke petani karet.. Penggunaan data karakteristik kebun yang diperoleh juga digunakan untuk mengitung cash flow dan selanjutnya digunakan juga dalam perhitungan penentuan saat atau umur optimum peremajaan karet. Hasil analisis ini berupa umur optimum dari peremajaan karet. umur optimum ini dgunakan sebagai umur penentu atau pembatas bagi kelompok petani yang meremajakan, tidak meremajakan dan belum meremajakan. Namun yang digunakan dalam analisis faktor-faktor penentu keputusan petani hanya menggunakan kelompok petani yang meremajakan dan tidak meremajakan.

Identifikasi faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani untuk melakukan peremajaan dilakukan dengan teknik wawancara, kuisioner, survey langsung ke perkebunan karet milik rakyat di Kabupaten Banyuasin dan juga berdasarkan studi lietratur dari penelitian sebelumnya. Faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani melakukan peremajaan dibagi menjadi dua yaitu faktor teknis yang diperoleh dari karakteristik kebun dan faktor sosial ekonomi yang diperoleh dari karakteristik petani. Hasil wawancaara, kuesioner serta survey kemudian dilakukan analisis dalam bentuk tabulasi dan kuntifikasi. Selanjutnya dilakukan perhitungan pendapatan petani karet yang diperoleh dari karakteristik kebun milik petani.

(27)
(28)

28

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional

Optimum Peremajaan PV.MNR=PV.ANR

Perkebunan Karet milik Rakyat

Peremajaan Karet

Melakukan peremajaan Tidak melakukan

peremajaan

Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani melakukan

peremajaan karet: 1. Usia 2. Pendidikan 3. Pengalaman

4. Jumlah Tanggungan Anggota Keluarga

5. Proporsi Penghasilan Lain 6. Luas Lahan Faktor

Teknis

Faktor Sosial ekonomi

Faktor Teknis Faktor

Sosial ekonomi

(29)

29

IV METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di tiga Desa pada dua Kecamatan di Kabupaten Banyuasin. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan bahwa Kabupaten Banyuasin merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Selatan yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani karet, khususnya karet rakyat. Dengan pengembangan komoditi utama adalah karet yang merupakan salah satu komoditas unggulan nasional menjadi hal yang menarik untuk dijadikan tempat penelitian. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2012.

4.2. Pengumpulan Data

Data yang digunakan merupakan data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan bersumber dari data hasil wawancara langsung terhadap kegiatan yang dilakukan petani karet rakyat dengan menggunakan kuisioner yang telah disiapkan sebelumnya dan observasi langsung ke kebun karet rakyat. Data wawancara diperoleh dengan melakukan wawancara kepada petani perkebunan karet rakyat yang ada di setiap desa yang sudah ditentukan. Wawancara dengan petani bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai alasan serta faktor-faktor yang menentukan petani dalam melakukan peremajaan terhadap perkebunan karet mereka yang sudah tua. Pencarian informasi meliputi karakteristik petani karet rakyat, jumlah modal yang dimiliki petani, kegiatan budidaya, penggunaan input produksi, pendapatan petani, kendala-kendala yang dihadapi dilapangan serta faktor-faktor produksi yang digunakan.

(30)

30

4.3. Jumlah dan Teknik Pengambilan Sampel

Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu penentuan sampling dengan cara sengaja atau dengan tujuan tertentu sesuai dengan kebutuhan dari penelitian. Teknik ini digunakan dalam menentukan daerah penelitian.

Stratified simple random sampling digunakan dalam menentukan lokasi sampel petani karet rakyat di Kabupaten Banyuasin. Teknik Stratified Simple Random digunakan untuk menentukan kecamatan yang dipilih dari Kabupaten Banyuasin dan selanjutnya dari setiap kecamatan akan dipilih lagi desa dengan teknik pengambilan sampel yang sama dalam menentukan kecamatan. Kecamatan yang dipilih yaitu kecamatan yang memiliki potensi dalam pengembangan perekebunan karet. Kecamatan yang terpilih yaitu Kecamatan Sembawa dan Kecamatan Talang Kelapa. Selanjutnya dari kecamatan yang terpilih, dari Kecamatan Talang Kelapa dipilh satu desa yaitu Desa Talang Buluh, sedangkan dari Kecamatan Sembawa dipilih dua desa, yaitu Desa Sembawa dan Mainan.

Pemilihan lokasi desa dilakukan berdasarkan jumlah penduduk yang sebagian besar bekerja sebagai petani karet bukan sebagai buruh karet. Desa Talang Buluh, Sembawa, dan Mainan merupakan beberapa desa di Kecamatan Talang Kelapa dan Sembawa yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani, khususnya petani karet.

Pemilihan petani responden karet meremajakan dilakukan secara purposive sampling. Hal ini dikarenakan sulitnya untuk menemukan petani yang melakukan peremajaan pada kebun karet mereka. Teknik purposive dapat membantu untuk langsung memilih petani yang melakukan peremajaan. Jumlah petani yang meremajakan berjumlah 16 orang petani. Perbedaan jumlah petani dikarenakan sulitnya menemukan petani yang melakukan peremajaan dalam batas waktu 5 tahun terakhir. Sedangkan untuk petani yang tidak dan belum meremajakan yaitu berjumlah 54 petani, sehingga jumlah total sampel petani yang diteliti yaitu berjumlah 70 responden petani.

(31)

31 sampel tersebut digunakan untuk mendapatkan 54 petani responden dari masing-masing desa yang dipilih dengan cara mengetetahui dari petani lain yang juga memiliki kebun karet yang yang memiliki kebun karet yang sudah tua dan rusak.

4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Metode Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah secara kuantitatif dan kualitatif. Tahap-tahap yang dilakukan dalam pengolahan dan analisis data meliputi pentransferan data. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengetahui karakteristik petani karet .

Pengolahan data secara kuantitatif dengan menggunakan kriteria-kriteria investasi, yaitu Net Present Value (NPV) dan pententuan saat optimum peremajan dengan metode Faris (1960). Data dan informasi yang diperoleh diolah secara manual dengan menggunakan kalkulator dan dibantu dengan program komputer Microsoft Excel dan Minitab 14. Kemudian hasilnya diintepretasikan secara deskriptif. Analisis data primer dan sekunder menggunakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif.

4.4.1. Penerimaan Petani Karet

Penerimaan petani karet merupakan hasil kali dari getah karet yang dihasilkan dengan harga jual karet. Harga jual karet yang digunakan untuk menghitung pendapatan yaitu harga jual karet pada saat penjualan dua minggu sekali. Penentuan penggunaan harga jual karet tersebut didasarkan pada rata-rata penjualan karet yang dilakukan petani pada daerah penelitian. Jumlah produksi getah karet yang di jual petani juga akan di konversi ke jumlah getah karet dalam waktu dua mingguan. Perubahan tersebut berdasarkan penyusutan berat getah karet yang biasanya terjadi. Petani yang menjual produksi getah karet dalam waktu satu bulan sekali akan ditambahkan penyusutan sebesar 20 persen dari jumlah getah karetnya, sedangkan untuk petani yang menjual dalam waktu satu minggu sekali maka jumlah produksi getah karetnya akan dikurangi sebesar 10 persen dari jumlah produksi getah karetnya.

Secara matematis, penerimaan petani karet dapat dirumuskan sebagai berikut :

(32)

32 4.4.2. Analisis Biaya

Biaya tunai (farm payment) didefinisikan sebagai jumlah biaya yang dikeluarkan untuk pembelian barang dan jasa usahatani secara tunai (Soekartawi

et al. 1986). Biaya tidak tunai usahatani yaitu dengan memperhitungkan sumberdaya yang digunakan tetapi tidak dihitung atau dibayar secara tunai sebagai biaya yang dikeluarkan. Biaya tidak tunai yang dihitung yaitu penyusutan dan tenaga kerja dalam keluarga. Tenaga kerja dalam keluarga yaitu tenaga kerja yang menggunakan anggota keluarga sebagai tenaga kerja untuk pengelolaan usahatani karet. Namun untuk perhitungan penyusutan dalam penelitian ini tidak dihitung karena peralatan yang digunakan petani pada kenyataannya tidak terlalu diperhitungkan oleh petani.

4.4.3. Analisis NPV

Net present value adalah selisih antara total Present value manfaat bersih total dengan total present value biaya. Perhitungan nilai sekarang dapat dilakukan dengan menggunakan tingkat suku bunga yang relevan. Rumus untuk menghitung NPV adalah sebagai berikut.

=

1+ − =0/1 1+

=0/1 =

− 1+

=0/1 (2) Dimana : Bt : Manfaat bersih pada tahun t

: Biaya pada tahun ke-t

t : Tahun kegiatan bisnis ( t=0,1,2,3,……..,n), tahun awal bisa menggunakan tahun 0 atau tahun 1 tergantung dengan kareakteristik usaha yang dijalankan.

i : Suku bunga (discount rate) (%) Sumber : Nurmalina, Sarianti, Karyadi (2009) 4.4.4. Umur Optimum Peremajaan

(33)

33 PV MNR = PV ANR (3) Dimana :

PV : Nilai kini

MNR : Keuntungan Marginal

ANR : Nilai Amortis Pendapatan bersih

Nilai ANR merupakan rata-rata dari penerimaan bersih dalam nilai amortis atau penurunan. Nilai amortisasi dapat dicari dengan menggunakan rumus :

ANR =

r (1+r)

n

r (1+r)n−1

x PV

n (4)

Dimana :

ANR : rata-rata pendapatan bersih (dalam nilai amortis) PVn : nilai kini pendapatan bersih pada tahun n

r : nilai diskonto (discount rate) n : Umur Tanaman

Hasil perhitungan ini selanjutnya akan digunakan sebagai umur penentu atau pembatas yang digunakan untuk mengelompokkan petani menjadi kelompok petani yang meremajakan, tidak meremajakan dan belum meremajakan. Pengelompokkan tersebut akan digunakan dalam analisis faktor yang memengaruhi keputusan petani untuk melakukan peremajaan karet.

4.4.5. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keputusan Petani Melakukan Peremajaan Karet

(34)

34 4.4.5.1. Analisis regresi logistik binomial

Analisis faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani akan dilakukan dengan menggunakan data dari keseluruhan petani responden, maka didapatkan model faktor peremajaan. Model yang digunakan adalah regresi logistik binomial. Regresi logistik dapat dimanfaatkan untuk memprediksi suatu variabel tidak bebas (independen) berdasarkan variabel bebas (dependen) yang bersifat kontinu atau kategorik. Regresi logistik juga dapat digunakan untuk menentukan persentase varian di dalam variabel independen dijelaskan oleh variabel dependen dan untuk dilibatkan dalam model.

Tingkat signifikansi yang digunakan adalah 15 persen karena variabel yang digunakan adalah sosial ekonomi. Bentuk spesifik dari model regresi logistik adalah :

( ) =

0+ 1 1+ 2 2+

1+ 0+ 1 1+ 2 2+ (5)

Dimana (x) dapat ditransformasikan dalam logit , menjadi : = ln[ � ( )

1−� ( )] (6) Berdasarkan data yang tersedia, model persamaannya dapat dituliskan sebagai berikut :

= 0+ 1 1 + 2 2 + 3 3 + 4 4 + 5 5 + 6 6 (7) Dimana :

Y = 0 : Petani melakukan peremajaan 1 : Petani tidak melakukan peremajaan X1 = Usia petani (tahun)

X2 = Pendidikan (dummy)

X3 = Pengalaman (tahun)

X4 = Jumlah tanggungan anggota keluarga (orang) X5 = Proporsi Penghasilan lain (Persentase) X6 = Luas lahan (ha)

0, = Konstanta

(35)

35 Analisis dimulai dengan melakukan wawancara berdasarkan kuesioner yang dibuat kepada responden.

1. Peremajaan (Y)

Peremajaan yaitu variabel dependant atau variabel tidak bebas yang dipengaruhi oleh variabel-variabel independen atau dugaan yang lain. Peremajaan menggunakan nilai dummy dimana 1 merupakan petani yang melakukan peremajaan pada kebun karet mereka pada batas waktu 5 tahun terkahir dan nilai 0 untuk petani yang tidak melakukan peremajaan pada kebun karet mereka dan umur kebun karetnya sama atau lebih dari umur optimum peremajaan karet yang diperoleh.

2. Usia Petani (X1)

Usia petani adalah salah satu variabel independen atau variabel bebas yang dimasukkan ke dalam model. Usia petani yang digunakan adalah usia petani responden secara keseluruhan yaitu petani responden yang meremajakan dan tidak meremajakan. Data usia petani yang digunakan saat petani diwawancara.

3. Pendidikan (X2)

Pendidikan yang digunakan dibagi dalam lima kategori, dimana petani yang memiliki nilai 1 = tidak lulus SD, 2 = Lulus SD, 3 = Lulus SMP, 4 = Lulus SMA, 5 = Lulus Perguruan tinggi.

4. Pengalaman (X3)

Pengalaman merupakan variabel independen yang diperoleh berdasarkan pengalaman petani selama usahatani karet. Pengalaman petani yang digunakan berdasarkan berapa tahun petani menggeluti usahatani karet.

5. Jumlah Tanggungan Anggota Keluarga (X4)

Jumlah tanggungan anggota keluarga merupakan jumlah anggota keluarga yang masih dalam tanggungan petani responden. Jumlah tanggungan menggambarkan ukuran keluarga, sehingga petani sebagai kepala keluarga juga dimasukkan atau dihitung dalam jumlah tersebut.

6. Proporsi Penghasilan lain (X5)

(36)

36 dari usahatani non karet ataupun non usahatani dibagi dengan junlah total pendapatan petani. Pendapatan total petani diperoleh dari penjumlahan penghasilan lain diluar penghasilan petani dari karet dan penghasilan petani dari karet.

7. Luas lahan yang Dimiliki (X6)

Luas lahan merupakan luas lahan total yang dimiliki dan dikelola oleh petani petani karet responden.

Analisis data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan data-data hasil dari identifikasi faktor-faktor yang memengaruhi peremajaan dihasilkan pada kegiatan peremajaan karet. Pengolahan data untuk menganalisis pendapatan, penentuan faktor-faktor yang memengaruhi serta umur optimum peremajaan karet menggunakan bantuan program Microsoft Excel dan Minitab 14.

Pendugaan Koefisien

Pendugaan koefisien atau parameter model ( 0, 1, 2,…. . ,) dalam model regresi logistik biner dilakukan dengan menggunakan Maximum Likelihood Estimation (MLE). Hosmer dan Lemeshow (2000) menuliskan fungsi

likelihood:

� = =1� [1− � ]1− (8)

Prinsip Maximum Likelihood Estimation (MLE) nilai β yang digunakan di dalam model regresi logistik biner yaitu β yang dapat memaksimalkan nilai L(β). Hasil output Minitab 14 yang menunjukkan koefisien atau parameter model terdapat didalam tampilan Logistik Regression Table pada kolom Coef. Berdasarkan output Minitab 14 pada kolom Coef. tersebut ditunjukkan besarnya nilai koefisien berdasrkan prinsip Maximum Likelihood Estimation (MLE) dan tanda koefisien berupa tanda positif atau negatif.

Uji Signifikansi

(37)

37

=

2 ln

( )

( ) (9)

Nilai G statistik yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan nilai Chi-square (

²

) tabel

.

Apabila nilai G statistik lebih kecil dari nilai Chi-square (

²

) table maka terima H0. Apabila dilihat dari output minitab, nilai P-value lebih besar dari pada α maka gagal menolak H0 pada tingkat α tersebut. Nilai G statistik pada output Minitab 14 dapat dilihat pada tampilan Test that all slopesare zero. Pada tampilan ini juga terdapat nilai derajat bebas dan P-value. Hipotesis yang dibuat pada uji kelayakan model yaitu :

H0 : 1 = 2, = 3 = ⋯= = 0

H1 : Minimal terdapat 1 ≠ 0 dengan i = 1,2,3,…p.

Uji signifikansi yang selanjutnya dilakukan yaitu pengujian koefisien yang dilakukan dengan menggunakan uji Wald. Nilai uji Wald dinotasikan dalam bentuk pada rumus yang dinyatakan seperti dibawah ini :

=

�( )

(10)

Seperti pada uji G statistik, nilai uji Wald juga dibandingkan dengan, nilai dengan nilai Z table. Uji signifikansi juga dapat dilakukan dengan melihat P-value dari uji tersebut dan kemudian dibandingkan dengan nilai α. Apabila nilai uji Wald lebih kecil dari Z table maka terima H0 atau gagal menolak H0 bila nilai P-value lebih besar pada tingkat α tersebut. Hipoetsis yang digunakan pada uji signifikansi koefisien yaitu :

H0 : = 0

H1 : 1 ≠ 0 dengan i = 1,2,3,…p.

Nilai uji Wald pada output Minitab 14 terdapat di dalam tampilan Logistik regression Table pada kolom “Z” dan nilai P-value pada kolom “P” untuk masing-masing koefisien. Pada penelitian ini, tingkat α yang digunakan yaitu sebesar 15 persen.

(38)

38 Cara yang paling umum untuk mengintepretasikan koefisien pada model logistik yaitu dengan melibatkan istilah odds ratio. Konsep tentang odds ratio dimulai dengan istilah odds. Estimasi odds ratio dapat dinyatakan dalam dua bentuk yaitu estimasi titik dan estimasi selang. Estimasi titik menghasilkan nilai nilai estimasi rasio odds berupa satu angka tertentu. Sedangkan dalam estimasi selang, nilai estimasi rasio odds berada pada suatu selang kepercayaan tertentu atau bukan menyatakan satu titik tertentu.

Estimasi titik pada model regresi logistik yang terdapat variabel bebas (x) dikotomous yakni x =1 atau x =0. Nilai x=1 maka akan didefinisikan sebagai π(1) / [1- π(1)]. Sementara odds untuk untuk variabel dengan nilai x=0 maka akan didefinisikan sebagai π(0) / [1- π(0)]. Rasio odds merupakan perbandingan antara odds untuk x=1 dan odds untuk x=0. Maka adapun rumus untuk odds ratio(OR) adalah :

=

π(1) / [1−π(1)]

π(0) / [1−π(0)] (11)

Intepretasi koefisien pada variabel bebas yang bersifat kontinu dijelaskan dengan istilah Endpoint of 100 (1-α) persen Continous Independen Estimate of OR (c) atau endpoint variabel bebas kontinu, dengan c yang menyatakan besarnya unit perubahan pada variabel bebas kontinu ( Hosmer dan Lemeshow, 2000). Hal ini menjelaskan bahwa estimasi rasio odds selang kepercayaan 100*(1-α)% diperoleh dengan menghitung titik-titik ujung (endpoint) dari suatu selang kepercayaan untuk koefisien. Rumus umum endpoints pada variabel bebas kontinu dituliskan melalui hubungan dengan koefisien regresinya adalah

= exp ± 1

2 � ( ) (12)

4.5 Definisi Operasional

1. Petani perkebunan karet rakyat yaitu petani yang memiliki kebun karet sendiri melakukan budidaya tanaman karet, melakukan penyadapan dan penjualan hasil karet dari sadapan.

(39)

39 usahatani dan kelayakan dan peremajaan optimal akan disamakan dalam luas lahan satu hektar.

3. Umur karet yang digunakan untuk batas meremajakan dan tidak meremajakan berdasarkan umur peremajaan optimum dari karet yang diperoleh dari hasil perhitungan pada penelitian ini.

4. Tanaman Sela (Intercrop) adalah tanaman yang biasanya pada sela-sela tanaman karet yang masih berumur 0 sampai 3 tahun. Biasanya tanaman sela yang ditanaman yaitu tanaman musiman seperti sayuran, cabai, padi, dan buah-buahan yang masa panennya tidak lama yaitu hanya sekitar 3 – 6 bulan. Namun untuk tempat penelitian, dikarenakan secara kebetulan merupakan salah satu temapt pembuat bibit karet, sehingga tanaman sela yang ditemukan ahnya berupa bibit karet.

5. Jarak tanam yang digunakan petani dianggap sama yaitu 5x3,3 m. Jarak tanam ini merupakan jarak tanam rata-rata yang paling banyak digunakan oleh petani pada daerah penelitian dan jarak tanaman untuk luas satu hektar dengan jumlah pohon karet sebanyak 600 batang.

6. Modal yang digunakan petani dapat dari modal sendiri dan pinjaman.

7. Harga jual karet yang digunakan adalah harga jual karet yang sedang berlaku secara umum di tingkat petani atau rata-rata harga jual pada tahun 2012. Harga jual tersebut yaitu harga jual karet rata-rata dalam waktu dua mingguan sebesar Rp 12.500,00/kg dalam bentuk karet bekuan. Harga jual karet di asumsikan tetap selama 25 tahun mendatang.

8. Harga input untuk analisis ini selama pemeliharaan serta penyadapan karet selama 25 tahun mendatang dianggap konstan.

9. Tenaga kerja adalah yang digunakan dalam proses produksi baik untuk persiapan bibit, pengolahan lahan, penanaman dan pemeliharaan, pemanenan, penyadapan dan pengangkutan. Tenaga kerja ini dibedakan menjadi tenaga kerja dalam dan luar keluarga. Seluruh tenaga kerja disetarakan dengan hari orang kerja (HOK).

(40)

40 11.Tanaman karet baru dapat disadap setelah lebih kurang 5 tahun setelah masa

penanaman di lahan atau kebun.

12.Total produksi adalah total output yang dihasilkan selama satu tahun. Nilai total penjualan adalah hasil kali antara total produksi dan harga jual.

(41)

41

V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK PETANI

5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

5.1.1. Kabupaten Banyuasin

Kabupaten Banyuasin merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Sumatera Selatan. Kabupaten Banyuasin merupakan kabupaten yang terletak paling dekat dengan ibukota provinsi Sumatera Selatan yaitu kota Palembang.

Sebelah utara : berbatasan langsung dengan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi dan Selat Bangka,

Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Jejawi Kabupaten Ogan Ilir, Kota Palembang, Kecamatan Sungai Rotan dan Talang Ubi Kabupaten Muara Enim,

Sebelah timur : berbatasan dengan Kecamatan Pampangan dan Air Sugihan Kabupaten Ogan Ilir dan;

Sebelah barat : berbatasan dengan Kabupaten Musi Banyuasin.

Secara administratif Kabupaten Banyuasin memiliki 16 kecamatan yang secara total memiliki luas sekitar 11.832,99 Km² dengan kepadatan penduduk pada tahun 2009 sebanyak 69,15 jiwa/ Km².

Kabupaten Banyuasin masih menjadi tujuan utama penempatan transmigrasi di Sumatera Selatan. Jumlah penempatan transmigrasi di Kabupaten Banyuasin tahun 2009 sebanyak 175 keluarga dengan 623 jiwa. Banyaknya transmigran yang berada pada Kabupaten Banyuasin, menyebabkan mayoritas petani karet yang berada pada beberapa kecamatan dan desa bukanlah penduduk asli daerah tersebut.

(42)

42 Rambutan. Berdasarkan Tim Penulis PS (2011) lahan kering merupakan salah satu jenis lahan yang cocok sebagai tempat pengembangan komoditas perkebunan terutama karet.

Wilayah Kabupaten Banyuasin menurut klasifikasi Oldemand memiliki iklim yang bertipe B 1 yaitu dengan suhu rata -rata 26,10̊ - 27,40̊ Celcius dan dengan kelembaban rata-rata 69,4 persen sampai 85,5 persen. Kabupaten Banyuasin juga memiliki rata-rata curah hujan yaitu sekitar 2.723 mm/tahun.

5.2. Kondisi Pertanian Kabupaten Banyuasin

Sebagai salah satu kabupaten penghasil karet terbesar di provinsi Sumatera Selatan, penggunaan lahan di Kabupaten Banyuasin mayoritas digunakan untuk pertanian. Lebih dari setengah dari luas wilayah Kabupaten Banyuasin dipergunakan untuk lahan pertanian. Lahan pertanian yang memiliki luas 906.994 ha terdiri dari lahan sawah seluas 198.298 ha, perekebunan 196.119 ha, hutan 169.087 ha, rawa-rawa, tambak dan kolam 167.786 ha, tegalan dan lading 37.023 ha, padang rumput dan sementara tidak diusahakan yaitu seluas 138.631 ha.

(43)

43 Tabel 6. Luas Perkebunan rakyat dan Jumlah Petani Menurut Jenis Komoditi

di Kabupaten Banyuasin Tahun 2009 Jenis

Komoditi

Luas Kebun (Ha)

Persentase (%)

Jumlah Petani (KK)

Persentase (%)

Karet 88.875 60,2 37.481 48,6

Kelapa Sawit 12.848 8,7 11.602 15,0

Kelapa 45.932 31,1 28.007 37,4

Jumlah 147.655 100,0 77.090 100,0

Sumber : BPS Sumatera Selatan (2010)

Komoditi perkebunan yang banyak diusahakan oleh masyarakat Kabupaten Banyuasin yaitu karet, kelapa sawit, dan kelapa. Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 6, luas lahan dan jumlah petani yang terlibat pada perkebunan karet yaitu paling tinggi dibandingkan kelapa sawit dan kelapa. Persentase luas kebun karet yang diusahakan oleh petani rakyat sebesar 60,2 persen menandakan bahwa komoditi karet masih menjadi komoditi utama perkebunan yang ditanam oleh masyarakat Kabupaten Banyuasin. Dapat dilihat juga pada Tabel 7, produksi komoditi perkebunan rakyat yang paling banyak selama tahun 2009 yaitu produksi karet. Komoditi karet dan kelapa sawit merupakan komoditas ekspor yang harganya relatif stabil tinggi sehingga kehidupan petani karet dan kelapa sawit lebih sejahtera dibandingkan dengan petani komoditi lain.

Tabel 7. Produksi Perkebunan Rakyat Menurut Jenis Komoditi di Kabupaten Banyuasin Tahun 2009

No. Jenis Komoditi Satuan Produksi

1 Karet Ton 91.988

2 Kelapa Sawit TBS 31.392

3 Kelapa Ton 39.567

Sumber : BPS Sumatera Selatan (2010)

5.2. Karakteristik Petani Responden

[image:43.595.109.517.115.250.2]
(44)

44 peremajaan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Kelompok responden yang tidak meremajakan yaitu petani karet yang tidak melakukan peremajaan dan umur karet yang dimiliki sama atau melebihi umur peremajaan optimum. Sedangkan kelompok responden yang belum meremajakan yaitu kelompok petani karet yang tidak melakukan peremajaan namun umur karet yang mereka miliki masih dibawah umur peremajaan optimum karet. Umur peremajaan optimum yang diperoleh yaitu umur 23 tahun atau seperti pada penjelasan Bab VI.

Kategori usia petani yang dikelompokkan berdasarkan survey Tenaga Kerja Nasional (Saskernas). Usia petani responden berkisar antara umur 25-80 tahun dengan rata-rata umur 45,34 tahun. Kelompok petani yang meremajakan paling banyak berada pada kelompok rentang umur 30-44 tahun yaitu sebanyak 75 persen.

Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa kelompok petani yang meremajakan lebih banyak pada usia yang produktif dibandingkan kelompok petani yang tidak meremajakan dan belum meremajakan. Dapat disimpulkan sementara berdasarkan hasil Tabel 8 bahwa petani yang melakukan peremajaan cenderung dilakukan oleh petani yang masih muda dan berada pada usia produktif.

Tabel 8. Sebaran Responden Petani Karet Menurut Usia Tahun 2012

Kategori umur Meremajakan Tidak meremajakan Belum Meremajakan

n % n % n %

10-29 tahun 1 6,25 0 0 3 8,11

30-44 tahun 12 75 2 11,76 14 37,84

45-59 tahun 3 18,75 12 70,59 14 37,84

> 60 tahun 0 0 3 17,65 6 16,22

Total 16 100 17 100 37 100

(45)

45 Tabel 9. Sebaran Usia Responden Petani Karet Berdasarkan Umur Karet Tahun

2012 Kategori

umur (tahun)

Umur Karet (tahun)

0-5 % 6-10 % 11-15 % 16 - 20 % 21 - 31 %

10-29 1 5,2 0 0 2 25 0 0 1 4,8

30-44 15 79,0 6 54,5 2 25 1 12,5 5 23,8

45-59 3 15,8 4 36,4 2 25 4 50 12 57,1

> 60 0 0 1 9,1 2 25 3 37,5 3 14,3

Total 19 100 11 100 8 100 8 100 21 100

Tingkat pendidikan petani responden akan berpengaruh pada tingkat penyerapan teknologi dan ilmu pengetahuan. Tabel 10 menunjukkan sebaran tingkat pendidikan petani responden. Sebanyak 50 persen petani meremajakan berada pada tingkat pendidikan SMA/sederajat. Kemudian disusul dengan lulusan tingkat pendidikan SD/sederajat sebanyak 31,25 persen dari total petani responden meremajakan.

Tabel 10. Sebaran Responden Petani Karet Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2012

Tingkat pendidikan Meremajakan

Tidak meremajakan

Belum Meremajakan

n % n % n %

Tidak Tamat SD 0 0 0 0 3 8,11

SD/Sederajat 5 31,25 5 29,41 11 29,73

SMP/Sederajat 2 12,5 7 41,18 10 27,03

SMA/Sederajat 8 50 4 23,53 11 29,73

Perguruan tinggi 1 6,25 1 5,88 2 5,41

Total 16 100 17 100 37 100

(46)

46 rata-rata petani meremajakan lebih tinggi dibandingkan dengan petani tidak meremajakan dan belum meremajakan.

Tabel 11 menjelaskan sebaran petani responden berdasarkan pengalaman usahatani. Berdasarkan Tabel 11 diketahui bahwa pada kelompok petani responden meremajakan yang memiliki pengalaman usahatani pada rentang 5 sampai 10 tahun lebih banyak melakukan peremajaan pada kebun karet mereka. Sedangkan pada petani responden yang tidak meremajakan, sebanyak 82,35 persen kelompok petani responden tersebut memiliki pengalaman usahatani karet lebih dari 15 tahun. Dapat juga disimpulkan berdasarkan Tabel 11, mayoritas pe

Gambar

Gambar 1. Grafik hubungan antara umur dengan MR, MC, MNR dan ANR
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional
Tabel 6. Luas Perkebunan rakyat dan Jumlah Petani Menurut Jenis Komoditi di Kabupaten Banyuasin Tahun 2009
Gambar 4. Pengangkutan Kayu Karet ke Pabrik Kayu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian untuk pengujian Angka lempeng Total pada ikan segar, pengeringan awal hingga pengeringan akhir produk ikan Kayu dengan menggunakan konsentrasi 1, 2

Perisai tersebut terbagi dalam dua bagian oleh Balok Lintang mendatar bertajuk empat buah yang berwarna putih (perak) pada pinggir atasnya. A) Bagian atas latar kuning (emas)

Tingkat pelayanan tersebut memiliki arti ruang pada segmen I memberikan kebebeasan pejalan kaki untuk berdiri dan bergerak sesuai yang diinginkan tanpa menggangu pejalan

Belakang ini banyak orangtua yang tidak puas dengan hasil sekolah formal sehingga menjadikan homeschooling sebagai alternatif proses belajar mengajar dalam

Penelitian ini dilakukan untuk me- ngetahui pengaruh pemberian imbuhan pakan yang mengandung tepung cacing tanah terhadap performa dan gambaran histopatologi organ dalam ayam broiler

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Waskito (2008), Astuti dan Cahyadi (2007) yang menemukan bukti bahwa kualitas persepsi mempunyai

Pelaksanaan Pemerintahan di tahun 2019 dalam menyelesaikan berbagai program Pemerintahan yang ada dan program yang sebelumnya belum selesai yang disesuaikan dengan

Sedangkan ke 7 karakteristik jiwa kewirausahaan yang lainnya seperti dorongan berprestasi, rasa tanggung jawab, sikap terhadap risiko, rasa percaya diri,