• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimizing Spasial Use for Marine Ecotourism Using Marxan and Willingness To Pay Aplication: case study in Betoambari SubDistrict Baubau City

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Optimizing Spasial Use for Marine Ecotourism Using Marxan and Willingness To Pay Aplication: case study in Betoambari SubDistrict Baubau City"

Copied!
248
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMASI PEMANFAATAN RUANG UNTUK EKOWISATA

BAHARI DENGAN APLIKASI MARXAN DAN

WILLINGNESS

TO PAY

: STUDI KASUS KECAMATAN BETOAMBARI

KOTA BAUBAU

AL AZHAR

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: Optimasi Pemanfaatan Ruang Untuk Ekowisata Bahari dengan Aplikasi Marxan dan

Willingness To Pay: Studi Kasus Kecamatan Betoambari Kota Baubau, adalah

hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka tesis ini.

Bogor, Juli 2011

Al Azhar

(3)

ABSTRACT

AL AZHAR. Optimizing Spasial Use for Marine Ecotourism Using Marxan and Willingness To Pay Aplication: case study in Betoambari SubDistrict Baubau City. Under direction of MENNOFATRIA BOER and AGUSTINUS M. SAMOSIR.

Baubau is a growing city in Southeast Sulawesi Province, which has potential to be developed as a marine tourism destination. However, the development should be done in a sustainable way to reduce the risk of ecological destruction in the future. The objectives of this research were to identify the suitability of coastal resources for marine ecotourism especially diving and to analyze optimum space of marine ecotourism based on minimal cost and economic value. The research was conducted in the Betoambari Sub District. The data were collected through sampling, direct observation of field conditions, distributing questionnaires, and in-depth interviews at the sites; tracking various related sources for secondary data. The result showed that the ecology-based ecotourism category diving was included in most appropriate category (S1) with area 12.49 ha and appropriate (S2) 67.28 ha; optimum space based on minimal cost and economic value was scenario 1 (70% target protection of coral reef), with net benefit Rp 12.653.950.000/years and area 58.82 ha.

(4)

RINGKASAN

AL AZHAR, Optimasi Pemanfaatan Ruang Untuk Ekowisata Bahari dengan Aplikasi Marxan dan Willingness To Pay: Studi Kasus Kecamatan Betoambari Kota Baubau. Dibimbing oleh MENNOFATRIA BOER dan AGUSTINUS M. SAMOSIR.

Baubau merupakan kota otonom yang relatif baru di Propinsi Sulawesi Tenggara, di mana memperoleh status kota pada Tanggal 21 Juni 2001 (Undang-undang Nomor 13 Tahun 2001). Kota yang merupakan daerah eks-pusat Kesultanan Buton ini memiliki prospek pengembangan pariwisata bahari cukup besar. Dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata (RIPP) Kota Baubau Tahun 2005, serta revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2009, kawasan Pantai Nirwana-Lakeba Kecamatan Betoambari dialokasikan untuk pengembangan pariwisata bahari. Namun hingga saat ini wisata bahari di kawasan ini seakan jalan di tempat dan belum menunjukkan perkembangan optimal. Salah satu penyebabnya adalah belum ada peruntukan ruang khusus untuk pengembangan wisata bahari. Sementara intensitas pemanfaatan kawasan dan sumberdaya untuk berbagai kepentingan di wilayah tersebut semakin besar dan meluas. Apalagi saat ini sedang dibangun pelabuhan transit depo pertamina, yang dikhawatirkan akan menyebabkan degradasi sumberdaya pesisir utamanya terumbu karang. Tujuan penelitian ini terdiri atas: (1) mengetahui potensi sumberdaya perairan Kecamatan Betoambari yang sesuai bagi pengembangan ekowisata, khususnya kegiatan selam; (2) mendesain kawasan ekowisata bahari yang optimal berdasarkan biaya minimal dan manfaat ekonomi maksimal.

Penelitian ini dilaksanakan di perairan Kecamatan Betoambari Kota Baubau. Pengamatan ekologis, parameter kualitas perairan, pengumpulan data sekunder dan sosial ekonomi dilaksanakan antara Juli-September 2010, serta survei lanjutan antara Januari-Maret 2011. Jenis dan sumber data yang digunakan terdiri atas: data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan melalui observasi, survei, serta wawancara dengan masyarakat, wisatawan, dan pemangku kepentingan, sedangkan data sekunder diperoleh dari studi pustaka atau laporan hasil penelitian, serta data instansi terkait. Pengamatan sebaran dan luasan terumbu karang dibantu dengan penginderaan jauh (citra Landsat 5 TM Kota Baubau Akuisisi Tahun 2010) dan Sistem Informasi Geografi (SIG). Sedangkan pengambilan data terumbu karang menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT), kemudian dianalisis berdasarkan penutupan komunitas karang. Penentuan ruang ekowisata bahari berdasarkan efisiensi biaya dianalisis menggunakan aplikasi Marxan (Marine Reserve Design Using Spatially Explicit Annealing). Sedangkan penentuan ruang optimal perencanaan ekowisata berdasarkan nilai ekonomi memakai perhitungan net benefit (keuntungan) yang merupakan selisih dari total benefit (TB) yang diperoleh dari kombinasi antara daya dukung wisata (DDW) dan willingness to pay (WTP), dengan total cost (TC) yang diambil dari hasil konversi fungsi objektif Marxan ke dalam satuan rupiah.

(5)

Katobengke. Melalui analisis citra dan SIG, diketahui luasan terumbu karang sekitar 83.64 ha. Tutupan komunitas karang tertinggi ditemukan pada perairan Pantai Nirwana (wilayah yang berbatasan dengan Kecamatan Batauga Kabupaten Buton) sebesar 86.17 %. Ini menandakan tingkat pemanfaatan dan degradasi terhadap terumbu karang di kawasan ini relatif kecil. Sedangkan tutupan komunitas karang yang paling kecil adalah pada perairan Pantai Lakeba sebesar 49.90%. Persentase yang kecil ini, disebabkan tingkat pemanfaatan yang merusak terumbu karang cukup tinggi, contohnya penggunaan batu karang untuk jangkar rakit budidaya rumput laut dan alat tangkap tidak ramah lingkungan seperti bahan peledak atau bom.

Dari hasil analisis, diperoleh perairan Kecamatan Betoambari yang sesuai untuk ekowisata bahari kategori selam berbasis ekologis terdapat di hampir sepanjang pesisir Kelurahan Sulaa dan Katobengke. Kategori kelas paling sesuai (S1) berada di perairan Pantai Nirwana seluas 12.49 ha; kelas cukup sesuai (S2) seluas 67.28 ha tersebar di Tanjung Sulaa, perairan pantai lakeba, arah Selatan Pantai Nirwana; dan kelas sesuai bersyarat (S3) di perairan Kelurahan Sulaa seluas 3.87 ha. Kawasan ekowisata yang optimal berdasarkan biaya minimal dan manfaat ekonomi maksimal adalah skenario 1 (target ekowisata terumbu karang 70%), seluas 58.82 ha dengan nilai net benefit sebesar Rp 12 653 950 000 per tahun. Dengan skenario ini, kawasan yang paling sesuai (S1) untuk dijadikan pusat ekowisata bahari adalah di perairan Pantai Nirwana, sedangkan cukup sesuai (S2) tersebar di arah Selatan Pantai Nirwana dan sebelah Selatan Pantai Lakeba.

(6)

@ Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar.

(7)
(8)

OPTIMASI PEMANFAATAN RUANG UNTUK EKOWISATA

BAHARI DENGAN APLIKASI MARXAN DAN

WILLINGNESS

TO PAY

: STUDI KASUS KECAMATAN BETOAMBARI

KOTA BAUBAU

AL AZHAR

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Judul Tesis : Optimasi Pemanfaatan Ruang Untuk Ekowisata Bahari dengan Aplikasi Marxan dan Willingness To Pay: Studi Kasus Kecamatan Betoambari Kota Baubau.

Nama : Al Azhar

NRP : C252090041

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui : Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA

Anggota

Ir. Agustinus Samosir, M.Phil

Diketahui :

Ketua Program Studi

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Sekretaris Program Magister,

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul Optimasi Pemanfaatan Ruang Untuk Ekowisata Bahari dengan Aplikasi Marxan dan Willingness To Pay: Studi Kasus Kecamatan Betoambari Kota Baubau, tepat waktu. Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Sains pada Program Pascasarjana Mayor Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).

Karya penelitian ini lahir dari hati nurani penulis sebagai bagian dari masyarakat pesisir, yang diinspirasi oleh naluri intelektual penulis selama bergelut dalam studi pesisir dan kelautan. Penulis sangat menyadari karya ini dapat dirampungkan berkat dukungan dan arahan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah memberikan bantuan sejak proses masa perkuliahan hingga pada tahap akhir penulisan tesis ini. Dengan segala kerendahan hati, penulis menghanturkan terima kasih dan rasa hormat sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA, dan Ir. Agustinus M Samosir,

M.Phil, sebagai komisi pembimbing yang penuh kesabaran meluangkan waktu untuk senantiasa memberikan motivasi, bimbingan, arahan, dan masukan kepada penulis demi penyempurnaan penelitian ini, baik dari segi substansi maupun penulisan.

2. Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc, yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pembimbing pada saat ujian tesis.

3. Seluruh dosen pengajar dan staf Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 4. Keluarga tercinta, atas doa dan motivasi yang menjadi napas perjuangan bagi

penulis. Khusus ayahanda Arif (Alm) dan ibunda Hj. Ziyma, berkat curahan kasih sayang dan sapa halus kalian telah mengantarkan penulis dapat menuntut ilmu di perguruan tinggi. Penulis sadar belum dapat membalas semua pengorbanan kalian. Seluruh saudaraku yang telah menyelimutiku dengan motivasi dan melewati bersama suka duka kehidupan: Bardin, S.Pd; Aznia; Adi Harianto Oka, ST; Zumiati, S.Si, Apt; Zuriati, ST; Zuardin, SKM; dan Zumria; serta keponakan tersayang Fahrunnisa Ilmi, Firdha Nurul Ilmi, dan Muhammad Fachry Rizki Oka.

5. Keluarga Wisma Edulweis Bogor: Kakanda Rusman, S.Pi, M.Si; Kakanda Supasman Emu, S.Pi, M.Si; Bunda Ir. Budianti, M.Si; Nurmin Amin, S.Hut; Sitti Yani, S.Si, M.Si; Lita Masitha, S.Pi bersama keluarga, terima kasih atas semua bantuan, kritikan, dan motivasi. Khusus Rani Chahyani Ansar, S.Si, yang selalu memberikan masukan dan membantu mengoreksi penulisan tesis. 6. Kakanda Jamal Harimudin, S.Si, M.Si, telah membantu dan meluangkan waktu mengarjarkan penulis ilmu pemetaan; Kakanda La Ila, S.Pi, M.Si yang memberikan informasi tentang Marxan.

(13)

8. Teman-teman survei terumbu karang; Sudiar, Sumitro, Vian, dan PT Buton Resort. Sahabat Andy Kadir yang membantu mengumpulkan data sosial ekonomi masyarakat dan wisatawan.

9. Saudara seperantauan: Kakanda Ir. Tasrudin; Kakanda Ir. Muhammad Alwi, M.Si; La Ode Muhammad Arsal, S.Pi; Hasan Eldin Adimu, S.Pi; Suwarjoyowirayatno, S.Pi; Robin, S.Pi; Asis Bujang, S.Pi; Fendi, S.Si, dan La Ode Aslin, S.Pi.

10. Kepala Dinas Tata Kota dan Bangunan Kota Baubau beserta staf; Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Baubau beserta staf; Kepala Bappeda beserta staf; serta Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Baubau beserta staf, yang telah memberikan data dan informasi.

11. Sahabatku Upik Sri Rahayu, SE, yang selalu memotivasi dan mendoakan keberhasilan studi penulis

12. Seluruh rekan-rekan seperjuangan SPL XVI: James Walalangi, S.Kel; Mochamad Idham Shilman, S.Pi; Sudirman Adibrata, ST; Ita Karlina, S.Pi; Andi Chadijah, S.Pi; Syultje M Latukolan, S.Pi; Dewi Dwi Puspitasari, S.Pi; Fery Kurniawan, S.Kel; Rieke Kusuma Dewi, S.Pi; Yofi Mayalanda, S.Hut; Aldino Akbar, S.Pi; Suryo Kusumo, S.Pi; Mohamad Akbar, S.Pi; Mohamad Sayuti Djau, S.IK; Destilawaty, S.Pi; dan Raden Mas Puji Raharjo, S.Pi. 13. Seluruh rekan-rekan SPL XV (angkatan 2008).

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan yang disebabkan oleh keterbatasan wawasan dan pengetahuan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya membangun, demi penyempurnaan di masa yang akan datang sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terima kasih.

Bogor, Juli 2011

(14)

RIWAYAT HIDUP

AL AZHAR dilahirkan pada Tanggal 30 Desember 1983 di Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara, sebagai anak keempat dari pasangan Arif (Alm) dan Hj Ziyma. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SDN 1 Bone-bone) Tahun 1996, Sekolah Menengah Pertama (SMPN 4 Baubau) Tahun 1999, dan Sekolah Menengah Umum (SMUN 2 Baubau) Tahun 2002, di Kota Baubau.

(15)
(16)

DAFTAR ISI 1.2 Rumusan Masalah Penelitian ...………….……… 3 1.3 Kesesuaian Perairan Untuk Ekowisata……….. Daya Dukung Ekowisata Bahari….……….……….. Zonasi Kawasan Ekowisata ...………. 2.5.1 Sistem Informasi Geografi…...……… 2.5.2 Marxan …....………...……… 2.4.1. A. Simulated Annealing...……… 2.4.2. B. Summed Solution ..………..…….….. 2.4.3. C. Satuan Perencanaan .…..……….……… 2.4.3. D. Identifikasi Daerah Prioritas (Target) dan Skenario…... 2.4.3. E. Biaya ……...…..……….…….. 2.4.3. F. Pengubah Panjang Batas………….………. 2.4.3. G. Penalti...……….. Metode Valuasi Sumberdaya Alam ………..

5

3. METODOLOGI PENELITIAN 93

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian …..……….……….……… 25 3.2

3.3

Alat dan Bahan Penelitian...……….……….... Jenis dan Sumber Data….……….….……….…

25 28 3.4 Metode Pengumpulan Data...……….……….... 28

3.5

3.4.1 Parameter Lingkungan Perairan ..……… 3.4.2 Data Komunitas Karang…….……….. 3.4.3 Data Ikan Karang……….……. 3.4.4 Data Sosial ……….….. Metode Analisis Data………...……….……. 3.5.1 Analisis Komunitas Karang..……… 3.5.2 Analisis Kesesuaian Kawasan…….………. 3.5.3 Analisis Efisiensi Ruang dengan Aplikasi Marxan…….…… 2.4.1. A. Pembobotan Fitur Konservasi dan Fitur Biaya……….…. 2.4.2. B. Penentuan Daerah Kajian……..……….……. 2.4.3. C. Penentuan Satuan Perencanaan…..……….…....

(17)

2.4.3. D. Pemasukan Data Fitur Konservasi dan Fitur Biaya...….... 2.4.3. E. Pengubah Panjang Batas……….……….…... 2.4.3. F. Biaya Satuan Perencanaan………..…. 2.4.3. G. Konfigurasi File-file Marxan …...………...….. 2.4.3. H. Melihat Hasil Analisis Marxan………... 2.4.3. I. Pembuatan Berbagai Skenario……...………...….. 3.5.4 Analisis Potensi Nilai Manfaat Ekonomi ..………. 2.4.1. A. Analisis Daya Dukung Kawasan……….… 2.4.2. B. Analisis CVM dengan Pendekatan WTP..………….….…

37

4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Keadaan Geografis ………….………... 45

4.2 Karakteristik Fisik. ………..……….…. 45

4.2.1 Kondisi Geologi ……….. 45

4.2.2 Topografi………..……… 46

4.2.3 Musim dan Suhu………..………. 46

4.3 Kondisi Oseanografi Fisika Perairan……….. 46

4.3.1 Pasang Surut………..………... 47

4.3.2 Karakteristik Gelombang……….. 47

4.3.3 Arus….………. 47

4.3.4 Suhu dan Salinitas……… 48

4.4 Karakterisik Pariwisata…….………. 49

4.4.1 Kebijakan Pengembangan Pariwisata………... 49

4.4.2 Perkembangan Kunjungan Wisatawan…..………... 52

4.5 Karakteristik Masyarakat……….…..………. 53

4.5.1 Perkembangan Jumlah Penduduk……..………... 53

4.5.2 Persepsi Masyarakat Lokal Terhadap Wisata Bahari…..……. 54

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Potensi Sumberdaya Kecamatan Betoambari………. 55

5.1.1 Kondisi Ekosistem Terumbu Karang……..……….………… 55

2.4.1. A. Persentase Tutupan Komunitas Karang…..………. 2.4.2. B. Bentuk Tumbuh Karang………....………….. 2.4.1. C. Jenis Ikan Karang………. 2.4.2. D. Biota Lain ……….………..…… 5.1.2 Kualitas Perairan…………..……… 55 59 61 63 64 5.1.3 Kesesuaian Kawasan Pengembangan Ekowisata Bahari..….. 64

5.2 Ruang Ekowisata Bahari Optimal 67 5.2.1 Pemanfaatan Kawasan di Perairan Kecamatan Betoambari… 67 5.2.2 Ruang Ekowisata Berdasarkan Efisiensi Biaya……..………. 69

2.4.1. A. Penetapan Persentase Target Ruang Ekowisata……..…… 2.4.1 B. Pengaturan Skenario Ruang Ekowisata……….…….. 2.4.1 C. Pemilihan Nilai Efisien diantara 3 Skenario……… 69 71 72 5.2.3 Potensi Total Nilai Manfaat Ekonomi……….………. 78

(18)

6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan……….. 83 6.2 Saran………. 83

(19)
(20)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Bentuk dan ukuran unit perencanaan dari aplikasi Marxan sebelumnya.... 19 2.

Koordinat lokasi stasiun penelitian pada kedalaman 10 meter…….…….. Parameter lingkungan perairan ………..….……….…….………….. Daftar penggolongan komponen dasar penyusun ekosistem terumbu karang berdasarkan lifeform karang dan kodenya………...………. Kategori kondisi terumbu karang berdasarkan persentase penutupan karang hidup………..…………... Matriks kesesuaian untuk ekowisata bahari kategori selam……… Penentuan nilai faktor denda (SPF) fitur konservasi….……….…………. Penentuan nilai bobot fitur biaya ………..……….……..………... Data kunjungan wisatawan di Kota Baubau………..……….. Persepsi masyarakat terhadap kegiatan wisata bahari…..……… Jenis lifeform (bentuk-tumbuh karang) di perairan Betoambari………….. Jumlah spesies ikan karang yang ditemukan di perairan Betoambari…….. Luas dan lokasi yang sesuai untuk ekowisata bahari selam………. Faktor denda dan persentase target tiap skenario…..………... Nilai biaya dan panjang batas unit perencanaan terpilih..……… Daya dukung ekowisata di perairan Betoambari……..……… Potensi nilai ekonomi dari 3 skenario……….. Penentuan ruang ekowisata optimal berdasarkan nilai ekonomi…..……...

(21)
(22)

DAFTAR GAMBAR

Bentuk satuan perencanaan dalam Marxan…..….…………..………. Pengaturan BLM ………..………... Wilayah administrasi Kota Baubau….………..………... Lokasi penelitian di perairan Kecamatan Betoambari……….……. Daerah Kajian (perairan Kecamatan Betoambari)……… Alur file tabuler untuk Marxan dengan ArcView dan CLUZ……….. Objek unggulan kepariwisataan Baubau di setiap KPP………..…. Laju pertumbuhan penduduk rata-rata Kota Baubau menurut Kecamatan Tahun 2007-2008………. Nilai persentase tutupan komunitas karang pada kedalaman 10 meter di perairan Kecamatan Betoambari………..……… Kondisi biota lain pada perairan Pantai Nirwana ……….………... Kondisi terumbu karang di perairan Pantai Nirwana………..…. Kerusakan terumbu karang di perairan Pantai Lakeba..….………. Beberapa bentuk-tumbuh karang di perairan Betoambari……….………. Ikan karang yang berasosiasi dengan hewan karang di perairan Pantai Nirwana………... Satwa unik di perairan Kecamatan Betoambari….……….. Kesesuaian kawasan ekowisata bahari kategori selam berbasis ekologi… Pemanfaatan sumberdaya dan kawasan di perairan Betoambari……….… Peta fitur biaya di perairan Betoambari untuk analisis Marxan……….…. Kawasan ekowisata terpilih berdasarkan skenario 1………..……….…… Kawasan ekowisata terpilih berdasarkan skenario 2………..……….. Kawasan ekowisata terpilih berdasarkan skenario 3…………..………….. Perbandingan total biaya (nilai efisien) pada 3 skenario…………..……...

(23)
(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. .

Kuesioner untuk masyarakat ……….. Kuesioner untuk wisatawan.………..………. Hasil perhitungan penutupan karang di perairan Betoambari……..…….. Jumlah dan jenis lifeform terumbu karang di perairan Betoambari……… Jumlah famili dan jenis ikan karang di perairan Betoambari……….. Hasil pengujian ukuran unit perencanaan heksagon………..……. Perbandingan hasil pengujian unit perencanaan 1 ha dan 1000 m2

Hasil pengujian BLM optimal (0.001-1) pada skenario 1……….. …..….

93 96 98 99 100 109 110 111

Nomor

(25)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Wilayah pesisir dan lautan Indonesia dengan panjang garis pantai sekitar 81 000 km2

Kegiatan pariwisata yang memanfaatkan keindahan bawah laut (seperti terumbu karang dan biota unik), merupakan prospek yang sangat potensial dan menjanjikan bagi setiap daerah pesisir di Indonesia untuk menggali potensi wisata bahari sesuai karakteristik daerah. Apalagi UU Nomor 32 Tahun 2004, yang merupakan perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, telah memperjelas pembagian wewenang dan mengamanatkan setiap daerah mengelola potensi sumberdaya alam di daerah masing-masing.

, kaya berbagai sumberdaya alam yang produktif seperti terumbu karang, mangrove, padang lamun, sumberdaya ikan, dan energi kelautan. Selain itu, wilayah pesisir Indonesia juga memiliki berbagai fungsi/jasa lingkungan, antara lain transportasi, pelabuhan, kawasan pemukiman, kawasan industri, agribisnis, agroindustri, rekreasi, dan pariwisata (Dahuri et al. 2004).

Baubau merupakan kota otonom yang baru berkembang di Pulau Buton Provinsi Sulawesi Tenggara, di mana memperoleh status kota pada Tanggal 21 Juni 2001 (berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2001). Kota yang merupakan daerah eks-pusat Kesultanan Buton ini memiliki prospek pengembangan pariwisata bahari cukup besar. Dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata (RIPP) daerah Kota Baubau Tahun 2005, serta revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) Tahun 2009, kawasan Pantai Nirwana-Lakeba Kecamatan Betoambari dialokasikan untuk kegiatan wisata bahari.

(26)

penutupan karang keras hidup berkisar dari kategori sedang hingga sangat baik (45.73% hingga 84.50%).

Kondisi terumbu karang yang masih baik dengan keanekaragaman hayatinya tersebut, disadari pemerintah daerah sebagai keindahan bawah laut Kota Baubau. Kegiatan wisata bahari yang paling utama dikembangkan di wilayah tersebut adalah wisata kategori selam.

Wisata bahari memang memberikan manfaat ekonomi dan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat. Namun di sisi lain, kegiatan wisata bahari selam secara langsung dapat berdampak negatif terhadap kelestarian terumbu karang. Hal ini telah dibuktikan Davenport (2006), bahwa kegiatan wisata selam menyebabkan tekanan terhadap ekosistem terumbu karang. Penyelam yang tidak hati-hati dalam kegiatan wisata, biasanya menginjak atau berdiri di atas karang, dan menendang karang dengan fin. Jika kegiatan wisata yang tidak lestari seperti ini terus dibiarkan maka secara perlahan akan menguras nilai potensi wisata bahari dan menurunkan manfaat ekonomi bagi masyarakat.

Berdasarkan uraian tersebut maka perlu pengelolaan wisata bahari yang optimal dengan menekankan kelestarian sumberdaya dan kesejahteraan masyarakat, atau biasa disebut ekowisata. Ekowisata merupakan konsep pariwisata alternatif yang secara konsisten mengedepankan nilai-nilai alam/lingkungan dan masyarakat, serta memungkinkan adanya interaksi positif antara para pelaku.

Pengelolaan ekowisata bahari di Kota Baubau merupakan upaya untuk melindungi sumberdaya pesisir seperti terumbu karang dan satwa unik, agar dapat dimanfaatkan untuk generasi sekarang dan yang akan datang. Ekowisata dapat berlangsung dalam jangka panjang jika pertimbangan kesesuaian pemanfaatan dan daya dukung ekologis terpenuhi. Untuk itu, pengelolaan ekowisata bahari harus mensinergikan aspek ekologis, sektor penunjang, dan sosial ekonomi.

1.2. Rumusan Masalah Penelitian

(27)

penyelaman yang telah diplotkan sebanyak 5 titik yaitu Pampanga, Karang I, Karang II, Karang III, dan Karang Panjang. Luas lokasi penyelaman berkisar 5 000 m2 hingga 20 000 m2

1. Berapa besar potensi sumberdaya perairan Kecamatan Betoambari yang sesuai bagi pengembangan ekowisata khususnya kegiatan selam?

. Namun demikian, hingga saat ini ekowisata bahari Kecamatan Betoambari belum menunjukkan perkembangan yang optimal sebagai sektor andalan bagi pelestarian sumberdaya pesisir, serta membuka lapangan kerja baru dan meningkatkan ekonomi bagi masyarakat setempat. Hal ini disebabkan karena pengelolaan ekowisata bahari di wilayah tersebut belum terencana dan terintegrasi dengan baik, tidak menekankan pelestarian sumberdaya pesisir, serta pemanfaatan ruang yang belum optimal. Beberapa rumusan masalah yang ditetapkan dalam penelitian ini yakni:

2. Bagaimana mendesain kawasan ekowisata bahari yang optimal berdasarkan biaya minimal dan manfaat ekonomi maksimal?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, ditetapkan beberapa tujuan penelitian:

1. Mengidentifikasi potensi sumberdaya perairan Kecamatan Betoambari yang sesuai bagi pengembangan ekowisata, khususnya kegiatan selam.

2. Mendesain kawasan ekowisata bahari yang optimal berdasarkan biaya minimal dan manfaat ekonomi maksimal.

1.4. Manfaat Penelitian

(28)

Efisiensi Kawasan Ekowisata Bahari

Nilai Manfaat Ekonomi Ekowisata Berbasis Spasial

MARXAN Analisis Ekonomi

(WTP)

Daya Dukung Kawasan Ekowisata Bahari

Optimasi Ruang Ekowisata Bahari

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian.

Ekowisata Bahari Sumberdaya Pesisir

Kota Baubau

Identifikasi Potensi

Parameter Sos–Eko Masyarakat

(29)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Terumbu Karang

Terumbu karang (coral reefs) merupakan kumpulan hewan karang yang berupa batuan kapur (CaCO3

Menurut Supriharyono (2007), karang dibedakan menjadi dua tipe, yaitu karang yang membentuk terumbu (hermatypic corals) dan tidak membentuk terumbu (ahermatypic corals). Hermatypic corals merupakan hewan yang bersimbiosis dengan sejenis alga (zooxanthellae) yang melakukan proses fotosintesis. Hasil dari aktifitas fotosintesis tersebut berupa endapan kalsium karbonat, yang struktur dan bentuknya sangat khas. Ciri ini digunakan untuk menentukan jenis atau spesies hewan karang.

), yan g hidup di dasar perairan serta mempunyai kemampuan menahan gaya gelombang laut (Supriharyono 2007). Dalam bentuk sederhana, karang terdiri dari satu polip yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung, dengan mulut terletak di bagian atas dan dikelilingi tentakel. Satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin 1993).

English et al. (1994) mengkategorikan bentuk pertumbuhan karang batu menjadi dua jenis, yaitu karang Acropora dan non-Acropora. Perbedaan Acropora dengan non-Acropora terletak pada struktur skeletonnya. Acropora memiliki bagian yang disebut axial koralit dan radial koralit, sedangkan non-Acropora hanya memiliki radial koralit.

Kategori pertama, bentuk pertumbuhan karang Acropora, terdiri atas: (1) Acropora bercabang (Branching Acropora), bentuk bercabang seperti ranting

pohon; (2) Acropora meja (Tabulate Acropora), bentuk bercabang dengan arah mendatar dan rata seperti meja; (3) Acropora merayap (Encursting Acropora), biasanya terjadi pada Acropora yang belum sempurna; (4) Acropora Submasif (Submasive Acropora), percabangan bentuk lempeng dan kokoh; (5) Acropora berjari (Digitate Acropora), bentuk percabangan rapat dengan cabang seperti jari-jari tangan.

(30)

(2) padat (massive), berbentuk seperti bongkahan batu dengan ukuran yang bervariasi; (3) kerak (encrusting), tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan permukaan yang kasar dan keras, serta berlubang-lubang kecil; (4) lembaran (foliose), berbentuk lembaran-lembaran yang menonjol pada dasar terumbu, berukuran kecil, dan membentuk lipatan atau melingkar; (5) jamur (mushroom), berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga pusat mulut; (6) submasif (submassive), bentuk kokoh dengan tonjolan-tonjolan atau kolom-kolom kecil; (7) karang api (Millepora), dikenali dengan adanya warna kuning di ujung koloni dan rasa panas seperti terbakar bila disentuh; (8) karang biru (Heliopora), dicirikan dengan adanya warna biru pada rangkanya.

Sementara itu, karang lunak (soft coral) lebih dikenal Alcyonaria, yang merupakan salah satu jenis Coelenterata (hewan berongga). Alcyonaria mempunyai peranan penting dalam pembentukan fisik karang dengan tubuh lunak. Tubuh Alcyonaria, lembek tetapi disokong oleh sejumlah duri-duri yang kokoh, berukuran kecil, dan tersusun sedemikian rupa sehingga lentur dan tidak mudah putus. Duri-duri yang kokoh tersebut mengandung kalsim karbonat yang dikenal dengan spikula (Manuputy 1986).

Berdasarkan tipe strukturnya, terumbu karang dibedakan menjadi tiga yaitu karang tepi (fringing reef), karang penghalang (barrier reef), dan karang cincin (atoll). Karang tepi dan penghalang berperan penting sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus yang kuat (Bengen 2001). Bagi biota laut, terumbu karang memiliki peran utama sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), dan tempat pemijahan (spawning ground) (Suharsono 2009). Sementara itu, Apriliani (2009) menyatakan terumbu karang merupakan potensi utama dalam pengembangan wisata bahari. Nilai estetika laut banyak ditentukan oleh kehadiran terumbu karang, termasuk di dalamnya keragaman jenis, tutupan karang, dan keanekaragaman biota.

(31)

kelompok invertebrata antara lain kima, kerang hijau, lobster, kepiting, udang, teripang, dan penyu (Burbridge dan Maragos 1983 in Supriharyono 2007).

2.2. Konsep Ekowisata Bahari

Konsep ekowisata mulai dipopulerkan oleh Hector Ceballos-Lascurian pada awal tahun 1980-an. Ekowisata merupakan wisata yang menyangkut perjalanan ke kawasan yang relatif belum terganggu (alami), dengan tujuan khusus untuk pendidikan, mengagumi, menikmati pemandangan alam dan isinya (tumbuhan dan hewan), serta sebagai perwujudan (manifestasi) budaya di kawasan yang dituju (Tisdell 1998). Hetzer (1965) dan Ziffer (1989) in Bjork (2000) mendefinisikan ekowisata sebagai suatu bentuk wisata yang mengutamakan nilai sumberdaya alam (flora, fauna, dan proses geologi), serta budaya (lokasi suatu fosil dan arkeologi), di mana praktek pemanfaatannya bersifat konservasi, dapat menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan ekonomi masyarakat lokal.

The International Ecotourism Society (1990) in Dodds (2009) mendefinisikan ekowisata sebagai suatu bentuk perjalanan wisata ke daerah-daerah yang masih alami dengan tujuan mengkonservasi, melestarikan lingkungan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Cakupan destinasi ekowisata direfleksikan dari definisi ekowisata yang bervariasi. Fennel (2001) mengidentifikasi 85 definisi ekowisata dengan 5 tema dominan, antara lain kelestarian sumberdaya alam, konservasi, budaya, manfaat bagi masyarakat lokal, dan pendidikan. Blamey (1997) mengatakan destinasi ekowisata harus memenuhi tiga kriteria utama yakni (1) lebih menonjolkan lingkungan alami sebagai sentral atraksi, (2) menawarkan prospek pembelajaran dan pendidikan, (3) setidaknya berniat melestarikan lingkungan, budaya, dan ekonomi (Krider et al. 2010).

Ekowisata menurut Wood (2002) menganut beberapa prinsip yaitu: 1. Meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya.

2. Mengutamakan pendidikan bagi pengunjungnya guna kepentingan konservasi.

(32)

4. Penerimaan langsung dari pengelolaan dan konservasi lingkungan serta kawasan yang dilindungi.

5. Menekankan kebutuhan untuk penzonaan wisata lingkup regional dan untuk perencanaan pengelolaan kawasan alami.

6. Menekankan pada penggunaan kajian dasar lingkungan dan sosial, guna kepentingan program monitoring.

7. Peningkatan maksimum manfaat ekonomi dan usaha masyarakat lokal. 8. Pembangunan pariwisata tidak melebihi daya dukung lingkungan sosial. 9. Pembangunan infrastruktur yang harmonis dengan alam, meminimalisir

penggunaan bahan bakar dari fosil (BBM), melindungi satwa dan tumbuhan lokal, serta menselaraskan lingkungan dan budaya.

Kegiatan wisata yang mengandalkan daya tarik alami lingkungan pesisir dan lautan, baik secara langsung maupun tidak, dinamakan wisata bahari. Kegiatan pariwisata yang langsung di antaranya berperahu, berenang, snorkeling, menyelam, dan memancing. Sedangkan secara tidak langsung meliputi kegiatan olahraga pantai dan piknik menikmati rekreasi atmosfer (META 2002). Konsep ekowisata bahari didasarkan pada menikmati keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan seni budaya, dan karakteristik masyarakat sebagai kekuatan dasar yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Ekowisata bahari merupakan kegiatan wisata pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut (Hutabarat et al. 2009).

Kegiatan ekowisata bahari bukan semata-mata untuk memperoleh hiburan dari berbagai suguhan alami dan atraksi lingkungan pesisir dan lautan. Akan tetapi, wisatawan diharapkan berpartisipasi langsung untuk mengembangkan konservasi lingkungan, sekaligus pemahaman yang mendalam tentang seluk-beluk ekosistem pesisir, sehingga membentuk kesadaran untuk melestarikan sumberdaya pesisir saat ini dan masa yang akan datang (META 2002).

(33)

lahan basah yang berbeda dengan ekowisata pegunungan dengan karakteristik lahan kering, (META 2002).

Beberapa hal yang mendasari pemilihan ekowisata sebagai konsep pengembangan dari wisata bahari (Setiawati 2000), yaitu:

1. Ekowisata sangat bergantung pada kualitas sumber daya alam, peninggalan sejarah dan budaya. Kekayaan keanekaragaman hayati merupakan daya tarik utama bagi pangsa pasar ekowisata, sehingga kualitas, keberlanjutan, dan pelestarian sumberdaya alam, serta peninggalan sejarah dan budaya menjadi sangat penting untuk ekowisata.

2. Pelibatan masyarakat menjadi mutlak dari tingkat perencanaan hingga pada tingkat pengelolaan. Pada dasarnya pengetahuan tentang alam, budaya dan daya tarik wisata telah dimiliki oleh masyarakat setempat.

3. Ekowisata meningkatkan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya. Ekowisata memberikan nilai tambah kepada pengunjung dan masyarakat setempat dalam bentuk pengetahuan dan pengalaman.

4. Pertumbuhan pasar ekowisata di tingkat internasional dan nasional. Kenyataan memperlihatkan kecenderungan meningkatnya permintaan terhadap produk ekowisata baik di tingkat internasional dan nasional.

5. Ekowisata sebagai sarana mewujudkan ekonomi berkelanjutan. Ekowisata memberikan peluang untuk mendapatkan keuntungan bagi penyelenggara, pemerintah, dan masyarakat setempat, melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat non ekstraktif dan non konsumtif sehingga meningkatkan perekonomian daerah setempat.

Pengelolaan ekowisata yang berkelanjutan menurut Hadiyati (2003) in Solarbesain (2009), memiliki kesamaan dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan sehingga harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:

1. Secara ekologis berkelanjutan; pembangunan pariwisata tidak menimbulkan efek negatif bagi ekosistem setempat. Konservasi pada daerah wisata harus diupayakan secara maksimal untuk melindungi sumberdaya alam dan lingkungan dari efek negatif kegiatan wisata.

(34)

dan masyarakat lokal mampu beradaptasi dengan budaya turis yang berbeda sehingga tidak merubah budaya masyarakat lokal.

3. Secara ekonomi menguntungkan; keuntungan yang diperoleh dari kegiatan wisata yang ada dapat meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat setempat.

2.3. Kesesuaian Perairan Untuk Ekowisata

Kesesuaian pemanfaatan ekowisata bahari berbeda untuk setiap kategori wisata. Kegiatan wisata dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dapat dikelompokkan atas wisata bahari dan wisata pantai. Wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan potensi sumberdaya laut dan dinamika air laut. Sedangkan wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan potensi sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai (Hutabarat et al. 2009).

Potensi utama untuk menunjang kegiatan pariwisata di wilayah pesisir dan laut adalah kawasan terumbu karang, pantai berpasir putih atau bersih, dan lokasi-lokasi perairan pantai yang baik untuk berselancar. Keragaman spesies pada terumbu karang dan ikan hias merupakan objek utama yang menciptakan keindahan panorama alam bawah laut yang luar biasa bagi penyelam dan para wisatawan yang melakukan snorkeling (Dahuri 2003).

Secara umum, jenis dan nilai setiap parameter kesesuaian untuk kegiatan wisata bahari kategori selam dan snorkeling hampir sama. Parameter yang dipertimbangkan dalam menilai tingkat kesesuaian pemanfaatan kedua kategor wisata bahari tersebut adalah:

1. Kondisi kawasan penyelaman yang menyangkut keadaan permukaan air (gelombang) dan arus. Gelombang besar dan arus yang kuat dapat membawa para penyelam ke luar kawasan wisata. Kekuatan arus yang aman bagi wisatawan maksimum 1 knot (0.51 m/dtk) (Davis and Tisdell 1995).

(35)

biota dasar permukaan air maksimum 25 m. Marine National Park Division (2001) menyatakan bahwa kedalaman 2-5 m sangat sesuai untuk melakukan kegiatan snorkeling, sementara wisata selam biasanya dilakukan pada kedalaman 5-10 m.

Objek wisata bahari lain yang cukup berpotensi untuk dikembangkan adalah wilayah pantai yang menawarkan jasa dalam bentuk panorama pantai yang indah, tempat permandian yang bersih, serta tempat melakukan kegiatan berselancar air (Dahuri 2003). Parameter yang digunakan untuk menilai kesesuaian pemanfaatan wisata kategori rekreasi pantai meliputi:

1. Kondisi geologi pantai, menyangkut tipe (substrat pasir), lebar pantai, kemiringan pantai (idealnya < 250

2. Kondisi fisik terkait kedalaman perairan, kecepatan arus dan gelombang, kecerahan dan ketersediaan air tawar (maksimum 2 km).

) dan material dasar perairan (idealnya berpasir) (Wong 1991).

3. Kondisi biota menyangkut penutupan lahan pantai oleh tumbuhan dan keberadaan biota berbahaya (terkait kenyamaman dan keselamatan wisatawan).

Sementara itu, Yulianda (2007) menjabarkan kesesuaian ekowisata bahari merupakan kriteria sumberdaya dan lingkungan yang disyaratkan atau dibutuhkan bagi pengembangan ekowisata.

Keterangan:

IKW = Indeks kesesuaian wisata

Ni = Nilai parameter ke-i (bobot x skor)

Nmax = Nilai maksimum dari suatu kategori wisata

2.4. Daya Dukung Ekowisata Bahari

(36)

komputerisasi, kalkulasi, dan secara objektif. Hal ini belum cukup sukses dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah karena kompleksitas parameter-parameternya dan arena politisi, pengelola, dan administrator enggan untuk mengawali keputusannya dengan komputer. Namun demikian, konsep yang tidak ditentukan yang lebih kualitatif dan partisipatif mengenai daya dukung telah sangat berguna dalam mempengaruhi kontrol pengembangan, terutama pariwisata (Clark 1991 in Hutabarat et al. 2009).

Konsep daya dukung ekowisata mempertimbangkan dua hal yakni (1) Kemampuan alam untuk mentolerir gangguan atau tekanan dari manusia, dan (2) Keaslian sumberdaya alam. Kedua hal tersebut ditentukan oleh besarnya gangguan yang kemungkinan akan muncul dari kegiatan wisata. Suasana alami lingkungan juga menjadi persyaratan dalam menentukan kemampuan tolerir gangguan dan jumlah pengunjung dalam unit area tertentu. Tingkat kemampuan alam untuk mentolerir dan menciptakan lingkungan yang alami dihitung dengan pendekatan potensi ekologis pengunjung. Potensi ekologis pengunjung adalah kemampuan alam untuk menampung pengunjung berdasarkan jenis kegiatan wisata pada area tertentu. Luas suatu area yang dapat digunakan pengunjung dalam melakukan aktifitas wisatanya, dipertimbangkan dalam menghitung kemampuan alam mentolerir pengunjung sehingga keaslian alam tetap terjaga dan berkelanjutan (Hutabarat et al. 2009).

(37)

2.5. Zonasi Kawasan Ekowisata

Zonasi kawasan ekowisata dilakukan untuk mempertahankan kelestarian sumberdaya dan mempermudah pengelolaan ekowisata. Zonasi atau pola keruangan merupakan pembagian kawasan berdasarkan potensi dan karakteristik sumberdaya alam untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian serta pemanfaatan guna memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan. Pola keruangan ekowisata atau zonasi bertujuan untuk melindungi suatu kawasan wisata dari pengunjung wisata. Hal ini untuk melindungi sumberdaya maupun memberikan keragaman pengalaman bagi pengunjung, dan memudahkan sistem pengelolaan ekowisata.

Prinsip penetapan zonasi terdiri atas 2; pertama, sumberdaya alam maupun budaya memiliki karakteristik dan toleransi tertentu untuk dapat diintervensi; kedua, pengelola harus dapat melakukan sesuatu untuk memelihara dan mempertahankan karakteristik dan kemampuan tersebut untuk menjamin tercapainya tujuan pengelolaan dari penggunaan saat ini maupun yang akan datang (Basuni 1987 in Solarbesain 2009)

Menurut beberapa ahli, zonasi merupakan alat yang paling umum bagi pengelolaan kawasan yang dilindungi untuk memisahkan kawasan yang pemanfaatannya bertentangan, serta untuk pengelolaan kawasan dengan manfaat ganda. Sedangkan Bengen (2002) mengatakan bahwa penetapan zonasi kawasan adalah pengelompokkan areal suatu kawasan ke dalam zona-zona sesuai dengan kondisi fisik dan fungsinya. Zonasi bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi ekologis dan ekonomi ekosistem suatu kawasan sehingga dapat dilakukan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan secara berkelanjutan. Beberapa analisis spasial yang dapat digunakan untuk melakukan zonasi kawasan ekowisata antara lain sistem informasi geograsi (SIG) dan Marxan (Marine Reserve Design using Spatially Explicit Annealing).

2.5.1. Sistem Informasi Geografis

(38)

data atribut dan data spasial (Prahasta 2004). SIG merupakan tools berbasis komputer yang membantu menampilkan dan menganalisis data secara geografis berdasarkan informasi ruang (Clarke 2001).

Menurut Bartlett (1999), SIG merupakan tools ideal untuk perencanaan laut. Dalam beberapa hal dapat menangani data yang begitu banyak, data dapat dibagi dengan mudah, serta menawarkan kemampuan mensimulasi, memodelkan, dan membandingkan strategi sebelum diimplementasikan. SIG sangat potensial untuk memberikan solusi, transparansi kepada pemangku kepentingan (Lewis et al. 2003; Wright et al. 1998).

Lyon (2003) menyatakan bahwa penerapan SIG mempunyai kemampuan luas dalam proses pemetaan dan analisis, sehingga teknologi tersebut sering dipakai dalam proses perencanaan landscape. Selain itu pemanfaatan SIG dapat digunakan untuk mengevaluasi kualitas dan karakteristik lahan, serta mensimulasikan model-model keruangan. SIG bukanlah suatu sistem yang semata-mata berfungsi untuk membuat peta tetapi merupakan alat analitik yang mampu memecahkan masalah spasial secara otomatis, cepat dan teliti. Hampir semua bidang ilmu yang bekerja dengan informasi keruangan memerlukan SIG di antaranya bidang kehutanan, perikanan, pertanian, pariwisata, lingkungan, perkotaan, dan transportasi (Jaya 2002 in Solarbesain 2009).

SIG telah diaplikasikan pada berbagai disiplin ilmu dan dipandang sebagai tools kunci untuk mendukung pengambilan keputusan spasial dalam lingkungan

pesisir dan laut (Canessa dan Keller 2003). SIG digunakan untuk pengembangan kawasan konservasi laut di seluruh dunia (Airame et al. 2003; Lieberknecht et al. 2004; Scholz et al. 2004; Villa et al. 2002; Villa et al. 2002). Analisis SIG juga telah banyak dimanfaatkan untuk zonasi kawasan teresterial (Gole 2003; Hepcan 2000; Trisurat et al. 1990).

(39)

2.5.2. Marxan

Marxan (Marine Reserve Design using Spatially Explicit Annealing) atau model rancangan konservasi bahari yang menggunakan pemijaran spasial secara ekplisit; merupakan produk disertasi Phd Ian Ball (2000) dengan supervisi Profesor Hugh Possingham, The Ecology Centre, University of Queensland. Ide yang mendasari pengembangan Marxan adalah adanya masalah dalam menentukan daerah konservasi di daerah yang perencanaan potensialnya yang cukup luas sehingga banyak alternatif lokasi yang dapat dipilih sebagai daerah konservasi. Dengan menggunakan Marxan, diharapkan ada sistem untuk memilih daerah konservasi yang memenuhi kriteria ekologis dan sosial-ekonomi. Marxan dalam hal ini dapat memberikan bantuan dalam menentukan daerah konservasi berdasarkan data dan skenario perencanaan yang telah disiapkan.

A. Simulated Annealing

Model dan perangkat lunak Marxan bekerja menggunakan algoritma yang disebut dengan simulated annealing, yang terbagi menjadi 3 bagian yaitu iterative improvement, random backward dan repetition. Algoritma ini dapat

memungkinkan mencari dan menentukan kawasan konservasi dengan total biaya terendah. Total biaya merupakan kombinasi sederhana dari biaya satuan perencanaan terpilih dan nilai penalti (fitur yang tidak memenuhi target), seperti disajikan pada hubungan berikut (modifikasi dari Ball dan Possingham 2000):

Keterangan

C = biaya total kawasan ekowisata terpilih berdasarkan algoritma Marxan ci

a = boundary length modifier (BLM) atau kontrol penting dari batas biaya relatif terpilih di planning unit.

= biaya yang terpilih di satuan perencanaan (planning unit) ke-i yang dapat diukur, i = 1,2,…,n; n adalah banyaknya satuan perencanaan.

bi

s

= boundary atau batas dari area terpilih/perimeter ke-i

i

p

= species penalty factor (SPF), yaitu faktor yang mengontrol besarnya nilai penalty ke-i, apabila target tiap spesies tidak terpenuhi.

i = penalty atau nilai yang ditambahkan dalam fungsi obyektif untuk setiap target

(40)

Penerapan Algoritma simulated annealing dalam pencarian dan pemilihan kawasan konservasi maka dapat diilustrasikan sebagai berikut: suatu kawasan A memiliki cakupan wilayah yang sangat luas, serta kaya sumberdaya hayati pesisir, diantaranya ekosistem terumbu karang, lamun, mangrove, dugong, penyu, dan ikan hiu. Sumberdaya tersebut tidak terpusat pada satu lokasi tetapi tersebar di hampir seluruh kawasan A. Agar keanekaragaman hayati di kawasan A dapat lestari demi pemanfaatan yang berkelanjutan maka perlu upaya konservasi. Tujuan perancangan kawasan konservasi tersebut adalah untuk memaksimalkan dan mengoptimalkan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati di kawasan A dengan biaya pengelolaan terkecil.

Untuk mencapai tujuan tersebut maka digunakan Marxan. Dalam menggunakan Marxan, terdapat beberapa tahapan awal yang harus dilakukan antara lain menentukan daerah kajian, sumberdaya hayati yang harus dilindungi (fitur konservasi), biaya pengelolaan (fitur biaya), dan membuat satuan perencanaan. Agar analisis dengan Marxan dapat dijalankan maka fitur konservasi dan fitur biaya dibuat dalam peta tematik, kemudian dimasukkan ke dalam satuan perencanaan. Setiap fitur yang dimasukkan dalam satuan perencanaan akan diberi nilai. Jika semua tahapan telah dilewati maka dilakukan tahap simulasi (iterasi) dengan pengaturan BLM, nilai target, dan nilai SPF tertentu. Misalnya dengan iterasi pertama yang menggunakan BLM, target, dan SPF yang kecil, diperoleh ikan dugong dan ikan hiu tidak terpilih atau terpenuhi dalam solusi perancangan kawasan konservasi. Dalam hal ini, dengan satu kali iterasi masih memiliki kelemahan yaitu lokasi yang terpilih belum tentu merupakan kawasan konservasi yang optimal dengan biaya terendah. Ilustrasi tersebut merupakan penjelasan singkat langkah iterative improvement. Dengan demikian perlu dilakukan iterasi kedua dan seterusnya.

(41)

kepercayaan bahwa lokasi yang terpilih merupakan solusi dengan total biaya terendah, maka dilakukan pengulangan langkah pertama dan kedua. Langkah ini disebut dengan repetition.

B. Summed Solution

Marxan memberikan dua keluaran dari setiap analisis; run solusi ‘best’ (satu dengan nilai total biaya paling rendah), dan summed solution yang menunjukan jumlah waktu setiap satuan perencanaan yang termasuk dalam run solution (Loos 2006). Sebagai contoh, jumlah iterasi diatur sampai 100, penjumlahan solusi akan menghasilkan kisaran nilai dari 0 (tidak termasuk dalam run solution) sampai 100 (termasuk dalam seluruh run solution 100). Summed solution dapat terbagi dalam tiga kategori: tinggi, sedang, dan rendah. Satuan perencanaan yang penting memiliki nilai penjumlahan paling tinggi, olehnya itu sangat penting untuk mendapatkan target. Area ini dapat dianggap sebagai hotspot. Karena satuan perencanaan tidak termasuk dalam solusi ‘best’, bukan berarti tidak memiliki nilai. Penting untuk dicatat bahwa unit nilai yang tinggi mungkin menjadi bagian solusi terbaik.

Summed solution dianggap berguna karena menyediakan petunjuk

kepentingan relatif setiap satuan perencanaan dari pemberian setiap nilai. Penggunaan summed solution menambah fleksibilitas untuk proses seleksi. Ini memberi kesempatan kepada perancang konservasi, termasuk pemangku kepentingan untuk melihat satuan perencanaan yang bernilai tinggi dan satuan perencanaan yang bernilai rendah atau sedang. Ini memberi kesempatan untuk negosiasi dan akhirnya mencapai konsensus selama konsultasi antara pemangku kepentingan.

C. Satuan Perencanaan

(42)

peta-peta parameter konservasi tersebut dipergunakan. Sebagai contoh, area yang akan direncanakan adalah wilayah laut, oleh sebab itu planning units hanya dibuat untuk wilayah tersebut, sementara wilayah daratan (pulau besar atau pulau-pulau kecil) sebaiknya tidak diikutsertakan dalam proses analisis.

Ukuran satuan perencanaan juga perlu ditentukan dengan pertimbangan matang. Area yang memiliki keanekaragaman sumberdaya alam yang lebih kompleks membutuhkan ukuran satuan perencanaan yang lebih kecil agar analisisnya lebih detail. Kemudian skala data spasial yang dimiliki perlu dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan ukuran satuan perencanaan (Darmawan dan Andy D 2007). Selain hal itu, ukuran satuan perencanaan juga berhubungan dengan hardware yang digunakan untuk menjalankan program Marxan. Permasalahan skala berkaitan dengan akurasi pemetaaan yang dihasilkan. Sebagai contoh sederhana, misalnya akan dilakukan perencanaan konservasi secara detil untuk area yang sempit, sedangkan data spasial yang digunakan adalah data global, maka keluaran analisis tersebut tidak akan baik karena penentuan ukuran satuan perencanaan yang tidak tepat. Informasi yang ada dari data spasial yang digunakan itu kurang memadai karena informasi yang telah tergeneralisasi.

Loos (2006) menyatakan bentuk yang dapat digunakan dalam membentuk planning units dapat berupa segitiga, persegi empat dan heksagon (Gambar 2). Bentuk yang paling banyak digunakan untuk analisis Marxan adalah heksagon. Bentuk dan ukuran satuan perencanaan Marxan disajikan pada Tabel 1.

(43)

Tabel 1 Bentuk dan ukuran satuan perencanaan dari aplikasi Marxan sebelumnya

4 British Columbia

Central Coast 22 303 4.9 Heksagon CIT (2003)

Gambar 2 Bentuk satuan perencanaan dalam Marxan. (a) segitiga, (b) persegi, (c) heksagon, (d) oktagons. (Sumber: Loos 2006)

(a)

(b)

(44)

D. Identifikasi Daerah Prioritas (Target) dan Skenario

Identifikasi daerah prioritas (target) dilakukan sebelum analisis, sebagai dasar dalam skenario perencanaan yang hendak dilakukan. Lebih jauh lagi, pada tahap ini target dari masing-masing fitur konservasi ditentukan luasannya. Sebagai gambaran, jika terumbu karang dijadikan target utama dalam perencanaan maka skenario perencanaan fitur ini didefinisikan dengan persentase (%) target yang tinggi, dan nilai SPF yang lebih besar dibandingkan fitur konservasi yang lain.

E. Biaya

Besarnya biaya yang digunakan dalam analisis dapat ditentukan berdasarkan area satuan perencanaan, biaya sosial-ekonomi atau kombinasi dari keduannya. Miller et al. (2003) in Loos (2006) memberikan nilai biaya berdasarkan tingkatan kewajaran dan pengaruh manusia dalam satuan perencanaan. Dalam penelitian lain, biaya dibuat seragam untuk setiap satuan perencanaan yaitu nilai 1. Dari beragam penelitian di mana biaya ditentukan berdasarkan landasan yang berbeda-beda. Hal terpenting adalah biaya yang diberikan untuk setiap satuan perencanaan tersebut harus proporsional.

F. Pengubah Panjang Batas

Pengubah panjang batas atau boundary length modifier (BLM) merupakan pengaturan dalam Marxan untuk membuat batasan perimeter. Efek pengaturan BLM dapat dilihat dari fitur yang muncul dalam solusi setelah menjalankan Marxan. Loos (2006) menguraikan tinggi rendahnya BLM akan berpengaruh terhadap perimeter dan area yang muncul dalam solusi. Contoh pengaturan BLM disajikan pada Gambar 3.

(45)

Gambar 3 Pengaturan BLM. a) BLM rendah, b) BLM medium, c) BLM tinggi (Sumber: Loos 2006)

Penentuan nilai BLM akan bervariasi dari satu daerah dengan daerah lain. Ardron JA et al. (2002) melakukan ekperimen dengan beberpa nilai BLM yakni 0.111, 0.333, 1.00, dan 3.00. Possingham (2000) menyatakan nilai BLM dipilih bergantung pada keseluruhan bentang alam dari daerah penelitian, serta tujuan dari analisis yang dilakukan. Dengan kata lain, pengaturan BLM dapat dilakukan dengan memperhatikan geometri daerah kajian dan memililih BLM yang dapat menghasilkan fitur solusi yang lebih mengumpul. Pengaturan BLM yang fleksibel ini dapat memberikan keleluasaan para perencana kawasan konservasi dalam menentukan hasil terbaik untuk kegiatan pengambilan keputusan.

G. Penalti

Ball dan Possingham (2001) menjelaskan penalti yang dibutuhkan sebanding dengan panjang batas dan biaya yang diperlukan untuk mempresentasikan target yang hilang. Faktor yang mengatur besarnya nilai penalti ini dikenal dengan sebutan Species Penalty Faktor (SPF) yang juga dikenal sebagai conservation features penalty faktor (CFPF). SPF adalah faktor

a) b)

(46)

yang berkelipatan, didasarkan pada tingkat pentingnya spesies atau fitur konservasi tersebut.

Pengaturan SPF dengan nilai yang tinggi akan meningkatkan kemiripan, sehingga fitur konservasi yang menjadi target akan lebih banyak terpenuhi, terutama jika tujuannya untuk menurunkan nilai biaya dalam fungsi objektif (Smith 2005 in Loos 2006). Ball dan Possingham (2001) menjelaskan sejauh ini tidak ada teori yang bisa digunakan sebagai dasar patokan dalam menentukan nilai SPF secara spesifik. Mereka juga menyarankan nilai SPF ini lebih dari 1. Bahkan Smith (2005) menyarankan nilai SPF sebesar 100 untuk lebih memastikan target dapat tercapai. Nilai SPF berkaitan dengan target fitur konservasi di dalam unit perencanaan Marxan. Apabila target untuk suatu fitur konservasi tidak terpenuhi maka nilai SPF perlu ditambah. Jadi nilai penalti hanya dimasukkan ke dalam total biaya apabila target dari suatu fitur konservasi tidak terpenuhi.

2.6. Metode Valuasi Sumberdaya Alam

Sumberdaya alam merupakan sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi (Fauzi 2010). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sumberdaya alam adalah komponen ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kebutuhan manusia. Nilai ekonomi sumberdaya dapat diukur dengan mengestimasi kurva permintaan sumberdaya tersebut (Garrod dan Wills 1999). Pendekatan kurva permintaan ini dibedakan atas dua metode yaitu revealed reference methods dan expressed/states preference methods.

Kategori pertama (revealed reference methods) mengeksplorasi data pasar yang ada dan dikaitkan dengan komoditas lingkungan. Teknik valuasi yang masuk ke dalam kategori ini adalah travel cost methods (TCM), hedonic price (HP), averting behavior (AB), dan production fuction (PF).

(47)

Letson (2002) in Adrianto (2006) menguraikan pendekatan revealed reference lebih sensitif terhadap model ekonometrik yang digunakan, tetapi tidak

begitu sensitif pada pengumpulan data. Sebaliknya, expressed/states preference lebih sensitif terhadap pengumpulan data, tetapi tidak terlalu sensitif terhadap pemodelan ekonometrik.

Metode penilaian kontingensi dimanfaatkan untuk mengestimasi kesediaan membayar (WTP), ditentukan dengan menggunakan survei wisatawan. CVM adalah suatu cara valuasi barang dan jasa lingkungan di mana salah satu pasar tidak ada atau pasar subtitusi tidak ditemukan. Oleh karena itu, CVM digunakan secara luas untuk mengukur nilai keberadaan/existence values, nilai pilihan/option value, nilai tidak langsung/indirect use values dan non-use value.

Metode penilaian kontingensi telah popular dan banyak diterapkan di berbagai negara untuk melihat manfaat dari barang non-market atau proyek yang diberikan kepada masyarakat (Carson dan Hanemann 2005). CVM dilakukan melalui survei dengan wawancara langsung kepada masyarakat terkait berapa besar mereka bersedia membayar untuk barang non-market atau jasa, seperti pelestarian lingkungan atau dampak dari kontaminasi. Seseorang ditanya berapa besar jumlah kompensasi yang mereka inginkan untuk menyerahkan barang dan jasa tersebut. Hal ini disebut penilaian kontigensi karena orang diminta untuk menyatakan kesediaan mereka untuk membayar pada skenario hipotesis tertentu dan deskripsi situasi atau ‘pasar’ di mana barang dan jasa tersedia. CVM tidak hanya digunakan sebagai metode penilaian manfaat lingkungan, benda budaya, pelayanan perawatan kesehatan, serta barang dan jasa publik lainnya, tetapi juga diterima secara luas sebagai suatu teknik penilaian ekonomi (Jun et al. 2010).

Adrianto (2006) menguraikan teknik CVM memiliki kelebihan dibanding penggunaan analisis berbasis revealed preference. Alasan pertama, teknik CVM mampu merefleksikan nilai yang secara teoritis diharapkan oleh pendekatan Hicksian Welfrare Measure. Kedua, teknik CVM ini mampu mengestimasi nilai

(48)

kelemahan utama yaitu asumsi bahwa individu atau kelompok individu yang menjadi responden CVM akan berpikir secara rasional dalam menentukan nilai ekonomi sebuah fungsi ekosistem. Padahal dalam kenyataannya tidak semua individu berpikir rasional.

Bioshop dan Heberlein (1990) in Rahayu (2010) menjelaskan terdapat enam hal yang perlu diperhatikan agar CVM ini dapat mencapai hasil maksimal, yaitu (1) penentuan populasi yang akan memberikan penilaian, (2) bagaimana suatu komoditas yang dinilai tersebut didefinisikan, (3) bentuk pembayaran (penilaian) apa yang paling sesuai untuk digunakan, (4) bagaimana bentuk penyampaian pertanyaan kepada responden, (5) apa data pelengkap (penunjang) yang dikumpulkan, dan (6) bagaimana data tersebut dianalisis.

(49)

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di perairan Kecamatan Betoambari Kota Baubau. Pengamatan ekologis, parameter kualitas perairan, pengumpulan data sekunder dan sosial ekonomi dilaksanakan antara Juli-September 2010, serta survei lanjutan antara Januari-Maret 2011.

Survei ekologis dan parameter kualitas perairan diperoleh dari 3 stasiun pengamatan tahun 2010 dan 3 stasiun pengamatan Lembaga Napoleon tahun 2005, sebagai data sekunder. Koordinat stasiun pengamatan ditampilkan pada Tabel 2. Sementara data sosial ekonomi, dilakukan pada wilayah pesisir Kecamatan Betoambari yakni Kelurahan Sulaa dan Katobengke. Wilayah administrasi Kota Baubau disajikan pada Gambar 4 dan lokasi penelitian (Kecamatan Betoambari) disajikan pada Gambar 5.

Tabel 2 Koordinat lokasi stasiun penelitian pada kedalaman 10 meter

Lokasi/Stasiun Koordinat

Lintang Selatan (LS) Bujur Timur (BT)

Perairan Pantai Nirwana ST1* 05o 32.26’ 122o 34.32’

ST2 05o 31.51’ 122o 34.08’

ST3 05o 31.40’ 122o 33.96’

ST4* 05o 31.27’ 122o

Tanjung Sulaa

33.66’

ST5* 05o 30.77’ 122o 33.36’

Perairan Pantai Lakeba ST6 05o 29.47’ 122o 33.66’

* Stasiun pengamatan Lembaga Napoleon (2005)

3.2. Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat selam Self Contained Underwater Buoyancy Apparatus (SCUBA), peta dasar

(50)
(51)
(52)

3.3. Jenis dan Sumber Data

Data-data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi kondisi ekosistem terumbu karang, sosial budaya masyarakat, serta persepsi responden terhadap manfaat wisata bahari di Kecamatan Betoambari. Data primer diperoleh melalui observasi lapangan dan melalui hasil wawancara semi terstruktur dengan pengguna (stakeholders) yang terkait di wilayah tersebut. Sedangkan data sekunder meliputi literatur penunjang dan data pendukung lainnya. Data sekunder diperoleh dari penelusuran laporan-laporan hasil penelitian dan data dari instansi terkait antara lain Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Tata Kota dan Bangunan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Baubau.

3.4. Metode Pengumpulan Data

3.4.1. Parameter Lingkungan Perairan

Metode pengukuran parameter lingkungan dilakukan secara sengaja (purposive sampling) di daerah yang memiliki sebaran terumbu karang, khususnya pada perairan dengan kedalaman 10 meter. Data kualitas lingkungan perairan yang diperlukan dalam penelitian ini seperti terlihat pada Tabel 3 berikut: Tabel 3 Parameter lingkungan perairan

No Jenis data Alat Satuan Keterangan

Kualitas lingkungan perairan

1 Kecerahan Secchi disc (%) In situ

2 Kedalaman Tali dan Meteran Meter In situ

3.4.2. Data Komunitas Karang

(53)

Metode yang digunakan untuk identifikasi komunitas karang adalah Line Intercept Transect (LIT), mengikuti English et al (1994). Teknis pelaksanaan di lapangan yaitu seorang penyelam meletakkan meteran sepanjang 70 m sejajar garis pantai, di mana posisi pantai ada di sebelah kiri penyelam. LIT ditentukan pada garis transek 0–10 m, 30-40 m, dan 60-70 m. Kemudian dilakukan pencatatan karang yang berada tepat di garis meteran dengan ketelitian hingga sentimeter. Pengamatan biota pengisi habitat dasar perairan didasarkan pada bentuk pertumbuhan (lifeform) yang memiliki kode-kode tertentu (English et al. 1994), dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Daftar penggolongan komponen dasar penyusun ekosistem terumbu karang berdasarkan lifeform karang dan kodenya

Kategori Kode Keterangan

Dead Coral DC Baru saja mati, warna putih atau putih kotor

Dead Coral with Alga DCA Karang masih berdiri, struktur skeletal masih terlihat

Acropora

Branching ACB Paling tidak 2

o

Percabangan. Memiliki axial dan radial coralit

Encrusting ACE Biasanya merupakan dasar dari bentuk acropora

belum dewasa

Submassive ACS Tegak dengan bentuk seperti baji

Digitae ACD Bercabang tidak lebih 2

Tabulate

o

ACT Bentuk seperti meja datar

Non -Acropora

Branching CB Paling tidak 2

o

Percabangan. Memiliki axial dan radial coralit

Encrusting CE Sebagian besar terikat pada substrat (mengerak).

Paling tidak 2o

Foliose

percabangan

CF Karang terikat pada satu atau lebih titik, seperti daun, atau berupa piring

Massive CM Seperti batu besar atau gundukan

Submassive CS Berbentuk tiang kecil, kenop atau baji

Mushroom CMR Soliter, karang hidup bebas dari genera

Heliopora CHL Karang biru

Millepora CML Karang api

Tubipora CTU Bentuk seperti pipa-pipa kecil

Soft Coral SC Karang bentuk lunak

Sponge SP

Zeanthids ZO

Others OT Ascidians, anemon, georgonian dan lain-lain

Alga

Alga assemblage AA

Corallinee alga CA

Halimeda HA

Macroalga MA

Turf Alga TA

Abiotik

Sand S Pasir

Rubble R Patahan karang yang ukuran kecil

Silt SL Pasir berlumpur

Water W Air

Rock RCK Batu

(54)

3.4.3. Data Ikan Karang

Pengamatan ikan karang dilakukan dengan metode underwater visual census (UVC). Metode UVC menggunakan transek garis yang sama dengan

transek pengamatan komunitas karang. Teknis pelaksanaan di lapangan metode ini, seorang penyelam mengamati ikan karang yang berenang di atas transek garis (sepanjang 70 meter) serta mencatat seluruh spesies ikan yang ditemukan sejauh 2.5 m ke kiri dan 2.5 m ke kanan dari transek garis (English et al. 1994).

3.4.4. Data Sosial

Data sosial dalam penelitian ini diperoleh dari responden masyarakat dan wisatawan. Pengambilan responden masyarakat untuk mengetahui persepsi mereka tentang ekowisata bahari. Sedangkan responden wisatawan untuk menghitung nilai manfaat ekonomi wisata bahari. Penentuan jumlah responden dan teknik pengambilan contoh penelitian ini mengacu pada Hutabarat et al (2009), dengan menggunakan rumus (1). Teknik pengambilan responden adalah non-probability sampling, dimana responden masyarakat dilakukan secara

purposive sampling (sengaja), sedangkan responden wisatawan secara accidental

sampling. Responden masyarakat sebanyak 45 orang dan wisatawan 14 orang.

Rumus (1) penentuan jumlah contoh:

Keterangan:

n = jumlah contoh yang akan diukur

p = proporsi kelompok yang akan diambil contohnya q = proporsi sisa dalam populasi contoh

Z = nilai tabel Z dari ½ . = 0.05 maka Z = 1.96

b = persentase perkiraan kemungkinan kesalahan dalam menentukan ukuran contoh

3.5. Metode Analisis Data

3.5.1. Analisis Komunitas Karang

(55)

hidup diperoleh berdasarkan metode Line Intersept Transect (LIT) melalui

Data kondisi penutupan terumbu karang yang diperoleh dari persamaan diatas, kemudian dikategorikan rusak hingga sangat baik. Kategori tersebut mengacu pada Kepmen LH No 04 Tahun 2001. Kategori kondisi terumbu karang berdasarkan persentase penutupan karang dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Kategori kondisi terumbu karang berdasarkan persentase penutupan karang keras

No Persentase karang hidup (%) Kategori

1 0-24.9 Rusak

2 25-49.9 Sedang

3 50-74.9 Baik

4 75-100 Sangat Baik

Sumber: Kepmen LH No 04 Tahun 2001

3.5.2. Analisis Kesesuaian Kawasan

Analisis kesesuaian kawasan ditujukan untuk kegiatan wisata bahari kategori selam berbasis ekologis. Kegiatan wisata bahari yang akan dikembangkan harus sesuai dengan potensi sumberdaya dan memenuhi persyaratan lingkungan. Analisis kesesuaian dilakukan melalui pendekatan SIG dengan bantuan software ArcView 3.3, dimana prosesnya mencakup penentuan parameter, penyusunan matriks kesesuaian, pembobotan, dan pengharkatan (skoring). Proses analisis ini berdasarkan hasil studi empiris dan justifkasi para ahli yang berkompoten dibidang wisata bahari. Langkah awal yang dilakukan yakni membangun sebuah matrik kriteria kesesuaian pemanfaatan yang berisi informasi parameter, pemberian bobot, penentuan kategori kelas kesesuaian, dan

(56)

pengharkatan. Besaran nilai bobot disesuaikan dengan penting tidaknya parameter yang bersangkutan bagi kegiatan wisata bahari.

Kesesuaian wisata bahari kategori selam mempertimbangkan 6 parameter dengan empat klasifikasi penilaian. Parameter kesesuaian wisata selam ini terdiri atas kecerahan perairan, tutupan komunitas karang, jenis lifeform, jenis ikan karang, dan kedalaman terumbu karang. Kesesuaian ini disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Matriks kesesuaian untuk ekowisata bahari kategori selam

Kriteria Bobot

Kelas kesesuaian dan skor

S1 Skor S2 Skor S3 Skor N Skor

3.5.3. Analisis Efisiensi Ruang dengan Aplikasi Marxan

Marxan dalam penelitian ini merupakan tools untuk memilih ruang ekowisata bahari kategori selam yang memenuhi kriteria ekologis dan sosial ekonomi. Basis dari analisis Marxan adalah model ekosistem (Meerman CJ 2005). Marxan dijalankan dengan bantuan perangkat lunak ArcView 3.3 dan ekstensi CLUZ (Conservation Land Used Zone) serta ekstensi tambahan TNC tools dan membuat heksagon. Dengan perangkat Marxan dapat mencoba beberapa

skenario perencanaan kawasan yang berbeda dan melihat hasilnya. Dengan demikian dapat memilih skenario terbaik yakni ruang ekowisata yang efisien.

Analisis Marxan menggunakan algoritma simulated anealling dimaksudkan untuk mencari biaya terendah ruang ekowisata, yang merupakan kombinasi sederhana dari biaya terpilih dan nilai penalti yang tidak memenuhi target (Ball dan Possingham 2000). Biaya terendah merupakan solusi terbaik. Untuk mencapai solusi terbaik ruang ekowisata bahari yang efisien digunakan hubungan berikut.

Gambar

Tabel 1 Bentuk dan ukuran satuan perencanaan dari aplikasi Marxan sebelumnya
Gambar 3 Pengaturan BLM. a) BLM rendah, b) BLM medium, c) BLM tinggi
Gambar 4. Wilayah administrasi Kota Baubau.
Gambar 5  Lokasi penelitian  di Perairan Kecamatan Betoambari.
+7

Referensi

Dokumen terkait

KEPALA KPPM OEMBAR PRAMADI, S.Sos., M.Mkes. KEPALA KLH Drs. KIKI WAHYU REZEKI KEPALA BAGIAN HUKUM ANIK SUWARNI, SH.M.Si.. Trenggalek Tahun 2014 Nomor 5 Seri E, Tambahan Lembaran

Walaupun ada permasalahan serta implikasi yang muncul dengan kehadiran Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang di dalamnya mengatur ketentuan

Sementara fraksi berat yang terdiri dari Propylene Oxide sebagai produk utama, Tert-Butyl Hydroperoxide sisa reaksi dan Tert-Butyl Alcohol sebagai produk tambahan akan terdistribusi

Komunikan dalam konteks ini adalah masyarakat muslim di Kabupaten Asahan yang tergabung dalam majelis taklim atau kelompok pengajian yang dibentuk oleh para penyuluh; (4)

Minyak atsiri yang berasal dari bunga pada awalnya dikenal dari penentuan struktur secara sederhana, yaitu dengan perbandingan atom hidrogen dan atom karbon

Dari data yang telah dikumpulkan, hasil menunjukkan bahwa cognitive image merupakan komponen yang multidimensional, dan cognitive image-affective image dapat

[r]

1) Ujian susulan adalah ujian yang diberikan kepada peserta pelatihan yang tidak dapat mengikuti Ujian Komprehensif Tertulis dan Praktik utama (sesuai dengan jadwal yang