• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelabuhan Air Bangis Sumatera Barat Pada Abad XIX Hingga Awal Abad XX

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pelabuhan Air Bangis Sumatera Barat Pada Abad XIX Hingga Awal Abad XX"

Copied!
184
0
0

Teks penuh

(1)

PELABUHAN AIR BANGIS SUMATERA BARAT PADA ABAD XIX HINGGA AWAL ABAD XX

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O L E H

NAMA : JUNAIDI

NIM : 110706040

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

PELABUHAN AIR BANGIS SUMATERA BARAT PADA ABAD XIX HINGGA AWAL ABAD XX

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O L E H

NAMA : JUNAIDI

NIM : 110706040

Pembimbing

Dra. Ratna, M. S.

NIP. 195408091984032001

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra Fakultas Ilmu Budaya dalam Bidang Ilmu Sejarah.

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI

PELABUHAN AIR BANGIS SUMATERA BARAT PADA ABAD XIX HINGGA AWAL ABAD XX

Yang Diajukan Oleh:

NAMA : JUNAIDI

NIM : 110706040

Telah disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi oleh:

Pembimbing

Dra. Ratna, M. S. Tanggal: 24 Agustus 2015

NIP. 195408091984032001

Ketua Departemen Sejarah

Drs. Edi Sumarno, M. Hum. Tanggal: 24 Agustus 2015

NIP. 196409221989031001

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(4)

LEMBAR PERSETUJUAN KETUA DEPARTEMEN

DISETUJUI OLEH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH

Ketua Departemen Sejarah

Drs. Edi Sumarno, M. Hum.

NIP. 19640922198931001

(5)

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI OLEH DEKAN DAN PANITIA UJIAN

Diterima oleh.

Panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi

salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya

USU Medan.

Pada

Hari :

Tanggal :

Fakultas Ilmu Budaya USU

Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M. A.

NIP. 195110131976031001

Panitia Ujian.

No. Nama Tanda Tangan

1. Drs. Edi Sumarno, M. Hum.

2. Dra. Nurhabsyah, M. Si.

3. Dra. Ratna, M. S.

4. Dr. Suprayitno, M. Hum.

(6)

i

KATA PENGANTAR

Segala puji dan Syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena begitu

besar kasih dan karuniaNya yang penulis rasakan dalam menyelesaikan penulisan

skripsi ini. Apa yang penulis rasakan dan lewati bukan semata-mata karena kekuatan

penulis, tetapi di balik itu semua ada kekuatan dan kuasa Allah SWT. Shalawat

beriring salam penulis hadiahkan kepada Rasulullah, Nabi Besar Muhammad SAW.

Semoga kita mendapat syafaatnya di Yaumil Hisab kelak.

Suatu kebahagiaan dan kebanggaan bagi penulis ketika telah berhasil

menyusun sebuah fenomena sejarah yang penulis tuangkan dalam sebuah skripsi,

dengan judul Pelabuhan Air Bangis Sumatera Barat Pada Abad XIX Hingga

Awal Abad XX. Skripsi ini penulis ajukan untuk meraih gelar sarjana di Departemen

Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari skripsi ini bukanlah titik dari segala kebenaran. Untuk itu,

dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca

untuk menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat dan menjadi

khasanah ilmu bagi kita semua. Amiin…

Medan, 21 Agustus 2015 Penulis,

JUNAIDI

(7)

ii

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua

pihak, yang telah memberikan bantuan tenaga, buah pikiran, dan semangat serta

bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari tanpa

mereka skripsi ini tidak dapat terselesaikan. Tidak ada satu hal pun yang dapat

penulis sampaikan selain ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M. A. selaku Dekan FIB USU, beserta Pembantu

Dekan dan seluruh staf atas bantuan dan fasilitas yang penulis peroleh di FIB

USU selama masa studi.

2. Bapak Drs. Edi Sumarno, M. Hum. sebagai Ketua Departemen Sejarah FIB

USU beserta Ibu Dra. Nurhabsyah, M. Si. sebagai Sekretaris Departemen

Sejarah yang telah mengingatkan dan membantu lancarnya penyelesaian

skripsi ini.

3. Ibu Dra. Ratna, M. S. selaku pembimbing skripsi penulis. Terima kasih yang

sebesar-besarnya ibu, atas kesabaran ibu dalam membimbing penulis dan

telah memberi begitu banyak masukan, nasihat, motivasi, waktu luang, serta

perhatian yang begitu besar kepada penulis selama proses penulisan skripsi

ini. Saran dan kritik ibu sangat berperan penting mengarahkan penulis dalam

mengerjakan skripsi ini. Terima kasih juga atas kebaikan ibu memberikan

pinjaman referensi berupa buku-buku dan saran referensi lain yang berkaitan

(8)

iii

4. Bapak Drs. Wara Sinuhaji, M. Hum. sebagai Dosen Penasehat Akademik

penulis yang telah banyak memberikan nasehat-nasehat terbaiknya kepada

penulis selama masa studi.

5. Seluruh staf pengajar Departemen Sejarah FIB USU, yang telah memberikan

penulis banyak pencerahan, pengetahuan, pengalaman, serta wawasan. Dan

juga kepada staf administrasi Departemen Sejarah, Bang Ampera yang telah

banyak membantu penulis dalam menyelesaikan persoalan administrasi

selama masa studi.

6. Pegawai Arsip Nasional Republik Indonesia, Arsip Daerah Sumatera Barat,

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Universitas

Sumatera Utara, Perpustakaan Universitas Negeri Padang, dan Perpustakaan

Tengku Lukman Sinar, yang telah memberikan data dan pelayanan yang

sangat baik selama penulis melakukan penelitian.

7. Kepada rekan dan sahabat-sahabatku, Alda Tahir Parinduri, Kiki Maulana

Affandi, Faisal Berutu, Devi Itawan, S. Wani Maler, Rahmawani Hasibuan,

Wisnu Wardhana, Wahyu Putra Kelana, Jan Bruana Nainggolan dan Ningsih

Widari semoga kebersamaan diantara kita yang telah terjalin selama ini tetap

terpelihara. Terima kasih juga kepada seluruh teman-teman angkatan 2011,

atas pengalaman baik suka maupun duka yang sangat berharga yang telah kita

lewati bersama. Terima kasih juga kepada Bang Handoko, Kak Putri Ayu,

(9)

iv

angkatan yang telah banyak memberikan nasihat dan masukan positif bagi

penulis demi terselesaikannya skripsi ini.

8. Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda

Muhammad Zen (Alm.) dan Ibunda Alena Farida yang sangat penulis sayangi.

Skripsi ini juga penulis persembahkan kepada wanita terhebat di dunia ini

yang sangat penulis sayangi seumur hidup, Bou Erna Yulida, terima kasih atas

kasih sayang yang tiada batas, do’a, dan nasihat yang bou berikan dalam

membesarkan penulis hingga saat ini. Terima kasih juga kepada paman

(mamak) Muhammad Abduh, Abang Suardi, Kakak Dangsia, Bang Rahmat,

Bang Adri, Adik Dian Refika, dan Adik Sri wulandari, yang telah mensupport

penulis selama studi ini.

Akhirnya dengan rasa suka cita, penulis mengucapkan terima kasih banyak

atas segala kontribusi yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga kebaikan ini dibalas oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Medan, 21 Agustus 2015 Penulis,

JUNAIDI

(10)

v

DAFTAR LAMPIRAN DAN UKURAN ... xiii

ABSTRAK ... xiv

1.6 Sistematika Penulisan ... 16

BAB II KEADAAN PELABUHAN AIR BANGIS SUMATERA BARAT PADA ABAD XVII DAN XVIII 2.1 Kondisi Geografis dan Demografis ... 19

2.2 Hubungan Pelabuhan Air Bangis dengan Daerah Hinterland dan Foreland ... 26

2.3 Persaingan di Pelabuhan Air Bangis Abad XVII dan XVIII ... 33

2.3.1 Hegemoni dan Monopoli Dagang Aceh ... 33

(11)

vi

BAB III HEGEMONI BELANDA DALAM AKTIVITAS PELAYARAN DAN PERDAGANGAN DI PELABUHAN AIR BANGIS

3.1 Pemerintahan Belanda di Pelabuhan Air Bangis ... 44

3.1.1 Ekspansi Politik Belanda dan Penghancuran Monopoli Dagang Paderi ... 44

3.1.2 Reorganisasi Administratif Pemerintahan ... 51

3.1.3 Pembangunan Sarana dan Prasarana Pemerintahan ... 60

3.2 Pengembangan Pelabuhan Air Bangis sebagai Pusat Ekonomi Belanda dan Perdebatannya ... 67

BAB IV PERKEMBANGAN PELABUHAN AIR BANGIS SUMATERA BARAT 4.1 Perkembangan Pelabuhan Air Bangis ... 71

4.1.1 Sarana dan Prasarana ... 71

4.1.2 Aktivitas Pelayaran ... 77

4.2 Aktivitas Perdagangan ... 89

4.2.1 Jaringan Perdagangan dan Pasar ... 89

4.2.2 Ekspor dan Impor ... 93

4.2.3 Cukai/Pajak ... 105

4.3 Peran Pengusaha dalam Perdagangan dan Pelayaran ... 110

BAB V KEMUNDURAN PELABUHAN AIR BANGIS SUMATERA BARAT 5.1 Topografi Pelabuhan Air Bangis ... 113

5.2 Wabah Malaria ... 114

5.3 Kebijakan Pemerintah dalam Arus Pelayaran dan Perdagangan .... 116

5.4 Tantangan Daratan ... 118

5.5 Perkembangan Pantai Timur Sumatera ... 121

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 124

6.2 Saran ... 127

BIBLIOGRAFI ... 128

(12)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komoditas Perdagangan Antara Daerah Pesisir dengan Hinterland ... 28

Tabel 2. Komoditas Perdagangan Antar Daerah Pantai ... 31

Tabel 3. Komoditas Perdagangan yang Dimonopoli VOC ... 41

Tabel 4. Daftar Pejabat Pemerintah Belanda di Air Bangis ... 56

Tabel 5. Daftar Gaji Pejabat Pemerintah Belanda di Air Bangis ... 59

Tabel 6. Divisi Tentara di Afdeling Air Bangis ... 62

Tabel 7. Kapal-kapal yang Datang ke Pantai Barat Sumatera Berdasarkan Jumlah dan Muatan ... 80

Tabel 8. Kapal-kapal yang Berangkat dari Pantai Barat Sumatera Berdasarkan Jumlah dan Muatan ... 83

Tabel 9. Daftar Komoditas Ekspor Pelabuhan-Pelabuhan Pantai Barat Sumatera Berdasarkan Negeri Tujuan ... 94

Tabel 10. Nilai Penjualan Kopi di Pelabuhan Air Bangis ... 96

Tabel 11. Jumlah Produksi Kopi Afdeling Air Bangis dari Tahun 1901-1904 ... 97

Tabel 12. Daftar Komoditas Impor Pelabuhan-Pelabuhan Pantai Barat Sumatera Berdasarkan Negeri Asal ... 98

Tabel 13. Nilai Impor & Ekspor Pelabuhan Air Bangis dari Tahun 1846-1868 ... 101

Tabel 14. Daftar Pendapatan Pajak di Pelabuhan Air Bangis Tahun 1839 ... 106

Tabel 15. Daftar Pendapatan Pajak di beberapa Pelabuhan Sumatera’s Westkust ... 107

Tabel 16. Daftar Biaya yang Dikeluarkan di Pelabuhan Air Bangis ... 109

(13)

viii

DAFTAR GAMBAR DAN PETA

A.Daftar Gambar

Gambar 1. Pelabuhan Muara Air Bangis ... 21

Gambar 2. Kapal Penduduk yang Berlayar di Sungai Air Bangis ... 21

Gambar 3. Detasement Infanteri di Air Bangis ... 63

Gambar 4. Rumah Kediaman Asisten Residen J.C.H. Schultze di Air Bangis .. 64

Gambar 5. Asisten Residen J.C.H. Schultze di atas bendi dengan latar rumah kediamannya di Air Bangis ... 65

Gambar 6. Rumah Penghulu Adat di Air Bangis ... 66

Gambar 7. Kampung Nelayan di Air Bangis ... 66

Gambar 8. Mercusuar Pulau Panjang, Air Bangis ... 73

Gambar 9. Rumah Penjaga Mercusuar Pulau Panjang, Air Bangis ... 74

Gambar 10. Diagram Nilai Impor dan Ekspor Pelabuhan Air Bangis dari Tahun 1846-1856 ... 102

Gambar 11. Diagram Nilai Impor dan Ekspor Pelabuhan Air Bangis dari Tahun 1858-1868 ... 103

Gambar 12. Dokter Radja Dorie Lubis (Dokter di Air Bangis) ... 116

B.Daftar Peta Peta 1. Wilayah Pelabuhan Air Bangis dan daerah Hinterland-nya ... 32

Peta 2. Rute Pelayaran NISM ... 86

Peta 3. Rute Pelayaran KPM ... 88

(14)

ix

DAFTAR SINGKATAN

ANRI Arsip Nasional Republik Indonesia (Jakarta).

BOW Burgerlijke Openbare Werken.

BKI Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van

Nederlandsch-Indie. Uit gegeven door het Koninklijk Instituut voor Taal-,

Land- en Volkenkunden van Nederlandsch-Indie.

ENI Encyclopedie van Nederlandsch Indie.

EIC East India Company.

Ikahimsi Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah se-Indonesia.

JSEAH Journal of Southeast Asian History.

KITLV Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.

KPM Koninkelijke Paketvaart Maatschappij.

NHM Nederlandsch Handel Maatschappij.

NISM Nederlandsch Indische Stoomvaart Maatschappij.

Swk. Sumatra’s Westkust.

TBB Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur.

VOC Vereenigde Oost-Indische Compagnie.

(15)

x

DAFTAR ISTILAH

Afdeling Unit Administratif di zaman Hindia Belanda yang berada di bawah kresidenan, setingkat kabupaten dewasa ini.

Artileri Pasukan tentara yang bersenjata berat.

Asisten Residen Pejabat (orang Belanda) pada Pemerintahan Hindia Belanda dan mengepalai unit administratif setingkat afdeling.

Bandar Pelabuhan; tempat berlabuh (kapal, perahu, dsb).

Besluit Surat Keputusan.

BOW Burgerlijke Openbare Werken (dinas sipil dan pekerjaan umum).

Comptoir Unit administratif (dan juga ekonomi) VOC.

Controleur Pejabat (orang Belanda) pada Pemerintahan Hindia Belanda dan mengepalai unit administratif setingkat onderafdeling.

Dienst Bentuk dari suatu rute pelayaran.

Entrepot Tempat penimbunan barang.

Epidemik Wabah penyakit dalam suatu komonitas atau daerah

tertentu dalam jumlah yang melebihi batas jumlah normal.

Europesche Bestuur Bentuk pemerintahan masa Hindia Belanda yang dipimpin orang-orang Eropa; Pemerintahan Eropa.

Foreland Daerah Seberang (laut).

Fragmentaris Berupa bagian-bagian (bukan suatu keutuhan).

Gouvernement Unit administratif di zaman Hindia Belanda, setingkat provinsi dewasa ini.

Hegemoni Pengaruh kepemimpinan, dominasi, kekuasaan, suatu

negara atas negara lain (atau negara bagian).

Hinterland Daerah Pedalaman.

(16)

xi

Infanteri Angkatan bersenjata yang termasuk dalam kesatuan

pasukan berjalan kaki.

Interregnum Masa peralihan (bentuk) pemerintahan suatu negara; pemerintahan sementara.

Kavaleri Tentara dengan pasukan kendaraan berlapis baja (tank).

Kongsi Perkumpulan (kerja sama) Cina.

Koyang Ukuran berat setara dengan 1.976,32 kg.

Laras Unit-unit politik tradisional Minangkabau atau unit pemerintahan penduduk lokal di zaman Hindia Belanda, setingkat di atas nagari.

Loji Tempat tinggal, benteng, kantor atau gudang tempat kompeni masa penjajahan Belanda di Indonesia.

Market Pasar.

NISM Nederlandsch Indische Stoomvaart Maatschappij

(perusahaan perkapalan Hindia Belanda).

Noordelijke Afdeling Kawasan bagian utara Pantai Barat Sumatera.

Onderafdeling Unit Administratif di zaman Hindia Belanda yang berada di bawah afdeling, setingkat kecamatan dewasa ini.

Pachter Pemegang hak penjualan sebuah komoditas niaga.

Paderi Sebutan terhadap kelompok penduduk Pantai Barat

Sumatera yang melancarkan gerakan pembaharuan Islam pada awal abad XIX. Istilah ini diduga berasal dari kata Padre (Portugis), atau dari nama kota Pidie di Aceh, sebuah kota yang pernah berperan sebagai tempat berangkatnya jamaah haji dari Pulau Sumatera dahulu.

Pekan Pasar mingguan (Minangkabau).

Residen Pejabat (orang Belanda) pada Pemerintahan Hindia

(17)

xii

Residentie Unit administratif di zaman Hindia Belanda, setingkat kresidenan, dewasa ini identik dengan gabungan beberapa buah kabupaten.

Ruilhandel Barter.

Smokelhandler Penyelundup.

Staatsblad Lembar berita pemerintah (Lembaran Negara).

Stagnan Dalam keadaan berhenti; tidak ada proses.

Stapelplaat Tempat pengumpulan dan perdagangan komoditas perdagangan tertentu, seperti kopi atau garam.

Sumatra’s Westkust Sumatera Bagian Barat; Pantai Barat Sumatera.

Syahbandar Orang atau pejabat yang berwenang menangani berbagai persoalan perkapalan, pelayaran dan perdagangan di suatu pelabuhan.

Terra-Incognita Suatu daerah yang masih asing atau belum dikenal.

Trasportaannemers Pemegang hak pengadaan jasa transportasi.

Verslag Laporan.

(18)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN I Foto-Foto Daerah Hinterland Air Bangis.

LAMPIRAN II Peta Residentie Air Bangis dalam Gouvernement van

Sumatera’s Westkust, 1837.

LAMPIRAN III Perdebatan Mengenai Pembukaan Pelabuhan Air Bangis untuk perdagangan besar (Swk., No. 151/2).

LAMPIRAN IV Keputusan Gubernur Jendral Sumatra’s Westkust tentang penutupan Pelabuhan Natal dengan membuka Pelabuhan Air Bangis untuk perdagangan besar (Besluit 04 Februari 1839, No. 1).

LAMPIRAN V Pembukaan Pelabuhan Air Bangis, Singkel, dan Barus untuk perdagangan besar (Staa tsblad van Nederlandsch-Indie, 1841 No. 40).

LAMPIRAN IV Rute Pelayaran KPM di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.

DAFTAR UKURAN

1 bahar = 375 pond; 0,494 kg.

1 depa = 1,6 - 2 meter.

1 gulden = 100 sen.

1 kilometer (km.) = 1000 meter (m.); 100.000 centi meter (cm.)

1 koyang (garam) = 32 pikul; 1.976,32 kg.

1 mas (emas) = 1.600 cash (mata uang timah).

1 pikul = 61,761 kg.

1 real = 4 dirham.

(19)

xiv ABSTRAK

Skripsi ini mengkaji tentang perkembangan Pelabuhan Air Bangis Sumatera Barat pada abad XIX hingga awal abad XX, yang dapat digolongkan dalam kajian sejarah ekonomi-maritim. Perkembangan yang dimaksud disini ialah suatu proses bagaimana sebuah pelabuhan di suatu daerah yang wilayahnya semula terra-incognita (hampir tidak dikenal) secara lambat laun berkembang dan berperan besar dalam dunia pelayaran dan perdagangan di bagian utara Pantai Barat Sumatera. Kajian ini menggunakan metode sejarah dalam proses penelitiannya. Pada proses heuristik, digunakan sumber-sumber berupa arsip kolonial, laporan dan buku-buku sejaman sebagai data primer serta buku, jurnal, dan disertasi sebagai data sekunder. Setelah data terkumpul kemudian dilakukan verifikasi berupa kritik intern dan ekstern untuk menemukan fakta-fakta. Selanjutnya fakta tersebut diinterpretasikan, sehingga diperoleh data yang objektif untuk diceritakan kembali dalam bentuk tulisan melalui proses historiografi.

Kajian ini bertujuan untuk menjelaskan keberadaan dan aktivitas Pelabuhan Air Bangis Sumatera Barat pada abad XIX. Untuk mendukung tujuan tersebut dijelaskan pula kondisi umum Pelabuhan Air Bangis sebelum dan selama Pemerintahan Kolonial Belanda.

Sejalan dengan kepentingan Pemerintah Kolonial Belanda sejak awal abad XIX yang telah memperlihatkan ciri yang ambisius daripada sebelumnya untuk menggali dan memanfaatkan sebanyak mungkin hasil-hasil bumi dan pertanian daerah hinterland Pantai Barat Sumatera, fungsi Pelabuhan Air Bangis mulai terangkat dari skala perdagangan kecil ke pelabuhan yang berorientasi ekspor ke luar negeri. Perkembangan Pelabuhan Air Bangis tidak bisa dilepaskan dari daerah hinterland, tempat produk ekspor dihasilkan, dan pasar internasional tempat produk itu dijual. Aktivitas ekspor itu juga diimbangi oleh kegiatan impor, yakni produk-produk yang didatangkan dari luar negeri dan didistribusikan ke daerah hinterland. Ketika alat-alat transportasi modern belum diperkenalkan maka jalur sungai dan jalan setapak mempunyai fungsi utama.

Aktivitas pelayaran dan perdagangan telah mendorong pertumbuhan ekonomi di Pelabuhan Air Bangis. Pertumbuhan ekonomi ini sejalan dengan penerapan berbagai pajak yang diberlakukan Pemerintah Hindia Belanda. Tingginya tarif pajak dan monopoli pemerintah di pelabuhan mengakibatkan beberapa komoditi perdagangan sulit didapatkan, sehingga aktivitas arus perdagangan terganggu. Intensitas arus pelayaran juga mulai berkurang di Pelabuhan Air Bangis seiring dengan perkembangan kawasan Pantai Timur Sumatera sebagai sentral ekonomi baru Pemerintah Hindia Belanda di Sumatera.

(20)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pelabuhan bukan saja tempat berlabuh dan terhindar dari terpaan angin,

ombak besar, dan badai secara langsung di lautan1, tetapi juga penghubung antara

jalur darat (pedalaman) dengan jalur maritim dan menghubungkan antarjalur maritim

antara wilayah satu dengan wilayah lain. Begitu juga dengan Pelabuhan Air Bangis

yang menjadi penghubung antarpusat-pusat produksi di pedalaman (hinterland)

Pantai Barat Sumatera dan antar pusat-pusat produksi dengan pasar, serta

penghubung antar pelabuhan-pelabuhan yang berada di kawasan Pantai Barat

Sumatera.

Jatuhnya Bandar Malaka ke tangan Portugis pada permulaan abad XVI,

menyebabkan terjadinya perubahan jalur pelayaran dan perdagangan.

Pedagang-pedagang Muslim (Arab, Persia, dan Gujarat) enggan untuk singgah di Bandar

Malaka karena monopoli perdagangan yang dilakukan Portugis sangat merugikan

mereka. Para pedagang Muslim pada akhirnya mengubah rute pelayaran dan

perdagangan mereka menyusuri Pantai Barat Sumatera dan masuk ke Pantai Utara

1 Adrian B. Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008, hal. 95-96.

(21)

2

Jawa melalui selat Sunda.2 Perubahan rute pelayaran ini sangat menguntungkan

kawasan Pantai Barat Sumatera, sehingga banyak bermunculan kota-kota pantai

dengan fasilitas pelabuhan seadanya di kawasan Pantai Barat Sumatera, dan

termasuklah Pelabuhan Air Bangis.

Selama abad XVI sampai pertengahan abad XIX Pantai Barat Sumatera

berada dalam pengaruh Aceh. Kekuatan Aceh sangat dirasakan di setiap pelabuhan,

termasuk di Pelabuhan Air Bangis, dengan menempatkan wakil raja Aceh yang

bergelar panglima Aceh (syahbandar) di sana. Kehadiran kekuatan Aceh di kawasan

pesisir barat Sumatera ditanggapi oleh penduduk setempat dengan sikap pro dan

kontra. Bagi yang pro, mereka mendukung keberadaan Syahbandar Aceh di setiap

pelabuhan, sebab sebagian dari orang Aceh memang telah menjadi penduduk

setempat dan berketurunan. Namun syahbandar sering berbuat semena-mena terhadap

penduduk dengan memonopoli perdagangan.

Selain Aceh, Air Bangis merupakan salah satu kota pantai di kawasan Pantai

Barat Sumatera yang pertama kali dikunjungi oleh armada dagang Belanda atau sebagai “Bandar Niaga Transito” terbesar di Asia Tenggara. Memasuki akhir abad XV Sultan Mansyur Syah wafat dan terjadi beberapa kali pergantian kepemimpinan. Namun kesultanan Malaka mengalami kemunduran pada masa kepemimpinan Sultan Mahmud Syah yang berusia masih kecil. Krisis kepemimpinan yang terjadi di Malaka dimanfaatkan oleh Portugis yang berada di Goa. Di bawah pimpinan Alfonso d’ Albuquerque, Portugis menyerang Malaka pada tahun 1511. Lihat Tome Pires, Suma Oriental: Perjalanan Dari Laut Merah Ke China & Buku Francisco Rodrigus, Yogyakarta: Ombak, 2014, hal. 380-383.

(22)

3

XVIII seluruh kawasan Pantai Barat Sumatera dikuasai oleh Inggris, dan awal abad

XIX Inggris menyerahkan kawasan ini kepada Pemerintah Hindia Belanda.4

Di bawah Pemerintahan Hindia Belanda, Pelabuhan Air Bangis dijadikan

sebagai salah satu pusat perekonomian terpenting di Pantai Barat Sumatera.

Pelabuhan Air Bangis kemudian dikembangkan oleh Belanda menjadi pelabuhan

yang melayani kegiatan ekspor dan impor barang perdagangan dan pelayaran

internasional.5 Selain sebagai pusat perkonomian, kawasan Pelabuhan Air Bangis

juga dijadikan sebagai pusat Pemerintahan Hindia Belanda dengan nama Residentie

Air Bangis (Keresidenan Air Bangis) di bawah Gouvernement van Sumatra’s

Westkust (Gubernemen Sumatera bagian Barat). Pada masa inilah pelabuhan Air

Bangis mencapai puncak kejayaannya.

Berkembang pesatnya Pelabuhan Air Bangis menjadikannya sebagai

pelabuhan terpenting di kawasan utara Gouvernement van Sumatra’s Westkust pada

seperempat pertama abad XIX, menyaingi Pelabuhan Natal dan Barus. Namun

4 Pada tahun 1685 bangsa Inggris telah menjejakkan kakinya di tanah Sumatera yakni di Bengkulu. Namun Inggris baru dapat menjadi penguasa di daerah Sumatera Barat pada 30 November 1795, dikarenakan penguasa sebelumnya (VOC) di Sumatera Barat mengalami kemerosotan dan hancur akibat serangan armada Le Ville de Bordeaux di bawah pimpinan Le Meme (bajak laut yang diutus Prancis untuk memberi pelajaran terhadap daerah jajahan Belanda di kawasan timur), dan tahun 1814 Inggris menyerahkan kembali kawasan Pantai Barat Sumatera kepada Belanda melalui Konvensi London seiring situasi politik yang mulai membaik di Eropa. Namun Raffles (Letnan Gubernur Inggris di Sumatera Barat) saat itu enggan menyerahkan Sumatera Barat kepada Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda baru mendapat penyerahan resmi Sumatera Barat pada tahun 1819 (tidak termasuk Air Bangis, Natal dan Tapanuli). Ketiga daerah itu baru diserahkan oleh Inggris pada tahun 1825 setelah adanya Traktat London (1824). Lihat John Ball, Indonesian Legal History: British West Sumatra 1685-1825, Sydney: Oughtershaw Press, 1984, hal. 1-2 dan 263.

(23)

4

kejayaannya tidak berlangsung lama, karena Pemerintah Hindia Belanda menduduki

Tapanuli dan membuat reorganisasi pemerintahan baru. Tapanuli dijadikan sebagai

kresidenan baru dengan ibukotanya Sibolga, sedangkan Air Bangis menjadi ibukota

afdeling (kabupaten). Dikembangkannya Sibolga dan dibangunnya pelabuhan di sana

sangat berdampak terhadap Pelabuhan Air Bangis. Secara bertahap Pelabuhan Air

Bangis mulai sepi disinggahi kapal-kapal asing. Akibatnya aktivitas perdagangan dan

pelayaran di kawasan pelabuhan mengalami kemunduran, dan hal ini diperparah lagi

oleh banyaknya penduduk yang pindah ke Sibolga. Penyebab utama perpindahan

penduduk diakibatkan berjangkitnya penyakit malaria. Kemunduran aktivitas

perdagangan dan pelayaran di Pelabuhan Air Bangis juga disebabkan perkembangan

kawasan Pantai Timur Sumatera sebagai sentral ekonomi baru dan Pemerintah

Belanda pada abad XX lebih banyak terkonsentrasi di daratan Pulau Sumatera.

Kajian ini bersifat deskriptif-analitik, yaitu mendiskripsikan tentang aktivitas

perdagangan dan pelayaran, kuantitas ekspor dan impor serta posisi Pelabuhan Air

Bangis diantara pelabuhan-pelabuhan yang berada di kawasan Pantai Barat Sumatera,

sebelum kedatangan dan selama masa pemerintahan kolonial Belanda. Penelitian ini

juga menjabarkan faktor-faktor penyebab kemunduran Pelabuhan Air Bangis.

Dari uraian diatas, maka penelitian ini diberi judul Pelabuhan Air Bangis

Sumatera Barat Pada Abad XIX Hingga Awal Abad XX. Aspek spasial penelitian

ini adalah Pelabuhan Air Bangis masa kolonial. Penulis tertarik untuk mengkaji

Pelabuhan Air Bangis karena pelabuhan ini merupakan salah satu pelabuhan di

(24)

5

perekonomian oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk kawasan tersebut. Ketertarikan

penulis menimbulkan keingintahuan lebih, mengapa Pelabuhan Air Bangis yang

dipilih oleh Belanda, padahal banyak pelabuhan-pelabuhan lain di kawasan ini yang

juga potensial dan ada faktor apa sebenarmya di wilayah Pelabuhan Air Bangis ini,

sehingga aktivitas perdagangan dan pelayaran ramai di wilayah ini, serta bagaimana

gambaran pelabuhan ini di masa lalu. Keingintahuan penulis ini belum ada hasil

penelitian yang menjawabnya, sehingga penulis merasa tertarik untuk mencari tahu

dan mengkaji Pelabuhan Air Bangis secara mendalam.

Penelitian ini mengambil skop abad XIX hingga awal abad XX, yang dimulai

tahun 1825 sebagai periode awal penelitian. Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan

bahwa Air Bangis diserahkan Inggris kepada pemerintahan Hindia Belanda secara

resmi pada tahun tersebut. Walaupun batasan awal penelitian dimulai pada tahun

1825, namun untuk melihat proses perkembangan ataupun perubahan yang terjadi di

Pelabuhan Air Bangis perlu adanya perbandingan pada masa sebelumnya yang perlu

dikaji. Diberlakukannya berbagai pajak oleh Pemerintah Belanda di akhir abad XIX,

keluarnya Tapanuli dari Gouvernement van Sumatra’s Westkust pada tahun 1905,

berkembangnya kawasan Pantai Timur Sumatera diawal abad XX, dan

dihapuskannya administratif Gouvernement van Sumatra’s Westkust tahun 1913

merupakan batasan akhir penelitian ini. Dalam rentang waktu akhir abad XIX dan

awal abad XX, telah terlihat kemunduran di Pelabuhan Air Bangis. Hal ini ditandai

dengan merosotnya produk ekspor dari daerah hinterland pelabuhan ini, yang

(25)

6

1.2 Rumusan Masalah

Secara teoritik, hubungan antara daerah hinterland (pedalaman), foreland

(seberang), dan market (pasar) dapat terjalin erat karena keberadaan pelabuhan.

Aktivitas perdagangan di sini muncul karena saling membutuhkan. Suatu wilayah

tidak dapat memenuhi semua kebutuhannya sendiri, sehingga perlu berdagang dengan

wilayah lain. Dari sinilah pelabuhan memainkan peranannya sebagai pintu masuk dan

keluar bagi komoditi-komoditi perdagangan. Begitu pula dengan Pelabuhan Air

Bangis yang berperan menghubungkan pusat-pusat produksi (komoditi) daerah

hinterland dengan pasar. Dengan demikian neraca perdagangan menjadi hal yang

sangat penting bagi pertumbuhan Pelabuhan Air Bangis. Neraca perdagangan yang

dimaksud adalah kegiatan ekspor-impor dari dan ke Pelabuhan Air Bangis. Sejak

ditetapkan sebagai pelabuhan bebas dan terbuka oleh Pemerintah Hindia Belanda

pada tahun 1839, tidak hanya kapal pribumi dan pemerintah, namun juga kapal-kapal

berbendera asing mulai ramai singgah di Pelabuhan Air Bangis. Hal tersebut tentu

tidak bisa dilepaskan dari kebijakan-kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang ingin

menjadikan Pelabuhan Air Bangis pusat ekonomi dan politik di kawasan utara

Gouvernement Sumatra’s Westkust pada masa itu.

Guna memudahkan dalam pembahasan maka permasalahan tersebut

dijabarkan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian, yakni:

1. Bagaimana kondisi Pelabuhan Air Bangis pada abad XVII dan XVIII?

2. Mengapa Pemerintah Belanda menjadikan Pelabuhan Air Bangis sebagai

(26)

7

3. Bagaimana perkembangan Pelabuhan Air Bangis dari tahun 1837 hingga

1890?

4. Mengapa Pelabuhan Air Bangis mengalami kemunduran?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian merupakan suatu cara untuk menjawab masalah yang dirumuskan.

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah menjelaskan kondisi Pelabuhan

Air Bangis pada abad XVII dan XVIII. Menjelaskan alasan Pemerintah Belanda

menjadikan Pelabuhan Air Bangis sebagai pusat ekonomi di kawasan utara Pantai

Barat Sumatera. Menjelaskan perkembangan Pelabuhan Air Bangis dari tahun 1837

hingga 1890, serta menjelaskan penyebab kemunduran Pelabuhan Air Bangis

Sumatera Barat, yang titik fokusnya pada neraca perdagangan dan pelayaran

(aktivitas ekspor dan impor), sehingga dapat diungkapkan apa saja yang telah dicapai

Pelabuhan Air Bangis selama abad XIX hingga awal abad XX.

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, yaitu: diharapkan akan

memperkaya perbendaharaan historiografi Indonesia, khususnya yang berkaitan

dengan sejarah ekonomi-maritim pada era kolonial. Lebih jauh lagi manfaat

penelitian ini adalah untuk menggambarkan peta jaringan perdagangan dan pelayaran

dari dan ke Pelabuhan Air Bangis pada periode tersebut, sehingga dapat digunakan

untuk menganalisis struktur dan alur perdagangan dan pelayaran di Pelabuhan Air

Bangis untuk percepatan kemajuan masyarakat pelabuhan pada masa sekarang ini dan

(27)

8

1.4 Tinjauan Pustaka

Kajian mengenai sejarah pelabuhan Air Bangis sudah pernah ada sebelumnya.

Informasi mengenai sejarah pelabuhan Air Bangis ditulis dalam Balai Kajian Sejarah

dan Nilai Tradisional Padang oleh suatu tim di bawah M. Nur dkk., Dinamika

Pelabuhan Air Bangis dalam Lintasan Sejarah Lokal Pasaman Barat (2004). Buku

ini menggambarkan dinamika Pelabuhan Air Bangis secara luas yang dimulai dari

asal-usul pelabuhan dan penduduk Air Bangis, Pelabuhan Air Bangis pada masa

kolonial Belanda hingga Air Bangis dewasa ini. Buku ini mencoba mengambarkan

peranan Pelabuhan Air Bangis pada abad XIX hingga kontemporer di Pantai Barat

Pasaman yang dilihat dari perdagangan dan dinamikanya. Meskipun lingkup

permasalahan buku ini hampir sama dengan fokus penelitian penulis, namun buku ini

tidak menjawab isu yang penulis bahas. Buku ini tidak melihat perkembangan

Pelabuhan Air Bangis dalam aspek perdagangan dan pelayaran pada abad XIX secara

mendalam, padahal pada kurun waktu inilah masa kejayaan pelabuhan tersebut.

Penulisan buku ini juga kurang kronologis, sehingga menyulitkan pembaca

memahami inti permasalahan. Meskipun demikian buku karya M. Nur dkk. ini

penulis jadikan sebagai acuan awal dalam memahami Pelabuhan Air Bangis dan

sebagai perbandingan dalam menulis dan meneliti.

Dalam kajian sejarah maritim, peranan pelabuhan sangat penting sebagai

pusat aktivitas kegiatan kemaritiman. Untuk mengkaji aktivitas perdagangan dan

pelayaran di suatu pelabuhan, maka diperlukan konsep-konsep dan teori kemaritiman.

(28)

9

Indonesia (2004) menggambarkan dengan jelas tentang konsep maritim dengan

menggunakan konsep dan teori ekonomi khususnya mengenai neraca perdagangan,

konsep maritim dengan menggunakan konsep-konsep dan teori sosiologi perkotaan

khususnya mengenai kota pelabuhan, dan lain sebagainya. Dalam hal ini kegiatan

pelayaran dan perdagangan yang berlangsung di pelabuhan mempunyai pengaruh

yang besar terhadap berkembangnya kota pelabuhan. Perkembangan suatu pelabuhan

maupun kota itu sendiri tidak bisa dilepaskan dengan kegiatan pelayaran dan

perdagangan.

Perdagangan sangat erat kaitannya dengan perkembangan masyarakat yang

bersangkutan. Semakin kompleks suatu masyarakat maka semakin beragam pula

modus dan tata cara perdagangan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut. Pola

perdagangan di sini adalah proses tukar menukar barang antara pedagang dengan

pembeli baik itu pribumi lokal, pribumi dari pulau lain, timur asing maupun

mancanegara. Dalam bukunya Gusti Asnan berjudul Dunia Maritim Pantai Barat

Sumatera (2007) menggambarkan peranan penting Pantai Barat Sumatera dari

berbagai aspek sosial, politik, budaya, dan ekonomi dalam pelayaran dan

perdagangan di kawasan Pantai Barat Sumatera pada masa kolonial Belanda. Dalam

bukunya ini juga dijelaskan bagaimana pelabuhan-pelabuhan yang ada di Pantai Barat

Sumatera tumbuh dan berkembang, serta aktivitas ekspor dan impor yang terjadi di

sana dalam kurun waktu abad XIX. Pelabuhan Air Bangis pun tidak absen dalam

kajiannya sebagai pelabuhan yang ramai dikunjungi di kawasan utara Gouvernement

(29)

10

penjelasan, bukan kajian secara mendalam tentang Pelabuhan Air Bangis. Akan tetapi

buku ini dapat memberikan informasi bagi peneliti mengenai pelayaran dan

perdagangan di Pantai Barat Sumatera, untuk mengetahui bagaimana pola

perdagangan, hubungan antara daerah pantai dengan daerah pedalaman ataupun

wilayah lainnya.

Kegiatan pelayaran dan perdagangan melalui sarana pelabuhan tentunya

melibatkan banyak pelaku baik individu maupun golongan. Orang-orang yang terlibat

dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan dikupas secara detail oleh Adrian B.

Lapian dalam bukunya yang berjudul Orang Laut Bajak Laut Raja Laut: Sejarah

Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX (2011). Dalam buku ini digambarkan tentang

hubungan proses timbal balik antara yang disebut sebagai orang laut, bajak laut, dan

raja laut dalam perdagangan dan pelayaran di kawasan laut Sulawesi. Menurut Adrian

B. Lapian munculnya ketiga istilah golongan tersebut merupakan perbedaan

perspektif yang menganggap bahwa dirinya mempunyai kekuasaan atas suatu

kawasan laut, baik itu dalam hal perniagaan maupun pelayaran pada suatu kawasan

laut, dan hal ini sebenarnya juga terjadi hampir diseluruh kawasan laut nusantara, dan

tidak menutup kemungkinan untuk Pelabuhan Air Bangis. Buku ini penulis jadikan

acuan dalam melihat bagaimana aktivitas orang-orang atau kelompok yang terlibat

dalam kegiatan perdagangan dan pelayaran di Pelabuhan Air Bangis.

Selain kegiatan pelayaran dan perdagangan, perlu juga dilihat aspek

pemerintahan kota Air Bangis untuk melihat dinamika pemerintahan yang terjadi dan

(30)

11

ditulis oleh Gusti Asnan yang berjudul Pemerintahan Daerah Sumatera Barat Dari

VOC Hingga Reformasi (2006) dapat kita ketahui bagaimana dinamika pergantian

kepemimpinan di daerah Sumatera Barat termasuk di Air Bangis. Buku ini juga

menggambarkan bagaimana proses reorganisasi administratif pemerintahan seiring

perluasan-perluasan wilayah yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda ke kawasan

utara Pantai Barat Sumatera. Buku ini dapat memberikan pemahaman bagi peneliti

bagaimana pergantian kepala pemerintahan yang mengakibatkan terjadinya

perubahan kebijakan-kebijakan terhadap keberlangsungan perkembangan Pelabuhan

Air Bangis ke depannya.

Sementara itu, Christine Dobbin dalam bukunya yang berjudul Kebangkitan

Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah, Sumatera Tengah 1784-1847

(1992) menggambarkan kehidupan masyarakat pedalaman (hinterland) Pantai Barat

Sumatera. Dalam bukunya ini diulas peranan masyarakat pedalaman (niaga kaum

Paderi) yang sangat mengancam monopoli perdagangan Belanda. Karena kaum

Paderi memboikot hasil-hasil komoditi pedalaman dalam perdagangan mereka,

sehingga keberadaan Paderi sangat merugikan Pemerintah Hindia Belanda. Di

pelabuhan Air Bangis juga pecah perang Paderi melawan Belanda. Selain itu

Christine Dobbin juga menjelaskan tentang budidaya tanaman kopi mulai digalakkan

sebagai komoditas ekspor utama kawasan ini setelah gerakan Paderi dapat ditumpas

kolonial Belanda. Buku ini dapat menjadi acuan bagi peneliti untuk mengetahui

liku-liku perdagangan masyarakat di pedalaman Pantai Barat Sumatera dengan segala

(31)

12

1.5 Metode Penelitian

Setiap penelitian diwajibkan menggunakan metode, terutama metode

penelitian. Metode penelitian adalah suatu cara atau aturan yang sistematis yang

digunakan sebagai proses untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip untuk

mencari kebenaran dari sebuah permasalahan. Dalam menulis peristiwa sejarah pada

masa lampau yang direalisasikan dalam bentuk penulisan sejarah (historiografi),

tentu harus menggunakan metode sejarah. Metode sejarah merupakan proses menguji

dan menganalisis secara kritis rekaman dan jejak-jejak peninggalan sejarah.6 Dalam

penerapannya, metode sejarah menggunakan empat tahapan pokok, yaitu heuristik,

kritik, interpretasi, dan historiografi.

Tahap pertama adalah heuristik merupakan proses mengumpulkan dan

menemukan sumber-sumber yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

Metode yang dilakukan dalam heuristik adalah studi arsip, dan studi pustaka. Dalam

pengumpulan arsip-arsip tentang Pelabuhan Air Bangis, penulis telah mengunjungi

Badan Arsip Daerah Sumatera Barat di Kota Padang dan Arsip Nasional Republik

Indonesia (ANRI) di Jakarta. Dalam melakukan studi pustaka penulis juga telah

mengunjungi Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Tengku

Lukman Sinar di Medan, Perpustakaan Universitas Negeri Padang, Perpustakaan

Daerah Sumatera Barat, dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta.

(32)

13

Proses heuristik awal dilakukan di Kota Padang, Sumatera Barat pada tanggal

25 Januari 2015 – 30 Januari 2015. Hal pertama yang penulis lakukan di Kota Padang

yaitu mengunjungi Badan Arsip Daerah Sumatera Barat. Arsip-arsip yang tersedia

tergolong sedikit, karena telah banyak arsip daerah ini yang dibawa ke badan

pengelola arsip di Jakarta. Dalam studi arsip di Padang, penulis berhasil menemukan

beberapa arsip yang berkaitan dengan penelitian. Salah satu arsip ini adalah Senarai

Arsip Nationaal Archief Belanda, No. 69 a. Adapun keterkaitan arsip ini dengan

penelitian yaitu penulis mendapatkan anggaran biaya-biaya (transportasi) dan pajak

yang diberlakukan di Pelabuhan Air Bangis.

Selain mengunjungi badan arsip, penulis juga mengunjungi Perpustakaan

Daerah Sumatera Barat dan Perpustakaan Universitas Negeri Padang untuk mencari

sumber-sumber sekunder yang kiranya bisa dijadikan sebagai daftar referensi, namun

sumber-sumber yang penulis cari di kedua perpustakaan ini tidak diketemukan

sumber-sumber yang dapat mendukung penelitian penulis.

Tahap berikutnya dalam heuristik, adalah mengunjungi badan Arsip Nasional

Republik Indonesia (ANRI) dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Pusnas

RI) yang berada di Jakarta. Penulis melakukan penelitian di Jakarta selama 15 hari

yang dimulai pertengahan bulan April 2015. Adapun proses pertama yang penulis

jalani selama pengumpulan sumber di Jakarta yaitu mencari sumber-sumber arsip di

ANRI.

Hal pertama yang penulis kumpulkan adalah arsip-arsip dari Inventaris Arsip

(33)

14

seperti Swk., No. 151/2, Vraagpunten over het Ayer Bangies, 1839, yang isinya

menggambarkan perdebatan mengenai pemilihan wilayah Air Bangis sebagai

pelabuhan dagang skala besar di bagian utara Pantai Barat Sumatera. Arsip lainnya

seperti Swk. 125/7 tentang laporan umum Air Bangis, Swk. 125/6 tentang laporan

umum Sumatra’s Westkust, dan inventaris Swk. lainnya seperti laporan tahunan,

laporan politik, laporan bulanan, laporan administratif Sumatra’s Westkust dan

Tapanuli dengan kisaran waktu antara tahun 1853 sampai 1865.

Selain arsip dari inventaris Swk. penulis juga menemukan beberapa besluit

seperti Besluit van den Gouverneur-General van Nederlandsch-Indie van 4 Februari

1839, No. 1. Adapun isi dari besluit ini adalah Pembukaan Pelabuhan Air Bangis

sebagai pelabuhan yang melayani perdagangan besar dengan menutup Pelabuhan

Natal. Penulis juga menemukan arsip Algemene Secretarie: Grote Bundel Besluit

1891-1942, No. 1341, di dalam arsip ini ada rute jalan-jalan yang dibuat Pemerintah

Hindia Belanda dari Air Bangis ke daerah hinterland. Selain itu ada juga arsip

Departement van Burgelijke Openbare Werken (BOW), Kolonial Verslag van

Nederlandsch Oost-Indie, dan Staatsblad van Nederlandsch-Indie dari beberapa

tahun dan nomor. Di perpustakaan nasional penulis juga mendapat banyak referensi

buku dan jurnal dalam kategori langka. Adapun referensi yang penulis kumpulkan

rata-rata terbitan abad XIX.

Tahap heuristik selanjutnya penulis lakukan di Kota Medan. Selain

Perpustakaan Universitas Sumatera Utara yang menyediakan buku-buku sekunder,

(34)

15

terakhir ini penulis menemukan beberapa jurnal yang penulis tidak dapatkan di

Perpustakaan Nasional Jakarta, seperti karya E. B. Kielstra, Sumatra’s Westkust dari

tahun 1825-1835 yang terdiri dari beberapa tahun terbit dalam jurnal BKI.

Dalam penelusuran sumber-sumber lainnya penulis juga mendapatkan

dokumen dan buku elektronik dari koleksi Perpustakaan KITLV-Leiden yang dapat

diakses melalui laman www.kitlv.nl. Sumber-sumber ini banyak penulis pakai karena

sejaman dengan temporal penelitian. Sumber-sumber ini seperti Overzigt van den

Handel en de Scheepvaart in de Nederlandsche Bezettingen in de Oost-Indie Buiten

Java en Madura (dari tahun 1846-1868); M. D. Teenstra, Beknopte Beschrijving van

de Nederlandsch Overzeesche Bezittingen, dan lain sebagainya.

Setelah pengumpulan sumber, maka tahap selanjutnya adalah kritik sumber,

baik secara intern dan ekstern. Kritik ekstern dilakukan untuk menguji sumber guna

mengetahui otentisitas sumber. Dalam hal ini kritik menyangkut arsip atau dokumen

dengan cara memilah apakah dokumen itu diperlukan atau tidak serta menganalisis

apakah dokumen yang telah dikumpulkan asli atau tidak dengan mengamati tulisan,

gaya bahasa, ejaan maupun jenis kertas yang digunakan. Kritik intern merupakan

suatu langkah untuk menilai isi dari sumber-sumber yang telah dikumpulkan.

Tujuannya adalah untuk mendapatkan kredibilitas sumber atau kebenaran isi dari

sumber tersebut.7 Proses kritik sumber ini dilakukan seiring dengan proses

menerjemahkan, karena sebagian besar sumber primer berbahasa asing seperti bahasa

(35)

16

Belanda, Inggris, dan ada juga bahasa Jerman. Untuk sumber sekunder sendiri sudah

banyak yang berbahasa Indonesia.

Tahapan selanjutnya adalah interpretasi yaitu memuat analisis dan sintesis

terhadap sumber yang telah dikritik dan diverifikasi. Tahapan ini dilakukan dengan

cara menafsirkan fakta, dan membandingkannya sehingga akan diperoleh data yang

objektif untuk diceritakan kembali ke dalam suatu tulisan.

Tahapan terakhir yaitu historiografi atau penulisan merupakan proses

menceritakan rangkaian fakta (penulisan sejarah) secara kronologis dalam suatu

bentuk tulisan yang kritis, analitis dan bersifat ilmiah sehingga tahap akhir dalam

penulisan ini dapat dituangkan dalam bentuk skripsi dengan terlebih dahulu menulis

rancangan isi skripsi.

1.6 Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini berupa skripsi yang terdiri atas beberapa bab, yang

menjelaskan bagian-bagian khusus mengenai aktivitas perdagangan dan pelayaran di

Pelabuhan Air Bangis. Untuk menjelaskan bagian-bagian tersebut maka disusunlah

sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab Pertama merupakan bagian pendahuluan yang berisi tentang alasan

pemilihan tema penelitian, dengan rumusan permasalahan yang dibatasi secara

spasial dan temporal. Selain itu terdapat juga tujuan dan manfaat dari skripsi ini, serta

dicantumkan beberapa tinjauan pustaka sebagai acuan dan perbandingan dalam

(36)

17

pokok, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi, dan terdapat pula

sistematika penulisan yang menjelaskan poin-poin isi dari setiap bab.

Bab Kedua membahas tentang kondisi Pelabuhan Air Bangis Sumatera Barat

Pada Abad XVII dan XVIII. Bab ini menggambarkan kondisi geografis pelabuhan

dan menjelaskan komposisi penduduk yang menetap di Pelabuhan Air Bangis. Bab

ini juga melihat hubungan antara Pelabuhan Air Bangis dengan daerah

penyangganya, baik daerah hinterland maupun foreland. Selain itu, bab ini juga

memaparkan penguasaan Kesultanan Aceh di Pelabuhan Air Bangis dan bagaimana

Aceh melakukan monopoli dagang di kawasan ini. Tidak hanya Kesultanan Aceh,

armada dagang Belanda (VOC) dan Inggris juga menanamkan pengaruhnya di

kawasan Pelabuhan Air Bangis, sehingga pergesekan antara Kesultanan Aceh, VOC,

dan Inggris kerap kali terjadi.

Bab Ketiga membahas tentang alasan-alasan pemerintah Belanda menjadikan

Pelabuhan Air Bangis sebagai pusat ekonomi untuk kawasan utara Pantai Barat

Sumatera, yang digambarkan dalam hegemoni Belanda dalam aktivitas pelayaran dan

perdagangan di Pelabuhan Air Bangis. Alasan-alasan tersebut seperti ekpansi politik

Belanda dalam memperluas wilayah jajahannya ke kawasan utara Pantai Barat

Sumatera, penghancuran monopoli dagang Paderi di daerah hinterland Air Bangis,

dan Pelabuhan Air Bangis dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi untuk

kawasan utara Pantai Barat Sumatera.

Bab Keempat merupakan bab inti dari penelitian ini. Bab ini membahas

(37)

18

Perkembangan ini bisa dilihat dalam pembangunan fasilitas pelabuhan untuk

menampung aktivitas pelayaran dan perdagangan (ekspor dan impor), penerapan

pajak yang diberlakukan pemerintah untuk mendapat keuntungan yang besar dan juga

melihat peran pengusaha dalam pelayaran dan perdagangan di wilayah tersebut baik

pengusaha eropa, timur asing, maupun pribumi (penduduk setempat).

Bab Kelima membahas tentang proses kemunduran Pelabuhan Air Bangis

dalam dunia pelayaran dan perdagangan Pantai Barat Sumatera. Proses kemunduran

ini dijabarkan dalam beberara faktor seperti pengaruh topografi Pelabuhan Air

Bangis, berjangkitnya penyakit malaria, kebijakan-kebijan pemerintah Belanda dalam

arus perdagangan dan pelayaran di Pelabuhan Air Bangis, perkembangan (jalan)

darat, dan perkembangan kawasan Pantai Timur Sumatera.

Bab Keenam merupakan bab akhir dari penelitian ini. Bab ini memaparkan

kesimpulan dari uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, serta terdapat

saran dari penulis dalam pengembangan Pelabuhan Air Bangis untuk masa

(38)

19 BAB II

KEADAAN PELABUHAN AIR BANGIS SUMATERA BARAT

PADA ABAD XVII DAN XVIII

2.1 Kondisi Geografis dan Demografis

Kawasan Air Bangis8 berada di pesisir Pantai Barat Sumatera dan merupakan

bagian utara dari wilayah administratif Gouvernement Sumatra’s Westkust.

Batas-batas kawasan Air Bangis yakni di sebelah utara berBatas-batasan dengan Sungai Tapus,

sebelah timur berbatasan dengan pegunungan Bukit Barisan9 yang membelakangi

wilayah Tapanuli dan Siak, sebelah selatan berbatasan dengan wilayah Residentie van

Padang, dan sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia.10

Kawasan Air Bangis memiliki satu pelabuhan yang sangat indah. Pelabuhan

Air Bangis ini menawarkan muara sungai yang lebar dan teluk yang aman bagi

kapal-kapal yang hendak berlabuh di wilayah ini.11 Wilayah Pelabuhan Air Bangis

8 Nama Air Bangis muncul sekitar abad XVII, diberikan oleh seseorang dari rombongan Kerajaan Indrapura yang berlayar ke kawasan utara Pantai Barat Sumatera untuk mencari daerah baru. Rombongan tersebut mendarat disuatu tempat dan menemukan sebatang pohon Bangei di muara sungai, maka setelah mereka menetap, daerah yang mereka temukan itu diberi nama Air Bangis. Ketika bangsa Eropa datang, mereka menamakan daerah Air Bangis dengan nama Ayer Bangies dalam catatan-catatan perjalanan mereka. Orang Minang menyebut daerah Air Bangis dengan nama Aia Bangih (Air Bengis) yakni air yang marah, karena berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Lihat tulisan M. Nur, dkk., Dinamika Pelabuhan Air Bangis dalam Lintasan Sejarah Lokal Pasaman Barat, Padang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2004, hal. 91.

9 Pegunungan Bukit Barisan memiliki ketinggian berkisar antara 1000-1200 dpl. Lihat W. H. de Vriese, De Kamferboom van Sumatra, Leiden: H.R. De Bruek, 1851, hal. 39.

10 M. D. Teenstra, Beknopte Beschrijving van de Nederla ndsch Overzeesche Bezittingen, Tweede Stuk, Groningen: J. Omskens & J. Zoon, 1852, hal. 345.

(39)

20

merupakan wilayah yang berawa-rawa dengan pertumbuhan hutan yang sedang,12

tetapi memiliki perairan yang cukup dalam dan luas.

Lokasi Pelabuhan Air Bangis pada awalnya terpusat di muara Sungai Air

Bangis dan Sungai Sikabau yang hulunya terletak di Gunung Malintang. Sungai Air

Bangis memiliki lebar muara sekitar 50 meter, sehingga dapat dilayari kapal-kapal

penduduk ke daerah hinterland seperti ke Ujung Gading.13 Namun seiring

berjalannya waktu, kawasan muara Sungai Air Bangis tidak mampu lagi menampung

kapal-kapal berukuran besar yang hendak berlabuh di wilayah ini. Adapun hal

penyebabnya adalah adanya endapan lumpur yang mengakibatkan terjadinya

penyempitan dan pendangkalan di muara sungai, selain itu juga disebabkan

banyaknya kapal-kapal penduduk yang hilir mudik ke daerah hinterland dan berlabuh

di wilayah ini.

Pelabuhan Air Bangis lalu dikembangkan oleh Pemerintah Hindia Belanda,

dengan menjadikan wilayah perairan teluk Air Bangis sebagai pelabuhan untuk

kapal-kapal besar dengan dermaga Pulau Panjang, sedangkan kawasan muara Sungai

Air Bangis dan Sungai Sikabau untuk menampung kapal-kapal atau perahu kecil

yang hilir mudik mengangkut komoditas ekspor daerah hinterland ke Pelabuhan Air

Bangis. Berikut gambar pelabuhan muara Air Bangis dan kapal atau perahu penduduk

yang sedang berlayar di Sungai Air Bangis.

(40)

21 Gambar 1.

Pelabuhan Muara Air Bangis

Sumber: Arsip KITLV Leiden, Colllection KITLV, Digital Image Library. (diakses dari www.kitlv.nl)

Gambar 2.

Kapal Penduduk yang Berlayar di Sungai Air Bangis

(41)

22

Teluk Air Bangis memiliki luas 7 K.M. dengan kedalaman 6-8 depa ketika air

surut dan tergolong aman dari terjangan keganasan ombak Samudera Hindia.14 Hal

ini dikarenakan adanya pulau-pulau kecil yang menghambat laju ombak samudera

langsung ke kawasan pantai Air Bangis. Salah satu pulau yang terkenal adalah Pulau

Panjang.15 Namun rangkaian pulau yang terdapat di kawasan barat Pelabuhan Air

Bangis tidak sepenuhnya berhasil melindunginya dari terjangan ombak Samudera

Hindia yang terkenal besar dan kuat. Para ahli mencatat terjadi pengikisan pantai

(abrasi) oleh laut sejauh 20 cm. Rata-rata tinggi gelombang yang menghantam Pantai

Barat Sumatera adalah 220 cm. Ombak yang besar tersebut disebabkan oleh

hamparan laut bebas juga dikarenakan oleh kuatnya hembusan angin di daerah ini.16

Secara astronomis Pelabuhan Air Bangis terletak pada titik koordinat 0° 11' 0"

Lintang Utara dan 99° 9' 50" Bujur Timur.17 Letak Pelabuhan Air Bangis yang

berdekatan dengan garis khatulistiwa memberi daerah ini iklim tropis maritim dengan

ciri-ciri khusus, seperti suhu yang tinggi, kelembaban yang relatif besar,

pembentukan awan yang moderat dan gerak angin yang sedang.18

14 S. Muller dan L. Horner, Reizen en onderzoekingen in Sumatra , Gedaan Op Last der Nederlandsche Indische Regering, Tusschen de Jaren 1833 en 1838, ‘s-Gravenhage: K. Fuhri, 1855, hal. 63-64; dan lihat juga P. H. van der Kemp, Eene Bijdrage Tot E. B. Kielstra’s Opstellen Over

Sumatra’s Westkust, ‘s-Gravenhage: [s.n.], 1894, hal. 84.

15 Selain Pulau Panjang, terdapat Pulau Harimau, Pulau Tello, Pulau Pigago, Pulau Unggas, Pulau Tamiang, dan Pulau Pangka, yang melindungi teluk Air Bangis dari terjangan langsung ombak Samudera Hindia. Lihat J. E. Teijman, Dagverhaal Eener Botanischereis over de Westkust van Sumatra, Batavia: [s.n], 1857, hal. 125-126.

16 Gusti Asnan, 2007, op.cit., hal. 27.

17 M. D. Teenstra, op.cit., hal. 350; dan S. Muller dan L. Horner, op.cit., hal. 63.

(42)

23

Di wilayah Pelabuhan Air Bangis dan juga kawasan sepanjang perairan Pantai

Barat Sumatera tidak ditemui angin musim yang berpola tetap seperti yang terjadi di

kawasan Indonesia pada umumnya. Posisi kawasan ini yang berhadapan langsung

dengan Samudera Hindia, relatif terbebas dari tekanan udara yang diakibatkan oleh

arus panas dari Benua Asia dan Benua Australia serta dibagi dua oleh garis equator

merupakan penyebab utama penyimpangan pola angin musim di kawasan ini. Daerah

Pelabuhan Air Bangis sampai ke daerah Singkel di utara merupakan daerah

perbatasan musim. Kawasan Singkil ke utara hingga posisi 2° Lintang Utara

dipengaruhi oleh angin musim barat daya dan timur laut. Angin barat daya bertiup

dengan keras antara bulan Mei hingga September. Dari bulan Desember hingga bulan

Maret bertiup angin timur laut, sedangkan antara bulan Maret hingga Mei dan bulan

September hingga Desember merupakan bulan pergantian arah angin di daerah ini.

Daerah yang terletak di selatan Air Bangis hingga Selat Sunda bertiup angin musim

Samudera Hindia, yakni musim barat laut dan tenggara. Dari bulan April hingga

Oktober di kawasan ini berhembus angin musim tenggara dan antara bulan Oktober

hingga April berhembus angin musim barat laut.19 Tingkat curah hujan di kawasan

Pelabuhan Air Bangis mencapai rata-rata 3.012 mm per tahun.20

Keterangan tentang keadaan penduduk di kawasan Air Bangis masih

fragmentaris. Pada abad XVII kawasan Air Bangis didiami oleh dua suku bangsa

19 William Marsden, Sejarah Sumatra, Jakarta: Komunitas Bambu, 2013, hal. 21-22; dan Gusti Asnan, op.cit., hal. 27-28.

(43)

24

utama yang menetap yaitu Minangkabau dan Mandailing. Di samping itu dapat pula

ditemui kelompok masyarakat yang lain seperti Aceh, Nias, Mentawai, Pak-Pak,

Toba, Arab, India, Cina, Belanda, Inggris, Prancis, dan Amerika.21 Pada periode

berikutnya kelompok masyarakat ini bertambah beragam oleh kedatangan suku

bangsa Jawa, Bugis, dan lain sebagainya.22 Kelompok masyarakat tersebut silih

berganti berdatangan ke Air Bangis dalam kegiatan perdagangan dan pelayaran.

Sumber-sumber tentang kepadatan penduduk kawasan Air Bangis pada Abad

XVII hingga XVIII sulit didapatkan. Hal ini dikarenakan kondisi kawasan Air Bangis

pada periode tersebut sering diperebutkan dan pemerintah yang berkuasa di Air

Bangis hanya mementingkan keuntungan. Hal ini tidaklah mengherankan karena

kawasan hinterland Pelabuhan Air Bangis kaya akan hasil lada dan emas.

Adapun perkiraan kepadatan penduduk yang bermukim di kawasan Pelabuhan

Air Bangis pada abad XVII hingga XVIII berkisar sekitar 3.000 jiwa.23 Data tersebut

merupakan hasil penghitungan keseluruhan penduduk tanpa membedakan etnis,

sehingga pada periode tersebut tidak didapat data tentang berapa jumlah penduduk

setempat dan pendatang.

Keberagaman etnik yang mendiami kawasan Pelabuhan Air Bangis

menyebabkan masyarakatnya hidup dalam kebersamaan. Kondisi seperti ini banyak

menimbulkan perkawinan campur, baik antar penduduk setempat maupun pendatang

21 Bernard H. M. Vlekke. Nusantara A History of Indonesia, The Hague: W. van Houve, 1965, hal. 87, 298, dan 319.

(44)

25

dengan orang asing (Eropa). Hasil kawin campur dengan orang-orang asing ini

melahirkan masyarakat baru yang sering disebut orang Indo. Kaum Indo di kawasan

Pelabuhan Air Bangis sangat banyak, dan mereka lebih cenderung berbudaya barat.

Salah satu diantara kaum Indo ini bernama Arnold Snackey, ayahnya seorang Eropa

dan ibunya anak Dt. Mudo (salah seorang penghulu di Air Bangis).24

Untuk berinteraksi dalam kegiatan perdagangan, penduduk di kawasan

Pelabuhan Air Bangis menggunakan bahasa Melayu sebagai alat komunikasi. Namun

Bahasa Melayu di kawasan Pelabuhan Air Bangis tidak seperti bahasa Melayu

umumnya karena mengalami sedikit perubahan.25 Bahasa Melayu kawasan ini

merupakan gabungan dari beberapa bahasa seperti bahasa Minangkabau, Aceh,

Mandailing, Angkola, Toba dan lain sebagainya, sehingga membentuk satu kesatuan

bahasa baru yang sampai sekarang masih tetap ada dan dikenal dengan bahasa

Melayu Pesisir. Tidak itu saja, adat Melayu yang dipakai masyarakat Air Bangis juga

mengalami perubahan dan tercipta tradisi baru.26 Perubahan budaya ini terlihat

berbeda dengan budaya Melayu pada umumnya ketika diadakan upacara-upacara adat

seperti acara perkawinan, pergantian kepala penghulu dan lain sebagainya.27

24 Rusli Amran, Padang Riwayatmu Dulu. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya Offset, 1988, hal. 38-40.

25 H. L. Osthoff, op.cit., hal. 138-139. 26 Ibid.

(45)

26

Masyarakat di Pelabuhan Air Bangis berprofesi sebagai pedagang, pelaut,

distributor dan juga ada sebagai kuli angkut barang dari pelabuhan ke daerah

hinterland. Biasanya barang yang diangkut ke daerah hinterland adalah garam, kain,

tembikar, candu dan lain sebagainya. Adapun masyarakat di daerah hinterland Air

Bangis berprofesi sebagai penambang emas, terutama daerah Rao, dan juga banyak

diantara mereka sebagai petani lada.28

2.2 Hubungan Pelabuhan Air Bangis dengan Daerah Hinterland dan Foreland.

Peranan pelabuhan sangat penting sebagai pusat aktivitas kegiatan

kemaritiman. Artinya, berbicara tentang kemaritiman tidak bisa dilepaskan dengan

masalah eksistensi dan fungsi dari pelabuhan. Ada hubungan antara pelabuhan

dengan daerah hinterland, dan foreland dalam mendukung aktivitas pelabuhan itu.29

Aktivitas sebuah pelabuhan berawal dari pertemuan antara pedagang yang

membutuhkan barang komoditi yang dimiliki oleh pedagang lain.30

Daerah hinterland dari Pelabuhan Air Bangis yaitu Ujung Gading, Simpang

Empat, Kinali, Talu, Panti, Bonjol, Rau, Muara Sipongi, dan lain sebagainya.31

Daerah hinterland ini dihubungkan oleh jalan-jalan kecil yang sering dilewati kuda

28 Gusti Asnan, “Persaingan di Pantai Barat Sumatera”, dalam Taufik Abdullah dan A. B. Lapian (eds.), Indonesia dalam Arus Sejarah, Kolonisasi dan Perlawanan, Jilid IV, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2012, hal. 46; dan H.L. Osthoff, op.cit., hal. 138-139.

29 Singgih Tri Sulistiyono, Pengantar sejarah Maritim Indonesia, Jakarta: DIKTI-DEPDIKNAS, 2004, hal. 101-103.

30 Mhd. Nur, “Kota-kota Pelabuhan Nusantara dalam Perspektif Sejarah”, dalam Ikahimsi, Edisi I, No. 2 Juli-Desember 2011, hal. 61.

(46)

27

pedati dan pejalan kaki menuju Pelabuhan Air Bangis.32 Topografi daerah hinterland

ini berbukit-bukit dan lereng gunung yang curam karena berada dalam gugusan

pegunungan Bukit Barisan.

Hubungan antara Pelabuhan Air Bangis dengan daerah hinterland terkait akan

komoditas ekspor dan impor. Komoditas impor dari pelabuhan dibawa ke daerah

hinterland untuk kepentingan masyarakat di daerah tersebut. Komoditas impor utama

meliputi garam, lilin, tembikar, minyak tanah, candu (opium)33, dan alat-alat

keperluan kapal. Adapun komoditas yang dihasilkan daerah hinterland dan diekspor

melalui Pelabuhan Air Bangis adalah berupa hasil perkebunan lada,34 kopi, kapur

barus, kemenyan, rotan, damar, dan emas.35 Secara jelas komoditas yang

diperdagangkan antara daerah pesisir dengan daerah hinterland dapat dilihat pada

tabel di bawah ini.

32 S. Muller dan L. Horner, op.cit., hal. 64-65; dan Swk., op.cit., no. 125/6.

33 Praktek menghisap candu sudah sangat umum bagi masyarakat pribumi. Penjualan candu

pada awalnya hak prerogatif kepala daerah setempat dan diawasi langsung oleh VOC. Namun periode berikutnya VOC memonopoli perdagangan candu dan orang-orang Cina dijadikan sebagai distributor candu ke daerah hinterland Sumatera. Lihat John Ball, Indonesian Legal History: British West Sumatra 1685-1825, Sydney: Oughtershaw Press, 1984, hal. 154-155.

34 Lada merupakan komoditi yang paling dicari oleh pedagang di Pantai Barat Sumatera. Kawasan hinterland Air Bangis merupakan daerah penghasil lada, dan daerah ini merupakan daerah kekuasaan Aceh. Ketika terjadi perebutan kekuasaan antara Aceh dengan VOC untuk memonopoli perdagangan lada, Aceh sebagai penguasa awal di daerah-daerah kota Pantai Barat Sumatera melarang masyarakat untuk melakukan perdagangan dengan bangsa Eropa. Aceh juga membuat kebijakan bagi masyarakat untuk membumihanguskan sebahagian kebun lada agar lada tidak banyak dipasaran. Namun hal ini tidak diindahkan orang Cina. Orang Cina yang menetap di sana masih saja menanam lada di lahan-lahan pertanian disekitar tempat tinggal mereka dan menjualnya ke pihak Eropa karena harganya jauh lebih tinggi daripada dijual kepada orang Aceh. M. Nur, dkk., op.cit., hal. 31.

(47)

28 Tabel 1.

Komoditas Perdagangan antara Daerah Pesisir dengan Hinterland

Daerah Pesisir

Atap nipah Ikan Kering Minyak tanah

Baki Kain dan Kapas Nampan

Barang-barang dari besi Kelapa Opium

Barang-barang dari kulit Kain sarung Payung

Barang-barang dari perunggu Kertas Rokok nipah

Besi Kuda Sabun

Cangkir Mata uang Terasi

Garam Minuman keras Teh

Ikan asin Minyak makan Tikar rotan

Daerah Hinterland

Barang-barang dari besi Getah percha Kopi

Barang-barang dari emas Gula enau Kulit

Barang-barang dari perak Gula merah Padi

Beras Kain tenun Tanduk

Beras pulut Kapur barus Tembakau

Daun kopi (kahwa) Kapur sirih Tembikar

Gambir Kemenyan Rotan

Emas Madu

(48)

29

Komoditas tersebut, baik yang dibawa ke daerah hinterland maupun keluar

menuju Pelabuhan Air Bangis, diangkut dengan menggunakan pedati-pedati yang

ditarik oleh kuda dan juga kerbau. Namun terdapat juga kuli panggul karena

keterbatasan pedati dari daerah hinterland, dan juga disebabkan oleh jalanan yang

rusak parah dan berlubang serta sempit dan licin.36 Keadaan ini juga disebabkan

topografi alam kawasan hinterland Air Bangis yang berbukit-bukit, sehingga

perjalanan dari daerah hinterland menuju Pelabuhan Air Bangis memakan waktu

antara 6-10 hari,37 tergantung berapa jauh daerah hinterland tersebut dengan

Pelabuhan Air Bangis.38 Komoditas yang dibawa ke Pelabuhan Air Bangis ditumpuk

di gudang penyimpanan yang ada di pelabuhan sebelum dijual kepada para pedagang

yang berasal dari luar daerah.

Hubungan Pelabuhan Air Bangis dengan daerah foreland terkait dengan

aktivitas pelayaran dan perdagangan. Daerah foreland dari Pelabuhan Air Bangis

yaitu pulau-pulau yang mengitari teluk Air Bangis seperti Pulau Panjang, Pulau

Harimau, Pulau Tello, Pulau Pigago, Pulau Unggas, Pulau Tamiang, dan Pulau Pangka, dan

pulau-pulau yang termasuk gugusan kepulauan Batu yang berada di Samudera

Hindia. Selain itu kota-kota pantai baik di selatan maupun di utara memberi peranan

penting bagi Pelabuhan Air Bangis seperti Padang, Tiku, Pariaman, Sasak, Natal, dan

Barus.

36 S. Muller dan L. Horner, op.cit., hal. 64-65. Lihat juga tulisan A. Pruys van der Houven, Een Woord Over Sumatra In Brieven Verzameld en Uitgegeven, Rotterdam: H. Nijgh, 1864, hal. 22.

37 Gusti Asnan, 2007, op.cit., hal. 30.

Gambar

Gambar 1. Pelabuhan Muara Air Bangis
Tabel 2. Komoditas Perdagangan Antar Daerah Pantai
Tabel 3. Komoditas Perdagangan Yang Dimonopoli VOC
Tabel 4
+7

Referensi

Dokumen terkait