TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI EKSISTENSI
KONSUL KEHORMATAN (HONORARY CONSUL) DALAM HUBUNGAN
KONSULER (STUDI KASUS: KONSUL KEHORMATAN JERMAN DI MEDAN)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
OLEH: KANIA SYAFIZA
NIM: 090200116
DEPARTEMEN : HUKUM INTERNASIONAL
Disetujui Oleh:
KETUA DEPATEMEN HUKUM INTERNASIONAL
Arif,S.H.,M.Hum. NIP. 196403301993031002
Pembimbing I Pembimbing II
Arif,S.H.,M.Hum. Dr. Jelly Leviza S.H.,M.Hum NIP. 196403301993031002 NIP. 197308012002121002
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI EKSISTENSI
KONSUL KEHORMATAN (HONORARY CONSUL) DALAM HUBUNGAN
KONSULER (STUDI KASUS: KONSUL KEHORMATAN JERMAN DI MEDAN)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir
Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
KANIA SYAFIZA
090200116
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur Penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya yang begitu besar kepada Penulis
sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Demikian juga
shalawat beriring salam disampaikan kepada Rasulullah SAW yang telah
membimbing manusia ke alam kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan.
Penulisan skripsi yang berjudul : “TINJAUAN HUKUM
INTERNASIONAL MENGENAI EKSISTENSI KONSUL KEHORMATAN
(HONORARY CONSUL) DALAM HUBUNGAN KONSULER (STUDI
KASUS: KONSUL KEHORMATAN JERMAN DI MEDAN)”, adalah guna memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Dalam melaksanakan penulisan skripsi ini bukanlah merupakan pekerjaan
yang ringan seperti membalikkan telapak tangan. Penulisan skripsi ini dapat
terselesaikan tidak terlepas berkat adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak. Untuk itulah pada kesempatan ini penulis mengucapkaln terima kasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H.,M.Hum. selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara atas dukungan yang besar terhadap
seluruh mahasiswa/i di dalam lingkungan Kampus Fakultas Hukum
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting,S.H.,M.Hum. selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan,S.H.,M.H.,DFM selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Muhammad Husni,S.H.,M.H,selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Arif,S.H.,M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Internasional
dan Dosen Pembimbing I. Penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak
atas bantuan dan serta dukungannya selama penulisan skripsi ini.
6. Bapak Dr. Jelly Leviza,S.H.,M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum
Internasional dan Dosen Pembimbing II. Penulis mengucapkan terimakasih
sebesar-besarnya atas segala bantuan dan bimbingan serta dukungannya
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
7. Bapak Liliek Darmadi,Dipl.Ing.,MM selaku Konsul Kehormatan Jerman di
Medan yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan
riset di Konsulat Kehormatan Jerman di Medan, serta terima kasih atas
segala informasi dan penjelasan yang diberikan dalam penyelesaian skripsi
ini.
8. Ibu Adeline Tampubolon selaku Sekretaris Konsul Kehormatan Jerman di
Medan yang telah banyak memberikan informasi mengenai pengalamannya
9. Heike Larissa Tampubolon,S.H. “my partner in crime” dari jaman SD ‘til
the end of time’. Dari memburu Dracula sampai menghadapi samurai jaman
Heian akan kita lakukan bersama.
10. Teman-teman yang telah bersedia menjadi teman Penulis yang ‘weird’
ini. Ayu Ananda Tarigan sang penginspirasi sedunia,Rabithah Khairul,S.H.
sang otak komplotan, Oky Wiratama Siagian,S.H. sang hero pencinta
demokrasi yang terkadang tanpa disadari lebih cendrung bersikap diktator,
Yulistia sang stylist yang selalu matching up to toe,Rahmi Pambhpa Patrecia
sang informan merangkap ahli gaib yang muncul tiba-tiba,Natalia Gracia
Sinaga the semi-invincible woman antara ada dan tiada tapi pengetahuannya
luas seperti koran, Christina Waruwu,S.H. the sharp tongue and mind yang
selalu pulang satu jurusan dengan Penulis, dan Andini Pratiwi Siregar yang
selalu unik. Semoga kita semua berteman selamanya.
Dalam kesempatan ini juga Penulis ingin berterimakasih kepada
saudara-saudara kandung penulis, M. Ibnu Hidayah dan M. Faqih Akbar. You guys rock,
really.
Akhirnya Penulis sampaikan terimakasih yang tiada tara disertai dengan doa
nan tulus Penulis untuk segala bantuan, doa, restu, motivasi,kasih sayang,
pengorbanan dan kesabaran yang telah diberikan orang tua tercinta yaitu
Ayahanda Iskandar S.H.,M.H. dan Ibunda Aziarni S.H.,M.H. yang telah menjadi
pemicu semangat bagi anakmu untuk berusaha semaksimal mungkin dalam
Sesuai dengan pepatah,”Tiada gading yang tak retak”, yang berarti Penulis
juga menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
dengan segala kerendahan hati Penulis mengharap kritik dan saran dari pembaca
sekalian demi menuju tulisan ini kearah yang lebih baik.
Akhir kata,Penulis berharap semoga skripsi ini dapat membawa manfaat
bagi perkembangan ilmu pengetahuan,khususnya pengetahuan ilmu hukum,Amin.
Terima Kasih.
Hormat saya, Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI...v
ABSTRAK...viii
BAB I PENDAHULUAN...1
A. Latar Belakang...1
B. Perumusan Masalah...9
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan...9
D. Keaslian Penelitian...10
E. Tinjauan Pustaka...11
F. Metode Penelitian...17
G. Sistematika Penulisan...20
BAB II KAITAN ANTARA HUBUNGAN KONSULER DENGAN KONSUL KEHORMATAN...21
A. Sejarah Hubungan Konsuler...22
1. Sebelum Konvensi Wina 1963...22
2. Lahirnya Konvensi Wina 1963...27
B. Pembukaan Hubungan Konsuler...29
C. Klasifikasi Pejabat Konsuler Menurut Konvensi Wina 1963...35
D. Pengangkatan Konsul Kehormatan...38
1.Pembukaan Konsulat Kehormatan Jerman di Medan...43
2. Pengangkatan Konsul Kehormatan Jerman di Medan...48
3. Hal-hal Operasional dalam Hubungan Konsuler Oleh Konsul Kehormatan Jerman di Medan……...……53
BAB III PERANAN PERWAKILAN KONSULER...55
A. Mulainya Tugas dan Fungsi Perwakilan Konsuler...55
B. Berakhirnya Tugas dan Fungsi Perwakilan Konsuler...57
C. Tugas dan Fungsi Perwakilan Konsuler...62
D.Berbagai Kelonggaran Pelaksanaan Tugas & Fungsi Perwakilan Konsuler...72
E. Tugas & Fungsi Konsul Kehormatan Jerman di Medan dalam Hubungan Konsuler...75
BAB IV ASPEK KEISTIMEWAAN DAN KEKEBALAN...81
A. Keistimewaan dan Kekebalan Perwakilan Konsuler...81
B. Keistimewaan dan Kekebalan Anggota Perwakilan Konsuler...92
C. Mulai dan Berakhirnya Keistimewaan dan Kekebalan Pejabat Konsuler...103
E. Kekebalan dan Keistimewaan Yang Diperoleh Konsul Kehormatan
Jerman di Medan dalam Menjalankan Tugas dan
Fungsinya...110
BAB V PENUTUP...113
A. Kesimpulan...113
B. Saran...115
DAFTAR PUSTAKA...117 LAMPIRAN
ABSTRAK Kania Syafiza*
Arif,S.H.,M.Hum**
Dr. Jelly Leviza,S.H.,M.Hu m***
Dalam pelaksanaan hubungan damai antarnegara,secara umum selain ditandai dengan pembukaan hubungan diplomatik juga diikuti dengan pembukaan hubungan konsuler. Hubungan diplomatik bersifat politis sedangkan hubungan konsuler bersifat non-politis dan cenderung mengurus masalah administratif dan komersial. Untuk melaksanakan fungsi kekonsuleran di negara asing yang mengadakan hubungan konsuler dengannya, suatu negara mengangkat pejabat konsuler. Konvensi Wina 1963 mengklasifikasikan dua jenis pejabat konsuler, yaitu Pejabat Konsuler Karir dan Pejabat Konsuler Kehormatan. Indonesia dan Jerman secara resmi telah mengadakan hubungan diplomatik sejak tahun 1952 dan pada saat ini perwakilan Jerman di Indonesia terdiri dari satu Kedutaan Besar dan tiga Konsul Kehormatan,yang salah satunya terdapat di Medan.
Melihat pada hal tersebut di atas,yang menjadi permasalahannya adalah bagaimana ruang lingkup tugas Konsul Kehormatan Jerman di Medan, bagaimana tugas dan fungsinya serta bagaimana pula kekebalan dan keistimewaan yang diperolehnya.
Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dimana penelitian ini dilakukan untuk melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan-peraturan mengenai hubungan konsuler yang berlaku, baik hukum internasional maupun hukum nasional. Selain itu penelitian pada penulisan ini adalah penelitian deskriptif analitis untuk menentukan isi dan makna aturan hukum dan menjabarkan fakta secara sistematis, faktual, dan akurat.
memiliki pengaturan tersendiri tentang pemberian kekebalan dan keistimewaan terhadap Konsul Kehormatan.
Untuk itu disarankan demi alasan penghematan dan efisensi, pengangkatan konsul kehormatan dapat dijadikan pilihan yang tepat oleh negara-negara yang
ingin membuka perwakilan konsuler pada masa sekarang ini. Dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya, Konsul Kehormatan Jerman di Medan dapat meningkatkan perannya sebagai penghubung kegiatan bisnis antara Jerman dan Indonesia. Oleh karena itu dalam hal pemberian kekebalan dan keistimewaan terhadap Konsul Kehormatan seharusnya Indonesia dan Jerman membuat suatu perjanjian khusus mengenai hal tersebut agar lebih menjamin seorang konsul
ABSTRAK Kania Syafiza*
Arif,S.H.,M.Hum**
Dr. Jelly Leviza,S.H.,M.Hu m***
Dalam pelaksanaan hubungan damai antarnegara,secara umum selain ditandai dengan pembukaan hubungan diplomatik juga diikuti dengan pembukaan hubungan konsuler. Hubungan diplomatik bersifat politis sedangkan hubungan konsuler bersifat non-politis dan cenderung mengurus masalah administratif dan komersial. Untuk melaksanakan fungsi kekonsuleran di negara asing yang mengadakan hubungan konsuler dengannya, suatu negara mengangkat pejabat konsuler. Konvensi Wina 1963 mengklasifikasikan dua jenis pejabat konsuler, yaitu Pejabat Konsuler Karir dan Pejabat Konsuler Kehormatan. Indonesia dan Jerman secara resmi telah mengadakan hubungan diplomatik sejak tahun 1952 dan pada saat ini perwakilan Jerman di Indonesia terdiri dari satu Kedutaan Besar dan tiga Konsul Kehormatan,yang salah satunya terdapat di Medan.
Melihat pada hal tersebut di atas,yang menjadi permasalahannya adalah bagaimana ruang lingkup tugas Konsul Kehormatan Jerman di Medan, bagaimana tugas dan fungsinya serta bagaimana pula kekebalan dan keistimewaan yang diperolehnya.
Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dimana penelitian ini dilakukan untuk melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan-peraturan mengenai hubungan konsuler yang berlaku, baik hukum internasional maupun hukum nasional. Selain itu penelitian pada penulisan ini adalah penelitian deskriptif analitis untuk menentukan isi dan makna aturan hukum dan menjabarkan fakta secara sistematis, faktual, dan akurat.
memiliki pengaturan tersendiri tentang pemberian kekebalan dan keistimewaan terhadap Konsul Kehormatan.
Untuk itu disarankan demi alasan penghematan dan efisensi, pengangkatan konsul kehormatan dapat dijadikan pilihan yang tepat oleh negara-negara yang
ingin membuka perwakilan konsuler pada masa sekarang ini. Dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya, Konsul Kehormatan Jerman di Medan dapat meningkatkan perannya sebagai penghubung kegiatan bisnis antara Jerman dan Indonesia. Oleh karena itu dalam hal pemberian kekebalan dan keistimewaan terhadap Konsul Kehormatan seharusnya Indonesia dan Jerman membuat suatu perjanjian khusus mengenai hal tersebut agar lebih menjamin seorang konsul
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Lembaga konsuler2 menurut sejarah telah ada lebih dulu dibanding lembaga
diplomatik. Lembaga konsuler bahkan telah ada sejak zaman Yunani Kuno,
dimana kegiatan-kegiatan perdagangan yang mulai berkembang pesat di city
states Yunani dapat dikatakan sebagai cikal bakal lahirnya lembaga konsuler.
Pada saat itu dikenal istilah proxenia yaitu semacam pejabat negara (warga negara
terkemuka) yang bertugas dan bertanggung jawab atas penduduk asing yang
berdudukan di suatu city state.3 Sementara di zaman Romawi dikenal istilah
konsul untuk sebagai peran yaitu hakim-hakim khusus bagi pedagang asing pada
abad ke-12. Keberadaan perwakilan konsuler pada masa itu memiliki fungsi yang
cukup luas dimana para konsul mempunyai wewenang sipil dan kriminal terhadap
warga mereka.
Sistem modern lembaga konsul baru dimulai sejak abad ke-16.4 Pada abad
ke-18 fungsi perwakilan konsuler telah mengalami berbagai penyesuaian sehingga
tidak jauh berbeda dengan fungsi perwakilan konsuler modern yang kita kenal
pada saat ini yaitu mengurus berbagai kegiatan perdagangan,transportasi dan
warga negara mereka.5
Pada masa pasca Perang Dunia II dimana banyak terjadi perubahan yang
menyebabkan hubungan antar subjek hukum internasional semakin berkembang
dan kompleks, meskipun banyak subjek hukum internasional baru bermunculan,
namun yang paling utama diperhatikan tetaplah negara dan hubungan negara satu
sama lain maupun dengan subjek hukum internasional lainnya. Hal ini karena
negara dianggap sebagai subjek hukum internasional penuh.6 Selain itu berbagai
perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempengaruhi
berbagai aspek seperti ekonomi, sosial, politik, hukum dan budaya. Berbagai
perkembangan tersebut juga dapat memberi dampak tertentu terhadap hubungan
antarnegara dalam hal kerja sama dan saling ketergantungan sehingga diperlukan
seperangkat aturan hukum dalam mengatur hubungan antarnegara.
Hukum internasional yang mengatur hubungan antarnegara berasal dari
hukum kebiasaan yang dapat ditemukan dalam praktik pelaksanaan hubungan
antar bangsa yang telah ada bahkan jauh sebelum istilah hukum internasional
dikenal. Pada akhirnya setelah melewati proses yang panjang, praktik-praktik
kebiasaan ini dikodifisikan dalam bentuk peraturan-peraturan tertulis hingga
sampai dalam bentuk konvensi-konvensi yang kita kenal saat ini yaitu Vienna
Convention on Diplomatic Relations 1961 (Konvensi Wina tentang Hubungan
5 Boer Mauna,Huk um Internasional Pengertian,Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamik a
Global, P.T.Alumni,Bandung,2011,hal.573.
6 Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Huk um Internasional, P.T. Alumni,
Diplomatik 1961) dan Vienna Convention on Consular Relations 1963 (Konvensi
Wina tentang Hubungan Konsuler 1963). Kedua konvensi ini juga diikuti dengan
protokol-protokol tambahannya selain konvensi-konvensi pendukung antara lain
Convention on Special Mission (Konvensi tentang Misi Khusus) pada tahun 1969
dan Convention on Prevention and Punishment of Crimes against Internationally
Protected Persons,including Diplomatic Agents (Konvensi mengenai Pencegahan
dan Penghukuman Kejahatan terhadap Orang-orang yang menurut Hukum
Internasional dilindungi termasuk Para Diplomat) pada tahun 1971.
Hubungan antar negara secara umum dibagi dalam dua lembaga yaitu
lembaga diplomatik dan lembaga konsuler. Seperti telah disebutkan di
atas,lembaga konsuler telah ada terlebih dahulu dibanding lembaga diplomatik.
Keduanya sama-sama mengurus hubungan antar negara di luar yurisdiksi nasional
yang pelaksanaannya berasal dari kebiasaan-kebiasaan internasional.
Perbedaannya, lembaga diplomatik mengurus bidang politis sementara lembaga
konsuler mengurus bidang-bidang nonpolitis. Meskipun demikian, keduanya tetap
mempunyai garis singgung karena dalam praktik antara urusan perwakilan
diplomatik dengan perwakilan konsuler sering terjadi pembauran7. Pembukaan
hubungan diplomatik dalam prinsipnya juga berarti persetujuan pembukaan
hubungan konsuler,kecuali secara spesifik tidak dinyatakan demikian.8 Tetapi
7 Widodo,op.cit,hal.24.
pemutusan hubungan diplomatik,tidak secara otomatis juga berarti pemutusan
hubungan konsuler.9
Kesepakatan antarnegara yang bersangkutan menjadi dasar bagi pembukaan
hubungan konsuler. Hal ini ditegaskan dalam Konvensi Wina Tahun 1963 tentang
Hubungan Konsuler Pasal 2 ayat 1, yang menyatakan bahwa pelaksanaan
hubungan konsuler antarnegara harus didasari oleh kesepakatan bersama.10 Kata
‘mutual consent’ dapat dijelaskan sebagai kesepakatan atau persetujuan bersama
timbal balik antara negara-negara yang hendak membuka hubungan konsuler.Hal
ini tidak berbeda dengan pembukaan hubungan diplomatik. Dapat diartikan bahwa
suatu negara tidak berkewajiban menerima perwakilan konsuler dari negara
asing,begitu juga suatu negara tidak dapat memaksakan negara lain untuk
menerima perwakilan konsulernya. Agar hubungan konsuler antarnegara dapat
terlaksana,maka negara-negara yang bersangkutan harus memliki kesepakatan
satu sama lain terlebih dahulu untuk membuka hubungan konsuler.
Dalam menjalankan fungsi-fungsi hubungan konsuler,setelah pembukaan
hubungan konsuler maka biasanya diikuti oleh pembukaan Kantor Konsuler dan
pengangkatan Pejabat Konsuler. Mengenai Pejabat Konsuler sendiri, dalam Pasal
1 ayat (2) Konvensi Wina 1963 terdapat dua pembagian besar yaitu
Pejabat-pejabat Konsul Karier/Tetap (career consular officer) dan Pejabat-pejabat Konsul
Kehormatan (honorary consular officer). Hal ini merupakan salah satu perbedaan
antara Pejabat Konsuler dengan Pejabat Diplomatik. Dalam hubungan konsuler
diperbolehkan adanya Pejabat-pejabat Konsuler Kehormatan,sementara dalam
hubungan diplomatik tidak dibenarkan yang demikian.
Meskipun dalam Konvensi Wina 1963 tidak memberikan secara jelas
batasan dan perbedaan antara Pejabat Konsuler Karir dengan Pejabat Konsul
Kehormatan,secara umum,terdapat 4 pokok perbedaan antara keduanya,yaitu:11
1. Konsul karier merupakan pegawai tetap dari negara pengirim,karena itu
diangkat dari warga negara pengirim dan berstatus sebagai pegawai tetap
departemen luar negeri negara pengirim.Sedangkan Konsul kehormatan
biasanya tidak diangkat dari warga negara pengirim,tetapi cukup
diangkat dari warga negara penerima atau warga negara pihak ketiga
sehingga mungkin berprofesi sebagai pedagang atau pengusaha dan
bukan merupakan pegawai tetap negara pengirim.Berdasar pada cara
pemberian kontra prestasi atas pengabdiannya,konsul karier mendapat
gaji,tunjangan dan pensiun dari negara pengirim,sedangkan konsul
kehormatan hanya memperoleh honorarium sehingga konsul kehormatan
sering juga disebut konsul honorer.
2. Konsul karier membayar pajak pada negara pengirim,dan dalam rangka
menunaikan tugas resminya konsul yang berstatus ini tidak boleh
melakukan tugas lain (usaha sampingan) kecuali sebagaimana yang
ditugaskan padanya.Konsul kehormatan membayar pajak pada negara
penerima dan konsul berstatus honorer boleh menjalankan profesi lain
selain membantu negara pengirim perwakilan konsuler.
3. Konsul karier beserta sanak keluarganya yang memenuhi persyaratan
sebagaimana yang ditentukan hukum yang berlaku memperoleh
kekebalan dan keistimewaan di negara penerima, sedangkan konsul
kehormatan beserta sanak keluarganya tidak memperoleh kekebalan dan
keistimewaan.
4. Pertukaran dan/atau pengiriman tas konsuler (consuler bag) antara dua
kantor perwakilan konsuler-konsuler yang dipimpin oleh pejabat-pejabat
berstatus konsul kehormatan,tidak diperkenankan kecuali sudah ada
persetujuan antara negara penerima perwakilan konsuler. Sedangkan
pada perwakilan yang dipimpin oleh konsul karier,pertukaran dengan
pola semacam itu tidak dipermasalahkan.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan tersebut di atas,kantor konsuler yang
dipimpin oleh Pejabat Konsul Kehomatan,pada dasarnya memiliki tugas dan
fungsi yang tidak jauh berbeda dengan kantor konsuler yang dipimpin Pejabat
Konsul Karir. Apabila ditelaah lebih lanjut,Konsul Kehormatan memiliki peran
yang serupa dengan proxenia pada zaman Yunani Kuno yang telah ada hampir
1000 tahun lebih dulu dari Konsul Karir. Tidak salah apabila Konsul Kehormatan
dapat dianggap sebagai ‘ibu’ dari institusi konsuler.
Dalam praktik sekarang ini, banyak negara-negara kecil dan berkembang
mengadakan hubungan konsuler dengan mengangkat konsul kehormatan. Namun
demikian beberapa negara besar juga melaksanakan hubungan konsuler dengan
membuka kantor perwakilan konsuler yang dikepalai oleh Pejabat Konsul
dianggap sedang mengalami masa kebangkitan kembali atau istilahnya
renaissance sebagai dampak dari perkembangan berkelanjutan di bidang
komunikasi secara besar-besaran di satu sisi dan pengurangan penanaman
anggaran di bidang pelayanan-pelayanan diplomatik di sisi lain.12 Dari segi
ekonomi, dimana pengangkatan Konsul Kehormatan dirasakan jauh lebih hemat
dibanding membuka Kantor Konsulat yang dikepalai Pejabat Konsul Karir.
Jerman merupakan salah satu negara besar yang memiliki banyak
perwakilan konsuler yang dikepalai oleh Konsul Kehormatan di berbagai negara.
Jerman memiliki 229 Perwakilan di luar negeri berupa; 153 Kedutaan, 55
Konsulat Jendral dan Konsulat, 12 Misi-misi Permanen dan 3 misi lainnya. Selain
itu, sejauh ini Jerman juga memiliki 346 Konsul Kehormatan yang tidak digaji
(unpaid Honorary Consul).13 Sementara untuk perwakilan Jerman di Indonesia, terdiri dari Kedutaan Besar Jerman dan beberapa Konsulat Kehormatan yang
terletak di Medan,Bali,dan Surabaya.14 Dari sini kita dapat mengetahui bahwa
lembaga Konsul Kehormatan sangat besar peranannya bagi Jerman dalam
mengadakan hubungan konsulernya.
Indonesia sendiri mengakui keberadaan Konsul Kehormatan dalam
hubungan konsuler. Selain telah meratifikasi Konvensi Wina Tahun 1963 dengan
Undang-Undang No.1 Tahun 1982, yang berarti sesuai dengan konvensi yang
membedakan antara Pejabat Konsul Karir dengan Pejabar Konsul
12 http://pfeiffer-klestil.com/honorary-consulate/ diakses tanggal 20 Februari 2013
13 http://www.auswaertiges -amt.de/EN/AAmt/Auslandsvertretungen/Uebersicht_node.html diakses tanggal 20 Februari 2013.
14http://www.auswaertiges
Kehormatan,Indonesia juga mengakui pembedaan tersebut. Selanjutnya dalam
instrumen hukum nasional,Indonesia juga mengakui lembaga Konsul Kehormatan
dengan disebutkannya mengenai Konsul Jendral Kehormatan atau Konsul
Kehormatan dalam Pasal 38 Undang-Undang No.37 Tahun 1999 tentang
Hubungan Luar Negeri15 dan Keputusan Presiden No.108 Tahun 2003 tentang
Organisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri.16
Indonesia juga telah mengangkat 64 Konsul Kehormatan.17
Selanjutnya,dalam upaya memahami eksistensi Konsul Kehormatan dalam
hubungan konsuler,penulis mengambil contoh pada Konsul Kehormatan Jerman
di Medan. Untuk mengetahui segala sesuatu mengenai pelaksanaan hubungan
konsuler oleh Konsul Kehormatan yang diatur oleh hukum internasional maupun
hukum nasional,melalui pelaksanaan hubungan konsuler antara Jerman dengan
Indonesia selama ini melalui salah satu perwakilan konsuler Republik Federal
Jerman di Indonesia,tepatnya di Medan Sumatera Utara yang dikepalai oleh
Konsul Kehormatan.
15 UU No.37 Tahun 1999 Pasal 38 bunyinya;
(1) Presiden menandatangani Surat Tauliah bagi seorang Konsul Jenderal Kehormatan atau Konsul Kehormatan Republik Indonesia yang diangkat guna melaksanakan tugas konsuler untuk suatu wilayah tertentu pada suatu negara asing.
(2) Presiden menerima Surat Tauliah seorang Konsul Jenderal Kehormatan atau Konsul Kehormatan asing yang bertugas di Indonesia serta mengeluarkan eksekuatur.
16 Ketentuan Umum Pasal 1 poin 14 Kepres No.108 Tahun 2003,bunyinya; “Konsul Jenderal Kehormatan dan Konsul Kehormatan adalah Warga Negara Penerima yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Luar Negeri yang memiliki kualifikasi tertentu untuk melaksanakan fungsi kekonsuleran dan/atau fungsi promosi di wilayah Negara Penerima.” Dan Pasal 27 yang bunyinya; “Pengangkatan Konsul Jenderal Kehormatan dan Konsul Kehormatan ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usul Menteri Luar Negeri.”
B.Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang di atas, adapun yang menjadi pokok
permasalahan dari penelitian ini adalah :
1. Bagaimana ruang lingkup hubungan konsuler oleh Konsul
Kehormatan Jerman di Medan?
2. Bagaimana tugas dan fungsi Konsul Kehormatan Jerman di Medan
dalam hubungan konsuler?
3. Bagaimana kekebalan dan keistimewaan yang diperoleh Konsul
Kehormatan Jerman di Medan dalam menjalankan tugas dan
fungsinya?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Sesuai dengan judul pokok permasalahan yang akan dibahas,maka tujuan
dari penelitian dan penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui ruang lingkup hubungan konsuler oleh Konsul
Kehormatan Jerman di Medan.
2. Untuk mengetahui tugas dan fungsi Konsul Kehormatan Jerman di
Medan dalam hubungan konsuler?
3. Untuk mengetahui kekebalan dan keistimewaan yang diperoleh
Konsul Kehormatan Jerman di Medan dalam menjalankan tugas dan
Sedangkan manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang penulis lakukan
ini antara lain sebagai berikut :
1. Secara teoritis.
Hasil penelitian ini akan melahirkan beberapa konsep ilmiah yang
pada suatu saat memberikan sumbangan pemikiran bagi
perkembangan ilmu hukum,khususnya yang berkaitan dengan
eksistensi Konsul Kehormatan dalam hubungan konsuler.
2. Secara praktis
a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum,Institusi
Pemerintah dan Penegak Hukum di kalangan masyarakat.
b. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan
dengan penegakan hukum maupun perkembangan ilmu
hukum.
c. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk
menambah wawasan dalam bidang ilmu hukum,khususnya
yang berkaitan dengan eksistensi Konsul Kehormatan dalam
hubungan konsuler.
D. Keaslian Penelitian
Adapun judul dari skripsi ini adalah “TINJAUAN HUKUM
INTERNASIONAL MENGENAI EKSISTENSI KONSUL KEHORMATAN
(HONORARY CONSUL) DALAM HUBUNGAN KONSULER (STUDI KASUS :
ini dititikberatkan untuk melihat eksistensi Konsul Kehormatan dalam
pelaksanaan hubungan konsuler yang ditinjau menurut Hukum Internasional.
Berdasarkan penelitian dan pemeriksaan terhadap inventarisasi skripsi di
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang dilakukan oleh
penulis,ada beberapa skripsi yang membahas mengenai hubungan konsuler,namun
dengan redaksi judul yang berbeda dan pendekatan sudut pandang yang berbeda
pula,sehingga dengan kata lain judul ini belum pernah ditulis sebelumnya.
E. Tinjauan Pustaka
Definisi Hukum Internasional dapat disimpulkan sebagai seperangkat sistem
yang terdiri dari aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang mengatur hubungan
internasional antara negara-negara berdaulat maupun subjek-subjek hukum
internasional lainnya.18 Lebih singkat lagi, Steven Wheatley menyatakan Hukum
Internasional biasanya dianggap oleh para praktisi Hukum Internasional sebagai
hukum yang diterapkan antara negara-negara. Perhatian utamanya adalah hak dan
kewajiban negara-negara.Namun definisi-definisi singkat di atas belum cukup
rasanya untuk memahami Hukum Internasional dengan lebih mendalam apabila
tidak diikuti oleh definisi-definisi lainnya oleh para pakar Hukum Internasional
yang lebih mendetail dan spesifik.
Untuk pertama, definisi Hukum Internasional oleh J.G. Starke yang dapat
melampaui batasan tradisional hukum internasional menyebutkan bahwa Hukum
Internasional sebagai keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara-negara
merasa dirinya terikat untuk menaati, dan karenanya, benar-benar ditaati secara
umum dalam hubungan-hubungan mereka satu sama lain,dimana hubungan
tersebut meliputi19:
1. Kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya
lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan mereka satu
sama lain, dan hubungan mereka dengan negara-negara dan
individu-individu.
2. Kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu
dan badan-badan non-negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu
dan badan non-negara tersebut penting bagi masyarakat internasional.
Pada hakikatnya Hubungan Internasional dari segi subjeknya memiliki
beberapa pembagian. Hubungan Internasional dapat berwujud dalam berbagai
bentuk yaitu 20:
1) Hubungan individual, misalnya turis, mahasiswa, sarjana, pedagang dan
sebagainya, mempunyai kepentingan yang tersebar di dunia ini. Mereka
mengadakan kontak-kontak pribadi sehingga timbul kepentingan timbal
balik di antara mereka.
2) Hubungan antar kelompok (inter group relations) misalnya
lembaga-lembaga sosial, keagamaan, atau perdagangan dan sebagainya, dapat
19 J.G. Starke, Pengantar Huk um Internasional Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal 3.
pula mengadakan hubungan baok yang bersifat insidental,periodik,
maupun permanen.
3) Hubungan antar negara. Negara adalah kelompok yang terdiri dari
individu- individu dengan ciri-ciri yang sangat khusus.
Ada beberapa pembagian terhadap subjek Hukum Internasional oleh
Mochtar Kusumatmadja,yang terdiri dari 21:
1. Negara
2. Takhta Suci (Vatican)
3. Palang Merah Internasional
4. Organisasi Internasional
5. Orang perorangan (individu)
6. Pemberontak dan pihak dalam sengketa (belligerent)
Negara sendiri menurut Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 yang telah
dipandang sebagai prinsip-prinsip hukum umum tentang keberadaan suatu negara
menurut Hukum Internasional,mengemukakan 4 (empat) unsur-unsur negara
terdiri dari :
1. Adanya penduduk yang tetap (a permanent population)
2. Memiliki wilayah yang jelas (a defined territory)
3. Adanya pemerintah (a government)
4. Adanya kemampuan untuk melakukan kerjasama dengan
negara-negara lainnya (a capacity to enter into relations with other states)
Hubungan konsuler bahkan telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno sebelum
dikenalnya istilah negara ,dimana dalam kegiatan perdagangan antar city-states
(negara kota) diangkatlah proxenia, yaitu semacam pejabat atau warga terkemuka
yang dipercayakan oleh suatu negara asing untuk melindungi warga negaranya di
wilayah negara proxenia itu sendiri. Praktek ini terus berlanjut hingga zaman
Romawi. Pada bagian kedua abad ke-18,dengan pesatnya perkembangan
perdagangan internasional,perkapalan dan pelayaran,perkembangan peranan
lembaga konsuler semakin meningkat hingga keberadaan dan peranannya tidak
berbeda dengan lembaga konsuler modern yang dikenal sekarang.
Mengenai pengaturan hubungan konsuler, sejak semula dapat dikatakan
pengaturan tersebut berasal dari persetujuan-persetujuan bilateral antarnegara
yang berkepentingan. Untuk menlengkapi persetujuan-persetujuan tersebut,
banyak negara yang membuat peraturan perundang-undangan nasional yang
kemudian diikuti dengan lahirnya kebiasaan umum yang berasal dari
ketentuan-ketentuan bilateral ataupun unilateral oleh negara-negara tersebut.22
Setelah berakhirnya Perang Dunia II,Komisi Hukum Internasional, mulai
tahun 1955,melakukan kodifikasi tentang hubungan konsuler. Pada tahun 1963
diadakan konferensi kodifikasi di Wina yang merupakan lanjutan dari penerimaan
Konvensi Hubungan Diplomatik tahun 1961 dan pada 24 April 1963 lahirlah
Konvensi Hubungan Konsuler yang mulai berlaku bulan Maret 1967.Indonesia
telah meratifikasi Konvensi tersebut dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1982.23
22 Gerhard von Glahn, Law Among Nations, Seventh Edition,MacMillan Publishing Inc,New York,1996, hal.446.
Pasal 1 ayat (1) Konvensi Wina 1963 memberikan batasan-batasan istilah
yang digunakan dalam konvensi tersebut antara lain:
1. Kantor Konsuler, yaitu suatu Konsulat Jenderal, Konsulat, Wakil
Konsulat (Konsul Muda), atau Perwakilan Konsulat;
2. Wilayah Konsuler, adalah wilayah yang ditetapkan untuk kantor
konsulat dalam menjalankan fungsi resminya;
3. Kepala Kantor Konsuler adalah orang yang diberi tugas untuk bertindak
dalam kapasitasnya sebagai kepala kantor konsuler;
4. Pejabat Konsuler adalah setiap orang, termasuk kepala kantor konsuler
yang diberi kepercayaan dalam kapasitasnya masing-masing untuk
melaksanakan fungsi-fungsi konsuler;
5. Pegawai Konsuler adalah setiap orang yang bekerja dalam pelayanan
teknik atau administratif pada suatu kantor konsuler;
6. Anggota Staf Pelayan adalah setiap orang yang bekerja dalam
pelayanan domestik (dalam negeri negara penerima) dari suatu kantor
konsuler;
7. Anggota-Anggota Kantor Konsuler adalah pejabat-pejabat konsuler dan
anggota-anggota staf pelayan;
8. Anggota-Angota Staf Konsuler adalah pejabat-pejabat konsuler selain
kepala kantor konsuler, pegawai-pegawa konsuler dan anggota –
anggota staf pelayan;
9. Anggota Staf Pribadi adalah setiap orang yang bekerja secara khusus
10. Gedung Konsuler adalah bangunan-bangunan (gedung-gedung) atau
bagian dari bangunan tersebut dan tanah-tanah yang mendukungnya
dengan tanpa memandang status kepemilikannya yang dapat digunakan
secara khusus untuk tujuan-tujuan kantor konsuler;
11. Arsip-Arsip Konsuler adalah semua naskah,dokumen, surat-menyurat,
buku, film,pita (kaset) dan berbagai daftar dari kantor konsuler,
termasuk sandi-sandi dan kode-kode, kartu indeks, dan setiap barang
yang dimaksudkan untuk melindungi dan menjaga keselamatan
benda-benda tersebut.
Pejabat Konsuler Kehormatan merupakan salah satu dari dua pembagian
terhadap Pejabat Konsuler yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 2 Konvensi Wina
1963,satunya lagi adalah Pejabat Konsuler Karir,dan pengaturan diantara
keduanya dibedakan. Ketentuan mengenai Kantor Konsuler yang dikepalai
Pejabat Konsuler Karir diatur dalam Chapter II Konvensi Wina 1963, sedangkan
terhadap Kantor Konsuler yang dikepalai Pejabat Konsuler
Kehormatan,ketentuannya diatur dalam Chapter III Konvensi Wina 1963. Status
bagi anggota Kantor Konsuler yang merupakan warga negara atau penduduk tetap
negara penerima diatur dalam Pasal 71 Konvensi Wina 1963.
Pengaturan mengenai hubungan konsuler dalam produk hukum nasional
terdapat dalam Undang Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri dan Keputusan Presiden No.108 Tahun 2003 tentang Organisasi
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini,metode penelitian diperlukan agar lebih terarah
dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif. Metode penelitian yuridis
normatif digunakan dalam penelitian ini guna melakukan penelusuran terhadap
norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan-peraturan mengenai
hubungan konsuler yang berlaku, baik hukum internasional maupun hukum
nasional. Selain itu juga untuk memperoleh data maupun keterangan yang terdapat
dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, situs internet,
koran, dan sebagainya.24
Penggunaan metode yuridis normatif dimaksudkan untuk meneliti berbagai
bacaan yang mempunyai sumber relevansi dengan judul skripsi ini yang dapat
diambil secara teoritis ilmiah sehingga dapat menganalisa permasalahan yang
dibahas dalam skripsi ini. Penelitian hukum normatif seringkali hukum
dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan
atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah berpatokan pada perilaku manusia yang
dianggap pantas.25
24 Sunaryati Hartono, Penelitian Huk um di Indonesia Pada Ak hir Abad k e -20,Penerbit Alumni, Bandung,1994,hal. 139.
2. Sumber Data
Pada umumnya dalam penelitian,dikenal tiga jenis alat pengumpulan data
yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan
wawancara atau interview.
Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah berupa data
primer yang diperoleh dari penelitian lapangan yang diperoleh dengan melakukan
wawancara dengan informan yang merupakan narasumber yang terkait dengan
penelitian,yaitu : Konsul Kehormatan Jerman di Medan.
Selain itu, dalam penulisan skripsi ini juga digunakan data sekunder yang
terdiri atas :
1. Bahan hukum primer,yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang
merupakan landasan utama yang digunakan dalam penulisan skripsi
ini. Seperti : Konvensi-Konvensi hukum internasional, berbagai
peraturan perundang-undangan seperti; Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah,dll
2. Bahan hukum sekunder,yaitu bahan hukum yang menunjang,yang
memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti
buku-buku, dan pendapat para ahli hukum.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan
dari bahan hukum primer dan sekunder, berupa Kamus Hukum,dan
3. Analisis Data
Teknik analisis data yang dipergunakan menggunakan metode penelitian
deskriptif analitis,yaitu analisis data yang mempergunakan pendekatan kualitatif
terhadap data sekunder. Deskriptif tersebut meliputi isi dan struktur hukum
positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk menentukan isi atau makna
aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan yang
menjadi objek kajian.26
4. Teknik Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan terhadap data yang berhasil dikumpulkan dengan
mempergunakan metode penarikan kesimpulan secara deduktif maupun secara
induktif. Pada proses deduktif, bertolak dari suatu proposisi umum yang
kebenarannya telah diketahui (diyakini) dan berakhir pada suatu kesimpulan
(pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus.27
Sedangkan pada prosedur induktif, proses berawal dari proposisi-proposisi
khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan
(pengetahuan baru) berupa asas umum.28
Penarikan kesimpulan terhadap data yang berhasil dikumpulkan dilakukan
dengan mempergunakan metode penarikan kesimpulan secara deduktif maupun
secara induktif, sehingga akan dapat diperoleh jawaban terhadap permasalahan-
permasalahan yang telah disusun
26 H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Huk um, Sinar Grafika, Jakarta,2009,hal. 175-177. 27 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Huk um, P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal.11
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab,dimana tiap bab terbagi lagi atas tiap
sub-sub bab,agar mempermudah pemaparan materi dari skripsi ini yang digambarkan
sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan. Sub bab ini merupakan gambaran umum yang
berisi tentang, Latar Belakang Masalah, Perumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian
Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian,dan
Sistematika Penulisan.
BAB II : Pembahasan mengenai kaitan antara hubungan konsuler
dengan Konsul Kehormatan. Bab ini akan memberikan
penjelasan yang dimulai dengan sejarah hubungan
konsuler,pembukaan hubungan konsuler, adanya klasifikasi
Pejabat Konsuler menurut Konvensi Wina 1963,kemudian
mengenai pengangkatan Konsul Kehormatan dan
pelaksanaan hubungan konsuler oleh Konsul Kehormatan
Jerman di Medan.
BAB III : Pembahasan mengenai peranan Perwakilan Konsuler. Dalam
bab ini menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan masa
mulai dan berakhirnya tugas dan fungsi Perwakilan
Konsuler,tugas dan fungsi Perwakilan Konsuler serta
kelonggaran dalam pelaksanaannya. Kemudian tugas dan
BAB IV : Pembahasan mengenai aspek keistimewaan dan kekebalan.
Bab ini memberikan penjelasan tentang keistimewaan dan
kekebalan bagi Perwakilan Konsuler dan anggotanya.
Kemudian masa mulai dan berakhirnya keistimewaan dan
kekebalan tersebut. Selanjutnya adalah perbedaan
keistimewaan dan kekebalan antara Pejabat Konsuler Karir
dengan Pejabat Konsul Kehormatan serta fasilitas yang
diperoleh Konsul Kehormatan Jerman di Medan.
BAB V : Kesimpulan dan Saran. Merupakan rangkaian dari bab-bab
sebelumnya yang memuat kesimpulan berdasarkan uraian
BAB II
KAITAN ANTARA HUBUNGAN KONSULER DENGAN KONSUL KEHORMATAN
A. Sejarah Hubungan Konsuler
1. Sebelum Konvensi Wina 1963
Manusia sebagai makhluk yang selalu hidup bermasyarakat sudah tentu
tidak dapat hidup tanpa manusia lainnya, atau istilahnya zoon politikon menurut
Aristoteles.29 Begitu juga dengan negara yang merupakan suatu organisasi besar
terdiri dari sekumpulan masyarakat yang memiliki berbagai kepentingan, sudah
tentu tidak bisa eksis tanpa berhubungan dengan negara lainnya. Setiap negara
memiliki kepentingannya masing-masing yang terkadang, kepentingan tersebut
tidak dapat dipenuhi oleh negara itu sendiri. Oleh karena itu, negara tersebut harus
berhubungan ataupun bekerjasama dengan negara lain untuk dapat memenuhi
kepentingannya itu.
Salah satu kegiatan dalam rangka memenuhi kepentingan suatu negara
adalah perdagangan,dimana kegiatan perdagangan ini biasanya dilakukan dengan
negara lain. Pada abad ke-21 ini,perdagangan antarnegara merupakan hal yang
signifikan. Apalagi didukung dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta transportasi yang telah meminimalisir hambatan-hambatan bagi
kegiatan perdagangan antarnegara.
Apabila dilihat dari sejarahnya, sebelum dikenal istilah negara seperti yang
kita kenal sekarang ini, di zaman Yunani Kuno telah terdapat kegiatan-kegiatan
perdagangan yang dilakukan antar city-states. City-state atau negara kota
melakukan perdagangan antara mereka satu sama lainnya atau dengan kota-kota
lain di Timur Tengah. Akibat perkembangan kegiatan perdagangan antar
city-states ini kemudian lahirlah suatu lembaga konsuler. Tentu saja lembaga konsuler
yang lahir pada saat itu tidak sama dengan lembaga konsuler yang kita kenal
sekarang ini kendati keduanya dapat dibandingkan.
Istilah proxenia pada zaman Yunani Kuno muncul dalam kegiatan
perdagangan antar city-states sebagai seorang pejabat negara atau warga negara
terkemuka yang dipercayakan oleh suatu negara asing untuk bertugas dan
bertanggung jawab atas warga negara asing tersebut yang berkedudukan di
negara sang pejabat atau warga negara terkemuka tersebut. Proxenia juga
menggunakan semua koneksi dan pengaruhnya untuk mendukung persahabatan
ataupun aliansi dengan city-state yang ia wakili. Contohnya adalah Cimon,
seorang proxenia yang mewakili Sparta di Athena, ia telah melaksanakan
tugasnya bahkan sebelum pecahnya perang Peloponnesia Pertama 30 (460 SM-
sekitar 445 SM) hampir 2500 tahun yang lalu 31
30 Perang Peloponnesia Pertama (First Peloponnesian War) merupakan perang antara Sparta dan Athena yang salah satu penyebanya adalah kecemburuan Sparta terhadap perkembangan Kekaisaran Athena.
Kemudian pada masa Romawi istilah bagi pejabat yang bertugas sebagai
proxenia ini disebut preator peregrinus.32
Kekaisaran Romawi kemudian jatuh tetapi kemudian segera disusul dengan
berdirinya Kekaisaran Romawi Timur atau yang dikenal sebagai Byzantium
dengan pusat pemerintahan di Konstantinopel dan Istanbul. Asas hukum personal
ditemukan pada masa kejayaan Kekaisaran Romawi Timur ini. Pada masa itu di
Byzantium banyak warga negara asing yang berkedudukan di sana, namun mereka
tetap diperbolehkan memakai hukum nasionalnya masing-masing. Selain itu, para
golongan warga asing di wilayah itu boleh mengangkat wakil khusus yang berasal
dari golongan mereka sendiri sesuai dengan asal negaranya. Kemudian muncul
suatu lembaga pengadilan khusus yang mengadili perselisihan yang terjadi antara
para pedagang asing dengan warga negara Byzantium. Pejabat-pejabat yang
diangkat sebagai hakim-hakim khusus bagi pedagang dan warga negara asing di
luar negeri inilah yang kemudian disebut konsul.33
Selanjutnya hingga pada abad ke-12 dimana terjadi perpecahan di
Semenanjung Italia yang memunculkan lagi pemerintahan negara-negara kota
(city-states) yang telah berkembang, dimana dalam kegiatan perdagangannya telah
melahirkan suatu konsul perniagaan yang memimpin persekutuan perniagaan dan
mewakili kepentingannya di luar negeri,terutama di kota-kota pusat perdagangan
seperti Milan dan Pisa. Perlu diketahui,aturan-aturan mengenai tugas-tugas konsul
32 S.L.Roy,Diplomasi,Rajawa li,Ja karta,1995,hal.221,lihat juga Widodo,op.cit.,hal.185 33 Masyur Effendi, Huk um Diplomatik Internasional: Hubungan Politik Bebas Ak tif Asas
Huk um Diplomatik dalam Era Ketergantungan Antarbangsa, Usaha Nasional ,Surabaya, 1995.
pada awalnya berkembang sekitar abad ke- 12, sebagian besar dalam bentuk
kompilasi-kompilasi hukum laut.
Dinas konsuler yang terorganisasi secara sistematis dianggap penting untuk
didirikan oleh negara-negara Eropa pada abad ke-13 dengan harapan agar dinas
tersebut dapat melindungi warga negara asal pejabat konsuler yang berada di luar
negeri. Konsul bukan lagi diangkat oleh para pendatang asing di antara mereka
sendiri,melainkan diutus oleh negara masing- masing.
Raja Richard III pada tahun 1485, mengangkat seorang konsul di Florence
yang merupakan Konsulat Kerajaan pertama. Oleh karena itu, semua warga
Inggris yang berada di Florence tunduk pada hukum Inggris dan memiliki
peradilan yang dijalankan oleh konsulat tersebut.34 Sementara itu di dalam
berbagai catatan sejarah, selain di Eropa Barat dan Asia Barat, lembaga-lembaga
kekonsuleran juga didirikan di wilayah Asia Timur. Dalam penelitian Resink, di
Indonesia juga telah ada Lembaga Syahbandar yang keberadaannya dapat
disejajarkan dengan lembaga kekonsuleran di Eropa.35
Peranan lembaga konsuler sedikit mengalami kemunduran pada sekitar abad
ke-17. Beberapa hal yang menjadi penyebabnya antara lain karena
berkembangnya sistem perwakilan diplomatik dan fungsi konsul di bidang hukum
yang meliputi bidang sipil dan pidana sudah tidak sesuai lagi dengan kedaulatan
teritorial negara penerima. Perubahan signifikan terhadap kekuasaan konsul ini
34 M.Sanwani Nasution,Pengantar k e Huk um Internasional dalam Hubungan Diplomatik, Fakultas Hukum USU, Medan,1989, hal.12
mencapai puncaknya dengan dikeluarkannya sekumpulan peraturan menyangkut
konsuler yaitu Ordonnance de la Marine,Colbert pada tahun 1681.36
Peranan lembaga konsul kembali berkembang pada abad ke-18.
Perkembangan lembaga konsul ini sejalan dengan perdagangan internasional yang
juga berkembang dengan pesatnya. Berbagai perubahan berkaitan dengan hal-hal
yang diperlukan dalam fungsi konsuler telah membuat eksistensi lembaga
konsuler kembali menonjol. Lembaga Konsuler resmi pertama dibuka di Perancis
pada akhir abad ke-18, yang kemudian disusul oleh negara-negara lainnya.
Perkembangan perwakilan konsuler, untuk selanjutnya terus mengalami
perkembangan yang pesat bersamaan dengan perwakilan diplomatik untuk
mengurus berbagai kegiatan perdagangan, transportasi dan warga negara
mereka.37
Selanjutnya karena semakin signifikannya peran lembaga konsuler pada
abad ke-19 dan ke-20 terutama dalam berbagai kegiatan perdagangan dan urusan
masalah warga negara asing di berbagai negara, maka diperlukan suatu
pengaturan yang terkodifikasi menyangkut pelaksanaan hubungan konsuler oleh
lembaga konsul terutama kekebalan,hak istimewa dan status para konsul. Hal ini
kemudian menjadi titik awal lahirnya suatu pengaturan tentang hubungan konsuler
yang menjadi acuan bagi negara-negara dalam melakukan hubungan konsuler
mereka satu sama lain.
36 http://untreaty.un.org/cod/avl/ha/vccr/vccr.html diakses tanggal 10 April 2013
Beberapa usaha persiapan dalam pengkodifikasian aturan-aturan
internasional tentang konsuler, antara lain mengadopsi perjanjian-perjanjian
yang bersifat regional, misalnya dalam Konferensi Negara-negara Amerika di
Havana,Kuba pada tahun 1928 yang menghasilkan Convention on Consular
Agents (Konvensi mengenai Pejabat Konsuler). Setelah itu, meskipun dirasakan
perlu adanya pengaturan konsuler melalui instrumen internasional, belum ada
usaha yang cukup menyangkut hal tersebut dan dibiarkan tertunda hingga hampir
20 tahun kemudian.
2. Lahirnya Konvensi Wina 1963
Pada 1949 Komisi Hukum Internasional memutuskan untuk menyertakan
masalah hubungan konsuler dan kekebalan sebagai bagian dari rencana kodifikasi
yang akan datang.
Pembahasan masalah tersebut dalam Komisi Hukum Internasional dimulai
sejak tahun 1955,tepatnya pada pertemuan ketujuh yang diadakan di
Jenewa,Swiss pada tanggal 2 Mei-8 Juli 1955. Dimana pada saat itu Komisi
Hukum Internasional mengangkat seorang Rapporteur khusus bernama Mr.
Jaroslav Zourek untuk meninjau masalah tersebut dan membuat rancangan
peraturan yang berdasarkan jus cogens,hukum internasional maupun hukum
nasional.
Selanjutnya rancangan peraturan tersebut dibagi ke dalam empat bagian
berupa; hubungan konsuler dan kekebalan, hak-hak istimewa konsuler, status
dan ketentuan umum. Rancangan peraturan tersebut juga dilengkapi dengan
komentar-komentar dan kemudian diserahkan ke negara-negara anggota untuk
dilakukan observasi dalam beberapa tahap negosiasi.
Pada pertemuan ke-12 yang diadakan pada 25 April-1 July 1960, Komisi
menetapkan bahwa pasal-pasal yang menyangkut konsul karir juga berlaku bagi
konsul kehormatan.38 Rencana terakhir konvensi mengenai Hubungan Konsuler
telah dimajukan kepada Majelis Umum PBB dalam tahun 1961. Melalui Resolusi
1685 (XVI),Majelis Umum PBB telah menyetujui rancangan yang diusulkan dan
memutuskan untuk menyelenggarakan konferensi pada Maret 1963.
Konferensi PBB mengenai Hubungan Konsuler diselenggarakan di Wina,
Austria mulai tanggal 4 Maret hingga 22 April 1963 yang dihadiri oleh wakil dari
95 negara. Setelah melalui pertimbangan matang, pada 18 April 1963 konferensi
telah menyetujui rancangan terakhir Konvensi mengenai Hubungan Konsuler
termasuk kedua Protokol Pilihan sebagaimana juga terjadi pada Konvensi Wina
mengenai Hubungan Diplomatik. Perumusan Konvensi yang telah dilakukan
secara teliti dan rinci ini bahkan dianggap lebih panjang dibandingkan Konvensi
Wina 1961. Akta finalnya ditandatangani pada 24 Aril 1963 dan dinyatakan
berlaku efektif pada tanggal 19 Maret 1967. Selanjutnya ada 117 negara yang
telah meratifikasi dan aksesi, 40 di antaranya telah menjadi pihak dalam Protokol
Pilihan tentang Kewajiban untuk Menyelesaikan Sengketa.39
38 http://untreaty.un.org/cod/avl/ha/vccr/vccr.html
Indonesia telah meratifikasi Konvensi tersebut dengan Undang-Undang No.
1 Tahun 1982 pada tanggal 25 Januari 1982.
Konvensi Wina 1963 mengenai Hubungan Konsuler memiliki 79 pasal dan
digolongkan ke dalam lima bab. Bab Pertama mulai dari pasal 2 hingga pasal 27
merupakan cara-cara mengadakan hubungan konsuler beserta tugas-tugas konsul.
Mengenai kekebalan dan keistimewaan konsuler diatur di dalam Bab Kedua
(Pasal 28-57). Lembaga Konsul Kehormatan mendapatkan pengaturannya sendiri
dalam Bab Ketiga (Pasal 58-67) termasuk mengenai kantor, kekebalan dan
keistimewaannya. Bab Keempat (Pasal 69-73) berisi ketentuan-ketentuan umum
misalnya mengenai pelaksanaan tugas-tugas konsuler oleh perwakilan diplomatik,
hubungan konvensi ini dengan persetujuan internasional lainnya dan sebagainya.
Bab kelima adalah mengenai ketentuan-ketentuan final seperti penandatangan,
ratifikasi dan aksesi, mulai berlakunya, dan lain-lain.
B. Pembukaan Hubungan Konsuler
Mengenai pembukaan hubungan konsuler yang hendak dilakukan
antarnegara,Konvensi Wina 1963 mengaturnya dalam Pasal 2 yaitu sebagai
berikut:
1) The establishment of consular relations between States takes place by mutual consent.
2) The consent given to the establishment of diplomatic relations between two States implies, unless otherwise stated, consent to the establishment of consular relations.
3) The severance of diplomatic relations shall not ipso facto involve the severance of consular relations.
Dengan demikian dapat diketahui hal yang paling utama dalam pembukaan
hubungan konsuler yaitu adanya mutual consent atau kesepakatan bersama antara
negara-negara yang bersangkutan (Pasal 2 ayat (1)). Tidak berbeda dengan
pembukaan hubungan diplomatik yang juga mengharuskan adanya kesepakatan
bersama antarnegara. Kesepakatan bersama antarnegara ini dapat juga berarti
pelaksanaan hubungan konsuler antara negara-negara yang bersangkutan berlaku
secara timbal balik. Biasanya kesepakatan bersama ini tertuang dalam bentuk joint
communike (komunike bersama).
Dalam Pasal 2 ayat (2) di atas menyatakan bahwa persetujuan yang
diberikan terhadap pembukaan hubungan diplomatik antara kedua negara yang
bersangkutan berlaku juga terhadap pembukaan hubungan konsuler,kecuali
dinyatakan lain. Hal ini berarti, apabila kedua negara telah membuka hubungan
diplomatik sebelumnya maka sudah termasuk juga pembukaan hubungan
konsuler. Kecuali ada pernyataan oleh negara-negara yang bersangkutan bahwa
kesepakatan bersama dalam pembukaan hubungan diplomatik tidak termasuk
untuk pembukaan hubungan konsuler.
Pemutusan hubungan diplomatik tidak berakibat ipso facto40 terhadap
pemutusan hubungan konsuler (Pasal 2 ayat(3)). Maksudnya yaitu apabila terjadi
pemutusan hubungan diplomatik antarnegara yang bersangkutan, tidak
menyebabkan putusnya hubungan konsuler antar kedua negara tersebut.
Gerharld von Glahn menambahkan satu persyaratan utama selain
kesepakatan bersama dalam menjalin hubungan konsuler antarnegara, yaitu
diperlukan juga adanya persetujuan antara negara penerima dengan negara
pengirim untuk melaksanakan hubungan konsuler berdasarkan prinsip-prinsip
hukum internasional yang berlaku.41
Setelah hubungan konsuler terjalin antar kedua negara, maka hal yang harus
diperhatikan selanjutnya yaitu mengenai pembukaan kantor konsuler di wilayah
negara penerima. Perlu diketahui bahwa perwakilan konsuler dapat didirikan di
wilayah yang tidak berdaulat atau di wilayah yang belum diakui.42 Misalnya
negara-negara yang belum mempunyai pemerintahan sendiri atau yang berada di
bawah kedaulatan asing.
Apabila dalam pembukaan hubungan konsuler antarnegara diperlukan
adanya kesepakatan bersama (mutual consent) antara negara-negara yang
bersangkutan, maka begitu juga dengan pembukaan kantor konsuler di wilayah
negara penerima yang memerlukan adanya persetujuan dari negara tersebut
(State’s consent). Dari sini kita dapat melihat bahwa kesepakatan bersama dalam
pembukaan hubungan konsuler berbeda dan tidak termasuk dengan persetujuan
negara penerima dalam hal pembukaan kantor konsuler.Pasal 4 ayat 1 Konvensi
Wina 1963 menyatakan sebagai berikut; “A consular post may be established in
the territory of the receiving State only with that State’s consent.”
41 Gerhard von Glahn,op.cit.hal.235
Hal ini berarti dalam pembukaan kantor konsuler, suatu negara (negara
pengirim) yang hendak membuka perwakilan konsulernya di negara lain (negara
penerima) memerlukan adanya persetujuan tersendiri dari negara yang menjadi
negara penerima.
Mengenai masalah kedudukan kantor konsuler, tingkatan dan wilayah
kerjanya harus dilaksanakan oleh negara pengirim dan harus tunduk pada
ketentuan dan persetujuan negara penerima. Pasal 4 ayat (2) dengan tegas
menyatakan sebagai berikut; “The seat of the consular post, its classification and
the consular district shall be established by the sending State and shall be subject
to the approval of the receiving State.”
Sampai saat ini belum ada pedoman baku menyangkut persoalan-persoalan
aturan teknis misalnya seperti pengangkatan kepala kantor konsuler dan siapa
yang berhak mengangkatnya. Hal-hal tersebut banyak ditentukan oleh hukum
nasional masing-masing negara.
Di Indonesia sendiri dalam hal membuka hubungan konsuler dengan negara
lain, ditetapkan oleh presiden dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat. Sedangkan pembukaan kantor konsuler di negara lain
ditetapkan dengan keputusan presiden. Keduanya terdapat dalam Pasal 9 ayat (1)
dan ayat (2) Undang-Undang No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri
yang bunyinya;
1) Pembukaan dan pemutusan hubungan diplomatik atau konsuler dengan
2) Pembukaan dan penutupan kantor perwakilan diplomatik atau konsuler di
negara lain atau kantor perwakilan pada organisasi internasional
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pembukaan kantor konsuler di Indonesia memiliki mekanisme sebagai
berikut :
1. Persetujuan negara penerima (RI) dapat berupa nota atau nota diplomatik,
apabila nota pemberitahuan tentang pembukaan perwakilan konsuler
ditandatangani oleh kepala negara atau menteri luar negeri negara
pengirim (asing) maka nota persetujuan yang disampaikan sebaga
jawabannya ditandatangani oleh Kepala Negara RI atau didelegasikan
pada Menteri Luar Negeri RI. Apabila antara negara pengirim dengan
negara RI (penerima) telah menjalin hubungan diplomatik, tetapi secara
tegas disebutkan bahwa pembukaan perwakilan diplomatik tidak termasuk
pembukaan kantor konsuler, maka persetujuan antara negara penerima
dengan pengirim tentang pembukaan perwakilan konsuler tersebut dapat
pula hanya ditandatangani oleh kepala perwakilan diplomatik negara
pengirim yang ada di Jakarta. Jika demikian jawaban atas permohonan
akan disampaikan oleh Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler atas
nama Menteri Luar Negeri RI.
2. Nota diplomatik dari negara pengirim perwakilan konsuler tersebut harus
berisi tentang ; keinginan negara tersebut untuk membuka perwakilan
konsuler di wilayah RI disertai dengan dasar alasannya, rencana tempat
3. Prosedur penyampaian permohonan dan jawaban nota diplomatik atau nota
di Indonesia dalam rangka pembukaan perwakilan konsuler adalah:
(a)Nota diplomatik diajukan ke Deplu RI u.p. (c.q) Direktorat Fasilitas
Diplomatik (Ditfasdip), dari bagian ini dilanjutkan ke bagian-bagian
lain dalam Deplu misalnya Dirjen Politik dan Dirjen Sosial Budaya dan
Penerangan, selanjutnya nota tersebut dibahas pihak-pihak yang terkait.
(b)Nota dari Dirjen Hubungan Sosial Budaya dan Penerangan diteruskan
pada instansi terkait misalnya Mabes TNI, dan BIN untuk dibahas
olehnya dari segi politik da keamanan yang berkaitan erat dengan
rencana pembukaan kantor konsuler tersebut.
(c)Apabila permohonan tersebut dianggap sangat penting dan
mendesak,maka secara khusus Deplu RI akan mengadakan rapat
koordinasi untuk segera membahasnya.
(d)Instansi-instansi yang terkait dan diserahi nota tersebut setelah
melakukan pembahasan akan segera membuat jawaban yang berisi
pendapat dan saran serta kesimpulantentang diterima atau ditolaknya
permohonan tersebut ditelaah dari sisi polotik dan keamanan RI.
Berdasar jawaban inilah Dirjen Hubungan Sosial Budaya dan
Penerangan serta Dirjen Politik Departemen Luar Negeri RI membuat
nota diplomatik yang merupakan jawaban atas permohonan tersebut
yang harus dilewati tersebut baru nota diplomatik yang berisi tentang
diterima atau ditolaknya permohonan dapat diterbitkan.43
C. Klasifikasi Pejabat Konsuler Menurut Konvensi Wina 1963
Pejabat Konsuler dibagi ke dalam dua kategori sebagaimana terdapat dalam
Pasal 1 ayat (2) Konvensi Wina 1963,yaitu sebagai berikut:
“Consular officers are of two categories, namely career consular officers and
Karir dan Pejabat Konsuler Kehormatan. Selain itu ketentuan peraturan yang
berlaku mengenai kekebalan dan hak-hak istimewa bagi keduanya ditempatkan
dalam chapter yang berbeda dalam konvensi ini, dimana ketentuan mengenai
kantor konsuler yang dikepalai Pejabat Konsuler Karir terdapat dalam Chapter II
konvensi, sedangkan mengenai kantor konsuler yang dikepalai Pejabat Konsul
Kehormatan ketentuannya terdapat di Chapter III konvensi. Meskipun begitu ada
beberapa ketentuan yang berlaku bagi Pejabat Konsul Karir,berlaku juga bagi
Pejabat Konsul Kehormatan.
Konvensi Wina 1963 tidak memberikan definisi atau batasan yang jelas
mengenai Pejabat Konsul Karir maupun Pejabat Konsul Kehormatan,serta
perbedaan di antara keduanya. Perlu diketahui bahwa Pejabat Konsul Karir dan
43 Masyur Effendi,Huk um Konsuler Huk um Diplomatik serta Hak dan Kewajiban Wak il