• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Internasional Mengenai Eksistensi Konsul Kehormatan (Honorary Consul) Dalam Hubungan Konsuler (Studi Kasus: Konsul Kehormatan Jerman Di Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Hukum Internasional Mengenai Eksistensi Konsul Kehormatan (Honorary Consul) Dalam Hubungan Konsuler (Studi Kasus: Konsul Kehormatan Jerman Di Medan)"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI EKSISTENSI

KONSUL KEHORMATAN (HONORARY CONSUL) DALAM HUBUNGAN

KONSULER (STUDI KASUS: KONSUL KEHORMATAN JERMAN DI MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

OLEH: KANIA SYAFIZA

NIM: 090200116

DEPARTEMEN : HUKUM INTERNASIONAL

Disetujui Oleh:

KETUA DEPATEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Arif,S.H.,M.Hum. NIP. 196403301993031002

Pembimbing I Pembimbing II

Arif,S.H.,M.Hum. Dr. Jelly Leviza S.H.,M.Hum NIP. 196403301993031002 NIP. 197308012002121002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI EKSISTENSI

KONSUL KEHORMATAN (HONORARY CONSUL) DALAM HUBUNGAN

KONSULER (STUDI KASUS: KONSUL KEHORMATAN JERMAN DI MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir

Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

KANIA SYAFIZA

090200116

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang

telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya yang begitu besar kepada Penulis

sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Demikian juga

shalawat beriring salam disampaikan kepada Rasulullah SAW yang telah

membimbing manusia ke alam kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan.

Penulisan skripsi yang berjudul : “TINJAUAN HUKUM

INTERNASIONAL MENGENAI EKSISTENSI KONSUL KEHORMATAN

(HONORARY CONSUL) DALAM HUBUNGAN KONSULER (STUDI

KASUS: KONSUL KEHORMATAN JERMAN DI MEDAN)”, adalah guna memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

Dalam melaksanakan penulisan skripsi ini bukanlah merupakan pekerjaan

yang ringan seperti membalikkan telapak tangan. Penulisan skripsi ini dapat

terselesaikan tidak terlepas berkat adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai

pihak. Untuk itulah pada kesempatan ini penulis mengucapkaln terima kasih

kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H.,M.Hum. selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara atas dukungan yang besar terhadap

seluruh mahasiswa/i di dalam lingkungan Kampus Fakultas Hukum

(4)

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting,S.H.,M.Hum. selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan,S.H.,M.H.,DFM selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni,S.H.,M.H,selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Arif,S.H.,M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Internasional

dan Dosen Pembimbing I. Penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak

atas bantuan dan serta dukungannya selama penulisan skripsi ini.

6. Bapak Dr. Jelly Leviza,S.H.,M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum

Internasional dan Dosen Pembimbing II. Penulis mengucapkan terimakasih

sebesar-besarnya atas segala bantuan dan bimbingan serta dukungannya

sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

7. Bapak Liliek Darmadi,Dipl.Ing.,MM selaku Konsul Kehormatan Jerman di

Medan yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan

riset di Konsulat Kehormatan Jerman di Medan, serta terima kasih atas

segala informasi dan penjelasan yang diberikan dalam penyelesaian skripsi

ini.

8. Ibu Adeline Tampubolon selaku Sekretaris Konsul Kehormatan Jerman di

Medan yang telah banyak memberikan informasi mengenai pengalamannya

(5)

9. Heike Larissa Tampubolon,S.H. “my partner in crime” dari jaman SD ‘til

the end of time’. Dari memburu Dracula sampai menghadapi samurai jaman

Heian akan kita lakukan bersama.

10. Teman-teman yang telah bersedia menjadi teman Penulis yang ‘weird

ini. Ayu Ananda Tarigan sang penginspirasi sedunia,Rabithah Khairul,S.H.

sang otak komplotan, Oky Wiratama Siagian,S.H. sang hero pencinta

demokrasi yang terkadang tanpa disadari lebih cendrung bersikap diktator,

Yulistia sang stylist yang selalu matching up to toe,Rahmi Pambhpa Patrecia

sang informan merangkap ahli gaib yang muncul tiba-tiba,Natalia Gracia

Sinaga the semi-invincible woman antara ada dan tiada tapi pengetahuannya

luas seperti koran, Christina Waruwu,S.H. the sharp tongue and mind yang

selalu pulang satu jurusan dengan Penulis, dan Andini Pratiwi Siregar yang

selalu unik. Semoga kita semua berteman selamanya.

Dalam kesempatan ini juga Penulis ingin berterimakasih kepada

saudara-saudara kandung penulis, M. Ibnu Hidayah dan M. Faqih Akbar. You guys rock,

really.

Akhirnya Penulis sampaikan terimakasih yang tiada tara disertai dengan doa

nan tulus Penulis untuk segala bantuan, doa, restu, motivasi,kasih sayang,

pengorbanan dan kesabaran yang telah diberikan orang tua tercinta yaitu

Ayahanda Iskandar S.H.,M.H. dan Ibunda Aziarni S.H.,M.H. yang telah menjadi

pemicu semangat bagi anakmu untuk berusaha semaksimal mungkin dalam

(6)

Sesuai dengan pepatah,”Tiada gading yang tak retak”, yang berarti Penulis

juga menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu

dengan segala kerendahan hati Penulis mengharap kritik dan saran dari pembaca

sekalian demi menuju tulisan ini kearah yang lebih baik.

Akhir kata,Penulis berharap semoga skripsi ini dapat membawa manfaat

bagi perkembangan ilmu pengetahuan,khususnya pengetahuan ilmu hukum,Amin.

Terima Kasih.

Hormat saya, Penulis

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...v

ABSTRAK...viii

BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang...1

B. Perumusan Masalah...9

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan...9

D. Keaslian Penelitian...10

E. Tinjauan Pustaka...11

F. Metode Penelitian...17

G. Sistematika Penulisan...20

BAB II KAITAN ANTARA HUBUNGAN KONSULER DENGAN KONSUL KEHORMATAN...21

A. Sejarah Hubungan Konsuler...22

1. Sebelum Konvensi Wina 1963...22

2. Lahirnya Konvensi Wina 1963...27

B. Pembukaan Hubungan Konsuler...29

C. Klasifikasi Pejabat Konsuler Menurut Konvensi Wina 1963...35

D. Pengangkatan Konsul Kehormatan...38

(8)

1.Pembukaan Konsulat Kehormatan Jerman di Medan...43

2. Pengangkatan Konsul Kehormatan Jerman di Medan...48

3. Hal-hal Operasional dalam Hubungan Konsuler Oleh Konsul Kehormatan Jerman di Medan……...……53

BAB III PERANAN PERWAKILAN KONSULER...55

A. Mulainya Tugas dan Fungsi Perwakilan Konsuler...55

B. Berakhirnya Tugas dan Fungsi Perwakilan Konsuler...57

C. Tugas dan Fungsi Perwakilan Konsuler...62

D.Berbagai Kelonggaran Pelaksanaan Tugas & Fungsi Perwakilan Konsuler...72

E. Tugas & Fungsi Konsul Kehormatan Jerman di Medan dalam Hubungan Konsuler...75

BAB IV ASPEK KEISTIMEWAAN DAN KEKEBALAN...81

A. Keistimewaan dan Kekebalan Perwakilan Konsuler...81

B. Keistimewaan dan Kekebalan Anggota Perwakilan Konsuler...92

C. Mulai dan Berakhirnya Keistimewaan dan Kekebalan Pejabat Konsuler...103

(9)

E. Kekebalan dan Keistimewaan Yang Diperoleh Konsul Kehormatan

Jerman di Medan dalam Menjalankan Tugas dan

Fungsinya...110

BAB V PENUTUP...113

A. Kesimpulan...113

B. Saran...115

DAFTAR PUSTAKA...117 LAMPIRAN

(10)

ABSTRAK Kania Syafiza*

Arif,S.H.,M.Hum**

Dr. Jelly Leviza,S.H.,M.Hu m***

Dalam pelaksanaan hubungan damai antarnegara,secara umum selain ditandai dengan pembukaan hubungan diplomatik juga diikuti dengan pembukaan hubungan konsuler. Hubungan diplomatik bersifat politis sedangkan hubungan konsuler bersifat non-politis dan cenderung mengurus masalah administratif dan komersial. Untuk melaksanakan fungsi kekonsuleran di negara asing yang mengadakan hubungan konsuler dengannya, suatu negara mengangkat pejabat konsuler. Konvensi Wina 1963 mengklasifikasikan dua jenis pejabat konsuler, yaitu Pejabat Konsuler Karir dan Pejabat Konsuler Kehormatan. Indonesia dan Jerman secara resmi telah mengadakan hubungan diplomatik sejak tahun 1952 dan pada saat ini perwakilan Jerman di Indonesia terdiri dari satu Kedutaan Besar dan tiga Konsul Kehormatan,yang salah satunya terdapat di Medan.

Melihat pada hal tersebut di atas,yang menjadi permasalahannya adalah bagaimana ruang lingkup tugas Konsul Kehormatan Jerman di Medan, bagaimana tugas dan fungsinya serta bagaimana pula kekebalan dan keistimewaan yang diperolehnya.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dimana penelitian ini dilakukan untuk melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan-peraturan mengenai hubungan konsuler yang berlaku, baik hukum internasional maupun hukum nasional. Selain itu penelitian pada penulisan ini adalah penelitian deskriptif analitis untuk menentukan isi dan makna aturan hukum dan menjabarkan fakta secara sistematis, faktual, dan akurat.

(11)

memiliki pengaturan tersendiri tentang pemberian kekebalan dan keistimewaan terhadap Konsul Kehormatan.

Untuk itu disarankan demi alasan penghematan dan efisensi, pengangkatan konsul kehormatan dapat dijadikan pilihan yang tepat oleh negara-negara yang

ingin membuka perwakilan konsuler pada masa sekarang ini. Dalam

melaksanakan tugas dan fungsinya, Konsul Kehormatan Jerman di Medan dapat meningkatkan perannya sebagai penghubung kegiatan bisnis antara Jerman dan Indonesia. Oleh karena itu dalam hal pemberian kekebalan dan keistimewaan terhadap Konsul Kehormatan seharusnya Indonesia dan Jerman membuat suatu perjanjian khusus mengenai hal tersebut agar lebih menjamin seorang konsul

(12)

ABSTRAK Kania Syafiza*

Arif,S.H.,M.Hum**

Dr. Jelly Leviza,S.H.,M.Hu m***

Dalam pelaksanaan hubungan damai antarnegara,secara umum selain ditandai dengan pembukaan hubungan diplomatik juga diikuti dengan pembukaan hubungan konsuler. Hubungan diplomatik bersifat politis sedangkan hubungan konsuler bersifat non-politis dan cenderung mengurus masalah administratif dan komersial. Untuk melaksanakan fungsi kekonsuleran di negara asing yang mengadakan hubungan konsuler dengannya, suatu negara mengangkat pejabat konsuler. Konvensi Wina 1963 mengklasifikasikan dua jenis pejabat konsuler, yaitu Pejabat Konsuler Karir dan Pejabat Konsuler Kehormatan. Indonesia dan Jerman secara resmi telah mengadakan hubungan diplomatik sejak tahun 1952 dan pada saat ini perwakilan Jerman di Indonesia terdiri dari satu Kedutaan Besar dan tiga Konsul Kehormatan,yang salah satunya terdapat di Medan.

Melihat pada hal tersebut di atas,yang menjadi permasalahannya adalah bagaimana ruang lingkup tugas Konsul Kehormatan Jerman di Medan, bagaimana tugas dan fungsinya serta bagaimana pula kekebalan dan keistimewaan yang diperolehnya.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dimana penelitian ini dilakukan untuk melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan-peraturan mengenai hubungan konsuler yang berlaku, baik hukum internasional maupun hukum nasional. Selain itu penelitian pada penulisan ini adalah penelitian deskriptif analitis untuk menentukan isi dan makna aturan hukum dan menjabarkan fakta secara sistematis, faktual, dan akurat.

(13)

memiliki pengaturan tersendiri tentang pemberian kekebalan dan keistimewaan terhadap Konsul Kehormatan.

Untuk itu disarankan demi alasan penghematan dan efisensi, pengangkatan konsul kehormatan dapat dijadikan pilihan yang tepat oleh negara-negara yang

ingin membuka perwakilan konsuler pada masa sekarang ini. Dalam

melaksanakan tugas dan fungsinya, Konsul Kehormatan Jerman di Medan dapat meningkatkan perannya sebagai penghubung kegiatan bisnis antara Jerman dan Indonesia. Oleh karena itu dalam hal pemberian kekebalan dan keistimewaan terhadap Konsul Kehormatan seharusnya Indonesia dan Jerman membuat suatu perjanjian khusus mengenai hal tersebut agar lebih menjamin seorang konsul

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Lembaga konsuler2 menurut sejarah telah ada lebih dulu dibanding lembaga

diplomatik. Lembaga konsuler bahkan telah ada sejak zaman Yunani Kuno,

dimana kegiatan-kegiatan perdagangan yang mulai berkembang pesat di city

states Yunani dapat dikatakan sebagai cikal bakal lahirnya lembaga konsuler.

Pada saat itu dikenal istilah proxenia yaitu semacam pejabat negara (warga negara

terkemuka) yang bertugas dan bertanggung jawab atas penduduk asing yang

berdudukan di suatu city state.3 Sementara di zaman Romawi dikenal istilah

konsul untuk sebagai peran yaitu hakim-hakim khusus bagi pedagang asing pada

abad ke-12. Keberadaan perwakilan konsuler pada masa itu memiliki fungsi yang

cukup luas dimana para konsul mempunyai wewenang sipil dan kriminal terhadap

warga mereka.

Sistem modern lembaga konsul baru dimulai sejak abad ke-16.4 Pada abad

ke-18 fungsi perwakilan konsuler telah mengalami berbagai penyesuaian sehingga

tidak jauh berbeda dengan fungsi perwakilan konsuler modern yang kita kenal

(15)

pada saat ini yaitu mengurus berbagai kegiatan perdagangan,transportasi dan

warga negara mereka.5

Pada masa pasca Perang Dunia II dimana banyak terjadi perubahan yang

menyebabkan hubungan antar subjek hukum internasional semakin berkembang

dan kompleks, meskipun banyak subjek hukum internasional baru bermunculan,

namun yang paling utama diperhatikan tetaplah negara dan hubungan negara satu

sama lain maupun dengan subjek hukum internasional lainnya. Hal ini karena

negara dianggap sebagai subjek hukum internasional penuh.6 Selain itu berbagai

perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempengaruhi

berbagai aspek seperti ekonomi, sosial, politik, hukum dan budaya. Berbagai

perkembangan tersebut juga dapat memberi dampak tertentu terhadap hubungan

antarnegara dalam hal kerja sama dan saling ketergantungan sehingga diperlukan

seperangkat aturan hukum dalam mengatur hubungan antarnegara.

Hukum internasional yang mengatur hubungan antarnegara berasal dari

hukum kebiasaan yang dapat ditemukan dalam praktik pelaksanaan hubungan

antar bangsa yang telah ada bahkan jauh sebelum istilah hukum internasional

dikenal. Pada akhirnya setelah melewati proses yang panjang, praktik-praktik

kebiasaan ini dikodifisikan dalam bentuk peraturan-peraturan tertulis hingga

sampai dalam bentuk konvensi-konvensi yang kita kenal saat ini yaitu Vienna

Convention on Diplomatic Relations 1961 (Konvensi Wina tentang Hubungan

5 Boer Mauna,Huk um Internasional Pengertian,Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamik a

Global, P.T.Alumni,Bandung,2011,hal.573.

6 Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Huk um Internasional, P.T. Alumni,

(16)

Diplomatik 1961) dan Vienna Convention on Consular Relations 1963 (Konvensi

Wina tentang Hubungan Konsuler 1963). Kedua konvensi ini juga diikuti dengan

protokol-protokol tambahannya selain konvensi-konvensi pendukung antara lain

Convention on Special Mission (Konvensi tentang Misi Khusus) pada tahun 1969

dan Convention on Prevention and Punishment of Crimes against Internationally

Protected Persons,including Diplomatic Agents (Konvensi mengenai Pencegahan

dan Penghukuman Kejahatan terhadap Orang-orang yang menurut Hukum

Internasional dilindungi termasuk Para Diplomat) pada tahun 1971.

Hubungan antar negara secara umum dibagi dalam dua lembaga yaitu

lembaga diplomatik dan lembaga konsuler. Seperti telah disebutkan di

atas,lembaga konsuler telah ada terlebih dahulu dibanding lembaga diplomatik.

Keduanya sama-sama mengurus hubungan antar negara di luar yurisdiksi nasional

yang pelaksanaannya berasal dari kebiasaan-kebiasaan internasional.

Perbedaannya, lembaga diplomatik mengurus bidang politis sementara lembaga

konsuler mengurus bidang-bidang nonpolitis. Meskipun demikian, keduanya tetap

mempunyai garis singgung karena dalam praktik antara urusan perwakilan

diplomatik dengan perwakilan konsuler sering terjadi pembauran7. Pembukaan

hubungan diplomatik dalam prinsipnya juga berarti persetujuan pembukaan

hubungan konsuler,kecuali secara spesifik tidak dinyatakan demikian.8 Tetapi

7 Widodo,op.cit,hal.24.

(17)

pemutusan hubungan diplomatik,tidak secara otomatis juga berarti pemutusan

hubungan konsuler.9

Kesepakatan antarnegara yang bersangkutan menjadi dasar bagi pembukaan

hubungan konsuler. Hal ini ditegaskan dalam Konvensi Wina Tahun 1963 tentang

Hubungan Konsuler Pasal 2 ayat 1, yang menyatakan bahwa pelaksanaan

hubungan konsuler antarnegara harus didasari oleh kesepakatan bersama.10 Kata

mutual consent’ dapat dijelaskan sebagai kesepakatan atau persetujuan bersama

timbal balik antara negara-negara yang hendak membuka hubungan konsuler.Hal

ini tidak berbeda dengan pembukaan hubungan diplomatik. Dapat diartikan bahwa

suatu negara tidak berkewajiban menerima perwakilan konsuler dari negara

asing,begitu juga suatu negara tidak dapat memaksakan negara lain untuk

menerima perwakilan konsulernya. Agar hubungan konsuler antarnegara dapat

terlaksana,maka negara-negara yang bersangkutan harus memliki kesepakatan

satu sama lain terlebih dahulu untuk membuka hubungan konsuler.

Dalam menjalankan fungsi-fungsi hubungan konsuler,setelah pembukaan

hubungan konsuler maka biasanya diikuti oleh pembukaan Kantor Konsuler dan

pengangkatan Pejabat Konsuler. Mengenai Pejabat Konsuler sendiri, dalam Pasal

1 ayat (2) Konvensi Wina 1963 terdapat dua pembagian besar yaitu

Pejabat-pejabat Konsul Karier/Tetap (career consular officer) dan Pejabat-pejabat Konsul

Kehormatan (honorary consular officer). Hal ini merupakan salah satu perbedaan

antara Pejabat Konsuler dengan Pejabat Diplomatik. Dalam hubungan konsuler

(18)

diperbolehkan adanya Pejabat-pejabat Konsuler Kehormatan,sementara dalam

hubungan diplomatik tidak dibenarkan yang demikian.

Meskipun dalam Konvensi Wina 1963 tidak memberikan secara jelas

batasan dan perbedaan antara Pejabat Konsuler Karir dengan Pejabat Konsul

Kehormatan,secara umum,terdapat 4 pokok perbedaan antara keduanya,yaitu:11

1. Konsul karier merupakan pegawai tetap dari negara pengirim,karena itu

diangkat dari warga negara pengirim dan berstatus sebagai pegawai tetap

departemen luar negeri negara pengirim.Sedangkan Konsul kehormatan

biasanya tidak diangkat dari warga negara pengirim,tetapi cukup

diangkat dari warga negara penerima atau warga negara pihak ketiga

sehingga mungkin berprofesi sebagai pedagang atau pengusaha dan

bukan merupakan pegawai tetap negara pengirim.Berdasar pada cara

pemberian kontra prestasi atas pengabdiannya,konsul karier mendapat

gaji,tunjangan dan pensiun dari negara pengirim,sedangkan konsul

kehormatan hanya memperoleh honorarium sehingga konsul kehormatan

sering juga disebut konsul honorer.

2. Konsul karier membayar pajak pada negara pengirim,dan dalam rangka

menunaikan tugas resminya konsul yang berstatus ini tidak boleh

melakukan tugas lain (usaha sampingan) kecuali sebagaimana yang

ditugaskan padanya.Konsul kehormatan membayar pajak pada negara

penerima dan konsul berstatus honorer boleh menjalankan profesi lain

selain membantu negara pengirim perwakilan konsuler.

(19)

3. Konsul karier beserta sanak keluarganya yang memenuhi persyaratan

sebagaimana yang ditentukan hukum yang berlaku memperoleh

kekebalan dan keistimewaan di negara penerima, sedangkan konsul

kehormatan beserta sanak keluarganya tidak memperoleh kekebalan dan

keistimewaan.

4. Pertukaran dan/atau pengiriman tas konsuler (consuler bag) antara dua

kantor perwakilan konsuler-konsuler yang dipimpin oleh pejabat-pejabat

berstatus konsul kehormatan,tidak diperkenankan kecuali sudah ada

persetujuan antara negara penerima perwakilan konsuler. Sedangkan

pada perwakilan yang dipimpin oleh konsul karier,pertukaran dengan

pola semacam itu tidak dipermasalahkan.

Terlepas dari perbedaan-perbedaan tersebut di atas,kantor konsuler yang

dipimpin oleh Pejabat Konsul Kehomatan,pada dasarnya memiliki tugas dan

fungsi yang tidak jauh berbeda dengan kantor konsuler yang dipimpin Pejabat

Konsul Karir. Apabila ditelaah lebih lanjut,Konsul Kehormatan memiliki peran

yang serupa dengan proxenia pada zaman Yunani Kuno yang telah ada hampir

1000 tahun lebih dulu dari Konsul Karir. Tidak salah apabila Konsul Kehormatan

dapat dianggap sebagai ‘ibu’ dari institusi konsuler.

Dalam praktik sekarang ini, banyak negara-negara kecil dan berkembang

mengadakan hubungan konsuler dengan mengangkat konsul kehormatan. Namun

demikian beberapa negara besar juga melaksanakan hubungan konsuler dengan

membuka kantor perwakilan konsuler yang dikepalai oleh Pejabat Konsul

(20)

dianggap sedang mengalami masa kebangkitan kembali atau istilahnya

renaissance sebagai dampak dari perkembangan berkelanjutan di bidang

komunikasi secara besar-besaran di satu sisi dan pengurangan penanaman

anggaran di bidang pelayanan-pelayanan diplomatik di sisi lain.12 Dari segi

ekonomi, dimana pengangkatan Konsul Kehormatan dirasakan jauh lebih hemat

dibanding membuka Kantor Konsulat yang dikepalai Pejabat Konsul Karir.

Jerman merupakan salah satu negara besar yang memiliki banyak

perwakilan konsuler yang dikepalai oleh Konsul Kehormatan di berbagai negara.

Jerman memiliki 229 Perwakilan di luar negeri berupa; 153 Kedutaan, 55

Konsulat Jendral dan Konsulat, 12 Misi-misi Permanen dan 3 misi lainnya. Selain

itu, sejauh ini Jerman juga memiliki 346 Konsul Kehormatan yang tidak digaji

(unpaid Honorary Consul).13 Sementara untuk perwakilan Jerman di Indonesia, terdiri dari Kedutaan Besar Jerman dan beberapa Konsulat Kehormatan yang

terletak di Medan,Bali,dan Surabaya.14 Dari sini kita dapat mengetahui bahwa

lembaga Konsul Kehormatan sangat besar peranannya bagi Jerman dalam

mengadakan hubungan konsulernya.

Indonesia sendiri mengakui keberadaan Konsul Kehormatan dalam

hubungan konsuler. Selain telah meratifikasi Konvensi Wina Tahun 1963 dengan

Undang-Undang No.1 Tahun 1982, yang berarti sesuai dengan konvensi yang

membedakan antara Pejabat Konsul Karir dengan Pejabar Konsul

12 http://pfeiffer-klestil.com/honorary-consulate/ diakses tanggal 20 Februari 2013

13 http://www.auswaertiges -amt.de/EN/AAmt/Auslandsvertretungen/Uebersicht_node.html diakses tanggal 20 Februari 2013.

14http://www.auswaertiges

(21)

Kehormatan,Indonesia juga mengakui pembedaan tersebut. Selanjutnya dalam

instrumen hukum nasional,Indonesia juga mengakui lembaga Konsul Kehormatan

dengan disebutkannya mengenai Konsul Jendral Kehormatan atau Konsul

Kehormatan dalam Pasal 38 Undang-Undang No.37 Tahun 1999 tentang

Hubungan Luar Negeri15 dan Keputusan Presiden No.108 Tahun 2003 tentang

Organisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri.16

Indonesia juga telah mengangkat 64 Konsul Kehormatan.17

Selanjutnya,dalam upaya memahami eksistensi Konsul Kehormatan dalam

hubungan konsuler,penulis mengambil contoh pada Konsul Kehormatan Jerman

di Medan. Untuk mengetahui segala sesuatu mengenai pelaksanaan hubungan

konsuler oleh Konsul Kehormatan yang diatur oleh hukum internasional maupun

hukum nasional,melalui pelaksanaan hubungan konsuler antara Jerman dengan

Indonesia selama ini melalui salah satu perwakilan konsuler Republik Federal

Jerman di Indonesia,tepatnya di Medan Sumatera Utara yang dikepalai oleh

Konsul Kehormatan.

15 UU No.37 Tahun 1999 Pasal 38 bunyinya;

(1) Presiden menandatangani Surat Tauliah bagi seorang Konsul Jenderal Kehormatan atau Konsul Kehormatan Republik Indonesia yang diangkat guna melaksanakan tugas konsuler untuk suatu wilayah tertentu pada suatu negara asing.

(2) Presiden menerima Surat Tauliah seorang Konsul Jenderal Kehormatan atau Konsul Kehormatan asing yang bertugas di Indonesia serta mengeluarkan eksekuatur.

16 Ketentuan Umum Pasal 1 poin 14 Kepres No.108 Tahun 2003,bunyinya; “Konsul Jenderal Kehormatan dan Konsul Kehormatan adalah Warga Negara Penerima yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Luar Negeri yang memiliki kualifikasi tertentu untuk melaksanakan fungsi kekonsuleran dan/atau fungsi promosi di wilayah Negara Penerima.” Dan Pasal 27 yang bunyinya; “Pengangkatan Konsul Jenderal Kehormatan dan Konsul Kehormatan ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usul Menteri Luar Negeri.”

(22)

B.Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang di atas, adapun yang menjadi pokok

permasalahan dari penelitian ini adalah :

1. Bagaimana ruang lingkup hubungan konsuler oleh Konsul

Kehormatan Jerman di Medan?

2. Bagaimana tugas dan fungsi Konsul Kehormatan Jerman di Medan

dalam hubungan konsuler?

3. Bagaimana kekebalan dan keistimewaan yang diperoleh Konsul

Kehormatan Jerman di Medan dalam menjalankan tugas dan

fungsinya?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Sesuai dengan judul pokok permasalahan yang akan dibahas,maka tujuan

dari penelitian dan penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui ruang lingkup hubungan konsuler oleh Konsul

Kehormatan Jerman di Medan.

2. Untuk mengetahui tugas dan fungsi Konsul Kehormatan Jerman di

Medan dalam hubungan konsuler?

3. Untuk mengetahui kekebalan dan keistimewaan yang diperoleh

Konsul Kehormatan Jerman di Medan dalam menjalankan tugas dan

(23)

Sedangkan manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang penulis lakukan

ini antara lain sebagai berikut :

1. Secara teoritis.

Hasil penelitian ini akan melahirkan beberapa konsep ilmiah yang

pada suatu saat memberikan sumbangan pemikiran bagi

perkembangan ilmu hukum,khususnya yang berkaitan dengan

eksistensi Konsul Kehormatan dalam hubungan konsuler.

2. Secara praktis

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum,Institusi

Pemerintah dan Penegak Hukum di kalangan masyarakat.

b. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan

dengan penegakan hukum maupun perkembangan ilmu

hukum.

c. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk

menambah wawasan dalam bidang ilmu hukum,khususnya

yang berkaitan dengan eksistensi Konsul Kehormatan dalam

hubungan konsuler.

D. Keaslian Penelitian

Adapun judul dari skripsi ini adalah “TINJAUAN HUKUM

INTERNASIONAL MENGENAI EKSISTENSI KONSUL KEHORMATAN

(HONORARY CONSUL) DALAM HUBUNGAN KONSULER (STUDI KASUS :

(24)

ini dititikberatkan untuk melihat eksistensi Konsul Kehormatan dalam

pelaksanaan hubungan konsuler yang ditinjau menurut Hukum Internasional.

Berdasarkan penelitian dan pemeriksaan terhadap inventarisasi skripsi di

Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang dilakukan oleh

penulis,ada beberapa skripsi yang membahas mengenai hubungan konsuler,namun

dengan redaksi judul yang berbeda dan pendekatan sudut pandang yang berbeda

pula,sehingga dengan kata lain judul ini belum pernah ditulis sebelumnya.

E. Tinjauan Pustaka

Definisi Hukum Internasional dapat disimpulkan sebagai seperangkat sistem

yang terdiri dari aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang mengatur hubungan

internasional antara negara-negara berdaulat maupun subjek-subjek hukum

internasional lainnya.18 Lebih singkat lagi, Steven Wheatley menyatakan Hukum

Internasional biasanya dianggap oleh para praktisi Hukum Internasional sebagai

hukum yang diterapkan antara negara-negara. Perhatian utamanya adalah hak dan

kewajiban negara-negara.Namun definisi-definisi singkat di atas belum cukup

rasanya untuk memahami Hukum Internasional dengan lebih mendalam apabila

tidak diikuti oleh definisi-definisi lainnya oleh para pakar Hukum Internasional

yang lebih mendetail dan spesifik.

Untuk pertama, definisi Hukum Internasional oleh J.G. Starke yang dapat

melampaui batasan tradisional hukum internasional menyebutkan bahwa Hukum

Internasional sebagai keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari

(25)

prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara-negara

merasa dirinya terikat untuk menaati, dan karenanya, benar-benar ditaati secara

umum dalam hubungan-hubungan mereka satu sama lain,dimana hubungan

tersebut meliputi19:

1. Kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya

lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan mereka satu

sama lain, dan hubungan mereka dengan negara-negara dan

individu-individu.

2. Kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu

dan badan-badan non-negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu

dan badan non-negara tersebut penting bagi masyarakat internasional.

Pada hakikatnya Hubungan Internasional dari segi subjeknya memiliki

beberapa pembagian. Hubungan Internasional dapat berwujud dalam berbagai

bentuk yaitu 20:

1) Hubungan individual, misalnya turis, mahasiswa, sarjana, pedagang dan

sebagainya, mempunyai kepentingan yang tersebar di dunia ini. Mereka

mengadakan kontak-kontak pribadi sehingga timbul kepentingan timbal

balik di antara mereka.

2) Hubungan antar kelompok (inter group relations) misalnya

lembaga-lembaga sosial, keagamaan, atau perdagangan dan sebagainya, dapat

19 J.G. Starke, Pengantar Huk um Internasional Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal 3.

(26)

pula mengadakan hubungan baok yang bersifat insidental,periodik,

maupun permanen.

3) Hubungan antar negara. Negara adalah kelompok yang terdiri dari

individu- individu dengan ciri-ciri yang sangat khusus.

Ada beberapa pembagian terhadap subjek Hukum Internasional oleh

Mochtar Kusumatmadja,yang terdiri dari 21:

1. Negara

2. Takhta Suci (Vatican)

3. Palang Merah Internasional

4. Organisasi Internasional

5. Orang perorangan (individu)

6. Pemberontak dan pihak dalam sengketa (belligerent)

Negara sendiri menurut Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 yang telah

dipandang sebagai prinsip-prinsip hukum umum tentang keberadaan suatu negara

menurut Hukum Internasional,mengemukakan 4 (empat) unsur-unsur negara

terdiri dari :

1. Adanya penduduk yang tetap (a permanent population)

2. Memiliki wilayah yang jelas (a defined territory)

3. Adanya pemerintah (a government)

4. Adanya kemampuan untuk melakukan kerjasama dengan

negara-negara lainnya (a capacity to enter into relations with other states)

(27)

Hubungan konsuler bahkan telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno sebelum

dikenalnya istilah negara ,dimana dalam kegiatan perdagangan antar city-states

(negara kota) diangkatlah proxenia, yaitu semacam pejabat atau warga terkemuka

yang dipercayakan oleh suatu negara asing untuk melindungi warga negaranya di

wilayah negara proxenia itu sendiri. Praktek ini terus berlanjut hingga zaman

Romawi. Pada bagian kedua abad ke-18,dengan pesatnya perkembangan

perdagangan internasional,perkapalan dan pelayaran,perkembangan peranan

lembaga konsuler semakin meningkat hingga keberadaan dan peranannya tidak

berbeda dengan lembaga konsuler modern yang dikenal sekarang.

Mengenai pengaturan hubungan konsuler, sejak semula dapat dikatakan

pengaturan tersebut berasal dari persetujuan-persetujuan bilateral antarnegara

yang berkepentingan. Untuk menlengkapi persetujuan-persetujuan tersebut,

banyak negara yang membuat peraturan perundang-undangan nasional yang

kemudian diikuti dengan lahirnya kebiasaan umum yang berasal dari

ketentuan-ketentuan bilateral ataupun unilateral oleh negara-negara tersebut.22

Setelah berakhirnya Perang Dunia II,Komisi Hukum Internasional, mulai

tahun 1955,melakukan kodifikasi tentang hubungan konsuler. Pada tahun 1963

diadakan konferensi kodifikasi di Wina yang merupakan lanjutan dari penerimaan

Konvensi Hubungan Diplomatik tahun 1961 dan pada 24 April 1963 lahirlah

Konvensi Hubungan Konsuler yang mulai berlaku bulan Maret 1967.Indonesia

telah meratifikasi Konvensi tersebut dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1982.23

22 Gerhard von Glahn, Law Among Nations, Seventh Edition,MacMillan Publishing Inc,New York,1996, hal.446.

(28)

Pasal 1 ayat (1) Konvensi Wina 1963 memberikan batasan-batasan istilah

yang digunakan dalam konvensi tersebut antara lain:

1. Kantor Konsuler, yaitu suatu Konsulat Jenderal, Konsulat, Wakil

Konsulat (Konsul Muda), atau Perwakilan Konsulat;

2. Wilayah Konsuler, adalah wilayah yang ditetapkan untuk kantor

konsulat dalam menjalankan fungsi resminya;

3. Kepala Kantor Konsuler adalah orang yang diberi tugas untuk bertindak

dalam kapasitasnya sebagai kepala kantor konsuler;

4. Pejabat Konsuler adalah setiap orang, termasuk kepala kantor konsuler

yang diberi kepercayaan dalam kapasitasnya masing-masing untuk

melaksanakan fungsi-fungsi konsuler;

5. Pegawai Konsuler adalah setiap orang yang bekerja dalam pelayanan

teknik atau administratif pada suatu kantor konsuler;

6. Anggota Staf Pelayan adalah setiap orang yang bekerja dalam

pelayanan domestik (dalam negeri negara penerima) dari suatu kantor

konsuler;

7. Anggota-Anggota Kantor Konsuler adalah pejabat-pejabat konsuler dan

anggota-anggota staf pelayan;

8. Anggota-Angota Staf Konsuler adalah pejabat-pejabat konsuler selain

kepala kantor konsuler, pegawai-pegawa konsuler dan anggota –

anggota staf pelayan;

9. Anggota Staf Pribadi adalah setiap orang yang bekerja secara khusus

(29)

10. Gedung Konsuler adalah bangunan-bangunan (gedung-gedung) atau

bagian dari bangunan tersebut dan tanah-tanah yang mendukungnya

dengan tanpa memandang status kepemilikannya yang dapat digunakan

secara khusus untuk tujuan-tujuan kantor konsuler;

11. Arsip-Arsip Konsuler adalah semua naskah,dokumen, surat-menyurat,

buku, film,pita (kaset) dan berbagai daftar dari kantor konsuler,

termasuk sandi-sandi dan kode-kode, kartu indeks, dan setiap barang

yang dimaksudkan untuk melindungi dan menjaga keselamatan

benda-benda tersebut.

Pejabat Konsuler Kehormatan merupakan salah satu dari dua pembagian

terhadap Pejabat Konsuler yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 2 Konvensi Wina

1963,satunya lagi adalah Pejabat Konsuler Karir,dan pengaturan diantara

keduanya dibedakan. Ketentuan mengenai Kantor Konsuler yang dikepalai

Pejabat Konsuler Karir diatur dalam Chapter II Konvensi Wina 1963, sedangkan

terhadap Kantor Konsuler yang dikepalai Pejabat Konsuler

Kehormatan,ketentuannya diatur dalam Chapter III Konvensi Wina 1963. Status

bagi anggota Kantor Konsuler yang merupakan warga negara atau penduduk tetap

negara penerima diatur dalam Pasal 71 Konvensi Wina 1963.

Pengaturan mengenai hubungan konsuler dalam produk hukum nasional

terdapat dalam Undang Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar

Negeri dan Keputusan Presiden No.108 Tahun 2003 tentang Organisasi

(30)

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini,metode penelitian diperlukan agar lebih terarah

dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode penelitian yang

digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif. Metode penelitian yuridis

normatif digunakan dalam penelitian ini guna melakukan penelusuran terhadap

norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan-peraturan mengenai

hubungan konsuler yang berlaku, baik hukum internasional maupun hukum

nasional. Selain itu juga untuk memperoleh data maupun keterangan yang terdapat

dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, situs internet,

koran, dan sebagainya.24

Penggunaan metode yuridis normatif dimaksudkan untuk meneliti berbagai

bacaan yang mempunyai sumber relevansi dengan judul skripsi ini yang dapat

diambil secara teoritis ilmiah sehingga dapat menganalisa permasalahan yang

dibahas dalam skripsi ini. Penelitian hukum normatif seringkali hukum

dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan

atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah berpatokan pada perilaku manusia yang

dianggap pantas.25

24 Sunaryati Hartono, Penelitian Huk um di Indonesia Pada Ak hir Abad k e -20,Penerbit Alumni, Bandung,1994,hal. 139.

(31)

2. Sumber Data

Pada umumnya dalam penelitian,dikenal tiga jenis alat pengumpulan data

yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan

wawancara atau interview.

Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah berupa data

primer yang diperoleh dari penelitian lapangan yang diperoleh dengan melakukan

wawancara dengan informan yang merupakan narasumber yang terkait dengan

penelitian,yaitu : Konsul Kehormatan Jerman di Medan.

Selain itu, dalam penulisan skripsi ini juga digunakan data sekunder yang

terdiri atas :

1. Bahan hukum primer,yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang

merupakan landasan utama yang digunakan dalam penulisan skripsi

ini. Seperti : Konvensi-Konvensi hukum internasional, berbagai

peraturan perundang-undangan seperti; Undang-Undang, Peraturan

Pemerintah,dll

2. Bahan hukum sekunder,yaitu bahan hukum yang menunjang,yang

memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti

buku-buku, dan pendapat para ahli hukum.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan

dari bahan hukum primer dan sekunder, berupa Kamus Hukum,dan

(32)

3. Analisis Data

Teknik analisis data yang dipergunakan menggunakan metode penelitian

deskriptif analitis,yaitu analisis data yang mempergunakan pendekatan kualitatif

terhadap data sekunder. Deskriptif tersebut meliputi isi dan struktur hukum

positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk menentukan isi atau makna

aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan yang

menjadi objek kajian.26

4. Teknik Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan terhadap data yang berhasil dikumpulkan dengan

mempergunakan metode penarikan kesimpulan secara deduktif maupun secara

induktif. Pada proses deduktif, bertolak dari suatu proposisi umum yang

kebenarannya telah diketahui (diyakini) dan berakhir pada suatu kesimpulan

(pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus.27

Sedangkan pada prosedur induktif, proses berawal dari proposisi-proposisi

khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan

(pengetahuan baru) berupa asas umum.28

Penarikan kesimpulan terhadap data yang berhasil dikumpulkan dilakukan

dengan mempergunakan metode penarikan kesimpulan secara deduktif maupun

secara induktif, sehingga akan dapat diperoleh jawaban terhadap permasalahan-

permasalahan yang telah disusun

26 H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Huk um, Sinar Grafika, Jakarta,2009,hal. 175-177. 27 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Huk um, P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal.11

(33)

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab,dimana tiap bab terbagi lagi atas tiap

sub-sub bab,agar mempermudah pemaparan materi dari skripsi ini yang digambarkan

sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan. Sub bab ini merupakan gambaran umum yang

berisi tentang, Latar Belakang Masalah, Perumusan

Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian

Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian,dan

Sistematika Penulisan.

BAB II : Pembahasan mengenai kaitan antara hubungan konsuler

dengan Konsul Kehormatan. Bab ini akan memberikan

penjelasan yang dimulai dengan sejarah hubungan

konsuler,pembukaan hubungan konsuler, adanya klasifikasi

Pejabat Konsuler menurut Konvensi Wina 1963,kemudian

mengenai pengangkatan Konsul Kehormatan dan

pelaksanaan hubungan konsuler oleh Konsul Kehormatan

Jerman di Medan.

BAB III : Pembahasan mengenai peranan Perwakilan Konsuler. Dalam

bab ini menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan masa

mulai dan berakhirnya tugas dan fungsi Perwakilan

Konsuler,tugas dan fungsi Perwakilan Konsuler serta

kelonggaran dalam pelaksanaannya. Kemudian tugas dan

(34)

BAB IV : Pembahasan mengenai aspek keistimewaan dan kekebalan.

Bab ini memberikan penjelasan tentang keistimewaan dan

kekebalan bagi Perwakilan Konsuler dan anggotanya.

Kemudian masa mulai dan berakhirnya keistimewaan dan

kekebalan tersebut. Selanjutnya adalah perbedaan

keistimewaan dan kekebalan antara Pejabat Konsuler Karir

dengan Pejabat Konsul Kehormatan serta fasilitas yang

diperoleh Konsul Kehormatan Jerman di Medan.

BAB V : Kesimpulan dan Saran. Merupakan rangkaian dari bab-bab

sebelumnya yang memuat kesimpulan berdasarkan uraian

(35)

BAB II

KAITAN ANTARA HUBUNGAN KONSULER DENGAN KONSUL KEHORMATAN

A. Sejarah Hubungan Konsuler

1. Sebelum Konvensi Wina 1963

Manusia sebagai makhluk yang selalu hidup bermasyarakat sudah tentu

tidak dapat hidup tanpa manusia lainnya, atau istilahnya zoon politikon menurut

Aristoteles.29 Begitu juga dengan negara yang merupakan suatu organisasi besar

terdiri dari sekumpulan masyarakat yang memiliki berbagai kepentingan, sudah

tentu tidak bisa eksis tanpa berhubungan dengan negara lainnya. Setiap negara

memiliki kepentingannya masing-masing yang terkadang, kepentingan tersebut

tidak dapat dipenuhi oleh negara itu sendiri. Oleh karena itu, negara tersebut harus

berhubungan ataupun bekerjasama dengan negara lain untuk dapat memenuhi

kepentingannya itu.

Salah satu kegiatan dalam rangka memenuhi kepentingan suatu negara

adalah perdagangan,dimana kegiatan perdagangan ini biasanya dilakukan dengan

negara lain. Pada abad ke-21 ini,perdagangan antarnegara merupakan hal yang

signifikan. Apalagi didukung dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi serta transportasi yang telah meminimalisir hambatan-hambatan bagi

kegiatan perdagangan antarnegara.

(36)

Apabila dilihat dari sejarahnya, sebelum dikenal istilah negara seperti yang

kita kenal sekarang ini, di zaman Yunani Kuno telah terdapat kegiatan-kegiatan

perdagangan yang dilakukan antar city-states. City-state atau negara kota

melakukan perdagangan antara mereka satu sama lainnya atau dengan kota-kota

lain di Timur Tengah. Akibat perkembangan kegiatan perdagangan antar

city-states ini kemudian lahirlah suatu lembaga konsuler. Tentu saja lembaga konsuler

yang lahir pada saat itu tidak sama dengan lembaga konsuler yang kita kenal

sekarang ini kendati keduanya dapat dibandingkan.

Istilah proxenia pada zaman Yunani Kuno muncul dalam kegiatan

perdagangan antar city-states sebagai seorang pejabat negara atau warga negara

terkemuka yang dipercayakan oleh suatu negara asing untuk bertugas dan

bertanggung jawab atas warga negara asing tersebut yang berkedudukan di

negara sang pejabat atau warga negara terkemuka tersebut. Proxenia juga

menggunakan semua koneksi dan pengaruhnya untuk mendukung persahabatan

ataupun aliansi dengan city-state yang ia wakili. Contohnya adalah Cimon,

seorang proxenia yang mewakili Sparta di Athena, ia telah melaksanakan

tugasnya bahkan sebelum pecahnya perang Peloponnesia Pertama 30 (460 SM-

sekitar 445 SM) hampir 2500 tahun yang lalu 31

30 Perang Peloponnesia Pertama (First Peloponnesian War) merupakan perang antara Sparta dan Athena yang salah satu penyebanya adalah kecemburuan Sparta terhadap perkembangan Kekaisaran Athena.

(37)

Kemudian pada masa Romawi istilah bagi pejabat yang bertugas sebagai

proxenia ini disebut preator peregrinus.32

Kekaisaran Romawi kemudian jatuh tetapi kemudian segera disusul dengan

berdirinya Kekaisaran Romawi Timur atau yang dikenal sebagai Byzantium

dengan pusat pemerintahan di Konstantinopel dan Istanbul. Asas hukum personal

ditemukan pada masa kejayaan Kekaisaran Romawi Timur ini. Pada masa itu di

Byzantium banyak warga negara asing yang berkedudukan di sana, namun mereka

tetap diperbolehkan memakai hukum nasionalnya masing-masing. Selain itu, para

golongan warga asing di wilayah itu boleh mengangkat wakil khusus yang berasal

dari golongan mereka sendiri sesuai dengan asal negaranya. Kemudian muncul

suatu lembaga pengadilan khusus yang mengadili perselisihan yang terjadi antara

para pedagang asing dengan warga negara Byzantium. Pejabat-pejabat yang

diangkat sebagai hakim-hakim khusus bagi pedagang dan warga negara asing di

luar negeri inilah yang kemudian disebut konsul.33

Selanjutnya hingga pada abad ke-12 dimana terjadi perpecahan di

Semenanjung Italia yang memunculkan lagi pemerintahan negara-negara kota

(city-states) yang telah berkembang, dimana dalam kegiatan perdagangannya telah

melahirkan suatu konsul perniagaan yang memimpin persekutuan perniagaan dan

mewakili kepentingannya di luar negeri,terutama di kota-kota pusat perdagangan

seperti Milan dan Pisa. Perlu diketahui,aturan-aturan mengenai tugas-tugas konsul

32 S.L.Roy,Diplomasi,Rajawa li,Ja karta,1995,hal.221,lihat juga Widodo,op.cit.,hal.185 33 Masyur Effendi, Huk um Diplomatik Internasional: Hubungan Politik Bebas Ak tif Asas

Huk um Diplomatik dalam Era Ketergantungan Antarbangsa, Usaha Nasional ,Surabaya, 1995.

(38)

pada awalnya berkembang sekitar abad ke- 12, sebagian besar dalam bentuk

kompilasi-kompilasi hukum laut.

Dinas konsuler yang terorganisasi secara sistematis dianggap penting untuk

didirikan oleh negara-negara Eropa pada abad ke-13 dengan harapan agar dinas

tersebut dapat melindungi warga negara asal pejabat konsuler yang berada di luar

negeri. Konsul bukan lagi diangkat oleh para pendatang asing di antara mereka

sendiri,melainkan diutus oleh negara masing- masing.

Raja Richard III pada tahun 1485, mengangkat seorang konsul di Florence

yang merupakan Konsulat Kerajaan pertama. Oleh karena itu, semua warga

Inggris yang berada di Florence tunduk pada hukum Inggris dan memiliki

peradilan yang dijalankan oleh konsulat tersebut.34 Sementara itu di dalam

berbagai catatan sejarah, selain di Eropa Barat dan Asia Barat, lembaga-lembaga

kekonsuleran juga didirikan di wilayah Asia Timur. Dalam penelitian Resink, di

Indonesia juga telah ada Lembaga Syahbandar yang keberadaannya dapat

disejajarkan dengan lembaga kekonsuleran di Eropa.35

Peranan lembaga konsuler sedikit mengalami kemunduran pada sekitar abad

ke-17. Beberapa hal yang menjadi penyebabnya antara lain karena

berkembangnya sistem perwakilan diplomatik dan fungsi konsul di bidang hukum

yang meliputi bidang sipil dan pidana sudah tidak sesuai lagi dengan kedaulatan

teritorial negara penerima. Perubahan signifikan terhadap kekuasaan konsul ini

34 M.Sanwani Nasution,Pengantar k e Huk um Internasional dalam Hubungan Diplomatik, Fakultas Hukum USU, Medan,1989, hal.12

(39)

mencapai puncaknya dengan dikeluarkannya sekumpulan peraturan menyangkut

konsuler yaitu Ordonnance de la Marine,Colbert pada tahun 1681.36

Peranan lembaga konsul kembali berkembang pada abad ke-18.

Perkembangan lembaga konsul ini sejalan dengan perdagangan internasional yang

juga berkembang dengan pesatnya. Berbagai perubahan berkaitan dengan hal-hal

yang diperlukan dalam fungsi konsuler telah membuat eksistensi lembaga

konsuler kembali menonjol. Lembaga Konsuler resmi pertama dibuka di Perancis

pada akhir abad ke-18, yang kemudian disusul oleh negara-negara lainnya.

Perkembangan perwakilan konsuler, untuk selanjutnya terus mengalami

perkembangan yang pesat bersamaan dengan perwakilan diplomatik untuk

mengurus berbagai kegiatan perdagangan, transportasi dan warga negara

mereka.37

Selanjutnya karena semakin signifikannya peran lembaga konsuler pada

abad ke-19 dan ke-20 terutama dalam berbagai kegiatan perdagangan dan urusan

masalah warga negara asing di berbagai negara, maka diperlukan suatu

pengaturan yang terkodifikasi menyangkut pelaksanaan hubungan konsuler oleh

lembaga konsul terutama kekebalan,hak istimewa dan status para konsul. Hal ini

kemudian menjadi titik awal lahirnya suatu pengaturan tentang hubungan konsuler

yang menjadi acuan bagi negara-negara dalam melakukan hubungan konsuler

mereka satu sama lain.

36 http://untreaty.un.org/cod/avl/ha/vccr/vccr.html diakses tanggal 10 April 2013

(40)

Beberapa usaha persiapan dalam pengkodifikasian aturan-aturan

internasional tentang konsuler, antara lain mengadopsi perjanjian-perjanjian

yang bersifat regional, misalnya dalam Konferensi Negara-negara Amerika di

Havana,Kuba pada tahun 1928 yang menghasilkan Convention on Consular

Agents (Konvensi mengenai Pejabat Konsuler). Setelah itu, meskipun dirasakan

perlu adanya pengaturan konsuler melalui instrumen internasional, belum ada

usaha yang cukup menyangkut hal tersebut dan dibiarkan tertunda hingga hampir

20 tahun kemudian.

2. Lahirnya Konvensi Wina 1963

Pada 1949 Komisi Hukum Internasional memutuskan untuk menyertakan

masalah hubungan konsuler dan kekebalan sebagai bagian dari rencana kodifikasi

yang akan datang.

Pembahasan masalah tersebut dalam Komisi Hukum Internasional dimulai

sejak tahun 1955,tepatnya pada pertemuan ketujuh yang diadakan di

Jenewa,Swiss pada tanggal 2 Mei-8 Juli 1955. Dimana pada saat itu Komisi

Hukum Internasional mengangkat seorang Rapporteur khusus bernama Mr.

Jaroslav Zourek untuk meninjau masalah tersebut dan membuat rancangan

peraturan yang berdasarkan jus cogens,hukum internasional maupun hukum

nasional.

Selanjutnya rancangan peraturan tersebut dibagi ke dalam empat bagian

berupa; hubungan konsuler dan kekebalan, hak-hak istimewa konsuler, status

(41)

dan ketentuan umum. Rancangan peraturan tersebut juga dilengkapi dengan

komentar-komentar dan kemudian diserahkan ke negara-negara anggota untuk

dilakukan observasi dalam beberapa tahap negosiasi.

Pada pertemuan ke-12 yang diadakan pada 25 April-1 July 1960, Komisi

menetapkan bahwa pasal-pasal yang menyangkut konsul karir juga berlaku bagi

konsul kehormatan.38 Rencana terakhir konvensi mengenai Hubungan Konsuler

telah dimajukan kepada Majelis Umum PBB dalam tahun 1961. Melalui Resolusi

1685 (XVI),Majelis Umum PBB telah menyetujui rancangan yang diusulkan dan

memutuskan untuk menyelenggarakan konferensi pada Maret 1963.

Konferensi PBB mengenai Hubungan Konsuler diselenggarakan di Wina,

Austria mulai tanggal 4 Maret hingga 22 April 1963 yang dihadiri oleh wakil dari

95 negara. Setelah melalui pertimbangan matang, pada 18 April 1963 konferensi

telah menyetujui rancangan terakhir Konvensi mengenai Hubungan Konsuler

termasuk kedua Protokol Pilihan sebagaimana juga terjadi pada Konvensi Wina

mengenai Hubungan Diplomatik. Perumusan Konvensi yang telah dilakukan

secara teliti dan rinci ini bahkan dianggap lebih panjang dibandingkan Konvensi

Wina 1961. Akta finalnya ditandatangani pada 24 Aril 1963 dan dinyatakan

berlaku efektif pada tanggal 19 Maret 1967. Selanjutnya ada 117 negara yang

telah meratifikasi dan aksesi, 40 di antaranya telah menjadi pihak dalam Protokol

Pilihan tentang Kewajiban untuk Menyelesaikan Sengketa.39

38 http://untreaty.un.org/cod/avl/ha/vccr/vccr.html

(42)

Indonesia telah meratifikasi Konvensi tersebut dengan Undang-Undang No.

1 Tahun 1982 pada tanggal 25 Januari 1982.

Konvensi Wina 1963 mengenai Hubungan Konsuler memiliki 79 pasal dan

digolongkan ke dalam lima bab. Bab Pertama mulai dari pasal 2 hingga pasal 27

merupakan cara-cara mengadakan hubungan konsuler beserta tugas-tugas konsul.

Mengenai kekebalan dan keistimewaan konsuler diatur di dalam Bab Kedua

(Pasal 28-57). Lembaga Konsul Kehormatan mendapatkan pengaturannya sendiri

dalam Bab Ketiga (Pasal 58-67) termasuk mengenai kantor, kekebalan dan

keistimewaannya. Bab Keempat (Pasal 69-73) berisi ketentuan-ketentuan umum

misalnya mengenai pelaksanaan tugas-tugas konsuler oleh perwakilan diplomatik,

hubungan konvensi ini dengan persetujuan internasional lainnya dan sebagainya.

Bab kelima adalah mengenai ketentuan-ketentuan final seperti penandatangan,

ratifikasi dan aksesi, mulai berlakunya, dan lain-lain.

B. Pembukaan Hubungan Konsuler

Mengenai pembukaan hubungan konsuler yang hendak dilakukan

antarnegara,Konvensi Wina 1963 mengaturnya dalam Pasal 2 yaitu sebagai

berikut:

1) The establishment of consular relations between States takes place by mutual consent.

2) The consent given to the establishment of diplomatic relations between two States implies, unless otherwise stated, consent to the establishment of consular relations.

3) The severance of diplomatic relations shall not ipso facto involve the severance of consular relations.

(43)

Dengan demikian dapat diketahui hal yang paling utama dalam pembukaan

hubungan konsuler yaitu adanya mutual consent atau kesepakatan bersama antara

negara-negara yang bersangkutan (Pasal 2 ayat (1)). Tidak berbeda dengan

pembukaan hubungan diplomatik yang juga mengharuskan adanya kesepakatan

bersama antarnegara. Kesepakatan bersama antarnegara ini dapat juga berarti

pelaksanaan hubungan konsuler antara negara-negara yang bersangkutan berlaku

secara timbal balik. Biasanya kesepakatan bersama ini tertuang dalam bentuk joint

communike (komunike bersama).

Dalam Pasal 2 ayat (2) di atas menyatakan bahwa persetujuan yang

diberikan terhadap pembukaan hubungan diplomatik antara kedua negara yang

bersangkutan berlaku juga terhadap pembukaan hubungan konsuler,kecuali

dinyatakan lain. Hal ini berarti, apabila kedua negara telah membuka hubungan

diplomatik sebelumnya maka sudah termasuk juga pembukaan hubungan

konsuler. Kecuali ada pernyataan oleh negara-negara yang bersangkutan bahwa

kesepakatan bersama dalam pembukaan hubungan diplomatik tidak termasuk

untuk pembukaan hubungan konsuler.

Pemutusan hubungan diplomatik tidak berakibat ipso facto40 terhadap

pemutusan hubungan konsuler (Pasal 2 ayat(3)). Maksudnya yaitu apabila terjadi

pemutusan hubungan diplomatik antarnegara yang bersangkutan, tidak

menyebabkan putusnya hubungan konsuler antar kedua negara tersebut.

(44)

Gerharld von Glahn menambahkan satu persyaratan utama selain

kesepakatan bersama dalam menjalin hubungan konsuler antarnegara, yaitu

diperlukan juga adanya persetujuan antara negara penerima dengan negara

pengirim untuk melaksanakan hubungan konsuler berdasarkan prinsip-prinsip

hukum internasional yang berlaku.41

Setelah hubungan konsuler terjalin antar kedua negara, maka hal yang harus

diperhatikan selanjutnya yaitu mengenai pembukaan kantor konsuler di wilayah

negara penerima. Perlu diketahui bahwa perwakilan konsuler dapat didirikan di

wilayah yang tidak berdaulat atau di wilayah yang belum diakui.42 Misalnya

negara-negara yang belum mempunyai pemerintahan sendiri atau yang berada di

bawah kedaulatan asing.

Apabila dalam pembukaan hubungan konsuler antarnegara diperlukan

adanya kesepakatan bersama (mutual consent) antara negara-negara yang

bersangkutan, maka begitu juga dengan pembukaan kantor konsuler di wilayah

negara penerima yang memerlukan adanya persetujuan dari negara tersebut

(State’s consent). Dari sini kita dapat melihat bahwa kesepakatan bersama dalam

pembukaan hubungan konsuler berbeda dan tidak termasuk dengan persetujuan

negara penerima dalam hal pembukaan kantor konsuler.Pasal 4 ayat 1 Konvensi

Wina 1963 menyatakan sebagai berikut; “A consular post may be established in

the territory of the receiving State only with that State’s consent.”

41 Gerhard von Glahn,op.cit.hal.235

(45)

Hal ini berarti dalam pembukaan kantor konsuler, suatu negara (negara

pengirim) yang hendak membuka perwakilan konsulernya di negara lain (negara

penerima) memerlukan adanya persetujuan tersendiri dari negara yang menjadi

negara penerima.

Mengenai masalah kedudukan kantor konsuler, tingkatan dan wilayah

kerjanya harus dilaksanakan oleh negara pengirim dan harus tunduk pada

ketentuan dan persetujuan negara penerima. Pasal 4 ayat (2) dengan tegas

menyatakan sebagai berikut; “The seat of the consular post, its classification and

the consular district shall be established by the sending State and shall be subject

to the approval of the receiving State.”

Sampai saat ini belum ada pedoman baku menyangkut persoalan-persoalan

aturan teknis misalnya seperti pengangkatan kepala kantor konsuler dan siapa

yang berhak mengangkatnya. Hal-hal tersebut banyak ditentukan oleh hukum

nasional masing-masing negara.

Di Indonesia sendiri dalam hal membuka hubungan konsuler dengan negara

lain, ditetapkan oleh presiden dengan memperhatikan pertimbangan Dewan

Perwakilan Rakyat. Sedangkan pembukaan kantor konsuler di negara lain

ditetapkan dengan keputusan presiden. Keduanya terdapat dalam Pasal 9 ayat (1)

dan ayat (2) Undang-Undang No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri

yang bunyinya;

1) Pembukaan dan pemutusan hubungan diplomatik atau konsuler dengan

(46)

2) Pembukaan dan penutupan kantor perwakilan diplomatik atau konsuler di

negara lain atau kantor perwakilan pada organisasi internasional

ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Pembukaan kantor konsuler di Indonesia memiliki mekanisme sebagai

berikut :

1. Persetujuan negara penerima (RI) dapat berupa nota atau nota diplomatik,

apabila nota pemberitahuan tentang pembukaan perwakilan konsuler

ditandatangani oleh kepala negara atau menteri luar negeri negara

pengirim (asing) maka nota persetujuan yang disampaikan sebaga

jawabannya ditandatangani oleh Kepala Negara RI atau didelegasikan

pada Menteri Luar Negeri RI. Apabila antara negara pengirim dengan

negara RI (penerima) telah menjalin hubungan diplomatik, tetapi secara

tegas disebutkan bahwa pembukaan perwakilan diplomatik tidak termasuk

pembukaan kantor konsuler, maka persetujuan antara negara penerima

dengan pengirim tentang pembukaan perwakilan konsuler tersebut dapat

pula hanya ditandatangani oleh kepala perwakilan diplomatik negara

pengirim yang ada di Jakarta. Jika demikian jawaban atas permohonan

akan disampaikan oleh Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler atas

nama Menteri Luar Negeri RI.

2. Nota diplomatik dari negara pengirim perwakilan konsuler tersebut harus

berisi tentang ; keinginan negara tersebut untuk membuka perwakilan

konsuler di wilayah RI disertai dengan dasar alasannya, rencana tempat

(47)

3. Prosedur penyampaian permohonan dan jawaban nota diplomatik atau nota

di Indonesia dalam rangka pembukaan perwakilan konsuler adalah:

(a)Nota diplomatik diajukan ke Deplu RI u.p. (c.q) Direktorat Fasilitas

Diplomatik (Ditfasdip), dari bagian ini dilanjutkan ke bagian-bagian

lain dalam Deplu misalnya Dirjen Politik dan Dirjen Sosial Budaya dan

Penerangan, selanjutnya nota tersebut dibahas pihak-pihak yang terkait.

(b)Nota dari Dirjen Hubungan Sosial Budaya dan Penerangan diteruskan

pada instansi terkait misalnya Mabes TNI, dan BIN untuk dibahas

olehnya dari segi politik da keamanan yang berkaitan erat dengan

rencana pembukaan kantor konsuler tersebut.

(c)Apabila permohonan tersebut dianggap sangat penting dan

mendesak,maka secara khusus Deplu RI akan mengadakan rapat

koordinasi untuk segera membahasnya.

(d)Instansi-instansi yang terkait dan diserahi nota tersebut setelah

melakukan pembahasan akan segera membuat jawaban yang berisi

pendapat dan saran serta kesimpulantentang diterima atau ditolaknya

permohonan tersebut ditelaah dari sisi polotik dan keamanan RI.

Berdasar jawaban inilah Dirjen Hubungan Sosial Budaya dan

Penerangan serta Dirjen Politik Departemen Luar Negeri RI membuat

nota diplomatik yang merupakan jawaban atas permohonan tersebut

(48)

yang harus dilewati tersebut baru nota diplomatik yang berisi tentang

diterima atau ditolaknya permohonan dapat diterbitkan.43

C. Klasifikasi Pejabat Konsuler Menurut Konvensi Wina 1963

Pejabat Konsuler dibagi ke dalam dua kategori sebagaimana terdapat dalam

Pasal 1 ayat (2) Konvensi Wina 1963,yaitu sebagai berikut:

“Consular officers are of two categories, namely career consular officers and

Karir dan Pejabat Konsuler Kehormatan. Selain itu ketentuan peraturan yang

berlaku mengenai kekebalan dan hak-hak istimewa bagi keduanya ditempatkan

dalam chapter yang berbeda dalam konvensi ini, dimana ketentuan mengenai

kantor konsuler yang dikepalai Pejabat Konsuler Karir terdapat dalam Chapter II

konvensi, sedangkan mengenai kantor konsuler yang dikepalai Pejabat Konsul

Kehormatan ketentuannya terdapat di Chapter III konvensi. Meskipun begitu ada

beberapa ketentuan yang berlaku bagi Pejabat Konsul Karir,berlaku juga bagi

Pejabat Konsul Kehormatan.

Konvensi Wina 1963 tidak memberikan definisi atau batasan yang jelas

mengenai Pejabat Konsul Karir maupun Pejabat Konsul Kehormatan,serta

perbedaan di antara keduanya. Perlu diketahui bahwa Pejabat Konsul Karir dan

43 Masyur Effendi,Huk um Konsuler Huk um Diplomatik serta Hak dan Kewajiban Wak il

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana kewenangan, kewajiban dan tujuan hukum administrasi negara sesuai Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2011

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang- Undang, dengan

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana kewenangan, kewajiban dan tujuan hukum administrasi negara sesuai Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2011

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana kewenangan, kewajiban dan tujuan hukum administrasi negara sesuai Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2011

Anggota DPRD dalam menjalankan tugas dan fungsinya tentu saja harus memenuhi beberapa ketentuan yang terdapat di dalam Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten

Bangunan bersejarah dapat dimiliki oleh setiap orang dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya dan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam

Pengaturan mengenai mediasi dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 6 ayat 3, Pasal 6 ayat 4 dan Pasal 6 ayat 5 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi: “3 Dalam hal sengketa

Fungsi,Tugas dan Wewenang Dewan Perwakilan Daerah Dalam Undang-undang Dasar 1945 memberikan kewenangan kepada DPD, yang bersifat terbatas, praktis dalam hal ini tidak mencerminkan