ANALISIS PERSEPSI AKUNTAN YAG BERBEDA TERHADAP KODE
ETIK DARI ASOSIASI AKUNTAN INDONESIA (STUDI
TERHADAP PENGALAMAN KERJA)
SKRIPSI
Oleh:
FADHILAH.
F 0399011
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
An Analysis of Accountants’ Different Perception on Ethic Code of The Accountants Associates of Indonesia (a Study on Work Experience).
ABSTRACT FADHILAH. F 0399011
This research is conducted to find out how the perception of public accountants and accounting students about ethic code of the accountants associate of Indonesia based on their own work experience and to examine whether there is different perception between those two sample. In this research, public accountants represent experienced accountants and accounting students represent inexperienced accountants.
The populations of the research are accountants who work in Public Accountant Office (KAP) and accounting students in private and public university located in Central Java. The sample of the research are accountants who have worked at least two years or work as accountant staff and accounting students who have learnt Auditing I and who want to work on KAP. The research uses purposive sampling method to collect sample. Data are collected by survey using questionnaires. There are 64 accountants and 95 students who are willing to be participants and collect the questionnaires. From the questionnaires collected, there are 53 questionnaires from accountants and 71 questionnaires from students that are analyzed. Validity test uses product moment correlation, while reliability test uses cronbach alpha technique. The next step is normality assumption test using kolmogorov-smirnov technique. Homogenity test uses levene test for equality variance technique. Independent sample t-test is used to test hypothesis. Additional analysis uses proportion test.
The result of analysis using independent sample t-test and proportion test shows that both of public accountants as experienced accountants and accounting students as inexperienced accountants have similar perception on ethic code of the accountants associate of Indonesia. Independent sample t-test shows empiric evidence supports the hypothesis that states there is a significant difference between the perception of experience accountants and inexperienced accountants. The analysis shows significance at 0.000 that is under definite level of significance at 0.05.
By using ratio of mean value, it can be shown that experienced accountants have better perception on ethic code than inexperienced accountants. This statement can be seen from mean value of public accountants are bigger (74.2075) than mean value of accounting students (69.9577).
2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Etika profesi menjadi topik pembicaraan yang sangat penting dalam
masyarakat sekarang ini. Terjadinya krisis multidimensi di Indonesia
menyadarkan masyarakat untuk mengutamakan perilaku etis karena selama ini
perilaku etis selalu diabaikan. Etika menjadi kebutuhan penting bagi semua
profesi yang ada agar tidak melakukan tindakan yang menyimpang dari
hukum.
Sebagai anggota dari suatu profesi, akuntan juga mempunyai
tanggung jawab untuk menjaga standar perilaku etis tertinggi mereka kepada
organisasi dimana mereka bernaung, profesi mereka, masyarakat dan diri
mereka sendiri. Akuntan mempunyai tanggung jawab untuk kompeten dan
menjaga integritas dan obyektifitas mereka. Kewajiban untuk menjaga standar
perilaku etis berhubungan dengan adanya tuntutan masyarakat terhadap peran
profesi akuntan, khususnya atas kinerja akuntan publik. Masyarakat yang
merupakan pengguna jasa profesi membutuhkan seorang akuntan yang
profesional. Label profesional disini mengisyaratkan suatu kebanggaan,
komitmen pada kualitas, dedikasi pada kepentingan klien dan keinginan yang
tulus membantu permasalahan yang dihadapi klien sehingga profesi tersebut
dapat menjadi kepercayaan masyarakat.
Di bawah naungan profesi, akuntan memposisikan diri sebagai penjual
3
secara teknis menguasai dan mampu melaksanakan standar (kode etik, SAK
dan SPAP) yang dikeluarkan asosiasi profesi. Standar tersebut minimal harus
dipenuhi oleh setiap anggota profesi karena dengan standar tersebut akuntan
dapat menjaga kemampuan teknis dan profesional serta selalu menempatkan
aspek moralitas ditempat yang tertinggi.
Dalam menjual jasanya, seorang akuntan bukan hanya sekedar ahli
tetapi dia harus dapat melaksanakan pekerjaan profesinya dengan hati-hati
atau “due professional care”dan selalu menjunjung tinggi standar yang telah ditetapkan. Due professional careini tercermin dalam kode etik IAI (prinsip pertama) tentang tanggung jawab profesi yaitu dalam melaksanakan tanggung
jawabnya sebagai profesional, setiap anggota harus senantiasa menggunakan
pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukan,
kode etik IAI (prinsip ketujuh) mengenai perilaku profesional yaitu setiap
anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik
dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi (Media akuntansi:
2001).
Untuk mendukung profesionalitas seorang akuntan, Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI) mengeluarkan suatu standar profesi yang memuat
seperangkat prinsip-prinsip moral dan mengatur tentang perilaku profesional
yaitu kode etik ikatan akuntan yang berisi tentang norma perilaku dan
mengatur hubungan antara akuntan dengan para klien, antara akuntan dengan
sejawatnya dan antara profesi dengan masyarakat. Alasan yang mendasari
4
profesi akuntan adalah kebutuhan akan kepercayaan publik terhadap kualitas
jasa yang diberikan profesi akuntan terlepas dari yang dilakukan perorangan.
Kepercayaan masyarakat terhadap kualitas jasa profesional akuntan akan
meningkat jika profesi mewujudkan standar yang tinggi dan memenuhi
semua kebutuhan.
Namun akhir-akhir ini kepercayaan masyarakat semakin berkurang
terhadap profesi akuntan publik. Krisis kepercayaan yang menimpa akuntan
semakin terlihat jelas. Akuntan dituduh sebagai penyebab terjadinya krisis
ekonomi (Media Akuntansi:1999). Akuntan dianggap telah bertindak
menyimpang dari peraturan yang ada dan tidak berperilaku etis. Hal ini
disebabkan karena semakin meningkatnya persaingan membuat para akuntan
publik bertindak menyimpang dari peraturan, undang-undang dan standar
profesi yang ada.
Walaupun IAI telah berupaya untuk melakukan penegakan etika
profesi bagi akuntan, sikap dan perilaku tidak etis dari para akuntan masih
tetap ada. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya kasus yang terjadi yang
kesemuanya melibatkan akuntan publik. Sebagai contoh hasil penelitian
BPKP terhadap 82 KAP menunjukkan bahwa selama tahun 1994 sampai
dengan tahun 1997 terdapat 91.8% KAP tidak mematuhi standar profesional
akuntan publik (SPAP), sebesar 82.39% tidak menerapkan sistem
pengendalian mutu, sebesar 9.93% melakukan pelanggaran kode etik dan
selebihnya sebesar 5.26% melanggar peraturan dan perundang-undangan.
5
dalam tabel I.1, kasus 10 KAP yang dituding ICW melakukan pelanggaran
dalam melakukan audit 37 bank bermasalah untuk tahun buku 1995, 1996 dan
1997, sepuluh akuntan publik diketahui melanggar etika melalui rekayasa
data perusahaan dengan cara menyembunyikan fakta yang berkaitan dengan
informasi publik, kasus ditolaknya laporan keuangan PT Telkom yang diaudit
oleh KAP Eddy Pianto oleh badan otoritas pasar modal Amerika Serikat
(SEC)dan diancam di de-listingdari lantai bursa NYSEdan kasus-kasus yang terjadi dalam bisnis Amerika Serikat seperti kasus kebangkrutan Enron,
Worldcom, Merck Co&Inc dan Xerox (tabel I.2).
Berdasarkan laporan dewan kehormatan dan pengurus pusat IAI
dalam kongres IAI, pelanggaran terhadap kode etik dan sengketa secara
umum (Riyanti, 1999) sebagai berikut.
a. Kongres V (1982-1986)
meliputi : publikasi, pelanggaran obyektifitas dan komunikasi
b. Kongres VI (1986-1990)
meliputi : publikasi, pelanggaran obyektifitas dan komunikasi
c. Kongres VII ( 1990-1994)
meliputi : standar teknis, komunikasi dan publikasi
d. Kongres VIII (1994-1998)
6
Tabel I.1
Pelanggaran Etika Kantor Akuntan Publik
NO URAIAN 1994(%) 1995(%) 1996(%) 1997(%)
RATA-RATA (%) 1 Tidak mematuhi
Perundang-undangan 21.05 0.00 0.00 0.00 5.26
2 Tidak mematuhi kode
etik 21.05 12.00 6.67 0.00 9.93
3 Tidak menerapkan sistem pengendalian
mutu 78.95 88.00 93.33 73.91 91.81
4 Tidak mematuhi standar profesional
akuntan publik 100.0 100.0 93.33 73.91 91.81
Sumber :BPKP (Media Akuntansi:1999)
Tabel I.2
Indikasi Pelanggaran Bisnis AS yang Melibatkan Akuntan Publik
NO PERUSAHAAN INDIKASI PELANGGARAN
1 Enron Corp Diketahui memanipulasi laporan keuangan dengan
mencatatkan keuntungan 600 juta dollar AS padahal
perusahaan mengalami kerugian.
2 World Com Diketahui memanipulasi laporan keuangan dengan tidak
mencantumkan pelarian dana sebesar US$3.8 milyar.
Perusahaan ini menyatakan membukukan laba tahun 2001
padahal perusahaan justru menderita kerugian yang cukup
besar
3 Merck Co & Inc Diketahui melakukan mark up pendapatan sebesar US$14.1
milyar selama 3 tahun terakhir.
4 Xerox Diketahui memanipulasi laporan keuangan dengan mengaku
melakukan kesalahan dalam menerapkan standar akuntansi
sehingga dalam pembukuan perusahaan mencatatkan laba
US$1.4 milyar selama 5 tahun.
Sumber:Media Akuntansi:2002
Berbagai pelanggaran etika tersebut tidak akan terjadi apabila setiap
7
secara memadai dalam pelaksanaan pekerjaan profesionalnya (Ludigdo dan
Machfoedz, 1999). Pekerjaan seorang profesional harus dikerjakan dengan
sikap profesional pula dengan sepenuhnya melandaskan pada standar moral
dan etika tertentu. Dengan sikap profesionalnya, akuntan akan mampu
menghadapi berbagai tekanan yang dapat muncul dari dalam dirinya sendiri
atau pihak eksternal.
Kemampuan seorang profesional untuk dapat mengerti dan peka
terhadap persoalan etika diantaranya dipengaruhi oleh pengalaman kerja
(Sri Sularso dan Ainun Naim, 1999). Pengalaman kerja dipandang sebagai
suatu faktor penting dalam memprediksi kinerja akuntan publik sehingga
pengalaman kerja dimasukkan sebagai salah satu persyaratan dalam
memperoleh ijin menjadi akuntan (SK Menkeu No.43/KMK.017/1997).
Menurut Longmann (1987:355 dalam Hartoko dkk, 1997), pengalaman
(experience) merupakan perolehan atau bertambahnya pengetahuan (knowledge) atau keahlian (skill) yang berasal dari praktik dalam suatu aktifitas atau melakukan sesuatu untuk jangka waktu yang panjang.
Penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pengalaman
kerja telah dilakukan seperti dalam penelitian Butt (1998) yang
mengungkapkan bahwa akuntan pemeriksa yang berpengalaman membuat
judgement frekuensi relatif yang lebih baik dalam melakukan tugas-tugas profesional dibanding akuntan pemeriksa yang belum berpengalaman.
Libby dan Frederick (1990) menemukan bahwa akuntan pemeriksa
8
kekeliruan-kekeliruan laporan keuangan dan menghasilkan jumlah yang
lebih banyak mengenai penjelasan hipotesis yang diteliti. Maryani dan
Ludigdo (2001) menemukan bahwa pengalaman termasuk kedalam
faktor-faktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku etis akuntan. Begitu pula
penelitian yang dilakukan oleh Putri Noviyani (2002) terhadap auditor yang
bekerja di KAP se-Jawa menemukan adanya hubungan positif antara
pengalaman maupun pelatihan dengan pengetahuan auditor tentang
kekeliruan. Penelitian serupa tetapi menghasilkan temuan yang berbeda
adalah penelitian yag dilakukan oleh Sri Sularso dan Ainun Naim (1999)
yang mengungkapkan bahwa pengetahuan akuntan pemeriksa tidak berbeda
antara akuntan pemeriksa yang berpengalaman dengan yang tidak
berpengalaman.
Untuk menindaklanjuti penelitian-penelitian sebelumnya, peneliti
mencoba untuk melakukan penelitian tentang persepsi akuntan terhadap
kode etik ikatan akuntan Indonesia berdasarkan perbedaan pengalaman
kerja yang mereka miliki. Penelitian tentang pengalaman kerja yang
dihubungkan dengan kode etik ikatan akuntan belum pernah dilakukan
sebelumnya, sehingga peneliti merasa perlu melakukan penelitian ini untuk
mengetahui sejauh mana pemahaman seorang akuntan tentang kode etik
ikatan akuntan Indonesia didasarkan pada pengalaman kerjanya.
Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan observasi terhadap
persepsi mereka, observasi terhadap persepsi dilakukan dengan alasan
9
merupakan proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca
inderanya (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Sedangkan observasi mengenai
persepsi terhadap kode etik dilakukan karena profesi akuntan merupakan
profesi yang dalam aktifitasnya tidak terpisahkan dengan aktifitas yang
berhubungan dengan etika sehingga seorang akuntan harus memahami
secara mendalam tentang kode etik yang menjadi standar profesinya.
B. Masalah Penelitian
Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana persepsi akuntan yang berpengalaman dan akuntan yang tidak
berpengalaman tentang kode etik ikatan akuntan Indonesia ?
2. Apakah terdapat perbedaan persepsi antara akuntan yang berpengalaman
dan akuntan yang tidak berpengalaman terhadap kode etik ikatan akuntan
Indonesia ?
C. Batasan Masalah
Penelitian ini bukanlah ditujukan untuk menemukan tingkah laku yang
baik atau buruk, tetapi lebih diutamakan untuk mengetahui sejauh mana
pemahaman akuntan tentang kode etik ikatan akuntan Indonesia berdasarkan
pengalaman kerja yang mereka miliki.
Penelitian ini hanya membahas prinsip etika yang ada dalam kode
etik ikatan akuntan Indonesia yang meliputi : (1) prinsip tanggung jawab
10
obyektifitas, (5) prinsip kompetensi dan kehati-hatian profesional, (6) prinsip
kerahasiaan, (7) prinsip perilaku profesional, (8) prinsip standar teknis.
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana persepsi akuntan yang berpengalaman dan
akuntan yang tidak berpengalaman tentang kode etik ikatan akuntan
Indonesia
2. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan persepsi secara signifikan antara
akuntan yang berpengalaman dan akuntan yang tidak berpengalaman
tentang kode etik ikatan akuntan Indonesia.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pihak-pihak
berikut.
1. Bagi pimpinan kantor akuntan publik (KAP), sebagai referensi bagi
mereka untuk melakukan suatu usaha perbaikan kinerja profesi akuntan
yang bekerja di KAP-nya khususnya bagi akuntan yunior yang belum
memiliki banyak pengalaman kerja.
2. Bagi akuntan yang bekerja di KAP, untuk mengetahui seberapa jauh kode
etik ikatan akuntan yang diterapkan telah melembaga dalam diri mereka
sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa perilakunya dapat
11
3. Bagi pemakai jasa profesi, hasil penelitian ini dapat meningkatkan
kepercayaan mereka terhadap profesi akuntan sebagaimana layaknya yang
mereka harapkan.
4. Bagi mahasiswa akuntansi, untuk memahami lebih mendalam mengenai
kode etik ikatan akuntan Indonesia sebagai bekal jika kelak berprofesi
sebagai akuntan.
5. Dapat dijadikan bahan referensi bagi peneliti lain yang berminat dalam
masalah serupa.
F. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, batasan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini mencakup segala konsep yang mendasari penelitian
mengenai definisi pengalaman, persepsi, faktor-faktor yang
mempengaruhi persepsi, etika profesional, akuntan dan organisasi
profesi dan kode etik ikatan akuntan Indonesia.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini memuat penjelasan tentang ruang lingkup penelitian,
populasi, sampel penelitian dan metode pengambilan sampel,
12
instrumen penelitian, dan metode analisis yang digunakan dalam
penelitian.
BAB IV ANALISIS DATA
Baba ini menjelaskan tentang pengolahan data yang dilakukan dan
hasil analisis pengolahan data yang terdiri dari pengujian validitas
dan reliabilitas data, pengujian asumsi dan pengujian hipotesis.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis data
penelitian, keterbatasan, dan saran-saran pengembangan bagi
BAB II
LANDASAN TEORI
1. Pengalaman
a. Pengertian Pengalaman
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) pengalaman adalah
barang apa yang telah dirasai (diketahui, dikerjakan, dan sebagainya).
Sedangkan Longmann (1987 dalam Hartoko dkk, 1997) menjelaskan bahwa
pengalaman (experience) adalah perolehan atau bertambahnya pengetahuan
(knowledge) atau keahlian (skill) yang berasal dari praktik dalam suatu
aktifitas atau melakukan sesuatu untuk jangka panjang. Dapat juga dikatakan
bahwa pengalaman adalah sesuatu yang terjadi pada seseorang dan
mempunyai pengaruh pada pikiran dan perasaannya. Menurut Libby (1995
dalam Vera Munoz et al, 2001) pengalaman adalah informasi yang
didapatkan dari suatu bidang tertentu yang kemudian di simpan dalam
ingatan.
Menurut Meixner dan Walker (1988) pengalaman dibagi menjadi dua
yaitu pengalaman situasi (situational experience)yang didefinisikan sebagai
jumlah keseluruhan dari lamanya pengalaman audit yang dilakukan oleh
seorang akuntan, dan pengalaman organisasi (organizational experience)
yaitu lamanya pengalaman seorang staf akuntan dalam melakukan tugasnya
bersama staf-staf akuntan yang lain maupun dengan atasannya.
Menurut Vera Munoz et al(2001) pengalaman terdiri dari pengalaman di
masalah-masalah yang bersifat umum, sebagai contoh pengalaman dalam
bidang akuntansi dan pengalaman di bidang khusus (specialized domain
experience) yaitu pengalaman yang didapat dari area-area khusus, sebagai
contoh pengalaman dalam bidang akuntansi keuangan.
Pengalaman dapat membentuk 3 tipe pengetahuan yang berbeda.
1. Pengetahuan deklaratif (declarative knowledge) adalah pengetahuan
tentang fakta dan definisi, sebagai contoh kas adalah bagian dari aset
lancar, pengetahuan tentang kas ini penting dalam analisis rasio karena
aset lancar adalah elemen dari beberapa rasio yang ada (Bonner dan
Walker, 1994). Dalam auditing, pengetahuan deklaratif didapat melalui
pendidikan formal (Bonner dan Walker, 1994)
2. Struktur pengetahuan (knowledge structure) yang mengatur pengetahuan
faktual dasar dalam prinsip-prinsip dan kategori yang telah ditentukan.
Individu mendapatkan struktur pengetahuan melalui pengalamannya
dalam bidang umum (broad domain) (Vera Munoz et al, 2001)
3. Pengetahuan prosedur (procedural knowledge) terdiri dari aturan-aturan
atau langkah-langkah yang dibutuhkan dalam melakukan tugas-tugas
keahlian. Pengetahuan ini lebih ke proses (Rumelhart dan Norman dalam
Bonner dan Walker, 1994). Dalam auditing, pengetahuan prosedural
didapat sepanjang karir profesional seseorang (Waller dan Felix dalam
2. Persepsi
a. Pengertian persepsi
Persepsi menunjukkan bagaimana individu melihat atau menafsirkan
kejadian-kejadian atau obyek-obyek individu yang bertindak atas dasar
persepsi tanpa memperhatikan apakah persepsi tersebut mencerminkan
realitas sebenarnya.
Definisi persepsi menurut para ahli adalah sebagai berikut.
1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, 1997), persepsi adalah tanggapan (penerimaan)
langsung dari sesuatu atau merupakan proses seseorang mengetahui
beberapa hal yang dialami oleh setiap orang dalam memahami setiap
informasi tentang lingkungan melalui panca indera.
2. Menurut Hollander dalam Wahjoeni (2000), persepsi adalah
proses-proses pemilihan, pengelompokan dan penginterpretasian.
3. Menurut Forgus dan Melamed dalam Wahjoeni (2000), persepsi adalah
proses ekstraksi informasi.
4. Menurut Walgito (1997), persepsi merupakan suatu proses yang didasari
oleh penginderaan yaitu merupakan proses berwujud diterimanya
stimulus oleh indvidu melalui alat reseptornya kemudian stimulus
tersebut diteruskan ke otak dan terjadilah proses psikologis sehingga
individu menyadari apa yang ia lihat, apa yang ia dengar dan sebagainya.
5. Menurut Rahmat dalam Abdurrahman (1999), persepsi adalah
diperoleh dengan mengumpulkan informasi dan menafsirkan pesan.
Dengan kata lain persepsi adalah pemberian makna terhadap stimulan
indrawi.
6. Menurut Luthans dalam Abdurrahman (1999) menjelaskan persepsi
sebagai proses dalam diri seseorang untuk menyeleksi, mengorganisasi,
dan menginterpretasi input informasi untuk membuat gambaran tentang
dunia.
7. Menurut Gibson (2000), persepsi adalah proses yang dilakukan seseorang
untuk memberikan arti pada lingkungan. Proses ini meliputi
pengorganisasian dan penginterpretasian berbagai stimulan kedalam
pengalaman psikologis.
Proses persepsi menurut Gibson (2000) dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar II.1. The Perceptual Process
Sumber : Gibson, James, L, dkk.2000. Oganizations behavior, structure and process. International edition. New York. Irwin Mc Graw-Hill
Jadi persepsi dapat diartikan sebagai proses kognitif yang dialami oleh
setiap orang dalam memahami setiap informasi tentang lingkungannya
melalui panca inderanya (melihat, mendengar, mencium, menyentuh dan
merasakan). Agar individu dapat menyadari dan dapat membuat persepsi, ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut.
1. Adanya obyek yang dipersepsikan (fisik).
2. Alat indera/reseptor yaitu alat untuk menerima stimulus (fisiologis)
3. Adanya perhatian yang merupakan langkah pertama dalam
mengadakan persepsi (psikologis). (Walgito, 1997).
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi
Persepsi dalam gambar di atas dipengaruhi oleh enam faktor. Keenam
faktor tersebut merupakan hasil penelitian Rensis Likert dalam Gibson
(2000). Keenam faktor tersebut adalah sebagai berikut.
1. Faktor stereotype
Stereotype merupakan sebuah penyamarataan, penyederhanaan diri dan
pengabdian keyakinan diri tentang karakteristik personal seseorang.
Stereotype merupakan pengabdian keyakinan diri karena seseorang
mencoba untuk memperhatikan segala sesuatu sesuai dengan stereotype
mereka dan tidak memperhatikan yang lain.
2. Faktor persepsi selektif (selective perception)
Faktor ini menjadi penting untuk mengetahui siapa orang yang paling
sering menerima informasi dan data dan mencoba untuk menyeleksi
3. Faktor self-concept
Faktor ini menurut penelitian Likert dalam Gibson (2000) menunjukkan
bahwa :
a. pengetahuan mengenai seseorang atau sesuatu mempermudah kita
untuk melihat yang lain secara akurat,
b. karakteristik yang dimiliki seseorang atau sesuatu dan
pengidentifikasian karakteristik sesuatu yang lain dan,
c. seseorang yang bisa menerima dirinya sendiri lebih bisa melihat sisi
baik dari orang lain.
4. Faktor-faktor situasi (situasional factors)
Faktor situasi dapat dilihat dari dimensi waktu, sikap atasan dalam
bekerja, dan situasi bekerja.
5. Faktor kebutuhan (needs)
Persepsi ini sangat dipengaruhi oleh kebutuhan dan keinginan seseorang
terhadap sesuatu sehingga seseorang akan berusaha mencapai apa yang
ingin mereka capai.
6. Faktor emosi (emotion)
Sebuah emosi yang kuat yang ditunjukkan dengan ketidaksenangan
seseorang terhadap kebijakan organisasi akan membuat seseorang akan
3. Etika Profesional
Etika adalah (I) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan
tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), (2) kumpulan asas atau nilai yang
berkenaan dengan akhlak, (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut
suatu golongan atau masyarakat (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Ethics can be defined broadly as a set of moral principles or values
(Arrens & Loebbecke, 1997). Ethics deals with question about how people
act towards one another(Boynton dan Kell, 1995).
Etika profesional bagi akuntan publik menurut Wuryan Andayani (2002)
diartikan sebagai perilaku untuk bertanggung jawab terhadap profesinya, diri
sendiri, peraturan, undang-undang yang berlaku dan masyarakat termasuk
para pemakai laporan keuangan.
Menurut Payamta et al (1997) Etika profesional akuntan adalah bagian
dari etika profesi. Jadi etika profesi akuntan pada hakekatnya berkaitan
dengan kewajiban, sikap dan pola perilaku akuntan dengan klien, rekan
seprofesi dan pihak lainnya baik secara perorangan dan langsung maupun
secara bersama dan dalam bentuk kelembagaan.
Etika Profesi disusun karena kebutuhan akan profesi tersebut tentang
kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa yang diserahkan oleh profesi,
terlepas dari anggota profesi yang menyerahkan jasa tersebut. Setiap profesi
yang menyerahkan jasanya kepada masyarakat memerlukan kepercayaan dari
4. Akuntan dan Organisasi Profesi
Profesi berasal dari bahasa Yunani professues yang berarti suatu kegiatan
atau pekerjaan yang dihubungkan dengan sumpah atau janji yang bersifat
religius, sehingga ada ikatan batin bagi seseorang yang memiliki profesi
tersebut untuk tidak melanggar dan memelihara kesucian profesinya.
Dalam perkembangannya, istilah profesi dikaitkan dengan suatu keahlian
tertentu, yaitu sebagai suatu sebutan bagi seseorang atau sekelompok orang
yang memiliki keahlian khusus yang diperolehnya melalui pendidikan dan
pengalaman kerja yang khusus sehingga mereka dapat memberikan nasihat
atau saran dibidangnya kepada masyarakat umum.
Richard H.Hall dalam artikelnya “Professonalization and
Bureaucratization” yang dikutip dalam media akuntansi edisi September
2002 menyatakan bahwa profesi tersebut berciri sebagai berikut.
1. Pelayanannya bersifat untuk kepentingan publik (service to public).
2. Pengaturan kinerjanya ditentukan dan diawasi sendiri oleh profesi (self
regulation).
3. Menguasai suatu keahlian pada bidang tertentu (dedicated to one’s field).
4. Mandiri dalam pembiayaan pengembangan kinerja profesi (autonomy).
Secara umum, International Federation of Accountants (IFAC) dalam
Handbook 1998 menyatakan karakteristik profesi sebagai berikut.
1. Menguasai suatu keahlian tertentu yang diperolehnya melalui pendidikan
dan pelatihan.
3. Memperoleh pengakuan masyarakat dengan adanya penggunaan gelar
tertentu.
4. Mempunyai organisasi yang mewadahi dan memelihara seluruh
kepentingan profesi tersebut.
Selanjutnya, menurut Keraaf (1995:46-49) terdapat lima kriteria/ciri atau
sifat yang melekat pada profesi. Kelima kriteria tersebut adalah sebagai
berikut ini.
1. Adanya pengetahuan khusus.
Untuk menjalankan tugas dengan baik, seorang akuntan harus memiliki
pengetahuan dan ketrampilan khusus yang umumnya tidak dimiliki oleh
orang kebanyakan lainnya dengan tingkat dan kadar yang tinggi.
Keahlian dan ketrampilan ini dimiliki berkat pendidikan formal tingkat
Sarjana (S1) dan Pendidikan Profesi Lanjutan atau lebih dikenal dengan
Continuing Professional Eductaion (CPE). Pendidikan profesi lanjutan
dalam arti riil dapat dicapai melalui implementasi kode etik atau
aturan-aturan etika organisasi profesi.
2. Adanya kaidah dan standar moral yang tinggi
Akuntan dalam menjalankan tugasnya senantiasa berpedoman pada
kaidah dan standar moral yang tinggi. Hal ini dapat terlihat bahwa
akuntan dalam melaksanakan tugasnya berpedoman pada kaidah-kaidah
seperti SPAP dan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) sedangkan standar
moral yang tinggi ditandai dengan adanya kode etik ikatan akuntan
melampaui tuntutan moralitas minimum bagi masyarakat luas pada
umumnya.
3. Pengabdian kepada masyarakat
Kriteria ini menyiratkan bahwa akuntan-akuntan yang mengemban suatu
profesi meletakkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadinya.
Hal ini dapat dimaklumi bahwa hanya akuntan yang memiliki
pengetahuan dan keahlian khusus sehingga sudah selayaknya diabdikan
untuk kepentingan masyarakat. Dalam praktik bukan berarti bahwa
akuntan tidak perlu dibayar jasanya, tetapi hal ini terkait dengan sikap
akuntan dalam melakukan tugasnya harus senantiasa mengabdi untuk
kepentingan masyarakat.
4. Biasanya ada izin khusus untuk menjalankan praktik profesi
Untuk menjalankan praktik akuntan publik, akuntan tersebut harus
memperoleh izin dari Departemen Keuangan sesuai dengan SK MeKeu
No.43/KMK.017/1997 tertanggal 27 Januari 1997. Pasal 7 menyebutkan
bahwa untuk memperoleh izin sebagai akuntan publik adalah telah
memiliki pengalaman kerja sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai
akuntan dengan reputasi baik dibidang audit, selain itu juga harus lulus
Ujian Sertifikasi Akuntan Publik.
5. Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu organisasi profesi
Bagi akuntan di Indonesia, organisasi profesinya adalah IAI. Tujuan dari
pokoknya adalah menyusun dan mengawasi pelaksanaan standar profesi
termasuk SPAP, SAK dan kode etik ikatan akuntan.
Sementara itu, Greenwood dalam MR Mathews dan MHB Perera yang
dikutip oleh Payamta et al. (1997) mengemukakan bahwa terdapat empat
atribut yang dimiliki oleh setiap profesi, antara lain sebagai berikut ini.
1. Teori yang sistematis
Profesi akuntan mempunyai teori yang sistematis seperti teori akuntansi.
Fungsi teori adalah menjadi petunjuk dasar bekerjanya profesi. Oleh
karena itu profesi akuntan akan berkaitan dengan intelektual dan
pengalaman praktik.
2. Wewenang
Akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya mempunyai wewenang
yang dapat bersumber dari profesinya dan klien atau pemakai jasanya.
Selain itu, organisasi profesi akuntan (IAI) diberi wewenang untuk
menyusun SAK, SPAP dan kode etik.
3. Sanksi masyarakat
Masyarakat memberi kepercayaan penuh kepada akuntan dalam
menjalankan tugas profesionalnya.
4. Kode etik
Profesi akuntan mempunyai kode etik yang akan menjadi alat untuk
melindungi pemakai jasa profesi akuntan oleh perbuatan akuntan yang
petunjuk kerja akuntan dalam batas-batas yang diperbolehkan dan tidak
diperbolehkan oleh organisasi profesi akuntan.
5. Budaya profesional
Dalam berinteraksi, akuntan mempunyai nilai-nilai sosial dan
norma-norma perilaku. Hal tersebut akan menjadi budaya profesional profesi
akuntan. Tidak menerima pekerjaan yang akan merusak independensi,
integritas dan obyektifitas adalah contoh norma perilaku akuntan.
Untuk mewadahi profesi maka ada suatu organisasi yang menghimpun
seluruh anggota profesi tersebut. Organisasi profesi ini berfungsi melakukan
upaya-upaya untuk memelihara dan menjaga martabat profesi serta
mendorong peningkatan kualitas kinerja para anggota profesi.
Secara umum, fungsi organisasi profesi meliputi.
1. Mengadministrasikan status keanggotaan seluruh anggota profesi.
2. Menentukan standar keahlian dan kinerja bagi anggota profesi.
3. Menetapkan kode etik yang harus dipatuhi seluruh anggota profesi.
4. Memelihara kesinambungan keahlian seluruh anggota profesi, baik
melalui pendidikan (PPL) maupun pelatihan, seminar, diskusi, panel dan
lokakarya.
5. Menjaga martabat profesi dengan mendorong dipatuhinya berbagai
Selanjutnya IFAC dalam paper yang diterbitkan pada bulan April 1998
tentang Guidance on the Formation and Organization of a Profesional
Accounting Body yang dikutip dalam media akuntansi edisi September 2002
menyatakan beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh suatu organisasi profesi
akuntan sebagai berikut.
1. Mencari pengakuan masyarakat terhadap kinerja pelayanan akuntan.
2. Melindungi kepentingan masyarakat dengan melakukan upaya
pengawasan (peer review) terhadap kinerja pelayanan akuntan dan
penegakan kode etik profesinya.
3. Meningkatkan pengetahuan, kecakapan dan keahlian anggota profesi.
4. Membuat pengaturan terhadap kinerja praktik bagi akuntan publik.
5. Menjaga kepentingan organisasi dan anggota profesi
6. Melakukan upaya berkesinambungan untuk dapat menjaga independensi
anggota profesi dalam melaksanakan pelayanan profesionalnya.
7. Memajukan pengembangan teori dan praktik akuntansi dalam arti yang
seluas-luasnya.
8. Meyakinkan anggota profesi bahwa mereka akan mendapatkan dukungan
yang memadai dalam memenuhi kebutuhan masyarakat luas atas jasa
keprofesian dan keahlian yang dimilikinya.
5. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia
Kode etik ikatan akuntan merupakan suatu prinsip moral dan pelaksanaan
sesama rekan akuntan dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya. Bagi
akuntan publik sangatlah penting untuk meyakinkan kualitas jasa
profesionalnya baik kepada klien, masyarakat atau pemakai jasa profesi
lainnya. Agar masyarakat percaya bahwa pekerjaan akuntan publik
dikerjakan dengan baik maka profesi akuntan publik perlu meningkatkan
mutu pemeriksaannya dan melaksanakan tugasnya dengan cermat dan
seksama.
Kode etik ikatan akuntan ini diharapkan dapat membantu para akuntan
publik untuk mencapai mutu pemeriksaan pada tingkat yang diharapkan, kode
etik ini juga dapat dijadikan panduan dan aturan terhadap seluruh anggota
baik yang bekerja sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha,
bekerja di instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan
dalam memenuhi tanggung jawab profesionalnya.
Kode etik ikatan akuntan Indonesia pertama kali dirumuskan dan
disahkan pada kongres IAI tahun 1973. Dalam perkembangannya, kode etik
tersebut mengalami beberapa kali perubahan yaitu kongres IAI tahun 1981,
kongres IAI tahun 1986, kongres IAI tahun 1990, kongres IAI tahun 1994,
dan yang terakhir adalah kongres IAI tahun 1998. Kode etik IAI yang berlaku
saat ini adalah kode etik IAI yang disahkan dalam kongres IAI VIII tahun
Kode etik IAI saat ini terdiri atas tiga bagian seperti berikut ini. (SPAP,
2001).
1. Prinsip Etika
Prinsip etika memberikan kerangka dasar bagi aturan etika yang
mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip
etika disahkan oleh kongres dan berlaku bagi seluruh anggota yang terdiri
dari delapan prinsip berikut ini.
a. Prinsip tanggung jawab profesi.
b. Prinsip kepentingan publik.
c. Prinsip integritas.
d. Prinsip objektivitas.
e. Prinsip kompetensi dan kehati-hatian profesional.
f. Prinsip kerahasiaan.
g. Prinsip perilaku profesional.
h. Prinsip standar teknis.
2. Aturan Etika Kompartemen
Aturan etika yang mengatur etika pemberian jasa keprofesian pada
bidang kerja tertentu pada kompartemen masing-masing (akuntan publik,
akuntan pendidik dan akuntan manajemen). Aturan etika kompartemen
akuntan publik ada lima yaitu sebagai berikut ini.
a. Aturan Nomor 100 tentang independensi, integritas dan obyektifitas.
b. Aturan Nomor 200 tentang standar umum dan prinsip akuntansi.
d. Aturan Nomor 400 tentang tanggung jawab kepada rekan.
e. Aturan Nomor 500 tentang tanggung jawab dan praktik lain.
3. Interpretasi Aturan Etika
Interpretasi aturan etika merupakan interpretasi yang dikeluarkan oleh
badan yang dibentuk oleh kompartemen setelah memperhatikan
tanggapan dari anggota dan pihak berkepentingan lainnya sebagai
panduan dalam penerapan aturan etika tanpa dimaksudkan untuk
membatasi lingkup dan penerapannya. (Iskak dalam Widiastuti, 2002).
IAI-PUSAT
IAI-KAP
PENGURUS IAI-KAP
6. Penelitian-Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang etika telah banyak dilakukan, baik di dalam maupun di
luar negeri dengan penekanan yang berbeda-beda. Beberapa hasil penelitian
yang telah dilaksanakan sebelumnya yaitu Desriani (1993), Ludigdo dan
Machfoedz (1999), Sihwahjoeni dan Gudono (2000), Dania (2001),
Wulandari (2002), Ward et al(1993), O’clock dan Okleshen (1993), Glen dan
Van Loo (1993), Douglas E dan Anusorn Singhapakdi (1994), Fisher dan
Rosenzweig (1995) dan Cynthia Jeffrey dan Nancy Weatherholt (1996).
Desriani (1993) meneliti persepsi akuntan publik terhadap kode etik
ikatan akuntan Indonesia. Populasi penelitian ini adalah akuntan publik yang
dikelompokkan ke dalam akuntan publik-pendidik dan akuntan publik-non
pendidik. Sampel yang diambil sebanyak 83 dari jumlah populasi sebesar
482. Responden diberi 35 pertanyaan yang dapat mencerminkan persepsi
mereka terhadap kode etik. Pengujian hipotesis dilakukan dengan
menggunakan uji rerata dan uji F. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
akuntan publik secara signifikan tidak memiliki persepsi yang memadai
terhadap kode etik. Namun dari hasil pengujian item-item kode etik yang
terkait, sebagian item menunjukkan persepsi yang memadai. Terdapat
perbedaan persepsi yang signifikan antara kelompok akuntan publik-pendidik
dengan kelompok akuntan publik-non pendidik.
Ludigdo dan Machfoedz (1999) menguji persepsi akuntan dan
mahasiswa terhadap etika bisnis. Penelitian ini terdiri dari dua bagian, yaitu
cakupan muatan etika dalam kurikulum pendidikan tinggi akuntansi.
Penelitian mengenai persepsi terhadap etika bisnis terutama dimaksudkan
untuk mengetahui perbedaan persepsi antara akuntan dan mahasiswa terhadap
etika bisnis. Penelitian tersebut juga diperluas untuk melihat perbedaan
persepsi antara dua kelompok mahasiswa (mahasiswa semester I dan
mahasiswa semester VII ke atas) dan perbedaan di antara tiga kelompok
profesi akuntan (akuntan pendidik, akuntan publik dan akuntan pendidik yang
sekaligus akuntan publik). Berdasarkan hasil analisis atas kecenderungan
mean persepsi etika di antara tiga kelompok akuntan, menunjukkan adanya
kecenderungan bahwa akuntan pendidik mempunyai persepsi yang paling
rendah terhadap etika bisnis dibandingkan akuntan publik. Selanjutnya dari
hasil penelitian ini dapat pula dideteksi bahwa pendalaman teoritis tentang
etika tidak berpengaruh terhadap baiknya persepsi etika.
Sihwahjoeni dan Gudono (2000) melanjutkan penelitian Desriani (1993)
dengan memperluas obyek penelitian yang meliputi tujuh kelompok akuntan
(akuntan publik, akuntan pendidik, akuntan pendidik sekaligus akuntan
publik, akuntan manajemen, akuntan pendidik sekaligus akuntan manajemen,
akuntan pemerintah dan akuntan pendididik sekaligus akuntan pemerintah).
Hasil uji ANOVA (Analysis of Varians) pada tujuh kelompok akuntan
tersebut menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi yang
signifikan di antara tujuh kelompok akuntan tersebut, kemudian melalui
antara kelompok profesi akuntan tersebut memiliki persepsi yang sama
positifnya terhadap kode etik.
Dania (2001) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
pengaruh pendidikan etika profesi akuntan terhadap persepsi mahasiswa
akuntansi tentang kode etik ikatan akuntan Indonesia. Berdasarkan hasil
pengujian hipotesis menunjukkan adanya perbedaan persepsi yang sangat
signifikan tentang kode etik akuntan antara mahasiswa akuntansi yang belum
pernah dengan yang sudah pernah memperoleh pendidikan etika profesi
akuntan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pendidikan etika profesi
akuntan yang tercakup dalam mata kuliah Auditing I berpengaruh terhadap
persepsi mahasiswa akuntansi tentang kode etik ikatan akuntan.
Wulandari (2002) menguji perbedaan persepsi akuntan pendidik dan
mahasiswa akuntansi terhadap kode etik ikatan akuntan Indonesia serta
mengungkap kecukupan muatan etika dalam kurikulum pendidikan tinggi
akuntansi. Hasil penelitian hipotesis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
persepsi yang signifikan, akuntan pendidik memiliki persepsi yang lebih baik
dibandingkan dengan mahasiswa akuntansi. Hasil lainnya menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi yang signifikan antara akuntan
pendidik dan akuntan pendidik yang sekaligus praktisi dimana akuntan
pendidik cenderung memiliki persepsi yang lebih baik. Peneliti menemukan
bahwa kurikulum pendidikan akuntansi belum cukup mampu memberikan
bekal etika kepada mahasiswa untuk terjun dalam dunia kerja walaupun
Responden mengusulkan untuk memperluas cakupan muatan etika dalam
kurikulum akuntansi dengan mengintegrasikan ke mata kuliah-mata kuliah
tertentu (46,91%) dan mengintegrasikan ke semua mata kuliah yang diajarkan
(29,01%).
Ward et al. (1993) melakukan penelitian untuk menginvestigasikan
kemampuan Certified Public Accountants (CPAs) mengenali dan
mengevaluasi situasi etis dan tidak etis selain itu juga menguji sikap CPAs
berkaitan dengan pendidikan etika. Untuk studi ini, data dikumpulkan melalui
survei terhadap 733 CPAs yang berpraktek sebagai akuntan publik di
Amerika Serikat (yang dipilih secara random dari 1989 anggota AICPA).
Dari jumlah tersebut, 197 orang bersedia untuk berpartisipasi dengan
mengembalikan kuesionernya. Dari instrumen survai yang dibuat yang terdiri
dari enam vignettes, CPAs diminta mengevaluasi akseptabilitas etis dari
perilaku CPA sebagaimana yang digambarkan dalam vignettes tersebut
dengan menggunakan lima skala likert. Hasil analisis yang menggunakan
kolmogorov smirnov one sample test dan paired t-test cenderung
menunjukkan bahwa dalam derajat tertentu CPAs dapat membedakan
perilaku etis dan tidak etis.
O’Clock dan Okleshen (1993) mencoba menganalisis persepsi dan
perilaku etis mahasiswa bisnis dan teknik di tingkat sarjana dan pasca sarjana
dari tiga universitas di Midwestern. Penelitian mengungkapkan adanya
jebakan perceptual (perceptual trap)atau disparitas diri (self disparity)versus
dimana mahasiswa teknik lebih sensitif dibandingkan dengan mahasiswa
bisnis. Kedua kelompok mahasiswa merasa diri mereka menjadi lebih etis
dibandingkan dengan kelompok lainnya dalam keyakinan tindakan.
Glenn dan Van Loo (1993) melakukan penelitian untuk membandingkan
keputusan dan sikap etis antara mahasiswa bisnis dengan praktisi, selain itu
juga menguji tentang sikap dan keputusan etis mahasiswa dan praktisi antar
waktu. Untuk yang pertama, responden meliputi lebih dari 1600 mahasiswa
dari 19 sekolah bisnis di berbagai negara bagian di Amerika Serikat. Tingkat
respon dari penelitian ini 95% dimana jumlah tersebut terdiri dari 46%
mahasiswa public institute dan 56 % mahasiswa private institute baik di
tingkat under graduate maupun graduate. Instrumen yang digunakan adalah
instrumen yang dikembangkan oleh Baumhart, yang terdiri dari 13
pertanyaan yang berisi tentang informasi masalah dan sikap etis. Untuk
analisis beda antar waktu dilakukan dengan membandingkan berdasarkan
data yang dikumpulkan dan di publikasikan oleh Baumhart (1961), Fulmer
(1967), Brenner dan Molander (1976), dan data yang didapatkan sekarang
dimana kesemua penelitian tersebut menggunakan instrumen yang sama yang
dikembangkan oleh Baumhart.
Douglas E dan Anusorn Singhapakdi (1994) melakukan penelitian
tentang nilai profesional dan persepsi etis dari auditor internal. Penelitian ini
dilakukan dengan metode survei yang dikirimkan ke 1000 anggota Institute of
Internal Auditor (IIA) yang ada di Amerika Serikat untuk menguji seberapa
anggotanya. Respon yang diterima setelah dilakukan pengiriman kuesioner
yang kedua sebanyak 493 atau 49,3%. Hasil analisis yang dilakukan dengan
menggunakan teknik regresi menunjukkan: (1) kebanyakan anggota merasa
kode etik ikatan auditor internal membantu dalam memberikan solusi
terhadap permasalahan etis, (2) kode etik ikatan auditor internal secara positif
mempengaruhi persepsi etis anggotanya, (3) kode etik ikatan auditor internal
mempengaruhi persepsi etis responden lebih dari faktor-faktor lain seperti
filosofi etis individu atau lingkungan organisasi.
Fisher dan Rosenzweig (1995) menguji tentang sikap mahasiswa dan
praktisi berkaitan dengan akseptabilitas etis atas manajemen laba (earnings).
Survei dilakukan terhadap mahasiswa akuntansi di tingkat graduate
(berjumlah 122 responden), mahasiswa MBA (133 responden) dan praktisi
akuntansi (265 responden). Kuesioner yang digunakan diadaptasi dari Bruns
dan Merchant (yang berisi 13 pertanyaan manajemen earnings) untuk
manajer umum, manajer finance, manajer control dan manajer audit, yang
menggambarkan berbagai situasi dalam mana seorang subordinate manager
terlibat dalam manajemen earnings. Hasil analisis yang menggunakan
ANOVA menunjukkan bahwa mahasiswa dan praktisi mempunyai beberapa
sensitivitas etis yang sama untuk praktik manajemen earnings yang
questionable, dengan tingkat sensitivitas yang tidak merata pada
permasalahan yang diajukan.
Cynthia Jeffrey dan Nancy Weatherholt (1996) melakukan penelitian
bekerja di perusahaan swasta dan pemerintah. Sebanyak 187 akuntan
berpartisipasi dalam penelitian ini. 102 akuntan berasal dari 4 kantor akuntan
Big 6 Midwest dan 85 akuntan yang bekerja di 500 perusahaan. Dengan
menggunakan uji Kruskal-Wallis Oneway ANOVA menunjukkan hasil
bahwa tidak ada perbedaan dalam pengembangan etikal untuk akuntan yang
bekerja di perusahaan swasta maupun pemerintah.
7. Kerangka Pemikiran
Dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk menindaklanjuti
penelitian-penelitian sebelumnya dimana variabel pengalaman kerja digunakan. Dalam
penelitian-penelitian sebelumnya pengalaman kerja dihubungkan dengan
pembuatan judgement frekuensi relatif dalam tugas-tugas profesionalnya
(Butt, 1998), pengalaman kerja dihubungkan dengan pengidentifikasian
kekeliruan, ketelitian, pengetahuan kekeliruan yang tidak lazim dan
penggunaan intuisi (Sri Sularso dan Ainun Naim, 1999), pengalaman kerja
dihubungkan dengan pemahaman akuntan terhadap frekuensi relatif
peristiwa-peristiwa (Hayes-Roth, Hutchinson, Murphi dan Wright dalam Sri
Sularso dan Ainun Naim, 1999), pengalaman kerja dihubungkan dengan
struktur pengetahuan auditor tentang kekeliruan (Putri Noviyani, 2002), dan
pengalaman kerja dihubungkan dengan etika bisnis (Andy Rahman Yuliman,
2002).
Peneliti mencoba menganalisis apakah ada perbedaan persepsi antara
terhadap kode etik ikatan akuntan Indonesia. Dari dua kelompok sampel yang
telah ditetapkan yaitu mahasiswa akuntansi yang berminat bekerja di kantor
akuntan publik sebagai pengganti subyek akuntan yang tidak berpengalaman
(Davis et al dalam Sri Sularso dan Ainun Naim, 1999) dan akuntan publik
yang bekerja minimal 2 tahun atau bekerja sebagai staf akuntan sebagai
akuntan berpengalaman (Nelson dalam Sri Sularso dan Ainun Naim, 1999),
peneliti mengobservasi persepsi mereka tentang kode etik ikatan akuntan
Indonesia. kemudian hasilnya bisa diketahui apakah ada perbedaan persepsi
atau tidak antara akuntan dan mahasiswa dan lebih jauh lagi dapat dibuat
perbandingan persepsi diantara kedua sampel tersebut, apakah akuntan lebih
Berdasarkan uraian diatas, dapat disusun kerangka pemikiran sebagai berikut
8. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis penelitian yang
akan dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Ho. Tidak ada perbedaan signifikan antara persepsi akuntan berpengalaman
dan akuntan yang tidak berpengalaman mengenai kode etik ikatan
Ha. Ada perbedaan signifikan antara persepsi akuntan berpengalaman dan
akuntan yang tidak berpengalaman mengenai kode etik ikatan akuntan
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dikategorikan ke dalam tipe explanatory research (penelitian penjelasan). Penelitian penjelasan menyoroti hubungan antar variabel penelitian dan menguji hipotesis yang dirumuskan sebelumnya, oleh karenanya dinamakan penelitian pengujian hipotesis. Metode yang digunakan adalah metode penelitian survei. Penelitian survei menurut Singarimbun (1995:3) adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data pokok.
Unit analisa dalam penelitian survei adalah individu, maka dalam penelitian ini yang menjadi unit analisa adalah akuntan publik dan mahasiswa akuntansi secara individu.
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional, dimana penelitian dilakukan terhadap keadaan suatu obyek pada satu waktu tertentu. Karena peneliti tidak dapat mempengaruhi atau mengendalikan variabel yang diteliti, maka jenis penelitian ini adalah ex post facto(Sekaran, 2000:166).
B. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
ingin diteliti peneliti. Penelitian ini menggunakan dua kelompok responden yang dijadikan populasi.
1. Populasi akuntan publik yaitu akuntan yang bekerja di kantor akuntan publik (KAP) di wilayah Jawa Tengah.
2. Populasi mahasiswa akuntansi di perguruan tinggi negeri dan swasta di Jawa Tengah.
Sampel adalah subsetatau bagian dari populasi. Dengan mempelajari sampel, peneliti diharapkan dapat mengambil kesimpulan yang dapat digeneralisasikan kepada keseluruhan populasi yang menjadi pusat penelitian (Sekaran, 2000). Karena metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode purposive (purposive sampling) yaitu metode pengambilan sampel yang dipilih berdasarkan kriteria tertentu (Singarimbun,1995:155) maka peneliti menetapkan kriteria untuk sampel yang diambil sebagai berikut.
1. Untuk kelompok akuntan publik, akuntan publik yang bekerja di kantor akuntan publik (KAP) minimal 2 tahun atau bekerja sebagai staf akuntan. 2. Untuk kelompok mahasiswa akuntansi, mahasiswa yang telah mengambil
mata kuliah auditing 1 dan berminat bekerja di kantor akuntan publik. Peneliti mengacu pada rekomendasi (rule of thumb)yang dikemukakan oleh Roscoe dalam Sekaran (2000:296) untuk menentukan jumlah sampel yang akan digunakan yaitu:
2. Jika sampel dibagi kedalam beberapa sub sampel, maka jumlah sampel minimum adalah 30 untuk setiap kelompok sub sampel.
Berdasarkan ketentuan di atas, dengan mengingat keterbatasan waktu dan biaya, maka target sampel minimal yang diharapkan dalam analisis adalah 30 responden untuk masing-masing kelompok responden.
Dalam penelitian ini peneliti tidak menentukan terlebih dahulu jumlah sampel yang digunakan. Jumlah sampel yang diteliti di dapat dari kuesioner yang kembali dan telah terseleksi kelengkapannya. Dari sejumlah populasi yang ada, peneliti mengambil sampel semaksimal mungkin. Oleh karena itu peneliti membagikan kuesioner sebanyak mungkin kepada responden, hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kemungkinan tidak didapatnya jawaban dari responden.
C. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
1. Variabel Pengalaman Kerja
Pengalaman kerja adalah perolehan atau bertambahnya pengetahuan (knowledge) atau keahlian (skill) yang berasal dari praktik dalam suatu aktifitas atau melakukan sesuatu untuk jangka panjang. Variabel pengalaman kerja dapat diukur dengan beberapa indikator. Terdapat variasi pengukuran terhadap variabel pengalaman yang digunakan oleh para peneliti.
2. Variabel Persepsi
Persepsi dapat diartikan sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu atau merupakan proses seseorang mengetahui beberapa hal yang dialami oleh setiap orang dalam memahami setiap informasi tentang lingkungan melalui panca indera.
Variabel persepsi diukur dengan mengetahui jawaban responden terhadap pernyataan-pernyataan tentang kedelapan prinsip dalam kode etik yang diberikan dalam kuesioner.
a. Prinsip tanggung jawab profesi
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap akuntan harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya. Prinsip ini dijabarkan dalam pernyataan no 1 dan 2.
b. Prinsip kepentingan publik
Setiap akuntan berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme. Prinsip ini dinyatakan dalam pernyataan no.3
c. Prinsip Integritas
d. Prinsip obyektifitas
Setiap akuntan harus menjaga obyektifitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya. Prinsip ini tercermin dalam pernyataan no. 6, 7 dan 8.
e. Prinsip kompetensi dan kehati-hatian profesional
Setiap akuntan harus menjalankan jasa profesionalnya dengan kehati-hatian, kompetensi dan ketekunan serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan ketrampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan publik, legislasi dan teknik yang paling mutakhir. Prinsip ini dijabarkan dalam pernyataan no 9 dan 10.
f. Prinsip kerahasiaan
Setiap akuntan harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya. Prinsip ini dijabarkan dalam pernyataan no 11 dan 12
g. Prinsip perilaku profesional
h. Prinsip standar teknis
Setiap akuntan harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, akuntan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektifitas. Prinsip ini dijabarkan dalam pernyataan no 15, 16, 17, 18 dan 19.
D. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan berupa kuesioner yang diadopsi dari instrumen yang dikembangkan oleh Sihwahjoeni dan Gudono (2000) dan instrumen dalam penelitian Desriani (2001) yang diambil dan dimodifikasi dari Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk profesi akuntan secara umum. Instrumen yang dikembangkan oleh ketiga peneliti sebelumnya telah diuji validitasnya dan dinyatakan valid sehingga kuesioner hasil modifikasi ini tidak memerlukan pre-testlagi.
dengan kode etik sehingga dengan demikian dapat diketahui bagaimana persepsi mereka.
Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner campuran yaitu kuesioner tertutup dan kuesioner terbuka. Daftar kuesioner terbagi dua bagian berikut ini.
1. Pernyataan Tentang Persepsi
Bagian ini berisi pernyataan-pernyataan mengenai kasus-kasus yang berhubungan dengan masalah etika yang dimodifikasi dari kode etik ikatan akuntan Indonesia. Jenis pernyataan yang digunakan adalah pernyataan tertutup yang memungkinkan responden memilih salah satu jawaban yang telah disediakan dalam format skala likertdengan skor sebagai berikut.
4 = sangat setuju, 3 = setuju, 2 = tidak setuju,
1 = sangat tidak setuju.
Peneliti menghilangkan alternatif pilihan netral untuk menghilangkan keragu-raguan karena peneliti menghendaki alternatif pilihan yang pasti (Sihwahjoeni dan Gudono, 2000).
2. Pertanyaan Umum
kemudian jabatan terakhir mereka dalam pelaksanaan tugas, pelatihan-pelatihan yang telah diikuti seperti pelatihan-pelatihan dalam bidang auditing, perpajakan, pendidikan profesi lanjutan dan lain-lain. Sementara untuk mahasiswa ditanyakan juga tentang pelatihan-pelatihan yang mereka ikuti serta minat mereka untuk bekerja di kantor akuntan publik. Variabel minat mahasiswa terhadap profesi akuntan publik dimasukkan dalam instrumen penelitian ditujukan agar dapat dibuat perbandingan yang jelas dengan akuntan yang telah bekerja di kantor akuntan publik.
E. Metode pengumpulan data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengambil data primer yang diambil secara langsung dari responden. Data primer ini dikumpulkan melalui instrumen kuesioner yang dikirimkan kepada mahasiswa akuntansi dan akuntan publik di wilayah Jawa Tengah. Dalam proses pengumpulan data primer, peneliti menggunakan teknik berikut ini.
1. Responden akuntan publik
terlebih dahulu melalui telepon untuk mengetahui apakah kuesioner telah diisi atau belum. Peneliti memberi batasan waktu pengembalian kuesioner satu minggu setelah pengiriman.
2. Responden Mahasiswa
Peneliti mendatangi secara langsung mahasiswa yang bersangkutan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara membagikan kuesioner secara langsung untuk diisi dan pada saat itu juga kuesioner dikembalikan. Untuk responden mahasiwa akuntansi ini, peneliti membagikan kuesioner kepada mahasiswa yang ditemui dengan syarat mahasiswa tersebut telah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan.
Untuk data sekunder digunakan sebagai pendukung data primer yang berupa studi pustaka, literatur ataupun review penelitian terdahulu yang diterbitkan melalui jurnal yang berkaitan dengan pokok masalah yang diteliti. Metode ini digunakan untuk mendapatkan konsep-konsep teoritis dan landasan teori yang kuat sehingga dapat diperoleh gambaran yang lebih jelas dalam melakukan pembahasan masalah.
F. Teknik Pengujian Data
1. Uji Validitas
Uji validitas digunakan untuk mengetahui kesahihan alat ukur yang digunakan. Hasil dari uji validitas ini berupa suatu nilai yang menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur benar-benar mengukur apa yang ingin diukur (Singarimbun, 1995:122).
Validitas alat pengumpul data menurut beberapa ahli (Anastasi dan Nunnally dalam Singarimbun, 1995) dapat digolongkan dalam beberapa jenis yakni validitas konstruk (construct validity), validitas isi (content validity), validitas eksternal (external validity), validitas prediktif (predictive validity),validitas budaya dan validitas rupa.
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah validitas konstruk (construct validity)karena pendekatan tersebut lebih obyektif dan cukup sederhana. Validitas konstruk merupakan suatu cara yang paling banyak digunakan. Validitas konstruk ini dilakukan dengan mengkorelasikan antara skor yang diperoleh masing-masing pertanyaan dengan skor totalnya. Skor total ini merupakan nilai yang diperoleh dari hasil penjumlahan semua skor pertanyaan. Korelasi antara skor pertanyaan tertentu dengan skor totalnya harus signifikan berdasarkan ukuran statistik tertentu. Apabila masing-masing pertanyaan berkorelasi dengan skor totalnya, maka dapat dikatakan bahwa alat pengukur tersebut memiliki validitas.
valid jika angka korelasinya signifikan dalam level tertentu. Hal tersebut bisa diketahui melalui tanda * yang berarti angka korelasi tersebut signifikan pada level 0,05 dan tanda ** yang berarti angka korelasi tersebut signifikan pada level 0,01. Bila pada angka korelasi tidak terdapat tanda * atau ** berarti angka korelasi tersebut tidak signifikan (tidak valid).
2. Uji Reliabilitas
Setelah masing-masing alat ukur dapat ditentukan validitasnya kemudian dilanjutkan dengan uji reliabilitas. Uji ini hanya dapat dilakukan pada pertanyaan yang dianggap sahih dan valid. Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Apabila suatu alat pengukur digunakan dua kali untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relatif konsisten, maka alat pengukur tersebut dinyatakan reliabel atau dengan kata lain reliabilitas menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama (Singarimbun, 1995:140).
Untuk mengukur reliabilitas konsistensi internal dapat menggunakan koefisien cronbach’s alpha. Semakin tinggi koefisien alpha, berarti semakin baik pengukuran instrumen (Sekaran, 2000:206).
Besarnya nilai alpha yang dihasilkan dibandingkan dengan indeks dibawah ini (Suhaersini dalam Dania, 2001)
0,800-1,000 : Sangat tinggi 0,600-0,799 : Tinggi 0,400-0,599 : Cukup tinggi 0,200-0,399 : Rendah < 0,200 : Sangat rendah
G. Analisis Data
1. Pengujian Asumsi
a. Uji Normalitas Sebaran Normal (Normal Distribution)
Pengujian normalitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan program SPSS, sedangkan teknik yang digunakan adalah teknik Kolmogorov Smirnov Test (k-s) untuk pengujian dua sisi. Uji k-s bisa dipakai untuk uji keselarasan data yang berskala minimal ordinal (Santoso,1999). Tujuan uji normalitas sebaran ini adalah untuk membuktikan bahwa: (1) sampel telah diambil secara acak dari populasinya dan (2) variabel yang diteliti memenuhi kriteria distribusi normal. Hasil pengujian dibandingkan dengan taraf signifikansi (0.05). Apabila hasil yang diperoleh lebih besar dari taraf signifikansi maka distribusi data penelitian adalah normal. Sebaliknya, jika probabilitas lebih kecil dari taraf signifikansi maka distribusi data tidak normal.
b. Uji Homogenitas Varian Antar Kelompok (Homogenity of Varians) Pengujian homogenitas bertujuan untuk mengidentifikasi apakah masing-masing kelompok sampel yang terambil berasal dari populasi yang sama dan varian antar kelompok tersebut tidak berbeda secara signifikan.Uji homogenitas dalam penelitian ini menggunakan Uji Levene (Levene’s Test for Equality of Variance). Angka yang dihasilkan merupakan probabilitas dua sisi yang kemudian dibandingkan dengan tingkat signifikansi sebesar 0.05.
dihasilkan lebih kecil dari taraf signifikansi, maka varian antar kelompok heterogen dan asumsi yang digunakan adalah asumsi varaian tidak sama (berbeda).
2. Pengujian Hipotesis
Peneliti ingin membandingkan persepsi akuntan publik dengan mahasiswa akuntansi sehingga uji statistik yang digunakan adalah uji yang membandingkan dua mean. Pengujian hipotesis pada penelitian ini menggunakan pengujian independent sampel t-test atau uji beda dua mean karena masing-masing kelompok sampel yang diuji saling independen. Apabila hasil dari uji normalitas menunjukkan data mempunyai distribusi normal, maka t-test dilakukan untuk melihat apakah ada perbedaan yang signifikan antara dua mean untuk dua kelompok yang berbeda dalam variabel yang diinginkan (Sekaran, 2000). Jika populasi ternyata tidak berdistribusi normal, maka pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan statistik non parametrik yaitu digunakan uji Mann Whitney.
Pengujian hipotesis ini dilakukan dengan bantuan program komputer SPSS release 10.00. Dalam penelitian ini, peneliti menentukan
level of significance= 0.05. Hasil pengujian hipotesis dapat disimpulkan
menunjukkan bahwa hipotesis nol (Ho) yang diuji ditolak atau dengan kata lain hipotesis altenatif diterima (Santoso, 2002).
3. Analisis Tambahan
BAB IV
ANALISIS HASIL PENELITIAN
A. Pelaksanaan Penelitian dan Hasil Pengumpulan Data
Penelitian diawali dengan perancangan kuesioner kemudian
dilanjutkan dengan mencari ijin penelitian yang merupakan syarat melakukan
penelitian di kantor akuntan publik dan perguruan tinggi yang telah terpilih.
Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner yang telah diuji validitas
dan reliabilitasnya oleh peneliti terdahulu sehingga tidak perlu dilakukan
pretest. Namun ada sedikit modifikasi dalam kuesioner karena peneliti menggabungkan dua kuesioner peneliti terdahulu. Dalam bagian pernyataan
tentang persepsi, peneliti lebih memilih peryataan-pernyataan yang bersifat
kasuistik yang diambil dari penelitian Desriani (2001).
Setelah merancang kuesioner langkah selanjutnya adalah mencari ijin
penelitian yang merupakan syarat untuk melaksanakan penelitian. Peneliti
membawa surat ijin penelitian yang telah ditandatangani oleh dekan dan surat
permohonan untuk menjadi responden yang telah ditandatangani oleh dekan
dan dosen pembimbing dalam proses pengumpulan data.
Responden dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu
akuntan publik dan mahasiswa akuntansi. Kuesioner yang disebar sebanyak