• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan Dan Ketahanan Pangan dalam Peningkatan Aksesibilitas Pangan bagi Daerah Rawan Pangan di Kabupaten Serdang Bedagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peran Koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan Dan Ketahanan Pangan dalam Peningkatan Aksesibilitas Pangan bagi Daerah Rawan Pangan di Kabupaten Serdang Bedagai"

Copied!
161
0
0

Teks penuh

(1)

“PERAN KOORDINASI BADAN PELAKSANA PENYULUHAN DAN KETAHANAN PANGAN DALAM PENINGKATAN AKSESIBILITAS

PANGAN BAGI DAERAH RAWAN PANGAN DI KABUPATEN SERDANG

BEDAGAI”

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Oleh:

OBED FIRDAUS NABABAN

110903093

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KATA PENGANTAR

Terpujilah Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasihNya dalam kehidupan kita. Layaklah segala puji, hormat dan sembah hanya kepada Tuhan saja. Penulis sangat bersyukur untuk setiap kebaikan dalam hidup penulis yang kembali Tuhan nyatakan lewat pengerjaan skripsi yang berjudul “Peran Koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan Dan Ketahanan Pangan dalam Peningkatan Aksesibilitas

Pangan bagi Daerah Rawan Pangan di Kabupaten Serdang Bedagai”. Untuk itu,

skripsi ini pun penulis persembahkan untuk kemuliaan Tuhan yang menjadi sumber kekuatan dan perisai kita semua.

Selama proses pengerjaan skripsi ini, penulis menyadari sangat banyak pihak yang telah membantu penulis. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga teristimewa kepada orang tua

penulis S.Nababan (Alm) dan D. br Sirait. Terima kasih untuk didikan bapak dan mamak, untuk kasih sayang dan doa – doanya. Terima kasih untuk nasihat dari bapak selama bapak masih ada ditengah – tengah keluarga kita bahkan untuk mamak yang

selalu memperjuangkan ketujuh anaknya, tetap kuat dan tegar di tengah – tengah kondisi apapun, aku belajar banyak dari ketegaran mamak. Semoga aku juga bisa

menjadi anak yang dapat membanggakan. Penulis juga mengucapkan terima kasih banyak kepada saudara – saudara penulis: Kak Tina, Kak Fitri S.Pd, Kak Marini S.Pd, Kak Endang S.PAK, Kak Riris dan dek Echa. Terima kasih untuk dukungan

dan perhatian kalian. Semoga tetap menjadi anak yang takut akan Tuhan dan kelak

kita bisa menjadi kebanggaan bagi keluarga, bangsa dan negara.

Pada kesempatan ini, tak lupa penulis juga ingin mengucapkan rasa terima kasih yang teramat dalam bagi pihak – pihak lainnya yang telah turut serta

(3)

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. M. Rasudin Ginting, M.Si, selaku Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakulatas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Elita Dewi, M.SP, selaku Sekretaris Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakulatas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dadang Darmawan Pasaribu S.Sos.M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah bersedia membimbing penulis, memberikan waktu, tenaga, sumbangan pemikiran, dan mengarahkan penulis dari awal hingga selesainya

skripsi ini. Biarlah Tuhan yang membalas kebaikan Bapak kepada kami mahasiswa/i bimbingan bapak.

5. Ibu Dra. Asimayanti Siahaan, MA., Ph.d, selaku dosen penguji dari penulis

dari proposal penelitian sampai meja hijau. Terima kasih untuk masukan dari bapak yang membantu pengembangan isi skripsi ini.

6. Bapak Drs. Alwi Hasyim Batubara M.Si, selaku dosen PA penulis dan dosen pembimbing magang penulis. Terima kasih untuk arahan dari bapak sejak semester 1 – 8.

7. Bapak/Ibu Staf Pengajar serta Pegawai FISIP USU yang telah berjasa

(4)

8. Bapak/Ibu di di Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan

Kabupaten Serdang Bedagai yang telah membantu penulis selama penelitian

di lapangan, terkhusus untuk Ibu Ratih Pane, Pak Bliher Sinaga, Pak Nurhadi, Bapak Setiyarno dan yang lainnya. Terima kasih untuk waktu, tenaga, dan tempat yang bapak/ibu telah berikan.

9. Buat keluarga besar Nababan dan Sirait, terima kasih untuk motivasi dan bantuan dalam bentuk apapun dari kalian.

10.Buat Arini Marta Lubis, sahabat penulis yang telah memberikan Motivasi dalam pengerjaan Skripsi ini. Terima kasih atas semua dukungannya.

11.Buat teman – teman magang Kelompok VII : Reza, Chandra, Ipol, Devi,

Titin, Liak, Frans, Giok, Febri, Grace, dan Clara. Terima kasih untuk setiap hal yang boleh kita lewati selama dua minggu kelurahan Labuhan Ruku, bahkan untuk kerja sama yang baik dari kalian dalam pengerjaan laporan

magang.

12.Buat Kelompok Kecil “Patriot Of Trut (POT)”, terkhusus buat Bang Mian,

Terima kasih untuk perhatian kakak, kepedulian kakak, bahkan kesabaran kakak untuk membimbing kami adik – adikmu.Sabam, Martin, dan Bidadari Fanny Terima kasih banyak untuk doa – doa, semangat, dan dukungan kalian

adik – adikku.

(5)

14.Buat teman – teman Administrasi Negara 2011, dan terkhusus buat anak-anak “DMK”, serta seluruh abang/kakak senior dan adik – adik junior di Jurusan

Ilmu Administrasi Negara FISIP USU Terima kasih ketika kita boleh saling berbagi ilmu dan pengetahuan di jurusan ini. Tetap semangat para administrator muda!

15. Buat Teman Sepelayan di Sekretariat GPdI Shalom dan Jajaran Pelprap GPdI Shalom terima kasih atas dukungannya.

16. Untuk semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih untuk doa – doa dan kebaikan kalian bahkan untuk inspirasi yang telah kalian berikan sehingga penulis tetap semangat dalam pengerjaan skripsi ini.

Penulis juga menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, besar harapan penulis ada kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk perbaikan skripsi ini kedepannya. Akhir kata, semoga penelitian ini bermanfaat.

Lubukpakam, Juli 2015 Penulis,

Obed Firdaus Nababan

(6)

DAFTAR ISI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 22

II.1 Kebijakan Publik... 22

II.1.1 Pengertian Kebijakan Publik ... 22

II.1.2 Implementasi Kebijakan Publik ... 23

II.1.3. Model-model Implementasi Kebijakan ... 29

II.1.4 Aktor-aktor Implementasi... 33

II.1.5 Analisis Antar-Organisasi dan implementasi ... 35

II.1.6 Kegagalan Kebijakan ... 37

II.2 Koordinasi ... 40

II.2.1. Pengertian Koordinasi... 40

II.2.2. Jenis-Jenis Koordinasi ... 43

II.2.3. Prinsip-Prinsip Koordinasi ... 44

II.2.4. Mekanisme dan Proses Koordinasi ... 45

II.2.5. Hambatan Koordinasi ... 46

(7)

II.3.1. Pengertian Ketahanan Pangan ... 48

II.3.2. Aksesibilitas Pangan ... 50

II.3.3. Daerah Rawan Pangan ... 51

II.4 Defenisi Konsep... 52

BAB III METODE PENELITIAN ... 55

III.1 Bentuk Penelitian ... 55

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... 62

IV.1. Gambaran Umum Kabupaten Serdang Bedagai ... 62

IV.1.1. Sejarah Kabupaten Serdang Bedagai ... 62

IV.1.2. Kondisi Geografis dan Luas Wilayah ... 65

IV.1.3. Lambang Daerah Kabupaten Serdang Bedagai ... 66

IV.1.4. Visi Dan Misi Kabupaten Serdang Bedagai 2010-2015 ... 68

IV.1.5. Kependudukan ... 69

IV.1.6. Kemiskinan ... 71

IV.2. Gambaran Umum Badan Pelaksana Penyuluhan Dan Ketahanan Pangan (Bp2kp) Kabupaten Serdang Bedagai ... 73

IV.2.1. Landasan Hukum ... 73

IV.2.2. Visi dan misi Badan Pelaksana Penyuluhan Dan Ketahanan Pangan (BP2KP) Kabupaten Serdang Bedagai ... 75

IV.2.3. Tujuan Dan Sasaran Organisasi ... 75

IV.2.4. Kebijaksanaan Umum Organisasi ... 77

IV.2.5. Susunan Organisasi ... 83

IV.2.6. Tugas Pokok Dan Fungsi... 84

(8)

IV.2.8. Susunan Pejabat Struktural Yang Sedang Bertugas: ... 107

IV.2.9 Daftar Seluruh Pejabat Dan Staf Organisasi ... 108

IV.2.10. Prestasi Yang Pernah Diraih ... 115

IV.2.11. Permasalahan Yang Dihadapi ... 120

BAB V PENYAJIAN ANALISIS DATA ... 121

V.1.1 Program-Program Ketahanan Pangan Di Serdang Bedagai... 121

V.1.1 Operasional Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) ... 121

V.1.2. Kegiatan Distribusi Pangan Masyarakat ... 123

V.1.3. Kegiatan Kawasan Mandiri Pangan Perbatasan ... 123

V.1.4. Operasionalisasi Kelompok Kerja Pangan dan Gizi ... 124

V.2. Analisis Peran Koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan Dan Ketahanan Pangan (BP2KP) ... 134

V.2.1. Analisis koordinasi program sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) dalam Mengatasi Daerah Rawan Pangan... 136

V.2.2 Analisis koordinasi program Distribusi Pangan Masyarakat dalam Meningkatkan Akses Pangan di Daerah Rawan Pangan ... 136

V.2.3 Analisis Koordinasi Program Kawasan Mandiri Pangan Perbatasan dalam Meningkatkan Akses Pangan di Daerah Rawan Pangan ... 146

V.2.4 Analisis koordinasi Operasionalisasi Kelompok Kerja Pangan dan Gizi dalam Meningkatkan Akses Pangan di Daerah Rawan Pangan ... 148

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 154

VI.1 Kesimpulan ... 154

(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1

Gambar 5.1

(10)

DAFTAR TABEL

(11)

ABSTRAK

Peran Koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan dalam Peningkatan Aksesibilitas Pangan di Daerah Rawan Pangan Kabupaten

Serdang Bedagai

Nama : Obed Firdaus Nababan

Nim : 110903093

Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dosen Pembimbing : Dadang Darmawan Pasaribu, M.Si

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan dalam meningkatkan aksesibilitas pangan di daerah rawan pangan di Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif. Analisis peran koordinasi Badan Pelaksana penyuluhan dan ketahanan Pangan ini menggunakan teori Mooney dan Reiley, Urwick, dan Barnard yang membagi prinsip koordinasi dalam tiga kerangka yaitu Prinsip, Proses dan Hasil/efek.

Hasil penelitian menyebutkan bahwa Koordinasi yang dilakukan oleh Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan pangan Kabupaten Serdang Bedagai dalam meningkatkan aksesibilitas pangan di daerah rawan pangan belum terjadi secara maksimal. Koordniasi internnya sudah berjalan dengan baik. Namun koordinasi eksternalnya masih belum berjalan secara maksimal, karena masih banyaknya kendala-kendala yang dihadapi oleh badan ini dalam menjalankan koordinasi eksternalnya.

Dengan melihat kendala-kendala tersebut peneliti menyarankan untuk melakukan pembenahan dalam sistem penanggulangan kerawanan pangan. Dalam pembentukan Kelompok kerja diharapakan bukan Badan pelaksana Penyuluhan dan ketahanan pangan yang harus mengeluarkannya melainkan SK mengenai pembentukan Kelompok kerja Pangan dan Gizi yang terdapat multi instansi perlu dikeluarkan oleh Sekretaris daerah agar seluruh SKPD yang berkaitan dengan permasalahan pangan dapat bergerak bersama untuk mengatasi masalah daerah rawan pangan

(12)

ABSTRAK

Peran Koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan dalam Peningkatan Aksesibilitas Pangan di Daerah Rawan Pangan Kabupaten

Serdang Bedagai

Nama : Obed Firdaus Nababan

Nim : 110903093

Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dosen Pembimbing : Dadang Darmawan Pasaribu, M.Si

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan dalam meningkatkan aksesibilitas pangan di daerah rawan pangan di Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif. Analisis peran koordinasi Badan Pelaksana penyuluhan dan ketahanan Pangan ini menggunakan teori Mooney dan Reiley, Urwick, dan Barnard yang membagi prinsip koordinasi dalam tiga kerangka yaitu Prinsip, Proses dan Hasil/efek.

Hasil penelitian menyebutkan bahwa Koordinasi yang dilakukan oleh Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan pangan Kabupaten Serdang Bedagai dalam meningkatkan aksesibilitas pangan di daerah rawan pangan belum terjadi secara maksimal. Koordniasi internnya sudah berjalan dengan baik. Namun koordinasi eksternalnya masih belum berjalan secara maksimal, karena masih banyaknya kendala-kendala yang dihadapi oleh badan ini dalam menjalankan koordinasi eksternalnya.

Dengan melihat kendala-kendala tersebut peneliti menyarankan untuk melakukan pembenahan dalam sistem penanggulangan kerawanan pangan. Dalam pembentukan Kelompok kerja diharapakan bukan Badan pelaksana Penyuluhan dan ketahanan pangan yang harus mengeluarkannya melainkan SK mengenai pembentukan Kelompok kerja Pangan dan Gizi yang terdapat multi instansi perlu dikeluarkan oleh Sekretaris daerah agar seluruh SKPD yang berkaitan dengan permasalahan pangan dapat bergerak bersama untuk mengatasi masalah daerah rawan pangan

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Ketahanan Pangan merupakan isu yang sangat krusial di Indonesia maupun di dunia internasional. Masalah ketahanan pangan telah menjadi ancaman yang menakutkan bagi dunia saat ini. Hal ini disebabkan karena masalah pangan

merupakan masalah penentu hidup matinya seseorang. Setiap orang dapat bertahan hidup hanya karena adanya makanan yang di konsumsi. Dan sungguh sangat

mengerikan jika kebutuhan akan pangan tidak dapat dipenuhi maka akan mengakibatkan busung lapar dan pada akhirnya menuju pada kematian. Hal inilah yang membuat masalah ketahanan pangan menjadi sangat penting untuk diperhatikan

dan diselesaikan.

Dunia internasional telah menyadari pentingnya masalah ketahanan pangan. Masalah ketahanan pangan telah diperbincangkan oleh dunia internasioanal pada tahun 1974 dengan diadakannya konferensi pangan dunia untuk pertama kalinya. Hal

ini tentu didorong oleh kekuatiran dari pemimpin-pemimpin negara di dunia internasional akan ketahanan pangan. Krisis pangan yang melanda beberapa negara di benua Afrika dan Asia memberikan sinyal ancaman bagi dunia internasional. Lebih

(14)

dan ditambah dengan peningkatan jumlah penduduk yang tak terkendali. Kesadaran

dan kekuatiran tersebut pada akhirnya mendorong terselenggaranya konferensi

pangan internasional. Atas dasar permasalahan tersebut, kemudian Thomas R. Malthus mencetuskan Revolusi hijau untuk menjawab permasalahan pangan Global. Revolusi hijau pada waktu itu menjadi sebuah gerakan bersama dari setiap Negara di

dunia untuk meningkat produktivitas pertanian mereka melalui pengembangan dan penelitian pertanian serta modernisasi pertanian dengan menggunakan teknologi

canggih dalam pertanaian.

Namun Paradigma ketahanan pangan telah gagal mencapai target dalam menurunkan angka kelaparan dunia. Berdasarkan laporan Organisasi Pangan Dunia

(FAO) pada 17 September 2014, angka kelaparan mencapai 805 juta jiwa. Jumlah ini jauh meleset dari target World Food Summit pada tahun 1996, yang saat itu menggadang-gadang konsep ketahanan pangan akan mampu mengurangi setengah

angka kelaparan dunia pada tahun 2015, yakni dari 1,0145 milyar juta jiwa menjadi 507,25 juta jiwa. Laporan FAO itu juga menyampaikan bahwa angka kelaparan

negara dunia berkembang masih pada angka 790,7 juta jiwa. Dengan kata lain satu dari sembilan orang di dunia atau satu dari delapan orang di Negara-negara berkembang tidak mempunyai pangan cukup untuk aktif dan hidup sehat. Hal ini

tentu kembali membuat kekuatiran bagi dunia dan harus menempatkan masalah

ketahanan pangan sebagai suatu permasalahan yang harus diselesaikan sebelum semakin menjadi kompleks.

Di Indonesia, lahirnya otonomi daerah mendesak terjadinya perubahan pola

(15)

masa orde baru yang lebih sentralistik, kini berubah menjadi desentralistik. Hal ini

sesuai dengan semangat reformasi dan otonomi daerah yang saat ini kerap di

dengungkan. Lahirnya undang-undang no 22 tahun 1999 dan kemudian direvisi dengan undang-undang no 32 tahun 2004 merupakan sebuah landasan hukum adanya penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia. Penyelenggaraan otonomi daerah

yang diharapkan melalui undang-undang no 32 tahun 2004 tidak dapat berjalan dengan baik karena belum adanya peraturan pemerintah yang mengatur kewenangan

antara pusat dan daerah. Namun pada tahun 2007 lahirlah Peraturan pemerintah no. 38 yang memperjelas kewenangan antara pusat dan daerah. Di dalam Peraturan pemerintah tersebut menegaskan adanya penyerahan 31 urusan yang di serahkan

kepada daerah. Sementara yang termasuk sebagai kategori urusan wajib terdapat 26 urusan yang wajib ditangani oleh pemerintahan daerah dan terdapat 8 urusan sebagai urusan pilihan. Salah satu dari 26 urusan wajib yang menjadi kewenangan

pemerintahan daerah adalah Ketahanan pangan. Inilah yang menjadi dasar hukum perubahan pola sistem kebijakan ketahanan pangan Indonesia.

Kebijakan ketahanan pangan pada masa orde baru yang berpola Top-Down

sebenarnya berhasil memacu peningkatan produksi pangan. Sejak tahun 1980-an kondisi ketahanan pangan Indonesia cukup menjanjikan, karena besarnya perhatian

pemerintah di sektor pertanian. Dengan melaksanakan revolusi hijau pada masa

pemerintahan orde baru sebagaimana yang diterapkan dibannyak negara agraris lainnya di dunia Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan. Kebijakan proteksi diterapkan dalam sektor pertanian dengan pemberian subsidi bibit, pupuk,

(16)

instansi yang memiliki tugas strategis untuk mengatasi masalah ketahanan pangan,

bergerak dengan menyediakan pasar bagi produk-produk pertanian dan menetapkan

harga bagi para petani. Kemudian Bulog mendistribusikan kewenangannya melalui KUD Koperasi Unit Desa) yang ditempatkan di level pedesaan. KUD merupakan lumbung bagi stok cadangan yang digunakan ketika stok pangan nasional menipis.

Pemerintah berusaha menjaga tingkat harga pangan tetap dapat dibeli oleh rakyat banyak. Kebijakan ini jelas merupakan kebijakan yang sangat sentralistik. Sistem

kebijakan ketahanan pangan yang begitu sentaralistik nyatanya dapat berhasil pada masa orde baru.

Namun adanya semangat otonomi daerah dengan lahirnya UU pemerintah

daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Semangat inilah yang pada akhirnya mengkritik kebijakan ketahanan pangan masa orde baru yang dianggap gagal. Peran aktif pemerintah pusat

pada masa orde baru dianggap telah mengubah perilaku masyarakat hingga selalu tergantung pada program pemerintah serta mengurangi kreatifitas dan

kemandiriannya. Tidak hanya itu, kebijakan ketahanan pangan yang sentralistik dan berpola Top-Down ini juga diklaim sebagai penyebab terjadinya penyeragaman pembangunan hingga tak mampu merespon masalah dan kebutuhan masyarakat yang

bergam antar daerah. Atas alasan-alasan tersebut maka kebijakan ketahanan pangan

yang sentralistik dan berpola Top-Down di ubah sesuai dengan kebijakan desentralis yang berpola Bottom-Up sesuai dengan UU pemerintahan daerah.

Adanya penyerahan tugas dan kewenangan kepada daerah untuk mengurusi

(17)

peraturan pemerintah ini memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk

membentuk badan ketahanan pangan daerah yang mempunyai tugas untuk

menyediakan pangan bagi setiap rumah tangga. Melalui pembentukan badan ketahanan pangan daerah ini maka setiap pemerintah daerah dituntut untuk dapat mengetahui potensi pangan di daerahnya serta mampu mengelolanya agar mampu

menyediakan pangan secara berkelanjutan. Pemerintah daerah diberikan keleluasaan untuk mempergunakan sumber dayanya untuk menciptakan ketahanan pangan di

daerahnya. Sebagai mana kritik yang di lontarkan pada masa orde baru yang terkesan sangat sentralistik dan pemerintah pusat dianggap tidak mengerti persoalaan dan potensi daerah. Maka pada kebijakan Desentralisasi pangan ini seharusnya mampu

membuktikan kebenaran dari kritik yang pernah dilontarkan tersebut.

Kebijakan desentralisasi hampir 16 tahun berjalannya sejak dikeluarkannya UU No.22 tahun 1999 dan lebih jelas lagi sudah 8 tahun sejak dikeluarkannya PP

No.38 tahun 2007 tidak menunjukkan tanda-tanda yang membaik dari kebijakan desentralisasi pangan. Walaupun demikian pemerintah republik Indonesia dapat

mencukupi kebutuhan pangan Indonesia dengan kebijakan impor pangan. Kecukupan pangan dalam negeri melalui kebijakan impor tentunya telah dilakukan dengan perhitungan yang matang antara produksi dalam negeri dan kebutuhan konsumsi

pangan nasional. Namun pada kenyataannya pemenuhan kebutuhan tersebut dengan

menekankan pada ketersediaan pangan nasional tentu tidak dapat dijadikan tolak ukur sebuah ketahanan pangan nasional. Terbukti dengan masih adanya kasus-kasus kelaparan di beberapa daerah di Indonesia yang bisa menjadi indikasi kuat bahwa

(18)

Lebih lagi di Kabupaten Serdang Bedagai, kabupaten ini telah berhasil

mencapai Swasembada beras dan menjadi lumbung pangan Provinsi Sumatera Utara.

Hal ini tentu akan menjadi sebuah prestasi yang membanggakan bagi perangkat daerah di Kabupaten ini. Namun ada hal yang perlu untuk diwaspadai, angka kemiskinan yang ada di Serdang Bedagai jika melihat data dari BPS Kabupaten

Serdang Bedagai dengan menggunakan komponen Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan

Makanan (GKBM) Sangat tinggi. Tercatat sebanyak 10.61% tahun 2008, 9.51% tahun 2009 dan 10.59% tahun 2010 jumlah pernduduk Kabupaten Serdang Bedagai yang masih hidup dalam kemiskinan. Hal ini tentu harus menjadi perhatian

pemerintah. Di dalam kondisi kelimpahan pangan tetapi masih ada warga masyarakatnya yang masih hidup dalam kemiskinan berdasarkan garis k emiskinan makanan dan garis kemiskinan non makanan yang ditetapkan oleh BPS kabupaten

Serdang Bedagai.

Selain itu berdasarkan hasil data dari badan pelasksana penyuluhan dan

ketahanan pangan kabupaten serdang bedagai terdapat 3 kecamatan yang digolongkan sebagai daerah rawan pangan. Badan Pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan kabupaten Serdang Bedagai menetapkan indikator penetapan

daerah rawan pangan dengan melihat potensi pertanian dan jumlah penduduk di

kecamatan tersebut. Apabila suatu kecamatan tersebut memiliki potensi pertanian dan dibandingkan dengan jumlah penduduknya, kecamatan tersebut surplus pangan maka ditetapkan sebagai kecamatan yang aman akan pangan, dan sebaliknya. Namun yang

(19)

daerah yang tidak memiliki potensi pertanian, tetapi lebih mengedepankan

perkebunan, jasa ataupun sektor usaha lainnya selain pertanian. Sebagaimana dengan

yang di tetapkan oleh badan pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan sebagai daerah rawan pangan, tentu bagaimana peranan pemerintah utamanya badan penyuluhan dan ketahanan pangan untuk meningkatkan akses pangan bagi daerah

tersebut. Hal inilah akan di ungkap oleh peneliti melalui penelitian yang berjudul “bagaimana Peran koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan

dalam peningkatan Aksesibilitas pangan di daerah rawan pangan kabupaten Serdang bedagai.”

I.2. Fokus Permasalahan

Penelitian ini memiliki fokus masalah yang menjadi batasan peneliti dalam melakukan penelitian. Peneliti melakukan fokus masalah yang akan diteliti karena begitu banyak teori dalam ilmu sosial dengan persepsi yang berbeda-beda sehingga

perlu dilakukan fokus masalah agar menjadi acuan bagi peneliti dalam melakukan penelitian di lapangan.

Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana Peran Koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan dalam Peningkatan Aksesibilitas Pangan di daerah rawan pangan Kabupaten Serdang Bedagai?

I.3. Rumusan Permasalahan

(20)

pertanyaan terhadap dirinya tentang hal hal yang akan dicari jawabnya melalui

kegiatan penelitian.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka permasalahan yang menjadi perhatian penulis dalam penelitian ini adalah: “bagaimana Peran Koordinasi

Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan dalam Peningkatan

Aksesibilitas Pangan di daerah rawan pangan Kabupaten Serdang Bedagai.

I.4. Tujuan Penelitian

Di dalam usulan/rancangan penelitian, apapun format penelitian yang digunakan (deskriptif eksplanasi, studi kasus, survei eksperimen), juga perlu secara tegas dan jelas merumuskan tujuan penelitian yang hendak dihasilkan. Tujuan

Penelitian ini ialah untuk menjawab perumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, yakni untuk mengetahui bagaimana Peran Koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan dalam Peningkatan Aksesibilitas Pangan di

daerah rawan pangan Kabupaten Serdang Bedagai?

I.5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini ialah:

1. Manfaat secara ilmiah, penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan serta mengembangkan kemampuan berpikir melalui penulisan karya ilmiah

dibidang ilmu Administrasi Negara serta Kebijakan Publik.

(21)

3. Manfaat secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

baik secara langsung maupun tidak langsung bagi kepustakaan Departemen Ilmu

Administrasi Negara.

I.6. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini memuat latar belakang masalah dan perumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini memuat kerangka teori, defenisi konsep dan sisitematika

penelitian.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan

penelitian , teknik pengumpulan data dan teknik analisa data. BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan gambaran umum lokasi penelitian, sejarah singkat lokasi penelitian dan gambaran umum mengenai instansi tempat penelitian.

(22)

Bab ini berisikan hasil data yang diperoleh dari lapangan dan atau

berupa dokumen yang akan di analisis serta berisikan tentang uraian

data- data yang diperoleh setelah melaksanakan penelitian BAB VI : PENUTUP

Bab ini memuat kesimpulan dan saran- saran yang diperoleh dari

hasil peneliti

(23)

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Kebijakan Publik

II.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

Dimulai dari pengertian kata publik menurut Wayne Parsons (2008:2)

mengartikan bahwa publik itu sendiri berisi aktivitas manusia yang dipandang pelu untuk diatur dan diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh

tindakan bersama. Publik itu dianggap suatu ruang dengan domain dalam kehidupan bukan privat atau murni milik individu tetapi milik bersama atau milik umum. Dari pengertian yang digagaskan oleh ahli tersebut dapat kita lihat bahwa publik itu adalah

sesuatu yang kompleks dan luas dan menyangkut kepentingan masyarakat yang tidak terbatas. Tetapi dengan dengan adanya pengertian perlu ada intervensi terhadap aktivitas manusia ini berarti bahwa publik memiliki cirri masyarakat yang mau

diintervensi dari orang yang punya wewenang terhadap masyarakat atau aturan yang disepakati. Oleh karena itu dapat kita lihat bisa kita simpulkan bahwa publik itu

adalah sejumlah individu yang mempunyai kesepahaman untuk membentuk kelompok dengan sistem tersendiri. Sistem dalam hal ini menyangkut apakah masyarakat itu bergerak dengan diintervensi pemerintah, aturan social yang berlaku

atau hal lain. Dalam hal ini pemakalah menekankan bahwa publik itu adalah daerah

kekuasaan yang diintervensi dari pemerintah

Sedangkan kebijakan itu sendiri menurut pandangan Waine Parsons (2008:3) adalah sesuatu yang lebih besar dari keputusan tetapi lebih kecil dari gerakan sosial.

(24)

pengertian dari keputusan adalah adalah sesuatu yang disepakati secara rasional oleh

setiap anggota, terserah dengan cara apa untuk memperoleh kesepakatan. Sementara

itu gerakan sosial adalah suatu pola tertentu yang sudah tumbuh dibenak masyarakat dalam suatu batasan wilayah tertentu yang menjadi dasar dalam melakukan segala kegiatan. Melihat tadi, bahwa kebijakan itu ada ditengah antara keputusan dan gerkan

sosial maka secara sederhana dapat kita defenisikan bahwa kebijakan itu adalah sesuatu yang dapat mengikat masyarakat yang berada lebih dari satu golongan tetapi

tidak untuk semua masyarakat.

Jika kita melihat pengertian asal kata dari kebijakan publik diatas dapatlah

kita simpulkan bahwa kebijakan publik itu adalah apa yang dilakukan pemerintah untuk mengikat daerah yang diintervensinya. Ini sama artinya dengan pendapat Thomas Dye (dalam Tangkilisan, 2003:1) yang mengatakan bahwa kebijakan publik

adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan

bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang

diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana

dalam menetapkan suatu kebijakan.

Disisi lain, terdapat banyak batasan dan defenisi mengenai apa yang dimaksud dengan kebijakan publik (publik policy). Masing- masing defenisi tersebut memberi

(25)

mempunyai latar belakang yang beragam. Berikut kita dapat melihat pandangan ahli

tersebut, Anderson (dalam Winarno 2014:21) misalnya mendefenisikan kebijakan

sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu (dalam Abidin, 2004:21). Tidak jauh berbeda, menurut Chandler dan

Plano (dalam Tangkilisan, 2003:30) juga berpendapat bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya- sumber daya yang ada untuk

memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Dalam kenyataaannya kebijakan tersebut telah banyak membantu para pelaksana pada tingkat birokrasi pemerintah maupun para politisi untuk memecahkan masalah-masalah publik.

Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus – menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut

berpartisipasi dalam pembangunan yang luas.

Jika berpatokan pada pendapat Chandler dan Plano ini maka kita dapat

menyatakan bahwa pembentukan badan pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan Kabupaten Serdang Bedagai yang merupakan produk kebijakan publik yang berupa Peraturan Daerah No. 3 tahun 2010 mempunyai tujuan untuk memecahkan masalah

ketahanan pangan di serdang bedagai. Badan ini diberikan wewenang untuk

mengintervensi persoalan pangan demi kepentingan kelompok yang kurang mampu. Lebih lengkap lagi Solichin Abdul Wahab (2008:4) merincikan konsep mengenai kebijakan publik dalam beberapa poin antara lain, pertama kebijaksanaan

(26)

perilaku atau tindakan yang serba acak. Kedua kebijaksananaan pada hakekatnya

terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola yang mengarah pada

tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang berdiri sendiri. Ketiga kebijakan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dialakukan oleh pemerintah dalam bidang-bidang tertentu

dengan bidang-bidang yang lainnya. Keempat kebijakan Negara kemungkinan berbentuk positif maupun negatif. Dalam bentuk posistif kebijakan Negara mungkina

akan mencakup beberapatindakan pemerintah untuk mempengaruhi masalah tertentu. Sedangkan dalam bentuk negative berupa keputusan pemerintah untuk tidak bertindak, atau tidak melakukan apapun dalam masalah-masalah dimana campur

tangan pemerintah justru diperlukan.

Dari penjelasan para ahli diatas bisa kita simpulkan bahwa pada dasarnya kebijakan publik adalah segala sesuatau yang dilakukan pemerintah lewat keputusan

bersama aktor-aktor politik untuk pencapaian tujuan negara secara utuh. Dan berkaitan dengan penelitian ini, adanya kebijakan pembentukan Badan pelaksana

penyuluhan dan ketahanan pangan di Kabupaten Serdang Bedagai, tentu merupakan hasil dari kebijakan dari pemerintah pusat hingga daerah. Dimana pemerintah pusat telah menetapkan bahwa urusan ketahanan pangan merupakan urusan pemerintah

daerah melalui sebuah produk kebijakan yaitu Peraturan Pemerintah 38 tahun 2007.

II.1.2 Implementasi Kebijakan Publik

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa timbulnya kebijakan publik disebabkan karena adanya gejala yang muncul atau dirasakan didalam masyarakat.

(27)

keadaan-keadaan dalam organisasai saja yang bersifat enthrophi akan tetapi lebih dinamis

karena bersumber dari kehidupan masyarakat.berkenan dengan itu di satu pihak

kebijakan publik menekannkan pada keinginana rakyat banyak yang hidup dalam masyarakat banyak yang hidup dalam masyarakat luas publik, dan tidak hanya berdasarkan kemauan elit yang berkuasa. Sedangkan dipihak menurut pendapat yang

sama lain bentuk organisasi tidak menekankan pada sistem enthrophi dan memerlukan proses pengembangan dan pembinaan organisasi yang terus menerus.

Sistem birokrasi yang menekankan pada formalitas saja, tanpa mengindahkan dan menghargai unsure manusia secara utuh akan mengakibatkan kebijakan publik relatif tidak tepat sasaran. Oleh karena itu para ahli berpendapat hal yang paling

esensial dalam kebijakan publik adalah usaha melaksanakan kebijakan publik. Jika suatu kebijakan telah diputuskan kebijakan tersebut tidak berhasil dan terwujud bilamana tidak dilaksanakan

Pejabat politik harus memikirkan bagaiman memilih dan membuat kebijakan publik. Sekarang timbul pertanyaan bagaiman kebijakan itu dilakasanakan. Usaha

untuk melaksanakan kebijakan tentunya membutuhkan suatu keahlian dan ketrampilan, menguasai persoalan yang hendak dikerjakan, didalam hal ini kedudukan birokrasi menempati kedudukan yang strategis karena birokrasilah yang

berkewajiban melaksanakan kebijakan tersebut, sehingga birokrasi senantias dituntut

untuk mempunyai keahlian dan ketrampilan yang tinggi.

Implementasi kebijakan merupakan rangkaian kegiatan setelah suatu kegiatan dirumuskan. Menururt Robert Nakamura dan Frank Smallwood (dalam Tangkilisan,

(28)

mengevaluasi masalah dan kemudian menerjemahkan kedalam keputusan-keputusan

yang bersifat khusus. Sedangkan menurut Pressman implementasi diartikan sebagai

interaksi antara penyusunan tujuan dengan sarana-sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut, atau kemampuan untuk menghubungkan dalam menghubungkan kausal antara yang diinginkan dengan cara mencapainya.

Menurut Patton dan Sawicki implementasi kebijakan adalah berbagai kegiatan yang dilakukan untuk merealisasikan program, dimana eksekutif berperan mengatur

cara dalam mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi (dalam Tangkilisan, 2003:20). Hal ini didasarkan pada pendapat Jones yang menganalisis masalah pelaksanaan kebijakan dengan mendasarkan pada konsepsi

kegiatan-kegiatan fungsional. Beliau mengemukakan beberapa dimensi dari implementasi pemerintahan mengenai program-program yang sudah disahkan, kemudian menetukan implementasi, juga membahas actor-akto yang terlibat, dengan

memfokuskan pada birokrasi yang merupakan lembaga eksekutor. Jadi implementasi merupakan suatu proses dinamis yang melibatkan secara terus-menerus usaha-usaha

untuk mencari apa yang akan dan dapat dilakukan. Dengan demikian implementasi mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program pada tujuan kebijakan yang diinginkan.

Menurut jones (dalam Tangkilisan, 2003:18) tiga kegiatan utama yang paling

penting dalam implementasi keputusan adalah

(29)

2. organisasi merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program kedalam

tujuan kebijakan

3. penerapan yang berhubungan denga perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah dan lain-lainnya

Dengan penjelasan tersebut implementasi kebijakan dapat dipandang sebagi suatu

proses melaksankan keputusan kebijaksanaan, biasanya dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Peradilan, Pemerintah Eksekutif,atau

Instruksi Presiden

Menurut wibawa implementasi kebijakan merupakan pengejawantahan keputusan mengenai kebijakan yang mendasar, biasanya tertuang dalam suatu

Undang-Undang namun juga dapat berbentuk instruksi-instruksi eksekutif yang penting atau keputusan perundang- undangan. Idealnya keputusan-keputusan tersebut menjelaskan masalah-masalah yang hendak ditangani, menetukan tujuan yang hendak

dicapai dan dalam berbagai cara menggambarkan struktur proses implementasi tersebut. Tujuan implementasi kebijakan adalah untuk menetapkan arah agar

kebijakan publik dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan pemerintah.

Dari uraian daiatas dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan yang dimaksud kan dalam penelitian ini adalah pengimplementasian Peraturan Pemerintah

(PP) 38 tahun 2007 dan Peraturan daerah Kabupaten Serdang Bedagai No. 3 tahun

(30)

Gambar 1: Gambaran implementasi kebijakan

II.1.3. Model-model Implementasi Kebijakan

Penggunaan model analisis kebijakan untuk kepentingan analisis maupun penelitian sedikit banyak akan tergantung pada kompleksitas permaslahan kebijakan

yang dikaji serta tujuan analisis itu sendiri. pedoman awal yang dikemukakan oleh Solichin (2004: 70) adalah semakin kompleks permasalahan kebijakan dan semakin

mendalam analisis yang dilakukan semakin model yang relatif operasional, model yang mampu menghubungkan kausalitas antar variable yang menjadi fokus masalah. Ada bermacam-macam model implemntasi yang dikemukakan oleh para ahli dan

salah satunya adalah model Van Meter dan Van Horn. Untuk melihat bagaimana proses implementasi kebijakan itu berlangsung secara efektif, maka dapat melihat

(31)

Model Van Meter dan Van Horn (dalam Solichin, 2004:78) menyatakan

perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi sifat

kebijaksanaan yang akan dilaksanakan. Ahli tersebut menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijaksanaan dengan implementasi dan suatu model keonseptual yang mempertalikan kebijaksanaan dengan prestasi

kerja. Karena Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara liniear dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik.

Kedua ahli ini menegaskan bahwa perubahan, control dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam prosedur-prosedur implementasi. Atas dasar pandangan ini kedua ahli ini berusaha membuat tipologi kebijakan menurut

1. Jumlah masing-masing yang akan dihasilkan

2. Jangkauan atau lingkup kesepaktan taerhadap tujuan diatara pihak-pihak yang terlibat dalam proses implemetasi

Alasan dikemukakannya hal ini adalah bahwa proses implemetasi akan dipengaruhi dimensi-dimensi kebijaksanaan semacam itu, dalam artian bahwa implemetasi

kebanyakan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relative sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan terutama dari mereka yang mengoperasikan program dilapangan relative tinggi.

Model implementasi kebijakan oleh Van Meter dan Van Horn ini dipengaruhi

oleh enam faktor yaitu :

1. Standar dan Sasaran Kebijakan

Standar dan Sasaran Kebijakan Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan

(32)

kabur, maka akan terjadi multi interpretasi dan mudah menimbulkan konflik

diantara para agen implementasi.

2. Sumber Daya

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia misalnya dana yang dingunakan untuk

mendukung implementasi kebijakan. 3. Komunikasi dan Penguatan Aktivitas

Dalam implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.

4. Karakteristik agen pelaksana

Karakteristik Agen pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semua hal tersebut akan

mempengaruhi implementasi suatu program. 5. Kondisi sosial, ekonomi dan politik

Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok -kelompok kepentingan dapat memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan,

karakteristik para partisipan yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat

opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan.

(33)

Ini mencakup tiga hal, yakni: (a) respon implementor terhadap kebijakan yang

akan dipengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, (b) kognisi,

pemahaman para agen pelaksana terhadap kebijakan, dan (c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada gambar berikut

Gambar 2. Model Van meter Horn

Dari gambar tersebut dapat kita lihat bahwa varibel-variabel kebijaksanaan bersangkutpaut dengan tujuan-tujuan yang telah digariskan dan sumber-sumber yang tersedia. Pusat pehatian pada badan-badan pelaksana maliputi baik organisai formal

maupun informal ; sedangkan komunikasi antar organisasi terkait beserta kegiatan-kegiatan pelaksanaannya mencakup antar hubungan didalam lingkungan sistem

(34)

dikemukannya. Dalam menganalisis implementasi suatu kebijakan model ini dapat

menjadi acuan yang tentunya harus juga disesuaikan dengan kondisi yang ada.

Dengan model ini, akan menolong dan menuntun peneliti dalam mengupas masalah penelitian yang akan diteliti.

II.1.4 Aktor-aktor Implementasi

Suatu kebijakan yang telah dirumuskan oleh Pembuat Kebijakan (Decision Making) menuntut agar segera dieksekusi. Untuk mengeksekusi kebijakan tersebut

maka perlu adanya organisasi pelaksana yang menjadi aktor kesuksesan suatu kebijakan. Secara tradisonal, aktor implementasi kebijakan adalah birokrat sebagai tangan pemerintah. Nugroho (2014:236) mengatakan kita mengenal istilah “ birokrat

jalanan” yang menganggap pemerintah punya segalanya untuk mengelola kehidupan

publik. Hal ini yang membuat peranan publik tidak dipandang sebagai sesuatu yang

penting dan selalu mengharapankan pemerintah yang turun tangan. Dampaknya adalah orang –orang sangat tergantung kepada pemerintah dan setiap masalah publik

harus segera dibawa kepada pemerintah untuk diselesaikan.

Berbeda dengan Nugroho, Winarno (2014:221-224) menyebutkan ada 5 pelaksana/implementor suatu kebijakan yaitu

a. Birokrasi

Pada saat kongres penetapan sebuah undang-undang publik dan presiden telah menandatangani, langkah berikutnya adalah badan-badan administrasi harus segera memulai proses implementasi. Badan-badan administrasi ini

(35)

Negara secara langsung dalam tindakan-tindakan mereka dibandingkan

pengaruh dari unit-unit pemerintah lainnya. Anderson (dalam Winarno,

2014:221-222) menambahkan bahwa badan-badan (birokrasi) ini mempunyai keleluasaan yang besar dalam menjalankan kebijakan-kebijakan publik yang berda dalam yuridiksinya karena mereka seringkali bekerja

berdasarkan mandat perundang-undangan yang luas dan ambigu. b. Lembaga Legislatif

Secara tradisional asumsi dalam banyak literature administrasi publik menyatakan bahwa ilmu politik dan administrasi merupakan kegiatan-kegiatan yang tak terpisahkan. Asumsi ini dipersoalkan karena

cabang-cabang administrative seringkali dalam perumusan maupun dalam imlemntasi kebijakan. Dan sebaliknya badan-badan legislatif sering terlibat dalam proses implementasi kebijakan publik.

c. Lembaga Peradilan

Keterlibatan lembaga peradilan dalam implementasi kebijakan publik adalah

dalam konteks memengaruhi tata kelola /administrasi melalui interpretasi nyata terhadap perundang-undangan, peraturan-peraturan administrasi, regulasi dan pengkajian ulang terhadap keputusan administratif dalam kasus

yang dibawa ke pengadilan.

d. Kelompok-kelompok penekan

Oleh karena diskresi seringkali diberikan kepada badan-badan administrasi publik, maka membuka kesempatan kepada badan administrasi untuk

(36)

administrasi, sebuah kelompok yang berhasil memengaruhi tindakan suatu

badan administrsi mungkin mempunyai efek secara substansial pada arah

dan dampak dari kebijakan publik. Kadangkala hubungan antara suatu kelompok kepentingan dengan suatu badan administrasi bias begitu dekat, sehingga disimpulkan bahwa suatu kelompok kepentingan telah “menguasai” suatu badan administrasi.

e. Organisasi-organisasi masyarakat

Organisasi-organisasi masyarakat seringkali terlibat dalam implementasi program-program publik. Kebijakan publik yang dikeluarkan sering mengharapkan keterlibatan masyarakat yang biasanya diwujudkan melalui

organisasi-organisasi kemasyarakatan yang ada.

Dalam penelitian ini yang akan menjadi aktor dari kebijakan publik ini adalah badan pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan serta organisasi perangkat daerah

dan organisasi-organisasi lainnya yang berkaitan dengan ketahanan pangan di

kabupaten Serdang Bedagai. Yang dimaksud berkaitan dengan bidang ini adalah setiap organisasi baik organisasi pemerintah maupun swasta yang menjalin koordinasi dengan badan Pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan. Selain itu,

turut juga organisasi pemerintah pusat dan setiap organisasi lainnya yang memiliki tujuan yang sama yang telah ditetap.

II.1.5 Analisis Antar-Organisasi dan implementasi

(37)

tetapi, jika kita menerima bahwa implementasi adalah sebuah proses yang melibatkan “jaringan” atau multiplisitas organisasi, pertanyaaannya adalah

bagaimana organisasi berinteraksi satu sama lain. Ada dua pendekatan yang muncul dalam persoalan ini (Parson,2008:484). Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peranan dari setiap organisasi-organisasi pelaksana dalam mensukseskan suatu

kebijakan yang telah dirumuskan. Interaksi antar organisasi pelaksana dilapangan menjadi keharusan untuk diperhatikan dalam implementasi kebijakan. Ada dua

pendekatan yang muncul untuk mengungkap hal ini, yaitu: 1. Kekuasaan dan ketergantungan sumberdaya

Pendekatan ini berargumen bahwa interaksi organisasi adalah produk dari

hubungan kekuasaan dimana organisasi-organisasi dapat membuat organisasi yang lebih lemah dan lebih tergantung untuk berinteraksi dengan mereka. Pada gilirannya, organisasiorganisasi yang tergantung pada

organisasi yang lebih kuat harus menjalankan strategi bekerjasama dengan organisasi yang lebih kuat untuk mengamankan kepentingan mereka dan

mempertahankan otonomi relatifnya atau mempertahankan ruang mereka untuk beroperasi (Aldrich dalam parson, 2008:484). Dalam hal ini, Aldrich ingin mengungkapkan bahwa setiap organisasi pelaksana yang lemah akan

selalu bergantung pada organisasi pelaksana yang lebih kuat. Namun

keadaan itu akan terus berlanjut jika organisasi pelaksana yang lemah tersebut berinteraksi dengan organisasi pelaksana yang lebih lemah lagi. Maka organisasi yang lebih lemah itu akan sangat bergantung pada

(38)

2. Pertukaran Organisasional

Pendekatan ini ingin mengungkap bahwa organisasi bekerja dengan

organisasi lain dengan saling mempertukarkan manfaat mutual. Levine dan white (1961) dalam parson (2008:485) mengatakan bahwa ciri utama dari pertukaran antar-organisasi adalah pertukaran itu merupakan interaksi

sukarela yang dilakukan demi mencapai tujuan masing-masing pihak. Hal ini didukung oleh pernyataan Scharpf (dalam Parson, 2008:485) bahwa “

Sementara pihak yang tampak dominan mungkin menguasai sumber daya moneter, pada saat yang sama ia mungkin juga tergantung sepenuhnya kepada keahlian spesialis, kontak klien, dan informasi yang hanya tersedia untuk unit bawahan…ringkasnya hubungan dependensi-unilateral yang

stabil di sepanjang waktu adalah kasus yang langka, dan dependensi mutual jauh lebih banyak dijumpai. Jadi, jarang dijumpai adanya otoritas hierarki

dan arus anggaran satu arah dalam relasi antar organisasi.

II.1.6 Kegagalan Kebijakan

Gordon chase (dalam parson, 2008:483) memberikan kerangka untuk memeriksa rintangan yang menghadang implementasi kebijakan publik. Melalui

kerangka tersebut dapat digunakan oleh pihak pengimplementasi sebagai peta agar mereka bisa mengidentifikasi persoalan-persoalan utama dalam program mereka. Yang signifikan dalam analisisnya adalah dia meninjukkan bahwa dalam

(39)

Dari tiga bagian kerangka yang disusun oleh Gordon chase tersebut, peneliti hanya

akan menggunakan 2 kerangka yang akan digunakan sebagai peta untuk

mengidentifikasi persoalan implementasi. Seperti yang kita ketahui Badan lebih bersifat koordinatif bukan bersifat teknis, oleh sebab itu kesulitan yang berasal dari tuntutan operasional pada badan pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan tidak

dapat dilihat. Adapun kerangka yang dikemukan oleh Gordon tersebut adalah sebagai berikut:

Kesulitan yang berasal dari sifat dan ketersediaan sumber daya yang

diperlukan untuk menjalankan program.

1. Uang: berapa batas dana, dan adakah kemungkinan untuk dilebihkan?

2. Personel: apakah mereka siap, dan punya kualifikasi yang tepat? Apakah programnya sudah punya cukup personel?

3. Ruang: apakah program punya ruang yang cukup? Apakah perlu ditambah?

4. Suplai dan perlengkapan teknis: apakah tersedia dan dapat digunakan? Apakah teknologi berperan penting?

Kesulitan yang berasal dari kebutuhan manajer program untuk berbagi

otoritas atau mempertahankan dukungan dari aktor politik dan birokratik

lain.

1. Agen Overhead: berapa banyak agen yang harus ditangai manajer, dan apakah

mereka akan bersifat suportif?

2. Agen lini: berapa banyak yang terlibat dan dapatkah orang-orang itu bekerja sama? Apakah tanggung jawab masing-masing lini sudah jelas?

(40)

4. Mana level pemerintah lebih tinggi yang terlibat?

5. Penyedia sector-privat: seberapa banyakkah manajer program membutuhkan

penyedia sector privat? Seberapa baikkah manajer program mampu mengontrol kontraktor privat?

6. Kelompok kepentingan khusus: apa kepentingan politik mereka dan apa

pengaruhnya?

7. Media massa: akankah program bias terlihat? Apakah media bias membantu

atau justru mengganggu?

Khusus bagi negara-negara berkembang, sebaiknya tidak gagal dalam perumusan kebijakan atau dalam membuat keputusan, karena apabila gagal maka

akan memperlemah kredibilitas pembuat kebijakan, pemerintah yang berkuasa. Menurut Nugroho (2014:251), perumusan kebijakan tidak dapat dipisahkan dari implementasi kebijakan; oleh karena itu perumusan kebijakan di negara-negara

berkembang dianggap gagal jika:

1. Kebijakan berhasil dirumuskan, tetapi kebjakan tidak mampu untuk

diimplementasikan. Hal ini dinamakan sebagai kegagalan manajemen, karena kebijakan kemudian undermanage atau tidak mampu di-manage.

2. Kebijakan berhasil dirumuskan, tetapi implementasi nya juga berhasil, tetapi

implementasinya mahal. Hal ini dinamakan kegagalan administratif.

(41)

4. Kebijakan berhasil dirumuskan, implementasinya sama berhasilnya seperti

desain, tetapi tidak cocok dengan kearifan kebijakan dari hasil yang

diharapkan. Kegagalan ini dinamakan kegagalan teori.

5. Kebijakan berhasil dirumuskan, tetapi implementasinya diambil alih oleh kepentingan politik lain atau administrasi lain, hingga akhirnya menciptakan

hasil yang berbeda total. Kegagalan ini dinamakan kegagalan yang keluar rel.

Para pembuat kebijakan telah memahami bahwa daerahlah yang mengerti keadaannya dan seharusnyalah daerah yang menyelesaikan permasalahannya sesuai

dengan kondisi daerahnya tersebut. Pemahaman inilah yang mendorong pembagian kewenangan daerah dan pemerintah pusat. Dan salah satunya ialah kewenangan

untuk mengatasi masalah pangan. Kebijakan yang telah dibuat tersebut akan berjalan dilapangan dan tentukan akan memiliki hasil yang dapat dilihat.

II.2 Koordinasi

II.2.1. Pengertian Koordinasi

Menurut Stoner (dalam Sugandha 1991:12) Koordinasi adalah Proses penyatu-paduan sasaran-sasaran dan kegiatan-kegiatan dari unit-unit yang berpisah (bagian atau bidang fungsional) dari sesuatu organisasi untuk mencapai tujuan

organisasi secara efisien. Senada dengan itu Sugandha juga menyebutkan bahwa koordinasi merupakan penyatupaduan gerak dari seluruh potensi dan unit-unit organisasi atau organisasi-organisasi yang berbeda fungsi agar secara benar-benar

(42)

usaha untuk mengharmoniskan dalam rangkaian struktur yang ada. Fayol (dalam

Moekijat : 1989) juga menambahkan bahwa koordinasi merupakan suatu unsur

manajemen yang diartikan sebagai penggabungan usaha dan peraturan semua kegiatan perusahaan agar sesuai dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan.

Adapun Brech (dalam Hasibuan, 2011) memberikan pengertian koordinasi

adalah mengimbangi dan menggerakkan tim dengan memberikan lokasi kegiatan pekerjaan yang cocok kepada masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu

dilaksanakan dengan keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu sendiri. Hal di atas dapat dipahami bahwa dalam melaksanakan koordinasi harus ada kesesuaian antara peraturan dan tindakan serta kerja sama antar anggota yang pada

akhirnya menimbulkan keharmonisan kerja sehingga tidak adanya pekerjaan yang tumpang tindih dan semua usaha atau kegiatan yang dilaksanakan berjalan sesuai dengan peraturan yang ditetapkan.

Hasibuan (2011) menyatakan bahwa koordinasi adalah kegiatan mengarahkan, mengintegrasikan, dan mengkoordinasikan unsur-unsur manajemen

dan pekerjaan-pekerjaan para bawahan dalam mencapai tujuan organisasi. Koordinasi mengimplikasikan bahwa elemen-elemen sebuah organisasi saling berhubungan dan mereka menunjukkan keterkaitan sedemikian rupa, sehingga semua orang

melaksanakan tindakan-tindakan tepat, pada waktu tepat dalam rangka upaya

mencapai tujuan-tujuan.

(43)

keharmonisan kerja dalam melaksanakan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan

bersama yang sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.

Adapun unsur-unsur koordinasi adalah sebagai berikut:

a) Unit-unit adalah kelompok-kelompok kerja didalam suatu organisasi yang tentunya mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini kita

akan melihat bagaimana setiap unit-unit yang berbeda-beda dalam mengatasi masalah pangan.

b) Sumber-sumber atau potensi yang ada pada unit-unit suatu organisasi atau pada organisasi-organisasi adalah tenaga kerja’ keterampilan dan pengetahuan personilnya, teknologi, anggaran, serta fasilitas kerja lainnya.

c) Gerak kegiatan adalah segala daya upaya, segala sesuatu tindakan yang dikerjakan oleh pejabat-pejabat maupun kelompok kerja dalam melakukan tugasnya.

d) Kesatupasuan artinya terdapat pertautan atau hubungan di antara sesamanya sehingga mewujudkan suatu integritas atau suatu kesatuan yang kompak.

e) Keserasian, berarti adanya urutan-urutan pengerjaan sesuatu yang tersusun secara logis, sistematis, atau dilakukan dalam waktu yang bersamaan akan tetapi tidak menimbulkan duplikasi (pengulangan), perjumbuhan maupun

pertentangan.

(44)

Fungsi koordinasi ini demikian penting, apalagi bila administrasi harus

berjalan sebagai suatu system , sebagai suatu kesatuan yang bulan dari bagian-bagian

yang saling berhubungan, saling menunjang dan saling bergantung agar administrasi mencapai tujuan.

II.2.2. Jenis-Jenis Koordinasi

Menurut Sugandha (1991:25), jenis-jenis koordinasi menurut lingkupnya terdiri dari koordinasi intern yaitu koordinasi antar pejabat atau antar unit di dalam

suatu organisasi dan koordinasi ekstern yaitu koordinasi antar pejabat dari berbagai organisasi atau antar organisasi. Umumnya organisasi memiliki tipe koordinasi yang dipilih dan disesuaikan dengan kebutuhan atau kondisi-kondisi tertentu yang

diperlukan untuk melaksanakan tugas agar pencapaian tujuan tercapai dengan baik. Sugandha (1991:26) juga menambahkan pembagian jenis koordinasi yang dibedakan menurut arahnya, terdapat 4 jenis koordinasi ini yaitu sebagai berikut :

a. Koordinasi Vertikal

Koordinasi vertikal adalah kegiatan-kegiatan penyatuan, pengarahan yang

dilakukan oleh atasan terhadap kegiatan unit-unit, kesatuan-kesatuan kerja yang ada di bawah wewenang dan tanggung jawabnya. Tegasnya, atasan mengkoordinasikan semua aparat yang ada di bawah tanggung jawabnya secara langsung. Koordinasi

vertikal ini secara relatif mudah dilakukan, karena atasan dapat memberikan sanksi

kepada aparat yang sulit diatur. b. Koordinasi Horizontal

Koordinasi horizontal adalah mengkoordinasikan tindakan-tindakan atau

(45)

dalam tingkat organisasi (aparat) yang setingkat. Koordinasi horizontal ini dibagi atas

interdisciplinary dan interrelated.

Interdisciplinary adalah suatu koordinasi dalam rangka mengarahkan,

menyatukan tindakan-tindakan, mewujudkan, dan menciptakan disiplin antara unit yang satu dengan unit yang lain secara intern maupun secara ekstern pada unit-unit

yang sama tugasnya.

Interrelated adalah koordinasi antarbadan (instansi); unit-unit yang fungsinya berbeda, tetapi instansi yang satu dengan yang lain saling bergantung atau

mempunyai kaitan, baik secara intern maupun secara ekstern yang levelnya setaraf. Koordinasi horizontal ini relatif sulit dilakukan karena koordinator tidak dapat

memberikan sanksi kepada pejabat yang sulit diatur sebab kedudukannya yang setingkat.

c. Koordinasi diagonal

Koordinasi diagonal adalah kooordinasi antar pejabat atau unit atau unit yang berbeda fungsi dan berbeda tingkatan hierarkhinya.

d. Koodinasi fungsional

Koodinasi fungsional adalah koordinasi antar pejabat , antar unit antar

organisasi yang didasarkan atas kesamaan fungsi, atau karena koordinatornya mempunyai fungsi tertentu.

II.2.3. Prinsip-Prinsip Koordinasi

(46)

pengertian mengenai sasaran yang harus dicapai sebagai arah kegiatan bersama,

adanya kesepakatan mengenai kegiatan atau tindakan yang harus dilakukan oleh

masing-masing pihak, termasuk target dan jadwalnya, setelah itu adanya kataatan atau loyalitas dari setiap pihak terhadap bagian tugas masing-masing serta jadwal yang telah diterapkan.

Kemudian adanya saling tukar informasi dari semua pihak yang bekerja sama mengenai kegiatan dan hasilnya pada suatu saat tertentu, termasuk masalah-masalah

yang dihadapi masing-masing, didukung dengan adanya koordinator yang dapat memimpin dan menggerakkan serta memonitor kerjasama tersebut, serta memimpin pemecahan masalah bersama, dan adanya informasi dari berbagai pihak yang

mengalir kepada koordinator sehingga koordinator dapat memonitor seluruh pelaksanaan kerjasama dan mengerti masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh semua pihak, serta dilengkapi denagn adanya saling hormati terhadap wewenang

fungsional masing-masing pihak sehingga tercipta semangat untk saling bantu.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa prinsip-prinsip koordinasi adalah

suatu usaha dalam menyatukan informasi yang disertai dengan kepatuhan terhadap pemimpin dan peraturan.

II.2.4. Mekanisme dan Proses Koordinasi

Mekanisme koordinasi yaitu adanya kesadaran dan kesediaan sukarela dari semua anggota organisasi atau pemimpin-pemimpin organisasi untuk kerjasama antarinstansi, adanya komunikasi yang efektif, tujuan kerjasamanya, dan peranan dari

(47)

rupa sehingga menjadi suatu organisasi yang mampu memipin organisasi-organisasi

lainnya, meminta ketaatan, kesetiaan, dan displin kerja tiap pihak yang terlibat,

terciptanya koordinasi di dalam suatu organnisasi akan menunjukkan bahwa organisasi tersebut benar-benar bergerak sebagai suatu sistem, dan pemimpin akan bertindak sebagai fasilitator dan tenaga pendorong (dalam Sugandha, 1991:27-28).

Siagian (1991) berpendapat mengenai cara-cara yang dapat dilakukan dalam mengkoordinasi, yaitu dengan melakukan briefing staf untuk memberitahukan

kebijaksanaan pimpinan organisasi kepada staf yang dalam waktu sesingkat mungkin harus diketahui dan mendapat perumusan. Setelah itu diadakan rapat staf untuk mengadakan pengecekan terhadap kegiatan yang telah dan sedang dilakukan oleh staf

serta mengadakan integrasi daripada pkok-pokok hasil pekerjaan staf. Lalu mengumpulkan laporan-laporan mengenai pelaksanaan keputusan pimpinan organisasi. Selanjutnya mengadakan kunjungan serta inspeksi mengenai pelaksanaan

keputusan pimpinan organisasi serta memberikan petunjuk-petunjuk sesuai dengan pedoman atau ketentuan yang telah ditetapkan oleh pimpinan organisasi.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa mekanisme dan proses koordinasi bertujuan untuk menjaga keharmonisan komunikasi dan hubungan antara pimpinan dan bawahannya pada kegiatan koordinasi.

II.2.5. Hambatan Koordinasi

Menurut Sugandha (1991:24-25) hambatan-hambatan yang terjadi dalam koordinasi akan menimbulkan beberapa kesalahan yang sering dilakukan seseorang

(48)

1. kesalahan anggapan orang mengenai organisasinya sendiri,

Suatu instansi sering dianggap oleh para anggotanya mempunyai kedudukan

yang lebih tinggi sehingga sukar bagi mereka untuk merendahjan diri dan berada dibawah koordinasi instansi yang sederajat.

2. kesalahan anggapan orang mengenai instansi induknya,

Suatu instansi vertical sering menganggap bahwa organisasi induk atau markas besarnya adalah sumber segala-galanya. Hanya organisasi induklah

yang berwewenag meminta loyalitasnya. Dengan demikian timbul keengganan bila instansi yang sederajat meminta loyalitasnya untuk melakukan kerja sama.

3. kesalahan pandangan mengenai arti koordinasi sendiri, dan

Masih banyak orang yang menganggap bahwa kewenangan koordinasi identik dengan kewenangan komando. Karena itu, pada satu pihak yaitu instansi yang

mempunyai fungsi tertentu yang berwenang mengkoordinasikan nasa permintaan bantuannya akan lebih bersifat perintah. Pihak yang lain

menganggap bahwa pemerintah seharusnya hanya datang dari atasan (induk) sehingga selalu akan bersikap apatis terhadap ajakan-ajakan berkoordinasi. 4. kesalahan pandangan mengenai kedudukan departemennya di pusat.

Pandangan ini bertitik tolak dari fungsi dan tugas pokoknya yang skhusus

(49)

II.3 Ketahanan Pangan

II.3.1. Pengertian Ketahanan Pangan

Defenisi ketahanan pangan (food security) memiliki perbedaan dalam setiap konteks,

waktu dan tempat. Istilah ketahanan pangan sendiri sebagai sebuah konsep kebijakan baru

muncul pertama kali tahun 1974, yakni ketika dilaksanakannya konferensi pangan dunia.

Secara formal, setidaknya ada lima organisasi internasional yang memberikan pengertian

dengan sikap saling melengkapi defenisi yang satu dengan yang lainnya. Pertama, menurut

First world food conference 1974, united Nations 1975, ketahanan pangan adalah

“Ketersediaan pangan dunia yang mcukup dalam segala waktu untuk menjaga keberlanjutan konsumsi pangan dan menyeimbangkan fluktuasi produksi dan harga.” Kedua, menurut FAO

(Food And Agricultural Organization) 1992, Ketahanan pangan adalah “Situasi semua orang

dalam segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang aman dan bergizi demi

kehipuan yang sehat dan aktif. Ketiga, menurut world bank (1996), ketahanan pangan adalah

“akses oleh semua orang pada segala waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan yang sehat dan aktif.”

Keempat, menurut OXFAM (2001), ketahanan pangan adalah kondisi dimana “ setiap orang dalam segala waktu memiliki akses dan control atas jumlah pangan yang cukup

dan kualitas baik demi hidup sehat dan aktif. Dua kandunagn makna yang tercantum disini

yakni: ketersediaandalam arti kualitas, kuantitas dan akses (hak atas pangan melalui

pembelian, pertukaran maupun klaim).” Kelima, menurut FIVIMS (2005), ketahanan pangan adalah kondisi dimana “semua orang pada segala waktu secara fisik, social dan ekonomi

memiliki akses atas pangan yang cukup. Aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan

konsumsi (dietary need) dan pilihan pangan (food preferences) demi kehidupan yang aktif

(50)

Pemerintah Indonesia sendiri melalui Undang-undang (UU) No.7 tahun 1996

mendefenisikan ketahanan pangan sebagai “kondisi dimana terjadi kecukupan penyediaan

pangan bagi rumah tangga yang diukur dari kecukupan pangan dalam jumlah dan kualitas

dan juga adanya jaminan atas keamanan (Safety), distribusi yang merata dan kemampuan

membeli. ”Undang-undang ini juga mempertegas defenisi ketahanan pangan sebagai “kondisi

terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedia pangan yang cukup,

baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”.

Lebih spesifik lagi, Maxwell dan Selter (dalam winarno, 2014:302-303)

melakukan pelacakan atas berbagai defenisi ketahanan pangan sepanjang waktu dan

menemukan bahwa wacana ketahanan pangan berubah sedemikian cepatnya dari focus pada

ketersediaan-penyediaan ke perspektif hak dan akses (entitlements) menurut Maxwell,

setidaknya terdapat empat elemen ketahanan pangan berkelanjutan (sustainable food

security) di level keluarga sebagai berikut:

1. Kecukupan pangan yang didefenisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan

untuk kehidupan yang efektif dan sehat.

2. Akses atas pangan, yang didefenisikan sebagai hak (entitlements) untuk

produksi, membeli atau menukarkan (ex change) pangan ataupun menerima

sebagai pemberian (transfer).

3. Ketahanan yang didefenisikan sebagai keseimbangan antara kerentanan, reseiko,

dan jaminan pengaman social.

4. Fungsi waktu manakala ketahanan pangan dapat bersifat kronis/kritis, transisi,

dan atau siklus.

Senada dengan yang diungkap oleh Maxwell dan Slater, Pribadi

Gambar

Gambar 1: Gambaran implementasi kebijakan
Gambar 2. Model Van meter Horn
Gambar 2 : Teknik Analisis Data
Tabel
+3

Referensi

Dokumen terkait

dalam tradisi magibung tersebut perlu adanya pembelajaran berbasis budaya, terutama budaya lokal dalam upaya pembentukan karakter masyarakat yang berbasis kearifan

(1) Daerah j ang mel iput i Daerah Karesidenan Semarang, Pat i, Pekal ongan, Banj umas, Kedu, dan Surakart a dit et apkan mendj adi Propinsi Dj awa Tengah.. Pasal

PENGOLAHAN MUSIK TETABUHAN NUSANTARA DALAM “RHYTHM SAWAH” KARYA GILANG RAMADHAN.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

[r]

By considering arbitrary source–receiver configurations, compressional primary reflections can be imaged into time or depth-migrated seismic sections so that the migrated

capability of ground penetrating radar GPR applications without degradation of resolving power. The radar has the unique capability to employ a short gate at each frequency step

pembelajaran untuk pencapaian yang lebih baik di masa mendatang.. Metode dakwah yang diterapkan di Ponpes Agro Nuur El-Falah, Pulutan, Sidorejo, Kota Salatiga Tahun 2017. Jurusan

Hasil dari analisa korelasi didapatkan kurang dari p- value 0,005 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat kepatuhan lansia