• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DANA APBD LAMPUNG TIMUR DI TINGKAT KASASI (Studi Putusan Mahkamah Agung No.253 K/PID.SUS/2012/MA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DANA APBD LAMPUNG TIMUR DI TINGKAT KASASI (Studi Putusan Mahkamah Agung No.253 K/PID.SUS/2012/MA)"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP

PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DANA APBD

LAMPUNG TIMUR DI TINGKAT KASASI

(Studi Putusan Mahkamah Agung Dalam Perkara Tindak Pidana

Korupsi Dana APBD Lampung Timur No.253 K/PID.SUS/2012/ MA)

Oleh

WAJID HUSNI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar

SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Uiversitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PERKARA

TINDAK PIDANA KORUPSI DANA APBD LAMPUNG TIMUR DI

TINGKAT KASASI

(Studi Putusan Mahkamah Agung No.253 K/PID.SUS/2012/MA)

Oleh

Wajid Husni

Kejahatan korupsi dari tahun ketahun semakin meningkat drastis, bahkan dari beberapa kasus terdapat diantaranya yang melibatkan para pejabat dan para pengambil kebijakan ditingkat daerah maupun pusat, seperti tindak pidana korupsi yang terjadi di kabupaten lampung timur. Dampak paling besar dari tindak pidana korupsi adalah terhambatnya pembangunan secara umum maka diperlukan pemberian sanksi pidana sebagai pertanggung jawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi. Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah apakah yang menjadi dasar jaksa dalam mengajukan kasasi terhadap perkara tindak pidana korupsi dana APBD Lampung Timur dan apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi APBD Lampung Timur tersebut.

Penelitian skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris yang menggunakan data primer dan data sekunder yang diperoleh dari studi lapangan, data sekunder diperoleh melalui studi pustaka, analisa data dilakukan dengan cara analisis kualitatif.

(3)

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 sesuai Pasal 3 menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan melawan hukum melakukan tindak pidana korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP.

Sifat melawan hukum terdakwa bertentangan dengan sifat melawan hukum materiil karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma yang hidup dimasyarakat, maka Perbuatan itu dapat dipidana.

Terdakwa memenuhi kriteria mampu bertanggung jawab karena mampu mengetahui kalau perbuatanya itu bertentangan dengan hukum dan dapat menentukan kehendaknya sesuai kesadaranya yang dimilikinya. Perbuatan terdakwa adalah dilakukan dengan adanya unsur kesengajaaan (Dolus) demikian pula terhadap diri terdakwa tidak ada alasan pemaaf atau pembenar (Culpa) yang dapat menghapuskan perbuatan pidana terdakwa.

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka yang menjadi saran penulis adalah hendaknya para penegak hukum dapat bersinergi dalam penegakan tindak pidana korupsi, sehingga dapat meminimalisir tindakan-tindakan tersebut sehingga dapat memberikan efek jera bagi pelaku dan bagi orang lain sehingga perbuatan tersebut tidak terulang kembali. Serta perlu ditingkatkan kerjasama terpadu dalam mengawasi penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam rangka penegakan peraturan hukum yang berlaku agar tidak terjadi tindak pidana korupsi.

(4)
(5)
(6)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan Dan Ruang Lingkup ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan penelitian ... 6

D. Kerangka Teoritis Dan Konseptual ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 17

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Putusan Hakim... 19

B. Macam-Macam Putusan Hakim... 22

C. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana... 28

D. Pengertian Tindak Pidana Korupsi... 29

E.Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi... 32

F.Pengertian Pelaku Tindak Pidana Korupsi... 36

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah... 37

B. Sumber Dan Jenis Data... 38

C. Penentuan Populasi Dan Sampel... 39

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengelolaan Data... 40

(7)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden... 43

B. Dasar Hukum Jaksa Dalam Mengajukan Kasasi Terhadap Perkara

Tindak Pidana Korupsi Dana APBD Lampung Timur (Studi

Putusan Mahkamah Agung No.253

K/PID.SUS/2012/MA)... 45

C. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana

terhadap pelaku tindak pidana korupsi APBD Lampung Timur

(Studi Putusan Mahkamah Agung No.253 K/PID.SUS/2012/

MA)... 68

V. PENUTUP

A. Kesimpulan... 82

B. Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA

(8)

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Korupsi adalah memperkaya diri sendiri maupun orang lain dengan cara

merugikan pihak ketiga dan ini merupakan permaslahan yang muncul sejak

berdirinya negara-negara di dunia. Hal ini menjadi cukup serius dialami suatu

negara karena dampaknya sangatlah luar biasa karena mampu merugikan

keuangan suatu negara dan dibilang menjadi momok yang menakutkan, sebagai

salah satu bentuk tindak pidana dalam ruang lingkupnya sekarang ini serta

memiliki metode yang dibilang lebih modern dan bahkan belum ada sejarah pada

manusia sebelumnya.

Tindak pidana korupsi merupakan masalah besar yang selalu menjadi sorotan dan

sekaligus keprihatinan masyarakat. Tidak hanya keprihatinan nasional, tetapi juga

menjadi keprihatinan dunia internasional. Dalam resolusi tentang “corruption in

government” yang diterima kongres PBB ke-8 mengenai “the Prevention of

Crime and the Treatment of Offenders”di hanava (cuba) tahun 1990, dinyatakan

bahwa: “Korupsi di kalangan pejabat public (corrupt activities of public official)”

dapat menghancurkan efektifitas potensial dari semua jenis program pemerintah”

( Barda Nawawi Arief,14:1998 )

Perilaku korup ini terdapat di negara yang menganut paham demokrasi terutama

negara diktator militeristik, dalam setiap tahap pembangunan system ekonomi

(9)

kemerdekaan diera demokrasi terpimpin era Presiden Soeharto pada tahun 1956

sampai 1998.

Di Indonesia sendiri korupsi sudah ada jauh sebelum negara ini terbentuk, seperti

yang terjadi masa kolonial Belanda pada waktu itu korupsi menjadi salah satu

ancaman bobroknya birokrasi dan tata pemerintahan bahkan korupsi telah mampu

menghancurkan hubungan persekutuan dagang kompeni (VOC) dan kemudian

menjadi semacam peninggalan setelah terbentuknya negara kesatuan republik

Indonesia korupsi kembali menyebar dalam pemerintah baik pemerintahan pusat

maupun pemerintah daerah yang semakin merata. Banyak berbagai cara

digunakan untuk menggalakan pemberantasan tindak pidana korupsi guna

menjaga stabilitas ekonomi serta wajah birokrasi yang terbentuk, bahkan karena

begitu ganasnya virus korupsi di indonesia sehingga mampu menurunkan sebuah

rezim yang sedang berkuasa.

Dengan kondisi yang demikian pasca runtuhnya pemerintah orde baru yang

berkuasa, indonesia mulai membenahi diri untuk memulai membangun Negara

Indonesia untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.

Berbagai usaha-usah serta cara-cara digunakan untuk mencegah ataupun

menanggulangi permasalahan tersebut. Demikian halnya dengan konteks regulasi

yang perlu adanya pembaharuan peraturan-peraturan yang ada karena hal ini

memiliki kelemahan dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi secara

khusus.

Untuk itu diawal pemerintahan Presiden BJ Habibie di buatlah sebuah

(10)

31 Tahun 1999 tentang Pemberantaasan Korupsi menggantikan Undang-undang

Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang

diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan tindak pidana

korupsi sehingga diharapkan mampu memenuhi kebutuhan hukum masyarakat

yang secara efektif meminimalisir bahkan mampu mencegah tindak pidana

korupsi. Selain diundangkanya Undang-undang Tipikor Nomor 31 tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diganti dengan

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Pemerintah juga membentuk lembaga yang ber

fungsi memonitoring keuangan negara seperti BPK dan yang lebih khusus

menangani masalah tindak pidana korupsi adalah di bentuknya lembaga Komisi

Pemberantas Korupsi sesuai Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi.

Tindak pidana korupsi tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana biasa

karena sangat merugikan keuangan serta perekonomian suatu negara, dan

merupakan suatu pelanggaran terhadap hak -hak sosial dan hak-hak perekonomian

masyarakat. Oleh karenanya perlu adanya perhatian khusus untuk

menanggulanngi permasalahan ini karena pada dasarnya jika hanya menggunakan

cara-cara konvensional yang sudah ada sangat kurang mampu menekan perbuatan

tindak pidana korupsi oleh karena itu perlu adanya badan khusus yang secara luas

menangani permasalahan korupsi.

Terbentuknya KPK pada pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono tersebut

diperkuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

(11)

dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan

menyidikan, dan penuntutan, serta memonitoring (diatur dalam Bab II Pasal 6 dan

Pasal 7) hal ini dimaksud agar kewenangan KPK bukan hanya sebatas di

pemerintahan pusat akan tetapi perlu sampai ketingkat daerah dikarenakan banyak

tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah yang dalam hal ini

belum tersentuh oleh KPK.

Berawal dari tindak pidana korupsi yang semakin mengakar dan meluas maka

banyak diberbagai daerah telah terjadi pelanggaran tindak pidana korupsi yang

dilakukan oleh kepala daerah.

Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sendiri yang menjadi

aturan umum dalam pelaksanaan peradilan tindak pidana korupsi di Indonesia

telah menjelaskan bahwa, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan

perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang

dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam proses

peradilan tidak pidana korupsi keberhasilannya sangat tergantung pada alat bukti

sebagai pemberi petunjuk.

Unsur yang berperan sangat penting dalam penegakan hukum adalah masyarakat,

selain aparatnya sendiri, serta peraturan pendukungnya. Disini masyarakat dapat

berperan sebagai pengungkap terjadinya suatu perbuatan yang bertentangan

dengan norma hukum, artinya masyarakat baik secara individual ataupun sebagai

kelompok dalam berperan aktif dalam proses hukum sebagai pengamat maupun

saksi. Semakin berperan aktif masyarakat dalam proses hukum maka penegakan

(12)

Terlepas dari persoalan tersebut diatas, terjadi kasus korupsi dana APBD senilai

119 miliar yang terjadi di kabupaten Lampung Timur Provinsi Lampung yang

menyeret pejabat bupati terpilih Hi.Satono,SH ke pengadilan tindak pidana

korupsi. Berdasarkan putusan yang di bacakan hakim Agung Bernomor

253/PID.SUS/2012/ MA terdakwa dipidana 15 tahun penjara dan denda sebesar

Rp.500.000.000 oleh hakim Mahkamah Agung dalam kasasi. Walaupun

sebelumnya diputus bebas oleh hakim pengadilan negeri tanjung karang karena

dianggap pelaksanan peradilan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum

dinyatakan tidak tepat baik dalam hal penyidikan, pelimpahan berkas perkara

hingga pemeriksaan di pengadilan serta adanya kelemahan tuntutan jaksa.

Berdasarkan pada uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkatnya

kedalam sebuah penelitian guna penyusunan skripsi yang diberi judul “Analisis

Putusan Mahkamah Agung Terhadap Perkara Tindak Pidana Korupsi Dana

APBD Lampung Timur Di Tingkat Kasasi” (Studi Putusan Mahkamah Agung

Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi dana APBD Lampung Timur No.253

K/PID.SUS/2012/MA) yang dilakukan oleh terdakwaHi.Satono,SH,SP bin

Hi.Darmo Susiswo.

B. Permasalahan Dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang diungkapkan di atas maka yang menjadi permasalahan

(13)

1. Apakah yang menjadi dasar jaksa dalam mengajukan kasasi terhadap

perkara tindak pidana korupsi dana APBD Lampung Timur ? (Studi Putusan

Mahkamah Agung No.253 K/PID.SUS/2012/MA)

2. Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi

pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi APBD Lam-Tim ? (Studi

Putusan Mahkamah Agung No.253 K/PID.SUS/2012/ MA ?

2. Ruang Lingkup

Untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas, maka perlu adanya sebuah

pembatasan yang perlu di kaji dalam penulisan skripsi ini. Yaitu di tekankankan

pada dasar hukum yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memberikan

keputusan serta dasar jaksa dalam mengajukan kasasi.

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang serta permasalahan yang di uraikan diatas maka

dapat di ketahui bahwa tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji sebuah

dasar hukum putusan terhadap pelaku tipikor yaitu :

a. Untuk mengetahui alasan jaksa dalam mengajukan kasasi terhadap putusan

bebas dari hakim pengadilan negeri kepada pelaku tindak pidana korupsi.

b. Untuk mengetahui dasar-dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan

sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

2. Kegunaan Penulisan

(14)

Adapun yang menjadi kegunaan teoritis dalam penulisan skripsi ini adalah, untuk

menambah dan memperluas ilmu pengetahuan akademik di bidang hukum

khususnya hukum pidana serta bagi masyarakat umum dalam upaya

pengembangan teori-teori ilmu pengetahuan hukum pidana.

b. Kegunaan Praktis

Dapat memberikan kontribusi atau masukan sebagai bahan pemikiran bagi

pihak-pihak yang memerlukan.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka teoritis

Setiap penelitian perlu adanya kerangka teoritis yang menjadi acuan. Kerangka

teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil-hasil

penelitian dan pemikiran yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi

terhadap dimensi yang dianggap penting atau relevan oleh peneliti, (Soerjono

Soekanto:1986 :25)

Kata teoritis adalah bentuk adjective dari kata “teori” teori adalah anggapan yang

teruji kebenaranya atau pendapat/cara yang tepat untuk melakukan sesuatu atau

asas hukum yang dijadikan dasar ilmu pengetahuan, atau keterangan mengenai

suatu peristiwa atau kejadian. Asas-asas putusan hakim dalam mengadili pelaku

tindak pidana adalah :

(15)

Asas mengenai kebebasan hakim ini dijamin oleh peraturan

perundang-undangan. Disebutkan dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 4 tahun

2004, “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik

Indonesia”.

Pasal 2 Undang-Undang tentang Mahkamah Agung yang berbunyi :

“Mahkamah Agung adalah Pengadilan negara Tertinggi dari semua

lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari

pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain”.

Karena itulah dalam melaksankan tugasnya seorang hakim harus bebas

dari segala campur tangan para pihak yang dapat mempengaruhi

keputusan hakim, baik intern maupun ekstern sehingga hakim dapat

dengan tenang memberikan keputusan yang seadil-adilnya.

b) Asas Kesamaan (Audi et Alteram Partem)

Di dalam proses peradilan, para pihak yang berperkara atau bersengketa

berhak untuk mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang sama demi

untuk membela dan melindungi hak-hak yang bersangkutan.

Asas ini juga menghendaki adanya keseimbangan prosessuil dalam

pemeriksaan. Oleh karena itu hakim tidak boleh menerima keterangan dari

salah satu pihak saja, hakim harus memberikan kesempatan pada pihak

(16)

Asas objektivitas ini dapat kita lihat di dalam pasal 5 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, pasal ini menegaskan bahwa “pengadilan

mengadili menurut hukum dengan tidak boleh membedakan-bedakan

orang”. Dengan kata lain hakim tidak boleh memberikan keputusan yang

memihak kepada salah satu pihak yang berperkara, hakim harus objektif

dalam memeriksa dan memberikan putusan.

Salah satu upaya untuk mewujudkan keobjektivitasan seorang hakim,

undang-undang menyediakan hak bagi pihak yang diadili, hak tersebut

adalah hak ingkar, yaitu hak seseorang yang diadili untuk mengajukan

keberatan yang disertai alasan-alasan terhadap seorang hakim yang akan

mengadili perkaranya, hal ini terdapat di dalam pasal 29 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004.

d) Putusan Disertai Alasan (Motiverings Plicht)

Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 menegaskan

bahwa segala putusan pengadilan selain memuat alasan dan dasar putusan

tersebut, memuat pula pasal tertentu dan peraturan perundang-undangan

yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar

untuk mengadili. Oleh sebab itu hakim dalam memutuskan suatu perkara

harus memberikan pertimbangan yang cukup, hal ini dimaksudkan agar

hakim tidak berbuat sewenang-wenang.

Dengan memperhatikan asas-asas umum peradilan, maka diharapkan agar

proses peradilan dapat tercapai, yaitu membeirakan keadilan dan kepastian

hukum terhadap suatu peristiwa yang disengketakan para pihak dengan

(17)

baik, para pihak yang berperkara akan mendapatkan keadilan serta

hak-hak dan kepentingannya yang dilanggar dapat dipulihkan kembali

sebagaimana mestinya.

Setelah menguraikan tentang asas-asas pertimbangan hakim dalam memutuskan

suatu perkara atau menjatuhkan pidana maka perlu diketahui dengan adanya

asas-asa tersebut bahwasas-asanya jenis-jenis putusan hakim dapat berupa:

1) Putusan akhir

Pada hakikatnya putusan ini dapat terjadi setelah majelis hakim memeriksa

perkara di persidangan sampai dengan “pokok perkara”(pasal 182 ayat (3)

dan(8) Pasal 197, dan Pasal 199 KUHAP) dan pembacaanya di buka untuk umum.

2) Putusan yang bukan putusan akhir

Dalam praktek hokum peradilan bentuk dari putusan yang bukan putusan

akhir dapat berupa “penetapan” atau putusan sela atau sering disebut dalam

istilah baha belanda “tussen-vonnis” putusan jenis ini mengacu pada

ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yakni dalam hal setelah pelimpahan

perkara dan apabila terdakwa dan atau penasehat hukum mengajukan

keberatan”eksepsi. (Lilik Mulyadi,137:2010)

Terkait dengan jenis putusan itu dapat kita ketahui bahwa setiap putusan yang

berupa pidana dapat dijatuhkan pada seseorang yang melakukan tindak pidana

atau memenuhi unsur-unsur dapat dipidanaya seseorang.

Unsur- unsur dapat dipidanya seseorang adalah:

a.Melakukan perbuatan pidana.

(18)

c.Dengan kesengajaan atau kealpaan

d.Tidak ada alasan pemaaf

Orang yang melakukan tindak pidana yang terkait dengan masalah ini yakni

tindak pidana korupsi dalam hal ini yaitu tindakan dengan tujuan menguntungkan

orang lain atau diri sendiri bahkan dengan adaya koorporasi.

Menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau bahkan sarana yang ada pada

dirinya karena jabatan atau kedudukanya sebagai kepala daerah atau kekuasaan

lain yang memiliki kewenangan dalam hal pemindah bukukan keuangan daerah

dan bahkan sangat merugikan keuangan negara bahkan perekonomian pun tidak

akan berjalan dengan mulus karena terhambatnya pembangunan yang

menggunakan anggaran yang dikorupsi oleh orang-orang yang berwenang untuk

mengelolanya.

Di kabupaten Lampung Timur dana APBD sebesar 119 miliar telah hilang

karenaadanya pemindah bukuan oleh Bupati lampung timuri Ir.Hi.Satono,SH.SP

dari Bank Lampung ke Bank Tripanca Setiadana yang kemudian Bank tersebut

dinyatakan pailit dan ditutup oleh Bank Nasional namun dana tersebut telah

hilang dan tidak tau kemana mengalirnya.

Hal ini ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantas Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah

dirubah dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1

kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Orang yang melakukan perbuatan

pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatanya tersebut dengan pidana

(19)

waktu melakukan perbuatan, dilihat dari segi pandangan masyarakat menunjukan

pandangan yang normatif mengenai kesalahan yang dilakukan oleh orang

tersebut. (Roeslan Saleh (1981:84) )

Masalah ini tergantung pada cara atau perumusan pertanggung jawaban yang

ditempuh oleh sipembuat Undang-undang sehubungan dengan pertanggung

jawaban badan hukum selama ini ada bermacam-macam cara perumusan yang

ditempuh oleh pembuat Undang-undang yaitu:

a. ada yang merumuskan bahwa yang dapat merumuskan tindak pidana yang

dapat dipertanggung jawabkan adalah orang, perumusan ini dianut dalam

(KUHP) wvs.

b. ada yang merumuskan bahwa yang melakukan tindak pidana adalah orang

atau perserikatan, akan tetapi yang dapat dipertanggung jawabkan adalah

orang atau pribadi, dan dalam hal perserikatan adalah yang dapat

dipertanggung jawabkan yaitu (anggota) pengurus, perumusan serupa ini

terlihat pada ordonasi devisa Undang-undang penyelesaian perburuhan.

c. ada yang merumuskan bahwa yang dapat melakukan maupun yang dapat

dipertanggung jawabkan adalah orang dan atau perserikatan itu sendiri,

perumusan serupa ini terlihat pada undang-undang tindak pidana ekonomi,

subversi dan Undang-undang tindak pidana korupsi (Undang-undang

Nomor 20 tahun 2001 sebagai perubahan atas Undang-undang No 31 Tahun

1999)

Dalam pembicaran masalah tindak pidana korupsi yang terjadi di berbagai lini

baik dari sektor swasta maupun pemerintah tentu didalamnya ada istilah unsur

(20)

Dalam hal sifat melawan hukum ada sifat melawan hukum formal dan sifat

melawan hukum materil. Dalam sifat melawan hukum formal adalah hukum

tertulis yaitu peraturan Perundang-undangan. Terpenuhinya sifat melanggar

hukum apabila pelaku melanggar atau bertentangan dengan peraturan

Perundang-undangan (onwetmatigedaad) dalam sifat melawan hukum materil hukum tidak

hanya hukum tertulis, tetapi juga hukum yang tidak tertulis (unwritteen law).

Terpenuhinya sifat melawan hukum apabila pelaku melanggar hukum

(onrechtmatigedaad).

Perbuatan yang memenuhi rumusan suatu delik diancam pidana yang dilakukan

dalam suatu proses sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sanksi

pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa bukanlah semata-mata merupakan

pembalasan melainkan sebagai usaha preventif dan represif agar terdakwa bisa

merenungkan perbuatan yang dilakukan dan akan menjadi pelajaran bagi

perbuatan yang dilakukan yang akan datang.

Dalam hal hakim memberikan keputusan sepenuhnya diberi kebebasan untuk

memberikan dan menentukan suatu hukuman pidana maupun putusan bebas

terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Dengan dasar-dasar hukum yang

meringankan terdakwa bahkan membebaskanya. Maka dengan berlakunya

KUHAP peranan hakim dalam menciptakan keputusan-keputusan harus dapat

dipertanggung jawabkan.

Kitab undang-undang hukum acara pidana dalam pasaal 244 menyatakan bahwa

terhadap putusan perkara pidana yang di berikan pada tingat akhir oleh pengadilan

(21)

mahkamah agung kecuai terhadap putusan bebas sedangkan dalam pasal 253 ayat

(1) menyatakan bahwa pemeriksaan yang dilakukan oleh mahkamah agunng atas

permintaan beberaa pihak sebagai mana dimaksud dalam pasal 244 dan pasal 248

guna menentukan

a. apakah benar suatu peraturan hukum tidk diterapkan sebagaimana mestinya

b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakn menurut ketentuan

undang-undang

c. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangya.

Sesuai dengan pasal-pasal yang tercantum dalam Kitap Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) tersebut dapat diketahui bahwa keputusan hakim pada

pengadilan negeri dapat di ajukan kasasi karena dinyatakan bukan sebagai bebas

murni.

2. Konseptual

Kerangka konseptual, merupakan kerangka yang mengambarakan hubungan

antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang

berkaitan dengan istilah yang diinginkan atau diteliti (Soerjono

Soekanto;1986:32)

Konsep ini akan menjelaskan tentang pengertian pokok yang dijadikan konsep

dalam penulisan, sehingga mempunyai batasan yang jelas dan tepat dalam

penafsiran beberapa istilah, hal ini untuk menghindari kesalah pahaman dalam

(22)

a. Analisis adalah penyelidikan suatu peristiwa (karangan, perbuatan dan

sebagainya) untuk mengetahui sebabnya, bagaimana duduk perkaranya dan

sebagainya. (W.J.S.Poerwadarminta,2006:407)

b. Putusan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan

terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala

tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP.

(Pasal 1 Ayat (11) Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

c. Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan Hakim pada Badan Peradilan

yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan

peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha

Negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan

peradilan tersebut. ( Pasal 1 Ayat (5) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang kekuasaan kehakiman ).

d. Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

19945. (Pasal 1 Ayat (2) Undang–undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman.

e. Jaksa adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk

bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanankan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (Pasal 1 Ayat (6) huruf a

KUHAP)

f. Perkara adalah adalah sesuatu hal yang tidak dapat diselesaikan antara

(23)

yang disengketakan sehingga penyelesaianya perlu adanya pihak ketiga/orang

lain.(Abdulkadir Muhammad, 2008:12)

g. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum

larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi siapa

saja yang melanggar larangan tersebut, (Moeljatno:1993:54)

h. Tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

koorporasi dengan menyalah gunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang

ada pada dirinya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 ayat (1) Undang-undang

Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberarantasan Tindak Pidana Korupsi).

i. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah

rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan

peraturan daerah. (Pasal 1 Ayat (14) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang pemerintahan daerah).

j. Lampung timur adalah kabupaten atau daerah tingkat II yang berasal dari

kabupaten daerah tingkat II lampung tengah dengan pusat pemerintahan di

sukadana serta otonom Kabupaten Dalam Lingkungan Daerah Propinsi

lampung (Pasal 4 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1999 tentang

Pembentukan Kabupaten Lampung Timur).

k. Kasasi adalah upaya yang dilakukan penuntut umum maupun terdakwa untuk

tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan dalam hal serta

(24)

E. Sistematika Penulisan

Agar pembaca dapat dengan mudah memahami isi dalam penulisan sekripsi ini

dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan, maka sekripsi ini disusun dalam 5

(lima) Bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

1. PENDAHULUAN

Bab ini berisikan tentang latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan

dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, dan sistematika

penulisan.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan Bab yang berisikan tentang pengertian-pengertian dari istilah latar

belakang pembuktian, masalah dan dasar hukum dalam membahas hasil

penelitian yang terdiri dari: pengertian tindak pidana, dan pengertian tindak

pidana korupsi,dasar-dasar putusan hakim.

3. METODE PENELITIAN

Merupakan Bab yang menjelaskan metode yang dilakukan utuk memperoleh dan

mengelola data yang akurat, adapun metode yang di gunakan terdiri dari

pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan

pengelolahan data, serta analisis data.

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada Bab ini berisikan pembahasan dari hasil penelitian yang akan memberikan

jawaban tentang pelaksanaan peradilan perkara tindak pidana korupsi, serta

(25)

terdakwa begitu juga dengan adanya dasar-dasar putusan hakim dan tuntutan

jaksa. Serta tindak pidana yang bertentangan dengan Undang-undang 31 Tahun

1999 jo Undang-undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

5. PENUTUP

Merupakan Bab yang berisi tentang kesimpulan dari hasil pembahasan yang

berupa jawaban dari permasalahan berdasarkan hasil penelitian serta berisikan

saran- saran penulis mengenai apa yang harus ditingkatkan dari pengembangan

teori-teori yang berkaitan dengan hasil penelian demi perbaikan dimasa

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Pengertian Putusan Hakim

Perihal “putusan hakim” atau “putusan pengadilan” merupakan aspek penting dan

diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Oleh karena itu dapatlah dikonklusikan

lebih jauh bahwasanya “putusan hakim” disatu pihak berguna bagi terdakwa

memperoleh kepastian hukum (rechzekerheids) tentang “statusnya” dan sekaligus dapat

mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam artian berupa

menerima putusan ataupun melakukan upaya hukum verzet, banding atau kasasi,

melakukan grasi, dan sebagainya. Sedangkan dilain pihak, apabila ditelaah melalui visi

hakim yang mengadili perkara, putusan hakim merupakan mahkota “sekaligus”

“puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan; kebenaran hakiki, hak asasi manusia;

penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni dan faktual, serta visualisasi

etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan.

Rubini, S.H. dan Chaidir Ali, S.H., merumuskan bahwa keputusan hakim itu merupakan

suatu akte penutup dari suatu proses perkara dan putusan hakim itu disebut vonis yang

menurut kesimpulan-kesimpulan terakhir mengenai hukum dari hakim serta memuat

akibat-akibatnya. Bab I Pasal 1 angka 5 Rancangan Undang-undang Hukum Acara

Perdata menyebutkan putusan pengadilan adalah : suatu putusan oleh hakim, sebagai

(27)

dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan di persidangan serta

bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu gugatan.

Ridwan Syahrani, S.H. memberi batasan putusan pengadilan adalah pernyataan hakim

yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk

menyelesaikan dan mengakhiri perkara perdata. Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.,

memberi batasan putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai

pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri

atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Surat Edaran

Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 5/1959 tanggal 20 April 1959 dan No.

1/1962 tanggal 7 Maret 1962 menginstruksikan kepada para hakim agar pada waktu

putusan pengadilan tersebut diucapkan, konsep putusan harus telah dipersiapkan. Hal

ini dimaksudkan untuk mencegah adanya perbedaan antara bunyi putusan yang

diucapkan hakim di depan persidangan yang terbuka untuk umum dengan yang tertulis.

Putusan hakim harus dibacakan di depan persidangan yang terbuka untuk umum bila hal

tersebut tidak dilaksanakan maka terhadap putusan tersebut terancam batal, akan tetapi

untuk penetapan hal tersebut tidak perlu dilakukan. Setiap putusan hakim harus

dituangkan secara tertulis dan ditandatangani oleh ketua sidang dan panitera yang

memeriksa perkara tersebut. Berdasarkan pasal 187 HIR apabila ketua sidang

berhalangan menandatangani maka putusan itu harus ditandatangani oleh hakim

anggota tertua yang telah ikut memeriksa dan memutus perkaranya, sednangkan apabila

panitera yang berhalangan maka untuk hal tersebut cukup dicatat saja dalam berita

acara.

(28)

a. Suatu keterangan singkat tetapi jelas dari isi gugatan dan jawaban.

b. Alasan-alasan yang dipakai sebagai dasar dari putusan hakim.

c. Keputusan hakim tentang pokok perkara dan tentang ongkos perkara.

d. Keterangan apakah pihak-pihak yang berperkara hadir pada waktu keputusan itu

dijatuhkan.

e. Kalau keputusan itu didasarkan atas suatu undang-undang, ini harus disebutkan.

f. Tandatangan hakim dan panitera.

Berdasarkan Pasal 23 UU No. 14/1970, isi keputusan pengadilan selain harus memuat

alasan-alasan dan dasar-dasar putusan, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari

peraturan–peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan

dasar untuk mengadili. Karena begitu kompleksitas dimensi dan subtansi putusan hakim

tersebut, memang tidaklah mudah untuk memberikan rumusan aktual, memadai, dan

sempurna terhadap pengertian putusan hakim, akan tetapi, untuk memberikan sekedar

batasan maka kalau kita bertitik tolak pada pandangangan doktrina, hukum positif/ius

operatum. Dan asumsi penulis “Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang

telah dipertimbangan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk

tertulis maupun lisan” demikian dimuat dalam buku peristilahan hukum dalam praktik

yang dikeluarkan Kejaksaan Agung RI 1985 halaman 221.

Rumusan diatas terasa kurang tepat selanjutnya jika dibaca pada buku tersebut, ternyata

‟putusan‟ dan ‟keputusan‟ dicampur adukan. Adapula yang mengartikan „putusan‟

(vonis) sebagai vonis tetap‟ (devinitif) (kamus istilah hukum Fockema Andrea)

rumusan-rumusan yang kurang tepat terjadi sebagai akibat penerjemahan ahli bahasa

yang bukan ahli hukum. Sebaliknya dalam pembangunan hukum sedang berlangsung,

(29)

diterjemahkan dari hasil vonis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara disidang

pengadilan. Ada juga yang disebut “interlocutoir” yang diterjemahkan dengan keputusan antara atau keputusan sela dan “prevaratoire” yang diterjemahkan dengan keputusan pendahuluan atau keputusan persiapan serta keputusan „professional‟ yang

diterjemahkan dengan keputusan untuk sementara‟1 praktik yang dikeluarkan

Kejaksaan Agung.

Bab 1 Pasal 1 Angka 11 KUHP Acara Pidana

Dalam Bab tersebut disebutakan bahwa‟putusan pengadilan‟putusan sebagai:

“Pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat

berupa pemindanan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta

menurut acara yang diatur dalam undang-undang ini” Menurut Lilik Mulyadi, Dengan

berlandaskan pada visi teoritis dan praktik maka ”putusan hakim” itu merupakan:

Putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatanya dalam persidangan perkara pidan

ayang terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara

pidana pada umumnya berisikan amar pemindahan atau bebas atau pelepasan dai segala

tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian.

B.Macam-Macam Bentuk Putusan Hakim

Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan

oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara

gugatan (kontentius). Penetapan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam

bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai

(30)

Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan:

a) Putusan bebas (vrijpraak/acquittal)

Secara teoritis, putusan bebas dalam rumpun hukum Eropa kontinental lazim disebut

dengan istilah putusan “vrijspraak” sedangkan dalam rumpun aglo saxon disebut putusan ”acquittal”. Pada asasnya esensi putusan bebas terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana

sebagaimana didakwakan jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaan. Konkretnya,

terdakwa dibebaskan dari segala macam tuntutan hukum. Atau singkatnya terdakwa

tidak dijatuhi pidana. Jika kita bertitik tolak pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981, asasnya terhadap putusan bebas limitatif diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP

yang menentukan bahwa :

” Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan padanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”

Sedangkan dalam penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang dimaksud dengan”

perbuatan yang didakwakan padanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan adalah

tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan

menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.

Kalau konteks diatas ditarik suatu konklusi dasar, secara sistematis ketentuan Pasal 191

ayat (1) KUHAP beserta penjelasanya menentukan putusan bebas/ vrijspraak dapat

terjadi apabila tidak terdapatnya alat bukti seperti ditentukan asas minimum pembuktian

menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie) sebagaimana

(31)

bukti berupa keterangan terdakwa saja ( Pasal 184 ayat (1) huruf e KUHAP) atau satu

alat bukti petunjuk saja ( Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP).

Majelis Hakim berpendirian terhadap asas minimum pembuktian sesuai undang-undang

telah terpenuhi, misalnya, adanya dua alat bukti berupa keterangan saksi (Pasal 184 ayat

(1) huruf a KUHAP) dan alat bukti petunjuk (Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHP). Akan

tetapi, majelis hakim tidak dapat menjatuhkan pidana karena tidak yakin akan kesalahan

tardakwa.

Oleh karena itu majelis hakim menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak/acquital) kepada

terdakwa.

Selanjutnya bila di telaah dari aspek teoritis, hakikatnya bentuk-bentuk putusan

bebas/acquittal”dikenal adanya beberapa bentuk, yaitu:

a. Pembebasan murni atau de”zuivere vrijspraak” dimana hakim membenar

kan mengenai ”feiten”-nya (na alle noodzakelijke voorbeslissingen met

juistheid te hebben genomen).

b. Pembebasan tidak murni atau de “onzuivere vrijspraak” dalam hal “bedekte nietigheit van dagvaarding” (batalnya dakwaan secara terselubung) atau”perampasan yang menurut kenyataannya tidak dasarkan pada ketidak

terbuktian dalam surat dakwaan”.

c. Pembebasan secara alasan pertimbangan pergunaan atau de “vrijspraak op

grond doilmatigheid ovimeginger” bahwa berdasarkan pertimbangan

haruslah di akhiri suatu penuntutan yang sudah pasti tidak ada hasilnya

(berustend op de overwenging, dat eed eing gemaakt muet worden aan een

(32)

d. Pembebasan yang terselubung atau de “berdekte vrijksparaak” dimana

hakim telah mengambil keputusan “feiten” dan menjatuhkan putusan “pelepasan dan tuntutan hukum”, padahal menurut HR putusan tersebut

berisikan suatu “pembebasan secara murni.”

Dalam praktek peradilan, jika seorang terdakwa oleh majelis hakim di jatuhi hukungan

“vrijkspraak”, pada hakikatnya amar/diktum putusannya haruslah berisikan:

“Pembebasan terdakwa secara sah dan meyakinkan dari segala dakwaan, memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, serta martabatnya, memerintahkan

terdakwa segera di bebaskan dari tahanan setelah putusan di ucapkan apabila terdakwa

di tahan dan pembebanan biaya perkara kepada negara. (Lilik Mulyadi,2010:22)

b) Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van Alle

Rechtsvervolging)

Secara fundamental terhadap “putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum” atau

Onslag van alle rechtsvervolging “di atur dalam ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP

di rumuskan dengan redaksional bahwa :“Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan

yang di dakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu

tindak pidana, maka terdakwa di putus lepas dari segala tuntutan hukum.”

Apabila di konklusikan dan di jabarkan lebih jauh, baik secara teoretis maupun praktik,

pada ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP terhadap putusan pelepasan dari segala

tuntutan hukum (onsleg van alle rechtsvervolging) terjadi jika perbuatan yang di

dakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, tetapi

perbuatan tersebut bukanlah merupakan tindak pidana, melainkan, misalnya, termasuk

yurisdiksi hukum perdata adat, atau dagang. Perbuatan yang di dakwakan kepada

(33)

tuntutan hukum karena adanya alasan pemaaf (strafuitsluitings-gronden/feitde„axcuse) dan alasan pembenar (rechtsvaardigings-grond).

Kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya (Pasal 44 ayat (1) KUH Pidana).

Keadaan memaksa atau overmacht (Pasal 48 KUH pidana). Pembatalan darurat atau

noodwer (Pasal 49 KUH Pidana). Melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah

jabatan yang di berikan oleh kuasa yang berhak untuk itu (Pasal 51 KUH pidana).

Apabila secara intens di perbandingkan antara putusan bebas (Vrijspraak/Acquital) dan

putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging),

menurut M. Yahya Harahap di tinjau perbandingan tersebut. Di tinjau dari segi

pembuktian, pada putusan pembebasan, perbuatan yang di lakukan dan di dakwakan

kepada terdakwa „tidak terbukti‟ secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Jadi, tidak

memenuhi atas pembuktian undang-undang secara negatif serta tidak memenuhi asas

batas mminimum pembuktian yang di atur dalam Pasal 183 KUHAP. Lain halnya pada

putusan dari segala tuntutan hukum. Apa yang di dakwakan kepada terdakwa cukup

terbukti secara sah, baik di nilai dari segi pembuktian menurut undang-undang maupun

dari segi batas minimum yang di atur dalam Pasal 182 akan tetapi, perbuatan yang

terbukti tadi “tidak merupakan tindak pidana.” Tegasnya perbuatan yang di dakwakan

dan yang telah terbukti tadi, tidak ada di atur dan tidak termasuk ruang lingkup hukum

pidana. Tapi, mungkin terkadang, atau hukum adat.”

c) Putusan pemidanaan (veroordeling)

Pada asasnya, putusan pemidanan atau “veroordeling” diatur dalam Pasal 193 ayat (1)

(34)

Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang

didakwakan padanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.”

Apabila dijabarkan lebih intens, detail dan terperinci terhadap putusan pemidanaan

dapat terjadi jika perbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan jaksa/penuntut umum

dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.

Perbuatan terdakwa tersebut merupakan ruang lingkup tindak pidana kejahatan

(misdrijven) atau pelanggaran (overtredingen) dan dipenuhinya alat-alat bukti dan

fakta-fakta dipersidangan (Pasal 183 dan Pasal 184 ayat (1) KUHAP). Oleh karena itu majelis

hakim lalu menjatuhkan putusan pemidanaan (veroordeling) kepada terdakwa.

Dalam praktek peradilan, lazimnya terhadap putusan pemidanaan kerap muncul nuansa

yuridis. Pertama, jika tidak dilakukan penahanan terhadap terdakwa, majelis hakim

dapat memerintahkan supaya terdakwa ditahan, yang diancam dengan pidana lima tahun

atau lebih atau tindak pidana itu termasuk yang diatur dalam ketentuan Pasal 21 ayat (4)

KUHAP dan terdapat alasan cukup untuk itu. Dalam aspek terdakwa dilakukan suatu

penahanan maka pengadilan dapat menetapkan terdakwa tersebut tetap berada dalam

tahanan atau membebaskanya jika terdapat cukup alasan untuk itu (Pasal 193 ayat (2)

KUHAP). Kedua, sedangkan terhadap lamanya pemidanaan (sentencing atau

straftoemeting) pembentuk undang-undang memberi kebebasan kepada hakim untuk

menentukan antara pidana minimum dan maksimum terhadap pasal yang terbukti dalam

persidangan. Memngenai masalah berat atau ringanya pidana ini merupakan wewenang

yudex facti yang tidak unduk pada kasasi kecuali apabila yudex facti menjatuhkan

pidana melampaui batas maksimum yang ditentukan undang-undang sebagaimana

(35)

Walaupun pembentuk undang-undang memberikan kebebasan menentukan batas

maksimum dan minimum lama pidana yang harus dijalani terdakwa, hal ini bukan

berarti hakim dapat dengan seenaknya sendiri menjatuhkan pidana tanpa dasar

pertimbangan yang lengkap.

Putusan ini berlaku sebagai putusan akhir terhadap putusan ini, tergugat dapat

mengajukan banding atau mengajukan perkara baru. Demikian pula pihak tergugat

putusan yang menyatakan pengadilan tidak berwenang. (Lilik mulyadi,2010:219)

C. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana

Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana adalah “gebonden vrijheld” yaitu

kebebasan terikat /terbatas karena diberi batas oleh Undang-undang yang berlaku dalam

batas tertentu, hakim memiliki kebebasan dalam menetapkan dan menentukan jenis

pidana (starsoort) ukuran pidana berat atau ringanya pidana (strafmaat), cara

pelaksanaan pidana (straf modus) dan kebebasan untuk menentukan hukum

(rechtvinding), (Nanda Agung Dewantara,1987:51)

Secara asumtif peranan hakim sebagai pihak yang memberikan pemidanaan tidak

mengabaikan hukum atau norma serta peraturan yang hidup dimasyarakat, sebagai

mana diatur dalam Pasal 28 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 jo. Undang-undang

Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang

menyatakan “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti

dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dimasyarakat:

Kebebasan hakim mutlak dibutuhkan terutama untuk menjamin keobjektifan hakim

dalam mengambil keputusan. Hakim memberikan keputusanya mengenai hal-hal

(36)

1. Keputusan mengenai peristiwanya, ialah apakah terdakwa melakukan perbuatan

yang telah dituduhkan kepadanya, kemudian

2. Keputusan mengenai hukumnya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa

itu merupakan suatu tindak pidana dan akibatnya,

3. Keputusan mengenai pidanaya, apakah memang dapat dipidana.

(Soedarto:2000:74)

Berdasarkan pendapat diatas dapat diketahui bahwa segala keputusan pengadilan selain

harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum

tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk menggali, kaedah hukum yang hidup dalam

masyarakat. Putusan pengadilan merupakan tanggung jawab hakim dalam

melaksanakan tugasnya, untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara yang

diajukan kepadanya dimana pertanggung jawaban tersebut tidak hanya dijatuhkan

kepada hukum, dirinya-sendiri ataupun kepada masyarakat luas, tetapi yang lebih

penting lagi pertanggung jawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keputusan yang

proposaional tersebut dapat dicapai dengan memperhatikan tujuan pemidanaan yang

hendak dicapai. Pedoman pemidanaan (statutory guidelines for sencenting), aturan

pemidanaan yang berlaku serta keyakinan hakim tersebut dalam menjatuhkan sanksi,

sehingga terlihat faktor-faktor yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan sangsi pidana dalam rangka mengurangi disparitas pidana. (Muladi dan

Barda Nawawi Arief,1998:67).

D. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

(37)

wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan

yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 ayat (1)

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

Pengertian korupsi secara gramatikal telah mengalami penyempitan makna, saat ini

istilah korupsi cenderung hanya diartikan sebatas tindak pidana yang menyangkut

keungan negara, padahal jika kita melihat pengertian secara umum dari asal mulanya

istilah tersebut muncul sebenarnya tidaklah demikian, kata korupsi berasal dari bahasa

latin itulah turunan dari bahasa eropa seperti inggris: coruptions, corupt, perancis

corruption dan belanda corruptie (korruptie). Dapat kita memberanikan diri bahwa

bahasa belanda inilah kata itu turun kebahasa indonesia “ korupsi” Korupsi memiliki

arti harfiah dari kata kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap,

tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau

memfitnah, meskipun kata coruptions itu luas sekali artinya namun sering corruptions

dapat dipersamakan artinya dengan penyuapan” kemudian arti kata korupsi yang telah

diterima dalam perbendaharaan kata Bahasa Indonesia disimpulkan oleh

Poerwadarminta dalam ”Kamus Umum Bahasa Indonesia” Korupsi ialah perbuatan

yang buruk seperti pengertian penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan

sebagainya (Poerwadaminta:1976).

Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan permasalahan ini adalah yaitu tindak

pidana korupsi APBD Lampung Timur oleh Hi,Satono SH.SP bin Hi, Darmo Susiswo

yang ketentuan pidananya dalam Undang –Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

(38)

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang menyalah

gunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau

kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, jo Pasal

18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi menyatakan ayat (1) huruf a “Perampasan harta bergerak yang berwujud atau

atau yang tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau

yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana yang

dimana tindak pidana dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan

barang-barang tersebut ayat (1) huruf b “Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya

sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi” dan

ayat 2 “jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu satu (1) bulan sesudah putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh

jaksa dan akan dilelang dan digunakan untuk menutupi uang pengganti tersebut :

Pasal 55 ayat (1) ayat ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan

“Penyertaan dalam tindak pidana, dipidana sebagai pelaku tindak pidana, mereka yang

melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan tindak pidana”.

Perbuatan tindak pidana yang di lakukan oleh mantan Bupati Lampung Timur

Hi.Satono,SH SP Bin Darmo Susiswo melanggar perbuatan tindak pidana yang

sebagaimana diatur dalam Pasal 3 junto, Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dan ditambah dengan UU No 20

Tahun 2001 junto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP ko Pasal 64 ayat (1) KUHP serta Pasal

(39)

jo Pasal 2 huruf e dan f Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 Tentang Keuangan

Negara.

E.Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi

Unsur setiap orang sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” yang dimaksud setiap

orang adalah orang perorangan atau individu termasuk koorporasi. Bahwa Pasal 2 ayat 1

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tidak menjelaskan bahwa kata-kata setiap orang

sebagai pelaku tindak pidana ini, namun jika dihubungkan dengan pasal ini

menghendaki yang dapat diajukan sebagai subjek hukum atau pelaku tindak pidana

tidak hanya orang perorangan tetapi juga koorporasi. Berpedoman pada teori hukum,

yang dimaksud dengan orang adalah subjek hukum sebagai penyandang hak dan

kewajiban yang padanya dapat dikenai pertanggung jawaban hukum atas perbuatanya.

Unsur tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi, yang

dimaksud dengan menguntungkan adalah sama artinya dengan mendapat untung, yaitu

pendapatan yang diperoleh lebih besar dari pengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih

lanjut dari pendapatan yang diperolehnya. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan

tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau koorporasi sama artinya dengan

mendapatkan untung sendiri atau suatu koorporasi. Dimana dalam ketentuan pasal ini,

unsur ini merupakan tujuan dari pelaku tindak pidana korupsi.

Unsur menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya

karena jabatan atau kedudukan yang dimaksud dengan “menyalah gunakan

(40)

adalah menggunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang melekat pada jabatan

atau kedudukan yang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk

tujuan lain dari maksud diberikanya kewenangan, kesempatan, atau sarana tersebut.

Kewenangan yang dimaksud adalah serangkaian hak yang melekat pada jabatan atau

kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi untuk mengambil tindakan yang

diperlukan agar tugas pekerjaanya dilaksanakan dengan baik. Kewenangan tersebut

tercantum didalam ketentuan-ketentuan tentang kerja yang berkaitan dengan jabatan

atau kedudukan dari prilaku tindak pidana korupsi. Misalnya tercantum dalam Keppres,

Keputusan Menteri Dalam Negeri atau Anggaran Dasar dari suatu badan hukum

perdata.

Kesempatan yang dimaksud adalah peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku

tindak pidana korupsi, peluang mana tercantum didalam ketentuan–ketentuan tentang

tata kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan yang dijabat. Atau diduduki

oleh pelaku tindak pidana korupsi, pada umumnya kesempatan ini diperoleh karena

adanya kekurangan pengawasan dari pihak-pihak yang memiliki kewenangan yaitu

legislative.

Sarana yang dimaksud adalah syarat, cara media. Dalam kaitanya dengan tindakan

pidana korupsi .

Penyalah gunaan kewenangan menurut hukum administrasi dalam 3 (tiga) wujud

sebagai berikut :

1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan–tindakan yang

bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan

(41)

2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah

benar dijatuhkan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa

kewenangan tersebut diberikan Undan-undang atau peraturan lain.

3. Penyalahgunaan dalam arti penyalahgunaan prosedur yang seharusnya

dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan

prosedur lain agar terlaksana.

Unsur yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, yang

dimaksud dengan “dapat” disini oleh pembentuk Undang-undang diletakan didepan

kata-kata merugikan keuangan atau perekonomian Negara, hal ini menunjukan bahwa

delik korupsi merupakan delik formil yaitu adanya delik korupsi cukup dipenuhinya

unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Dengan

kata lain, tidak menimbulkan kerugian apapun, asalkan perbuatan memenuhi unsur

pidana korupsi maka terdakwa harus dihukum.

Dalam Undang-undang keuangan Negara yang dijelaskan dalam Undang-undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah seluruh

kekayaan Negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan ataupun yang tidak dipisahkan

yang termasuk didalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan

kewajiban yang timbul karena:

1. Berada dalam penguasaan, pengurusan, pertanggung jawaban pejabat lembaga

Negara, baik ditingkat pusat maupun daerah.

2. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban badan usaha

milik Negara/badan usaha milik daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan

yang menyertakan modal Negara atau perusahann yang menyertakan modal

(42)

Perekonomian Negara yang dimaksud adalah kehidupan perekonomian yang disusun

sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan maupun ditingkat daerah sesuai

dengan kebutuhan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan

memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh warga

masyarakat. Unsur yang melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan.

sehubungan dengan Pasal 55 ayat(1) ke-1 KUHP karena untuk menilai sejauh mana

pertanggung jawaban terdakwa atas perbuatan yang dilakukan.

Pasal 55 ayat(1) ke-1 KUHP merumuskan mengenai pengertian pelaku yaitu:

a. Mereka yang melakukan sendiri suatu tindakan (plegen)

b. Mereka yang menyuruh orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana

(doen plegen)

c. Mereka yang turut serta melakukan tindakan pidana (mede plegen)

Tindak pidana korupsi yang di dakwakan kepada mantan bupati Lampung Timur

Hi.Satono SH.SP bin Hi, Darmo Susiswo Oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) yaitu

perbuatan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa sesuai Undang-Undang

Pembendaharaan Negara bahwa pejabat bupati ataupun walikota dalam menempatkan

segala bentuk kas Negara harus dengan adanya pesetujuan DPRD dan harus pada Bank

Negara. Namun tuntutan yang diajukan JPU ke pengadilan tinggi di mentahkan oleh

majelis hakim dipersidangan sehinggan terdakwa diputuskan bebas dari segala tuntutan

hukum.

Oleh karenanya inilah yang menjadi dasar penentu penulisan sekripsi ini mengapa ada

perbedaan persepsi antara putusan hakim dan tuntutan jaksa. Sesuai dengan Pasal 22

ayat (3) UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, terkait pemindahan kas

(43)

umum Negara pada Bank central” adalah melanggar hukum.“Perbuatan terdakwa

sebagaimana diatur dalam Pasal 3 junto, Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dan ditambah dengan UU No 20

tahun 2001 junto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP ko Pasal 64 ayat (1) KUHP‟‟.

F. Pengertian Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Mengenai pelaku dalam Pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah

digambarkan siapa yang dianggap pelaku suatu tindak pidana.

Adapun bunyi Pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum pidana (KUHP) yaitu:

a) Dipidana sebagai pembuat delik sesuai perbuatan pidana. Ke- 1 mereka yang

melakukan, menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.

Ke-2 mereka yang dengan memberi atau menjajinkan sesuatu dengan kekerasan

ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana ataupun

keterangan sengaja menganjurkan orang lain yang supaya melakukan perbuatan.

b) Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang

diperhitumgkan akibatnya.

Berdasarkan Pasal 55 KUHP, pelaku dapat dikategorikan sebagai orang yang

melakukan sendiri suatu perbuatan pidana dan orang yang turut serta atau bersama-sama

melakukan tindak pidana. Selain bunyi Pasal 55 KUHP diatas, pelaku juga dapat dilihat

dari rumusan delik yang dilakukan yaitu:

a. Delik dengan perumusan formil, pelaku adalah barang siapa yang memenuhi

perumusan delik.

b. Delik dengan perumusan materiil, pelaku adalah barang siapa yang menimbulkan

(44)
(45)

III. METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah suatu cara atau jalan untuk memenuhi dan mempelajari

serta meneliti suatu masalah secara seksama dan penuh ketekunan guna mencapai

suatu tujuan, untuk menjawab permasalahan yang ada dalam penulisan ini maka

digunakan langkah-langkah sebagai berikut;

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang dilakukan dalam penulisan ini adalah menggunakan dua macam

pendekatan terhadap permasalahan yaitu pendekatan normatif dan pendekatan

empiris.

1. Pendekatan Normatif

Pendekatan normatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara membaca,

mempelajari, memahami serta menelaah peraturan perundang-undangan,

ketentuan dan dokumen yang berkaitan dengan perkara tindak pidana korupsi ini.

2. Pendekatan Empiris

Pendekatan empiris adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menggali

informasi dan melakukan penelitian lapangan guna mengetahui secara lebih jauh

(46)

wawancara dengan para jaksa dan hakim serta akademisi untuk mendapat

gambaran tentang perkara tindak pidana korupsi dana APBD Lampung Timur

oleh mantan Bupati Hi.Satono, SH.SP Bin Darmo Susiswo.

B. Sumber Dan Jenis Data

Sumber data adalah tempat dari mana data tersebut diperoleh. Dalam penelitian

data yang diperoleh berdasarkan data lapangan dan data pustaka. Jenis data yang

diperlukan dalam penelitian ini bersumber dari dua jenis data, yaitu:

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama

(Soerjono Soekanto, 1984:12) dengan demikian data primer adalah data yang

diperoleh dari study lapangan maupun dari masyarakat atau pihak-pihak terkait

dengan permasalahan yang diteliti.

2. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh dengan cara mempelajari peraturan

perundang-undangan, buku-buku dan dokumen yang berhubungn dengan

permasalahan yang ada di dalam penelitian ini, data sekunder yang dipergunakan

antara lain:

a. Bahan hukum primer, di antaranya berupa:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2) Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana(KUHAP).

(47)

4) Undang-Undang No 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara

5) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2001 Tentang

Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.

7) Salinan Putusan Mahkamah Agung Nomor 253.K/pid.SUS/2012/MA.

8) Salinan Putusan Pengadilan Negeri Kelas 1 A Tanjungkarang Nomor :

304.K/pid.sus/2011/PN.TK

b. Bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku hukum, artikel, jurnal, dan

laporan penelitian yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk ataupun

penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, terdiri dari literatur-literatur maupun

media massa dan lain-lain.

C. Penentuan Populasi Dan Sampel

Populasi adalah jumlah keseluruhan objek sebagai keseluruhan sumber data yang

memiliki karakteristik tertentu dalam suatu penelitian. Dalam penelitian yang

akan diteliti oleh peneliti dalam skripsi ini adalah mempergunakan metode

Purpose Sampling, yaitu mengambil subjek penelitian tidak secara keseluruhan

dari subjek yang yang ada, tetapi hanya mengambil beberapa subyek yang

mempunyai hubungan dan sangkut paut dengan cirri-ciri populasi yang dapat

mewakili dari keseluruhan subjek tersebut yakni Hakim Agung pada Mahkamah

(48)

pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta dan Dosen Fakultas Hukum

Universitas Lampung. Sampel adalah sebagian data yang diambil dari populasi

dengan menggunakan cara-cara tertentu yang mewakili populasi secara

keseluruhan.

Responden yang dianggap dapat mewakili populasi dan mencapai tujuan dalam

penelitian ini adalah:

1. Hakim Agung Pada Mahkamah Agung RI : 2 orang

2. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 orang

3. Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta : 1 orang

4. Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 orang

Jumlah : 5 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengelolaan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dapat dilakukan dengan cara :

a. Studi Kepustakaan (library research)

Studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, mengutip, dan

merangkum data yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

b. Studi Lapangan

Study lapangan adalah sebuah study untuk mendapatkan data primer guna

melengkapi data sekunder yang dilakukan dengan cara wawancara.

Wawancara dilakukan dengan system terbuka terhadap Hakim Agung pada

Mahkamah Agung RI, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung

serta Dosen Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta,

Referensi

Dokumen terkait

 berbagai kalangan kalangan usia. 7al 7al tersebut tersebut dapat dapat Anda Anda lihat lihat setiap setiap inggu inggu pagi, pagi, lapang- lapang- lapang atau di

Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) sebanyak 8,33% responden berada pada kategori sangat baik dalam penerapan KTSP; 41,67% responden berada pada kategori baik; 47,22%

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) tidak ada pengaruh signifikan motivasi belajar terhadap prestasi belajar siswa dengan adanya persepsi siswa

Hasil riset menunjukkan bahwa faktor heterogenitas dan karakteristik (individu dan organisasi) yang mempunyai hubungan erat dan berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat

Metanol sangat diperlukan dalam industri pembuatan asam asetat, formaldehid, MTBE dan metal klorida yang terdapat di kawasan Bontang dan jaraknya cukup tercukup, maka

Berdasarkan Instruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.03- UM.06.02 Tahun 1999 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Bantuan Hukum Bagi

Hal yang dibahas di dalam penulisan hukum (skripsi) ini adalah praktek penyalahgunaan izin tinggal kunjungan dan izin tinggal terbatas oleh warga negara asing

Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan yang digunakan sebagai upaya penyelenggaraan dan pembangunan kesehatan dituntut untuk terus meningkatkan dan