ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP
PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DANA APBD
LAMPUNG TIMUR DI TINGKAT KASASI
(Studi Putusan Mahkamah Agung Dalam Perkara Tindak Pidana
Korupsi Dana APBD Lampung Timur No.253 K/PID.SUS/2012/ MA)
Oleh
WAJID HUSNI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Uiversitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
ABSTRAK
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PERKARA
TINDAK PIDANA KORUPSI DANA APBD LAMPUNG TIMUR DI
TINGKAT KASASI
(Studi Putusan Mahkamah Agung No.253 K/PID.SUS/2012/MA)
Oleh
Wajid Husni
Kejahatan korupsi dari tahun ketahun semakin meningkat drastis, bahkan dari beberapa kasus terdapat diantaranya yang melibatkan para pejabat dan para pengambil kebijakan ditingkat daerah maupun pusat, seperti tindak pidana korupsi yang terjadi di kabupaten lampung timur. Dampak paling besar dari tindak pidana korupsi adalah terhambatnya pembangunan secara umum maka diperlukan pemberian sanksi pidana sebagai pertanggung jawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi. Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah apakah yang menjadi dasar jaksa dalam mengajukan kasasi terhadap perkara tindak pidana korupsi dana APBD Lampung Timur dan apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi APBD Lampung Timur tersebut.
Penelitian skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris yang menggunakan data primer dan data sekunder yang diperoleh dari studi lapangan, data sekunder diperoleh melalui studi pustaka, analisa data dilakukan dengan cara analisis kualitatif.
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 sesuai Pasal 3 menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan melawan hukum melakukan tindak pidana korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Sifat melawan hukum terdakwa bertentangan dengan sifat melawan hukum materiil karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma yang hidup dimasyarakat, maka Perbuatan itu dapat dipidana.
Terdakwa memenuhi kriteria mampu bertanggung jawab karena mampu mengetahui kalau perbuatanya itu bertentangan dengan hukum dan dapat menentukan kehendaknya sesuai kesadaranya yang dimilikinya. Perbuatan terdakwa adalah dilakukan dengan adanya unsur kesengajaaan (Dolus) demikian pula terhadap diri terdakwa tidak ada alasan pemaaf atau pembenar (Culpa) yang dapat menghapuskan perbuatan pidana terdakwa.
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka yang menjadi saran penulis adalah hendaknya para penegak hukum dapat bersinergi dalam penegakan tindak pidana korupsi, sehingga dapat meminimalisir tindakan-tindakan tersebut sehingga dapat memberikan efek jera bagi pelaku dan bagi orang lain sehingga perbuatan tersebut tidak terulang kembali. Serta perlu ditingkatkan kerjasama terpadu dalam mengawasi penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam rangka penegakan peraturan hukum yang berlaku agar tidak terjadi tindak pidana korupsi.
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan Dan Ruang Lingkup ... 5
C. Tujuan dan Kegunaan penelitian ... 6
D. Kerangka Teoritis Dan Konseptual ... 7
E. Sistematika Penulisan ... 17
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Putusan Hakim... 19
B. Macam-Macam Putusan Hakim... 22
C. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana... 28
D. Pengertian Tindak Pidana Korupsi... 29
E.Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi... 32
F.Pengertian Pelaku Tindak Pidana Korupsi... 36
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah... 37
B. Sumber Dan Jenis Data... 38
C. Penentuan Populasi Dan Sampel... 39
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengelolaan Data... 40
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden... 43
B. Dasar Hukum Jaksa Dalam Mengajukan Kasasi Terhadap Perkara
Tindak Pidana Korupsi Dana APBD Lampung Timur (Studi
Putusan Mahkamah Agung No.253
K/PID.SUS/2012/MA)... 45
C. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana
terhadap pelaku tindak pidana korupsi APBD Lampung Timur
(Studi Putusan Mahkamah Agung No.253 K/PID.SUS/2012/
MA)... 68
V. PENUTUP
A. Kesimpulan... 82
B. Saran ... 84
DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Korupsi adalah memperkaya diri sendiri maupun orang lain dengan cara
merugikan pihak ketiga dan ini merupakan permaslahan yang muncul sejak
berdirinya negara-negara di dunia. Hal ini menjadi cukup serius dialami suatu
negara karena dampaknya sangatlah luar biasa karena mampu merugikan
keuangan suatu negara dan dibilang menjadi momok yang menakutkan, sebagai
salah satu bentuk tindak pidana dalam ruang lingkupnya sekarang ini serta
memiliki metode yang dibilang lebih modern dan bahkan belum ada sejarah pada
manusia sebelumnya.
Tindak pidana korupsi merupakan masalah besar yang selalu menjadi sorotan dan
sekaligus keprihatinan masyarakat. Tidak hanya keprihatinan nasional, tetapi juga
menjadi keprihatinan dunia internasional. Dalam resolusi tentang “corruption in
government” yang diterima kongres PBB ke-8 mengenai “the Prevention of
Crime and the Treatment of Offenders”di hanava (cuba) tahun 1990, dinyatakan
bahwa: “Korupsi di kalangan pejabat public (corrupt activities of public official)”
dapat menghancurkan efektifitas potensial dari semua jenis program pemerintah”
( Barda Nawawi Arief,14:1998 )
Perilaku korup ini terdapat di negara yang menganut paham demokrasi terutama
negara diktator militeristik, dalam setiap tahap pembangunan system ekonomi
kemerdekaan diera demokrasi terpimpin era Presiden Soeharto pada tahun 1956
sampai 1998.
Di Indonesia sendiri korupsi sudah ada jauh sebelum negara ini terbentuk, seperti
yang terjadi masa kolonial Belanda pada waktu itu korupsi menjadi salah satu
ancaman bobroknya birokrasi dan tata pemerintahan bahkan korupsi telah mampu
menghancurkan hubungan persekutuan dagang kompeni (VOC) dan kemudian
menjadi semacam peninggalan setelah terbentuknya negara kesatuan republik
Indonesia korupsi kembali menyebar dalam pemerintah baik pemerintahan pusat
maupun pemerintah daerah yang semakin merata. Banyak berbagai cara
digunakan untuk menggalakan pemberantasan tindak pidana korupsi guna
menjaga stabilitas ekonomi serta wajah birokrasi yang terbentuk, bahkan karena
begitu ganasnya virus korupsi di indonesia sehingga mampu menurunkan sebuah
rezim yang sedang berkuasa.
Dengan kondisi yang demikian pasca runtuhnya pemerintah orde baru yang
berkuasa, indonesia mulai membenahi diri untuk memulai membangun Negara
Indonesia untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Berbagai usaha-usah serta cara-cara digunakan untuk mencegah ataupun
menanggulangi permasalahan tersebut. Demikian halnya dengan konteks regulasi
yang perlu adanya pembaharuan peraturan-peraturan yang ada karena hal ini
memiliki kelemahan dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi secara
khusus.
Untuk itu diawal pemerintahan Presiden BJ Habibie di buatlah sebuah
31 Tahun 1999 tentang Pemberantaasan Korupsi menggantikan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang
diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan tindak pidana
korupsi sehingga diharapkan mampu memenuhi kebutuhan hukum masyarakat
yang secara efektif meminimalisir bahkan mampu mencegah tindak pidana
korupsi. Selain diundangkanya Undang-undang Tipikor Nomor 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diganti dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Pemerintah juga membentuk lembaga yang ber
fungsi memonitoring keuangan negara seperti BPK dan yang lebih khusus
menangani masalah tindak pidana korupsi adalah di bentuknya lembaga Komisi
Pemberantas Korupsi sesuai Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi.
Tindak pidana korupsi tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana biasa
karena sangat merugikan keuangan serta perekonomian suatu negara, dan
merupakan suatu pelanggaran terhadap hak -hak sosial dan hak-hak perekonomian
masyarakat. Oleh karenanya perlu adanya perhatian khusus untuk
menanggulanngi permasalahan ini karena pada dasarnya jika hanya menggunakan
cara-cara konvensional yang sudah ada sangat kurang mampu menekan perbuatan
tindak pidana korupsi oleh karena itu perlu adanya badan khusus yang secara luas
menangani permasalahan korupsi.
Terbentuknya KPK pada pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono tersebut
diperkuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan
menyidikan, dan penuntutan, serta memonitoring (diatur dalam Bab II Pasal 6 dan
Pasal 7) hal ini dimaksud agar kewenangan KPK bukan hanya sebatas di
pemerintahan pusat akan tetapi perlu sampai ketingkat daerah dikarenakan banyak
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah yang dalam hal ini
belum tersentuh oleh KPK.
Berawal dari tindak pidana korupsi yang semakin mengakar dan meluas maka
banyak diberbagai daerah telah terjadi pelanggaran tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh kepala daerah.
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sendiri yang menjadi
aturan umum dalam pelaksanaan peradilan tindak pidana korupsi di Indonesia
telah menjelaskan bahwa, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam proses
peradilan tidak pidana korupsi keberhasilannya sangat tergantung pada alat bukti
sebagai pemberi petunjuk.
Unsur yang berperan sangat penting dalam penegakan hukum adalah masyarakat,
selain aparatnya sendiri, serta peraturan pendukungnya. Disini masyarakat dapat
berperan sebagai pengungkap terjadinya suatu perbuatan yang bertentangan
dengan norma hukum, artinya masyarakat baik secara individual ataupun sebagai
kelompok dalam berperan aktif dalam proses hukum sebagai pengamat maupun
saksi. Semakin berperan aktif masyarakat dalam proses hukum maka penegakan
Terlepas dari persoalan tersebut diatas, terjadi kasus korupsi dana APBD senilai
119 miliar yang terjadi di kabupaten Lampung Timur Provinsi Lampung yang
menyeret pejabat bupati terpilih Hi.Satono,SH ke pengadilan tindak pidana
korupsi. Berdasarkan putusan yang di bacakan hakim Agung Bernomor
253/PID.SUS/2012/ MA terdakwa dipidana 15 tahun penjara dan denda sebesar
Rp.500.000.000 oleh hakim Mahkamah Agung dalam kasasi. Walaupun
sebelumnya diputus bebas oleh hakim pengadilan negeri tanjung karang karena
dianggap pelaksanan peradilan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum
dinyatakan tidak tepat baik dalam hal penyidikan, pelimpahan berkas perkara
hingga pemeriksaan di pengadilan serta adanya kelemahan tuntutan jaksa.
Berdasarkan pada uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkatnya
kedalam sebuah penelitian guna penyusunan skripsi yang diberi judul “Analisis
Putusan Mahkamah Agung Terhadap Perkara Tindak Pidana Korupsi Dana
APBD Lampung Timur Di Tingkat Kasasi” (Studi Putusan Mahkamah Agung
Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi dana APBD Lampung Timur No.253
K/PID.SUS/2012/MA) yang dilakukan oleh terdakwaHi.Satono,SH,SP bin
Hi.Darmo Susiswo.
B. Permasalahan Dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian yang diungkapkan di atas maka yang menjadi permasalahan
1. Apakah yang menjadi dasar jaksa dalam mengajukan kasasi terhadap
perkara tindak pidana korupsi dana APBD Lampung Timur ? (Studi Putusan
Mahkamah Agung No.253 K/PID.SUS/2012/MA)
2. Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi
pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi APBD Lam-Tim ? (Studi
Putusan Mahkamah Agung No.253 K/PID.SUS/2012/ MA ?
2. Ruang Lingkup
Untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas, maka perlu adanya sebuah
pembatasan yang perlu di kaji dalam penulisan skripsi ini. Yaitu di tekankankan
pada dasar hukum yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memberikan
keputusan serta dasar jaksa dalam mengajukan kasasi.
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang serta permasalahan yang di uraikan diatas maka
dapat di ketahui bahwa tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji sebuah
dasar hukum putusan terhadap pelaku tipikor yaitu :
a. Untuk mengetahui alasan jaksa dalam mengajukan kasasi terhadap putusan
bebas dari hakim pengadilan negeri kepada pelaku tindak pidana korupsi.
b. Untuk mengetahui dasar-dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
2. Kegunaan Penulisan
Adapun yang menjadi kegunaan teoritis dalam penulisan skripsi ini adalah, untuk
menambah dan memperluas ilmu pengetahuan akademik di bidang hukum
khususnya hukum pidana serta bagi masyarakat umum dalam upaya
pengembangan teori-teori ilmu pengetahuan hukum pidana.
b. Kegunaan Praktis
Dapat memberikan kontribusi atau masukan sebagai bahan pemikiran bagi
pihak-pihak yang memerlukan.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka teoritis
Setiap penelitian perlu adanya kerangka teoritis yang menjadi acuan. Kerangka
teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil-hasil
penelitian dan pemikiran yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi
terhadap dimensi yang dianggap penting atau relevan oleh peneliti, (Soerjono
Soekanto:1986 :25)
Kata teoritis adalah bentuk adjective dari kata “teori” teori adalah anggapan yang
teruji kebenaranya atau pendapat/cara yang tepat untuk melakukan sesuatu atau
asas hukum yang dijadikan dasar ilmu pengetahuan, atau keterangan mengenai
suatu peristiwa atau kejadian. Asas-asas putusan hakim dalam mengadili pelaku
tindak pidana adalah :
Asas mengenai kebebasan hakim ini dijamin oleh peraturan
perundang-undangan. Disebutkan dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 4 tahun
2004, “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia”.
Pasal 2 Undang-Undang tentang Mahkamah Agung yang berbunyi :
“Mahkamah Agung adalah Pengadilan negara Tertinggi dari semua
lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari
pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain”.
Karena itulah dalam melaksankan tugasnya seorang hakim harus bebas
dari segala campur tangan para pihak yang dapat mempengaruhi
keputusan hakim, baik intern maupun ekstern sehingga hakim dapat
dengan tenang memberikan keputusan yang seadil-adilnya.
b) Asas Kesamaan (Audi et Alteram Partem)
Di dalam proses peradilan, para pihak yang berperkara atau bersengketa
berhak untuk mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang sama demi
untuk membela dan melindungi hak-hak yang bersangkutan.
Asas ini juga menghendaki adanya keseimbangan prosessuil dalam
pemeriksaan. Oleh karena itu hakim tidak boleh menerima keterangan dari
salah satu pihak saja, hakim harus memberikan kesempatan pada pihak
Asas objektivitas ini dapat kita lihat di dalam pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, pasal ini menegaskan bahwa “pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak boleh membedakan-bedakan
orang”. Dengan kata lain hakim tidak boleh memberikan keputusan yang
memihak kepada salah satu pihak yang berperkara, hakim harus objektif
dalam memeriksa dan memberikan putusan.
Salah satu upaya untuk mewujudkan keobjektivitasan seorang hakim,
undang-undang menyediakan hak bagi pihak yang diadili, hak tersebut
adalah hak ingkar, yaitu hak seseorang yang diadili untuk mengajukan
keberatan yang disertai alasan-alasan terhadap seorang hakim yang akan
mengadili perkaranya, hal ini terdapat di dalam pasal 29 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004.
d) Putusan Disertai Alasan (Motiverings Plicht)
Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 menegaskan
bahwa segala putusan pengadilan selain memuat alasan dan dasar putusan
tersebut, memuat pula pasal tertentu dan peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar
untuk mengadili. Oleh sebab itu hakim dalam memutuskan suatu perkara
harus memberikan pertimbangan yang cukup, hal ini dimaksudkan agar
hakim tidak berbuat sewenang-wenang.
Dengan memperhatikan asas-asas umum peradilan, maka diharapkan agar
proses peradilan dapat tercapai, yaitu membeirakan keadilan dan kepastian
hukum terhadap suatu peristiwa yang disengketakan para pihak dengan
baik, para pihak yang berperkara akan mendapatkan keadilan serta
hak-hak dan kepentingannya yang dilanggar dapat dipulihkan kembali
sebagaimana mestinya.
Setelah menguraikan tentang asas-asas pertimbangan hakim dalam memutuskan
suatu perkara atau menjatuhkan pidana maka perlu diketahui dengan adanya
asas-asa tersebut bahwasas-asanya jenis-jenis putusan hakim dapat berupa:
1) Putusan akhir
Pada hakikatnya putusan ini dapat terjadi setelah majelis hakim memeriksa
perkara di persidangan sampai dengan “pokok perkara”(pasal 182 ayat (3)
dan(8) Pasal 197, dan Pasal 199 KUHAP) dan pembacaanya di buka untuk umum.
2) Putusan yang bukan putusan akhir
Dalam praktek hokum peradilan bentuk dari putusan yang bukan putusan
akhir dapat berupa “penetapan” atau putusan sela atau sering disebut dalam
istilah baha belanda “tussen-vonnis” putusan jenis ini mengacu pada
ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yakni dalam hal setelah pelimpahan
perkara dan apabila terdakwa dan atau penasehat hukum mengajukan
keberatan”eksepsi. (Lilik Mulyadi,137:2010)
Terkait dengan jenis putusan itu dapat kita ketahui bahwa setiap putusan yang
berupa pidana dapat dijatuhkan pada seseorang yang melakukan tindak pidana
atau memenuhi unsur-unsur dapat dipidanaya seseorang.
Unsur- unsur dapat dipidanya seseorang adalah:
a.Melakukan perbuatan pidana.
c.Dengan kesengajaan atau kealpaan
d.Tidak ada alasan pemaaf
Orang yang melakukan tindak pidana yang terkait dengan masalah ini yakni
tindak pidana korupsi dalam hal ini yaitu tindakan dengan tujuan menguntungkan
orang lain atau diri sendiri bahkan dengan adaya koorporasi.
Menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau bahkan sarana yang ada pada
dirinya karena jabatan atau kedudukanya sebagai kepala daerah atau kekuasaan
lain yang memiliki kewenangan dalam hal pemindah bukukan keuangan daerah
dan bahkan sangat merugikan keuangan negara bahkan perekonomian pun tidak
akan berjalan dengan mulus karena terhambatnya pembangunan yang
menggunakan anggaran yang dikorupsi oleh orang-orang yang berwenang untuk
mengelolanya.
Di kabupaten Lampung Timur dana APBD sebesar 119 miliar telah hilang
karenaadanya pemindah bukuan oleh Bupati lampung timuri Ir.Hi.Satono,SH.SP
dari Bank Lampung ke Bank Tripanca Setiadana yang kemudian Bank tersebut
dinyatakan pailit dan ditutup oleh Bank Nasional namun dana tersebut telah
hilang dan tidak tau kemana mengalirnya.
Hal ini ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantas Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah
dirubah dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1
kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Orang yang melakukan perbuatan
pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatanya tersebut dengan pidana
waktu melakukan perbuatan, dilihat dari segi pandangan masyarakat menunjukan
pandangan yang normatif mengenai kesalahan yang dilakukan oleh orang
tersebut. (Roeslan Saleh (1981:84) )
Masalah ini tergantung pada cara atau perumusan pertanggung jawaban yang
ditempuh oleh sipembuat Undang-undang sehubungan dengan pertanggung
jawaban badan hukum selama ini ada bermacam-macam cara perumusan yang
ditempuh oleh pembuat Undang-undang yaitu:
a. ada yang merumuskan bahwa yang dapat merumuskan tindak pidana yang
dapat dipertanggung jawabkan adalah orang, perumusan ini dianut dalam
(KUHP) wvs.
b. ada yang merumuskan bahwa yang melakukan tindak pidana adalah orang
atau perserikatan, akan tetapi yang dapat dipertanggung jawabkan adalah
orang atau pribadi, dan dalam hal perserikatan adalah yang dapat
dipertanggung jawabkan yaitu (anggota) pengurus, perumusan serupa ini
terlihat pada ordonasi devisa Undang-undang penyelesaian perburuhan.
c. ada yang merumuskan bahwa yang dapat melakukan maupun yang dapat
dipertanggung jawabkan adalah orang dan atau perserikatan itu sendiri,
perumusan serupa ini terlihat pada undang-undang tindak pidana ekonomi,
subversi dan Undang-undang tindak pidana korupsi (Undang-undang
Nomor 20 tahun 2001 sebagai perubahan atas Undang-undang No 31 Tahun
1999)
Dalam pembicaran masalah tindak pidana korupsi yang terjadi di berbagai lini
baik dari sektor swasta maupun pemerintah tentu didalamnya ada istilah unsur
Dalam hal sifat melawan hukum ada sifat melawan hukum formal dan sifat
melawan hukum materil. Dalam sifat melawan hukum formal adalah hukum
tertulis yaitu peraturan Perundang-undangan. Terpenuhinya sifat melanggar
hukum apabila pelaku melanggar atau bertentangan dengan peraturan
Perundang-undangan (onwetmatigedaad) dalam sifat melawan hukum materil hukum tidak
hanya hukum tertulis, tetapi juga hukum yang tidak tertulis (unwritteen law).
Terpenuhinya sifat melawan hukum apabila pelaku melanggar hukum
(onrechtmatigedaad).
Perbuatan yang memenuhi rumusan suatu delik diancam pidana yang dilakukan
dalam suatu proses sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sanksi
pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa bukanlah semata-mata merupakan
pembalasan melainkan sebagai usaha preventif dan represif agar terdakwa bisa
merenungkan perbuatan yang dilakukan dan akan menjadi pelajaran bagi
perbuatan yang dilakukan yang akan datang.
Dalam hal hakim memberikan keputusan sepenuhnya diberi kebebasan untuk
memberikan dan menentukan suatu hukuman pidana maupun putusan bebas
terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Dengan dasar-dasar hukum yang
meringankan terdakwa bahkan membebaskanya. Maka dengan berlakunya
KUHAP peranan hakim dalam menciptakan keputusan-keputusan harus dapat
dipertanggung jawabkan.
Kitab undang-undang hukum acara pidana dalam pasaal 244 menyatakan bahwa
terhadap putusan perkara pidana yang di berikan pada tingat akhir oleh pengadilan
mahkamah agung kecuai terhadap putusan bebas sedangkan dalam pasal 253 ayat
(1) menyatakan bahwa pemeriksaan yang dilakukan oleh mahkamah agunng atas
permintaan beberaa pihak sebagai mana dimaksud dalam pasal 244 dan pasal 248
guna menentukan
a. apakah benar suatu peraturan hukum tidk diterapkan sebagaimana mestinya
b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakn menurut ketentuan
undang-undang
c. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangya.
Sesuai dengan pasal-pasal yang tercantum dalam Kitap Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) tersebut dapat diketahui bahwa keputusan hakim pada
pengadilan negeri dapat di ajukan kasasi karena dinyatakan bukan sebagai bebas
murni.
2. Konseptual
Kerangka konseptual, merupakan kerangka yang mengambarakan hubungan
antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang
berkaitan dengan istilah yang diinginkan atau diteliti (Soerjono
Soekanto;1986:32)
Konsep ini akan menjelaskan tentang pengertian pokok yang dijadikan konsep
dalam penulisan, sehingga mempunyai batasan yang jelas dan tepat dalam
penafsiran beberapa istilah, hal ini untuk menghindari kesalah pahaman dalam
a. Analisis adalah penyelidikan suatu peristiwa (karangan, perbuatan dan
sebagainya) untuk mengetahui sebabnya, bagaimana duduk perkaranya dan
sebagainya. (W.J.S.Poerwadarminta,2006:407)
b. Putusan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan
terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP.
(Pasal 1 Ayat (11) Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
c. Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan Hakim pada Badan Peradilan
yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
Negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan
peradilan tersebut. ( Pasal 1 Ayat (5) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang kekuasaan kehakiman ).
d. Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
19945. (Pasal 1 Ayat (2) Undang–undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman.
e. Jaksa adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanankan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (Pasal 1 Ayat (6) huruf a
KUHAP)
f. Perkara adalah adalah sesuatu hal yang tidak dapat diselesaikan antara
yang disengketakan sehingga penyelesaianya perlu adanya pihak ketiga/orang
lain.(Abdulkadir Muhammad, 2008:12)
g. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum
larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi siapa
saja yang melanggar larangan tersebut, (Moeljatno:1993:54)
h. Tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
koorporasi dengan menyalah gunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang
ada pada dirinya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 ayat (1) Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberarantasan Tindak Pidana Korupsi).
i. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah
rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan
peraturan daerah. (Pasal 1 Ayat (14) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang pemerintahan daerah).
j. Lampung timur adalah kabupaten atau daerah tingkat II yang berasal dari
kabupaten daerah tingkat II lampung tengah dengan pusat pemerintahan di
sukadana serta otonom Kabupaten Dalam Lingkungan Daerah Propinsi
lampung (Pasal 4 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Kabupaten Lampung Timur).
k. Kasasi adalah upaya yang dilakukan penuntut umum maupun terdakwa untuk
tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan dalam hal serta
E. Sistematika Penulisan
Agar pembaca dapat dengan mudah memahami isi dalam penulisan sekripsi ini
dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan, maka sekripsi ini disusun dalam 5
(lima) Bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
1. PENDAHULUAN
Bab ini berisikan tentang latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan
dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, dan sistematika
penulisan.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Merupakan Bab yang berisikan tentang pengertian-pengertian dari istilah latar
belakang pembuktian, masalah dan dasar hukum dalam membahas hasil
penelitian yang terdiri dari: pengertian tindak pidana, dan pengertian tindak
pidana korupsi,dasar-dasar putusan hakim.
3. METODE PENELITIAN
Merupakan Bab yang menjelaskan metode yang dilakukan utuk memperoleh dan
mengelola data yang akurat, adapun metode yang di gunakan terdiri dari
pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan
pengelolahan data, serta analisis data.
4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada Bab ini berisikan pembahasan dari hasil penelitian yang akan memberikan
jawaban tentang pelaksanaan peradilan perkara tindak pidana korupsi, serta
terdakwa begitu juga dengan adanya dasar-dasar putusan hakim dan tuntutan
jaksa. Serta tindak pidana yang bertentangan dengan Undang-undang 31 Tahun
1999 jo Undang-undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
5. PENUTUP
Merupakan Bab yang berisi tentang kesimpulan dari hasil pembahasan yang
berupa jawaban dari permasalahan berdasarkan hasil penelitian serta berisikan
saran- saran penulis mengenai apa yang harus ditingkatkan dari pengembangan
teori-teori yang berkaitan dengan hasil penelian demi perbaikan dimasa
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.Pengertian Putusan Hakim
Perihal “putusan hakim” atau “putusan pengadilan” merupakan aspek penting dan
diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Oleh karena itu dapatlah dikonklusikan
lebih jauh bahwasanya “putusan hakim” disatu pihak berguna bagi terdakwa
memperoleh kepastian hukum (rechzekerheids) tentang “statusnya” dan sekaligus dapat
mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam artian berupa
menerima putusan ataupun melakukan upaya hukum verzet, banding atau kasasi,
melakukan grasi, dan sebagainya. Sedangkan dilain pihak, apabila ditelaah melalui visi
hakim yang mengadili perkara, putusan hakim merupakan mahkota “sekaligus”
“puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan; kebenaran hakiki, hak asasi manusia;
penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni dan faktual, serta visualisasi
etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan.
Rubini, S.H. dan Chaidir Ali, S.H., merumuskan bahwa keputusan hakim itu merupakan
suatu akte penutup dari suatu proses perkara dan putusan hakim itu disebut vonis yang
menurut kesimpulan-kesimpulan terakhir mengenai hukum dari hakim serta memuat
akibat-akibatnya. Bab I Pasal 1 angka 5 Rancangan Undang-undang Hukum Acara
Perdata menyebutkan putusan pengadilan adalah : suatu putusan oleh hakim, sebagai
dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan di persidangan serta
bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu gugatan.
Ridwan Syahrani, S.H. memberi batasan putusan pengadilan adalah pernyataan hakim
yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk
menyelesaikan dan mengakhiri perkara perdata. Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.,
memberi batasan putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai
pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri
atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Surat Edaran
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 5/1959 tanggal 20 April 1959 dan No.
1/1962 tanggal 7 Maret 1962 menginstruksikan kepada para hakim agar pada waktu
putusan pengadilan tersebut diucapkan, konsep putusan harus telah dipersiapkan. Hal
ini dimaksudkan untuk mencegah adanya perbedaan antara bunyi putusan yang
diucapkan hakim di depan persidangan yang terbuka untuk umum dengan yang tertulis.
Putusan hakim harus dibacakan di depan persidangan yang terbuka untuk umum bila hal
tersebut tidak dilaksanakan maka terhadap putusan tersebut terancam batal, akan tetapi
untuk penetapan hal tersebut tidak perlu dilakukan. Setiap putusan hakim harus
dituangkan secara tertulis dan ditandatangani oleh ketua sidang dan panitera yang
memeriksa perkara tersebut. Berdasarkan pasal 187 HIR apabila ketua sidang
berhalangan menandatangani maka putusan itu harus ditandatangani oleh hakim
anggota tertua yang telah ikut memeriksa dan memutus perkaranya, sednangkan apabila
panitera yang berhalangan maka untuk hal tersebut cukup dicatat saja dalam berita
acara.
a. Suatu keterangan singkat tetapi jelas dari isi gugatan dan jawaban.
b. Alasan-alasan yang dipakai sebagai dasar dari putusan hakim.
c. Keputusan hakim tentang pokok perkara dan tentang ongkos perkara.
d. Keterangan apakah pihak-pihak yang berperkara hadir pada waktu keputusan itu
dijatuhkan.
e. Kalau keputusan itu didasarkan atas suatu undang-undang, ini harus disebutkan.
f. Tandatangan hakim dan panitera.
Berdasarkan Pasal 23 UU No. 14/1970, isi keputusan pengadilan selain harus memuat
alasan-alasan dan dasar-dasar putusan, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari
peraturan–peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan
dasar untuk mengadili. Karena begitu kompleksitas dimensi dan subtansi putusan hakim
tersebut, memang tidaklah mudah untuk memberikan rumusan aktual, memadai, dan
sempurna terhadap pengertian putusan hakim, akan tetapi, untuk memberikan sekedar
batasan maka kalau kita bertitik tolak pada pandangangan doktrina, hukum positif/ius
operatum. Dan asumsi penulis “Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang
telah dipertimbangan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk
tertulis maupun lisan” demikian dimuat dalam buku peristilahan hukum dalam praktik
yang dikeluarkan Kejaksaan Agung RI 1985 halaman 221.
Rumusan diatas terasa kurang tepat selanjutnya jika dibaca pada buku tersebut, ternyata
‟putusan‟ dan ‟keputusan‟ dicampur adukan. Adapula yang mengartikan „putusan‟
(vonis) sebagai vonis tetap‟ (devinitif) (kamus istilah hukum Fockema Andrea)
rumusan-rumusan yang kurang tepat terjadi sebagai akibat penerjemahan ahli bahasa
yang bukan ahli hukum. Sebaliknya dalam pembangunan hukum sedang berlangsung,
diterjemahkan dari hasil vonis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara disidang
pengadilan. Ada juga yang disebut “interlocutoir” yang diterjemahkan dengan keputusan antara atau keputusan sela dan “prevaratoire” yang diterjemahkan dengan keputusan pendahuluan atau keputusan persiapan serta keputusan „professional‟ yang
diterjemahkan dengan keputusan untuk sementara‟1 praktik yang dikeluarkan
Kejaksaan Agung.
Bab 1 Pasal 1 Angka 11 KUHP Acara Pidana
Dalam Bab tersebut disebutakan bahwa‟putusan pengadilan‟putusan sebagai:
“Pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat
berupa pemindanan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta
menurut acara yang diatur dalam undang-undang ini” Menurut Lilik Mulyadi, Dengan
berlandaskan pada visi teoritis dan praktik maka ”putusan hakim” itu merupakan:
Putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatanya dalam persidangan perkara pidan
ayang terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara
pidana pada umumnya berisikan amar pemindahan atau bebas atau pelepasan dai segala
tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian.
B.Macam-Macam Bentuk Putusan Hakim
Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan
oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara
gugatan (kontentius). Penetapan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam
bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai
Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan:
a) Putusan bebas (vrijpraak/acquittal)
Secara teoritis, putusan bebas dalam rumpun hukum Eropa kontinental lazim disebut
dengan istilah putusan “vrijspraak” sedangkan dalam rumpun aglo saxon disebut putusan ”acquittal”. Pada asasnya esensi putusan bebas terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
sebagaimana didakwakan jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaan. Konkretnya,
terdakwa dibebaskan dari segala macam tuntutan hukum. Atau singkatnya terdakwa
tidak dijatuhi pidana. Jika kita bertitik tolak pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981, asasnya terhadap putusan bebas limitatif diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP
yang menentukan bahwa :
” Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan padanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”
Sedangkan dalam penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang dimaksud dengan”
perbuatan yang didakwakan padanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan adalah
tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan
menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.
Kalau konteks diatas ditarik suatu konklusi dasar, secara sistematis ketentuan Pasal 191
ayat (1) KUHAP beserta penjelasanya menentukan putusan bebas/ vrijspraak dapat
terjadi apabila tidak terdapatnya alat bukti seperti ditentukan asas minimum pembuktian
menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie) sebagaimana
bukti berupa keterangan terdakwa saja ( Pasal 184 ayat (1) huruf e KUHAP) atau satu
alat bukti petunjuk saja ( Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP).
Majelis Hakim berpendirian terhadap asas minimum pembuktian sesuai undang-undang
telah terpenuhi, misalnya, adanya dua alat bukti berupa keterangan saksi (Pasal 184 ayat
(1) huruf a KUHAP) dan alat bukti petunjuk (Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHP). Akan
tetapi, majelis hakim tidak dapat menjatuhkan pidana karena tidak yakin akan kesalahan
tardakwa.
Oleh karena itu majelis hakim menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak/acquital) kepada
terdakwa.
Selanjutnya bila di telaah dari aspek teoritis, hakikatnya bentuk-bentuk putusan
”bebas/acquittal”dikenal adanya beberapa bentuk, yaitu:
a. Pembebasan murni atau de”zuivere vrijspraak” dimana hakim membenar
kan mengenai ”feiten”-nya (na alle noodzakelijke voorbeslissingen met
juistheid te hebben genomen).
b. Pembebasan tidak murni atau de “onzuivere vrijspraak” dalam hal “bedekte nietigheit van dagvaarding” (batalnya dakwaan secara terselubung) atau”perampasan yang menurut kenyataannya tidak dasarkan pada ketidak
terbuktian dalam surat dakwaan”.
c. Pembebasan secara alasan pertimbangan pergunaan atau de “vrijspraak op
grond doilmatigheid ovimeginger” bahwa berdasarkan pertimbangan
haruslah di akhiri suatu penuntutan yang sudah pasti tidak ada hasilnya
(berustend op de overwenging, dat eed eing gemaakt muet worden aan een
d. Pembebasan yang terselubung atau de “berdekte vrijksparaak” dimana
hakim telah mengambil keputusan “feiten” dan menjatuhkan putusan “pelepasan dan tuntutan hukum”, padahal menurut HR putusan tersebut
berisikan suatu “pembebasan secara murni.”
Dalam praktek peradilan, jika seorang terdakwa oleh majelis hakim di jatuhi hukungan
“vrijkspraak”, pada hakikatnya amar/diktum putusannya haruslah berisikan:
“Pembebasan terdakwa secara sah dan meyakinkan dari segala dakwaan, memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, serta martabatnya, memerintahkan
terdakwa segera di bebaskan dari tahanan setelah putusan di ucapkan apabila terdakwa
di tahan dan pembebanan biaya perkara kepada negara. (Lilik Mulyadi,2010:22)
b) Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van Alle
Rechtsvervolging)
Secara fundamental terhadap “putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum” atau
Onslag van alle rechtsvervolging “di atur dalam ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP
di rumuskan dengan redaksional bahwa :“Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan
yang di dakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu
tindak pidana, maka terdakwa di putus lepas dari segala tuntutan hukum.”
Apabila di konklusikan dan di jabarkan lebih jauh, baik secara teoretis maupun praktik,
pada ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP terhadap putusan pelepasan dari segala
tuntutan hukum (onsleg van alle rechtsvervolging) terjadi jika perbuatan yang di
dakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, tetapi
perbuatan tersebut bukanlah merupakan tindak pidana, melainkan, misalnya, termasuk
yurisdiksi hukum perdata adat, atau dagang. Perbuatan yang di dakwakan kepada
tuntutan hukum karena adanya alasan pemaaf (strafuitsluitings-gronden/feitde„axcuse) dan alasan pembenar (rechtsvaardigings-grond).
Kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya (Pasal 44 ayat (1) KUH Pidana).
Keadaan memaksa atau overmacht (Pasal 48 KUH pidana). Pembatalan darurat atau
noodwer (Pasal 49 KUH Pidana). Melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah
jabatan yang di berikan oleh kuasa yang berhak untuk itu (Pasal 51 KUH pidana).
Apabila secara intens di perbandingkan antara putusan bebas (Vrijspraak/Acquital) dan
putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging),
menurut M. Yahya Harahap di tinjau perbandingan tersebut. Di tinjau dari segi
pembuktian, pada putusan pembebasan, perbuatan yang di lakukan dan di dakwakan
kepada terdakwa „tidak terbukti‟ secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Jadi, tidak
memenuhi atas pembuktian undang-undang secara negatif serta tidak memenuhi asas
batas mminimum pembuktian yang di atur dalam Pasal 183 KUHAP. Lain halnya pada
putusan dari segala tuntutan hukum. Apa yang di dakwakan kepada terdakwa cukup
terbukti secara sah, baik di nilai dari segi pembuktian menurut undang-undang maupun
dari segi batas minimum yang di atur dalam Pasal 182 akan tetapi, perbuatan yang
terbukti tadi “tidak merupakan tindak pidana.” Tegasnya perbuatan yang di dakwakan
dan yang telah terbukti tadi, tidak ada di atur dan tidak termasuk ruang lingkup hukum
pidana. Tapi, mungkin terkadang, atau hukum adat.”
c) Putusan pemidanaan (veroordeling)
Pada asasnya, putusan pemidanan atau “veroordeling” diatur dalam Pasal 193 ayat (1)
Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan padanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.”
Apabila dijabarkan lebih intens, detail dan terperinci terhadap putusan pemidanaan
dapat terjadi jika perbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan jaksa/penuntut umum
dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.
Perbuatan terdakwa tersebut merupakan ruang lingkup tindak pidana kejahatan
(misdrijven) atau pelanggaran (overtredingen) dan dipenuhinya alat-alat bukti dan
fakta-fakta dipersidangan (Pasal 183 dan Pasal 184 ayat (1) KUHAP). Oleh karena itu majelis
hakim lalu menjatuhkan putusan pemidanaan (veroordeling) kepada terdakwa.
Dalam praktek peradilan, lazimnya terhadap putusan pemidanaan kerap muncul nuansa
yuridis. Pertama, jika tidak dilakukan penahanan terhadap terdakwa, majelis hakim
dapat memerintahkan supaya terdakwa ditahan, yang diancam dengan pidana lima tahun
atau lebih atau tindak pidana itu termasuk yang diatur dalam ketentuan Pasal 21 ayat (4)
KUHAP dan terdapat alasan cukup untuk itu. Dalam aspek terdakwa dilakukan suatu
penahanan maka pengadilan dapat menetapkan terdakwa tersebut tetap berada dalam
tahanan atau membebaskanya jika terdapat cukup alasan untuk itu (Pasal 193 ayat (2)
KUHAP). Kedua, sedangkan terhadap lamanya pemidanaan (sentencing atau
straftoemeting) pembentuk undang-undang memberi kebebasan kepada hakim untuk
menentukan antara pidana minimum dan maksimum terhadap pasal yang terbukti dalam
persidangan. Memngenai masalah berat atau ringanya pidana ini merupakan wewenang
yudex facti yang tidak unduk pada kasasi kecuali apabila yudex facti menjatuhkan
pidana melampaui batas maksimum yang ditentukan undang-undang sebagaimana
Walaupun pembentuk undang-undang memberikan kebebasan menentukan batas
maksimum dan minimum lama pidana yang harus dijalani terdakwa, hal ini bukan
berarti hakim dapat dengan seenaknya sendiri menjatuhkan pidana tanpa dasar
pertimbangan yang lengkap.
Putusan ini berlaku sebagai putusan akhir terhadap putusan ini, tergugat dapat
mengajukan banding atau mengajukan perkara baru. Demikian pula pihak tergugat
putusan yang menyatakan pengadilan tidak berwenang. (Lilik mulyadi,2010:219)
C. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana
Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana adalah “gebonden vrijheld” yaitu
kebebasan terikat /terbatas karena diberi batas oleh Undang-undang yang berlaku dalam
batas tertentu, hakim memiliki kebebasan dalam menetapkan dan menentukan jenis
pidana (starsoort) ukuran pidana berat atau ringanya pidana (strafmaat), cara
pelaksanaan pidana (straf modus) dan kebebasan untuk menentukan hukum
(rechtvinding), (Nanda Agung Dewantara,1987:51)
Secara asumtif peranan hakim sebagai pihak yang memberikan pemidanaan tidak
mengabaikan hukum atau norma serta peraturan yang hidup dimasyarakat, sebagai
mana diatur dalam Pasal 28 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 jo. Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dimasyarakat:
Kebebasan hakim mutlak dibutuhkan terutama untuk menjamin keobjektifan hakim
dalam mengambil keputusan. Hakim memberikan keputusanya mengenai hal-hal
1. Keputusan mengenai peristiwanya, ialah apakah terdakwa melakukan perbuatan
yang telah dituduhkan kepadanya, kemudian
2. Keputusan mengenai hukumnya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa
itu merupakan suatu tindak pidana dan akibatnya,
3. Keputusan mengenai pidanaya, apakah memang dapat dipidana.
(Soedarto:2000:74)
Berdasarkan pendapat diatas dapat diketahui bahwa segala keputusan pengadilan selain
harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum
tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk menggali, kaedah hukum yang hidup dalam
masyarakat. Putusan pengadilan merupakan tanggung jawab hakim dalam
melaksanakan tugasnya, untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara yang
diajukan kepadanya dimana pertanggung jawaban tersebut tidak hanya dijatuhkan
kepada hukum, dirinya-sendiri ataupun kepada masyarakat luas, tetapi yang lebih
penting lagi pertanggung jawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keputusan yang
proposaional tersebut dapat dicapai dengan memperhatikan tujuan pemidanaan yang
hendak dicapai. Pedoman pemidanaan (statutory guidelines for sencenting), aturan
pemidanaan yang berlaku serta keyakinan hakim tersebut dalam menjatuhkan sanksi,
sehingga terlihat faktor-faktor yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan sangsi pidana dalam rangka mengurangi disparitas pidana. (Muladi dan
Barda Nawawi Arief,1998:67).
D. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Pengertian korupsi secara gramatikal telah mengalami penyempitan makna, saat ini
istilah korupsi cenderung hanya diartikan sebatas tindak pidana yang menyangkut
keungan negara, padahal jika kita melihat pengertian secara umum dari asal mulanya
istilah tersebut muncul sebenarnya tidaklah demikian, kata korupsi berasal dari bahasa
latin itulah turunan dari bahasa eropa seperti inggris: coruptions, corupt, perancis
corruption dan belanda corruptie (korruptie). Dapat kita memberanikan diri bahwa
bahasa belanda inilah kata itu turun kebahasa indonesia “ korupsi” Korupsi memiliki
arti harfiah dari kata kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap,
tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau
memfitnah, meskipun kata coruptions itu luas sekali artinya namun sering corruptions
dapat dipersamakan artinya dengan penyuapan” kemudian arti kata korupsi yang telah
diterima dalam perbendaharaan kata Bahasa Indonesia disimpulkan oleh
Poerwadarminta dalam ”Kamus Umum Bahasa Indonesia” Korupsi ialah perbuatan
yang buruk seperti pengertian penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan
sebagainya (Poerwadaminta:1976).
Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan permasalahan ini adalah yaitu tindak
pidana korupsi APBD Lampung Timur oleh Hi,Satono SH.SP bin Hi, Darmo Susiswo
yang ketentuan pidananya dalam Undang –Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang menyalah
gunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, jo Pasal
18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi menyatakan ayat (1) huruf a “Perampasan harta bergerak yang berwujud atau
atau yang tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau
yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana yang
dimana tindak pidana dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan
barang-barang tersebut ayat (1) huruf b “Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya
sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi” dan
ayat 2 “jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu satu (1) bulan sesudah putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh
jaksa dan akan dilelang dan digunakan untuk menutupi uang pengganti tersebut :
Pasal 55 ayat (1) ayat ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan
“Penyertaan dalam tindak pidana, dipidana sebagai pelaku tindak pidana, mereka yang
melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan tindak pidana”.
Perbuatan tindak pidana yang di lakukan oleh mantan Bupati Lampung Timur
Hi.Satono,SH SP Bin Darmo Susiswo melanggar perbuatan tindak pidana yang
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 junto, Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dan ditambah dengan UU No 20
Tahun 2001 junto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP ko Pasal 64 ayat (1) KUHP serta Pasal
jo Pasal 2 huruf e dan f Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 Tentang Keuangan
Negara.
E.Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi
Unsur setiap orang sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” yang dimaksud setiap
orang adalah orang perorangan atau individu termasuk koorporasi. Bahwa Pasal 2 ayat 1
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tidak menjelaskan bahwa kata-kata setiap orang
sebagai pelaku tindak pidana ini, namun jika dihubungkan dengan pasal ini
menghendaki yang dapat diajukan sebagai subjek hukum atau pelaku tindak pidana
tidak hanya orang perorangan tetapi juga koorporasi. Berpedoman pada teori hukum,
yang dimaksud dengan orang adalah subjek hukum sebagai penyandang hak dan
kewajiban yang padanya dapat dikenai pertanggung jawaban hukum atas perbuatanya.
Unsur tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi, yang
dimaksud dengan menguntungkan adalah sama artinya dengan mendapat untung, yaitu
pendapatan yang diperoleh lebih besar dari pengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih
lanjut dari pendapatan yang diperolehnya. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau koorporasi sama artinya dengan
mendapatkan untung sendiri atau suatu koorporasi. Dimana dalam ketentuan pasal ini,
unsur ini merupakan tujuan dari pelaku tindak pidana korupsi.
Unsur menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dimaksud dengan “menyalah gunakan
adalah menggunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang melekat pada jabatan
atau kedudukan yang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk
tujuan lain dari maksud diberikanya kewenangan, kesempatan, atau sarana tersebut.
Kewenangan yang dimaksud adalah serangkaian hak yang melekat pada jabatan atau
kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi untuk mengambil tindakan yang
diperlukan agar tugas pekerjaanya dilaksanakan dengan baik. Kewenangan tersebut
tercantum didalam ketentuan-ketentuan tentang kerja yang berkaitan dengan jabatan
atau kedudukan dari prilaku tindak pidana korupsi. Misalnya tercantum dalam Keppres,
Keputusan Menteri Dalam Negeri atau Anggaran Dasar dari suatu badan hukum
perdata.
Kesempatan yang dimaksud adalah peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku
tindak pidana korupsi, peluang mana tercantum didalam ketentuan–ketentuan tentang
tata kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan yang dijabat. Atau diduduki
oleh pelaku tindak pidana korupsi, pada umumnya kesempatan ini diperoleh karena
adanya kekurangan pengawasan dari pihak-pihak yang memiliki kewenangan yaitu
legislative.
Sarana yang dimaksud adalah syarat, cara media. Dalam kaitanya dengan tindakan
pidana korupsi .
Penyalah gunaan kewenangan menurut hukum administrasi dalam 3 (tiga) wujud
sebagai berikut :
1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan–tindakan yang
bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan
2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah
benar dijatuhkan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa
kewenangan tersebut diberikan Undan-undang atau peraturan lain.
3. Penyalahgunaan dalam arti penyalahgunaan prosedur yang seharusnya
dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan
prosedur lain agar terlaksana.
Unsur yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, yang
dimaksud dengan “dapat” disini oleh pembentuk Undang-undang diletakan didepan
kata-kata merugikan keuangan atau perekonomian Negara, hal ini menunjukan bahwa
delik korupsi merupakan delik formil yaitu adanya delik korupsi cukup dipenuhinya
unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Dengan
kata lain, tidak menimbulkan kerugian apapun, asalkan perbuatan memenuhi unsur
pidana korupsi maka terdakwa harus dihukum.
Dalam Undang-undang keuangan Negara yang dijelaskan dalam Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah seluruh
kekayaan Negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan ataupun yang tidak dipisahkan
yang termasuk didalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan
kewajiban yang timbul karena:
1. Berada dalam penguasaan, pengurusan, pertanggung jawaban pejabat lembaga
Negara, baik ditingkat pusat maupun daerah.
2. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban badan usaha
milik Negara/badan usaha milik daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan
yang menyertakan modal Negara atau perusahann yang menyertakan modal
Perekonomian Negara yang dimaksud adalah kehidupan perekonomian yang disusun
sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan maupun ditingkat daerah sesuai
dengan kebutuhan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan
memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh warga
masyarakat. Unsur yang melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan.
sehubungan dengan Pasal 55 ayat(1) ke-1 KUHP karena untuk menilai sejauh mana
pertanggung jawaban terdakwa atas perbuatan yang dilakukan.
Pasal 55 ayat(1) ke-1 KUHP merumuskan mengenai pengertian pelaku yaitu:
a. Mereka yang melakukan sendiri suatu tindakan (plegen)
b. Mereka yang menyuruh orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana
(doen plegen)
c. Mereka yang turut serta melakukan tindakan pidana (mede plegen)
Tindak pidana korupsi yang di dakwakan kepada mantan bupati Lampung Timur
Hi.Satono SH.SP bin Hi, Darmo Susiswo Oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) yaitu
perbuatan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa sesuai Undang-Undang
Pembendaharaan Negara bahwa pejabat bupati ataupun walikota dalam menempatkan
segala bentuk kas Negara harus dengan adanya pesetujuan DPRD dan harus pada Bank
Negara. Namun tuntutan yang diajukan JPU ke pengadilan tinggi di mentahkan oleh
majelis hakim dipersidangan sehinggan terdakwa diputuskan bebas dari segala tuntutan
hukum.
Oleh karenanya inilah yang menjadi dasar penentu penulisan sekripsi ini mengapa ada
perbedaan persepsi antara putusan hakim dan tuntutan jaksa. Sesuai dengan Pasal 22
ayat (3) UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, terkait pemindahan kas
umum Negara pada Bank central” adalah melanggar hukum.“Perbuatan terdakwa
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 junto, Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dan ditambah dengan UU No 20
tahun 2001 junto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP ko Pasal 64 ayat (1) KUHP‟‟.
F. Pengertian Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Mengenai pelaku dalam Pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah
digambarkan siapa yang dianggap pelaku suatu tindak pidana.
Adapun bunyi Pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum pidana (KUHP) yaitu:
a) Dipidana sebagai pembuat delik sesuai perbuatan pidana. Ke- 1 mereka yang
melakukan, menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.
Ke-2 mereka yang dengan memberi atau menjajinkan sesuatu dengan kekerasan
ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana ataupun
keterangan sengaja menganjurkan orang lain yang supaya melakukan perbuatan.
b) Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang
diperhitumgkan akibatnya.
Berdasarkan Pasal 55 KUHP, pelaku dapat dikategorikan sebagai orang yang
melakukan sendiri suatu perbuatan pidana dan orang yang turut serta atau bersama-sama
melakukan tindak pidana. Selain bunyi Pasal 55 KUHP diatas, pelaku juga dapat dilihat
dari rumusan delik yang dilakukan yaitu:
a. Delik dengan perumusan formil, pelaku adalah barang siapa yang memenuhi
perumusan delik.
b. Delik dengan perumusan materiil, pelaku adalah barang siapa yang menimbulkan
III. METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah suatu cara atau jalan untuk memenuhi dan mempelajari
serta meneliti suatu masalah secara seksama dan penuh ketekunan guna mencapai
suatu tujuan, untuk menjawab permasalahan yang ada dalam penulisan ini maka
digunakan langkah-langkah sebagai berikut;
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang dilakukan dalam penulisan ini adalah menggunakan dua macam
pendekatan terhadap permasalahan yaitu pendekatan normatif dan pendekatan
empiris.
1. Pendekatan Normatif
Pendekatan normatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara membaca,
mempelajari, memahami serta menelaah peraturan perundang-undangan,
ketentuan dan dokumen yang berkaitan dengan perkara tindak pidana korupsi ini.
2. Pendekatan Empiris
Pendekatan empiris adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menggali
informasi dan melakukan penelitian lapangan guna mengetahui secara lebih jauh
wawancara dengan para jaksa dan hakim serta akademisi untuk mendapat
gambaran tentang perkara tindak pidana korupsi dana APBD Lampung Timur
oleh mantan Bupati Hi.Satono, SH.SP Bin Darmo Susiswo.
B. Sumber Dan Jenis Data
Sumber data adalah tempat dari mana data tersebut diperoleh. Dalam penelitian
data yang diperoleh berdasarkan data lapangan dan data pustaka. Jenis data yang
diperlukan dalam penelitian ini bersumber dari dua jenis data, yaitu:
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama
(Soerjono Soekanto, 1984:12) dengan demikian data primer adalah data yang
diperoleh dari study lapangan maupun dari masyarakat atau pihak-pihak terkait
dengan permasalahan yang diteliti.
2. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dengan cara mempelajari peraturan
perundang-undangan, buku-buku dan dokumen yang berhubungn dengan
permasalahan yang ada di dalam penelitian ini, data sekunder yang dipergunakan
antara lain:
a. Bahan hukum primer, di antaranya berupa:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
2) Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana(KUHAP).
4) Undang-Undang No 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
5) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2001 Tentang
Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
7) Salinan Putusan Mahkamah Agung Nomor 253.K/pid.SUS/2012/MA.
8) Salinan Putusan Pengadilan Negeri Kelas 1 A Tanjungkarang Nomor :
304.K/pid.sus/2011/PN.TK
b. Bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku hukum, artikel, jurnal, dan
laporan penelitian yang relevan dengan penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk ataupun
penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, terdiri dari literatur-literatur maupun
media massa dan lain-lain.
C. Penentuan Populasi Dan Sampel
Populasi adalah jumlah keseluruhan objek sebagai keseluruhan sumber data yang
memiliki karakteristik tertentu dalam suatu penelitian. Dalam penelitian yang
akan diteliti oleh peneliti dalam skripsi ini adalah mempergunakan metode
“Purpose Sampling, yaitu mengambil subjek penelitian tidak secara keseluruhan
dari subjek yang yang ada, tetapi hanya mengambil beberapa subyek yang
mempunyai hubungan dan sangkut paut dengan cirri-ciri populasi yang dapat
mewakili dari keseluruhan subjek tersebut yakni Hakim Agung pada Mahkamah
pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta dan Dosen Fakultas Hukum
Universitas Lampung. Sampel adalah sebagian data yang diambil dari populasi
dengan menggunakan cara-cara tertentu yang mewakili populasi secara
keseluruhan.
Responden yang dianggap dapat mewakili populasi dan mencapai tujuan dalam
penelitian ini adalah:
1. Hakim Agung Pada Mahkamah Agung RI : 2 orang
2. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 orang
3. Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta : 1 orang
4. Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 orang
Jumlah : 5 orang
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengelolaan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dapat dilakukan dengan cara :
a. Studi Kepustakaan (library research)
Studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, mengutip, dan
merangkum data yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
b. Studi Lapangan
Study lapangan adalah sebuah study untuk mendapatkan data primer guna
melengkapi data sekunder yang dilakukan dengan cara wawancara.
Wawancara dilakukan dengan system terbuka terhadap Hakim Agung pada
Mahkamah Agung RI, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung
serta Dosen Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta,