PEMANFAATAN BIJI KELOR (MORINGA OLEIFERA)
SEBAGAI KOAGULAN ALTERNATIF DALAM PROSES
PENJERNIHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TEKSTIL
TESIS
Oleh
AHMAD MULIA RAMBE
067022001/TK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PEMANFAATAN BIJI KELOR (MORINGA OLEIFERA)
SEBAGAI KOAGULAN ALTERNATIF DALAM PROSES
PENJERNIHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TEKSTIL
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik dalam Program Studi Teknik Kimia
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera utara
Oleh
AHMAD MULIA RAMBE 067022001/TK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PEMANFAATAN BIJI KELOR (MORINGA OLIOFERA) SEBAGAI KOAGULAN ALTERNATIF DALAM PROSES PENJERNIHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI PENCUCIAN TEKSTIL
Nama Mahasiswa : Ahmad Mulia Rambe Nomor Pokok : 067022001
Program Studi : Teknik Kimia
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Prof.Dr.Ir.Setiaty Pandia) (M.Hendra S Ginting,ST,MT)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi Direktur
(Prof.Dr.Ir Setiaty Pandia) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B,MSc)
Telah diuji pada
Tanggal : 14 Maret 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
K e t u a : Prof.Dr.Ir.Setiaty Pandia
A n g g o t a : 1. M.Hendra S Ginting,ST,MT
2. Dr.Halimatuddahliana,ST,M.Sc
3. Mersi Suriani Sinaga,ST,MT
4. Rondang Tambun,ST,MT
ABSTRAK
Pemanfaatan biji kelor yang selama ini hanya sebagai limbah yang jarang digunakan perlu dikembangkan lebih lanjut untuk pengelolaan limbah cair, yang lebih ekonomis dan ramah lingkungan. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh biji kelor sebagai koagulan, pH limbah cair Industri tekstil (pencucian jeans) ukuran partikel biji kalor dan kombinasi biji kelor dengan alum terhadap persentase penurunan kekeruhan, Total Suspended Solid, kadar warna dan Chemical Oxygen Demand limbah cair industri tekstil (pencucian jeans) dengan menggunakan metode koagulasi – flokulasi. Variabel penelitian adalah dosis biji kelor (750, 875, 1000, 1125 dan 1250 mg/L limbah cair pencucian jeans) ukuran partikel biji kelor 212 mesh dan dosis biji kelor dengan alum 750 + 1250; 875 + 1125; 1000 + 1000; 1125 + 875; 1250 + 750 mg/L limbah. Analisa data dilakukan secara grafis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada rentang pengamatan yang dilakukan, dosis biji kelor sebagai koagulan yang optimum adalah 1250 mg/L limbah cair industri tekstil (pencucian jeans) pada pH 7,8. Serbuk biji kelor 212 mesh pada dosis 1250 mg/L mampu menyisihkan kekeruhan sebesar 77,77%, Total Suspended Solid sebesar 83,69% dan Chemical Oxygen Demand sebesar 75,86% dan kadar warna merah 0,05, biru 0,20, kuning 0,37 pada alat lovibond. Pada dosis alum 1250 mg/L dan ukuran partikel 212 mesh mampu menyisihkan kekeruhan sebesar 80,06 %, Total Suspended Solid sebesar 84,72% Chemical Oxygen Demand sebesar 94,49% dan kadar warna merah 0,04 biru 0,15, kuning 0,35 pada alat lovibond. Sedangkan kombinasi serbuk biji kelor dengan alum yang terbaik pada rasio massa 8:8 pada limbah cair industri tekstil (pencucian jeans) menggunakan partikel ukuran 212 mesh dapat menyisihkan kekeruhan sebesar 76,92%, Total Suspended Solid sebesar 78,60% Chemical Oxygen Demand sebesar 71,92% dan kadar warna merah 0,06, biru 0,18, kuning 0,27 pada alat lovibond. Penggunaan biji kelor sebagai koagulan lebih efektif dibandingkan dengan kombinasi biji kelor dan alum dalam hal penyisihan kekeruhan, Total Suspended Solid, Chemical Oxygen Demand dan kadar warna pada pH 7,8
ABSTRACT
Exploiting of seed kelor during the time which only as waste is seldom to be used require to develop furthermore for the management of liquid waste, for more economic and environmental friendliness. Research to know the influence of seed kelor as koagulan, pH of liquid waste textile industry (jeans wash) size measure of particle of seed of kalor and combination of seed kelor by alum to percentage of degradation turbiditas, Total Suspended Solid, rate of colour and Chemical Oxygen Demand of liquid waste textile industry (jeans wash) by using method koagulasi - flokulasi. Research variable dose of seed kelor (750,875,1000, 1125 and 1250 mg/L of liquid waste of jeans wash) size measure of particle of seed kelor 212 mesh and dose of seed kelor by alum 750 + 1250; 875 + 1125; 1000 + 1000; 1125 + 875; 1250 + 750 mg /L Waste. Analyse the data graphically. Result of research indicate that spanning perception, dose of seed kelor as optimum koagulan 1250 mg / L of liquid waste textile industry (jeans wash) pH 7,8. Powder of Seed kelor 212 mesh dose 1250 mg/L able to cast aside the turbiditas equal to 77,77%, Totalizeing Suspended Solid equal to 83,69% and Chemical Oxygen Demand equal to 75,86% and rate ruddle 0,05, blue 0,20, turning yellow 0,37 appliance lovibond. Dose alum 1250 mg/L And size measure particle 212 mesh able to cast aside the turbiditas equal to 80,06 %, Totalizeing Suspended Solid equal to 84,72% Chemical Oxygen Demand equal to 94,49% and rate ruddle 0,04 blue 0,15, turning yellow 0,35 appliance lovibond. While combination of powder of seed kelor by alum best mass ratio 8:8 liquid waste textile industry ( jeans wash) using particle size measure 212 mesh can cast aside the turbiditas equal to 76,92%, Totalizeing Suspended Solid equal to 78,60% Chemical Oxygen Demand equal to 71,92% and rate ruddle 0,06, blue 0,18, turning yellow 0,27 appliance lovibond.use of Seed kelor as koagulan more effective compared to combination of seed of kelor and alum in the case of exclusion kekeruhan, Total Suspended Solid, Chemical Oxygen Demand and colour rate pH 7,8.
KATA PENGANTAR
Pertama-tama saya panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Adapun judul tesis ini adalah “Pemanfaatan Biji Kelor (Moringa Oleifera)
Sebagai Koagulan Alternatif Dalam Proses Penjernihan Limbah Cair Industri
Tekstil. Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas dan syarat dalam menempuh ujian
Pascasarjana pada Sekolah Pascasarjana, Program Magister Teknik Kimia,
Universitas Sumatera Utara.
Secara khusus, saya ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof.Dr.Ir.Setiaty Pandia selaku Ketua
Program Studi Magister Teknik Kimia Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara sekaligus pembimbing utama yang dengan penuh perhatian dan kesabaran
telah memberikan dorongan, bimbingan, saran, waktu serta pemikiran mulai sejak
saya diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Magister Teknik Kimia SPs USU
hingga selesainya penulisan tesis ini.
Tak lupa pula ucapan terima kasih saya kepada M. Hendra S. Ginting, ST,
MT selaku Co-Pembimbing yang telah banyak memberikan bantuan dan dorongan,
bimbingan, saran, waktu hingga selesainya penulisan tesis ini.
Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah saya mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
− Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpA(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada saya untuk
mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Magister.
− Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang dijabat
oleh Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. MSc atas kesempatan menjadi
mahasiswa Program Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas
− Para staf pengajar pada Program Studi Magister Teknik Kimia Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Dalam kesempatan ini saya juga ingin mengucapakan terima kasih kepada
Ayahanda Ahmad Darwis Rambe (Alm) dan ibunda Salmiah Siregar (Alm) yang
telah susah payah membesarkan dan mendidik saya untuk dapat menjadi manusia
yang berguna ditengah-tengah masyarakat dan takut akan Tuhan serta mendorong
saya tanpa bosan-bosannya untuk terus dengan gigih dalam meningkatkan ilmu
pengetahuan. Dan kepada saudara-saudaraku terutama istri tercinta yang telah
memberikan dorongan semangat kepada saya untuk dapat secepatnya menyelesikan
tesis ini.
Saya menyadari, bahwa sebagai manusia biasa tentunya masih banyak
kekurangan-kekurangan dalam penulisan ini baik dari segi isi, bahasa maupun
penyusunannya. Untuk itu saya mengharapkan dan saran-saran untuk kesempurnaan
tesis ini.
Medan Januari 2009
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Denpasar pada tanggal 13 April 1958. Penulis adalah anak ke
empat dari pasangan Bapak Ahmad Darwis Rambe dan Ibu Salmiah Siregar.
Pendidikan SD ditempuh di SD Negeri 10 Padangsidempuan dari tahun 1964
– 1970. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri I Padangsidempuan sampai
tahun 1973 dan pada tahun 1976 menyelesaikan pendidikan SMA Negeri II Medan.
Pada tahun 1978 penulis diterima menjadi mahasiswa Universitas Sumatera
Utara, FMIPA jurusan fisika, dan lulus sarjana pada tahun 1986. Pada tahun 2006
penulis memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan Pascasarjana di Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara pada Program Studi Magister Teknik
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Selama ini Indonesia merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati
terkaya di dunia. Diantaranya Indonesia memiliki 10% jenis tumbuhan berbunga
yang ada di dunia, 12% mamalia, 16% reptilia dan amfibia, 17% burung, 25% ikan
dan 15% serangga. Namun akhir-akhir ini, keragaman hayati yang dimiliki Indonesia
itu telah mengalami erosi akibat perusakan habitat, eksploitasi spesies flora dan
fauna secara berlebihan dan penyeragaman varietas tanaman dan ras hewan budidaya
(Sugandhy dkk,1998).
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah
mengupayakan agar setiap spesies sumber daya alam hayati yang ada itu memiliki
nilai tambah dimata masyarakat, sehingga masyarakat termotivasi untuk
membudidayakannya. Dengan demikian diharapkan keaneka ragaman hayati tersebut
dapat terlestarikan. Apalagi saat ini Indonesia sedang giat-giatnya mengembangkan
usaha agrobisnis.
Salah satu kebutuhan pokok manusia adalah kebutuhan akan pakaian. Di
Indonesia, Industri tekstil sebagai penghasil pakaian telah dibangun dalam jumlah
yang relatif banyak. Limbah tekstil sebagai penghasil pakaian telah dibangun dalam
jumLah yang relatif banyak. Limbah tekstil merupakan limbah yang dihasilkan
dalam proses pengkanjian, proses penghilangan kanji, penggelantangan, pemasakan,
penyempurnaan kapas menghasil kan limbah yang lebih banyak dan lebih kuat dari
pada limbah dari proses penyempurnaan bahan sintesis.
Air Limbah pabrik tekstil di Indonesia rata – rata mengandung 750 mg/L
padatan tersuspensi dan 500 mg/L BOD. Perbandingan COD : BOD adalah dalam
kisaran 1,5 : 1 sampai 3 : 1. Pabrik serat alam menghasilkan beban yang lebih besar.
Beban tiap ton produk lebih besar untuk operasi kecil dibandingkan dengan operasi
modern yang besar, berkisar dari 25 kg BOD/ton produk sampai 100 kg BOD/ton
(EMDI – Bapedal, 1994).
Larutan penghilang kanji biasanya langsung dibuang dan ini mengandung zat
kimia pengkanji dan penghilang kanji pati, PVA, cmc, enzim, asam, penghilangan
kanji biasanya memberikan BOD paling banyak dibanding dengan proses-proses
lain. Pemasakan dan merserisasi kapas serta pemucatan semua kain adalah sumber
limbah cair yang penting, yang menghasilkan asam, basa, COD, BOD, padatan
tersuspensi dan zat-zat kimia. Proses-proses ini menghasilkan limbah cair dengan
volume besar, pH yang sangat bervariasi dan beban pencemaran yang tergantung
pada proses dan zat kimia yang digunakan. Pewarnaan dan pembilasan menghasilkan
air limbah yang bewarna dengan COD tinggi dan bahan-bahan lain dari zat warna
yang dipakai, seperti fenol dan logam. Di Indonesia zat warna berdasar logam (krom)
tidak banyak dipakai. Proses pencetakan menghasilkan limbah yang lebih sedikit dari
pada pewarnaan.
Alternatif koagulan (Kawamura, 1959; Kawamura, 1991), pemanfaatan sumber
Sebagai contoh, penggunaan koagulan alami untuk penjernihan air minum telah
dicatat sepanjang peradaban manusia. Sankrit dari India melaporkan bahwa biji
tanaman Nirmali telah digunakan untuk menjernihkan kekeruhan air permukaan
sejak 4000 tahun yang lalu (Shultz dan Okun, 1984) dan pada abad terakhir ini,
seorang wanita Sudan menemukan senyawa penjernih dalam biji Moringa oleifera
(Jahn, 1988). Shultz dan Okun, (1984) melaporkan bahwa ekstrak Nirmali
(Strychnos potatorum), asam (Tamarindus indica), tanaman guar (Cyamopsis
psoraloides), sorella merah (Hibiscus sabdariffa), fenugreek (Trigonella foenum) dan
lentils (Lens esculenta), semuanya menunjukkan sebagai koagulan yang efektif pada
kekeruhan tinggi air baku dan dapat mengurangi dosis alum yang dibutuhkan sekitar
40-50 %.
Menurut Amdani K (2004), penggunaan koagulan biji kelor, pH dan dosis
koagulan berpengaruh sangat nyata terhadap kekeruhan tersisihkan limbah cair
industri pencucian jeans. Derajat keasaman (pH) optimum koagulasinya adalah 3
(tiga) dengan kekeruhan tersisihkan 83,03%. Pada tawas pH optimumnya adalah 6
(enam) dan kekeruhan tersisihkan 84,95%. Dosis optiumum biji kelor adalah 120
mg/250 mL atau 480 mg/L dengan kekeruhan tersisihkan 92,21%. Pada tawas dosis
optimumnya adalah 60mg/250 mL atau 240 mg/L dengan kekeruhan tersisihkan
94,25%.
Kelor adalah sejenis tumbuhan yang tumbuh di daerah tropis. Biji dari
tumbuhan ini mengandung zat aktif (active agent) yang dapat digunakan sebagai
Sumatera Utara, tumbuhan tersebut hanya dimaanfaatkan sebagai sayuran dan obat –
obatan tradisional.
Dengan adanya penelitian ini, diharapkan diperoleh bahan koagulan pengolahan
limbah cair yang realatif murah sekaligus menambah nilai ekonomis dari keaneka
ragaman hayati yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, dan pada gilirannya menjadi
motivasi bagi masyarakat untuk membudidayakan dan melestarikan fungsinya.
1.2 Masalah Penelitian
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana
biji kelor berperan sebagai koagulan alternatif dalam limbah cair industri tekstil.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan biji kelor
sebagai koagulan dan kemampuannya jika dikombinasi dengan aluminium sulfat
(alum) terhadap persentasi penurunan kekeruhan, Total Suspended Solid (TSS),
kadar warna dan COD limbah cair industri tekstil dengan pH limbah cair industri
tekstil dosis dan ukuran partikel biji kelor yang digunakan.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai masukan bagi dunia industri
tekstil dalam menemukan bahan koagulan pengganti yang lebih ramah lingkungan
1.5 Lingkup Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium F. MIPA Universitas Sumatera Utara,
Medan yang berlangsung selama 3 bulan. Bahan-bahan yang digunakan antara lain
biji kelor (Moringa Oleifera), limbah cair industri tekstil (pencucian jeans) yang ada
di Medan dan aluminium sulfat (alum).
Variable-variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi :
1. Dosis koagulan biji kelor (mg/L limbah industri tekstil) : 750, 875, 1000, 1125,
1250, dan 1375.
2. Perbandingan massa biji kelor dan alum (mg/L) 6 : 10, 7 : 9, 8 : 8, 9 : 7, dan
10 : 6 atau 750 : 1250, 875 : 1125, 1000 : 1000, 1125 : 875, 1250 : 750 mg/L
limbah.
pH limbah cair industri tekstil (pencucian jeans) yang digunakan adalah pH 7,8
dengan ukuran partikel adalah 212 mesh. Parameter uji penelitian adalah penyisihan
kekeruhan (turbiditas), penyisihan TSS, COD, dan warna limbah cair pencucian
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Proses Koagulasi / Flokulasi
Koagulasi adalah proses pengolahan air / limbah cair dengan cara
menstabilisasi partikel-partikel koloid untuk memfasilitasi pertumbuhan partikel
selama flokulasi, sedangkan flokulasi adalah proses pengolahan air dengan cara
mengadakan kontak diantara partikel-partikel koloid yang telah mengalami
destabilisasi sehingga ukuran partikel tersebut tumbuh menjadi
partikel-partikel yang lebih besar (Kiely, 1997).
Koagulasi / flokulasi diperlukan untuk menghilangkan material limbah
berbentuk suspensi atau koloid. Koloid dihadirkan oleh partikel-partikel berdiameter
sekitar 1nm (10-7 cm) hingga 0,1 nm (10-8 cm). Partikel-partikel ini tidak dapat
mengendap dalam periode waktu yang wajar dan tidak dapat dihilangkan dengan
proses perlakuan fisika biasa.
2.1.1 Koagulasi
Umumnya partikel-partikel tersuspensi / koloid dalam air buangan memperlihatkan
efek Brownian. Permukaan partikel-partikel tersebut bermuatan listrik negatif.
Partikel-partikel itu menarik ion positif yang terdapat dalam air dan menolak
ion-ion negatif. Ion-ion-ion positif tersebut kemudian menyelubungi partikel-partikel koloid
dan membentuk lapisan rapat bermuatan di dekat permukaannya. Lapisan yang
stern). Lapisan kokoh dikelilingi lagi oleh sejumlah ion-ion yang berlawanan muatan
yang disebut lapisan difusi. Di dalam lapisan difusi terrdapat satu bidang geser
(shear plane) yang merupakan batas terhadap mana ion-ion yang berlawanan muatan
dapat tersapu dari permukaan partikel oleh gerakan fluida. Ion-ion di sebelah dalam
bidang geser bergerak bersama pertikelnya, sedangkan yang berada di bagian luar,
gerakannya ditentukan oleh gerakan fluida atau termal. Kumpulan ion-ion
berlawanan di dalam air yang mengelilingi partikel koloid dan muatan-muatan
permukaannya itu disebut lapisan ganda listrik (electrical double layer). Adanya
muatan-muatan pada permukaan partikel koloid tersebut menyebabkan pembentukan
medan elektrostatik di sekitar partikel itu sehingga menimbulkan gaya tolak-menolak
antar partikel. Di samping gaya tolak-menolak akibat muatan negatif pada
pertikel-partikel koloid, ada juga gaya tarik-menarik antara dua pertikel-partikel yang dikenal dengan
gaya Van der Walls (berasal dari sifat electron yang merupakan bagian dari system
atom atau molekuler, dan signifikan hanya pada jarak yang sangat kecil, sekitar satu
mikro atau kurang). Selama tidak ada hal yang mempengaruhi kesetimbangan
muatan-muatan listrik partikel koloid, gaya tolak-menolak yang ada selalu lebih
besar daripada gaya tarik Van der Walls, dan akibatnya partikel koloid tetap dalam
keadaan stabil (Farooq dan Velioglu dalam Cheremisinoff, 1989).
Menurut Eckenfelder (1989), potensial listrik diantara bidang geser dan
badan cairan dapat ditentukan dengan pengukuran elektroforesis (pengukuran laju
partikel dalam suatu medan listrik) dan disebut potensial zeta ( ). Potensial zeta
lapisan ganda tergantung pada konsentrasi ion di dalam cairan. Semakin besar
konsentrasi ion, semakin kecil ketebalan lapisan ganda dan berarti semakin rapat
muatan. Potensial zeta sering digunakan sebagai ukuran stabilitas partikel koloid.
Semakin tinggi potensial zeta, semakin stabil suatu partikel koloid.
Jika ion-ion atau koloid bermuatan positif (kation) ditambahkan ke dalam
koloid target koagulasi, maka kation tersebut akan masuk ke dalam lapisan difusi
karena tertarik oleh muatan negatif yang ada pada permukaan partikel koloid. Hal ini
menyebabkan konsentrasi ion-ion dalam lapisan difusi akan meningkat. Akibatnya,
ketebalan lapisan difusi akan berkurang (termampatkan kearah permukaan partikel).
Pemampatan lapisan difusi ini akan mempengaruhi potensial permukaan partikel
koloid, gaya tolak-menolak antar partikel serta stabilitas partikel koloid. Penambahan
kation hingga mencapai suatu jumLah tertentu, akan merubah besar partikel zeta ke
suatu tingkat dimana gaya tarik-menarik Van der Walls antar pertikel dapat
melampaui gaya tolak-menolak yang ada. Dengan demikian pertikel koloid dapat
saling mendekati dan menempel satu sama lain serta membentuk mikroflok.
Mekanisme destabilisasi partikel koloid ini disebut pemampatan lapisan ganda
listrik. Dalam hal ini jenis muatan permukaan partikel koloid tidak berubah (Farooq
dan Velioglu dalam Cheremisinoff, 1989).
Ion-ion atau koloid bermuatan positif (kation) yang ditambahkan dalam
proses destabilisasi koloid juga dapat bereaksi dengan alkalinitas dalam air,
mengendap, presipitat ini dapat membantu pembentukan flok dengan cara
penjaringan partikel-partikel koloid (Nathanson, 1986).
Selain dengan cara tersebut diatas, destabilisasi partikel koloid juga dapat
terjadi melalui mekanisme yang disebut dengan jembatan antar partikel. Dalam
mekanisme ini, ion-ion atau koloid bermuatan positif yang digunakan bersumber dari
polimer. Polimer adalah senyawa karbon rantai panjang (linier atau bercabang).
Polimer memiliki banyak tempat aktif sepanjang rantainya dimana partikel koloid
dapat berinteraksi dan teradsorbsi. Apabila dua atau lebih partikel teradsorbsi
sepanjang rantai polimer, suatu jembatan partikel akan dibentuk. Jembatan partikel
tersebut kemudian akan jalin-menjalin dengan jembatan partikel lain selama proses
flokulasi dan mengendap dengan mudah sebagai suatu hasil dari pertambahan
ukuran. Polimer yang digunakan dalam proses destabilisasi partikel koloid sering
disebut dengan polielektrolit (Farooq dan Velioglu dalam Cheremisinoff, 1989).
Ion-ion atau koloid bermuatan positif (kation) yang ditambahkan untuk
meniadakan kestabilan partikel koloid tersebut di atas dapat dihasilakn dari senyawa
organic atau anorganik tertentu yang disebut koagulan. Zat kimia yang digunakan
dalam proses inin meliputi ion-ion metal seperti aluminium atau besi, yang mana
akan terhidrolisa dengan cepat untuk membentuk presipitat yang tidak larut, dan
polielektrolit organic alam atau sintetik, yang mana dengan cepat teradsorbsi pada
permuakaan partikel koloid, dengan demikian mempercepat laju pembantukan
Menurut Davis dan Cornwell (1991), ada dua factor penting dalam
penambahan koagulan yakni pH dan dosis. Dosis dan pH optimum harus ditentukan
dalam test laboratorium dan biasanya ditentukan dengan suatu prosedur yang disebut
dengan “jar test”. Untuk mengatur pH air / limbah cair ke dalam range optimal
koagulasi, diperlukan bahan penolong (coagulant aid) berupa asam atau alkali. Asam
yang paling umum digunakan untuk menurunkan pH adalah asam sulfat dan untuk
menaikkan pH biasanya digunakan lime [Ca(OH)2], soda abu (Na2CO3) atau NaOH.
2.1.2 Flokulasi
Agar partikel-partikel koloid dapat menggumpal, gaya tolak menolak
elektrostatik antara partikelnya harus dikurangi dan transportasi partikel harus
menghasilkan kontak diantara partikel yang mengalami destabilisasi.
Setelah partikel-partikel koloid mengalami destabilisasi, adalah penting untuk
membawa partikel-partikel tersebut ke dalam suatu kontak antara satu dengan yang
lainnya sehingga dapat menggumpal dan membentuk partikel yang lebih besar yang
disebut flok. Proses kontak ini disebut flokulasi dan biasanya dilakukan dengan
pengadukan lambat (slow mix) secara hati-hati. Flokulasi merupakan factor paling
penting yang mempengaruhi efisiensi penghilangan partikel. Tujuan flokulasi adalah
untuk membawa partikel-partikel ke dalam kontak sehingga mereka bertubrukan,
tetap bersatu, dan tumbuh menjadi satu ukuran yang siap mengendap. Pengadukan
pengadukan dapat membubarkan flok sehingga ukurannya menjadi kecil dan
terdispersi halus (Davis dan Cornwell, 1991).
Dalam proses flokulasi, kecepatan penggumpalan dari agregat ditentukan
oleh banyaknya tubrukan antar partikel yang terjadi serta keefektifan benturan
tersebut. Dalam hal ini, tubrukan antar partikel terjadi melalui tiga cara, yakni :
1. Kontak yang diakibatkan oleh adanya gerak termal (panas), yang dikenal
sebagai gerak Brown. Flokulasi yang terjadi oleh adanya gerak Brown ini
disebut flokulasi perikinetik.
2. Kontak yang diakibatkan oleh adanya gerakan media (air), misalnya karena
pengadukan. Flokulasi yang terjadi akibat gerakan fluida ini disebut flokulasi
ortokinetik.
3. Kontak yang terjadi akibat perbedaan laju pengendapan dari masing-masing
partikel.
2.2Zat Warna
Zat warna adalah senyawa yang dapat dipergunakan dalam bentuk larutan
atau dispersi kepada suatu bahan lain sehingga berwarna. Warna dalam air dapat
disebabkan oleh adanya ion-ion metal alam, yaitu besi (Fe) dan mangan (Mn), humus
yang dihilangkan terutama untuk penggunaan air industri dan air minum. Warna
yang biasanya diukur adalah warna sebenarnya atau warna nyata, yaitu warna setelah
kekeruhan dihilangkan, sedangkan warna nampak adalah warna yang tidak hanya
Pemeriksaan warna ditentukan dengan membandingkan secara visual warna
dari sampel dengan larutan standar warna yang diketahui konsentrasinya. Air limbah
yang baru dibuat biasanya berwarna abu-abu apabila senyawa-senyawa organik yang
ada mulai pecah oleh bakteri. Oksigen terlarut dalam limbah direduksi sampai
menjadi nol dan warnanya berubah menjadi hitam (gelap). Pada kondisi ini dikatakan
bahwa air limbah sudah busuk. Dalam menetapkan warna tersebut dapat pula diduga
adanya pewarna tertentu yang mengandung logam-logam berat. (Departemen
Perindustrian, 1987). Dari Tabel. 1 di bawah ini dapat diliat karateristik limbah cair
dari proses penyempurnaan beberapa bahan pencucian jeans.
Tabel 1. Karateristik Limbah Cair dari Proses penyempurnaan Beberapa Bahan Pencucian Jeans
2.3Pemanfaatan Biji Kelor Sebagai Koagulan
Kelor (Moringa oleifera) termasuk famili Moringaceace, merupakan suatu
genus tunggal dari famili pohon semak belukar yang dibudidayakan di seluruh
daerah tropis dan dimaanfaatkan untuk berbagai kepentingan (jahn dalam Muyibi
dan Evison, 1995).
Beberapa pemaanfaatan kelor : Daun dan buah mudanya dapat dipergunakan
sebagai sayuran bergizi tinggi atay sebagai pakan ternak. Bunganya dapat digunakan
untuk membuat teh. Biji dari buahnya yang masih berwarna hijau dapat dimakan
seperti kacang – kacangan (direbus dan digoreng). Bijinya yang sudah tua
mengandung sekitar 40% minyak yang dapat digunakan untuk memasak, bahan
pembuat sabun dan kosmetika atau sebagai minyak lampu. Selain itu bijinya yang
sudah tua tersebut juga dapat digunakan sebagai koagulan alamiah untuk
menjernihkan air. Kayu kelor sangat baik dijadikan pulp. Kulit kayunya dapat
digunakan untuk membuat keset kaki dan tali. Semua bagian tumbuhan (termasuk
akar) digunakan dalam berbagai obat tradisional. Tumbuhan ini memiliki peluang
menjadi tanaman paling popular dalam ECHO’s seed dari tumbuhan tropis yang
kurang dimanfaatkan (Price, 2002)
Percobaan di Malawi pada pilot and full scale treatment (menggunakan unit
pengolahan air yang terdiri dari floccolator-clarifiers, rapid gravity filter dan diikuti
khlorinasi, laju alir 60 m3/jam), menunjukan bahwa koagulan serbuk biji kelor dapat
menurunkan kekeruhan air sungai yang keruh dari 270-380 NTU menjadi di bawah 4
Menurut Muyabi dan Evison (1995) biji kelor juga dapat digunakan untuk
melunakkan air sadah.
Hasil penelitian Husin dan Pandia, S (2003) menunjukkan bahwa, dalam
penggunaan biji kelor sebagai koagulan dalam prosese pengolahan air sungai untuk
menyisihkan kandungan Total Suspended Solid (TTS), kekeruhan (turbidity) dan
Total Dissolved Solid (TDS) diperlukan waktu pengendapan agar flok – flok yang
terbentuk memiliki kesempatan turun ke dasr tangki sedimentasi. Waktu
pengendapan efektif didapatkan sekitar 2 (dua) jam pertama.
Menurut Ndabigengesere (Chandra, 1998), biji kelor mengandung suatu zat
aktif (active agent) 4 – 4r – rhamnosyloxy – benzyl – isothiocyanate sebagai protein
kationik. Zat aktif ini dapat membantu menurunkan gaya tolak menolak antara
partikel koloid adalam air, sehingga dapat digunakan sebagi bahan koagulan dalam
proses pengolahan air. Dalam proses koagulasinya, biji kelor memberikan pengaruh
kecil terhadap derajat keasaman dan konduktifitas. JumLah lumpur yang diproduksi
biji kelor lebih sedikit dari jumLah lumpur yang diproduksi oleh ferro sulfat sebagai
koagulan.
Biji kelor (oringa oleifera seeds) diketahui mengandung polielektrolit
kationik dan flokulan alami dengan komposisi kimia berbaris polipeptida yang
mempunyai berat molekul mulai dari 6000 sampai 16.000 Dalton, mengandung
asam-asam amino terutama asam glutamat, metionin dan arginin (Jhan, 1986;
Folkard et al., 1986-1988; Kaser et al., 1990; Bina, 1991 dalam Muyibi dan Evison,
Biji kelor sebagai koagulan dapat digunakan dengan dua cara yaitu : biji
kering dengan kulitnya dan biji kering tanpa kulitnya (Ndabigengesere et al, 1995).
Hasil analisa elemen pada biji kelor untuk biji dengan kulit, 6,1% N ; 54,8% C; dan
8,5% H, sedangkan untuk biji tanpa kulit, 5,0% N; 53,3% C dan 7,7% H (dalam %
berat) sedang sisanya terdiri dari oksigen (Ndabigengesere et al, 1995). Kandungan
protein, lemak dan karbohidrat biji kelor dapat dilihat pada Tabel 2
Tabel 2. Kandungan protein, lemak dan karbohidrat dalam biji kelor (dalam % Berat)
(Sumber : Ndabigengesere et al 1995)
Efektifitas koagilan oleh biji kelor ditentukan oleh kandungan protein
kationik yang bertegangan rapat denga berat molekul sekitar 6,5 Kdalton. Zat aktif
(active agent) yang terkandung dalam biji kelor yaitu 4 -4-rhamnosyloxy – benzyl –
isothiocyanate (Sutherland et al, 1990; Muyibi dan Evison, 1995; Okuda et al, 2001).
Prinsip utama mekanisme koagulasinya adalah adsorpsi dan netralisasi tegangan
memberikan pengaruh yang kecil terhadap derajat keasaman dan konduktifitas.
Jumlah lumpur yang diproduksi biji kelor lebih sedikit dari jumlah yang diproduksi
oleh ferro sulfat sebagai koagulan (Chandra, 1998).
Bahan koagulan dalam biji kelor adalah protein kationil; yang larut dalam air.
Potensial zeta larutan 5% biji kelor tanpa kulit adalah sekitar + 6 mV
(Ndabigengesere et al, 1995). Hal ini menunjukkan bahwa larutan ini didominasi
oleh tegangan positif meskipun merupakan campuran heterogen yang kompleks.
Potensial zeta air sintetik – 46 mV. Hal ini menunjukkan bahwa pada pH netral,
partikel-partikel bermuatan negatif. Akibatnya koagulasi partikel tersuspensi dengan
biji kelor dipengaruhi oleh proses destabilisasi tegangan negatif koloid oleh
polielektrolit kationik.
Mekanisme yang paling mungkin terjadi dalam proses koagulasi adalah
adsorpsi dan netralisasi tegangan atau adsorpsi dan ikatan antar partikel yang tidak
stabil. Dari kedua mekanisme tersebut, untuk menentukan mekanisme mana yang
terjadi merupakan suatu hal yang sangat sukar karena kedua mekanisme koagulasi
dengan biji kelor adalah adsorpsi dan netralisasi tegangan (Sutherland, 1990).
Penggunaan biji kelor sebagai koagualn dilakukan dengan cara terlebih
dahulu membuat larutan biji kelor yang terdiri dari 5 gram biji kering yang
dihaluskan dicampur dengan 100 mL aquadest, kemudian campuran tersebut
digunakan sebagai koagulan sebagaimana lazimnya penggunaan koagulan lain.
Dalam hal ini dapat digunakan biji kering dengan kulit dan biji kering tanpa kulit.
karena biji kulit mengandung lebih banyak protein kationik dari pada biji tanpa kulit.
(Chandra, 1998).
(Sumber : Ndabigengesere et al 1995) Gambar 1. Biji Kelor
2.4Koagulan Aluminium Sulfat
Koagulan dapat dikelompokkan atas : alum, garam besi (seperti ferri klorida),
atau polimer. Diantara ketiga jenis diatas, alum merupakan jenis yang paling umum
digunakan karena lebih murah.
Air yang akan bereaksi dengan aluminium sulfat harus cukup mengandung
alkalinitas agar dapat membentuk flok hidroksida. Biasanya pada pH yang
diperbolehkan, alkalinitas berada dalam bentuk ion bikarbonat. Reaksi sederhana
pembentukan flok adalah sebagai berikut (Benefield et. al., 1982).
Al2(SO4)3.14H2O + 3Ca(HCO3)2 2 Al(OH)3 + 3CaSO4 + 14 H2O + 6 CO2.
Ada air tertentu yang tidak mengandung cukup alkalinitas untuk bereaksi
dengan alum, sehingga perlu ditambahkan alkalinitas. Biasanya alkalinitas dalam
atau kapur hidrat). Reaksi koagulasi dengan adanya kalsium hidroksida adalah
sebagai berikut :
Al2(SO4)3.14H2O + 3Ca(OH)2 2 Al(OH)3 + 3CaSO4 + 14 H2O
Alkalinitas dapat juga ditambahkan dalam bentuk ion karbonat dengan penambahan
natrium karbonat (soda abu).
Kebanyakan air mengandung cukup alkalinitas, sehingga tidak perlu
dilakukan penambahan zat kimia lain selain aluminium sulfat. Rentang pH optimum
untuk alum berkisar antara 4,5 – 8,0 karena aluminium hidroksida menjadi sukar
larut pada pH tersebut. Aluminium sulfat umumnya terdapat dalam bentuk kering
tetapi adajuga yang cair. Aluminium sulfat kering biasanya berbentuk butiran halus,
bubuk, dan bongkahan tetapi yang umumnya digunakan adalah aluminium sulfat
dalam bentuk butiran halus. Butiran halus tersebut mengandung 15-22 % Al2O3 yang
meliputi 14 kristal air, dengan berat sekitar 60-63 lb/ft3, dan dapat diumpankan
langsung, sedangkan aliminium sulfat cair mengandung 50 % alum.
Alum dapat digunakan sebagai koagulan tunggal maupun digunakan bersama
2.5 Limbah Cair Industri Pencucian Jeans
2.5.1 Proses Pembuatan Kain Jeans
Kain denim atau yang biasa disebut kain jeans adalah kain kapas 100% yang
ditenun dengan anyaman keper dan tersusun atas benang lusi yang telah dicelup dan
benang pakan berwarna putih. Benang lusi yang dicelup dengan warna biru disebut
kain blue jeans. Selain warna biru ada pula yang dicelup dengan warna hitam atau
coklat.
Zat warna yang digunakan untuk biru umumnya adalah zat warna
bejana/indigo, untuk warna hitam dan coklat adalah zat warna belerang. Disamping
zat warna tersebut dipakai juga zat warna direk dan pigmen. Setelah dicelup terhadap
benang lusi dilakukan pengkanjian untuk menambah kemampuan benang dalam
penenunan. Kanji yang digunakan umumnya kanji pati atau campuran kanji pati
dengan kanji sintesis. Selanjutnya dilakukan penenunan pada mesin tenun untuk
menghasilkan kain jeans.
2.5.2 Proses Pencucian/Pelusuhan Pakaian Jadi Jeans
Pakaian jadi yang terbuat dari kain jeans diantaranya jaket, celana panjang,
rok wanita dan pakaian anak-anak. Untuk memperoleh kenampakan yang diinginkan
serta untuk menambah kelemasan, terhadap pakaian jadi jeans tersebut sering
dilakukan proses pencucian/pelusuhan. Skema proses pencucian/pelusuhan pakaian
Pakaian jadi jeans
Kadang-kadang + asam – Asetat 0,5 mL/l dan OBA
Pemerasan
Pengeringan
Proses pencucian/pelusuhan tersebut meliputi proses penghilangan kanji,
pelusuhan dan pemucatan warna dengan menggunakan batu apung dan zat
pengoksidasi serta dilanjutkan dengan pelemasan. Bahan-bahan yang digunakan
meliputi :
1. Penghilang Kanji : Enzim
2. Pelusuhan : Batu apung
3. Pemucatan :
a. Oksidator : hidrogen peroksida (H2O2), kaporit (CaOCI2), hipoklorit
(NaOCI), KmnO4.
b. Zat pemutih (OBA); dalam suasana basa/alkalis dengan menambahkan soda
abu (Na2CO3), soda kostik (NaOH).
4. Pencucian/bilas : detergen
5. Pelemasan : softener (zat pelumas), OBA
6. Bahan bakar : LPG, Minyak bakar oven dan Boiler
Berdasarkan pada kenampakan (warna) hasil yang diinginkan, proses
pencucian/pelusuham dapat berupa :
a. Penghilangan kanji + pelemasan
b. Penghilangan kanji + stone wash + pelemasan
Dalam proses pemucatan, jenis dan jumLah bahan komia yang digunakan
serta lamanya proses berlangsung ditentukan oleh tingkat kepucatan warna yang
diinginkan. Makin pucat warna yang diinginkan makin banyak jenis dan jumLah
bahan kimia yang ditambahkan serta semakin lama proses dilakukan.
Setiap proses yaitu penghilangan kanji, pelusuhan (stone wash), pemucatan
dan pelemasan dapat dilakukan secara terpisah masing-masing dalam mesin cuci
yang berlainan tetapi banyak pula yang melakukan gabungan dari beberapa proses
dalam satu mesin, misalnya penghilangan kanji + stone wash, stone wash +
pemucatan, penghilangan kanji + stone wash + pemucatan.
Dalam proses pencucian/pelusuhan digunakan cukup banyak air, yaitu sekitar
25 hingga 40 liter per kilogram pakaian atau 25-40 m3/ton pakaian.
Alat-alat/mesin-mesin yang lazim digunakan dalam proses pencucian/pelusuhan meliputi Alat-alat/mesin-mesin cuci,
mesin peras, mesin pengering/oven dan pembangkit uap (steam boiler) atau dapat
juga digunakan pemanas air (water heater).
2.5.3 Limbah Cair Industri Pencucian Jeans
Pencemar yang utama dari industri pencucian jeans adalah air limbah. Air
limbah dari setiap proses mengandung sisa bahan kimia yang digunakan dan bahan
yang digunakan dan bahan yang dikeluarkan dari serat seperti kanji dan zat warna.
Karakteristik pencemaran dari air limbah setiap tahapan proses dari industri
pencucian jeans adalah seperti Tabel 3 dan gabungan air limbah dari semua
Tabel 3 Karakteristik Pencemaran Air Limbah Setiap Tahapan Proses Industri Pencucian Jeans
Proses Karakteristik air limbah
Tabel 4 Karakteristik Pencemaran Gabungan Air Limbah dari Semua Proses Industri Pencucian Jeans
Parameter Kadar
pH 8 - 10,5
COD 300 - 1500 mg/L
BOD 80 - 350 mg/L
Padatan tersuspensi 100 - 400 mg/L
Minyak/Lemak 0 - 34,3 mg/L
Warna keruh kebiruan
III. METODE PENELITIAN
3.1Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Laboratorium penelitian FMIPA, Universitas Sumatera
Utara, Medan. Penelitian dimulai dari bulan Juli sampai bulan September 2008.
3.2Bahan dan Alat
3.2.1 Bahan-bahan
3.2.1.1Bahan olah
Bahan yang diolah dalam percobaan ini adalah limbah cair industri tekstil
(pencucian Jeans) Limbah cair diambil dari Jl. Letda Sujono Medan dan dibawa ke
laboratorium, Kekeruhan (turbiditas), Total Suspended Solid (TSS), warna, COD dan
pH awal limbah cair yang digunakan terlebih dahulu diukur.
3.2.1.2Bahan koagulan
Bahan koagulan yang digunakan dalam percobaan ini adalah biji Kelor
(Moringa oleifera) diambil dari depan halaman Fakultas Pertanian USU dan sebagai
pembanding digunakan tawas (aluminium sulfat). Untuk membuat koagulan biji
kelor, buah kelor yang sudah matang (berwarna coklat) dan kering secara alamiah di
pohonnya diambil lalu bijinya di keluarkan dari dalam buah. Biji dengan
cangkangnya yang bersih lalu di blender hingga menjadi bubuk dan diayak dengan
selama 30 menit untuk menghomogenkan dan menurunkan kadar airnya hingga
konstan. Serbuk biji kelor selanjutnya siap digunakan sebagai koagulan.
3.2.1.3Bahan kimia
Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam percobaan ini adalah :
1. Natrium Hidroksida
2. Asam Sulfat
3. Ag2 SO4
4. Fe SO4
5. Aquades
6. Indikator Phenanthrolin
7. Dan bahan kimia analisa
3.2.2 Alat-alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
1. Peralatan Jar Test
2. pH meter digital
3. Turbidimeter
4. Neraca Analitik
5. Stop watch
6. Oven
8. Gelas ukur
9. Blender
10.Ayakan 212 mesh
11.Pipet volume
12.Kertas saring
13.Erlenmeyer
14.Lovi Bond
15.COD meter
3.3Prosedur Analisa
Prosedur analisa dilakukan untuk mengetahui kekeruhan, TSS, kadar warna dan
COD dari limbah cair pencucian jeans.
3.3.1. Analisa Kekeruhan (Turbiditas)
Kekeruhan adalah sifat optis dari suatu larutan, yaitu hamburan dari adsorbsi
cahaya yang melaluinya. Uji kekeruhan adalah mengukur suatu sifat optik dari suatu
sampel air yaitu hasil penyebaran dan penyerapan cahaya oleh bahan-bahan partikel
yang terdapat dalam sampel. Jumlah dari kekeruhan yang terukur tergantung pada
berbagai macam variable seperti : ukuran, bentuk dan indeks refraksi dan partikel.
Kekeruahan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap berat berbagai bahan
yang terdapat pada suspensi karena bentuk dan indeks refreksi dari berbagai partikel
Metode pengukuran yang dilakukan adalah metode Nefelometrik (unit kekeruhan
FTU).
3.3.2. TSS (Total Suspended Solid)
TSS adalah jumlah berat dalam mg/L kering lumpur yang ada dalam limbah
setelah mengalami penyaringan dengan membran berukuran 0,45 mikron (Sugiharto,
1987). Penentuan zat padat tersuspensi (TSS) berguna untuk mengetahui kekuatan
pencemaran air limbah domestik, dan juga berguna untuk penentuan efisiensi unit
pengolahan air (BAPPEDA, 1997).
3.3.3. Analisa Konsentrasi Zat Warna
Analisa konsentrasi zat warna dilakukan dengan menggunakan Lovibond.
Dimana limbah dengan angka-angka yang diatur sampai kadar warna pada layar
terlihat sama.
3.3.4. Analisa COD (Chemical Oxygen Demand)
Metode pemeriksanaan tanpa refluks (Titrasi di laboratorium). Prinsip
Analisa : Pemeriksanaan parameter COD ini menggunakan oksidator potassium
dikromat yang berkadar asam tinggi dan dipertahankan pada temperatur tertentu.
Penambahan oksidator ini menjadi proses oksidasi bahan organik menjadi air dan
titrasi, oksigen yang ekivalen dengan dikromat inilah yang menyatakan COD dalam
satuan mg/L.
3.4Prosedur Penelitian
3.4.1 Pengaruh Dosis Koagulan biji kelor terhadap Kekeruhan TSS,
Penurunan kadar zat warna dan COD limbah cair industri pencucian
jeans pada proses koagulasi / Flokulasi
Pengaruh koagulan biji kelor terhadap kekeruhan, TSS, kadar zat warna COD
Limbah cair industri pencucian jeans pada proses koagulasi / flokulasi adalah sebagai
berikut:
1. Kekeruhan TSS, Kadar warna, COD dan pH dari limbah cair diukur sebagai
kontrol.
2. Sampel limbah cair sebanyak 200 mL dimasukkan ke dalam beaker gelas
diaduk dengan pengaduk magnetik.
3. Ke dalam sampel dimasukkan koagulan biji kelor dengan dosis 750 hingga
1250 mg/L limbah cair, kemudian diaduk cepat (100 rpm) selama tiga menit
lalu diikuti dengan pengadukan lambat (40 rpm) selama 12 menit.
4. Setelah pengadukan diendapkan selama 60 menit.
5. Setelah pengendapan hasil diambil dan dilakukan pengukuran Kekeruhan,
Bagan alir penelitian selanjutnya dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini :
Kekeruhan, TSS, warna, COD dan pH awal Wadah
Saringan Limbah
Cair
Beaker Jar Test 200 mL, pH awal limbah
Pengadukan 100 rpm, 3 menit 40 rpm, 12 menit
Pengendapan
Kekeruhan, TSS, Kadar warna dan COD (untuk Dosis yang Optimum).
Grafik Kekeruhan, TSS, Kadar warna vs dosis biji
kelor
Koagulan biji kelor
750, 875, 1000, 1125 dan 1250(mg/L limbah cair)
Dosis Optimum
3.4.2 Pengaruh Dosis Koagulan Alum Terhadap Kekeruhan TSS Penurunan
kadar zat warna dan COD Limbah Cair Industri Pencucian Jeans pada
Proses Koagulasi / Flokulasi
Prosedur penelitian pengaruh dosis Alum terhadap penurunan kekeruhan,
TSS, kadar zat warna dan COD Limbah cair industri pencucian Jeans pada proses
koagulasi / flokulasi adalah sebagai berikut:
1. Kekeruhan, TSS, kadar warna, COD dan pH dari limbah cair diukur sebagai
kontrol.
2. Sampel limbah cair sebanyak 200 mL dimasukkan kedalam beaker gelas
diaduk dengan pengaduk magnetik.
3. Ke dalam sampel dimasukkan Alum dengan dosis 750 hingga 1250 mg/L,
kemudian diaduk cepat (100 rpm) selama 3 menit lalu diikuti dengan
pengadukan lambat (40 rpm) selama 12 menit
4. Setelah pengadukan diendapkan selama 60 menit.
5. Setelah pengendapan hasil diambil dan dilakukan pengukuran kekeruhan,
Bagan alir penelitian selanjutnya dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini :
Kekeruhan, TSS, warna, COD dan pH awal Wadah
Saringan Limbah
Cair
Beaker Jar Test 200 mL, pH awal limbah
Dosis Alum 750, 875, 1000, 1125 dan 1250 (mg/L limbah cair)
Pengadukan 100 rpm, 3 menit 40 rpm, 12 menit
Pengendapan (60 menit)
Kekeruhan, TSS, Kadar warna dan COD (untuk Dosis yang Optimum).
Grafik Kadar warna TSS, kekeruhan vs dosis Alum
Dosis Optimum
3.4.3 Pengaruh Dosis Koagulan Alum + biji kelor terhadap kekeruhan, TSS,
kadar zat warna dan COD Limbah cair Industri Pencucian Jeans Pada
Proses Koagulasi/Flokulasi
Prosedur penelitian pengaruh dosis koagulan biji kelor + Alum terhadap
kekeruhan, TSS, kadar zat warna dan COD Limbah cair industri pencucian Jeans
pada proses koagulasi / flokulasi adalah sebagai berikut:
1. Kekeruhan, TSS, kadar warna, COD dan pH dari limbah cair diukur sebagai
kontrol.
2. Sampel limbah cair sebanyak 200 mL dimasukkan kedalam beaker gelas
diaduk dengan pengaduk magnetik.
3. Ke dalam sampel dimasukkan biji kelor + Alum 750 : 1250; 875 : 1125,
1000 : 1000; 1125 : 875 dan 1250 : 750 (mg/L limbah cair) kemudian diaduk
cepat (100 rpm) selama 3 menit lalu diikuti dengan pengadukan lambat (40
rpm) selama 12 menit
4. Setelah pengadukan diendapkan selama 60 menit.
5. Setelah pengendapan hasil diambil dan dilakukan pengukuran kekeruhan,
TSS, kadar warna dan COD.
6. Hal yang sama yaitu 2-4, dilakukan untuk penambahan serbuk biji kelor +
Alum ke dalam sampel masing-masing 750:1250; 875:1125; 1000:1000;
Bagan alir penelitian selanjutnya dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini :
Kekeruhan, TSS, warna, COD dan pH awal Wadah
Saringan Limbah
Cair
Beaker Jar Test 200 mL, pH awal limbah
Dosis serbuk biji kelor + alum
750 : 1250; 875 : 1125, 1000 : 1000; 1125 : 875 dan 1250 : 750 (mg/L limbah cair)
Pengadukan 100 rpm, 3 menit 40 rpm, 12 menit
Pengendapan (60 menit)
Kekeruhan, TSS, Kadar warna dan COD (untuk Dosis yang Optimum).
Grafik Kekeruhan, TSS, Kadar warna vs dosis biji
kelor + alum
Dosis Optimum
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengaruh dosis koagulan alum dan biji kelor terhadap penyisihan
kekeruhan limbah cair industri pencucian jeans pada pH 7,8 dengan
koagulasi/ flokulasi
Pengaruh dosis koagulasi terhadap penyisihan kekeruhan limbah cair industri
pencucian jeans dengan koagulasi / flokulasi terhadap penurunan kekeruhan (%) di
dalam seluruh percobaan dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar 7.
50
750 875 1000 1125 1250 1375 Dosis Koagulan (mg/L)
P Dosis Koagulan (mg/L)
P
Gambar 6. Pengaruh dosis koagulan (alum dan biji kelor) terhadap penyisihan kekeruhan (%)
Hasil penelitian pengaruh dosis alum, biji kelor dan variasi antara alum
dengan biji kelor terhadap kekeruhan dapat dilihat pada Gambar 6 dan 7 diatas.
Pada Gambar 6 terlihat bahwa pengaruh penggunaan koagulan alum dan biji
kelor, dosis koagulan sangat nyata terhadap kekeruhan tersisihkan, pada dosis
koagulan alum 750 mg/L kekeruhan tersisihkan 71,22 % pada penambahan dosis
selanjutnya, kekeruhan semakin banyak tersisihkan hingga mencapai keaadaan
optimum pada dosis 1250 mg/L dengan kekeruhan tersisihkan 80,06 % .
Pada dosis koagulan biji kelor 750 mg/L kekeruhan tersisihkan 69,80 %. Pada
penambahan dosis selanjutnya kekeruhan semakin banyak tersisihkan hingga
mencapai keadaan optimum pada dosis 1250 mg/L dengan kekeruhan tersisihkan
77,77 %.
Dari kedua hasil penelitian di atas terlihat bahwa penggunaan biji kelor
sebagai koagulan dapat menurunkan kekeruhan limbah cair industri tekstil
(pencucian jeans). Adanya penurunan kekeruhan ini dapat dijelaskan sebagai berikut
:
Biji kelor mengandung sejenis protein yang larut dalam air (water-soluble
protein) berbobot molekul rendah, 4 -4-rhamnosyloxy – benzyl – isothiocyanate
(Ndabigengesere dalam Chandra, 1998). Apabila dilarutkan, biji kelor menghasilkan
muatan – muatan positif dalam jumlah yang banyak. Larutan biji kelor tersebut
bereaksi sebagai koagulan polimer alamiah bermuatan positif (Sutherland et al,
Ketika ditambahkan ke dalam sampel limbah cair dan diikuti dengan
pengadukan cepat (100 rpm) selama 3 menit, protein kationik yang dihasilkan biji
kelor tersebut terdistribusi keseluruh bagian cairan limbah dan kemudian berinteraksi
dengan partikel-partikel bermuatan negatif penyebab kekeruhan yang dispersi dalam
limbah cair. Interaksi itu mempengaruhi gaya antar penyebab stabilitas partikel
koloid limbah dalam hal ini mengurangi efek gaya tolak-menolak antar partikel
koloid limbah sampai ke tingkat di bawah gaya Vander Walls. Akibatnya
partikel-partikel koloid limbah mengalami destabilisasi dan membentuk flok-flok mikro
melalui mekanisme adsorbsi. Dengan pengadukan lambat (40 rpm) selama 12 menit
yang dilakukan pada tahap berikutnya, flok-flok mikro tersebut dibawa kedalam
proses kontak sehingga bertubrukan satu sama lain. Akibatnya flok-flok mikro
bergabung dan lengket sesamanya serta tumbuh membentuk flok-flok yang ukuran
massanya lebih besar serta mengendap.
Selanjutnya, saat didiamkan selama 60 menit, flok-flok yang ukuran dan
massanya lebih besar serta mengendap tersebu, memisahkan dari cairannya dan turun
kedasar beaker gelas (mengendap).
Akibat gaya gravitasi yang bekerja terhadapnya. Dengan mengendapnya
flok-flok tersebut, maka sebagian dari partikel-partikel penyebab kekeruhan (turbiditas)
yang tersuspensi dalam limbah cair mengalami pengurangan. Dengan demikian maka
kekeruhannya pun mengalami penurunan.
Penurunan kekeruhan limbah cair yang terjadi pada penelitian tersebut diatas,
suspensi biji kelor kering telah lama digunakan oleh wanita pedesaan Sudan untuk
menjernihkan air keruh dari sungai Nile sebagai pengganti koagulan tawas.
Percobaan (Muyibi et al 1995) sendiri menunjukkan bahwa efesiensi penyisihan
kesadahan dari koagulan kelor makin naik dengan naiknya dosis koagulan. Penelitian
(Sutherland et al 1994) di Malawi pada perawatan total, menunjukkan bahwa
koagulan biji kelor dapat menurunkan kekeruhan air sungai yang keruh dari 270 –
380 NTU menjadi dibawah 4 NTU secara kontiniu.
Pada Gambar 7 terlihat bahwa pengaruh dosis koagulan (variasi alum dengan
biji kelor) terhadap penyisihan kekeruhan. Kekeruhan terendah pada dosis 1000 +
1000 mg/L limbah atau pada rasio massa 8 : 8 yaitu sebesar 76,92 % (Tabel 8). Dari
hasil penelitian ini terlihat terjadi kejenuhan pada limbah industri tekstil dikarenakan
dosis yang berlebihan sehingga flok yang akan direduksi sudah habis dan koagulan
bertindak sebagai pengotor yang menyebabkan tingkat kekeruhan meningkat.
4.2. Pengaruh Koagulan terhadap penurunan TSS pada limbah cair industri
Tekstil (pencucian jeans) pada proses Koagulasi / Flokulasi
Setelah mengamati pengurangan tingkat kekeruhan terhadap dosis koagulan
yang digunakan, maka selanjutnya akan diamati pengaruh dosis koagulan yang
dipergunakan terhadap TSS limbah cair industri pencucian jeans Grafik
selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 8 dan 9.
50
750 875 1000 1125 1250 1375 Dosis Koagulan (mg/L)
P Dosis Koagulan (mg/L)
P
Gambar 8. Pengaruh dosis koagulan (alum dan biji kelor) terhadap penyisihan TSS (%)
Gambar 9. Pengaruh dosis koagulan (variasi alum dan biji kelor) terhadap penyisihan TSS (%)
Penurunan TSS dapat dilihat sangat nyata dimana TSS limbah awal 9815
mg/L, dengan TSS tersisihkan 84,72 % dosis koagulan 1250 mg/L alum. Dengan
menggunakan dosi biji kelor 1250 mg/L, TSS tersisihkan 83,69 % pada gambar 8
dan variasi penambahan alum + biji kelor dosis 1000 +1000 mg/L TSS tersisihkan
78,60 % pada Gambar 9 Penambahan koagulasi alum berpengaruh nyata terhadap
penurunan tingkat TSS selama proses koagulasi dan flokulasi pada pengendapan
TSS merupakan padatan yang terkandung dalam air dan bukan merupakan
larutan, bahan ini dibedakan dari padatan terlarut dengan cara uji di laboratorium.
TSS biasanya mengandung zat organik dan anorganik (Canter 1977).
Berdasarkan data pengamatan, penyisihan TSS pada partikel biji kelor, alum
dan variasi penambahan alum + biji kelor sangat dipengaruhi oleh dosis
koagulannya, penurunan TSS pada limbah cair industri tekstil berbanding lurus
terhadap penyisihan kekeruhan. Hal ini disebabkan karena komponen utama yang
mempengaruhi tingkat kekeruhan limbah cair industri tekstil hanya disebabkan oleh
TSS tanpa adanya pengotor lainnya menyebabkan kekeruhan. Sehingga semua hal
yang mempengaruhi penyisihan kekeruhan limbah cair industri tekstil juga
berpengaruh terhadap TSS nya seperti dosis. Pada gambar 8 dan 9.
4.3. Pengaruh koagulan terhadap penurunan kadar warna cair industri
pencucian jeans pada proses koagulasi / flokulasi
Pada Gambar 10 sampai Gambar 15 dibawah ini adalah hubungan antara
koagulan terhadap penurunan kadar warna limbah cair industri pencucian jeans pada
0 0,05 0,1 0,15 0,2
750 875 1000 1125 1250 1375 Dosis Koagulan (mg/L)
K
Dosis Koagulan (mg/L)
K
Gambar 11. Pengaruh dosis koagulan (variasi
750 875 1000 1125 1250 1375
Dosis Koagulan (mg/L)
K Dosis Koagulan (mg/L)
K
Gambar 10. Pengaruh dosis
koagulan (alum dan biji kelor) terhadap kadar warna merah
Gambar 13. Pengaruh dosis koagulan (variasi alum dan biji kelor) terhadap kadar warna biru Gambar 12. Pengaruh dosis
koagulan (alum dan biji
750 875 1000 1125 1250 1375 Dosis Koagulan (mg/L)
K Dosis Koagulan (mg/L)
K
Gambar 15. Pengaruh dosis koagulan (variasi alum dan biji kelor) terhadap kadar warna kuning Gambar 14. Pengaruh dosis
koagulan (alum dan biji kelor) terhadap kadar warna kuning
Dari penelitian dilakukan terlihat bahwa penurunan kadar warna pada limbah
setelah proses koagulasi dengan penambahan koagulan sangatlah nyata. Dengan
menggunakan alat lovibond warna diukur adalah warna sebenarnya atau warna nyata,
yaitu warna setelah kekeruhan dihilangkan sedangkan warna nampak adalah warna
yang tidak hanya disebabkan oleh zat terlarut dalam air tetapi zat tersuspensi (Alaerts
Dari Gambar 10 sampai Gambar 15 terlihat bahwa penurunan kadar warna
yang sangat nyata dengan menggunakan koagulasi alum, bji kelor dan variasi antara
alum + biji kelor dimana kadar warna limbah awal, merah = 0,4, biru, = 0,9, kuning
= 1,4 setelah penambahan koagulasi kadar warna pada limbah turun menjadi : merah
= 0,04, biru = 0,15 dan kuning = 0,35 pada koagulan alum dengan dosis 1250 mg/L.
Pada biji kelor turun menjadi : merah = 0,05, biru = 0,20 dan kuning = 0,37 dengan
dosis 1250 mg/L dan variasi antara alum + biji kelor berturut-turut merah = 0,06,
biru = 0,18 dan kuning = 0,27 pada dosis 1000 + 1000 mg/L. Proses koagulasi dan
flokulasi merupakan proses yang sangat bagus untuk penurunan kadar warna akan
berhenti pada konsentrasi tertentu (tidak bekerja) (Indra Janto dan Muyasaroh, 2007).
Berdasarkan data pengamatan penyisihan kadar warna pada partikel biji
kelor, alum dan variasi penambahan alum + biji kelor sangat dipengarui oleh dosis
koagulannya, penurunan kadar warna pada limbah cair industri tekstil berbanding
lurus dengan penyisihan kekeruhan. Dengan turunnya kadar warna pada limbah cair
industri tekstil (pencucian jeans) akan menurunkan kadar logam berat yang ada pada
limbah cair industri tekstil, biji kelor juga menurunkan kadar warna dengan cepat
4.4. Pengaruh Dosis Koagulasi Terhadap Perubahan COD Limbah Cair
Industri Pencucian Jeans
Pada Tabel 5. dibawah ini terlihat bahwa penurunan COD pada dosis
koagulan yang optimal dengan limbah cair industri pencucian jeans.
Tabel 5. Hubungan Dosis Koagulasi dengan COD Limbah Cair Industri tekstil (Pencucian Jeans)
No.
Jenis Koagulan Optimum Dosis Koagulan
Optimum (mg/L)
COD limbah murni; 1099,12 mg/L
Dari Tabel 5. diatas dengan menggunakan koagulan optimum yang dihasilkan
dari penelitian dengan menggunakan koagulan Alum, biji kelor dan variasi Alum +
biji kelor di dapatkan hasil optimum. Dari hasil yang optimum tersebut diperoleh
hasil pengujian COD seperti yang terdapat pada Tabel di atas, pada limbah murni
nilai COD nya adalah 1099,12 mg/L sedangkan pada biji kelor dapat menurunkan
COD limbah cair industri pencucian jeans menjadi 265,30 mg/L dengan dosis
kemampuan untuk menurunkan bahan organik dengan cara koagulasi. Penurunan
bahan tersebut akan menyebabkan berkurangnya oksigen yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi bahan-bahan tersebut sehingga nilai COD akan turun. Pada alum dosis
1250 mg/L limbah COD turun menjadi 50,53 mg/L sedangkan variasi alum dan biji
kelor dengan dosis 1000 +1000 mg/L limbah COD turun menjadi 308,59 mg/L.
COD dapat disebabkan oleh faktor pencampuran dan faktor pengendapan
sehingga proses koagulasi bahan organik penyebab tingginya nilai COD dalam
limbah tidak sempurna terjadi. Selain itu hal ini bisa disebabkan karena pada waktu
menganalisa COD dilakukan pengenceran hingga 10 kali dan titrasi dengan larutan
FAS yang membutuhkan ketelitian yang tinggi sehingga perhitungan COD
benar-benar tepat. Menurut Kep-51/MENLH/10/1995, baku mutu limbah yang dapat
dibuang kelingkungan adalah 100 mg/L. Sehingga parameter COD belum memenuhi
baku mutu yang ditetapkan oleh Kep-51/MENLH/10/1995 sehingga perlu dilakukan
Penanganan lanjutan.
Hasil yang optimum diperoleh dari penelitian penggunaan dosis koagulan
alum dan biji kelor terhadap penyisihan kekeruhan limbah cair industri pencucian
jeans pada pH 7,8 ialah dosis alum 1250 mg/L limbah kekeruhan 80,05% sedangkan
untuk biji kelor dosis 1250 mg/L limbah kekeruhan 77,77%.
Menurut Amdani K (2004), pengaruh biji kelor, pH dan dosis koagulan
sangat nyata terhadap kekeruhan tersisihkan limbah cair pencucian jeans. pH
optimum koagulasinya 3 (tiga) kekeruhan tersisihkan 83,03%. Pada tawas, pH
biji kelor adalah 120 mg/250 mL atau 480 mg/L dengan kekeruhan tersisihkan
92,21% pada tawas dosis optimumnya adalah 60 mg/250 mL atau 240 mg/L dengan
kekeruhan tersisihkan 94,25%.
Menurut Enrico B (2008), penggunaan biji asam jawa sebagai koagulan
terhadap penyisihan kekeruhan limbah cair industri tahu pada pH 4 dosis 3000 mg/L
mampu menyisihkan kekeruhan sebesar 83,61%, sedangkan untuk alum pH 6 dosis
1000 mg/L dapat menyisihkan kekeruhan sebesar 95,73%.
Perbedaan yang dilakukan peneliti dengan Amdani K dan Enrico B adalah
peneliti disini menggunakan pH basa sedangkan Amdani K dan Enrico B
menggunakan pH asam. Maka lebih efektif menggunakan pH basa dibandingkan
dengan pH asam dari segi ekonimisnya, karena peneliti menggunakan pH limbah
V. KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
Dari penelitian pemanfaatan biji kelor sebagai koagulan pada koagulasi /
flokulasi limbah cair industri pencucian jeans dapat di tarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. Dosis koagulan biji kelor optimum adalah 1250 mg/L pada pH limbah cair
industri pencucian jeans, dengan ukuran partikel 212 mesh, mampu
menyisihkan kekeruhan sebesar 77,77 %, TSS sebesar 83,69 %, COD sebesar
75,86 % dan kadar warna merah 0,05, biru 0,20, kuning 0,37 dengan alat
lovibond pada pH 7,8.
2. Dosis alum optimum 1250 mg/L pada pH limbah cair industri pencucian
jeans. Dengan ukuran partikel 212 mesh, mampu menyisihkan kekeruhan
sebesar 80,06%, TSS sebesar 84,72%, COD sebesar 94,49% dan kadar warna
merah 0,04, biru 0,15, kuning 0,35 dengan alat lovibond pada pH 7,8
3. Untuk rasio kombinasi biji kelor dan alum yang tercapai pada rasio massa 8:8
pada limbah cair industri pencucian jeans, dengan ukuran partikel 212 mesh,
mampu menyisihkan kekeruhan 76,92 %, TSS sebesar 78,60 %, COD sebesar
71,92 % dan kadar warna merah 0,06, biru 0,18, kuning 0,27 dengan alat
lovibond pada pH 7,8
4. Penggunaan biji kelor sebagai koagulan lebih efektif dibandingkan dengan
kombinasi biji kelor dan alum dalam hal penyisihan kekeruhan, TSS, COD
5.2. S a r a n
Untuk penelitian selanjutnya perlu diperhatikan pengadukan dan
pengendapan karena sangat berpengaruh terhadap penyisihan kekeruhan TSS dan
perlu dilakukan variasi ukuran partikel untuk mendapatkan hasil penyisihan
kekeruhan yang lebih besar. Selain itu perlu juga dikembangkan penelitian
menggunakan koagulan lain yang sejenis dengan biji kelor tersebut sebagai alternatif
DAFTAR PUSTAKA
Alaerts, G dan Sri, S.S, 1978, Metode Penelitian Air Usaha Nasional, Surabaya
Alaerts, & Srisumesti, S, 1987, Metode Penelitian Air Usaha Nasional, Surabaya
Amdani, K. 2004. Pemanfaatan Biji Kelor (Moringa oleifera) Sebagai Koagulan
Pada Proses Koagulasi/Flokulasi dan Sedimentasi Limbah Cair Pencucian
Jeans. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan,
Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara.
Benefield, L. D., Joseph F.J. dan Barron L.W 1982 Proces chemistry for water and
Wastewater Treatment, Prentice – Hall, Inc, New Jersey.
Chandra, A. 1998. Penentuan Dosis Optimum Koagulan Ferro sulfat – kapur,
Flokulan Chemifloce dan Besfloc serta Biofloculan Moringa Oleifera Dalam
Pengolahan limbah cair Pabrik Tekstil, Jurusan Teknik Kimia UNPAR.
Bandung.
Coronel, R.E. 1991. Edible Fruits and Nuts. Plant Resourcesof South-East Asia No.
2. PROSEA Foundation. Netherland.
Davis, M.L. and D.A. Cornwell. 1991. Introduction to Environmental Engineering. 2nd ed. McGraw-Hill, Inc. New York.
Departemen Perindustrian, Direktorat Jenderal Industi Kecil Menengah, 2007,
Pengelolaan Limbah Industri Pangan, Jakarta
Enrico, B, 2008 Pemanfaatan Biji Asam Jawa (Turma rindus indica) Sebagai
koagulan Alternatif Dalam Proses Penjernihan Limbah Cair Industri Tahu,
Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatra Utara.
EMDI – Bapedal, 1994, Limbah Cair Berbagai Industri di Indonesia: Sumber,
Pengendalian dan Baku Mutu, EMDI – BAPEDAL.
Farooq, S and S.G. Velioglu. 1989. Physico-Chemical Treatment of Domestic
Wastewater. Dalam P.N. Cheremisinoff (Editor). Encyclopedia of
Husin, A, 2003, Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu Menggunakan Biji Kelor
(Moringa oleifera Seeds) Sebagai Koagulan, laporan Penelitian Dosen Muda,
Fakultas Teknik USU.
Indrajanto, Muyasaroh, 2007. Penurunan Kekeruhan Warna Limbah Industri
Tekstild dengan Proses Koagulasi dan Flokulasi.
Joker, D. 2000. Seed Leaflet : Tamarindus indica. L. Danida Forest Seed Center. Denmark.
Jahn, S.A.A. 1988. Using Moringa Seeds of Coagulants in Developing Countries.
Journal of The Water Works Association.
Kiely, G. 1998. Environmental Engineering. Irwin McGraw-Hill. Boston.
Narasiah, K.S, Vogel, A, dan Krahmadhati, N.N. 2002. Coagulation of turbid water using moringa oliefera seeds from two distined source. J. Water supply vol.2 No.5-6 : 83-88
Ndabigengeser, A, Narasiah, K.S, dan Talbot, B.G. 1995 Active agents and
mechansm of coagulation of turbid water using moringa oleifera. Water
Research. Vol 29 No.2. Pergamon Press. England : 703-710.
Metcalf & Eddy, 2003, Wastewater Engineering : Treatment, Disposal and Reuse, 4thed., McGraw Hill Book Co., New York.
Montgomery, M.J. 1985. Water Treatment Pronciples and Design. John Wiley & Sons, Inc. New York.
Muyibi A.S. and Lilian M.E. (1995) Moringa Oliefera seed for Softening Hardwater.
Wat Res. Vol 29 No.4, pp.1099 – 1105.
Nathanson, J.A. 1986. Basic Environmental Technology : Water Supply, Waste
Disposal, and Pollution Control. John Wiley & Sons, Inc. New York.
Nuraida, 1985, Analisis Kebutuhan Air Pada Industri Pengolahan Tahu dan Kedelai,
dalam Lisnasari, S.F., 1995, Pemanfaatan Gulma Air (Aquatic Weeds) Sebagai
Upaya Pengolahan Limbah Cair Industri Pembuatan Tahu, Thesis Master, Program Pasca Sarjana USU, Medan
Nurhasan, dan Pramudyanto, B.B., 1991, Penanganan Air Limbah Tahu, Yayasan
Prasetya Rubianto, 2003. Pemanfaatan Biji Kelor Untuk Koagulan Dalam Proses Penjenihan Air.
Price, M.L. 2002 The Moringa Tree. ECHO, 17391 Durrance R.d, North Ft. Mycrs
Fl 33917, USA; www.echonet.org.
Ramalho, A.S., 1983, Introduction to Wastewater Treatment Process, 2nd ed.,
Academic Press, New York, pp : 419 – 433.
Reynolds, T.D 1982. Unit Operation and Processes in Environmental Engineering,
Wadsworth, Inc, Belmont, California.
Shultz, C.R., Okun, D.A. 1983. Treating Surface Waters for Communities in
Developing Countries. Journal of The Water Works Association.
_____1984. Surface Water Treatment for for Communities in Developing Countries. Intermediate Tech Publications. Great Britain.
Sugandhy, A.; arie Dj. Djoekardi; Bambang Setyabudi; Otong Nurdjaman, dan Gazni
Hassan. 1998. Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Lingkungan
Hidup Dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua (1994/1995 – 2019/2020).
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Sugiharto, 1994, Dasar-dasar Pengolahan Air Limbah, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Sutherland, J.P, G.K. Folkard, M.A. Mtawali and W.D. Grant. 1994. Moringa
Oleifera as a Naturai Coagulant.20th WEDC Comference, Afforddable
Water Supply and Sanitation. Colombo, Srilangka. 1994.
Tay, Joo-Hwa, 1990, Biological Treatment of Soya Bean Waste, J. Water Science & Technology, Vol. 22. No. 9 : 141 – 147.
Tsunda,T., Watanabe., Oshima,K., Yamamoto,A., kawakishi,S. & Osawa,T. 1994.
Antioxidative Componen Isolated from The Seed of Tamarind (Tamarindus
indica L.). Agricultural Food Chemical.
LAMPIRAN A
Tabel 6. Data hasil pengukuran kekeruhan limbah cair industri tekstil dengan proses koagulasi / flokulasi koagulan alum.
Dosis Alum
Tabel 7. Data hasil pengukuran kekeruhan limbah cair industri tekstil dengan proses koagulasi / flokulasi koagulan untuk serbuk biji kelor.
Tabel 8. Data hasil pengukuran kekeruhan limbah cair industri tekstil dengan proses koagulasi / flokulasi koagulan kombinasi serbuk biji kelor dan alum.
Perbandingan biji
Tabel 9. Data hasil pengukuran TSS limbah cair industri tekstil dengan proses koagulasi / flokulasi koagulan alum.
Tabel 10. Data hasil pengukuran TSS limbah cair industri tekstil dengan proses koagulasi / flokulasi koagulan serbuk biji kelor.
Dosis serbuk biji
Tabel 11. Data hasil pengukuran TSS limbah cair dengan proses koagulasi / flokulasi koagulan kombinasi untuk biji kelor dan alum