• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jhon Edison Purba : Pengaruh Intervensi Rehabilitasi Terhadap Ketidakmampuan Bersosialisasi Pada Penderita Skizofrenia Yang Dirawat Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Jhon Edison Purba : Pengaruh Intervensi Rehabilitasi Terhadap Ketidakmampuan Bersosialisasi Pada Penderita Skizofrenia Yang Dirawat Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

KETIDAKMAMPUAN BERSOSIALISASI PADA PENDERITA

SKIZOFRENIA YANG DIRAWAT DI RUMAH SAKIT JIWA

DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

JHON EDISON PURBA

077033015/IKM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

S

E

K O L A

H

P A

S C

A S A R JA

N

(2)

KETIDAKMAMPUAN BERSOSIALISASI PADA PENDERITA

SKIZOFRENIA YANG DIRAWAT DI RUMAH SAKIT JIWA

DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan dalam Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat

Konsentrasi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

JHON EDISON PURBA

077033015/IKM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

TERHADAP KETIDAKMAMPUAN BERSOSIALISA-SI PADA PENDERITA SKIZOFRENIA YANG DIRAWAT DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

Nama Mahasiswa : Jhon Edison Purba Nomor Pokok : 077033015

Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat

Konsentrasi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM) Ketua

(dr. Donald F. Sitompul, Sp.KJ) Anggota

Ketua Program Studi,

(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM)

Direktur,

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)

(4)

Tanggal 02 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM

Anggota : 1. dr. Donald F. Sitompul, Sp.KJ

2. dr. Halinda Sari Lubis, MKKK

(5)

PENGARUH INTERVENSI REHABILITASI TERHADAP

KETIDAKMAMPUAN BERSOSIALISASI PADA PENDERITA

SKIZOFRENIA YANG DIRAWAT DI RUMAH SAKIT JIWA

DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Medan, 02 Juli 2009

(6)

Ketidakmampuan bersosialisasi merupakan ketidakmampuan seorang untuk melakukan hubungan sosial secara sehat dengan orang-orang di sekitarnya yang terjadi pada penderita skizofrenia sebagai akibat tingkah laku simptomatik yang dialami penderita. Perbedaan intervensi berimplikasi terhadap baik buruknya ketidak mampuan bersosialiasasi penderita, yaitu melalui pemberian kegiatan rehabilitasi.

Penelitian ini adalah penelitian survei observasional dengan pendekatan

causal comparative studies untuk mengetahui perbedaan ketidakmampuan

bersosiliasi pada penderita skizofrenia yang diberi intervensi rehabilitasi dengan yang tidak diberi intervensi rehabilitasi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan. Populasi dalam penelitian ini adalah penderita skizofrenia yang dirawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan yang berjumlah 432 penderita dan sampel yang digunakan sebanyak 80 penderita, terdiri dari 40 penderita yang diberi intervensi rehabilitasi dan 40 penderita yang tidak diberi intervensi rehabilitasi dengan kreteria (1) penderita skizofrenia rawat inap, (2) jenis kelamin laki-laki dan perempuan, dan (3) usia antara 20 – 35 tahun. Analisis data dilakukan dengan uji pair t-test.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita skizofrenia yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara sebagian besar adalah laki-laki (61,25%), usia antara 30 – 35 tahun (63,5%), tingkat pendidikan SLTP – SLTA (72,5%), tidak kawin (55,0%) dan tidak bekerja (65%). Hasil analisis menunjukkan bahwa t = 38,914 dengan probabilitas 0,025 (p < 0,05). Skor rata-rata (mean) penderita skizofrenia yang diberi intervensi rehabilitasi adalah 95,525 > 66 (skor rata-rata/mean hipotetik). Sedangkan skor rata-rata (mean) penderita skizofrenia yang tidak diberi intervensi rehabilitasi adalah 60,75 < 66 (skor rata-rata/mean hipotetik). Hal ini berarti terdapat perbedaan yang signifikan ketidakmampuan bersosialisasi antara penderita skizofrenia yang diberi intervensi rehabilitasi dengan penderita skizofrenia yang tidak diberi intervensi rehabilitasi, di mana penderita skizofrenia yang diberi intervensi rehabilitasi memiliki kemampuan bersosialisasi yang lebih baik dibandingkan penderita skizofrenia yang tidak diberi intervensi rehabilitasi.

Disarankan perlu ditingkatkan pemberdayaan unit rehabilitasi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara dalam upaya mengatasi ketidakmampuan bersosialisasi penderita skizofrenia sebagai akibat simptom-simpton negatif yang dialami penderita skizofrenia.

(7)

The disability of socializing is a person inability to perform in a healthy social relationships with people around him that occur in people with schizophrenia as a result of the symptomatic behavior on the patient. The difference in intervention treatment is implicating to whether good or poor the patient’s socialization disability,

which through the rehabilitation treatment.

This study is a observasional survey research with causal comparative studies to know the difference socialization disability between schizophrenia patient with rehabilitation interventions treatment and patient with no rehabilitation interventions treatment in North Sumatra Mental Hospital in Medan. Population in this research is that people with schizophrenia hospital stay treatment in North Sumatra Mental Hospital in Medan with amount 432 patients and the samples are 80 patients, consisting of 40 patients who were given the rehabilitation intervention and 40 patients who had not been given to the rehabilitation intervention with the criteria (1) Hospital stayed schizophrenia patients, (2) sex, men and women, and (3) age between 20-35 years. Data analysis is done with the pair t test.

Results of research shows that schizophrenia patient North Sumatra Mental Hospital in Medan are mostly male (61.25%), age between 30-35 years (63.5%), junior secondary education level - high school (72,5%), not married (55.0%) and does not have (65%). Analysis results show that t = 38.914 with a probability 0.025 (p <0.05). The average score (mean) schizophrenia patient with rehabilitation interventions treatment is 95.525> 66 (average score/hipothetic mean). While the average score (mean) schizophrenia patient with no rehabilitation interventions treatment is 60.75 <66 (average score/hipothetic mean). This means that there is a significant difference in socialization disability between schizophrenia patient with no rehabilitation interventions treatment and schizophrenia patient with rehabilitation interventions treatment, where people with schizophrenia patient with rehabilitation interventions treatment have a better ability to socialize better than schizophrenia patient with no rehabilitation interventions treatment.

It is suggested that there should be the empowerment of the rehabilitation unit at North Sumatra Mental Hospital in Medan to overcome the socializing disability on schizophrenia patient which been caused by negative symptomps that happened before.

(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Pengaruh Intervensi Rehabilitasi terhadap Ketidakmampuan Bersosialisasi pada

Penderita Skizofrenia yang Dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara”.

Penyelesaian tesis ini selain atas upaya penulis sendiri juga tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM, selaku Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Konsentrasi Promosi Kesehatan dan Ilmu Prilaku Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, sekaligus juga selaku pembimbing penulisan tesis.

4. Ibu dr. Halinda Sari Lubis, MKKK, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Konsentrasi Promosi Kesehatan dan Ilmu Prilaku Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Dosen Pembanding tesis.

5. Bapak dr. Donald F. Sitompul, SpKJ, selaku Direktur Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, sekaligus sebagai Pembimbing dalam penulisan dan penyusunan tesis.

6. Bapak Ferry Novliadi, S.Psi., M.Psi, selaku Dosen Pembanding tesis.

(9)

penyelesaian tesis ini.

8. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda, Isteri tercinta; Sri Rusmiyati dan anak-anakku; Jefri Greiva Maudung Purba dan Tari Dwi Astuti Purba.

Akhirnya penulis berharap tesis ini dapat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan dapat dijadikan acuan bagi penelitian selanjutnya.

(10)

Nama Lengkap : Jhon Edison Purba Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 21 Maret 1964 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen Protestan

Status : Menikah

Alamat Rumah : Kompleks RS. Jiwa Daerah Provsu Alamat Kantor : RS. Jiwa Daerah Provsu

Jl. Let. Jend. Jamin Ginting S Km.10 Medan

Riwayat Pendidikan

1. Tahun 1976 : SD Negeri Patumbak Kampung 2. Tahun 1979 : SMP Methodist Tamrin

3. Tahun 1982 : SMA Methodist Tamrin 4. Tahun 1985 : SPK Rumkit DAM Siantar 5. Tahun 1999 : AKPER Depkes Bogor

6. Tahun 2005 : S1 Keperawatan Fak. Keperawatan USU Medan 7. Tahun 2009 : Sekolah Pascasarjana USU Medan

Riwayat Pekerjaan

1. Tahun 1989 : Pengangkatan PNS

2. Tahun 2006 : Petugas CMHN

(11)

Halaman

2.1.2. Kriteria Diagnostik Skizofrenia………... 14

2.1.3. Tipe-tipe Skizofrenia...………... 16

2.1.4. Perjalanan Penyakit dan Prognosis………... 19

2.1.5. Prognosis ...……….... 20

2.2.. Ketidakmampuan Bersosialisasi .………... 22

2.2.1. Gambaran Umum Individu yang Mengalami Ketidak mampuan Bersosialisasi ...………... 24

2.2.2. Ciri Individu yang Mengalami Ketidakmampuan Bersosialisasi ...………... 25

2.2.3. Aspek-aspek Ketidakmampuan Bersosialisasi ……….... 26

2.2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Ketidak mampuan Bersosialisasi pada Pasien Skizofrenia ……... 30

(12)

Bersosialisasi Penderita Skizofrenia... 42

2.5. Kerangka Konsep Penelitian... 48

BAB 3. METODE PENELITIAN... 49

3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian... 49

3.2.. Lokasi Penelitian... 49

3.3.. Waktu Penelitian... 50

3.4. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling... 50

3.5. Metode Pengumpulan Data... 52

3.6. Variabel dan Definisi Operasional... 59

3.7. Metode Analisis Data... 60

BAB 4. HASIL PENELITIAN... 62

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 62

4.2. Karakteristik Responden... 63

4.3. Analisa Univariat... 67

4.4. Analisa Bivariat... 69

BAB 5. PEMBAHASAN... 73

5.1. Karakteristik Penderita Skizofrenia... 73

5.2. Pengaruh Intervensi Rehabilitasi pada Penderita Skizofrenia yang Dirawat Inap di RSJD Provinsi Sumatera Utara... 74

5.3. Keterbatasan Penelitian... 79

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN... 80

6.1. Kesimpulan... 80

6.2. Saran... 81

(13)

Nomor Judul Halaman

3.1. Distribusi Penderita yang Dirawat Inap di Rumah Sakit

Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ………... 51 3.2. Distribusi Alat Ukur Ketidakmampuan Bersosialisasi... 53 3.3. Hasil Uji Validitas dan Realiabilitas Alat Ukur ………... 57 4.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden yang

Diberi Intervensi Rehabilitasi ………... 64 4.2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden yang Tidak Diberi

Intervensi Rehabilitasi ..………... 65

4.3. Distribusi Perolehan Skor Rata-rata Ketidakmampuan Bersosialisasi Penderita Skizofrenia Berdasar Aspek-aspek Ketidakmampuan

Bersosialisasi ………... 67 4.4. Kriteria Penilaian Ketidakmampuan Bersosialisasi pada Penderita

Skizofrenia Berdasar Kuesioner Ketidakmampuan Bersosialisasi... 68 4.5. Perbedaan Ketidakmampuan Bersosialisasi Penderita Skizofrenia

yang Diberi Intervensi dan Tidak Diberi Intervensi Rehabilitasi ……. 70 4.6. Distribusi Skor Equal Varians Penderita Skizofrenia yang

(14)

Nomor Judul Halaman

2.1. Landasan Teori dan Konsep Penelitian ………... 47

2.2. Kerangka Konsep Penelitian ………... 48

3.1. Desain Penelitian ………. 49

3.2. Rumus Product Moment Karl Pearson ………… 54

3.3. Rumus Part Whole ……….. 55

3.4. Rumus Analisis Varians Hoyt ………... 56

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Hasil Studi Pendahuluan Ketidakmampuan Bersosialisasi pada Penderita Skizofrenia yang Dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah

Provinsi Sumatera Utara………. 85

2. Kuesioner Ketidakmampuan Bersosialisasi... 86

(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada era globalisasi seperti sekarang ini banyak permasalahan sosial yang muncul dalam masyarakat, diantaranya disebabkan oleh faktor politik, sosial budaya serta krisis ekonomi yang tidak kunjung usai. Hal ini akan semakin memicu atau meningkatkan berbagai gangguan kejiwaan di masyarakat, dari gangguan jiwa yang ringan hingga gangguan jiwa yang tergolong berat (Balitbang Depkes, 2001). Dengan demikian, jelaslah bahwa jumlah penderita gangguan jiwa berat diperkirakan akan semakin meningkat di negara-negara yang sedang dilanda krisis ekonomi.

Di Indonesia diperkirakan terdapat 2 – 3 orang per 1000 orang menderita gangguan jiwa berat (Maramis, 1994). Hasil Survey Kesehatan Mental Rumah Tangga (SMART) tahun 1995 yang dilakukan di 11 kota di Indonesia menemukan bahwa 185 orang per 1000 penduduk dewasa menunjukkan adanya gejala gangguan kesehatan jiwa. Hal ini berarti bahwa dalam setiap rumah tangga di Indonesia paling tidak terdapat 1 orang yang mengalami gangguan kesehatan jiwa dan membutuhkan pelayanan kesehatan.

(17)

skizofrenia, di mana hingga saat ini penanganannya belum memuaskan. Hal ini terutama terjadi di negara-negara yang sedang berkembang karena ketidaktahuan keluarga maupun masyarakat terhadap jenis gangguan jiwa ini (Hawari, 2003).

Skizofrenia merupakan salah satu gangguan kejiwaan berat dan menunjukkan adanya disorganisasi (kemunduran) fungsi kepribadian, sehingga menyebabkan

disability (ketidakmampuan) (Maramis, 1994). Gangguan jiwa jenis ini dapat terjadi

mulai sekitar masa remaja dan kebanyakan penderitanya adalah berjenis kelamin laki-laki dan menjadi sakit pada usia antara 15 – 35 tahun, sedangkan pada perempuan kebanyakan penampakan gejala antara usia 25 – 35 tahun (Kaplan, dkk, 1991). Gangguan kejiwaan skizofrenia ini sering menyebabkan kegagalan individu dalam mencapai berbagai keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan menyebabkan penderita menjadi beban keluarga dan masyarakat (Candra, 2004).

Prabandari, dkk (2003) menyebutkan bahwa prevalensi skizofrenia di Indonesia diperkirakan 1 permil, meski angka yang pasti belum diketahui karena penelitian prevalensi skizofrenia secara khusus belum dilakukan di Indonesia. Berdasarkan data rekam medik Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2008, diketahui bahwa dari 458 penderita yang dirawat inap yang menderita skizofrenia berjumlah 442 orang (94,47%) dengan berbagai tipe. Penderita skizofrenia yang dirawat inap terbanyak berasal dari kota Medan, yaitu 188 (41,04%) dan sisanya berasal dari berbagai kota/kabupaten di Provinsi Sumatera Utara.

(18)

yang membuat mereka terlihat berbeda dalam penampilan, cara berbicara dan tingkah lakunya, sehingga keluarga dan masyarakat sering menolak keberadaan mereka. Terjadinya pemisahan secara sosial terhadap individu yang mengalami gangguan skizorenia membuat kehidupan sosial mereka menjadi mundur dan semakin tidak terampil secara sosial atau penderita akan mengalami ketidakmampuan bersosialisasi (sosial disabilitas). Ketidakmampuan bersosialisasi pada penderita skizofrenia tergantung dari tingkat keparahan simptom psikologis yang dialami penderita, di mana semakin dominan tingkah laku simptomatologik menguasai seluruh tingkah lakunya, semakin buruk juga ketidakmampuan bersosialisasi yang dialami oleh penderita.

Kontjoro (1989) menyatakan ketidakmampuan bersosialisasi merupakan ketidakmampuan seseorang untuk bersikap dan bertingkah laku yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Individu yang dalam kehidupannya menuruti kemauannya sendiri, tanpa mengindahkan norma-norma sosial yang berlaku, mengganggu lingkungan dan tidak terampil secara sosial dianggap mengalami gangguan kejiwaan atau perilakunya menyimpang dan hal ini tidak dapat diterima oleh lingkungannya. Semakin berat gangguannya, maka semakin keras pula usaha masyarakat untuk mengusir, menolak atau mengisolasi dengan alasan ketertiban, keamanan dan ketenteraman, sehingga kondisi ini menuntut suatu penanganan yang serius dari berbagai disiplin ilmu.

(19)

obat-obatan psikofarmaka modern yang umumnya berhasil mempercepat hilangnya atau kurangnya gejala-gejala psikiatrik. Namun pengobatan secara medik saja tanpa ditindaklanjuti oleh usaha rehabilitasi akan membuat penderita akan mengalami kekambuhan, melembaga (institusionalisasi) bahkan terjadi kronisitas (penderita menahun yang akan memenuhi rumah sakit jiwa) sehingga menyebabkan semakin bertambah buruknya ketidakmampuan bersosialisasi yang dialami para penderita.

Dengan semakin banyaknya penderita skizofrenia yang mengalami ketidak mampuan bersosialisasi, Direktorat Kesehatan Jiwa (1985) menyarankan agar tim rehabilitasi yang bekerja di rumah sakit jiwa dapat mempersiapkan pasien secara total, baik organik, biologik, psikik, sosiokultural dan vokasional, sehingga penderita secara fisik, mental dan sosial dapat menyesuaikan diri di lingkungan masyarakat, dapat hidup secara mandiri dan berguna dalam masyarakat. Upaya-upya untuk mempersiapkan penderita secara total, dikenal dengan upaya rehabilitasi.

(20)

individu menjadi warga yang produktif, memiliki peranan dan dapat berinteraksi dengan masyarakat di lingkungannya.

Sebagian besar masyarakat masih beranggapan bahwa rehabilitasi merupakan kegiatan ekstramural dari pengobatan penderita sehingga selalu diorentasikan pada pengobatan-pengobatan secara medis semata. Kadangkala penderita hanya diberikan pengobatan medis tanpa memperhatikan masalah-masalah pekerjaan dan sosial pasien. Atas dasar anggapan tersebut dan mungkin pula kurang pengertian tentang pentingnya upaya rehabilitasi, maka ada kecenderungan pelayanannya dipisahkan dari pengobatan atau bahkan dilakukan sekedarnya tanpa menyadari tujuannya atau upaya rehabilitasi sama sekali tidak dilaksanakan.

Sebagian besar penderita skizofrenia yang berobat ke rumah sakit jiwa tidak dapat segera dipulangkan dan tidak secara cepat memperoleh kondisi sebaik semula. Penderita jenis ini merupakan bagian terbanyak yang dirawat di rumah sakit jiwa dan mereka ini yang sebaiknya segera memperoleh pelayanan rehabilitasi. Jika penderita tersebut tidak mendapatkan rehabilitasi akan membuat mereka tidak dapat mencapai keterampilan sosial yang lebih baik. Kuntjoro (1989) menjelaskan bahwa jika dalam penanggulangan penderita skizofrenia hanya ditujukan kepada gangguan klinisnya tanpa menangani tingkah laku sosial, okupasional dan tingkah laku lainnya, berarti pasien hanya memperoleh penyembuhan sementara, sehingga mereka akan mengalami kekambuhan secara berulang dan akhirnya dianggap mundur (regresi).

(21)

psikososial pada keluarga penderita skizofrenia yang dikombinasikan dengan pemberian neuroleptik, sebagian besar memperlihatkan hasil yang bermakna dalam menurunkan angka kekambuhan. Oleh karenanya dianggap perlu untuk memasukkan suatu program psikososial berupa rehabilitasi pada keluarga dalam pengobatan skizofrenia yang sifatnya multidimensional dan interaksional.

Penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Kesehatan Jiwa (1985) mengenai keadaan hubungan sosial penderita cacat psikososial memperkuat hasil penelitian di atas. Penelitian tersebut membuktikan bahwa dari 1222 penderita rehabilitasi yang dirawat di rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia, persentasi tinggi yaitu 29,21% (fungsi sosialnya baik), 59,98% (sedang) dan 8,35% (kurang). Martono (1990) menemukan bahwa ketidakmampuan bersosialisasi pada penderita skizofrenia yang dipulangkan setelah menjalani proses rehabilitasi dalam taraf yang baik karena sebelum dipulangkan mereka telah mendapat pendidikan rehabilitasi terlebih dahulu.

(22)

rehabilitasi akan mengalami ketidakmampuan bersosialisasi (sosial disabilitas) pada tingkat yang buruk.

Mengingat demikian pentingnya upaya rehabilitasi terhadap pemulihan penderita skizofrenia, maka penelitian tentang pengaruh intervensi rehabilitasi dalam mengatasi ketidakmampuan bersosialisasi menjadi penting dilakukan, mengingat konsekuensi terjadinya ketidakmampuan bersosialisasi sangat berpengaruh terhadap kehidupan penderita dalam berinteraksi dengan keluarga maupun masyarakat.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan bahwa permasalahan dalam penelitian ini adalah sejauhmana pengaruh intervensi rehabilitasi terhadap ketidakmampuan bersosialisasi penderita skizofrenia yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

1.3. Hipotesis

(23)

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh intervensi rehabilitasi terhadap ketidakmampuan bersosialisasi pada penderita skizofrenia yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

1.5. Manfaat Penelitian

(24)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Skizofrenia

Menurut Morel (dalam Coleman, dkk, 1980) menggunakan istilah demence

precoce atau gangguan mental dini untuk melukiskan bentuk psikosis tertentu yang

sesuai dengan pengertian skozofrenia sekarang. Hal tersebut dilaporkan dalam bentuk kasus yang terjadi pada seorang pemuda yang ditandai adanya kemunduran/ keruntuhan fungsi intelek yang gawat sekali. Berikutnya Kraeplin (dalam Coleman, dkk, 1980) mensistematiskan istilah tersebut menjadi dementia praecox yang merupakan kamerosotan otak (dementia) yang diderita oleh orang muda (praecox) yang pada akhirnya dapat menyebabkan kekaburan keseluruhan kepribadian. Kraeplin percaya bahwa halusinasi, delusi dan tingkah laku yang aneh pada penderita skizofrenia dapat dikatakan sebagai kelainan fisik atau suatu penyakit. Pada akhirnya Eugen Bleuler (dalam Coleman, dkk, 1980) memperkenalkan istilah skizofrenia atau “jiwa yang terbelah”, sebab gangguan ini ditandai dengan disorganisasi proses

berpikir, rusaknya koherensi antara pikiran dan perasaan, serta berorientasi diri kedalam dan menjauh dari realitas yang intinya terjadi perpecahan antara intelek dan emosi.

(25)

psikotik yang secara berarti mengganggu fungsi dan menyangkut gangguan dalam perasaan, berpikir dan berperilaku. Gangguan ini kronik dan umumnya memiliki fase prodromal, fase aktif dengan delusi, halusinasi atau keduanya dan suatu fase residual dimana gangguan itu mungkin dalam keadaan remisi.

Halgin dan Whitbourne (1995) menyatakan skizofrenia merupakan gangguan akibat suatu rangkaian simptom seperti gangguan dalam isi pikiran, bentuk pikiran, persepsi, afeksi, kepekaan diri, motivasi, tingkah laku dan fungsi interpersonal. Selanjutnya Freud (dalam Roan, 1979) mengatakan bahwa skozofrenia adalah suatu peristiwa regresi atau penarikan diri yang narsistik akibat kelemahan struktur ego karena faktor psikogen atau somatik. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Cameron dan Rychlak (1985) yaitu gangguan skizofrenia adalah usaha regresi untuk melarikan tension dan kecemasan dengan cara mengabaikan hubungan realitas objek interpersonal dan membentuk delusi dan halusinasi.

(26)

2.1.1. Etiologi Skizofrenia

Skizofrenia merupakan gangguan yang tidak ditimbulkan oleh satu faktor saja, setiap subtipe mempunyai sebab-sebab sendiri. Davidoff (1991) mengulas beberapa penemuan yang menonjol mengenai penyebab gangguan skizofrenia.

a. Keterlibatan faktor keturunan

Secara umum dapat dikatakan semakin dekat hubungan genetiknya dengan pasien, maka semakin besar pula kemungkinannya untuk menderita gangguan tersebut. Hal ini sering disebut concordant, yaitu anak kembar dari satu telur mempunyai kemungkinan tiga sampai enam kali lebih besar untuk sama-sama menderita gangguan skizofrenia dibandingkan dengan anak kembar dari dua telur. b. Faktor lingkungan

Beberapa penelitian menyatakan bahwa ibu yang terlalu melindungi, hubungan perkawinan orang tua yang kurang sehat, kesalahan dalam pola komunikasi diantara anggota keluarga dapat menimbulkan skizofrenia.

Skizofrenia tidak diduga sebagai suatu penyakit tunggal tetapi sebagai sekelompok penyakit dengan ciri-ciri klinik umum. Banyak teori penting telah diajukan mengenai etiologi dan ekspresi gangguan ini, salah satunya yang diungkapkan oleh Residen Bagian Psikiatri UCLA (1997), yaitu:

c. Teori biologik dan genetik

(27)

menjadi penyebab peningkatan insidens dari sindrom mirip-mirip skizofrenia (gangguan kepribadian skizoafektif, skizotipik dan lainnya) yang terjadi dalam keluarga.

d. Hipotesis neurotransmitter

Penelitian terakhir memperlihatkan adanya kelebihan reseptor dopaminergik dalam susunan syaraf pusat (SSP) penderita skizofrenik. Pada hakekatnya neuroleptik diduga efektif karena kemampuannya memblokir reseptor dopaminergik. Penelitian mengenai skizofrenik yang tidak di obati juga mengungkapkan suatu kelebihan dari reseptor dopaminergik yang secara langsung berlawanan dengan teori bahwa temuan ini berhubungan dengan pemberian neuroleptik.

e. Pencetus psikososial

Stressor sosiolingkungan sering menyebabkan timbulnya serangan awal dan kekambuhan skizofrenia serta dapat diduga sebagai suatu terobosan kekuatan protektif dengan tetap mempertahankan kerawanan secara psiko biologik dalam pengendalian. Tiga tindakan emosi yang dinyatakan (EE) di lingkungan rumah: komentar kritis, permusuhan dan keterlibatan emosional yang berlebihan terbukti menyebabkan peningkatan angka kekambuhan skizofrenia.

Etiologi atau penyebab skizofrenia yang lebih rinci dijelaskan oleh Kaplan dan Sadock (1997) sebagai berikut:

a. Model diatesis-stress

(28)

seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stress akan memungkinkan perkembangan gejala skizofrenia.

b. Faktor biologis

Semakin banyak penelitian telah melibatkan peranan patofiologis untuk daerah tertentu di otak termasuk sistem limbik, korteks frontalis dan ganglia basalis. Ketiga daerah tersebut saling berhubungan sehingga disfungsi pada salah satu daerah tersebut mungkin melibatkan patologi primer di daerah lainnya sehingga menjadi suatu tempat potensial untuk patologi primer pasien skizofrenik.

c. Genetika

Penelitian klasik awal tentang genetika dari skizofrenia dilakukan di tahun 1930-an yang menemukan bahwa seseorang kemungkinan menderita skizofrenia jika anggota keluarga lainnya juga menderita skizofrenia adalah berhubungan dengan dekatnya hubungan persaudaraan tersebut.

d. Faktor psikososial

(29)

2.1.2. Kriteria Diagnostik Skizofrenia

Kriteria diagnostik skizofrenia yang dikemukakan oleh Halgin dan Whithbourne (1995) adalah sebagai berikut:

a. Gangguan pada isi pikiran

Delusi atau kepercayaan salah yang mendalam merupakan gangguan pikiran yang paling umum dan sering dihubungkan dengan skizofrenia. Delusi ini mencakup delusi rujukan, penyiksaan, kebesaran, cinta, kesalahan diri, kontrol, nihil atau dosa dan pengkhianatan. Delusi lain berkenan dengan kepercayaan irasional mengenai suatu proses berpikir, seperti percaya bahwa pikiran bisa disiarkan, dimasuki yang lain atau hilang dari alam pikirannya karena paksaan dari orang lain atau objek dari luar. Delusi somatik meliputi kepercayaan yang salah dan aneh tentang kerja tubuh, misalnya pasien skizofrenia menganggap bahwa otaknya sudah dimakan rayap.

b. Gangguan pada bentuk pikiran, bahasa dan komunikasi

(30)

c. Gangguan persepsi halusinasi

Halusinasi adalah salah satu simpton skizofrenia yang merupakan kesalahan dalam persepsi yang melibatkan kelima alat indera kita, walaupun halusinasi tidak begitu terikat pada stimulus yang di luar tetapi kelihatan begitu nyata bagi pasien skizofrenia. Halusinasi tidak berada dalam kontrol individu, tetapi terjadi begitu spontan walaupun individu mencoba untuk menghalanginya.

d. Gangguan afeksi (perasaan)

Pasien skizofrenia selalu mengekspresikan emosinya secara abnormal dibandingkan dengan orang lain. Secara umum, perasaan itu konsisten dengan keadaan emosi, tetapi reaksi yang ditampilkan tidak sesuai dengan perasaannya.

e. Gangguan psikomotor

(31)

f. Gangguan kemampuan hubungan interpesonal

Pasien skizofrenia mengalami kesulitan dalam mengadakan hubungan dengan orang lain karena ketidakmampuan mengontrol keadaan emosi dan karena keanehan dari pikiran dan tingkah laku mereka. Akhirnya orang lain menjauhi mereka dan bagian terpenting kesempatan dari hubungan dengan realita menjadi hilang. Ada juga pasien skizofrenia yang mengadakan isolasi dengan sendirinya. Isolasi sosial akan selalu menyebabkan kerusakan dalam hubungan sosial, setelah sekian lama mereka akan ditolak dan diperlakukan jauh kedalam alam fantasi dan delusi.

g. Gangguan kepekaan diri

Pasien skizofrenia selalu bingung akan identitas keberadaan mereka dan mereka tidak begitu pasti akan keberadaan diri mereka yang benar atau tidak dan selalu bertanya-tanya keberadaan dirinya yang pasti.

h. Gangguan motivasi

Pasien skizofrenia mungkin akan mendapatkan bahwa dirinya tidak termotivasi yang dikarenakan kekurangan dorongan atau interest (keinginan) dalam mengikuti suatu kejadian tingkah laku atau karena adanya ambivalensi dalam suatu pemilihan.

2.1.3. Tipe-tipe Skizofrenia

Tipe skizofrenia menurut ICD-X dan PPDGJ III meliputi: a. Skizofrenia Paranoid (F2.0)

(32)

paranoid diserta oleh halusinasi, terutama halusinasi pendengaran. Gangguan-gangguan afektif, dorongan kehendak (volition) dan pembicaraan serta gejala-gejala katatonik tidak menonjol.

b. Skizofrenia Hebefrenik (F20.1)

Suatu bentuk skizofrenia dengan perubahan afektif yang jelas dan secara umum juga dijumpai waham dan halusinasi yang bersifat mengambang serta terputus-putus (flagmentar), perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diramalkan serta umumnya mannerisme. Suasana perasaan (mood) pasien dangkal dan tidak wajar (inappropriate) sering disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self satisfied), senyum sendiri (self-absorbed smilling) atau sikap yang angkuh dan agung (lofty manner). Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu serta inkoheren. Ada kecenderungan tetap menyendiri (solitary) dan perilaku tampak hampa tujuan dan hampa perasaan.

c. Skizofrenia Katatonik (F20.2)

Gangguan psikomotor yang menonjol merupakan gambaran yang penting dan dominan serta dapat bervariasi antara kondisi ekstrim seperti

hiperkinesis dan stupor atau antara sifat penurut yang otomatis dan

negativisme. Sikap dan posisi tubuh yang dipaksakan dapat dipertahankan

(33)

d. Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated) (F20.3)

Kondisi-kondisi yang memenuhi kriteria diagnostik umum untuk skizofrenia tetapi tidak sesuai dengan subtipe paranoid, hebefrenik dan katatonik atau memperlihatkan gejala lebih dari satu sub tipe tanpa gambaran predominasi yang jelas untuk suatu kelompok diagnosis yang khas.

e. Depresi Pasca-Skizofrenik (F20.4)

Suatu episode depresif yang mungkin berlangsung lama dan timbul sesudah suatu serangan penyakit skizofrenia. Beberapa gejala skizofrenik harus tetap ada tetapi tidak lagi mendominasi gambaran klinisnya. Gangguan depresif ini disertai oleh suatu peningkatan resiko bunuh diri.

f. Skizofrenia Residual (F20.5)

Suatu stadium kronis dalam perkembangan gangguan skizofrenia, di mana telah terjadi progresi yang jelas dari stadium awal (terdiri dari satu atau lebih episode dengan gejala psikotik yang memenuhi kriteria umum untuk skizofrenia) ke stadium lebih lanjut yang ditandai secara khas oleh gejala-gejala negatif jangka panjang walaupun belum tentu ireversibel.

g. Skizofrenia Simpleks (F20.6)

(34)

menonjol adalah afek yang menumpul, hilangnya dorongan kehendak dan bertambahnya kemunduran sosial.

h. Skizofrenia lainnya (F20.8)

Termasuk skizofrenia senestopatik, gangguan skizofreniform yang Tak Tergolongkan. Tidak termasuk gangguan skizofrenia akut, skizofrenia siklik, skizofrenia laten.

i. Skizofrenia YTT (F20.9)

Tipe-tipe skizofrenia yang tak tergolongkan 2.1.4. Perjalanan Penyakit dan Prognosis

Perjalanan penyakit skizofrenia yang dijelaskan oleh Kaplan dan Sadock (1997) bahwa suatu pola gejala premorbid mungkin merupakan tanda pertama dari penyakit, walaupun gejala biasanya dikenali secara retrospektif. Secara karakteristik, gejala dimulai pada masa remaja diikuti dengan perkembangan gejala prodromal dalam beberapa hari sampai beberapa tahun. Onset gejala yang mengganggu terlihat disesuaikan oleh suatu perubahan sosial atau lingkungan seperti pindah sekolah, pengalaman dengan kematian sanak saudara. Sindroma prodromal (fase awal penyakit) dapat berlangsung selama satu tahun atau lebih sebelum onset gejala psikotik yang jelas.

(35)

biasanya memperkirakan perjalanan yang diikuti pasien. Masing-masing relaps psikosis diikuti oleh pemburukan lebih lanjut pada fungsi dasar pasien. Perjalanan klasik skizofrenia adalah satu eksaserbasi dan remisi. Perbedaan utama antara skizofrenia dan gangguan mood adalah pasien skizofrenia gagal untuk kembali ke fungsi dasar setelah masing-masing relaps. Seringkali suatu depresi pasca psikotik yang dapat diobservasi secara klinis mengikuti suatu episode psikotik dan kerentanan pasien skizofrenik terhadap stress biasanya selama hidup.

Gejala positif cenderung menjadi parah dengan berjalannya waktu, tetapi gejala negatif yang menimbulkan ketidakmampuan secara sosial atau gejala defisit dapat meningkat keparahannya. Walaupun kira-kira sepertiga dari semua pasien skizofrenik mempunyai eksistensi sosial yang marginal atau terintegrasi, sebagian besar memiliki kehidupan yang ditandai oleh tidak adanya tujuan, inaktivitas, perawatan di rumah sakit yang sering dan tinggal di lingkungan perkotaan, tunawisma dan kemiskinan.

2.1.5. Prognosis

(36)

literatur adalah 10% sampai 60% dan perkiraan yang beralasan adalah bahwa 20% sampai 30% dari semua pasien skizofrenia mampu menjalani kehidupan yang agak normal. Kira-kira 20% sampai 30% dari pasien terus mengalami gejala yang sedang dan 40% sampai 60% dari pasien terus terganggu secara bermakna oleh gangguannya selama seumur hidupnya (Kaplan dan Sadock, 1997).

Gambaran yang menunjukkan prognosis baik dan buruk dalam skizofrenia (Kaplan dan Sadock, 1997) digambarkan di bawah ini.

a. Skizofrenia prognosis baik

Berkaitan dengan onset lambat, faktor pencetus yang jelas, onset akut, riwayat sosial, seksual dan pekerjaan pramorbid yang baik, gejala gangguan mood (terutama gangguan depresif), menikah, riwayat keluarga gangguan mood, sistem pendukung yang baik dan gejala positif.

b. Skizofrenia prognosis buruk

(37)

2.2. Ketidakmampuan Bersosialisasi

Menurut World Health Organization (WHO, 1989) ketidakmampuan bersosialisasi (social disability) adalah ketidakmampuan individu dalam melakukan hubungan sosial secara sehat dengan orang-orang di sekitarnya. Karena ketidakmampuan mereka untuk bersosialisasi, beberapa individu memiliki masalah untuk menjalani hidup bersama dengan individu normal. Mereka sulit untuk melakukan semua aktivitas seperti yang dilakukan oleh individu normal yang ada di sekitarnya.

Kuntjoro (1989) menjelaskan bahwa kemunduran sosial atau ketidak mampuan bersosialisasi adalah ketidakmampuan individu untuk bersikap dan bertingkah laku yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Individu yang dalam kehidupannya menuruti kemauan sendiri tanpa mengidentifikasikan norma sosial dan mengganggu lingkungan dianggap tidak terampil secara sosial atau disebut mengalami ketidakmampuan bersosialisasi atau kemunduran sosial. Individu hidup dalam dunianya sendiri (autistik) yang tidak dapat dimengerti dan tidak dapat diterima oleh orang lain. Hal ini berarti pula individu tidak mengindahkan tuntutan lingkungan sosialnya atau tidak mampu menyesuaikan diri yang selanjutnya oleh WHO (1980) disebut sebagai cacat psikososial (psychosocial disability).

(38)

yang diperlihatkan oleh pasien yang sifatnya tidak biasa, aneh dan kadang-kadang tidak dapat diterima oleh masyarakat. Namun perlu diperhatikan pula bahwa gaya hidup individu berbeda dari gaya hidup orang lain, terutama jika ia berasal dari suku atau masyarakat kebudayaan tertentu.

Di Indonesia istilah cacat mempunyai arti dari ketiga keadaan berikut:

impairment, disabilities dan handicap, karena sangat luasnya pengertian

istilah-istilah tersebut, maka Forum Asean merekomendasikan penggunaan definisi-definisi yang ditetapkan oleh WHO (1989) dengan maksud untuk memudahkan kepentingan komunikasi. Istilah-istilah tersebut didefinisikan sebagai berikut:

a. Impairment

Impairment adalah hilangnya atau adanya kelainan (abnormalitas) dari pada

struktur atau fungsi yang bersifat psikologik, fisiologik atau anatomik. Cacat dapat bersifat sementara (temporer) ataupun menetap (permanen). Termasuk di sini apa saja yang biasa disebut dengan anomali defect yang terjadi pada anggota gerak, organ, jaringan atau struktur tubuh, termasuk sistem fungsi mental. Kondisi cacat merupakan

eksteriorasi keadaan patologik yang prinsipnya mencerminkan gangguan kesehatan

yang terjadi pada tingkat organ. b. Disabilities (disability)

Disability merupakan keterbatasan atau kurangnya kemampuan (akibat dari

(39)

langsung sebagai reaksi individu, khususnya secara psikologik pada cacat fisik dan sensorik.

c. Handicap

Handicap adalah kemunduran pada seseorang akibat adanya cacat atau

disabilitas yang membatasi atau mencegahnya untuk dapat berperan normal bagi individu (sesuai umur, sex dan faktor sosial budaya). Kondisi ini ditandai dengan adanya ketidaksesuaian antara prestasi seseorang atau statusnya dengan harapannya atau kelompoknya. Handicap merupakan sosialisasi dari pada cacat dan disabilitas dan mencerminkan konsekwensi bagi individu dalam budaya, sosial, ekonomi dan lingkungannya yang berpangkal pada adanya cacat dan disabilitas.

2.2.1. Gambaran Umum Individu yang Mengalami Ketidakmampuan Bersosialisasi

(40)

Di beberapa negara, wanita dewasa yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi dapat ditolak suami dan diasingkan oleh anak-anaknya, bahkan individu dewasa yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi hanya mempunyai pendidikan yang rendah dibandingkan individu dewasa yang normal. Pemisahan secara sosial terhadap individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi semakin memperburuk keadaannya. Di kebanyakan lingkungan masyarakat individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi dipisahkan dari individu yang normal karena kepercayaan yang dianut oleh masyarakat setempat. Sikap negatif dan perilaku yang mendiskriminasikan individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi dianggap sebagai suatu keharusan.

2.2.2. Ciri Individu yang Mengalami Ketidakmampuan Bersosialisasi

(41)

memadai untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari, kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari dalam rumah tangga.

2.2.3. Aspek-Aspek Ketidakmampuan Bersosialisasi

Menurut Kuntjoro (1989), aktivitas pasien yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga yaitu (a). Tingkah laku yang berhubungan dengan kegiatan kebutuhan hidup sehari-hari (activity daily living

= ADL), (b). Tingkah laku sosial dan (c). Tingkah laku okupasional yang dapat

dijabarkan sebagai berikut: a. Activity Daily Living (ADL)

Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang meliputi:

1) Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan pasien sewaktu bangun tidur.

2) Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu semua bentuk tingkah laku/perbuatan yang berhubungan dengan BAB dan BAK.

3) Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam kegiatan mandi dan sesudah mandi.

4) Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan keperluan berganti pakaian.

(42)

6) Menjaga kebersihan diri, yaitu perbuatan yang berhubungan dengan kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan dengan kebersihan pakaian, badan, rambut, kuku dan lain-lain.

7) Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauhmana pasien mengerti dan dapat menjaga keselamatan dirinya sendiri, seperti, tidak menggunakan/menaruh benda tajam sembarangan, tidak merokok sambil tiduran, memanjat ditempat yang berbahaya tanpa tujuan yang positif.

8) Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang pasien untuk pergi tidur. Pada pasien gangguan jiwa tingkah laku pergi tidur ini perlu diperhatikan karena sering merupakan gejala primer yang muncul pada gangguan jiwa. Dalam hal ini yang dinilai bukan gejala insomnia (gangguan tidur) tetapi bagaimana pasien mau mengawali tidurnya.

b. Tingkah laku sosial

Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kebutuhan sosial pasien dalam kehidupan bermasyarakat yang meliputi

1) Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah laku pasien untuk melakukan hubungan sosial dengan sesama pasien, misalnya menegur kawannya, berbicara dengan kawannya dan sebagainya.

(43)

3) Kontak mata waktu berbicara, yaitu sikap pasien sewaktu berbicara dengan orang lain seperti memperhatikan dan saling menatap sebagai tanda adanya kesungguhan dalam berkomunikasi.

4) Bergaul, yaitu tingkat laku yang berhubungan dengan kemampuan bergaul dengan orang lain secara kelompok (lebih dari dua orang).

5) Mematuhi tata tertib, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan ketertiban yang harus dipatuhi dalam perawatan rumah sakit.

6) Sopan santun, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan tata krama atau sopan santun terhadap kawannya dan petugas maupun orang lain.

7) Menjaga kebersihan lingkungan, yaitu tingkah laku pasien yang bersifat mengendalikan diri untuk tidak mengotori lingkungannya, seperti tidak meludah sembarangan, tidak membuang puntung rokok sembarangan dan sebagainya.

c. Tingkah laku okupasional

Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kegiatan seseorang untuk melakukan pekerjaan, hobby dan rekreasi sebagai salah satu kebutuhan kehidupannya yang meliputi:

(44)

2) Bersedia melakukan kegiatan/pekerjaan, yaitu bentuk kegiatan yang dilakukan pasien untuk bekerja, berekreasi, melaksanakan hobi atau melakukan kegiatan positif lainnya, seperti sembahyang dan membaca.

3) Aktif/rajin melakukan kegiatan atau pekerjaan, yaitu tingkah laku pasien yang bersedia melakukan kegiatan dengan menunjukkan keaktifan/kerajinannya. 4) Produktif dalam melakukan kegiatan, yaitu adanya hasil perbuatan yang dapat

diamati/observasi, baik kualitas maupun kuantitasnya.

5) Terampil dalam melakukan kegiatan/pekerjaan, yaitu sejauhmana pasien memiliki kemampuan, kecakapan dan keterampilan dalam melakukan tindakannya (wajar, tidak kaku, enak dilihat orang sehingga tidak menimbulkan rasa khawatir bagi petugas/orang lain).

6) Menghargai hasil pekerjaan dan milik pribadi, yaitu tingkah laku pasien untuk menghargai (punya tenggang rasa) terhadap hasil pekerjaannya sendiri dan hasil pekerjaan orang lain.

(45)

2.2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Ketidakmampuan Bersosialisasi pada Pasien Skizofrenia

Birchwood (1987) membuktikan bahwa munculnya gejala-gejala kekambuhan dan ketidakmampuan adaptasi sosial pada penderita skizofrenia adalah berhubungan dengan cara dan efektivitas keluarga dalam mengatasi permasalahan, hilangnya kohesi dalam keluarga, cara mengambil keputusan yang tidak konsisten dan beban keluarga yang dirasa berlebihan.

Liberman (1989) menambahkan bahwa yang mengakibatkan makin buruknya ketidakmampuan bersosialisasi diantara penderita skizofrenia adalah jumlah dan bentuk stressor dalam kehidupan, ketidakmampuan menyelesaikan masalah dan dukungan sosial yang kurang.

Penelitian Klerman (1971) menggambarkan bahwa timbulnya social

functioning impairment diakibatkan oleh tingkah laku simptomatik yang dialami oleh

penderita skozofrenia tersebut. Weissman dan Bothwell (1976) melanjutkan penelitian tersebut dan menambahkan bahwa semakin buruk simptomatik psikiatriknya akan semakin buruk juga social functioning.

(46)

a. Sebagian masyarakat percaya kecacatan akibat hukuman Tuhan, pengaruh makhluk halus dan akibat berhubungan dengan penderita skizofrenia, karenanya keluarga dan masyarakat menempatkan penderita di rumah. Kondisi ini akan mengakibatkan penderita mempunyai perasaan bahwa kedudukannya dalam keluarga kurang penting dibandingkan lainnya. b. Akibat gangguan yang dideritanya beberapa penderita skizofrenia terlihat berbeda

dalam penampilan, cara berbicara dan tingkah lakunya, sehingga keluarga dan masyarakat sering mempunyai pendapat bahwa penderita skizofrenia berbeda dengan mereka.

c. Anak-anak atau orang dewasa terkadang tidak memperhatikan apa yang dikatakan penderita atau menertawakan kesulitan penderita. Mereka memandang penderita kurang penting dibandingkan masyarakat lain.

d. Keluarga dan masyarakat yang menetawarkan penderita skozofrenia karena mereka tidak mengerti penderita skizofrenia dan tidak mengetahui mengenai kecacatan dan penyebabnya.

2.3. Rehabilitasi

(47)

Sejalan dengan pendapat di atas, Peraturan Pemerintah R.I No. 36 Tahun 1980 tentang usaha kesejahteraan sosial bagi penderita cacat yang menerangkan bahwa rehabilitasi merupakan proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penderita cacat mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat (Dit. Keswa, 1985).

2.3.1. Falsafah dan Motivasi Upaya Rehabilitasi

Sesudah perang dunia II, upaya rehabilitasi berkembang pesat dan mempunyai dasar falsafah yang lebih kokoh, sejalan dengan berkembangnya faham hak azasi manusia. Falsafah rehabilitasi berubah from charity to right, berarti bahwa

pertolongan dalam upaya rehabilitasi dijalankan berdasarkan pemberian hak azasi sebagai manusia seutuhnya. Dasar ini kiranya sesuai dengan falsafah Pancasila sebagai falsafah Negara Republik Indonesia, khususnya dengan sila perikemanusiaan yang adil dan beradab dan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

(48)

Atas dasar pengembalian hak azasi yang ada pada diri pasien, pasien akan mempunyai arti yang lebih positif baik bagi upaya rehabilitasi itu sendiri maupun bagi rehabilitannya, karena bantuan yang diberikan dalam upaya rehabilitasi kepada rehabitan dimaksudkan agar mampu mengembalikan kesadaran, kemauan, potensi, inisiatif dan sebagainya sehingga akhirnya rehabilitan mampu menolong dirinya sendiri dan dapat mempertahankan hak azasinya untuk hidup bersama warga masyarakat yang lain.

Menurut Dit. Keswa (1985), untuk memperkuat motivasi para petugas rehabilitasi pasien mental kiranya perlu diketahui beberapa prinsip yang memungkinkan bahwa rehabilitasi pasien mental itu dapat dijalankan, antara lain:

a. Gangguan mental tidak pernah merusak seluruh kepribadian manusia atau tingkah lakunya. Hal ini berarti bahwa bagaimanapun parahnya penyakit yang diderita seorang pasien mental selalu masih ada kepribadian dan tingkah laku yang sehat dalam diri pasien tersebut. Merupakan kewajiban ahli terapi dan rehabilitasi mental untuk menemukan bidang-bidang tersebut dan perlu menilai potensi dari bidang-bidang itu untuk lebih dikembangkan lagi.

(49)

c. Tingkah laku manusia selalu mengindahkan ada/tidak adanya faktor-faktor tertentu (khususnya faktor yang dapat menimbulkan tekanan sosial pada individu) sehingga dengan demikian reaksi/respons manusia tersebut sampai taraf tertentu dapat diramalkan, sehingga perlahan-lahan pasien mental dapat dilatih untuk mentaati peraturan permainan.

d. Sikap dan tekanan sosial dalam kelompok sangat penting dalam menunjang atau menghambat tingkah laku individu dalam kelompok sosial tersebut. Menciptakan suasana kebersamaan dalam terapi agar tercipta rasa tanggung jawab, rasa keadilan dan rasa kemanusiaan.

e. Rehabilitasi adalah proses transisi dan proses kesiapan ke arah pengembalian pasien mental kemasyarakatan dan oleh sebab itu masyarakat perlu menghayati pentingnya peranan yang dipegangnya dalam proses rehabilitasi tersebut.

2.3.2. Aspek-Aspek Rehabilitasi

Menurut Direktorat Kesehatan Jiwa (1985), aspek-aspek rehabilitasi adalah sebagai berikut:

a. Medik

(50)

b. Psikologik dan Sosial

Merupakan suatu usaha rehabilitasi yang bertujuan mempersiapkan individu agar sejauh mungkin mampu melaksanakan fungsi psikis dan sosialnya secara wajar dalam masyarakat dengan menggunakan terapi-terapi psikologi dan sosial berupa psikoterapi individual dan kelompok, terapi keluarga, terapi rekreasi, terapi kesenian, terapi olah raga dan lain-lain untuk tercapainya penyesuaian diri, harga diri juga tercapainya pandangan dan sikap yang sehat dari masyarakat terhadap rehabilitan. c. Reedukasi dan Vokasional

Suatu usaha rehabilitasi yang bertujuan untuk meningkatkan taraf pengetahuan individu yang sesuai dengan kemampuan dan ketidak mampuannya dengan meningkatkan taraf pengetahuan individu sehingga individu dapat bekerja/berusaha secara produktif dan berguna.

c. Legislatif dan Administratif

Usaha rehabilitasi yang bertujuan kearah terbentuknya peraturan perundang-undangan yang mengatur usaha rehabilitasi pasien mental.

2.3.3. Maksud dan Tujuan Dasar Rehabilitasi

(51)

memuaskan sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berswadaya, swasembada (mandiri) dan berguna.

Tujuan rehabilitasi yang digariskan peraturan pemerintah R.I No. 36 tahun 1980 tentang usaha kesejahteraan sosial bagi penderita cacat adalah untuk mengembalikan dan mengembangkan fungsi fisik, mental dan sosial sehingga penyandang cacat tersebut bisa berfungsi dalam masyarakat sesuai dengan kemampuan, bakat, taraf pendidikan dan pengalaman (Dit. Keswa, 1985). Sejalan dengan pendapat tersebut, WHO (1980) merumuskan tujuan rehabilitasi sebagai penggunaan secara terpadu dan terkoordinasi daripada tindakan medik, sosial, pendidikan dan vokasional untuk melatih kembali individu kearah kemungkinan tertinggi dari tingkatan kemampuan fungsional. 2.3.4. Tahap-tahap Rehabilitasi

Upaya rehabilitasi tersebut menurut Direktorat Kesehatan Jiwa (1985) merupakan proses yang bertahap untuk mengembalikan individu baik hak dan fungsinya sebagai warga masyarakat yang mandiri dan berguna. Proses usaha tersebut diatur melalui tahap kerja sebagai berikut:

a. Tahap persiapan

Tahap persiapan merupakan serangkaian upaya untuk mempersiapkan rehabilitan agar selanjutnya dapat disalurkan kedalam masyarakat, melalui kegiatan:

1) Seleksi, evaluasi dan uji kerja (work assesment).

(52)

dengan dasar musyawarah menuju suatu kesimpulan untuk membuat suatu program yang jelas dan terperinci untuk masing-masing rehabilitan. Hasil seleksi yang berupa program untuk rehabilitan langsung menentukan apakah seorang rehabilitan dapat mengikuti proses rehabilitasi secara lengkap (yaitu mengikuti terapi kerja dan latihan kerja atau dipersiapkan ke sheltered

workshop) atau cukup mengikuti terapi kerja saja atau belum dapat diberikan

aktivitas dalam unit rehabilitasi, sehingga sementara ditangguhkan rehabilitasinya (masih memerlukan pelayanan medik psikiatrik secara intensif).

2) Terapi kerja (okupasiterapi/occupational therapy)

(53)

3) Latihan kerja (vocational training).

Rehabilitan yang mengikuti latihan kerja adalah yang telah diseleksi dan diprogramkan untuk mengikuti latihan kerja agar mereka mereka memiliki keterampilan kerja sebagai bekal untuk kembali kemasyarakat sebagai warga yang mandiri dan berguna. Dalam melatih kerja hendaknya tingkat kesukaran pekerjaan tersebut selalu diperhatikan dan disesuaikan dengan kemampuan rehabilitan.

4) Latihan keterampilan sosial (social skills training).

Sering disebut sebagai terapi keterampilan sosial (social skills therapy), yaitu teknik latihan dengan menggunakan hadiah ekonomi untuk meningkatkan kemakmuran sosial, kemampuan memenuhi kebutuhan diri sendiri, latihan komunikasi interpersonal.

b. Tahap Penempatan/Penyaluran

Setalah rehabilitan dipersiapkan melalui kegiatan seleksi terapi dan latihan kerja, maka selanjutnya adalah penempatan kedalam masyarakat. Usaha penempatan ini tidak lain merupakan tujuan akhir upaya rehabilitasi yaitu menyalurkan rehabilitan ke masyarakat sebagai warga masyarakat yang mandiri dan berguna. Penempatan dapat dilakukan kedalam keluarga atau masyarakat, ke instansi lain seperti perusahaan atau panti rehabilitasi serta ditempatkan kedalam sheltered workshop.

(54)

dapat dipulangkan keluarga/masyarakat. Bengkel kerja terlindung (sheltered

workshop) dilakukan untuk mempekerjakan rehabilitan yang terampil/memiliki

kemampuan kerja akan tetapi karena sesuatu hal mereka tidak dapat hidup bersaing dalam masyarakat yang bersifat umum.

c. Tahap Pengawasan

Tahap pengawasan terhadap rehabilitan sudah dilakukan sejak mengikuti persiapan rehabilitasi. Pengawasan ini dimaksudkan agar kondisi kesehatan rehabilitan selalu terjaga, baik fisik maupun mentalnya. Untuk melakukan pengawasan terhadap rehabilitan yang belum disalurkan perlu disediakan pelayanan psikiatrik dalam unit rehabilitasi agar rehabilitan yang dinilai mengalami kemunduran atau tidak pernah ada kemajuan dapat segera memperoleh terapi serta secara periodik diperiksa keadaan kesehatannya.

(55)

2.3.5. Arus Pasien dalam Unit Rehabilitasi

Arus pasien dalam proses rehabilitasi pasien mental seperti tercantum dalam Pedoman Rehabilitasi pasien Rumah Sakit Jiwa di Indonesia (Dit. Keswa, 1985) adalah sebagai berikut:

2.3.5.1. Secara garis besar pelayanan kesehatan jiwa di rumah sakit ada tiga kegiatan pokok, yaitu prevensi dan promosi, kurasi (pemulihan dan pelayanan) dan rehabilitasi, serta pengembangan program.

2.3.5.2. Pasien datang dari masyarakat berobat ke rumah sakit jiwa diterima di unit rawat jalan. Menurut Dorland (1998) pasien yang dirawat jalan adalah seorang pasien yang datang ke rumah sakit, klinik atau balai pengobatan untuk mendapat pengobatan, namun tidak menempati ranjang pengobatan. Dengan demikian pasien skizofrenia yang datang kerumah sakit jiwa untuk mendapatkan pengobatan tetapi tidak menempati ranjang perawatan. Setelah diterima selanjutnya diadakan pemeriksaan, assesment dan diagnosis sementara terhadap pasien, kemudian ditentukan sebagai:

1) Pasien rawat jalan dengan memperoleh terapi medik/terapi yang lain atau untuk konsultasi psikologik atau langsung dirujuk ke instansi lain.

(56)

3) Untuk pasien rawat inap tersebut selanjutnya diadakan pemeriksaan yang lebih lengkap untuk menentukan diagnosa yang tetap dan memperoleh terapi medik secara intensif.

4) Dengan terapi medik intensif akan terjadi perubahan-perubahan/kemajuan sehingga selanjutnya dapat ditentukan (1) dapat langsung dipulangkan (sebagai rehabilitasi spontan), (b) tetap memperoleh terapi medik intensif (bagi yang tidak ada kemajuan) dan (c) direhabilitasi.

5) Bagi pasien yang ditentukan untuk rehabilitasi maka prosesnya sebagai berikut:

a) Diadakan seleksi dan pengujian kerja (work assessment). b) Dikirim ke terapi kerja (terapi okupasi-occupational therapy). c) Diadakan evaluasi selama mengikuti terapi kerja.

d) Atas dasar evaluasi tersebut pasien akan ditentukan sebagai pasien yang segera dipulangkan (sebagai rehabilitasi spontan) atau diteruskan ke latihan kerja (vocational training).

6) Diadakan evaluasi selama berada di dalam latihan kerja. 7) Atas dasar evaluasi point f tersebut ditentukan untuk:

a) Disalurkan pulang kekeluarga dengan membawa pulang bekal keterampilan kerja (rehabilitasi vokasional).

b) Disalurkan keinstansi lain (misalnya ke panti rehabilitasi sosial, ke tempat kerja di masyarakat dan lain-lain).

(57)

8) Bagi rehabilitan yang sudah disalurkan selanjutnya diadakan pengawasan dengan:

a) Pelayanan home visit.

b) Pelayanan after carelday care/nigh care.

2.4. Pengaruh Intervensi Rehabilitasi terhadap Ketidakmampuan Bersosialisasi Penderita Skizofrenia

Menurut Gorfild dan Bergin (1987) ketergangguan perilaku skizofrenia mencakup tiga jenis tingkah laku, yaitu tingkah laku simptomatik, sosial dan tingkah laku lainnya termasuk tingkah laku okupasional. Tingkah laku simptomatik adalah tingkah laku yang berhubungan dengan gejala psikiatri seperti halusinasi, delusi, autisme, bizar, agitasi dan sebagainya. Tingkah laku sosial adalah tingkah laku yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan sosial seperti komunikasi, bergaul, bersahabat, menolong orang dan lain-lain. Tingkah laku sosial dan lain-lain dibedakan karena keduanya untuk memenuhi hidup secara sosial.

(58)

tersebut dilakukan oleh Goldman dengan menggunakan Global Assessment of

Functioning (GAF) dalam DSM-IV.

Klerman (1971) dalam hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa tingkah laku simptomatik yang dialami oleh para penderita skizofrenia membuat para penderita tersebut tidak mempunyai peranan dalam kehidupan sosialnya yang disebutnya sebagai cacat secara sosial (social role impairment). Penelitian lebih lanjut yang dilakukan Weissman dan Bothwell (1976) juga mengungkapkan bahwa dengan perbaikan dari tingkah laku simptomatik dapat meningkatkan peranan sosialnya. Penderita skizofrenia yang telah mendapat pengobatan selama empat minggu dan mengalami perubahan dalam tingkah laku simptomatiknya mendapat perbaikan dalam peranan sosialnya.

Panjangnya waktu perawatan di rumah sakit jiwa juga dapat membuat para penderita semakin buruk fungsi sosialnya (Gordon, et al, 1985). Untuk itu Gordon cenderung untuk membuat perawatan dalam periode yang lebih pendek dan segera memulangkan pasien kedalam masyarakat apabila tingkah laku simptomatiknya telah berkurang serta menyarankan tetap berobat jalan untuk lebih memperbaiki tingkah laku simptomatiknya.

(59)

perawatan tersebut menunjukkan fungsi sosial yang semakin memburuk dibanding pasien skizofrenia mendapat perawatan yang memadai. Hasil penelitian mereka mengungkapkan bahwa simptom-simptom psikiatri telah banyak menyebabkan meningkatnya kecacatan dalam fungsi sosial (disability in social functioning) penderita skizofrenia.

Obat-obatan psikofarmaka telah terbukti mampu mengurangi gejala psikiatrik penderita skizofrenia yang sangat kompleks dan komplit, sehingga penderita tidak selalu mengalami deteriorasi (pemburukan). Menurut Hartono (1997) 10%-60% penderita skizofrenia yang langsung dipulangkan setelah gejala psikiatriknya berkurang dapat hidup dengan agak normal. Kira-kira 20%-30% tetap menderita gejala-gejala dan 40%-60% mengalami hendaknya berat seumur hidup sesuai data tersebut diketahui bahwa pembaikan aspek medik saja belum cukup karena diperlukan perawatan yang terpadu (integrated) yang meliputi aspek medik, sosial, edukasional dan aspek okupasional untuk mengembalikan fungsi human penderita skizofrenia agar dapat berintegrasi dengan masyarakat lingkungan sosialnya.

(60)

(1990) lebih baik dari pemberian obat saja atau intervensi psikososial saja, pemberian obat yang rasional dan intervensi yang tepat dapat menurunkan/mencegah kekambuhan dan meningkatkan kemampuan adaptasi sosial penderita skizofrenia.

Direktorat kesehatan jiwa (1985) mengadakan penelitian tentang keadaan psikosial rehabilitan mengenai hubungan sosial dan menemukan bahwa dari 1222 penderita yang direhabilitasi di rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia. Persentasi tinggi yaitu 59,98% segi fungsi sosialnya sedang, 29,21% adalah baik dan 8,35% adalah kurang. Hal tersebut juga ditegaskan oleh Gordon (1985) yang mengatakan bahwa meskipun penderita skizofrenia sulit dalam perawatannya tetapi dari hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa pasien yang dalam klub rehabilitasi sudah berkurang simptom psikologiknya dan fungsi sosialnya semakin membaik.

Weissman, dkk. (1987); Harry dan Sturt (1981) menemukan bahwa selama ini fungsi sosial (social functioning) adalah dipengaruhi oleh simptom psikologik yang dialami penderita mental. Semakin buruk simptom psikologiknya, maka akan semakin buruk fungsi sosial penderita. Jadi penderita yang simptom psikologiknya sudah membaik akan mempertinggi fungsi sosialnya. Hal ini mengindikasikan bahwa penderita skizofrenia yang sudah membaik simptom psikologiknya dan sudah dalam tahap rehabilitasi maka dapat membuat fungsi sosialnya lebih baik.

(61)

menyatakan bahwa penderita skizofrenia yang dipulangkan setelah menjalani program rehabilitasi 72% dapat melaksanakan kembali fungsinya sebagai anggota masyarakat yang mandiri dan berguna, sedang sisanya akibat berbagai faktor harus kembali menjalani perawatan dalam rumah sakit (rawat inap) karena mengalami kekambuhan.

(62)

Gangguan Gangguan

Afeksi Psikomotor

Gangguan Gangguan

Persepsi Interpersonal

Gangguan Gangguan

Bahasa dan Skizofrenia Motivasi

Komunikasi

Gangguan Gangguan

Isi Pikiran Kepekaan Diri

Tidak Mampu Aspek Tingkah laku Bersosialisasi

Activity Daily Living

Tk. Laku Sosial

Tk. Laku Vokasional Mampu

Bersosialisasi

Intervensi Rehabilitasi

Medik

Psikologis & Sosial

Reedukatif & Vokasional

Sumber: Halgin & Whiteboyrne, 1985; Birchwood, 1987; Gorfild & Bergin, 1987; Left, dkk, 1990; WHO, 1989; Koentjoro, 1989; Ditkeswa, 1985.

(63)

2.5. Kerangka Konsep Penelitian

(64)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam bentuk causal comparative studies, yaitu ingin membandingkan dua kejadian atau peristiwa dengan melihat penyebabnya (Arikunto, 1993). Penelitian ini menggunakan dua kelompok subjek, yaitu kelompok penderita yang diberi intervensi kegiatan rehabilitasi dan kelompok penderita yang tidak diberi intervensi kegiatan rehabilitasi. Desain penelitian ini adalah sebagai berikut:

X1 Y X2

Gambar 3.1. Desain Penelitian

X1 : Kelompok penderita yang diberi intervensi kegiatan rehabilitasi

X2 : Kelompok penderita yang tidak diberi intervensi rehabilitasi

Y : Ketidakmampuan bersosialisasi

3.2. Lokasi Penelitian

(65)

tempat tidur untuk rawat inap 450 buah dengan rata-rata gangguan jiwa yang dirawat inap antara 400 – 426 penderita (Rekam Medik RSJD Provsu), sehingga kondisi ini memungkinkan untuk dijadikan lokasi penelitian. Selain itu, Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara juga merupakan lahan praktek tenaga kesehatan.

3.3. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dimulai sejak pengusulan judul penelitian, penelusuran daftar pustaka, survei pendahuluan, persiapan proposal penelitian konsultasi dengan pembimbing, pelaksanaan penelitian sampai dengan laporan akhir yang dimulai dari bulan Juli 2008 dan diharapkan selesai pada bulan Juni 2009.

3.4. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling

Gambar

Gambar 2.1. Landasan Teori dan Konsep Penelitian
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 3.1.  Distribusi Penderita yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara
Gambar 3.2. Rumus Product Moment Karl Pearson
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pendekatan analisa teknikal belum tentu cocok bagi semua investor, pembaca disarankan untuk melakukan penilaian terhadap diri sendiri mengenai analisa investasi yang cocok dengan

[r]

The ip administra- significantly lower levels of plasma leptin than females, in tion of vehicle alone did not significantly affect plasma this study we adopted the dose of 75 m g /

b. Tunjangan transportasi sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 2) diberikan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Honorarium masing-masing anggota Dewan Komisaris/Dewan

[r]

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2001 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen

· Pembuatan tabel distribusi frekuensi dapat dimulai dengan menyusun data mentah ke dalam urutan yang sistematis ( dari nilai terkecil ke nilai yang lebih besar atau

Selain itu, prinsip belajar adalah berbuat ( learning by doing ), prinsip ini mempunyai makna bahwa belajar bukan hanya sekedar mendengar, mencatat sambil duduk di bangku,