i
PENETAPAN KADAR PROTEIN PADA SUSU KEDELAI
BERMEREK DAN TIDAK BERMEREK DENGAN
METODE KJELDAHL
TUGAS AKHIR
Oleh:
FEBRI NANUR
NIM 122410013
PROGRAM STUDI DIPLOMA III
ANALIS FARMASI DAN MAKANAN
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ii
LEMBAR PENGESAHAN
PENETAPAN KADAR PROTEIN PADA SUSU KEDELAI
BERMEREK DAN TIDAK BERMEREK DENGAN
METODE KJELDAHL
TUGAS AKHIR
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Ahli Madya Pada Program Diploma III Analis Farmasi dan Makanan
Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
Oleh:
FEBRI NANUR NIM 122410013
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Pada dasarnya tugas ini merupakan salah satu persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Program Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Tugas akhir ini disusun berdasarkan apa yang penulis lakukan pada Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Balai Riset dan Standardisasi (Baristand) Industri Medan.
Selama menyusun tugas akhir ini, penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dan dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara dan Ibu Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt., selaku Wakil Dekan I Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt., selaku Ketua Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
iv
4. Bapak dan Ibu dosen staf pengajar Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara atas semua ilmu, didikan dan bimbingan kepada penulis selama di perguruan tinggi ini.
5. Staf administrasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah membantu kemudahan administrasi selama ini.
6. Bapak Alhamra, Kepala Laboratorium Makanan Minuman Hasil Pertanian dan Ibu Sri Chansnawati dan Bapak Handrian Syahputra Siregar selaku Pembimbing PKL di Laboratorium Makanan Minuman Hasil Pertanian, Baristand Industri Medan.
Penulis mengucapkan terimakasih terutama kepada kedua orang tua, ayah Alfi Sahri dan ibu Lily Efrida yang telah memberikan doa serta dukungan moral dan materil selama penulis menuntut pendidikan. Juga saudara kandung penulis, M. Era Pratama, M. Rizky Jogi Dontula, Viona Fili Anggita dan seluruh keluarga besar serta Kenji T Agrita yang selalu memberi semangat dalam meraih cita-cita.
Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat mambangun. Semoga tugas akhir ini berguna bagi pembaca secara umum dan penulis secara khusus. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, Juni 2015 Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan dan Manfaat ... 2
1.2.1 Tujuan ... 2
1.2.2 Manfaat ... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1 Kedelai ... 3
2.2 Susu Kedelai ... 3
2.2.1 Komposisi Gizi Susu Kedelai ... 4
2.2.2 Pembuatan Susu Kedelai ... 4
2.2.3 Persyaratan Mutu Susu Kedelai ... 6
2.2.4 Manfaat Susu Kedelai ... 7
2.3 Protein ... 7
2.3.1 Struktur Protein ... 8
vi
2.3.3 Fungsi Protein ... 9
2.4 Penetapan Kadar Protein ... 11
BAB III METODOLOGI PERCOBAAN ... 14
3.1 Tempat dan Waktu Percobaan ... 14
3.2 Alat-alat ... 14
3.3 Bahan-bahan ... 14
3.3.1 Sampel ... 14
3.3.2 Pembuatan Pereaksi ... 15
3.4 Prosedur Percobaan ... 15
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17
4.1 Hasil dan Pembahasan ... 17
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 20
5.1 Kesimpulan ... 20
5.2 Saran ... 20
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Identitas Sampel ... 23
Lampiran 2. Bagan Alir Prosedur Percobaan ... 24
Lampiran 3. Penetapan Kadar Protein ... 25
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Protein yang mudah dicerna oleh enzim-enzim pencernaan, serta mengandung asam-asam amino esensial yang lengkap serta dalam jumlah yang seimbang merupakan protein yang bernilai gizi tinggi. Nilai gizi protein dapat diartikan sebagai kemampuan suatu protein untuk dapat dimanfaatkan oleh tubuh sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein tubuh (Muchtadi, 2010).
Metode Kjeldahl merupakan metode yang sederhana untuk penetapan nitrogen total pada asam amino, protein dan senyawa yang mengandung nitrogen. Metode ini telah banyak mengalami modifikasi serta cocok digunakan secara semimikro, sebab hanya memerlukan jumlah sampel dan pereaksi yang sedikit dan waktu analisa yang pendek (Budiyanto, 2004).
2
Sesuai atau tidaknya kandungan protein yang terkandung pada susu kedelai yang beredar di Indonesia dilihat berdasarkan persyaratan yang ada pada Standard Nasional Indonesia (SNI) 01-3830-1995.
Berdasarkan hal diatas maka penulis tertarik untuk mengambil judul tugas akhir “Penetapan Kadar Protein Pada Susu Kedelai Bermerek dan Susu Kedelai Tidak Bermerek Dengan Metode Kjeldahl”.
1.2 Tujuan dan Manfaat
1.2.1 Tujuan
Untuk mengetahui kadar protein dalam susu kedelai bermerek dan susu kedelai tidak bermerek dengan metode Kjeldahl.
1.2.2 Manfaat
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kedelai
Menurut Adisarwanto (2005) pada tahun 1948 telah disepakati bahwa nama botani yang dapat diterima dalam istilah ilmiah, yaitu Glycine max (L.) Merill. Klasifikasi tanaman kedelai sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Rosales
Famili : Leguminosae Genus : Glycine
Spesies : Glycine max (L.) Merill
2.2 Susu Kedelai
Menurut SNI 01-3830-1995 susu kedelai adalah produk yang berasal dari ekstrak biji kacang kedelai dengan air atau larutan tepung kedelai dalam air, dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain yang diizinkan.
4
Sejak abad II sebelum Masehi, susu kedelai sudah dibuat di negeri Cina, kemudian teknologinya mengalir ke Jepang. Setelah perang dunia ke II, susu kedelai mulai dikenal di Asia Tenggara termasuk Indonesia, Filipina, Malaysia dan Singapura hingga saat ini susu kedelai mengalami perkembangan yang sangat pesat. Masyarakat Malaysia mengenal susu kedelai dengan nama Vitabean, pengembangannya telah dimulai sejak tahun 1952, sedangkan di Filipina susu kedelai populer dengan nama Philsoy (Hartoyo,2005).
2.2.1 Komposisi Gizi Susu Kedelai
Komposisi gizi susu kedelai, dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Komposisi Gizi Susu Kedelai (dalam 100 gr)
Komponen Jumlah
Kalori (Kkal) 41,00
Protein (gr) 3,50
Lemak (gr) 2,50
Karbohidrat (gr) 5,00
Kalsium (mg) 50,00
Sumber: Aman dan Harjono (1973)
2.2.2 Pembuatan Susu Kedelai
Menurut Hartoyo (2005) pembuatan susu kedelai sebagai berikut:
5
b. Didihkan rendaman kacang kedelai, setelah mendidih tiriskan dan bilas dengan air segar, pisahkan kulitnya untuk dibuang. Bau dan rasa langu dapat dihilangkan dengan cara mematikan enzim lipsigenase dengan suhu panas. Cara yang dapat dilakukan antara lain menggunakan air panas (suhu 80 - 100˚C) pada penggilingan kacang kedelai, atau merendam kacang kedelai dalam air panas selama 10 – 15 menit sebelum digiling.
c. Kacang kedelai digiling hingga menjadi bubur. Bubur yang diperoleh ditambah air mendidih sehingga jumlah air secara keseluruhan mencapai 10 kali lipat bobot kacang kedelai. Bubur encer disaring dengan kain kasa dan filtratnya merupakan susu kedelai mentah.
d. Untuk meningkatkan citarasa, ke dalam susu kedelai mentah ditambahkan gula pasir sebanyak 5 – 7% dan perasa seperti coklat, moka, pandan, stroberi secukupnya, kemudian dipanaskan sampai mendidih.
e. Setelah mendidih, api dikecilkan dan dibiarkan dalam api kecil selama 20 menit. Jaga jangan sampai susu pecah karena suhu kompor terlalu panas. f. Jika akan dibotolkan, seringkali susu kedelai menjadi tidak stabil. Timbul
endapan pada bagian dasar. Untuk mencegahnya bisa menambahkan tepung agar dengan jumlah 1%.
6
2.2.3 Persyaratan Mutu Susu Kedelai
Persyaratan mutu susu kedelai, dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Persyaratan Mutu Susu Kedelai
No Kriteria uji Satuan Persyaratan
Susu (milk) Minuman (drink) 1. Keadaan:
Sesuai dengan SNI 01-0222-1987 6.1 Pemanis buatan
6.2 Pewarna 9. Cemaran mikroba:
7
2.2.4 Manfaat Susu Kedelai
Susu kedelai bermanfaat bagi penderita intoleransi laktosa, yaitu seseorang yang tidak mempunyai enzim laktase dalam tubuhnya sehingga orang tersebut tidak dapat mencerna makanan yang berlemak. Banyaknya kejadian lain berupa diare akibat minum susu hewani yang disebabkan oleh berkurangnya aktivitas enzim laktase di dalam tubuh, maka dianjurkan untuk mengkonsumsi produk susu olahan bebas laktosa seperti susu kedelai dan susu kacang hijau. Fungsi laktase adalah untuk mencerna laktosa (gula susu) dan menguraikannya menjadi glukosa dan galaktosa (Hartoyo,2005).
2.3 Protein
Istilah protein berasal dari kata Yunani proteos, yang berarti yang utama atau yang didahulukan. Kata ini diperkenalkan oleh seorang ahli kimia Belanda Gerardus Mulder (1802 – 1880), karena ia berpendapat bahwa protein adalah zat yang paling penting pada setiap organisme (Almatsier, 2001).
Protein merupakan senyawa bermolekul besar dan kompleks yang tersusun dari unsur-unsur C, H, O, N, S dan dalam keadaan kompleks ada unsur P (Sudarmadji, 1989).
8
unsur utama protein, karena terdapat di dalam semua protein akan tetapi tidak terdapat di dalam karbohidrat dan lemak (Almatsier, 2001).
Asam amino terdiri atas atom karbon yang terikat pada satu gugus karboksil (-COOH), satu gugus amino (-NH2), satu atom hidrogen (-H) dan satu
gugus alkil (-R) atau rantai cabang (Almatsier, 2001).
Suatu peptida ialah suatu amida yang dibentuk dari dua asam amino atau lebih. Ikatan amida antara suatu gugus α-amino dari suatu asam amino dan gugus karboksil dari asam amino lain disebut ikatan peptida (Fessenden, 1982).
2.3.1 Struktur Protein
Menurut Girindra (1986) para ahli biokimia membagi makro molekul protein atas empat struktur dasar sebagai berikut:
a. Struktur Primer
Pada struktur primer ini ikatan antar asam amino hanya ikatan peptida. Disini tidak terdapat ikatan atau kekuatan lain yang menghubungkan asam amino yang satu dengan lainnya.
b. Struktur Sekunder
Istilah ini dipakai untuk struktur protein di mana rantai asam amino bukan hanya dihubungkan oleh ikatan peptida tetapi juga diperkuat oleh ikatan hidrogen, struktur sekunder protein adalah struktur dua dimensi dari protein.
c. Struktur Tersier
9
gugus R pada setiap asam amino yang membentuknya, dan distabilkan oleh ikatan hidrogen serta ikatan disulfida.
d. Struktur Kuarterner
Molekul protein ini terbentuk dari beberapa tersier dan biasa terdiri dari protomer yang sama atau protomer yang berlainan. Protein yang dibentuk oleh protomer yang sama disebut homogenus, jika terdiri dari protomer berlainan disebut heterogenus.
2.3.2 Sifat Karakteristik Protein
Denaturasi meliputi perubahan-perubahan kimia dalam molekul protein, perubahan-perubahan disebabkan karena protein peka terhadap panas, tekanan yang tinggi, alkohol, alkali, urea, kalium iodida, asam dan pereaksi-pereaksi tertentu lain. Baik denaturasi maupun pengendapan efek totalnya dikenal sebagai penggumpalan atau koagulasi (Sastrohamidjojo, 2009).
Protein sangat cenderung mengalami beberapa bentuk perubahan yang dinyatakan sebagai denaturasi. Denaturasi adalah terbukanya lipatan alamiah struktur protein, proses denaturasi mengubah bentuk dan lipatan tapi tidak merusak ikatan peptida yang terdapat antara asam amino dalam struktur primer (Martoharsono, 1988).
2.3.3 Fungsi Protein
10
Menurut Budiyanto (2002) protein mempunyai berbagai macam fungsi lain bagi tubuh, yaitu:
a. Sebagai enzim
Hampir semua reaksi biologis dipercepat atau dibantu oleh suatu senyawa makro molekul spesifik, dari reaksi yang sangat sederhana seperti reaksi transportasi karbondioksida sampai yang sangat rumit seperti replikasi kromosom.
b. Alat pengangkut dan alat penyimpan
Banyak molekul dengan berat molekul kecil serta beberapa ion dapat diangkut atau dipindahkan oleh protein-protein tertentu. Hemoglobin mengangkut oksigen dalam eritrosit, sedang mioglobin mengangkut oksigen dalam otot. c. Pengatur pergerakan
Protein merupakan komponen utama daging, gerakan otot terjadi karena adanya dua molekul protein yang berperan yaitu aktin dan miosin. Pergerakan flagella sperma disebabkan oleh protein flagelin.
d. Penunjang mekanis
Kekuatan dan daya tahan robek kulit dan tulang disebabkan adanya kolagen, suatu protein berbentuk bulat panjang dan mudah membentuk serabut.
e. Pertahanan tubuh
11 f. Media perambatan implus syaraf
Protein yang mempunyai fungsi ini biasanya berbentuk reseptor misalnya rodopsin, suatu protein yang bertindak sebagai reseptor/ penerima warna atau cahaya pada sel-sel mata.
2.4 Penetapan Kadar Protein
1. Metode Kjeldahl
Menurut SNI 01-2891-1992 prinsip penetapan kadar protein adalah senyawa nitrogen diubah menjadi amonium sulfat oleh asam sulfat pekat, amonium sulfat yang terbentuk diuraikan dengan natrium hidroksida, ammonia yang di bebaskan diikat dengan asam borat dan kemudian dititar dengan larutan baku asam.
Metode Kjeldahl digunakan untuk menganalisis kadar protein kasar dalam bahan makanan secara tidak langsung, karena yang dianalisis dengan cara ini adalah kadar nitrogennya. Dengan mengalikan hasil analisis tersebut dengan angka konversi 6,25 diperoleh nilai protein dalam bahan makanan itu. Angka 6,25 berasal dari angka konversi serum albumin yang biasanya mengandung 16% nitrogen (Budiyanto, 2004).
Analisa dengan metode Kjeldahl pada dasarnya dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap destruksi, tahap destilasi dan tahap titrasi. Pada tahap destruksi sampel dipanaskan dalam asam sulfat pekat sehingga akan terurai. Unsur karbon, hidrogen teroksidasi menjadi CO, CO2, dan H2O. Sedangkan nitrogennya akan
12
ditambahkan katalis seperti selenium. Tahap destruksi sudah selesai apabila
larutan menjadi jernih atau tidak berwarna. Pada tahap destilasi, ammonium sulfat dipecah menjadi ammonia dengan penambahan natrium hidroksida sampai alkalis dan dipanaskan. Ammonia yang dibebaskan akan ditangkap oleh larutan asam standar, seperti asam borat 4%. Destilasi diakhiri bila semua ammonia terdestilasi sempurna dengan ditandai destilat tidak bereaksi. Pada tahap titrasi apabila penampung destilat asam borat berlebih, maka asam borat yang bereaksi dengan ammonia dapat diketahui dengan titrasi menggunakan asam klorida 0,1 N dengan indikator campuran metil red dan bromocresol green, selisih jumlah titrasi sampel dan blanko merupakan jumlah ekuivalen nitrogen (Sudarmadji, 1989). 2. Metode Spektrofotometer UV
Kebanyakan protein mengabsorbsi sinar ultraviolet maksimum pada 280 nm. Hal ini terutama oleh adanya asam amino tirosin, triptofan dan fenilalanin yang ada pada protein tersebut. Pengukuran protein berdasarkan absorbsi sinar UV adalah cepat, mudah dan tidak merusak bahan (Sudarmadji, 1989).
3. Metode Lowry
Konsentrasi protein diukur berdasarkan optikal densiti pada panjang gelombang 600 nm. Untuk mengetahui banyaknya protein dalam larutan, lebih dahulu dibuat kurva standar yang melukiskan hubungan antara konsentrasi dengan OD (absorbansi). Larutan lowry ada dua macam yaitu larutan A yang terdiri dari fosfotungstat-fosfomolibdat (1:1) dan larutan B yang terdiri dari Na2CO3 2%
dalam NaOH 0,1 N, CuSO4 dan Na-K-tartrat 2%. Cara penentuannya: 1 ml larutan
13
Kemudian ditambah 0,5 ml lowry A dikocok dan dibiarkan 20 menit, selanjutnya diamati OD-nya pada panjang gelombang 600 nm (Sudarmadji, 1989).
4. Metode Biuret
Larutan protein dibuat alkalis dengan NaOH kemudian ditambahkan larutan CuSO4 encer. Uji ini menunjukkan adanya senyawa-senyawa yang
mengandung gugus amida (-CONH2) yang berada bersama gugus amida asam
14
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Tempat dan Waktu Percobaan
Percobaan ini dilaksanakan di Laboratorium Makanan Minuman Hasil Pertanian Balai Riset dan Standardisasi (Baristand) Industri Medan yang berada di Jl. Sisingamangaraja No. 24 Medan pada tanggal 02 – 27 Februari 2015.
3.2 Alat-alat
Alat-alat yang digunakan alat penyulingan dan kelengkapannya, batang pengaduk, beaker glass, botol semprot, buret, corong, erlenmeyer, klem, labu Kjeldhal 100 ml, labu ukur 100 ml, neraca analitik, pipet tetes, pipet volum, spatula dan statif.
3.3 Bahan-bahan
Bahan-bahan yang digunakan H3BO3 4%, HCl 0,01 N, H2SO4(p),
indikator campuran metil red dan bromocresol green, NaOH 30%, SeO2 dan
akuades.
3.3.1 Sampel
15
diperoleh dari swalayan Jl. H.M Joni Medan dan industri rumah tangga Jl. A.R Hakim Medan.
3.3.2 Pembuatan Pereaksi
Pembuatan pereaksi asam borat, H3BO3 4%: Dilarutkan 40 g H3BO3 dengan
air suling menjadi 1000 ml dan tambahkan 3 ml larutan indikator campuran metil red dan bromocresol green, aduk (larutan akan berwarna kuning terang) dan dipindahkan kedalam botol gelas bertutup (SNI 2973-2011).
Pembuatan pereaksi asam klorida, HCl 0,01 N: Ditimbang 0,3647 g HCl(p), kemudian larutkan dalam 1000 ml air (Ditjen POM, 1979).
Pembuatan indikator campuran metil red dan bromocresol green: Disiapkan larutan bromocresol green 0,1% dan metil red 0,1% dalam alkohol 95% secara terpisah. Campur 10 ml bromocresol green dengan 2 ml metil red (SNI 01-2891-1992).
Pembuatan pereaksi natrium hidroksida, NaOH 30%: Dilarutkan 150 g kristal NaOH ke dalam 350 ml air suling, simpan dalam botol bertutup karet (SNI 01-2891-1992).
Pembuatan pereaksi SeO2: Dicampuran 4 g serbuk SeO2, 150 g K2SO4 atau
Na2SO4 dan 30 g CuSO4. H2O (SNI 01-2891-1992).
3.4 Prosedur Percobaan
Timbang seksama 1 g susu kedelai (bermerek dan tidak bermerek), masukkan ke dalam labu kjeldahl 100 ml. Tambahkan 1 g SeO2 dan 25 ml
16
mendidih dan larutan menjadi jernih kehijau-hijauan (sekitar 2 jam). Biarkan dingin, kemudian encerkan dan masukkan ke dalam labu ukur 100 ml, tepatkan sampai tanda garis. Pipet 25 ml larutan dan masukkan kedalam alat penyuling, tambahkan 50 ml NaOH 30%. Sulingkan selama lebih kurang 10 menit, sebagai penampung gunakan 25 ml H3BO3 4% dan 1 tetes indikator campuran metil red
dan bromocresol green. Bilasi ujung pendingin dengan air suling. Titrasi dengan larutan HCl 0,01 N. Kerjakan penetapan blanko (SNI 01-2891-1992).
Perhitungan:
Kadar protein = x 100%
Dimana :
W = bobot sampel
V1 = volume HCl yang dipergunakan untuk penitaran sampel
V2 = volume HCL yang dipergunakan untuk penitaran blanko
N = normalitas HCl
17
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil dan Pembahasan
Sampel yang digunakan untuk uji organoleptis dan kadar protein yaitu susu kedelai bermerek dan susu kedelai tidak bermerek yang masing-masing dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.
Gambar 1. Sampel susu kedelai Gambar 2. Sampel susu kedelai bermerek tidak bermerek
Hasil organoleptis pada susu kedelai bermerek dan susu kedelai tidak bermerek, dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Uji organoleptis pada susu kedelai bermerek dan susu kedelai tidak bermerek
No. Keadaan Susu kedelai bermerek Susu kedelai tidak bermerek
1. Bau normal Normal
2. Rasa normal Normal
18
Berdasarkan Table 4.1 diatas, dapat dilihat hasil uji organoleptis pada susu kedelai bermerek dan susu kedelai tidak bermerek seperti bau, tidak terdapat aroma yang tidak enak maka dinyatakan normal, rasa sesuai dengan rasa susu maka dinyatakan normal dan warna sesuai dengan warna susu pada umumnya maka dinyatakan normal.
Susu kedelai syaratnya bebas dari bau dan rasa langu kedelai serta mempunyai kestabilan yang mantap, tidak mengendap atau menggumpal (Hartoyo, 2005).
Hasil penetapan kadar protein yang dilakukan pada sampel susu kedelai bermerek dan susu kedelai tidak bermerek, dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Penetapan kadar protein pada susu kedelai bermerek dan susu kedelai tidak bermerek
No Sampel Kadar Protein (%) Persyaratan
1 Susu kedelai bermerek
2,02 SNI 01-3830-1995 min 2,00% 2 Susu kedelai
tidak bermerek
1,47 SNI 01-3830-1995 min 2,00%
Berdasarkan Tabel 4.2 diatas, dapat dilihat kadar protein susu kedelai bermerek dan susu kedelai tidak bermerek masing-masing sebesar 2,02% dan 1,47%. Hal ini menunjukkan susu kedelai bermerek memenuhi persyaratan dan susu kedelai tidak bermerek tidak memenuhi persyaratan SNI 01-3830-1995.
19
33,92%. Hal lain yang juga mempengaruhi kadar protein yaitu kualitas biji kacang kedelai yang baru dipanen, cukup umur, utuh dan harus bebas dari segala macam kotoran (Sarwono dan Pieter, 2001).
Pembuatan susu kedelai juga sangat berpengaruh, semakin banyak jumlah air yang digunakan untuk mengencerkan susu kedelai maka akan semakin sedikit kadar protein yang diperoleh. Kadar protein dalam susu kedelai yang dibuat dengan perbandingan kacang kedelai dan air 1 : 8, 1 : 10 dan 1 : 15 berturut-turut adalah 3,6%, 3,2% dan 2,4% (Hartoyo, 2005). Dari hasil penelitian kadar protein dalam susu kedelai bermerek sebesar 2,02%, hal ini menunjukkan bahwa penggunaan perbandingan kacang kedelai dan air 1 : 15 didapat kadar protein sebesar 2,4%. Hal berbeda terdapat pada susu kedelai tidak bermerek dengan kadar protein 1,47%, hal ini menunjukkan perbandingan kacang kedelai dan air dalam pembuatan susu kedelai lebih banyak.
Berdasarkan hal diatas susu kedelai bermerek menggunakan bahan baku dan proses pembuatan yang lebih baik dari pada susu kedelai tidak bermerek.
20
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Penetapan kadar protein dalam susu kedelai bermerek memenuhi persyaratan yaitu 2,02%, sedangkan kadar protein susu kedelai tidak bermerek tidak memenuhi persyaratan yaitu 1,47%.
5.2 Saran
21
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto, T. (2005). Kedelai. Jakarta: Penebar Swadaya.
Almatsier, S. (2001). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum.
Aman dan Harjono. (1973). Perbaikan Mutu Susu Kedelai di dalam Botol. Bandung: Departemen Perindustrian Bogor.
Antarlina, S. S dan Erliana, G. (2002). Pengaruh Varietas dan Cara Pengolahan terhadap Mutu Susu Kedelai. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 21(2).
Badan Standarisasi Nasional. Cara Uji Makanan Dan Minuman. SNI 01-2891-1992. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional.
Badan Standarisasi Nasional. Susu Kedelai. SNI 01-3830-1995. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional.
Badan Standarisasi Nasional. Biskuit. SNI 2973-2011. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional.
Budiyanto, A. K. (2004). Dasar-dasar Ilmu Gizi. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Fessenden, J. S., dan Fessenden, R. J. (1982). Kimia Organik. Jilid II. Jakarta: Erlangga.
Girindra, A. (1986). Biokimia I. Jakarta: PT. Gramedia.
Hartoyo, Totok. (2005). Susu Kedelai dan Aplikasi Olahannya. Surabaya: Trubus Agrisarana.
Martoharsono, S. (1988). Biokimia. Jilid I. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Halaman 45.
Muchtadi, (2010). Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Bandung: Penerbit Alfabeta.
22
Sastrohamidjojo, H. (2009). Kimia Organik. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Sudarmadji, S., Haryono, B., dan Suhardi. (1989). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
23
LAMPIRAN
Lampiran 1. Identitas Sampel
Nama sampel : Naraya Soya botol
Komposisi : Air, Ekstrak kedelai (13,50%), Gula
No. Reg : ML 266609479060
No. Batch : 8997002050411 Kode Produksi : 100315
Tgl. Kadaluarsa : 09 Maret 2016 Isi bersih : 320 ml
24
Lampiran 2. Bagan Alir Prosedur Percobaan
Ditimbang 1 g sampel (susu kedelai bermerek dan susu kedelai tidak bermerek)
Dimasukkan kedalam labu Kjeldahl 100 ml Ditambahkan 1 g SeO2 dan 25 ml H2SO4(p)
Dipanaskan diatas pemanas listrik atau api pembakaran sampai larutan jernih selama 2 jam Dibiarkan sampai dingin
Diencerkan dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, tepatkan sampai tanda garis
Dipipet 25 ml larutan sampel dan dimasukkan ke dalam alat penyuling
Ditambahkan 50 ml NaOH 30%
Ditambahkan 25 ml H3BO3 4% dan beberapa tetes
indikator campuran metil red dan bromocresol green Disuling selama kurang lebih 10 menit
25
Lampiran 3. Penetapan Kadar Protein
Kadar protein = x 100%
Dimana :
W = bobot sampel
V1 = volume HCl yang dipergunakan untuk penitaran sampel
V2 = volume HCL yang dipergunakan untuk penitaran blanko
N = normalitas HCl
FK = faktor konversi untuk protein dari makanan secara umum: 6,25 FP = faktor pengenceran
Contoh Perhitungan: Sampel susu kedelai bermerek
26
Lampiran 4: Gambar Proses Penetapan Kadar Protein
Gambar 1. Proses destruksi Gambar 2. Proses destilasi