HASIL DAN PEMBAHASAN
C.1 Kadar Protein Metode Kjeldahl
C.1.1 Pertanyaan
1. Mengapa faktor konversi pada penetapan kadar protein berbeda-beda tergantung jenis sampel?
Faktor konversi pada penetapan kadar protein berbeda-beda tergantung jenis sampel. Hal ini dikarenakan tergantung pada presentase nitrogen yang menyusun protein dalam bahan pangan. Dimana kandungan protein bervariasi, sehingga jumlah atom kandungan (N) dan asam lambung dengan berat molekul asam amino yang bervariasi. Secara umum rata-rata kandungan pektin sebesar 16% dalam protein murni dimana FK menjadi 6,25. FK= 6,25 digunakan untuk sampel yang belum diketahui komposisinya. Oleh karena itu, untuk menghitung faktor konversi digunakan 100/N tiap sampel (Plaza et al, 2013).
2. Mengapa destruksi dihentikan ketika cairan sudah jernih?
Destruksi dihentikan ketika cairan sudah jernih karena sebagai pertanda bahwa nitrogen dalam protein sampel sudah tidak terikat. Unsur nitrogen nantinya akan terikat dengan asam sulfat membentuk amonium sulfat. Ketika cairan sudah jernih, maka senyawa organik seperti C, H, O telah teroksidasi.
Terbentuknya cairan yang telah jernih pada proses destruksi menandakan telah sesuai (Diniz et al, 2013).
3. Apa fungsi K2S2O4 dan HgO pada proses destruksi?
Fungsi K2S2O4 dan HgO berfungsi sebagai katalisator reaksi dimana dapat mempercepat reaksi oksidasi karena memiliki titik leleh yang tinggi sehingga dapat menaikkan titik didih asam sulfat agar H2SO4 tidak mudah menguap.
Sehingga proses destruksi akan berjalan lebih cepat. Proses penambahan zat ini bertujuan untuk mempercepat proses destruksi dimana agar reaksi berlangsung secara sempurna sehingga seluruh karbon dan hidrogen teroksidasi lalu nitrogen dapat diubah menjadi amonium sulfat (Diniz et al, 2013).
4. Senyawa apa yang dipisahkan pada proses destilasi?
Senyawa yang dipisahkan pada proses destilasi yaitu Amonia (NH3) akan dipisahkan dengan NaOH. Sehingga ammmonium sulfat akan dipisah menjadi
ammonia. Ammonia tersebut akan bebas kemudian ditangkap oleh larutan HCl.
Jika destilasi berjalan dengan sempurna, maka ditandai dengan tidak bersifat basa (Diniz et al, 2013).
5. Bagaimana kondisi yang diperlukan agar amonia menguap sempurna?
Agar amonia menguap sempurna diperlukan kodisi suasa basa. Dimana dalam tahapannya ditambah dengan NaOH. Penambahan yang berlebih berfungsi untuk meberikan suasana basa dan untuk melepaskan ikatan ammonium sulfat dimana unsur nitrogen dapat dilepaskan sehingga dapat terbentuk gas amonia. Selain suasana basa juga suhu tinggi (Purwasih, 2017).
6. Apa perbedaannya jika hasil destilasi ditampung dalam larutan HCl dengan jika ditampung dalam larutan asam borat?
Jika ditampung dengan HCl maka penambahan harus berlebih dan sisa HCl nantinya akan dititrasi menggunakan basa kuat (NaOH). Jika ditampung dengan asam borat, maka titrasi menggunakan HCl. Reaksinya akhir titrasi dalam literatur Burtiz et al (2012) yaitu:
NH4H2BO3 + 3 HCl --- 3NH4Cl +H3BO3 (asam borat) Apabila penampungya asam borat maka:
NH3 + H3BO3 --- NH4 + H2BO3- (ion borat) Apabila penampungya HCl maka:
2NH3 + 2HCl (berlebihan)--- 2NH4Cl+ HCl (sisa) (Burtiz et al, 2012).
7. Faktor apa yang menentukan faktor konversi suatu bahan pangan? Berapa faktor konversi jika kadar N dalam protein adalah 15%?
Yaitu jenis sampel, dimana tiap sampel memiliki kadar nitrogen yang berbeda- beda. selain itu kandungan protein dan kadar N juga menjadi faktor konversi bahan
FK = = % % = 6,67 (Plaza et al, 2013).
C.1.2 Hasil Percobaan
Data Hasil Kadar Protein Metode Kjeldahl
No Nama sampel
Berat sampel (g)
Volume awal (ml)
Volume akhir (ml)
Volume titer (ml)
Kadar nitrogen (%)
Kadar protein (%)
FK
1. Blanko 1,0305 10 9,15 0,85 - - -
2. Ikan 1,0082 40 25 15 1,97 12,29 6,25
3. Kedelai 1,0042 50 17,2 32,8 4,46 25,63 5,75 4. Tempe 1,0040 70 48,1 21,9 2,94 16,89 5,75
5. Susu
UHT 1,013 30 27,9 2,1 0,17 1,10 6,38
6. Yoghurt 1,013 20 18,3 1,7 0,12 0,75 6,38
Perhitungan:
%N = , ( ( ) ) x 100%
%protein = %N x faktor konversi
1. %N Ikan = , , × , × ( × , ) × 100% = 1,97%
% Protein Ikan = 1,97 X 6,25 = 12,29%
2. %N Kedelai = , × , × (, × , , ) × 100% = 4,46%
% Protein Kedelai = 4,46% X 5,75 = 25,63%
3. %N Tempe = , × , × (, × , , ) × 100% = 2,94%
% Protein Kedelai = 2,94% X 5,75 = 16,89%
4. %N Susu UHT = , × , × ( , , )
, × × 100% = 0,17%
% Protein Susu UHT = 0,17% X 6,38 = 1,10%
5. %N Yogurt = , × , × ( , , )
, × × 100% = 0,12%
% Protein Yogurt = 0,12% X 6,38 = 0,75%
C.1.3 PEMBAHASAN
Prinsip dari metode kjeldahl ini yaitu mengukur jumlah N Total melalui metode destruksi, destilasi, dan titrasi. Kadar nitrogen (% N) yang telah didapat kemudian dikalikan dengan faktor konversi sehingga akan menghasilkan nilai presentase kadar proteinnya. Dalam metode ini dapat diukur meggunakan rumus
%N = 14,008 x N HCl x Vtitrasisampel-Vtitrasiblanko
berat sampel (gram) x 1000 . Dan untuk %protein = %N x faktor konversi (Burtiz et al, 2012).
Proses dalam metode ini dibagi menjadi 3 tahan. Pada tahap pertama yaitu destruksi, dimana terjadi pelepasan unsur N dari protein yang akan terurai menjadi amonium sulfat (NH4)2SO4 dengan cara sampel dip[anaskan dalam larutan asam sulfat pekat. Sehingga sampel terdestruksi menjadi unsur C, H, O, N, S, P.
Dimana unsur karbon (C) dan hidrogen (H) akan teroksidasi menjadi karbon monoksida(CO), karbondioksida (CO2), dan air (H2O), sedangkan unsur N akan terurai menjadi amonium sulfat yang kemudian digunakan untuk menganalisis kadar protein pada sampel. Hasil akhir dari proses ini ditandai dengan larutan berwarna jernih atau bening. Reaksinya yaitu
Cu2SO4 + 2H2SO4 --- 2 CuSO4 + 2H2O + SO2
Protein/ (CHON) + O2 + H2SO4 --- CO2 + H2O + (NH4)2SO4 (Saalera, 2011).
Pada tahap yang kedua yaitu distilasi, dimana terjadi perubahan amonium sulfat menjadi amonia yang menghasilkan uap amonia dan air akan ditangkap larutan asam standar berlebih seperti larutan asam borat sehingga akan membentuk senyawa (NH4)3BO3 (Amonium tetraborat).. Sedangkan, sisa asam yang tidak bereaksi akan dititrasi npada tahap selanjutnya ehingga jumlah amoniak N protein dapat diketahui. Pada metode ini dapat ditambahkan juga reagen NaOH agar terbentuk suasana basa dan reaksi pada proses destilasi dapat berlangsung. Reaksinya sebagai berikut:
(NH4)2SO4 + 2NaOH --- Na2SO4 + 2 NH4OH 2 NH4OH --- 2 NH3 + 2H2O
4NH3 + 2H3BO3 --- 2(NH4)3BO3 + H2
(Saalera, 2011).
Pada tahap ketiga yaitu titrasi, dimana untuk mengetahui banyaknya asam borat yang bereaksi dengan amonia. Caranya dengan menitrasi sisa asam boraks yang tidak bereaksi dengan amoniak. Dengan menggunakan titran yaitu
HCl dan hasil akhir titrasi ditandai dengan larutan berwarna biru. Reaksinya yaitu:
NH4H2BO3 + 3 HCl --- 3NH4Cl +H3BO3 (asam borat) Apabila penampungya asam borat maka:
NH3 + H3BO3 --- NH4 + H2BO3-
(ion borat) Apabila penampungya HCl maka:
2NH3 + 2HCl (berlebihan)--- 2NH4Cl+ HCl (sisa) (Saalera, 2011).
Berdasarkan hasil praktikum, pada sampel ikan memiliki berat sampel sebesar 1,0082 g, volume awal sebesar 40ml, volume akhir sebesar 25ml, volume titer sebesar 15ml, kadar nitrogen dari perhitungan %N =
14,008 x N HCl x Vtitrasisampel-Vtitrasiblanko
berat sampel (gram) x 1000 x 100% sebesar 1,97%, kadar protein dari perhitungan %protein = %N x faktor konversi sebesar 12,29% dengan fk sebesar 6,25. Berdasarkan literatur Syafruddin dkk, (2016), kadar protein pada ikan maksimal sebesar 13% - 14%. Kadar protein rata-rata pada ikan lele varietas local 13,77% sedangkan kadar protein rata-rata pada ikan lele varietas dumbo 14,33%
dimana hasil praktikum kurang dari batas maksimal yang disebabkan karena pada saat di lakukan pemanasan yang berlebihan akan menghasilkan ikan dengan kadar protein atau asam aminonya cenderung menurun atau rusak. Selain itu, dipengaruhi oleh waktu dimana apabila ikan disimpan selama beberapa jam kadar proteinnya akan menurun, karena terjadinya denaturasi secara perlahan sehingga kekuatan protein dalam mengikat air menjadi lebih rendah yang menyebabkan kadar air pada ikan nilai meningkat. Tinggi rendahnya nilai protein yang diukur dapat dipengaruhi oleh besarnya kandungan air yang hilang (dehidrasi) dari bahan. Selama penyimpanan mengakibatkan terjadinya dekomposisi senyawa kimia daging khususnya protein yang akan dipecah menjadi senyawa yang lebih sederhana (Ningrum dkk, 2019).
Pada sampel kedelai memiliki berat sampel sebesar 1,0042g, volume awal sebesar 50ml, volume akhir sebesar 17,2ml, volume titer sebesar 32,8ml, kadar nitrogen sebesar 4,46%, kadar protein sebesar 25,63% dengan fk sebesar 5,75.
Berdasarkan literatur, kadar protein pada kedelai maksimal sebesar 40% dimana hasil praktikum kurang dari batas maksimal disebabkan dari tahapan pengukuran maupun varietas sampel namun masih aman dikonsumsi. Protein kedelai memiliki
kandungan asam amino sulfur rendah. Pada kedelai terdapat asam amino sulfur berupa metionin, sistein, dan threonine dalam jumlah terbatas (Yuningsih, 2013).
Pada sampel tempe memiliki berat sampel sebesar 1,0040g, volume awal sebesar 70ml, volume akhir sebesar 48,1ml, volume titer sebesar 21,9ml, kadar nitrogen sebesar 2,94%, kadar protein sebesar 16,89% dengan fk sebesar 5,75.
Berdasarkan literatur, kadar protein tempe berkisar 21 - 23%. Hal ini tidak berbeda jauh dengan literatur. Namun adanya perbedaan ini dikarenakan perlakuan maupun varietas pada tempe (Astuti dan Syamsianah, 2014).
Pada sampel susu UHT memiliki berat sampel sebesar 1,013g, volume awal sebesar 30ml, volume akhir sebesar 27,9ml, volume titer sebesar 2,1 ml, kadar nitrogen sebesar 0,17%, kadar protein sebesar 1,10% dengan fk sebesar 6,38.
Menurut SNI (1998) dalam literatur, terdapat 2 parameter syarat mutu susu UHT tawar dan berperisa. Susu UHT tawar harus mengandung minimal 2,7 % protein (b/b). Sedangkan untuk jenis susu UHT berperisa, dipersyaratkan untuk mengandung minimal 2,4 % protein (b/b). Hasil ini tidak sesuai dengan literatur dikarenakan proses dalam metode kjedahl kurang maksimal (Wimala, 2011).
Pada sampel yoghurt memiliki berat sampel sebesar 1,013g, volume awal sebesar 20ml, volume akhir sebesar 18,3ml, volume titer sebesar 1,7ml, kadar nitrogen sebesar 0,12%, kadar protein sebesar 0,75% dengan 6,38fk. Menurut literatur, kandungan yogurt secara umum berkisar 4 – 6% tergantung lama fermentasi yang telah di lakukan. Sedangkan dalam hasil praktikum memiliki nilai yang berbeda jauh (Wijayanti, 2017).
Sehingga dapat disimpulkan jumlah kadar protein dari yang tertinggi hingga terendah yaitu pada sampel kedelai, tempe, ikan, susu UHT, dan yoghurt dengan nilai berturut-turut sebesar 25,63%, 16,89%, 12,29%, 1,10%, dan 0,75%.
Faktor yang mempengaruhi antara lain luas permukaan sampel dimana semakin besar luas permukaan maka semakin optimal proses destruksi, konsentrasi asam sulfat dimana semakin pekat asam sulfat maka makin optimal proses destruksi, suhu dimana makin tinggi suhu yang digunakan makin cepat proses destruksi, waktu dimana semakin lama waktu yang digunakan maka makin optimal proses destruksi dan distiliasi, dan peletakkan ujung pipa distilator di erlenmeyer dimana harus benar-benar tercelup ke erlenmeyer supaya bisa bereaksi optimal
C.1.4 KESIMPULAN
Prinsip dari metode kjeldahl ini yaitu mengukur jumlah N Total melalui metode destruksi, destilasi, dan titrasi. Kadar nitrogen (% N) yang telah didapat kemudian dikalikan dengan faktor konversi sehingga akan menghasilkan nilai presentase kadar proteinnya. Tujuan dari metode ini yaitu untuk memisahkan zat yang diinginkan yaitu amoniak dari akhir destilasi dan untuk mengetahui kerja kadar protein dengan metode Kjedahl. Berdasarkan hasil praktikum diperoleh jumlah kadar protein dari yang tertinggi hingga terendah yaitu pada sampel kedelai, tempe, ikan, susu UHT, dan yoghurt dengan nilai berturut-turut sebesar 25,63%, 16,89%, 12,29%, 1,10%, dan 0,75%. Faktor yang mempengaruhi antara lain luas permukaan sampel dimana semakin besar luas permukaan maka semakin optimal proses destruksi, konsentrasi asam sulfat dimana semakin pekat asam sulfat maka makin optimal proses destruksi, suhu dimana makin tinggi suhu yang digunakan makin cepat proses destruksi, waktu dimana semakin lama waktu yang digunakan maka makin optimal proses destruksi dan distiliasi, dan peletakkan ujung pipa distilator di erlenmeyer dimana harus benar-benar tercelup ke erlenmeyer supaya bisa bereaksi optimal
C.2 Kadar Protein Metode Biuret
C.2.1 Pertanyaan
1. Jenis protein apa yang terukur dengan metode Biuret?
Jenis protein yang terukur dengan metode Biuret yaitu protein larut air.
Dimana akan bereaksi dengan reagen biuret. Ikatan peptida terdapat pada sampel akan bereaksi dengan Cu2+ reagen biuret dalam suasana basa. Dimana hasilnya berwarna ungu. Metode ini tidak bisa mendeteksi nitrogen dan senyawa non peptida (Burtis et al, 2012).
2. Apa fungsi penambahan TCA pada analisis protein dengan metode Biuret?
Fungsi penambahan TCA pada analisis protein dengan metode Biuret untuk mengendapkan protein agar kita dapat mengukur proteinnya saja. Jadi yang diambil yaitu endapannya saja sedangkan supernatan akan dibuang. Jadi untuk mendapatkan endapan perlu penambahan TCA. Endapan nantinya akan dikeringkan dan dilarutkan lalu ditambahkan dengan reagen Biuret (Rosaini, 2015).
3. Apa fungsi inkubasi?
Fungsi inkubasi yaitu sebagai pemberian waktu agar reagen biuret dengan sampel dapat bereaksi sempurna. Sehinggga hasil sempurna tersebut akan membentuk kompleks warna ungu. Waktu yang diperlukan untuk menghasilkan kompleks warna ungu sebesar 30 menit (Rosaini, 2015).
4. Bagaimana reaksi yang terjadi pada pengujian protein metode Biuret?
Reaksi yang terjadi pada pengujian protein metode Biuret yaitu ikatan peptida dari sampel berikatan dengan Cu2+ reagen biuret dalam suasana basa sehingga terbentuk kompleks warna ungu. Jadi, ikatan peptida bereaksi dengan NaOH membentuk suasana alkalis lalu ditambahkan CuSO4 encer (Rosaini, 2015).
Reaksinya:
CuSO45H2O + 2 NaOH ---Cu(OH)2 + Na2SO4 + 5H2O Cu(OH)2 --- Cu2+ + 2OH- (Burtis et al, 2012)
C.2.2 Hasil Percobaan Kurva standar
Volume standar Absorbansi
0 0
0.1 0,019
0.2 0,04
0.4 0,07
0.6 0,118
0.8 0,187
1.0 0,311
y = 0,2859x – 0,0202 R2 = 0,9352
y = 0,2859x - 0,0202 R² = 0,9352
0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35
0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2
Absorbansi
Volume Standar
Kurva Standar BSA
Absorbansi
Linear (Absorbansi)
No Jenis
sampel Berat (g)
Volume akhir (ml)
Konsentrasi
sampel (x) Absorbansi
Kadar protein (%)
Faktor Pengenceran
1. Ikan 6,0386 4 0,5533 0,138 0,15 4
2. Susu
UHT 0,4082 4 3,2956 0,922 12,92 4
3. Yogurt 0,5089 4 5,8874 1,663 18,51 4
Perhitungan:
Fp = ( ) ( ) ( )
%P = ( ) ( ) x 100%
1. Ikan
y = 0,2859x – 0,0202 0,138 = 0,2859x – 0,0202 0,138 + 0,0202 = 0,2859x x = 0,5533
%P = × × ,, × × 100 = 0,15%
2. Susu UHT
y = 0,2859x – 0,0202 0,922 = 0,2859x – 0,0202 0,922 + 0,0202 = 0,2859x x = 3,2956
%P = × × ,, × × 100 = 12,92%
3. Yogurt
y = 0,2859x – 0,0202 1,663 = 0,2859x – 0,0202 1,663 + 0,0202 = 0,2859x x = 5,8874
%P = × × ,, × × 100 = 18,51%
C.2.3 PEMBAHASAN
Prinsip metode biuret untuk menentukan kadar protein terlarut dalam air dimana dalam kondisi basa terjadi reaksi antara ikatan peptida (-CO-NH-) dari protein dengan ion Cu2+ dari larutan CuSO4 membentuk kompleks warna ungu dengan penambahan. Kemudian diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm. Semakin banyak ikatan peptida, maka warna ungu akan semakin pekat (Burtis et al, 2012)..
Reaksinya:
(Saarela, 2011).
Berdasarkan hasil praktikum diketahui volume standar 0, 0.1, 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, 1.0 memiliki absorbansi masing-masing sebesar 0, 0,019, 0,04, 0,07, 0,118, 0,187 dan 0,311. Kemudian di hubungkan menghasilkan kurva persamaan y = 0,2859x – 0,0202, R2 = 0,9352. Dalam menghitung dapat menggunakan rumus Fp = ( ) ( ) ( )
%P = ( ) ( ) x 100%
(Burtis et al, 2012) Pada sampel ikan dengan faktor pengenceran 4 memiliki berat sebesar 6,0386 g, volume akhir 4 ml, konsentrasi sampel (x) 0,5533, absorbansi sebesar 0,138, diperoleh kadar protein dari perhitungan rumus sebesar 0,15 %.
Berdasarkan literatur Syafruddin dkk (2016), kadar protein pada ikan maksimal sebesar 13% - 14%. Hasil ini tidak sesuai dengan literatur dikarenakan ikan yang dianalisis masih berukuran besar dimana luas permukaan sampel kecil sehingga prosenya kurang optimal. Kemudian, waktu yang singkat dalam inkubasi sehingga waktu yang diberikan untuk bereaksi kurang baik. Selain itu, metode yang digunakan kurang sesuai untuk sampel padat karena pada metode biuret digunakan untuk sampel cair yang dengan protein terlarut (Ningrum dkk, 2019).
Pada sampel susu UHT dengan faktor pengenceran 4 memiliki berat 0,4082 g, volume akhir sebesar 4ml, konsentrasi sampel (x) sebesar 3,2956, absorbansi sebesar 0,922, dan kadar protein sebesar 12,92 %. Menurut SNI (1998) dalam literatur, terdapat 2 parameter syarat mutu susu UHT tawar dan berperisa.
Susu UHT tawar harus mengandung minimal 2,7 % protein (b/b). Sedangkan untuk jenis susu UHT berperisa, dipersyaratkan untuk mengandung minimal 2,4 % protein (b/b). Hasil ini tidak sesuai dengan literatur dikarenakan mungkin terjadi kesalahan dan dipengaruhi oleh faktor waktu inkubasi yang dilakukan singkat sehingga hanya sedikit watu yang diberikan untuk bereaksi sehingga kurang baik.
Namun jika dibandingkan dengan metode pengujian protein lainnya, metode biuret ini cocok untuk protein yang larut dalam air seperti susu UHT. Dengan menggunakan metode biuret ini maka akan lebih mendeteksi kandungan protein lewat ikatan peptida yang terbentuk dengan Cu2+. Selain itu terdapat sedikit senyawa penggangu yang memudahkan untuk menganalisis protein dengan menggunakan metode biuret jika dibandingkan dengan metode kjedahl. Selain itu, absorbansi yang dihasilkan dari metode biuret lebih tinggi dikarenakan sangat mudah menyerap cahaya. Sehingga susu ini cocok dengan metode ini karena cocok untuk sampel cair dengan protein terlarut (Wimala, 2011).
Pada sampel yogurt dengan faktor pengenceran 4 memiliki berat sebesar 0,5089g, volume akhir 4ml, konsentrasi sampel (x) sebesar 5,8874, absorbansi sebesar 1,663, dan kadar protein sebesar 18,51 %. Berdasarkan literatur, kandungan yogurt secara umum berkisar 4 – 6%. Dimana hasil ini tidak sesuai dan sangat berbeda jauh dengan literatur. Hal ini mungkin dikarenakan bergantung pada lama fermentasi yang dilakukan oleh bakteri asam laktat. Selain itu, dipengaruhi oleh faktor waktu inkubasi yang dilakukan singkat sehingga hanya sedikit watu yang diberikan untuk bereaksi sehingga kurang baik. Namun jika dibandingkan dengan metode pengujian protein lainnya, metode biuret ini cocok untuk protein yang larut dalam air seperti susu UHT. Dengan menggunakan metode biuret ini maka akan lebih mendeteksi kandungan protein lewat ikatan peptida yang terbentuk dengan Cu2+. Selain itu terdapat sedikit senyawa penggangu yang memudahkan untuk menganalisis protein dengan menggunakan metode biuret jika dibandingkan dengan metode kjedahl. Selain itu, absorbansi yang dihasilkan dari metode biuret lebih tinggi dikarenakan sangat mudah menyerap cahaya. Sehingga yogurt ini cocok dengan metode ini karena cocok untuk sampel cair dengan protein terlarut (Wijayanti, 2017).
C.2.4 KESIMPULAN
Tujuan dilakukan metode ini untuk memahami dan mengetahui prinsip analisis kadar protein serta mengukur kadar protein dalam sampel dengan menggunakan metode Biuret. Prinsip metode biuret untuk menentukan kadar protein terlarut dalam air dimana dalam kondisi basa terjadi reaksi antara ikatan peptida (-CO-NH-) dari protein dengan ion Cu2+ dari larutan CuSO4 membentuk kompleks warna ungu dengan penambahan. Kemudian diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm. Berdasarkan hasil praktikum, pada sampel ikan, susu UHT, dan yogurt memiliki kadar protein berturut-turut sebesar 0,15 %, 12,92 %, dan 18,51 %. Faktor-faktor yang mempengaruhi metode biuret adalah luas permukaan sampel dimana makin besar luas permukaan maka makin optimal proses, dan waktu inkubasi dimana semakin lama waktu inkubasi maka makin memberikan waktu untuk bereaksi semakin baik
C.3 Titrasi Formol C.3.1 Pertanyaan
1. Apa fungsi kalium oksalat jenuh?
Kalium oksalat jenuh berfungsi untuk menghidrolisis protein dengan merusak konformasi protein. Dimana setelah protein terhidrolisis, maka akan berikatan dengan formalin yang kemudian akan berikatan dengan gugus amina.
Lalu akan membentuk dimetiol (Kusuma, 2017).
2. Apa fungsi phenolphtalein 1%?
Phenolphtalein 1% berfungsi sebagai indikator warna dimana memberikan perubahan warna pada sampel saat dititrasi dengan NaOH. Selain itum juga dapat berfungsi menetralkan asam. Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna. Dimana menghasilkan warna merah muda (Kusuma, 2017).
3. Apa fungsi penambahan formaldehida?
Penambahan formaldehida berfungsi agar gugus ammin dapat diikat sehingga membentuk dimetilol. Lalu, gugus karboksil nantinya akan berikatan dengan NaOH (Basa kuat). Pembentukan dimetilol menandakan gugus amino terikat dan tidak berpengaruh reaksi antara asam dan basa (Salisbury, 2012).
4. Jelaskan fungsi dua kali titrasi pada pengujian protein metode formol!
Pada pengujian protein metode formol dilakukan proses titrasi sebanyak dua kali. Titrasi pertama berfungsi untuk menetralkan kalium oksalat dengan NaOH. Sedangkan titrasi yang kedua berfungsi mengetahui kadar N-amino pada ampel. Dimana akhir titrasi ini ditandai dengan adanya perubahan warna merah muda (Salisbury, 2012).
5. Bagaimana tingkat hidrolisis protein dapat ditunjukkan oleh titrasi formol?
Apakah semakin tinggi %N hasil titrasi formol, tingkat hidrolisis semakin tinggi? Jelaskan!
Jika terjadi peningkatan hidrolisis protein, maka kadar % Nitrogen (N) dalam sampel akan semakin tinggi pula. Ya, sehingga semakin tinggi %N hasil titrasi formol, tingkat hidrolisis semakin tinggi. Hal ini dikarenakan selama hidrolisis kadar nitrogen bebas juga akan meningkat (Salisbury, 2012).
C.3.2 Hasil Pembahasan
Data Hasil N-Amino
No Jenis sampel
Berat sampel (g)
Volume titrasi (ml)
% N-
Amino % Protein Faktor konversi
1. Ikan 3,0707 0,2 0,91 5,70 6,25
2. Kedelai 3,0094 0,6 2,79 16,06 5,75
3. Susu UHT 3,01 0,05 0,23 1,48 6,38
4. Yogurt 3,152 0,1 0,44 2,84 6,38
Perhitungan:
%N-amino = ( ) ( ) , 100 %
%P = %N-amino x FK
1. %N-amino Ikan = , × , × ,
, × × 100% = 0,91%
%P = 0,91% X 6,25 = 5,70%
2. %N-amino Kedelai = , × , × ,
, × × 100% = 2,79%
%P = 2,79% X 5,75 = 16,06%
3. %N-amino Susu UHT = , × , × , × , × 100% = 0,23%
%P = 0,23% X 6,38 = 1,48%
4. %N-amino Yogurt = , × , × ,
, × × 100% = 0,44%
%P = 0,44% X 6,38 = 2,84%
C.3.3 PEMBAHASAN
Prinsip metode titrasi formol yaitu pengukuran kadar protein dengan menggunakan titrasi asam basa antara sampel yang dinetralkan dengan basa NaOH. Kemudian penambahan formalin dimana akan berikatan dengan gugus amin dari protein membentuk dimethilol sehingga tidak mengganggu reaksi netralisasi antara gugus karboksil dengan NaOH. Titik akhir titrasi ditandai dengan warna merah muda permanen yang ditambah dengan indikator PP. Rumus perhitungannya dalam literatur Rachmania (2013) yaitu:
%N-amino = volume titrasi (ml)x N NaOH x 14,008
berat sampel (gr) x 10 x 100 %
%P = %N-amino x FK Reaksi formol yaitu:
(Rachmania, 2013).
Berdasarkan literatur diperoleh hasil kadar protein dari tertinggi hingga terendah yaitu pada sampel kedelai, ikan, yogurt, dan susu UHT sebesar 16,06 %, 5,70 %, 2,84 %, dan 1,48 %. Pada sampel ikan memiliki nilai berat sampel, volume titrasi, % n-amino, % protein, dan faktor konversi berturut turut sebesar 3,0707 g, 0,2 ml, 0,91 %, 5,70 %, dan 6,25. Berdasarkan literatur, kadar protein pada ikan maksimal sebesar 13% - 14%. Dimana hasil praktikum sangat berbeda jauh dengan literatur. Hal ini mungkin disebabkan proses titrasi yang kurang maksimal (Syafruddin dkk, 2016).
Pada sampel kedelai memiliki nilai berat sampel, volume titrasi, % n-amino,
% protein, dan faktor konversi berturut turut sebesar 3,0094 g, 0,6 ml, 2,79 %, 16,06 %, dan 5,75. Berdasarkan literatur, kadar protein pada kedelai maksimal sebesar 40% dimana sangat berbeda jauh dengan literatur. Hal ini dikarenakan proses titrasi yang kurang maksimal. Protein kedelai memiliki kandungan asam amino sulfur rendah. Pada kedelai terdapat asam amino sulfur berupa metionin, sistein, dan threonine dalam jumlah terbatas (Yuningsih, 2013).
Pada sampel susu UHT memiliki nilai berat sampel, volume titrasi, % n- amino, % protein, dan faktor konversi berturut turut sebesar 3,01 g, 0,05 ml, 0,23 %, 1,48 %, 6,38. Menurut SNI (1998) dalam literatur, terdapat 2 parameter syarat mutu susu UHT tawar dan berperisa. Susu UHT tawar harus mengandung minimal 2,7 % protein (b/b). Sedangkan untuk jenis susu UHT berperisa, dipersyaratkan untuk mengandung minimal 2,4 % protein (b/b). Hasil ini tidak sesuai dengan literatur dikarenakan proses titrasi yang kurang maksimal (Wimala, 2011).
Pada sampel yogurt memiliki nilai berat sampel, volume titrasi, % n-amino,
% protein, dan faktor konversi berturut turut sebesar 3,152 g, 0,1 ml, 0,44 %, 2,84 %, dan 6,38. Menurut literatur, kandungan yogurt secara umum berkisar 4 – 6% dimana tidak sesuai dengan literatur. Hal ini dikarenakan proses titrasi yang kurang maksimal. Namun, untuk produk yogurt ini telah cocok digunakan dalam metode titrasi formol karena cocok untuk sampel cair dengan protein terhidrolisis. Selain itu juga cocok untuk produk fermentasi (Wijayanti, 2017).
C.3.4 KESIMPULAN
Metode ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui prinsip kerja penentuan kadar N-Amino dengan titrasi formol. Prinsip metode titrasi formol yaitu pengukuran kadar protein dengan menggunakan titrasi asam basa antara sampel yang dinetralkan dengan basa NaOH. Kemudian penambahan formalin dimana akan berikatan dengan gugus amin dari protein membentuk dimethilol sehingga tidak mengganggu reaksi netralisasi antara gugus karboksil dengan NaOH. Titik akhir titrasi ditandai dengan warna merah muda permanen yang ditambah dengan indikator PP. Sehingga dapat disimpulkan sampel yang memiliki kadar protein dari tertinggi hingga terendah kedelai, ikan, yogurt, dan susu UHT sebesar 16,06 %, 5,70 %, 2,84 %, dan 1,48 %
D. PERBANDINGAN METODE
1. Jelaskan untuk setiap jenis sampel, mengapa terdapat perbedaan kadar protein antara metode Kjedahl dan Biuret!
Sampel
Kadar Protein (%)
Penjelasan Metode
Kjedahl
Metode Biuret
Ikan 12,29 0,15
Pada sampel ikan memiliki kadar protein yang lebih tinggi menggunakan metode kjedahl karena sampelnya padat dan protein larut air rendah. Selain itu, semua jenis protein dan non protein yang mengandung unsur N akan dianggap sebagai protein sehingga akan terukur dan menyebabkan nilainya lebih tinggi jika dibandingkan metode biuret (Ningrum dkk, 2019).
Kedelai 25,63 -
Tidak dapat dianalisis karena sampel kedelai pada metode biuret tidak dianalisis sehingga tidak didapatkan hasil (Saalera, 2011).
Tempe 16,89 -
Tidak dapat dianalisis karena sampel tempe pada metode biuret tidak dianalisis sehingga tidak didapatkan hasil (Saalera, 2011).
Susu UHT 1,10 12,92
Pada sampel susu UHT memiliki kadar protein yang lebih tinggi pada metode biuret dibandingkan Kjedahl karena sampel berupa cair dan proteinnya larut dalam air sehingga dapat lebih mendeteksi kandungan protein dari ikatan peptida yang terbentuk dengan Cu2+ (Rosaini, 2015).
Yogurt 0,75 18,51
Pada sampel susu UHT memiliki kadar protein yang lebih tinggi pada metode biuret dibandingkan Kjedahl karena sampel berupa cair dan proteinnya larut dalam air sehingga dapat lebih mendeteksi kandungan protein dari ikatan peptida yang terbentuk dengan Cu2+ (Wijayanti, 2017).
2. Dari metode analisis protein dan tingkat hidrolisis protein, metode mana () yang paling tepat digunakan untuk sampel berikut. Jelaskan alasannya
Sampel
Kadar Protein (%)
Penjelasan Metode
Kjedahl
Metode Biuret
Titrasi Formol
Ikan
Pada sampel ikan lebih cocok dengan metode Kjedahl karena sampel padat, semua unsur N akan dianggap sebagai protein sehingga akan menyumbangkan protein lebih banyak dan dan protein larut air rendah (Ningrum dkk, 2019).
Kedelai
Pada sampel kedelai lebih cocok dengan metode Kjedahl karena sampel padat dan semua unsur N akan dianggap sebagai protein sehingga akan menyumbangkan protein lebih banyak dan protein larut air rendah (Yuningsih, 2013).
Tempe
Pada sampel tempe lebih cocok dengan metode Kjedahl karena sampel padat dan semua unsur N akan dianggap sebagai protein sehingga akan menyumbangkan protein lebih banyak dan protein larut air rendah. Selain itu cocok dengan metode titrasi formol karena termasuk produk fermentasi dari kedelai (Astuti dan Syamsianah, 2014).
Susu
UHT
Pada sampel susu UHT lebih cocok dengan metode biuret karena sampel cair dengan protein larut air tinggi, dapat lebih mendeteksi kandungan protein dari ikatan peptida yang terbentuk dengan Cu2+, hanya ada sedikit senyawa penggangu sehingga memudahkan untuk menganalisis protein dan absorbansi yang dihasilkan dari metode biuret lebih tinggi dikarenakan sangat mudah menyerap cahaya (Rosaini, 2015).
Yogurt
Pada sampel yogurt lebih cocok dengan menggunakan metode biuret karena sampel cair dengan protein terlarut tinggi, dapat lebih mendeteksi kandungan protein dari ikatan peptida yang terbentuk dengan Cu2+, hanya ada sedikit senyawa penggangu sehingga memudahkan untuk menganalisis protein dan absorbansi yang dihasilkan dari metode biuret lebih tinggi dikarenakan sangat mudah menyerap cahaya. Selain itu, yogurt cocok dengan metode titrasi formol karena cocok untuk sampel cair dengan protein terhidrolisis dan produk fermentasi (Wijayanti, 2017).
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA TAMBAHAN
Astuti, Aminah dan Syamsianah. 2014. Komposisi zat gizi tempe yang difortifikasi zat besi dan vitamin A pada tempe mentah dan matang.
Jurnal Agritech, Vol. 34. No.2. Hal. 151-159.
Burtis, Carl et al. 2012. Tietz Textbook of Clinical Chemistry and Molecular Diagnostics. Boston: Elsevier Health Sciences
Diniz, G et al. 2013. Gross Chemical Profile and Calculation of Nitrogen to Protein Conversion Factors For Nine Species of Fishes from Coasts Waters of Brazil. Aquat Journal. Vol.41. No.2. Page: 254-264
Ningrum, Mei Ninda dkk. 2019. Analisa Kadar Protein Ikan Nila (Oreochromis Niloticus) yang Diawetkan Dengan Biji Picung Muda (Pangium edule Reinw). Jurnal Ilmiah Sains Alami (Known Nature). Vol. 2. No. 1. Hal. 37 – 43
Purwasih, Wiwik, 2017. Uji Kandungan Proksimat Ikan Glodok Boleophthalmus Boddarti Pada Kawasan Mangrove Di Pantai Ketapang Kota Probolinggo Sebagai Sumber Belajar Biologi. Skripsi. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang
Saarela, Maiva. 2011. Functional Foods Concept to Product. New Delhi:
Woodhead
Salisbury. 2012. Protein. Bandung: Institut Teknologi Bandung Press
Syafruddin dkk. 2016. Analisis Kadar Protein Pada Ikan Lele (Clarias batrachus) Yang Beredar Di Pasar Tradisional Di Kabupaten Gowa Dengan Menggunakan Metode Kjeldahl. Jurnal Farmasi. Vol.13. No.2 hal. 77-87 Wijayanti, Dwi. 2017. Studi Evaluasi Mutu Yoghurt Nabati Sari Kacang Hijau
(Vigna Radiata L.) Dengan Variasi Konsentrasi Sukrosa Dan Susu Skim. Skripsi. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang
Wimala, Widita Sukma. 2011. Studi Kasus Benchmarking Kompetitif Produk Susu UHT Regular Berperisa Berdasarkan Komposisi Dan Informasi Nilai Gizi Pada Label Pangan. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor
Yuningsih, Ni Nyoman. 2013. Pengaruh Formulasi Sukrosa Dan Sirup Glukosa Terhadap Sifat Kimia Dan Sensori Permen Susu Kedelai. Skripsi.
Lampung: Universitas Lampung.
SS LITERATUR TAMBAHAN
(Yuningsih, 2013).
(Syafruddin dkk, 2016).
(Ningrum dkk, 2019).
(Burtiz et al, 2012).
(Wijayanti, 2017)
(Wimala, 2011).