• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pesan Moral Dalam Dongeng Momotaro Karya Yei Theodora Ozaki

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Pesan Moral Dalam Dongeng Momotaro Karya Yei Theodora Ozaki"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PESAN MORAL DALAM DONGENG MOMOTARO KARYA YEI THEODORA OZAKI

YEI THEODORA OZAKI NO SAKUHIN NO “MOMOTARO” NI OKERU DOUTOKU MEIREI NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini Diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat

untuk Ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

OLEH:

REMINISERE U F SIMANJUNTAK 070708010

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus, Allah yang setia pada janji-janjiNya, yang atas cinta kasih dan kemurahanNya memberikan hikmad terlebih kesehatan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik sesuain dengan waktu yang direncanakan.

Skripsi ini berjudul “Pesan Moral Dalam Dongeng Momotaro Karya Yei Theodora Ozaki”, disusun untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar kesarjanaan Fakultas Ilmu Budaya Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penyelesaian studi dan juga penyelesaian skripsi ini, mulai dari pengajuan proposal penelitian, pelaksanaan, sampai penyusunan skripsi ini, antara lain kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu budaya Universitas Sumatera.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara, dan juga selaku Dosen Pembimbing II, yang telah banyak menyisihkan waktu, pikiran, dan masukan-masukan selama dalam penulisan skripsi ini.

(3)

4. Bapak Zulnaidi, S.S, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Akademik, seluruh staff pengajar Departemen Sastra Jepang, Pak Ali, Pak Amin, Pak Eman, Pak Erizal, Pak Hamzon, Pak Iio, Pak Nandi, Pak Narita, Pak Puji, Pak Yuddi, Pak Zulnaidi, Bu Adriana, Bu Hany, Bu Muhibah, Bu Murni, Bu Ozeki, Bu Rani, Bu Rospitauli, yang telah banyak memberikan kepada penulis ilmu sehinnga mendapatkan suatu ilmu baru. Mulai dari tahun pertama hingga akhirnya dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik. Semoga semua ilmu yang diberikan bermanfaat bagi banyak orang.

5. Dosen Penguji Ujian Seminar Proposal dan Penguji Ujian Skripsi, yang telah menyediakan waktu untuk membaca dan menguji skripsi ini.

(4)

Cleysialova, Agi, Andrew, Agneta, Agatha, Amanda, Agnes, dan Aurora, yang telah mendukung penulis dalam doa.

7. Kepada sahabat ku Ici, Iwed, Juli, Sylvia, Putri Duma, Anita Elizabeth, I 4 U (Rouli, Dian Lylis), Devi, Ery, teman-teman SMS (Solidaritas Mahasiswa Silindung), Trimakasih buat semua dukungan semangat dan doa-doanya. 8. Teman-teman seperjuanganku Kristin, Trya, Wika, Eka, Rani yang juga

saudara dalam suka dan duka selama dalam perkuliahan. Juga rekan-rekan mahasiswa Sastra Jepang 2007, Ade, Aji, Yuni, Ayu, dan yang lainya, sobatku Ganefo 18, Monica, d’Junet, dan Cempaka IV Helvetia (Ernest, Aven, Wale). Untuk k’Dianita, terimakasih buat dukungan semangat, masukan, dan doa-doanya kak..!!

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu (hontou ni arigatou gazaimasu!!!!)

Penulis telah berupaya semaksimal mungkin dalam penyelesaian skripsi ini, namun masih banyak kesalahan baik dari segi isi maupun tata bahasa, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.

Medan, 14 Juni 2011 Penulis,

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI iv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 8

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 9

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 16

1.6 Metode Penelitian ... 17

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KONSEP MORAL DONGENG KLASIK JEPANG 2.1 Defenisi Moral ... 18

2.2 Prinsip-Prinsip Dasar Moral ... 19

2.3 Sikap-Sikap Kepribadian Moral ... 22

2.4 Prinsip Etika Moral Bushido ... 26

2.5 Dongeng Klasik Jepang ... 32

2.6 Setting Cerita Momotaro ... 34

2.7 Biografi Pengarang ... 39

BAB III ANALISIS PESAN MORAL DALAM DONGENG MOMOTARO 3.1 Sinopsis Cerita Momotaro ... 41

3.2 Analisis Cerita Momotaro 3.2.1 Moral Kejujuran ... 46

3.2.2 Moral Keberanian ... 48

3.2.3 Moral Kebajikan/ Kemurahan Hati ... 50

3.2.4 Moral Kesopanan/ Hormat ... 52

3.2.5 Moral Keadilan/ Kesungguhan ... 53

3.2.6 Moral Kehormatan ... 54

(6)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan ... 57 4.2 Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA vi

(7)

ABSTRAK

ANALISIS PESAN MORAL DALAM DONGENG MOMOTARO KARYA YEI THEODORA OZAKI

Sastra adalah ekspresi diri kehidupan dengan media bahasa yang khas. Sastra merupakan tulisan bernilai seni mengenai suatu objek, khususnya kehidupan manusia dalam suatu negeri pada suatu masa. Suatu karya sastra selain mengandung unsur hiburan, juga mengandung unsur pendidikan dan pengajaran. Sebuah karya sastra fiksi ditulis oleh pengarang anatara lain untuk menawarkan model kehidupan yang diidealkan. Karya sastra dibedakan atas puisi, drama, dan prosa. Prosa merupakan jenis karya sastra bersifat paparan. Salah satu jenis prosa adalah dongeng.

Dongeng merupakan suatu kisah yang diangkat dari pemikiran fiktif dan kisah nyata, menjadi suatu alur perjalanan hidup dengan pesan moral yang mengandung makna hidup dan cara berinteraksi dengan mahluk lainnya. Bagi manusia, dongeng berfungsi sebagai hiburan, kepercayaan yang bersifat didaktik (pengajaran moral dan nasehat bagi kehidupan) yang dapat dijadikan sebagai falsafah hidup dan sumber pengetahuan. Dongeng tentunya mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku para tokoh sesuai dengan pandangannya tentang moral. Dari segi moral, sastra bisa dipelajari dan ditelaah dengan menggunakan teori moral.

(8)

moral Bushido. Moral ini bersumber dari suatu kepercayaan dengan sentuhan Shinto, Zen Budhisim, dan ajaran Konfisius.

Moral Bushido, sebagai moral yang disanjung tinggi oleh masyarakat Jepang terdiri dari 7 unsur etika moral yaitu, kejujuran, keberanian, kebajikan, kesopanan, keadilan, kehormatan, dan kesetiaan.

Kejujuran, yaitu kekuatan pasti pada setiap langkah tanpa keragu-raguan. Membuat keputusan yang benar dengan alasan yang tepat, yaitu Momotaro tidak menerima ketika mendengar bahwa negerinya telah sering disusahkan oleh sekawana setan, merampok apa saja yang mereka temukan. Oleh sebab itu, ia membuat keputusan untuk menyerang para setan itu dan niat itu pun ia sampaiakan secara jujur kepada kedua orangtuanya.

Keberanian, yaitu kemampuan untuk mengatasi setiap keadaan dengan kenyakinan yang pasti, yaitu Momotaro dengan berani memutuskan untuk pergi ke benteng pertahanan sekawanana setan, bahkan ketika ada yang mencoba menghalangi perjalanannya, sedikitpun keberaniaannya tidak ciut. Dia telah siap untuk menghadapi resiko yang akan dihadapinya nantinya.

Kebajikan, yaitu sikap mau memberi kasih ataupun memberikan perlindungan dan membela kaum yang lemah yang diperlakukan secara tidak adil, yaitu Momotaro membantu orang-orang yang telah dijadikan sebagai budak oleh para setan untuk keluar dari jeratan para setan. Momotaro menolong para putri daimyo dengan mengantarkan mereka kembali kepada orang tua masing-masing.

Kesopanan, yaitu sikap menghormati semua orang. Menghargai orang sebagai martabat individu yang berharga, yaitu Momotaro tidak menganggap rendah keberanian seekor kera yang berniat untuk ikut juga melakukan penyerangan terhadap para setan. Sekalipun Momotaro telah terpandang, namun ia tetap menunjukkan sikap sopannya kepada kera, mengharhai keberaniaannya dengan mengijinkannya ikut bergabung.

(9)

Kehormatan, yaitu penghargaan oleh hasil kerja, yaitu Momotaro telah dianggap sebagai pahlawan bagi negerinya.

Kesetiaan, yaitu sikap rela hati untuk melaksanakan tanggung jawab yaitu tokoh Kera rela unutk ikut serta dalam ekspedisi ke pulau setan. Kerelaan hatinya menunjukkan sikap setianya terhadap negara dan Momotaro yang telah dianggapnya sebagai tuannya.

(10)
(11)
(12)
(13)
(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Secara umum, sastra merupakan karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan, yang mampu mengungkapkan aspek-aspek estetik baik yang didasarkan aspek-aspek kebahasaan maupun aspek-aspek makna. Karya sastra sebagai bentuk dan hasil sebuah pekerjaan kreatif, pada hakikatnya adalah suatu media yang mendayagunakan bahasa untuk mengungkapkan tentang kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sebuah karya sastra pada umumnya berisi tentang permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia. Kemunculan sastra dilatar belakangi adanya dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya. Sastra menurut Jacob Sumardjo (1997:3) adalah, ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, kenyakinan, dalam suatu bentuk gambaran konkrit yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.

Selain itu, menurut Wellek (dalam Mursini, 2007:22), sastra sebaiknya dibatasi sebagai seni sastra yang imajinatif. Artinya, segenap kejadian atau peristiwa yang dikemukakan dalam sebuah karya sastra bukanlah pengalaman jiwa atau peristiwa yang dibayangkan saja. Walaupun karya sastra bersifat imajinatif, sastra tentunya berangkat dari kenyataan hidup secara objektif.

(15)

kagum di hati pembacanya. Bentuk dan isi sastra harus saling mengisi, yaitu dapat menimbulkan kesan yang mendalam di hati para pembacanya sebagai perwujudan nilai-nilai karya seni. Demikian halnya, menurut Mursini (2007:23), sastra harus mengandung nilai estetik (keindahan seni) sehingga karya sastra memiliki daya pesona tersendiri, dengan kriteria seperti keutuhan (unity), keseimbangan (balance), keselarasan (harmony), dan fokus atau tekanan (righ emphasis).

Karya sastra mengandung unsur pendidikan dan pengajaran. Dari segi pendidikan, sastra merupakan wahana untuk meneruskan atau mewariskan budaya bangsa dari generasi ke generasi, berupa gagasan dan pemikiran, bahasa, pengalaman sejarah, nilai-nilai budaya, dan tradisi. Dari segi pengajaran, peminat sastra dapat mengambil manfaat, seperti ajaran moral (Mursini, 2007:26).

Karya sastra dibedakan atas puisi, drama, dan prosa. Prosa merupakan sejenis karya sastra yang bersifat paparan, sering juga disebut karangan bebas karena tidak diikat oleh aturan-aturan khusus misalnya ritme, seperti halnya dalam puisi. Ragam prosa terdiri dari 2 (dua) macam, prosa lama dan prosa baru. Prosa lama cenderung bersifat statis, sesuai dengan keadaan masyarakat lama yang mengalami perubahan secara lambat. Sebaliknya, prosa baru bersifat dinamis, yang senantiasa berubah sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Yang termasuk prosa lama seperti hikayat, dongeng, mite atau mitos, legenda, dan fable. Prosa baru, seperti cerita pendek, roman, dan novel. Dongeng sebagai bagian dari ragam prosa lama dikenal sebagai cerita pelipur lara.

(16)

id.wikipedia.org/ wiki Dongeng). Tidak berbeda jauh dari pengertian di atas, dongeng merupakan cerita yang bersifat khayal, yang didasarkan pada kenyataan hidup sehari-hari, kemudian dipadukan dengan imajinasi pengarang secara berlebihan sehingga cerita itu tidak dapat diterima secara logis (Suroto, 1989:11).

Menurut Sutjipto (dalam Mursini, 2007:46), dongeng dalam bahasa Inggris disebut folklore. Dongeng merupakan suatu cerita fantasi dengan kejadian-kejadian yang tidak benar terjadi. Sebagai folklore, dongeng merupakan cerita yang hidup di kalangan rakyat, disajikan dengan bertutur lisan oleh tukang cerita, seperti pelipur lara. Munculnya hampir bersamaan dengan adanya kepercayaan dan kebudayaan suatu bangsa. Pada mulanya dongeng berkaitan dengan kepercayaan masyarakat primitif terhadap hal-hal yang supranatural dan manifestasinya dalam alam kehidupan manusia seperti animisme.

Menurut Ahmad Badrun (dalam Mursini, 2007:46), dalam dongeng dilukiskan orang merasa bersatu dengan dunia sekitarnya, melihat hidupnya pada binatang, tumbuh-tumbuhan dan barang, ilusinya berubah-ubah disesuaikan dengan waktu dan keadaan. Dunia belum dibatasi dengan akal, tetapi merupakan segala kemungkinan yang tanpa batas, maka terjadilah dongeng-dongeng yang bersumber pada sifat kekanak-kanakan atau sifat bangsa yang masih sederhana. Dari bentuk asal itulah dongeng berkembang ke mana-mana tanpa memperhatikan batas politik, kepercayaan, geografis, dan sebagainya.

(17)

menyampaiakan maksudnya (gagasan secara bebas tanpa menyinggung perasaan orang lain atau pihak-pihak lain), misalnya pemerintah.

Sastra Jepang juga tentunya mengenal dongeng. Dongeng dalam karya sastra Jepang dikenal dengan sebutan setsuwa. Dongeng mengisahkan cerita fiktif atau cerita imajinasi. Di dalam dongeng juga ada tokoh, alur, latar, dan unsur cerita lainnya.

Di dalam dongeng mungkin kita akan menemukan manusia bisa terbang atau binatang bisa bicara. Inilah yang menjadi perbedaan yang mencolok dengan cerita-cerita lainnya, yaitu kefiksiannya. Namun, dari sinilah dongeng memiliki daya tarik tersendiri, khusunya bagi anak. Selain itu, dongeng juga menyimpan nilai moral. Dan ini menjadi daya tarik bagi orang tua dalam pembelajaran kepada anaknya.

Biasanya dongeng menitikberatkan tema seperti moral tentang kebaikan yang selalu menang melawan kejahatan, kejadian yang terjadi di masa lampau, di suatu tempat yang jauh sekali, dan sebagainya.

(18)

sifat kongkrit, peristiwa yang diungkapkan di dalamnya tersusun pendek, dan lebih teratur. Ada yang bersifat kenyataan dan ada juga yang bersifat surealisme. Isinya menceritakan atau mengungkapkan tentang perasaan, harapan dan cara berpikir rakyat.

Dalam hal ini, penulis menganalisis cerita rakyat Jepang, Momotaro, karangan Yei Theodora Ozakai. Dikisahkan di zaman dulu kala, hiduplah seorang pak tua dan istrinya yang tidak memiliki anak. Ketika sang istri sedang mencuci di sungai, sebutir buah persik yang besar sekali datang dihanyutkan air dari hulu sungai. Buah persik itu dibawanya pulang ke rumah untuk dimakan bersama suaminya. Ketika dipotongnya buah persik itu, dari dalamnya keluarlah seorang anak laki-laki. Anak itu diberi nama Momotaro, dan dibesarkan pak tua dan istrinya seperti anak sendiri. Momotaro tumbuh sebagai anak yang kuat, dan suatu hari ia mengutarakan niatnya untuk membasmi benteng pertahanan sekawanan setan yang ada di bawah laut yang sering menyusahkan orang-orang desa.

Momotaro berangkat membasmi setan dengan membawa bekal kue

berturut-turut bertemu dengan anjing, monyet, dan burung pegar. Di pulau itu, Momotaro dengan kegigihannya bertarung melawan setan-setan dengan dibantu anjing, monyet, dan burung pegar. Momotaro menang dan pulang membawa harta yang selama ini telah dirampok oleh sekawanan setan itu.

(19)

Menurut Wahyudi Kumorotomo (dalam Moekijat, 1995: 44), moral adalah hal-hal yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan-tindakan yang baik sebagai “kewajiban” atau “norma”. Moral juga dapat diartikan sebagai sarana untuk mengukur benar-tidaknya suatu tindakan manusia.

Pesan moral yang terkandung dalam novel itu ada kaitannya juga dengan kebudayaan dan kebiasaan masyarakat Jepang.

Menurut Ki Hajar Dewantara (dalam Supartono, 2001:34), kebudayaan berarti buah budi manusia, suatu hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada akhirnya bersifat tertib dan damai. Kebudayaan berperan sebagai pengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, menentukan sikapnya jika berhubungan dengang lingkungannya (Ridwan, 2007:37). Budaya dan kebiasaan yang tercermin pada dongeng ini telah ditunjukkan sebagai moral Jepang, yaitu moral dalam Bushido. Bushido adalah istilah yang dulunya diartikan sebagai sebuah kode etik kesatria golongan samurai dalam feodalisme Jepang. Bushido mengandung arti sikap rela mati kepada negara, kerajaan, dan kaisar. Pengertian lainnya yaitu jalan hidup seorang prajurit atau kesatria yang mempunyai kode etik. Kode etik tersebutlah yang telah dijadikan sebagai dasar moral bagi seluruh masyarakat Jepang.

(20)

Dengan alasan tersebut di atas, maka penulis merasa tertarik untuk menulis bagaimana pesan moral dalam dongeng Momotaro, yang telah dijadikan sebagai budaya dan kebiasaan oleh masyarakat Jepang. Dengan demikian, penulis dalam skripsi ini membahas tentang pesan moral yang seperti apa yang ada dalam dongeng “Momotaro” dengan judul “Analisis Pesan Moral dalam Dongeng Momotaro Karya Tei Theodora Ozaki”.

1.2 Perumusan Masalah

Dongeng Momotaro muncul dalam berbagai bentuk versi cerita. Akan tetapi, dongeng ini menjadi sangat populer pada akhir zaman Edo.

Demikian halnya dongeng Momotaro karya Yei Theodora Ozaki ini, dikompilasikan kembali setelah zaman Edo.

(21)

Dongeng Momotaro ini sarat akan nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral yang ditunjukkan dalam dongeng ini adalah mengenai moral hidup, yaitu moral hidup yang menunjukkan sikap-sikap kepribadian moral yang kuat. Sikap kepribadian moral yang kuat itu seperti halnya moral keberanian, kejujuran moral, kebaikan, keadilan, sikap hormat, kemandirian moral, kerendahan hati, kesediaan untuk bertanggung jawab, realistik dan kritis. Sikap kepribadian moral yang kuat ini juga terdapat dalam prinsip etika moral Bushido seperti halnya, kejujuran, keberaniaa, kemurahan hati, kesopanan, keadilan, kehormatan, dan kesetiaan.

Untuk memudahkan arah sasaran yang ingin dikaji, maka masalah penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut ini:

1. Bagaimana pesan-pesan moral yang diungkapkan oleh Yei Theodora Ozaki dalam dongeng “Momotaro” ini, khususnya pesan mengenai etika moral Buhido?

2. Apa pesan yang disampaikan pengarang melalui dongeng “Momotaro” ini kepada pembaca?

1.3Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam setiap penelitian, penentuan ruang lingkup adalah salah satu langkah penting yang harus dilakukan. Dengan adanya ruang lingkup pembahasan, maka penelitian itu bisa secara jelas diketahui apa yang menjadi batasan permasalahan yang akan diteliti.

(22)

Dengan demikian, dalam ruang lingkup pembahasan ini, lebih difokuskan pada analisis pesan moral yang terdapat dalam dongeng Momotaro, yang menunjukkan sikap-sikap kepribadian/ etika moral Bushido seperti halnya

kejujuran/ 真/ makoto, keberanian/ 勇/ yu, kebajikan atau kemurahan hati / 仁/

jin, kesopanan atau hormat/ 礼/ rei, keadilan / kesungguhan atau integritas/ 義/ gi,

kehormatan atau martabat/ 名誉/ meiyo, dan kesetiaan/ 忠義/ chungi. Sebelum

menganalisis pesan moral yang ada dalam dongeng Momotaro, penulis menjelaskan juga mengenai defenisi moral, prinsip-prinsip dasar moral, sikap-sikap kepribadian moral, prinsip etika moral Bushido, dongeng klasik Jepang, setting cerita momotaro, serta biografi pengarang.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori. 1.4.1 Tinjauan Pustaka

Prosa Fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh palaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan, dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita (Aminuddin, 2003:66).

Menurut Ahmad (dalam Mursini, 2007:33), fiksi disebut juga cerkan (cerita rekaan), tulisan naratif yang timbul dari imajinasi pengarang dan tidak mementingkan segi fakta sejarah, yang meliputi cerita nasehat dan cerita dongeng tentang dewa-dewi.

(23)

gagasannya melalui bahasa yang lahir dari perasaan dan pemikirannya

Melalui karya sastra, dapat membawa pembaca terhibur dengan berbagai kisahan yang disajikan pengarang mengenai kehidupan yang ditampilkan. Pembaca akan memperoleh pengalaman batin dari berbagai tafsiran terhadap kisah yang disajikan.

Defenisi dongeng adalah, suatu kisah yang diangkat dari pemikiran fiktif dan kisah nyata, menjadi suatu alur perjalanan hidup dengan pesan moral yang mengandung makna hidup dan cara berinteraksi dengan mahluk lainnya. Dongeng juga merupakan dunia hayalan dan imajinasi dari pemikiran seseorang yang kemudian diceritakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Terkadang kisah dongeng bisa membuat pendengarnya terhanyut ke dalam dunia fantasi, tergantung cara penyampaian dongeng tersebut dan pesan moral yang disampaikan (http:// defenisi-pengertian.blogspot.com/ 2010/ 12/ pengertian dongeng. html).

Salah satu aspek moral karya sastra adalah konsep humanisme, yang merupakan salah satu sarana untuk membantu manusia dalam mencapai harkat yang lebih tinggi dan merupakan pengungkapan tentang masalah-masalah dan perjuangan hidup.

Tentunya sastra tercipta adalah untuk kepentingan manusia, dari karya sastra tersebut manusia akan mendapatkan pengajaran atau nilai-nilai moral yang dapat dijadikan sebagai falsafah hidup.

(24)

designate the codes, conduct, and costoms of individuals or of group, as when one

speaks of the moral of person or of a people. Here it is equivalent to the Greek

word ethos and the Latin mores. Moral: Istilah ini kadang-kadang dipergunakan

sebagai kata yang sama artinya dengan “etika”. Lebih sering istilah moral dipergunakan untuk menunjukkan kode, tingkah laku, dan adat atau kebiasaan dari individu-individu atau kelompok-kelompok, seperti apabila seseorang berbicara tentang moral orang atau moral orang-orang. Di sini moral sama artinya dengan kata Yunani ethos dan Latin mores. Selain itu, menurut Suseno (1989:19) mengemukakan, bahwa moral adalah hal yang mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia.

1.4.2 Kerangka Teori

Teori meringkas hasil penelitian. Dengan adanya teori, generalisasi terhadap hasil penelitian dapat dilakukan dengan mudah. Teori juga dapat memadu generalisasi-generalisasi satu sama lain secara empiris sehingga dapat diperoleh suatu ringkasan akan hubungan antar generalisasi atau pernyataan (Nazir, 2006:20).

Dalam penelitian ini, untuk mengungkapkan bagaimana pesan moral yang terdapat dalam dongeng tersebut kepada para pembaca, penulis menggunakan pendekatan moral dan pendekatan semiotik.

(25)

selalu menunjukkan adanya sebuah nilai-nilai moral yang boleh diteladani oleh pembaca.

Pesan moral dalam sebuah karya sastra menunjukkan kepada pembaca akan nilai kebaikan dan kebenaran. Sehingga dalam sebuah karya sastra yang baik, tentunya harus menunjukka penafsiran kehidupan dan mengungkapkan karakter hidup. Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang dapat mengungkapkan hal-hal yang orang lain mungkin tidak bisa untuk mengungkapkannya dan melihatnya (Siswanto, 2008:82).

KBBI (dalam Nurgiyantoro 1995:321), secara umum, moral menyaran pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya: ahlak, budi pekerti, susila.

Bushido sebagai salah satu moral bangsa Jepang menurut Situmorang (dalam Rahman 2006:8) adalah, semangat kesatria, moralitas bushi, atau jalan hidup bushi. Bushido tidak terlepas dari religi sebagai sumber awal, yang lahir dari sentuhan Shinto, Zen Budhism, dan ajaran Konfisius.

(26)

Shinto adalah satu nama yang digunakan untuk merangkum satu keberagaman fenomena. Dalam Shinto terdapat banyak nilai moral seperti tanggung jawab terhadap penguasa, cinta pada leluhur, kasih sayang, juga kecintaan terhadap tanah air (patriotism).

Ajaran Konfusionis adalah mengenai keutamaan kesetiaan juga secara luas disebarkan dan mempunyai dampak yang cukup penting dalam perkembangan etika kelas samurai (bushido). Sikap ketaatan kepada orang tua akan menghasilkan sikap setia yang akan menjadi kebajikan tertinggi.

Seluruh etika yang terdapat dalam Bushido dijadikan standard moral, agar para bushi dapat melihat dan membedakan sikap yang benar dan salah dalam menjalani kehidupannya. Dalam moral Bushido, sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, keberanian, kebajikan/ kemurahan hati, kesopanan, kesungguhan, memelihara kehormatan, dan kesetiaan.

Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup

(27)

Sebuah karya fiksi ditulis oleh pengarang antara lain, untuk menawarkan model kehidupan yang diidealkannya. Fiksi mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku tokoh sesuai dengan pandangannya tentang moral. Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan, yang diamanatkan, Nurgiyantoro (1995:322).

Pendekatan moral bertolak dari dasar pemikiran bahwa suatu karya sastra dianggap sebagai suatu medium (arah) yang paling efektif membina orang dan kepribadian suatu kelompok masyarakat. Moral juga diartikan sebagai norma-norma sosial atau konsep kehidupan yang disanjung tunggi oleh sebagian besar masyarakat.

Pendekatan moral pada sebuah karya sastra dilihat dari etika dan keyakinan, sehingga pendekatan ini cenderung menjerumus kepada segi-segi nilai keagamaan.

Berdasarkan pendekatan moral, penulis dapat mengungkapkan amanat atau pesan yang ada dalam cerita dongeng, yang dikaji berdasarkan tindakan/ perilaku positif oleh para tokoh cerita, yang menunjukkan pesan-pesan moral, khususnya etika moral Bushido. Oleh sebab itulah penulis menggunakan pendekatan moral.

(28)

Eco, Jurij Lotman dan lain-lain. Pradopo, dkk (2007:71), menyatakan bahwa semiotik itu adalah ilmu yang mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan,

konveksi-konveksi yang memungkinkan tanda-tanda itu memiliki arti.

Menurut Hoed (dalam Nurgiyantoro 1995;40), semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Jadi, yang dapat menjadi tanda sebenarnya bukan hanya bahasa saja, melainkan berbagai hal yang melingkupi kehidupan, walaupun harus diakui bahwa bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap dan sempurna. Tanda-tanda itu dapat berupa gerakan anggota badan, gerakan mata, mulut, bentuk tulisan, warna, bendera, bentuk dan potongan rambut, pakaian, karya seni sastra, patung, dan lain-lain yang berada di sekitar kita.

Sastra semiotik memusatkan kajiaannya pada lambang-lambang, sistem lambang, dan proses perlambangan di dalam karya sastra. Pendekatan semiotik beranggapan karya sastra memiliki sistem tanda yang bermakna dengan media bahasa yang estetik. Sistem tanda atau lambang dalam karya sastra ini memiliki banyak interpretasi.

Dalam menafsirkan suatu sistem lambang, pembaca mengartikan gejala-gejala tertentu (kata-kata, kalimat, gerak-gerik) berdasarkan pada sebuah kaidah atau sejumlah kaidah. Kaidah ini merupakan sebuah kode, yaitu alasan atau dasar mengapa kita mengartikan suatu gejala begini atau begitu, Luxemburg (dalam Mursini 2007:113).

(29)

analisisnya tidak terbatas pada karya sastra itu sendiri, juga hubungannya dengan hal-hal yang berada di luarnya (antara kode budaya, seperti masalah budaya dan sistem tata nilai yang mewarnai karya sastra).

Berdasarkan pendekatan semiotik, penulis dapat menginterpretasikan sikap para tokoh-tokoh ke dalam tanda. Tanda yang ada pada dongeng akan diinterpretasikan dan kemudian akan dipilih bagian mana yang merupakan tindakan para tokoh yang mencerminkan moral. Oleh sebab itulah, penulis memilih menggunakan pendekatan semiotik.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulisan skripsi ini, sesuai dengan masalah di atas adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengungkapkan bagaimana pesan moral yang terdapat dalam cerita rakyat Jepang “Momotaro” terhadap pembaca.

2. Untuk mengetahui pesan yang disampaikan pengarang dalam cerita rakyat Jepang “Momotaro” kepada pembaca.

1.5.2 Manfaat Penelitian

Dengan mengadakan penelitian pada dongeng “Momotaro” karya Yei Theodora Ozaki, diharapkan dapat memberi manfaat yakni:

(30)

2. Menambah wawasan tentang kebudayaan masyarakat Jepang khususnya bagi mahasiswa sastra Jepang.

1.6 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode induktif. Wibisono (dalam Kaelan, 2005: 95), metode induktif diterapkan manakala peneliti akan melakukan suatu penyimpulan setelah melakukan pengumpulan data dan analisis data. Proses induktif diterapkan berdasar data-data yang telah terkumpul dan dianalisis, yaitu melalui suatu sintesis dan penyimpulan secara induktif aposteriori. Induktif aposteriori artinya pembentukan suatu konstruksi teoritis berdasarkan struktur logika.

(31)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP KONSEP MORAL DAN DONGENG KLASIK JEPANG

2.1 Defenisi Moral

Kata moral berasal dari bahasa latin Mores. Mores berasal dari kata mos yang berarti kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Moral dengan demikian dapat diartikan ajaran kesusilaan. Moralitas berarti hal mengenai kesusilaan.

Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuah-petuah, nasihat, wejangan, peraturan, dan semacamnya, yang diwariskan secara turun-temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik, agar ia benar-benar menjadi manusia yang baik.

Moralitas juga memberi manusia aturan atau petunjuk konkret tentang bagaimana ia harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik.

Ada perkataan lain yang mengungkapkan kesusilaan yaitu etika. Perkataan etika berasal dari bahasa yunani: ethos dan ethikos yang berarti kesusilaan, perasaan batin, kecenderungan untuk melakukan suatu perbuatan.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dari W.J.S Poerwadarminto (dalam Salam 2000:2), terdapat keterangan bahwa moral adalah ajaran tentang baik-buruk perbuatan dan kelakuan, sedangkan etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).

(32)

tentang baik buruknya perbuatan. Jadi, perbuatan itu dinilai sebagai perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk. Penilaian itu menyangkut perbuatan yang dilakukan dengan sengaja. Memberikan penilaian atas perbuatan dapat disebut memberikan penilaian etis atau moral.

Sasaran dari moral adalah keselarasan dari perbuatan manusia dengan aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan manusia itu.

2.2 Prinsip- Prinsip Dasar Moral 2.2.1 Prinsip Sikap Baik

Sikap yang dituntut dari kita sebagai dasar dalam hubungan dengan siapa saja adalah sikap positif dan baik. Seperti halnya dalam prinsip utilitarisme, bahwa kita harus mengusahakan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dan mengusahakan untuk sedapat-dapatnya mencegah akibat-akibat buruk dari tindakan kita, kecuali ada alasan khusus, tentunya kita harus bersikap baik terhadap orang lain.

Prinsip moral dasar pertama disebut prinsip sikap baik. Prinsip ini mendahului dan mendasari semua prinsip moral lain. Prinsip ini mempunyai arti yang amat besar bagi kehidupan manusia.

(33)

berguna bagi dirinya, melainkan menghendaki, menyetujui, membenarkan, mendukung, membela, membiarkan, dan menunjang perkembangannya (Suseno, 1989:131).

Bagaimana sifat baik itu harus dinyatakan secara konkret, tergantung pada apa yang baik dalam situasi konkret itu. Maka prinsip ini menuntut suatu pengetahuan tepat tentang realitas, supaya dapat diketahui apa yang masing-masing baik bagi yang bersangkutan.

Prinsip sikap baik mendasari semua norma moral, karena hanya atas dasar prinsip itu, maka akan masuk akal bahwa kita harus bersikap adil, atau jujur, atau setia kepada orang lain.

2.2.2 Prinsip Keadilan

Prinsip kebaikan hanya menegaskan agar kita bersikap baik terhadap siapa saja. Tetapi kemampuan manusia untuk bersikap baik secara hakiki terbatas, tidak hanya berlaku bagi benda-benda materiil, melainkan juga dalam hal perhatian dan cinta kasih. Kemampuan untuk memberi hati kita juga terbatas. Maka secara logis dibutuhkan prinsip tambahan yang menentukan bagaimana kebaikan itu harus dibagi. Prinsip itu adalah prinsip keadilan.

(34)

Jadi prinsip keadilan mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang lain yang berada dalam situasi yang sama dan untuk menghormati hak semua pihak yang bersangkutan.

Secara singkat, keadilan menuntut agar kita jangan mau mencapai tujuan-tujuan, termasuk hal yang baik, dengan melanggar hak seseorang.

2.2.3 Prinsip Hormat Terhadap Diri Sendiri

Prinsip ini menyatakan bahwa manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan paham bahwa manusia adalah person, pusat berpengertian dan berkehendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati, mahluk yang berakal budi (Suseno, 1989:133).

Prinsip ini mempunyai dua arah. Pertama, dituntut agar kita tidak membiarkan diri diperas, diperalat, atau diperbudak. Perlakuan tersebut tidak wajar untuk kedua belah pihak, maka yang diperlakukan demikian jangan membiarkannya berlangsung begitu saja apabila ia dapat melawan, sebab kita mempunyai harga diri. Dipaksa untuk melakukan atau menyerahkan sesuatu tidak pernah wajar. Kedua, kita jangan sampai membiarkan diri terlantar.

Manusia juga mempunyai kewajiban terhadap dirinya sendiri, berarti bahwa kewajibannya terhadap orang lain diimbangi oleh perhatian yang wajar terhadap dirinya sendiri.

(35)

sebagai mahluk yang bernilai pada dirinya sendiri. Kita mau berbaik kepada orang lain dan bertekad untuk bersikap adil, tetapi tidak dengan membuang diri.

2.3 Sikap-Sikap Kepribadian Moral 2.3.1 Kejujuran

Dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah kejujuran. Tanpa kejujuran kita sebagai manusia tidak dapat maju karena kita belum berani menjadi diri kita sendiri. Tidak jujur berarti tidak seia sekata dan itu berarti bahwa kita belum sanggup untuk mengambil sikap lurus. Orang yang tidak lurus, tidak mengambil dirinya sendiri sebagai titik tolak, melainkan apa yang diperkirakan diharapkan oleh orang lain.

Tanpa kejujuran, keutamaan-keutamaan moral lainnya akan kehilangan nilai. Bersikap baik terhadap orang lain, tetapi tanpa kejujuran adalah kemunafikan.

Menurut Suseno (2010:142-143), bersikap jujur terhadap orang lain berarti dua: Pertama, sikap terbuka, kedua sikap fair. Dengan terbuka, tidak dimaksud bahwa segala pertanyaan orang lain harus kita jawab dengan selengkapnya, atau bahwa orang lain berhak untuk mengetahui segala perasaan dan pikiran kita. Melainkan yang dimaksud ialah bahwa kita selalu muncul sebagai diri kita sendiri, sesuai dengan kenyakinan kita. Kita tidak menyesuaikan kepribadian kita dengan harapan orang lain.

(36)

memenuhi janji yang diberikan, juga terhadap orang yang tidak dalam posisi untuk menuntutnya. Ia tidak pernah akan bertindak bertentangan dengan suara hati atau kenyakinannya. Tetapi hanya dapat bersikap jujur terhadap orang lain, apabila kita jujur terhadap diri kita sendiri.

2.3.2 Nilai-Nilai Otentik

Otentik berarti, kita menjadi diri kita sendiri. “Otentik” berarti asli. Manusia otentik adalah manusia yang menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya, dengan kepribadian yang sebenarnya.

2.3.3 Kesediaan Untuk Bertanggung Jawab

Kejujuran sebagai kualitas dasar kepribadian moral menjadi dasar dalam kesediaan untuk bertanggung jawab. Bertanggung jawab berarti suatu sikap terhadap tugas yang membebani kita, kita merasa terikat untuk menyelesaikannya.

Kita akan melaksanakannya dengan sebaik mungkin, meskipun dituntut pengorbanan atau kurang menguntungkan atau ditentang oleh orang lain. Tugas itu bukan sekedar masalah dimana kita berusaha untuk menyelamatkan diri tanpa menimbulkan kesan yang buruk, melainkan tugas itu kita rasakan sebagai sesuatu yang mulai sekarang harus kita pelihara, kita selesaikan dengan baik.

Merasa bertanggung jawab berarti bahwa meskipun orang lain tidak melihat, kita tidak merasa puas sampai pekerjaan itu diselesaikan sampai tuntas.

(37)

Ia bersedia untuk mengarahkan tenaga dan kemampuan ketika ia ditantang untuk menyelamatkan sesuatu. Ia bersikap positif, kreatif, kritis dan objektif (Suseno, 2010:146).

Dan lagi, kesediaan untuk bertanggung jawab termasuk kesediaan untuk diminta dan untuk memberikan, mempertanggungjawabkan atas tindakan-tindakannya, atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Kalau ia ternyata lalai atau melakukan kesalahan, ia bersedia untuk dipersalahkan. Ia tidak pernah akan melempar tanggung jawab atas suatu kesalahan yang diperbuatnya kepada orang lain. Sebaliknya, ia bersedia untuk mengaku bertanggung jawab atas kesalahannya.

Kesediaan untuk bertanggung jawab demikian adalah tanda kekuatan batin yang sudah mantap.

2.3.4 Kemandirian Moral

Jika kita ingin mencapai kepribadian moral yang kuat, maka kita harus memiliki sikap kemandirian moral.

Kemandirian moral berarti bahwa kita tidak pernah ikut-ikutan saja dengan berbagai pandangan moral lingkungan kita, melainkan selalu membentuk penilaiaan dan pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengannya. Kita tidak sekedar meniru apa yang biasa.

(38)

kita tidak akan pernah rukun hanya demi kebersamaan kalau kerukunan itu melanggar keadilan.

Sikap mandiri pada hakikatnya merupakan kemampuan untuk selalu membentuk penilaian sendiri terhadap suatu masalah moral.

2.3.5 Keberaniaan Moral

Keberaniaan moral menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah dinyakini sebagai kewajiban, sekalipun tidak disetujui atau secara aktif dilawan oleh lingkungan. Orang yang memiliki keutamaan itu tidak mundur dari tugas dan tanggung jawab juga kalau ia mengisolasikan diri, dibuat merasa malau, dicela, ditentang atau diancam oleh banyak orang, oleh orang-orang yang kuat yang memiliki kedudukan dan juga oleh mereka yang penilaiannya disegani.

Keberaniaan moral adalah kesetiaan terhadap suara hati yang menyatakan diri dalam kesediaan untuk mengambil resiko konflik (Suseno, 2010:147).

Keberanian moral berarti berpihak pada yang lebih lemah melawan yang kuat, yang memperlakukannya dengan tidak adil. Orang yang berani secara moral akan membuat pengalaman yang menarik. Setiap kali ia berani mempertahankan sikap yang dinyakini, ia merasa lebih kuat dan berani dalam hatinya , dalam arti ia semakin dapat mengatasi perasaan takut dan malu.

(39)

2.3.6 Kerendahan Hati

Keutamaan terakhir yang hakiki bagi kepribadian yang mantap adalah kerendahan hati. Kerendahan hati tidak berarti bahwa kita merendahkan diri, melainkan bahwa kita melihat diri seada kita. Kerendahan hati adalah kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan kenyataannya (Suseno, 2010:148). Orang yang rendah hati tidak hanya melihat kelemahannya melainkan juga kekuatannya.

Dalam bidang moral kerendahan hati tidak hanya berarti bahwa kita sadar akan keterbatasan kebaikan kita, melainkan juga bahwa kemampuan kita untuk memberikan penilaian moral terbatas. Dengan rendah hati, kita betul-betul bersedia untuk memperhatikan dan menanggapi setiap pendapat lawan, bahkan untuk seperlunya mengubah pendapat kita sendiri.

Kerendahan hati tidak bertentangan dengan keberanian moral. Tanpa kerendahan hati keberanian moral mudah menjadi kesombongan, bahwa kita tidak rela untuk memperhatikan orang lain, atau bahkan kita sebenarnya takut dan tidak berani untuk membuka diri.

Orang yang rendah hati sering menunjukkan daya tahan yang paling besar apabila betul-betul harus diberikan perlawanan. Orang yang rendah hati tidak merasa diri penting dan karena itu berani untuk mempertaruhkan diri apabila ia sudah menyakini sikapnya sebagai tanggung jawabnya.

2.4 Prinsip Etika Moral Bushido

(40)

Etika moral yang terkandung dalam Bushido menurut Suryohadiprijo

(1982:49) meliputi kejujuran/ 真/ makoto, keberanian/ 勇/ yu, kebajikan atau

kemurahan hati/ 仁/ jin, kesopanan atau hormat/ 礼/ rei, keadilan/ kesungguhan

atau integritas/ 義/ gi, kehormatan atau martabat/ 名誉/ meiyo, dan kesetiaan/ 忠

義/ chungi.

2.4.1 Kejujuran/ 真/ Makoto

Kejujuran/ Makoto adalah tentang bersikap jujur kepada diri sendiri sebagaimana kepada orang lain. Artinya, bertingkah laku yang benar secara moral dan selalu melakukan hal-hal dengan kemampuan terbaik.

Kejujuran merupakan kenyakinan dalam kode etik samurai. Di dalam diri samurai tidak ada yang lebih buruk dari pada curang dalam pergaulan dan perbuatan yang tidak wajar.

Ajaran Bushido mendefinisikan kejujuran sebagai suatu kekuatan resolusi, kejujuran adalah kekuatan pasti pada setiap tingkah laku tanpa keragu-raguan. Samurai siap mati jika dianggap pantas untuk mati dan berhenti sebagai samurai jika dianggap sebagai kebenaran.

Konsep kejujuran dalam Bushido adalah pembuatan keputusan yang benar dengan alasan yang tepat. Alasan yang tepat ini adalah Giri. Giri lah yang merupaka alasan seseorang untuk memutuskan berbuat sesuatu dan bersikap dengan orang tua, kepada masyarakat luas. Menurut Nitobe (dalam Sipahutar 2007:30), kejujuran adalah sifat yang wajib dimiliki oleh samurai.

(41)

keberanian dalam berperang tetapi juga berani menghadapi berbagai cobaan hidup.

Kejujuran di kalangan samurai merupakan etika yang tidak bisa diragukan lagi. Ia harus tegas ketika menghadapi kapan harus mati dan kapan harus membunuh, asalkan demi kebenaran yang dianutnya. Keberanian seorang samurai harus didasari oleh kejujuran serta akal sehat, tanpa kecerobohan maupun kecurangan.

2.4.2 Keberanian/ 勇/ Yu

Keberanian/ Yu merupakan kemampuan untuk mengatasi setiap keadaan dengan keberanian dan keyakinan. Keberanian ini dapat dilihat dari sikap orang Jepang dalam mempertahankan kelompoknya, mereka rela mati dalam mempertahankan ataupun membela kelompoknya. Untuk dapat membela kebenaran, diperlukan rasa keberanian dan keteguhan hati. Seorang samurai tidak dibenarkan ragu dalam melaksanakan tugasnya, jika seorang samurai ragu-ragu dalam melaksanakan suatu hal akan membuat mereka menjadi terlihat tidak mempunyai pendirian dalam mengambil keputusan ataupun dalam melaksanakan tugas.

(42)

2.4.3 Kebajikan atau Kemurahan Hati / / Jin

Kebajikan/ Jin merupakan gabungan antara kasih sayang dan kemurahan hati. Prinsip ini terjalin dengan Gi dan menghindarkan samurai dari penggunaan keahlian mereka dengan congkak atau untuk mendominasi.

Simpati dan rasa belas kasihan diakui menjadi unsur tertinggi dalam kebajikan. Kebajikan merupakan semangat dalam membangun pribadi kaum samurai dan mencegah mereka berbuat sewenang-wenang.

Menurut Nitobe (dalam Sipahutar 2007:31), rasa kasih sayang yang dimiliki oleh samurai tidak jauh berbeda dengan yang dimiliki rakyat biasa, tetapi pada seorang samurai harus didukung oleh kekuatan untuk membela dam melindungi.

2.4.4 Kesopanan atau Hormat/ 礼/ Rei

Kesopanan/ Rei adalah hal yang berkenaan dengan kesopanan dan prilaku yang pantas kepada orang lain. Prinsip ini berarti menghormati semua orang.

Menurut Nitobe (dalam Napitupulu 2008:22), mengatakan bahwa di Jepang penghayatan musik merdu dan sajak-sajak indah merupakan kurikulum pendidikan untuk membangun perasaan dan jiwa lembut, yang kemudian akan menggugah penghayatan terhadap penderitaan orang lain. Kerendahan hati untuk memahami orang lain adalah akar dari sikap sopan-santun.

(43)

cara yang bersifat rutinitas. Bagaimana seseorang harus tunduk pada teguran orang lain, bagaimana seseorang harus berjalan, duduk, mengajar dan di ajar dengan penuh kepedulian.

2.4.5 Keadilan/ Kesungguhan atau Integritas/ / Gi

Keadilan/ Gi merupakan kemampuan untuk membuat keputusan yang benar dengan keyakinan moral dan untuk bersikap adil serta sama kepada semua orang tanpa memperdulikan warna kulit, ras, gender atupun usia.

Dalam melaksanakan tugasnya seorang Bushi atau samurai harus memandang sama semua golongan, hal ini juga ada agar para samurai tidak semena-mena ataupun menggunakan kekuasaan atau kekuatannya untuk hal-hal yang tidak sewajarnya.

2.4.6 Kehormatan atau Martabat/ 名誉/ Meiyo

Kehormatan/ Meiyo dicapai dengan sikap positif dalam berpikir dan hanya akan mengikuti perilaku yang tepat. Selain itu, kehormatan merupakan implikasi dari satu kesadaran hidup akan martabat individu yang berharga.

(44)

manusia, tetapi dapat dirasakan. Kalau hal ini tidak dijaga, maka reputasi bisa jatuh dan memberikan kesan yang tidak baik bagi orang lain.

Kehormatan bagi bangsa Jepang dinyakini sebagai suatu sensitifitas sejak anak berada dalam kandungan ibunya. Hilangnya kehormatan bagi bangsa Jepang tercermin dari rasa malu yang merupakan hukuman yang paling buruk. Kesadaran akan rasa malu menjadikan orang Jepang menolak untuk terhadap segala sesuatu yang berupa penghinaan.

Landasan filosofi yang terkandung dalam etika kehormatan ini adalah adanya yang mencerminkan kebutuhan individu terhadap penghargaan berupa hasil kerja. Dalam bushido, kehormatan bisa dicapai sejalan dengan bertambahnya usia yang mencerminkan bertambahnya pengalaman hidup dan reputasi. Reputasi ini harus dijaga dengan baik, karena reputasi yang dibangun bertahun-tahun mungkin saja bisa hancur dalam satu hari saja.

2.4.7 Kesetiaan/ 忠義/ Chungi

Kesetiaan/ Chungi merupakan dasar dari semua prinsip, tanpa dedikasi dan kesetiaan pada tugas yang sedang dikerjakan dan kepada sesama, seseorang tak dapat berharap akan mencapai hasil yang diinginkan.

Kesetiaan merupakan sifat yang harus dimiliki oleh seorang samurai. Kesetiaan muncul dari adanya rasa solidaritas yang memunculkan rasa kebersamaan dalam kehidupan sosial untuk mempertahankan daerah atau wilayah mereka dari serangan musuh.

(45)

mengabdi sepenuhnya kepada tuan dan mewujudkan pengabdian itu dengan cara berprestasi sebaik mungkin.

Kesetiaan yang diajarkan Bushido merupakan kesetiaan seorang bushi dalam menjalankan tugas yang diberikan oleh tuannya. Dalam menjalankan tugasnya ini mereka dituntut untuk tunduk terhadap aturan-aturan yang ditetapkan oleh tuannya.

Sedangkan di dalam Konfusionisme makna kesetiaan menjadi bernuansa moral, nilai moral yang terkandung di dalamnya meliputi nilai moral sosial, yang mendasarkan ajarannya dengan adanya hubungan antara anak dengan orang tua, kakak dengan adik, antar sesama, terhadap pejabat pemerintah, dan terhadap kaisar Sipahutar (dalam Napitupulu 2008:23).

2.5 Dongeng Klasik Jepang

Dongeng disebut juga dengan cerita rakyat. Cerita rakyat Jepang adalah cerita dari yang digunakan di Jepang dalam literatur yang diterbitkan sesudah

hingga awal(cerita rakyat), kōhi

(cerita yang ditulis di batu), densetsu (legenda), dōwa (cerita anak), otoginabashi (dongeng fantasi), dan mukashibanashi (cerita zaman dulu), dan sebagainya (http://id.wikipedia.org/wiki/Cerita_rakyat_Jepang).

Secara garis besar, cerita rakyat Jepang berdasarkan isi dan bentuk dibagi

menjadi 3 kelompok: cerita zaman dulu (昔話 mukashibanshi), legenda (伝説

(46)

Mukashibanshi atau cerita zaman dahulu adalah istilah Jepang untuk

dongeng klasik Jepang. Dongeng klasik Jepang memiliki lokasi cerita dan tokoh-tokoh dalam cerita yang bersifat fiktif, sedangkan waktu kejadian adalah masa lampau yang tidak dijelaskan secara pasti, biasanya bentuk tema ceritanya menunjukkan tentang kejadian ajaib dari suatu daerah, pertolongan yang diberikan kepada orang baik oleh mahluk dengan kekuatan ajaib, moral tentang kebaikan yang selalu menang melawan kejahatan, kejahatan ibu tiri, kecantikan dan keluhuran anak bungsu, kecemburuan saudara kandung yang lebih tua.

Ciri khas lain adalah kata "mukashi" atau "mukashi, mukashi" (zaman dulu kala) yang digunakan untuk kalimat pembuka. Kalimat dalam cerita sering menggunakan kata "attasōna" atau "atta to sa" yang berarti "konon" atau "kabarnya menurut orang zaman dulu". Cerita sering diakhiri dengan kalimat "Dotto harai" yang berarti "Tamat" atau "Mereka bahagia selamanya".

Mukashibanashi adalah dongeng klasik Jepang yang biasanya diceritakan

pada anak-anak. Dalam buku Nihon no Minwa, Kinoshita Junji, seorang ahli folklore Jepang menjelaskan alasan mengapa cerita rakyat jenis ini disebut dengan Mukashibanashi.

(47)

bahagia), kata-kata yang digunakan adalah kata/ bahasa kehidupan sehari-hari. Selain yang diuraikan diatas, pada bagian akhir sebuah Mukashibanashi ada pula cerita yang diakhiri dengan kata “Tosa” yang mempunyai arti “hal yang diceritaka tersebut didengar dari orang lain” Dilihat dari Jenis Mukashibanashi juga terbagi atas tiga kelompok, yaitu Doobutsu Mukashibanashi, adalah istilah Jepang untuk dongeng-dongeng binatang, Honkaku Mukashibanashi, adalah istilah untuk dongeng biasa, Waraibanashi, adalah istilah untuk lelucon.

Salah satu judul dongeng klasik Jepang adalah judul lainnya adalah

2.6 Setting Cerita Momotaro

Menurut Brook dalam Mursini (2007:41), “latar is the physical background, element of place, in story”. “Latar adalah latar belakang fisik, unsur

tempat dan ruang, di dalam cerita”. Wellek dan Werren dalam Mursini (2007:41) juga mengemukakan “setting is environment demesticinterior, may be viewed as metonymic, or expression of character”. Latar adalah lingkungan alam sekitar,

terutama lingkungan dalam yang dipandang sebagai pengekspresikan watak secara metominik atau metafori.

(48)

berkaitan dengan tempat terjadinya peristiwa cerita waktu, suasana maupun periode sejarah.

Hudson dalam Mursini (2007:4) membagi setting/ latar cerita atas latar fisik (material) dan latar sosial. Yang termasuk latar fisik adalah latar yang berupa benda-benda fisik seperti bangunan rumah, kamar, perabotan, daerah, dan sebagainya. Latar sosial meliputi pelukisan keadaan sosial budaya, sosial masyarakat, seperti adat istiadat, cara hidup, bahasa kelompok sosial, dan sikap hidupnya yang melewati cerita. Tentunya latar membantu kejelasan jalan cerita. Dalam membahas setting/ latar cerita dongeng Momotaro ini, penulis akan menjelaskan latar tempat dan latar waktu, sebagai berikut:

a. Latar Tempat

Latar tempat menjelaskan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Unsur-unsur yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama-nama tertentu, ataupun lokasi tertentu tanpa nama yang jelas.

Adapun latar tempat terjadinya peristiwa dalam dongeng Momotaro adalah sebagai berikut:

1. Bukit

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Suatu hari, pak tua pergi ke bukit seperti biasanya” (Hal.321).

2. Sungai

(49)

3. Sebuah Kamar

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Istrinya lalu berlari masuk ke sebuah kamar yang kecil dan mengeluarkan dari lemari buah persik yang besar itu” (Hal.324).

4. Pulau di bawah Laut

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Nun jauh dari tempat ini ke Utara Jepang, ada sebuah pulau di bawah laut” (Hal.328).

5. Bawah Sebuah Pohon

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Maka dibukanya tasnya dan mengambil satu kue beras, lalu duduk di bawah sebuah pohon di dekat jalan untuk memakannya” (Hal.330).

6. Utara Jepang

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Aku Momotaro, dan aku sedang dalam perjalanan menaklukkan setan-setan di benteng pulau mereka di Utara Jepang” (Hal.331).

7. Lembah

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “ Aku kera yang tinggal di lembah ini” (Hal.333).

8. Ladang

(50)

9. Pantai Samudra Timur-Laut

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Setelah berjalan cepat setiap harinya, mereka akhirnya sampai di pantai Samudra Timur-Laut” (Hal.336).

10. Perahu

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Momotaro lalu mengambil sebuah perahu kecil, dan mereka semua naik ke perahu itu” (Hal.338) 11. Lautan

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Angin dan cuaca saat ini cukup baik, dan perahu itu meluncur layaknya anak panah melintasi lautan” (Hal.338).

12. Kastil

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Di puncak pantainya yang terjal dan menjorok ke laut ada sebuah kastil besar” (Hal.339).

13. Puncak

Hal ini terlihat jelas pada kalimat berikut: “Momotaro mendarat, dan berharap bias menemukan jalan masuk, berjalan menuju puncak, diikuti si kera dan si anjing” (Hal.341).

b. Latar Waktu

(51)

Latar waktu pada cerita ini dimulai pada kata dahulu kala yang sebenarnya tidak faktual. Frasa ini terdapat pada halaman 321, alinea pertama yang menyatakan “dahulu kala, tinggallah seorang pak tua dan istrinya”.

Latar waktu pada cerita ini juga terdapat pada saat musim panas. Frasa itu terdapat halaman 321, alinea ketiga yang menyatakan “saat itu hampir memasuki musim panas, dan seluruh negeri terlihat sangat molek dengan hamparan rerumputan segarnya”.

Latar waktu pagi hari juga ada pada cerita ini yang terdapat pada halaman 322, alinea pertama yang menyatakan “kedua-duanya merasa sangat bahagia di pagi itu”.

Latar waktu pada cerita ini juga terdapat pada saat matahari mulai terbenam. Frasa itu terdapat pada halaman 324, alinea pertama yang menyatakan “ pak tua akhirnya pulang begitu matahari mulai terbenam, membawa di punggungnya karung beras berisi rumput”.

Siang dan malam juga disebutkan secara simbolik pada cerita ini, yang terdapat pada halaman 326, alinea kedua yang menyatakan “mereka menangis siang dan malam atas kemalangan mereka karena tak ada anak yang bisa membantu mereka”.

Latar waktu yang menggunakan tahun juga ada digunakan, yang terdapat pada halaman 326, alinea ketiga yang menyatakan “tahun-tahun pun berlalu begitu cepatnya dan si anak tumbuh besar dan sudah berumur lima belas tahun”.

(52)

Latar waktu setiap hari juga ada pada cerita ini yang terdapat pada halaman 336, alinea ketiga yang menyatakan “setelah berjalan cepat setiap harinya, mereka akhirnya sampai di pantai Samudra Timur-Laut”.

Matahari tengah terik bersinar juga disebutkan secara simbolik pada cerita ini, yang terdapat pada halaman 339, alinea pertama yang menyatakan “dan suatu hari ketika metahari tengah terik bersinar, terlihat sosok sebuah pulau dikejauhan”.

Tahun yang lebih panjang lagi digunakan juga dalam cerita ini. Hal ini terdapat pada halaman 343, alinea keempat “karena kau telah membunuh dan menyiksa orang-orang serta merampok warga kami selama bertahun-tahun”.

Itulah latar tempat dan latar waktu yang digunakan dan terdapat pada cerita dongeng Momotaro ini.

2.6 Biografi Pengarang

Yei Theodora Ozaki adalah penerjemah era awal abad ke-20 untuk dongeng-dongeng klasik Jepang. Karya terjemahannya sangat popular dan mengalami cetak ulang beberapa kali, hingga setelah akhir hayatnya.

Beliau lahir di Amerika Serikat, putri dari Baron Ozaki, salah satu dari sedikit warga negara Jepang pertama yang mendapat pendidikan di Barat. Setelah orangtuanya bercerai, Yei dan saudara-saudaranya tinggal bersama ibunya, Bathia Chaterina Morrison, hingga remaja, sebelum kemudian dikirim pulang ke Jepang bersama ayahnya.

(53)
(54)

BAB III

ANALISIS PESAN MORAL DALAM DONGENG MOMOTARO

3.1 Sinopsis Cerita Momotaro

Cerita ini dimulai pada waktu yang lama sekali. Tokoh utamanya yaitu Momotaro. Diceritakan, tinggallah seorang pak tua dan istrinya. Mereka ini adalah petani miskin, dan harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Suatu hari, pak tua pergi ke bukit seperti biasanya untuk membabat rumput dan istrinya membawa baju ke sungai untuk dicuci. Istri pak tua akhirnya menemukan tempat yang enak di dekat sungai, lalu menurunkan keranjangnya. Ketika dia tengah sibuk mencuci baju, sebuah biji perik besar tampak terombang-ambing ombak sungai. Istri pak tua terheran-heran, sebab seumur hidupnya ia belum pernah melihat buah persik sebesar yang dilihatnya sekarang.

Direntangkannya tangannya untuk mencoba meraihnya, tetapi buah itu masih jauh dari jangkauan tangannya. Dicarinya ranting kayu, tetapi tidak ada satupun ranting kayu di sana yang terlihat.

Ia berhenti sejenak untuk berpikir apa yang harus dilakukannya, diingatnya sebuah pantun tua yang manjur. Lalu dia mulai bertepuk tangan untuk mengatur irama pantunnya dengan gerakan persik yang terombang ambing ombak sungai itu.

(55)

memungutnya. Istri pak tua merasa gembira. Dia tak bisa melanjutkan bekerja karena begitu senang dan bahagianya. Dia pun lalu bergegas pulang.

Si istri sudah tidak sabar menungu suaminya pulang, dan akan menceritakan apa yang ia temukan. Ketika pak tua akhirnya pulang, si istri menceritakan apa yang telah ia temukan di sungai. Istrinya lalu berlari masuk ke sebuah kamar yang kecil dan mengeluarkan dari lemari buah persik yang besar itu. Ketika pak tua melihat buah persik itu, dia juga merasa takjub. Diambilnya pisau dapur, lalu ditaruhnya buah persik itu di atas talenan, tengah bersiap hendak memotongnya, ketika ajaibnya buah persik itu terbelah dua dengan sendirinya. Lalu keluarlah seorang anak berukuran mini yang tampan, mereka memberi nama anak itu MOMOTARO, atau ANAK BUAH PERSIK, karena dia muncul dari dalam buah persik.

Tahun-tahunpun berlalu begitu cepatnya dan si anak tumbuh besar dan sudah berumur lima belas tahun. Dia lebih tinggi dan jauh lebih kuat dibanding anak laki-laki lainnya yang seusianya. Dia pun memiliki wajah yang rupawan dan juga pemberani, serta sangat bijaksana untuk anak seusia itu.

(56)

Mendengar niat anaknya itu, pak tua terkejut sekali, namun ia sangat bangga, karena anaknya yang masih berusia 15 tahun sudah memiliki pemikiran seperti itu.

Akhirnya pak tua dan istrinya pun memberangkatkan Momotaro. Walaupun perpisahan itu sangat menyedihkan, namun di hati mereka masing-masing ada perasaan bangga.

Momotaro bergegas dalam perjalanannya sampai tengah hari. Selama dalam perjalanan, Momotaro secara berturut-turut bertemu dengan seekor anjing, kera, dan burung pegar. Ketiga binatang itu meminta diri untuk ikut bersama Momotaro dalam perjalanan menuju pulau setan.

Setelah berjalan cepat setiap harinya, mereka akhirnya sampai di pantai Samudra Timur-Laut. Sesaat si anjng, kera, dan si burung kebingungan dan saling berpandang-pandangan dalam hening. Karena mereka belum pernah melihat laut sebelumnya.

Momotaro menyadari kalau semangat mereka menjadi ciut begitu melihat laut. Momotaro akhirnya menyemangati mereka, dan pada akhirnya mereka kembali bersemangat.

(57)

Ketika itu angin bertiup bersahabat dan tak terhadang badai, jadi perahu itu bisa melaju cepat, dan suatu hari ketika matahari tengah terik bersinar, terlihat sosok sebuah pulau di kejauhan, menjawab penantian mereka.

Momotaro langsung tahu kalau apa yang mereka lihat itu adalah benteng para setan. Di puncak pantai yang terjal dan menjorok ke laut ada sebuah kastil besar. Kini ketika tantangan sudah di depan mata, dia serius berpikir mencari cara bagaimana dia nanti akan memulai serangan.

Momotaro akhirnya mendapat ide, ia membagi tugas masing-masing. Mulai dari si burung yang diperintahkan untuk segera terbang ke kastil dan memancing para setan itu untuk bertempur. Sementara si burung sudah pergi menghampiri tembok pertahanan setan itu, Momotaro, kera, dan anjing membawa perahu mendarat ke pantai.

Momotaro mendarat, dan berharap bisa menemukan jalan masuk, berjalan menuju puncak, di ikuti si kera dan si anjing. Tak lama kemudian mereka bertemu dengan dua gadis cantik yang tengah mencuci baju di sungai. Momotaro melihat kalau baju-baju mereka itu bernoda darah, dan saat ke dua gadis itu mencuci, air mata mereka mengalir membasahi pipi. Momotaro menanyakan jati diri mereka, ternyata mereka adalah tawanan raja setan. Mereka diculik dari rumah mereka ke pulau itu dan mereka harus jadi pelayannya.

(58)

Kemudian kedua gadis itu berjalan di depan dan menunjukkan pada Momotaro sebuah pintu kecil di belakang yang terletak di bagian terendah tembok kastil itu.

Momotaro begitu gencar melancarkan serangan bertubi-tubinya membuat gerombolan setan tak sanggup bertahan diri melawannya. Pertama-tamanya, lawan mereka adalah seekor burung, si ayam pegar, tetapi ketika kini Momotaro beserta si anjing dan si kera telah sampai, mereka semua jadi kalang kabut, karena mereka layaknya ratusan orang.

Beberapa dari monster itu terjungkal dari jembatan kastil dan hancur berkeping-keping menghantam karang di bawahnya, yang lainnya ada yang tercumplung ke laut dan tenggelam, banyak lagi yang mati.

Pimpinan gerombolan setan itu akhirnya tinggal satu-satunya yang tersisa. Dia memutuskan untuk menyerah, karena disadarinya kalau lawannya itu lebih kuat dari manusia biasa.

Kemudian Momotaro mengikat si pemimpin setan itu dan menyerahkannya pada si kera untuk menjaganya. Setelah melakukan itu, Momotaro berjalan berkeliling ke semua ruangan di kastil itu dan melepaskan para tawanan, lalu mengumpulkan semua harta yang ditemukannya.

Si anjing dan si burung membawa pulang barang-barang jarahan itu, dan Momotaro kembali kerumahnya berjaya, membawa serta bersamanya si raja setan sebagai tawanan.

(59)

Seluruh negeri mengelu-elukan Momotaro sebagai pahlawan saat dia pulang dalam keadaan berjaya, dan semua bergembira karena negeri itu kini terbebas dari setan-setan perampok yang selama ini menteror seluruh negeri selama bertahun-tahun.

Kegembiraan pak tua dan istrinya jauh lebih dari sebelum-sebelumnya, dan harta yang di bawa pulang momotaro membuat mereka bisa hidup tenang dan berkecukupan sampai akhir hayatnya.

3.2 Analisis Cerita Momotaro

Sebagaimana yang telah penulis jabarkan pada bab-bab sebelumnya, tentang pengertian moral dan juga hal-hal yang meliputi prinsip-prinsip moral terlebih prinsip etika moral bushido yaitu kejujuran, keberanian, kebajikan/ kemurahan hati, kesopanan, keadilan/ kesungguhan, kehormatan, dan kesetiaan. Maka untuk selanjutnya penulis akan jelaskan satu persatu prinsip moral bushido yang ada dalam cerita “Momotaro”

Teori-teori tersebut di atas akan kita lihat dan analisis pada cuplikan-cuplikan dari cerita Momotaro sebagai berikut:

3.2.1 Moral Kejujuran

Cuplikan Momotaro (2010:328;330)

“Pasti ayah menganggapnya aneh melihat aku hendak pergi,” kata Momotaro, “ karena aku belum mengatakan pada ayah alasanku sebenarnya. Nun jauh dari tempat ini ke Utara Jepang, ada sebuah pulau di bawah laut. Pulau ini

menjadi benteng pertahanan sekawanan setan. Aku sering mendengar mereka

(60)

semua yang bisa mereka temukan. Mereka bukan hanya sangat kejam, tetapi juga

membangkang kaisar kita dan melanggar peraturan-peraturan yang dibuat

kaisar. Mereka juga kanibal, karena mereka juga membunuh dan memakan

orang-orang yang bernasib malang yang berhasil mereka tangkap. Setan-setan

itu sangat pendendam. “Aku harus pergi mengalahkan mereka, membawa

kembali semua barang jarahan yang sudah mereka curi dari negeri ini. Karena

itulah aku mau pergi sebentar saja!”(328).

Tetapi kemudian diucapkannya “selamat berpisah!” dengan hati mantap

(330).

Analisis”

Dari cuplikan di atas, terlihat jelas indeksikal penyampaian pesan moral kejujuran. Pada kalimat tersebut terlihat bahwa Momotaro memiliki sikap terbuka. Niat/ tekadnya untuk pergi ke benteng pertahanan sekawanan setan itu tidak bertentangan dengan suara hati atau kenyakinannya. Tampak dari kalimat “Aku sering mendengar mereka menyerang negeri ini, membunuh dan merampok

orang-orang, lalu membawa semua yang bisa mereka temukan. Mereka bukan

hanya sangat kejam, tetapi juga membangkang kaisar kita dan melanggar

peraturan-peraturan yang dibuat kaisar. Mereka juga kanibal, karena mereka

juga membunuh dan memakan orang-orang yang bernasib malang yang berhasil

mereka tangkap. Setan-setan itu sangat pendendam. Aku harus pergi

mengalahkan mereka, membawa kembali semua barang jarahan yang sudah

mereka curi dari negeri ini”. Momotaro mengetahui bahwa negerinya sedang

(61)

Perlakuaan mereka telah merugikan negerinya. Ia menginginkan kembali suasana negerinya yang aman. Sehingga pada akhirnya ia mau terbuka kepada kedua orang tuanya dan jujur menyampaikan niatnya itu.

Menurut analisis saya, Momotaro adalah orang yang memiliki sifat jujur dan selalu berjalan di atas jalan lurus. Dari kata-kata “Mereka bukan hanya sangat kejam, tetapi juga membangkang kaisar kita dan melanggar

peraturan-peraturan yang dibuat kaisar”. Tindakan yang merugikan banyak orang yang

telah dilakukan oleh sekawanan setan itu bertentangan dengan prinsip kebenaran yang dianut oleh Momotaro. Hal tersebut tentunya tidak dibenarkan. Ini menunjukkan sikap moral kejujuran seorang Bushi. Yaitu membuat keputusan dengan alasan yang tepat. Selain itu tampak bahwa kejujuran yang di tunjukkan oleh Momotaro ini sejalan dengan ajaran Bushido, yaitu kejujuran yang menunjukkan kekuatan pasti pada setiap tingkah lakunya tanpa keragu-raguan. Momotaro sudah bisa nantinya menghadapi setiap keadaan yang akan dihadapinya. Tampak dari kata-kata Tetapi kemudian diucapkannya “selamat berpisah!” dengan hati mantap.

3.2.2 Moral Keberanian

Cuplikan Momotaro (2010:328;330-331)

Setan-setan itu sangat pendendam. Aku harus pergi mengalahkan mereka,

dan membawa kembali semua barang jarahan yang sudah mereka curi dari

(62)

Ketika dia tengah makan siang seekor anjing hampir sebesar anak kuda

berlari menyeruak dari rerumputan tinggi. Dia langsung menghampiri

Momotaro, lalu ditunjukkannya gigi-ginya, sambil berkata dengan garangnya:

“Lancang sekali kau ini lewat di ladangku tanpa meminta ijin dulu. Kalau

kau berikan semua kue beras di tasmu itu, kau boleh pergi. Kalau tidak, akan

kugigit kau sampai mati!”

Momotaro hanya tertawa mengejek:

“Tadi kau bilang apa? Tahukah kau siapa aku? Aku Momotaro, dan aku

sedang dalam perjalanan menaklukkan setan-setan di benteng pulau mereka di

Utara Jepang. Kalau kau coba-coba menghentikanku dalam perjalananku menuju

ke sana, akan kubelah kau jadi dua dari kepala sampai ke bawah!”(330-331).

Analisis:

Dari cuplikan di atas, terlihat jelas indeksikal penyampaian pesan moral keberanian. Pada kalimat tersebut terlihat bahwa Momotaro memiliki keberanian yang kuat. Pada kalimat “setan-setan itu sangat pendendam” menunjukkan seberapa besarpun kekuatan setan-setan itu dan bagaimanapun tabiat mereka, Momotaro siap untuk menghadapinya. Padahal yang akan dihadapi oleh Momotaro itu bukan hanya satu setan saja, namun banyak setan. Momotaro akan mengalahkan para setan itu dengan kekuatan/ usaha sendiri, hal ini nampak pada kata-kata “Aku harus pergi mengalahkan mereka”. Momotaro berani dalam menghadapi siapa saja yang mencoba menghalanginya.

Menurut analisis saya, dari kata-kata “Aku harus pergi mengalahkan mereka” tampak bahwa Momotaro berani untuk mengambil resiko dari hal yang

(63)

sendiri yang pada akhirnya akan menyerang benteng pertahanan sekawanan setan itu, ia akan tetap maju untuk mengalahkannya.

Bahkan, ketika Momotaro juga dalam perjalanannya bertemu dengan anjing yang ingin menghalangi perjalanannya, Momotaro tidak meresa gementar. Tekad dan keberaniannya tidak bisa dihentikan oleh siapa saja. Sedikitpun keberaniaannya tidak akan menjadi ciut oleh keadaan yang ia alami disepanjang perjalanannya.

Ini menunjukkan sikap moral keberaniaan dalam Bushido. Berani dan yakin untuk mengatasi keadaan. Ketika negerinya dalam keadaan tidak aman, Momotaro mengambil langkah akan mempertahankan kelompoknya. Ia rela mati dalam mempertahankan dan membela kelompoknya. Keberanian Momotaro untuk membela kebenaran yang ditunjukkan pada cuplikan tersebut menunjukkan etika moral keberanian seorang Bushi.

3.2.3 Moral Kebajikan/ Kemurahan hati

Cuplikan Momotaro (2010: 341-342;343;344) “Siapakah kalian dan mengapa kalian menangis?”

Kami tawanan Raja Setan. Kami diculik dari rumah kami ke pulau ini, dan meskipun kami adalah ank-anak Daimyo, kami harus jadi pelayannya, dan suatu hari nanti dia akan membunuh kami. Tak ada siapa pun yang bisa menolong kami.

Lalu air mata mereka menyembur deras memikirkan hal yang mengerikan itu.

“Aku akan menyelamatkan kalian,” kata Momotaro. “Jangan menagis

(64)

Kemudian Momotaro mengikat si pemimpin setan dan menyerahkanya pada si kera untuk menjaganya. Setelah melakukan itu, Momotaro berjalan berkeliling ke semua ruangan di kastil itu dan melepaskan para tawanan, lalu

mengumpulkan semua harta yang ditemukannya.(343).

Kedua gadis yang malang itu, anak-anak dari daimyo, dan yang lainnya

juga yang telah diculik oleh si setan jahat untuk menjadi budaknya, diantar

pulang ke rumahnya dengan selamat dan diserahkan ke orangtua mereka.(344)

Analisis:

Dari cuplikan di atas, terlihat jelas indeksikal penyampaian pesan moral kemurahan hati (kebajikan). Pada kalimat tersebut terlihat bahwa Momotaro memiliki rasa kasih sayang dan kemurahan hati yang besar. Momotaro seakan tidak sanggup ketika sampai di benteng pertahanan setan, menemukan putri-putri Daimyo yang dijadikan budak, yang seharusnya mereka dihormati.

Menurut analisis saya, Momotaro sangat sayang kepada rakyatnya. Ia menenangkan ke dua putri Daimyo dan Momotaro berjanji akan menyelamatkan kedua putri Daimyo itu. Dan janjinya pun ditepati. Ia mengantarkan mereka pulang ke rumah orang tua mereka masing-masing. Dari kata-kata Momotaro berjalan berkeliling ke semua ruangan di kastil itu dan melepaskan para

tawanan, lalu mengumpulkan semua harta yang ditemukannya, menunjukkan

(65)

3.2.4 Moral Kesopanan/ Hormat Cuplikan Momotaro (2010:333) “Siapakah kau?”

“Aku kera yang tinggal di lembah ini,” jawab si kera. “Aku mendengar tentang ekspedisi tuan ke Pulau Setan, dan aku datang untuk ikut dengan tuan. Takkan ada yang bisa membuatku lebih senang selain ikut menyertai tuan!”

“Apa kau betul-betul ingin ikut ke Pulau Setan dan bertempur bersamaku?”

“Ya, tuan,” jawab kera itu.

Kukagumi keberanian

Referensi

Dokumen terkait

Pengarang juga menjadikan gerimis sebagai latar suasana yang selalu mnegiringi kejadian-kejadian penting yang dialami tokoh dalam

Berdasarkan uraian dan pernyataan di atas, penulis mencoba memaparkan dan membahas nilai moral yang terdapat dalam novel Furinkazan yang dicerminkan oleh para tokoh berupa

Strategi kreatif pada media buku ilustrasi tentang tokoh si Kancil dalam dongeng binatang ini adalah berupa penyampaian informasi mengenai sifat dan karakter si kancil melalui

Jassin (dalam Suroto, 1989:29), novel ialah suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang (tokoh

Lalu, dari analisis skema aktansial terlihat fungsi setiap tokoh dalam keseluruhan narasi dongeng ini. Analisis ini mengungkapkan tujuan setiap tokoh dalam melakukan kamuflase

Setelah membahas mengenai nilai moral dan analisis pengungkapan nilai-nilai moral yang ditunjukkan oleh prilaku para tokoh cerita, maka pada bab ini penulis

Perubahan Kesetiaan Bushidari Tuan Kepada Keshogunan dalam Feodalisme Zaman Edo di Jepang (1603-1868), Medan: USU Press..

Dari hasil kegiatan membaca dan mendengarkan berbagai dongeng yang dilakukan oleh 70 siswa kelas VII SMP Kristen 1 BPK PENABUR Jakarta ditemukan contoh peristiwa yang dialami