• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Perkembangan Wilayah Dan Arahan Prioritas Penanganan Jaringan Jalan Di Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Perkembangan Wilayah Dan Arahan Prioritas Penanganan Jaringan Jalan Di Kabupaten Bogor"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERKEMBANGAN WILAYAH

DAN ARAHAN PRIORITAS PENANGANAN

JARINGAN JALAN DI KABUPATEN BOGOR

ALAN RIADI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Perkembangan Wilayah dan Arahan Prioritas Penanganan Jaringan Jalan di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2015

(4)

RINGKASAN

ALAN RIADI. Analisis Perkembangan Wilayah dan Arahan Prioritas Penanganan Jaringan Jalan di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh SANTUN R.P. SITORUS dan UMAR MANSYUR

Penetapan suatu strategi pembangunan memerlukan suatu penelitian untuk menganalisis tingkat perkembangan ekonomi wilayah untuk menjadi acuan dalam menentukan prioritas penanganan jaringan jalan yang ada di Kabupaten Bogor. Hasil penelitian tersebut diharapkan bisa dijadikan dasar bagi Pemerintah Daerah dalam merumuskan strategi kebijakan pembangunan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah serta dalam mengembangkan sistem jaringan jalan

berdasarkan fungsi, kelas, dan status jalan. Tujuan penelitian adalah: (1) Menganalisis tingkat perkembangan aktivitas ekonomi wilayah di Kabupaten

Bogor; (2) Menganalisis sektor ekonomi basis dan komoditas unggulan pertanian; (3) Menganalisis efisiensi pembangunan Wilayah (Pemanfaatan Sarana Prasarana; (4) Menganalisis tingkat hirarki wilayah; dan (5) Merumuskan arahan prioritas penanganan jaringan jalan untuk mendukung perkembangan wilayah. Analisis

dilakukan dengan menggunakan metode analisis Entropi, Analisis Location

Quotient (LQ), Shift Share Analysis (SSA), Analisis Skalogram, Analisis DEA

dan analisis MCDM (AHP-TOPSIS).

Hasil analisis Entropi menunjukan bahwa Indeks entropi/ perkembangan wilayah Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Bogor dengan nilai diatas rata-rata nilai indeks (0,0957) hanya berjumlah 10 kecamatan dari 40 Kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor. Hal ini menunjukkan, secara umum perkembangan proporsi keragaman sektor perekonomiaan di Kabupaten Bogor belum cukup baik.

Kecamatan di Kabupaten Bogor sudah mulai mengalami transformasi mengarah kepada kawasan perkotaan dimana sudah terjadi pergeseran sektor ekonomi dari primer ke sekunder dan tersier. Khususnya di 7 Kecamatan (Sukaraja, Babakan Madang, Cileungsi, Gunung Putri, Citeureup, Cibinong Bojong Gede) yang tidak memiliki Keunggulan Komparatif di kelompok sektor ekonomi primer. Dari segi keunggulan kompetitif dapat dijelaskan bahwa subsektor buah – buahan dan subsektor perkebunan rakyat mengalami pertumbuhan yang lambat di Kabupaten Bogor. Subsektor pertanian tanaman pangan, sayuran, perikanan dan peternakan mengalami pertumbuhan yang cepat di Kabupaten Bogor.

Tingkat hirarki wilayah Kabupaten Bogor tahun 2013 masih banyak kecamatan yang berada pada hirarki III, jumlahnya sebanyak 57,5 persen (23 kecamatan) di Kabupaten Bogor yang masih berada di hirraki III (kurang maju). Kecamatan yang berada pada hirarki II sebanyak 32,5 persen (13 kecamatan) dan kecamatan yang berada pada hirarki I sebanyak 10 persen (4 kecamatan).

Secara umum keberadaan jumlah dan kondisi sarana prasarana yang ada di tiap kecamatan belum secara efisien mendorong peningkatan PDRB. Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena kelengkapan jumlah dan kondisi prasarana jalan di kecamatan tersebut tidak sebanding dengan capaian PDRB.

(5)

Ciomas; (10) Kemang; (11) Cisarua; (12) Dramaga; (13) Bojong Gede; (14) Parung; (15) Jonggol; (16) Cigombong; (17) Tanjungsari; (18) Tenjolaya; (19) Jasinga; (20) Babakan Madang; (21) Klapanunggal; (22) Tamansari; (23) Parung Panjang; (24) Sukaraja; (25) Cigudeg; (26) Cibungbulang; (27) Pamijahan; (28) Sukamakmur; (29) Leuwisadeng; (30) Rancabungur; (31) Ciampea; (32) Megamendung; (33) Tenjo; (34) Ciseeng; (35) Rumpin; (36) Nanggung; (37) Tajurhalang; (38) Gunung Sindur; (39) Cijeruk; dan (40) Sukajaya. Berdasarkan hasil penentuan arahan prioritas tersebut dan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan serta anggaran yang tersedia, maka penanganan ruas jalan di Kabupaten Bogor dapat dilakukan dalam 4 Tahap. Tahap I penanganan jalan terhadap 16 Kecamatan, Tahap II penanganan jalan terhadap 9 Kecamatan, Tahap III penanganan jalan terhadap 11 Kecamatan, dan Tahap IV penanganan jalan terhadap 4 Kecamatan.

(6)

SUMMARY

ALAN RIADI. Regional Development Analysis and Handling Priority Directive of Road Network in Bogor Regency. Supervised by SANTUN R.P. SITORUS and UMAR MANSYUR.

In establishing the development of strategy, it needs a study to analyze the level of economic development of the region to be a reference in determining the priority of handling the existing road network Bogor Regency. The research results are expected to be used as the basis for local government in formulating development policy strategy to promote economic growth in developing region and road network system based on functions, classes, and status of the road. The purpose of this study were to analyzing (1) The level of development of regional economic activityarea, (2) The economic sectors and leading commodity agricultural base, (3) The efficiency of regional development (utilization of infrastructure), (4) The levels of hierarchy in the territory of Bogor Regency, (5) Formulate directives handling priority of road network to support the development of the region. Analyses were performed using Entropy Analysis Method, Location Quotient Analysis (LQ), Shift Share Analysis (SSA), Skalogram Analysis, DEA Analysis, and MCDM (AHP-TOPSIS).

Based on the results of the entropy analysis showed the entropy index / development area of sub-districts in the district of Bogor with a value above the

average value of the index amounted (0,0957) only 10 districts from 40

sub-districts in Bogor regency. Its shows in general the development of the proportion of the diversity of economic sectors in Bogor regency has not been good enough.

Sub-district in Bogor regency have started undergoing a transformation leads to urban areas where the economy has been a shift from primary to secondary and tertiary. Particularly in 7 sub-districts (Sukaraja, Babakan Madang, Cileungsi, Gunung Putri, Citeureup, Cibinong, Bojong Gede) that doesn’t have a comparative advantage in the primary economic sector group. Competitive advantage can be explained that the sub-sector of the fruits and folk of plantation subsector experiencing slower growth in Bogor regency. The subsector of food crops, vegetables, fisheries, and livestock experiencing rapid growth in the Bogor Regency.

Hierarchy of the Bogor regency in 2013 still have sub-district are in the hierarchy III, it was around 57.5 percent (23 sub-district) in Bogor regency still in the hierarchy III (less advanced). Sub-district in the hierarchy II totaly 32.5 percent (13 sub-districts) and a sub-district in the hierarchy I totally 10 percent (4 sub-districts).

In general the existence totally and condition of existing infrastructure in every sub-district not yet efficiently increase PDRB. This is possible because of the completeness the totally and condition of the road infrastructure in sub-district isn’t proportional to the achievement of PDRB.

(7)

Jonggol; (16) Cigombong; (17) Tanjungsari; (18) Tenjolaya; (19) Jasinga; (20) Babakan Madang; (21) Klapanunggal; (22) Tamansari; (23) Parung Panjang; (24) Sukaraja; (25) Cigudeg; (26) Cibungbulang; (27) Pamijahan; (28) Sukamakmur; (29) Leuwisadeng; (30) Rancabungur; (31) Ciampea; (32) Megamendung; (33) Tenjo; (34) Ciseeng; (35) Rumpin; (36) Nanggung; (37) Tajurhalang; (38) Gunung Sindur; (39) Cijeruk; and (40) Sukajaya. Based on the results of the determination of the priority direction and adapted to the costs involved and available budget, the handling of roads in Bogor can be done in 4 phases. Those are, Phase I handling road in 16 subdistricts, Phase II in 9 subdistricts, Phase III in 11 subdistricts, and Phase IV in 4 Sub Districts.

   

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

ANALISIS PERKEMBANGAN WILAYAH

DAN ARAHAN PRIORITAS PENANGANAN

JARINGAN JALAN DI KABUPATEN BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Alhamdulillah, Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya jualah sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini yang berjudul Analisis Perkembangan Wilayah dan Arahan Prioritas Penanganan Jaringan Jalan di Kabupaten Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus sebagai ketua komisi pembimbing sekaligus Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah dengan kesabaran dan keikhlasannya telah meluangkan waktu untuk mengarahkan dan membuka wawasan penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

2. Bapak Dr Ir Umar Mansyur, MT sebagai anggota komisi pembimbing yang juga dengan kesabaran dan keikhlasannya telah meluangkan waktu untuk mengarahkan dan membuka wawasan penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 3. Bapak Dr Ir Soekmana Soma MSP, M.Eng selaku dosen penguji luar komisi

dan Ibu Dr Khursatul Munibah, MSc selaku pimpinan ujian atas masukan dan sarannya.

4. Segenap dosen dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB yang telah mengajar dan membantu penulis selama mengikuti studi.

5. Pimpinan dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis.

6. Bapak Bupati, Sekretaris Daerah, Kepala Badan Kepegawaian Daerah, serta Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bogor yang telah memberikan ijin serta dukungan baik moril maupun materiil unuk mengikuti tugas belajar pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB.

7. Orang Tua terkasih serta Istri dan Putri tercinta yang telah memberikan ridho, ijin serta dorongan semangat sehingga memberikan kekuatan yang besar kepada penulis.

8. Rekan-rekan PWL IPB baik kelas khusus Bappenas maupun reguler yang juga memberikan dorongan moral untuk kesuksesan penulis.

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas bantuan baik moril maupun materiil selama studi dan penulisan tesis ini.

Penulis sepenuhnya menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan. Kritik dan saran yang bermanfaat sangat diharapkan penulis untuk lebih menyempurnakan karya tulis ini. Semoga memberikan manfaat.

Bogor, Desember 2015

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ii

DAFTAR GAMBAR iii

DAFTAR LAMPIRAN iii

1. PENDAHULUAN 1 

Latar Belakang 1 

Perumusan Masalah 5 

Tujuan Penelitian 6 

Manfaat Penelitian 7

Kerangka Pemikiran 7

2. TINJAUAN PUSTAKA 9

Konsep perencanaan Pengembangan Wilayah 9

Pusat Pertumbuhan dan Hirarki Wilayah 11

Pembangunan Ekonomi 13

Infrastruktur Jaringan Jalan 15

3. METODE PENELITIAN 19

Lokasi dan Waktu Penelitian 19

Jenis dan Teknik Pengumpulan Data 19

Metode Analisis Data 22

4. KONDISI UMUM WILAYAH 34

Aspek Geografi dan Demografi 34

Aspek Kesejahteraan Masyarakat 35

Aspek Pelayanan Umum 41

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 42

Perkembangan Wilayah Kecamatan di Kabupaten Bogor 42

Sektor Ekonomi Basis dan Komoditas Unggulan 45

Efisiensi Pembangunan Wilayah dan Hirarki Wilayah 51

Transportasi Asal Tujuan 59

Arahan Prioritas Penanganan Jaringan Jalan di Kabupaten Bogor 63

4. SIMPULAN DAN SARAN 77

Simpulan 77

Saran 77

DAFTAR PUSTAKA 79

LAMPIRAN 81

(14)

DAFTAR TABEL

1. Nilai PDRB, PDRB per kapita, dan Laju Pertumbuhan Ekonomi

Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2013 - 2014 2 

2. Kondisi Jaringan Jalan di Kabupaten Bogor Tahun 2014 5

3. Skala Dasar Ranking Analytical Hierarchy Process (AHP) 18

4. Jenis Data, Sumber Data, Teknik Analisis dan Keluaran. 21

5. Struktur Tabel Analisis Skalogram 27

6. Matriks Pertimbangan Perencanaan Penyusunan Arahan Prioritas

Penanganan Jalan 31

7. Anggaran dan Biaya untuk penanganan Jaringan jalan di Kabupaten

Bogor Tahun 2013 - 2014 33

8. PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Kabupaten Bogor Menurut

Lapangan Usaha Tahun 2012 - 2013 (Juta Rupiah) 36

9. PDRB Atas Dasar Harga Konstan Kabupaten Bogor Menurut

Lapangan Usaha Tahun 2012 - 2013 (Juta Rupiah) 37

10. Realisasi Indikator Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten Bogor

Tahun 2011 - 2013 40

11. Indeks Entropi Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2013 43

12. Nilai LQ Per Sektor - sektor Perekonomian di Kabupaten Bogor

Tahun 2013 45

13. Struktur Ekonomi Basis Hasil Analisis Location Quotient (LQ)

Kecamatan di Wilayah Kabupaten Bogor 47

14. Jumlah Komoditas Unggulan sub sektor pertanian berdasarkan Hasil

Shift Share Analysis (SSA)DI Kabupaten Bogor 49

15. Efisiensi Jumlah Sarana Prasarana Jalan Terhadap Capaian PDRB

Kecamatan di Kabupaten Bogor 53

16. Hirarki Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2013 56

17. Persentase Hirarki Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2013 57

18. Pergerakan orang yang masuk ke setiap Kecamatan di Kabupaten

Bogor Tahun 2013 (orang/tahun) 62

19. Hasil Pembobotan Kriteria dan Nilai CR Berdasarkan Analisis AHP 64

20. Arahan Prioritas Penanganan Jaringan Jalan di Kabupaten Bogor 67

21. Rencana Tahapan Penanganan Jaringan Jalan di Kabupaten Bogor 70

(15)

iii

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka Pikir Penelitian 8

2. Bagan Alir Penelitian 20 

3. Grafik Representasi satu input dan satu output DEA 26 

4. Peta Administrasi Kabupaten Bogor 35

5. LPE Kabupaten Bogor Tahun 2001 - 2013 (%) 38

6. PDRB Per kapita per Tahun Kabupaten Bogor Tahun 2011-2013

(Juta Rupiah) 38

7. Peta Perkembangan Ekonomi Wilayah 40 Kecamatan

di Kabupaten Bogor 44

8. Peta tingkat efisiensi positif sarana prasarana jalan terhadap

capaian nilai PDRB 40 kecamatan di Kabupaten Bogor 54

9. Peta Hirarki Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2013 58

10. Grafik Ranking of Alternatives Kecamatan Prioritas Penanganan

Jaringan Jalan Berdasarkan Analisis TOPSIS 66

11. Peta Arahan Lokasi Penaganan Jaringan Jalan di Kabupaten Bogor 68

11. Peta Jaringan Jalan dan Tahapan Penanganan Jalan

di Kabupaten Bogor 76

DAFTAR LAMPIRAN

1. PDRB Kecamatan Atas Dasar Harga Konstan di Kabupaten Bogor

Tahun 2013 (Juta Rupiah) 81

2. Hasil Analisis LQ & SSA Terhadap Nilai Hasil Produksi Sub Sektor

Pertanian Tanaman Pangan di Kabupaten Bogor 82 3. Hasil Analisis LQ & SSA Terhadap Nilai Hasil Produksi Sub Sektor

Pertanian Tanaman Buah - buahan di Kabupaten Bogor 84 4. Hasil Analisis LQ & SSA Terhadap Nilai Hasil Produksi Sub Sektor

Pertanian Tanaman Sayuran di Kabupaten Bogor 88 5. Hasil Analisis LQ & SSA Terhadap Nilai Hasil Produksi Sub Sektor

Pertanian Tanaman Perkebunan di Kabupaten Bogor 91 6. Hasil Analisis LQ & SSA Terhadap Nilai Hasil Produksi Sub Sektor

Perikanan di Kabupaten Bogor 93

7. Hasil Analisis LQ & SSA Terhadap Nilai Hasil Produksi Sub Sektor

Peternakan di Kabupaten Bogor 94

8. Data Analisis Skalogram 98

9. Hasil Analisis Skalogram 101

10. Hasil Analisis Efisiensi Wilayah dengan menggunakan Data Envelopment

Analysis (DEA) 104

11. Matriks Asal Tujuan Akhir Kabupaten Bogor Tahun 2013 (Orang/ Tahun) 106 12. Hasil Analisis MCDM dengan menggunakan Metode Topsis 111 13. Data Kondisi Jalan dan kebutuhan biaya Penanganan Jalan 114

14. Kuesioner untuk input data pada metode AHP-TOPSIS 116

(16)
(17)

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kemajuan kesejahteraan umum adalah merupakan salah satu tujuan Pemerintah Indonesia, sesuai dengan amanat dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, penekanan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai upaya untuk dapat mencapai tujuan tersebut. Hal ini diwujudkan dengan pemberian otonomi luas kepada daerah yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri. Pemberian kewenangan dimaksudkan agar daerah dapat meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang didukung dengan penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik (good governance). Upaya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat dimaksud dilaksanakan melalui prinsip-prinsip transparansi, partisipasi dan akuntabilitas.

Kebijakan pembangunan kewilayahan Kabupaten Bogor yaitu Perwujudan Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL) pendukung pengembangan Megapolitan Bodebekarpur (Bogor, Depok, Bekasi, Karawang, Purwakarta) serta pengembangan kawasan strategis. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bogor 2013 – 2018, fokus pembangunan wilayah Kabupaten Bogor tahun 2013-2018 diarahkan pada perwujudan PKW dan PKL serta pengembangan kawasan strategis prioritas sesuai peran dan fungsi wilayah yang tertuang dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2005 – 2025). Fokus tersebut memperhatikan kebutuhan kawasan yang secara fungsional dapat berperan mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan strategis dan kawasan sekitarnya. Secara umum, kebijakan pembangunan kewilayahan meliputi Perwujudan Cibinong Raya sebagai Pusat Kegiatan Wilayah Promosi, Prioritas pengembangan Pusat Kegiatan Lokal promosi diarahkan pada PKL Cigudeg dan PKL Parungpanjang sebagai bentuk dukungan pengembangan calon ibu kota Kabupaten Bogor Barat, dan Penataan dan Pengendalian PKL Cileungsi.

Tentunya, pembangunan yang telah dilakukan oleh pemerintah perlu dievaluasi sejauh mana keberhasilan pencapaiannya. Untuk dapat mengevaluasinya, keberhasilan pembangunan harus diukur melalui indikator – indikator pembangunan. Salah satu indikator pembangunan tersebut adalah indikator ekonomi. Indikator ekonomi ini adalah indikator yang dapat menunjukkan keberhasilan pembangunan ekonomi. Oleh karena itu pembangunan berfungsi untuk meningkatkan pencapaian indikator – indikator ekonomi yang dapat mengindikasikan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

(18)

mengalami peningkatan sebesar Rp. 13,88 triliun dari tahun 2013, dimana PDRB Kabupaten Bogor tahun 2013 sebesar Rp. 109,67 triliun. Peningkatan nilai PDRB tersebut secara tidak langsung dipengaruhi oleh kondisi jalan di Kabupaten Bogor dalam kondisi baik yang meningkat juga dari Tahun 2012 sebesar 82,99% menjadi 86,78% di Tahun 2013.

Tabel 1. Nilai PDRB, PDRB per kapita, dan Laju Pertumbuhan Ekonomi Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2013 – 2014.

No. KECAMATAN 2013 2014

PDRB (Rp. Juta)

PDRB Per kapita (Rp.

Juta)

PDRB (Rp. Juta)

PDRB Per kapita (Rp. Juta)

LPE (%)

1 Nanggung 2,250,542 26.09 2,500,778 28.86 3.62

2 Leuwiliang 1,280,818 10.83 1,436,007 12.02 8.94

3 Leuwisadeng 386,443 5.28 436,397 5.92 5.70

4 Pamijahan 686,062 4.95 768,519 5.50 4.08

5 Cibungbulang 716,972 5.51 807,330 6.15 5.65

6 Ciampea 1,322,762 8.57 1,490,269 9.55 5.63

7 Tenjolaya 343,983 6.01 384,967 6.66 4.69

8 Dramaga 940,434 8.86 1,067,429 9.93 6.59

9 Ciomas 1,170,641 7.15 1,328,987 7.91 6.16

10 Tamansari 731,545 7.44 829,008 8.28 6.16

11 Cijeruk 607,848 7.29 684,066 8.08 4.43

12 Cigombong 726,824 7.60 822,178 8.42 4.31

13 Caringin 1,161,784 9.66 1,304,799 10.71 5.12

14 Ciawi 1,913,071 17.38 2,149,693 19.19 5.11

15 Cisarua 1,484,563 12.49 1,671,608 13.88 5.26

16 Megamendung 1,195,014 11.67 1,344,363 12.94 5.57

17 Sukaraja 3,391,766 18.00 3,833,562 19.88 5.49

18 Babakan Madang 2,351,945 20.81 2,670,032 23.02 5.67

19 Sukamakmur 390,469 5.04 432,534 5.54 6.57

20 Cariu 496,054 10.66 556,707 11.98 5.60

21 Tanjungsari 366,704 7.15 409,369 7.94 3.57

22 Jonggol 953,731 7.18 1,072,759 7.90 6.44

23 Cileungsi 15,696,248 54.40 17,628,680 58.27 5.68

24 Klapanunggal 7,994,928 75.00 8,956,946 81.28 5.92

25 Gunung Putri 26,509,806 71.87 29,866,978 76.83 6.13

26 Citeureup 13,952,063 65.15 15,745,400 72.00 7.04

27 Cibinong 9,343,773 25.24 10,571,274 27.52 6.19

28 Bojonggede 1,128,345 4.06 1,292,082 4.43 6.90

29 Tajurhalang 479,373 4.41 549,763 4.89 5.62

30 Kemang 708,425 7.00 802,140 7.72 5.29

31 Rancabungur 256,536 4.90 289,486 5.47 6.11

32 Parung 1,685,541 13.37 1,897,564 14.56 7.05

33 Ciseeng 625,997 5.91 701,012 6.49 6.52

34 Gunung Sindur 2,356,107 20.36 2,655,766 22.19 5.08

35 Rumpin 983,730 7.27 1,108,120 8.10 5.02

36 Cigudeg 930,027 7.61 1,072,164 8.69 8.71

37 Sukajaya 233,492 4.08 261,144 4.55 2.57

38 Jasinga 659,369 6.90 738,567 7.69 4.95

39 Tenjo 300,632 4.35 336,900 4.82 5.50

40 Parung Panjang 956,356 7.98 1,078,667 8.78 5.42

KABUPATEN BOGOR 109,670,723 21.08 123,554,014 23.18 6.01

(19)

3   

PDRB per kapita di Kabupaten Bogor juga mengalami peningkatan pada Tahun 2014 sebesar Rp. 23,18 juta per tahun, namun hanya 6 (enam) kecamatan yang memiliki nilai PDRB per kapita diatas dari nilai PDRB per kapita Kabupaten Bogor. Sisanya sebanyak 34 Kecamatan (85 persen) nilai PDRB per kapita yang dimiliki masih dibawah nilai PDRB per kapita Kabupaten Bogor. Hal ini disebabkan nilai PDRB di kecamatan tersebut masih relatif kecil serta jumlah penduduk yang cukup besar serta laju pertumbuhan penduduk yang tinggi menyebabkan PDRB yang telah diraih harus didistribusikan kepada seluruh penduduk sehingga PDRB per kapita Kecamatan tersebut masih dibawah nilai PDRB perkapita Kabupaten Bogor.

Laju pertumbuhan ekonomi (LPE) menunjukkan tingkat perkembangan kegiatan ekonomi di suatu wilayah pada kurun waktu tertentu dibandingkan dengan kurun waktu sebelumnya (tahun dasar). Pada tahun 2014, laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor 6,01 persen. Pada Tabel 1 terlihat bahwa nilai LPE kecamatan pada tahun 2014 yang masih berada di bawah nilai LPE Kabupaten Bogor masih cukup banyak, yaitu 26 kecamatan (65 persen).

Pengembangan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah melalui nilai PDRB nominal, PDRB per kapita dan Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) dapat lebih dipacu peningkatannya bila didukung oleh tersedianya infrastruktur wilayah yang baik dan memadai. Infrastruktur wilayah terdiri dari beberapa aspek yaitu infrastruktur transportasi, sumberdaya air dan irigasi, listrik dan energi, telekomunikasi, serta sarana dan prasarana permukiman. Kebutuhan akan infrastruktur wilayah tidak terlepas dari fungsi dan peranannya terhadap pengembangan wilayah, yaitu sebagai pengarah dan pembentuk struktur tata ruang, pemenuhan kebutuhan wilayah, pemacu pertumbuhan wilayah serta pengikat wilayah.

Tersedianya jaringan prasarana transportasi yang menghubungkan ke seluruh wilayah dan pusat produksi di seluruh wilayah memberikan kesempatan dan mendorong pengembangan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah. Pertumbuhan ekonomi daerah dapat lebih dipacu peningkatannya bila didukung oleh pelayanan transportasi yang lancar, berkapasitas, dan tersedia ke seluruh wilayah. Aspek infrastruktur transportasi di wilayah Kabupaten Bogor hanya terdiri dari transportasi darat. Salah satu indikator tingkat keberhasilan penanganan infrastruktur jalan adalah meningkatnya tingkat kemantapan dan kondisi jalan.

Semua elemen pembentukan tata ruang wilayah secara langsung berkaitan dengan jaringan jalan. Setiap potensi yang ada dalam wilayah Kabupaten Bogor, baik itu potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, maupun sumberdaya buatan, hendaknya terhubungkan oleh suatu jaringan jalan, sehingga kemudahan aksesibilitas dan mobilitas antar wilayah dapat tercapai, yang pada gilirannya akan membuat wilayah dapat berkembang secara ekonomis.

(20)

masyarakat. Jaringan jalan di Kabupaten Bogor juga harus dapat mendukung mobilitas yang tinggi dari pusat-pusat produksi menuju pasar produksi. Hal tersebut dimaksudkan agar geliat perkembangan ekonomi masyarakat semakin meningkat, yang secara langsung maupun tidak langsung akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah di Kabupaten Bogor.

Dalam Undang-Undang Jalan Nomor 38 tahun 2004 menyatakan bahwa jalan mempunyai peranan penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, serta dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jalan sebagai prasarana distribusi barang dan jasa merupakan urat nadi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga akan mendorong pengembangan semua sarana wilayah, pengembangan dalam usaha mencapai tingkat perkembangan antar daerah yang semakin merata. Artinya infrastruktur jalan merupakan urat nadi perekonomian suatu wilayah. Hal ini disebabkan perannya dalam menghubungkan serta meningkatkan pergerakan manusia, dan barang.

Berdasarkan Permen PU No.14/PRT/M/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Aspek Mobilitas adalah tersedianya jalan yang memudahkan masyarakat per individu melakukan perjalanan. SPM Mobilitas jaringan jalan dievaluasi dari keterhubungan antarpusat kegiatan dalam wilayah yang dilayani oleh jaringan jalan sesuai statusnya dan banyaknya penduduk yang harus dilayani oleh jaringan jalan tersebut. Angka mobilitas adalah rasio antara jumlah total panjang jalan yang menghubungkan semua pusat-pusat kegiatan terhadap jumlah total penduduk yang ada dalam wilayah yang harus dilayani jaringan jalan sesuai dengan statusnya, dinyatakan dalam satuan Km/(10.000 jiwa). Pencapaian nilai SPM mobilitas dinyatakan oleh persentase pencapaian mobilitas pada akhir tahun pencapaian SPM terhadap angka mobilitas yang ditentukan.

Kabupaten Bogor diidentifikasikan memiliki panjang jalan yang menghubungkan semua Wilayah adalah 1.748,915 km dengan luas wilayah

2.988,383 km2. Jumlah penduduk kabupaten Bogor sebesar 5.331.000 jiwa. Maka

kerapatan penduduk adalah jumlah penduduk (jiwa) / luas wilayah Wilayah

(km2)= 1783,956 jiwa/ km2 atau masuk ke kategori IV, sehingga harus memiliki

angka mobilitas yang ditentukan adalah 3,00 Km/10.000 jiwa. Angka mobilitas Kabupaten Bogor adalah (1.748,915/ 5.331.000) x 10.000 = 3,28 Km/10.000 jiwa. Jika dibandingkan dengan angka mobilitas yang ditentukan, pencapaian SPM mobilitas adalah 3,28 / 3,00 = 109,3%.

(21)

5   

Perumusan Masalah

Jaringan jalan di Kabupaten Bogor terdiri atas Jalan Nasional, Jalan Provinsi dan Jalan Kabupaten serta jalan lingkungan permukiman. Hingga tahun 2013 jumlah panjang jalan nasional adalah sepanjang 124,85 km dengan jumlah 11 ruas, panjang jalan provinsi adalah sepanjang 121,820 km dengan jumlah 10 ruas serta jalan kabupaten adalah sepanjang 1.748,915 km dengan jumlah ruas sebanyak 458 ruas. Untuk jalan lingkungan permukiman yang meliputi jalan perumahan dan jalan desa dari data pemetaan sepanjang 6.662,89 km dengan jumlah panjang jalan yang terdata sepanjang 1.038,17 km dengan jumlah 505 ruas.

Tabel 2 menunjukkan kondisi jaringan Jalan di Kabupaten Bogor Tahun 2014. Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa kondisi jaringan jalan di Kabupaten Bogor tahun 2014 ditunjukkan dari indikator panjang jalan kabupaten dalam kondisi baik yang mencapai 71,40% dengan rata-rata panjang jalan kabupaten per jumlah penduduk hanya mencapai sekitar 0,32 m/jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas penanganan jalan yang ditangani masih sangat rendah terhadap jumlah penduduk yang sangat tinggi di wilayah Kabupaten Bogor.

Tabel 2. Kondisi jaringan Jalan di Kabupaten Bogor Tahun 2014.

Sumber : Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bogor (2014) (Data diolah)

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa penanganan jaringan jalan di Kabupaten Bogor masih belum merata dengan persentase kondisi baik ruas jalan di tiga kecamatan yang masih di bawah nilai persentase kondisi baik ruas jalan di Kabupaten, yaitu di UPT Jasinga (kondisi baik 55,76%), UPT Cigudeg (kondisi baik 59,85%), dan UPT Leuwiliang (kondisi baik 45.30%). Total kondisi baik ruas jalan kabupaten sebesar 71,40%.

NO. URAIAN

JUML AH RUAS

PANJANG (KM)

KONDISI BAIK SED

ANG

RUSAK RINGAN

RUSAK BERAT

% % % %

1 UPT JASINGA 33 173.425 55.76 5.60 6.60 32.03

2 UPT CIGUDEG 33 180.663 59.85 4.10 4.32 31.74

3 UPT

LEUWILIANG 34 150.883 45.30 11.86 3.91 38.93

4 UPT CIAMPEA 49 167.028 88.32 6.31 1.92 3.45

5 UPT CIOMAS 68 170.313 85.83 6.06 3.63 4.48

6 UPT CIAWI 59 158.646 57.12 30.74 - 12.13

7 UPT PARUNG 42 168.790 91.48 3.55 1.42 3.54

8 UPT CIBINONG 71 215.447 77.93 6.61 3.25 12.21

9 UPT

CILEUNGSI 37 156.025 68.34 12.27 5.96 13.43

10 UPT JONGGOL 30 207.695 78.13 6.71 2.61 12.55

(22)

Untuk mengetahui prioritas penanganan jaringan jalan yang merata dan tepat sasaran, perlu mengetahui terlebih dahulu tingkat perkembangan wilayah untuk melihat posisi perkembangan ekonomi dan diversitas sektor-sektor pembangunan di setiap kecamatan di Kabupaten Bogor. Selain itu, perlu juga melihat bagaimana kondisi daya dukung sarana-prasarana pelayanan di tiap kecamatan di Kabupaten Bogor, dengan melakukan analisis hirarki wilayah untuk melihat struktur hirarki perkembangan wilayah di masing – masing Kecamatan.

Informasi terkait potensi sektor – sektor ekonomi yang bisa dikembangkan juga dibutuhkan untuk menentukan arahan prioritas penanganan jaringan jalan dengan melakukan analisis komparatif dan kompetitif untuk mengidentifikasi kekuatan ekonomi lokal yang dimiliki setiap kecamatan di Kabupaten Bogor. Hal tersebut bertujuan agar penanganan jaringan jalan bisa dilakukan sesuai potensi wilayah. Melalui analisis tersebut, dapat diketahui sektor-sektor ekonomi mana saja yang merupakan sektor ekonomi basis dan komoditas unggulan pertanian.

Dalam menetapkan strategi pembangunan, diperlukan suatu penelitian untuk menganalisis tingkat perkembangan ekonomi wilayah menjadi acuan dalam menentukan prioritas penanganan jaringan jalan yang ada di Kabupaten Bogor. Hasil penelitian tersebut diharapkan bisa dijadikan dasar bagi Pemerintah Daerah dalam merumuskan strategi kebijakan pembangunan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah secara merata dan berkelanjutan serta dalam mengembangkan sistem jaringan jalan berdasarkan fungsi, kelas, dan status jalan.

Berdasarkan uraian diatas, disusun rumusan masalah sebagai berikut:

1. Terjadi ketimpangan perkembangan aktifitas ekonomi wilayah di Kabupaten Bogor;

2. Belum diketahui Sektor – sektor ekonomi mana yang diprioritaskan untuk dikembangkan dari sisi keunggulan komparatif dan kompetitif;

3. Belum diketahui efisiensi pembangunan Wilayah (Pemanfaatan Sarana Prasarana);

4. Belum diketahui tingkat hirarki wilayah;

5. Belum adanya rumusan strategi prioritas penanganan jaringan jalan untuk mendukung perkembangan wilayah.

Untuk menjawab permasalahan diatas, digunakan pendekatan analisis perkembangan ekonomi wilayah yang hasilnya dapat dijadikan acuan dalam menentukan prioritas penanganan jaringan jalan yang ada di Kabupaten Bogor.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis tingkat perkembangan aktifitas ekonomi wilayah di Kabupaten Bogor;

2. Menganalisis sektor ekonomi basis dan komoditas unggulan pertanian; 3. Menganalisis efisiensi pembangunan Wilayah (Pemanfaatan Sarana

Prasarana);

4. Menganalisis tingkat hirarki wilayah;

(23)

7   

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dan stakeholder terkait kondisi perkembangan wilayah kecamatan di Kabupaten Bogor serta sebagai arahan dan bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam menentukan prioritas penanganan jaringan jalan di Kabupaten Bogor.

Kerangka Pemikiran

Untuk mendukung strategi pembangunan daerah yang berkelanjutan, diperlukan perencanaan penanganan jaringan jalan yang sesuai dengan potensi wilayah yang ada, sehingga hal tersebut mampu mendukung peningkatan perkembangan suatu wilayah dan memberikan dampak ekonomi yang positif bagi masyarakat. Oleh sebab itu, perlu dirumuskan arahan prioritas penanganan jaringan jalan yang sesuai dengan karakteristik ekonomi wilayah.

Dalam perumusan strategi pembangunan melalui penentuan prioritas penanganan jaringan jalan di Kabupaten Bogor, perlu dilakukan analisis tingkat perkembangan wilayah serta potensi ekonomi di Kabupaten Bogor. Untuk mengidentifikasi sejauh mana tingkat perkembangan wilayah di setiap kecamatan, dilakukan analisis tingkat perkembangan wilayah tiap kecamatan berdasarkan tingkat sebaran (diversitas) tiap sektor pembangunan. Analisis hirarki wilayah dilakukan untuk melihat struktur hirarki perkembangan wilayah di masing – masing Kecamatan. Selanjutnya dilakukan identifikasi potensi ekonomi wilayah melalui analisis komparatif dan kompetitif untuk melihat sektor ekonomi mana yang menjadi basis dan unggulan yang perlu dikembangkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

(24)

Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian

Kegiatan Pembangunan  Kabupaten Bogor Dengan 

Anggaran Terbatas   

Pembangunan  Sektor – Sektor 

Perekonomian 

Analisis  Hirarki  Wilayah   

Arahan Prioritas  Penanganan Jaringan  Jalan di Kabupaten Bogor   

Analisis  Keunggulan  Komparatif dan 

Kompetitif  Analisis 

Perkemba  ngan Aktifitas 

Ekonomi    

Preferensi 

Stakeholders 

 

Analisis  Efisiensi  Pembangunan 

Wilayah    

Penanganan Jaringan Jalan  Belum Sesuai dan Kurang 

(25)

9   

2. TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Perencanaan Pengembangan Wilayah

Christenson dan Robinson, Jr. (1989) menyatakan bahwa pengembangan menyiratkan perbaikan, pertumbuhan, dan perubahan. itu berkaitan dengan sejarah transisi budaya, negara, dan masyarakat dari kurang canggih untuk tahap sosial yang lebih maju. istilah seperti industrialisasi, modernisasi, dan urbanisasi telah digunakan bergantian dengan konsep yang lebih luas dari pembangunan. Perubahan ini diisaratkan dengan membandingkan negara maju dan berkembang.

Menurut Riyadi dan Bratakusumah (2005), pengembangan wilayah merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, penurunan kesenjangan antar wilayah dan pemeliharaan kelestarian lingkungan hidup di suatu wilayah. Upaya ini diperlukan karena setiap wilayah memiliki kondisi sosial ekonomi, budaya dan keadaan geografis yang berbeda-beda, sehingga pengembangan wilayah bertujuan untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah. Optimal berarti dapat tercapainya tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek sosial budaya dan lingkungan yang berkelanjutan. Dalam hubungannya dengan suatu daerah sebagai area (wilayah) pembangunan di mana terbentuk konsep perencanaan pembangunan daerah, dapat dinyatakan bahwa perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam wilayah/ daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumberdaya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tetapi tetap berpegang pada azas prioritas (Riyadi dan Bratakusumah 2005).

Pengembangan atau pembangunan didefinisikan sebagai upaya yang terkoordinasi dan sistematik untuk menciptakan suatu keadaan dimana terdapat lebih banyak alternative yang sah bagi setiap warga warga Negara untuk memenuhi aspirasinya yang paling humanistik yaitu peningkatan kesejahteraan (Sitorus, 2012). Dari sisi keberlanjutan atau sustainability, terdapat tiga sudut pandang terkait keberlanjutan dari sebuah pembangunan yaitu sudut pandang literal, ekologi dan sosial. Sudut pandang literal menekankan pada keberlanjutan segala sesuatu. Sudut pandang ekologi lebih menekankan pada pembangunan berkelanjutan ekologi yang berbasis pada kehidupan manusia. Sementara dari sisi sosial, keberlanjutan lebih menekankan pada sisi sosial ekonomi yang berbasis kehidupan manusia. Jadi keberlanjutan adalah suatu upaya mempertahankan kehidupan manusia dengan penekanan pada aspek ekologi, sosial dan ekonomi (Lele, 1991).

(26)

daerah untuk menghasilkan rencana pembangunan yang baik dan relevan. Keseluruhan faktor – faktor tersebut memiliki pengaruh yang kuat guna memperlancar pelaksanaannya.

Menurut Rustiadi et al. (2009), dalam menyusun perencanaan pembangunan berbasis wilayah penting untuk diperhatikan keterpaduan sektoral, spasial serta keterpaduan antarpelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah. Salah satu ciri penting pembangunan wilayah adalah adanya upaya mencapai pembangunan berimbang (balanced development), dengan terpenuhinya potensi-potensi pembangunan sesuai dengan kapasitas pembangunan setiap wilayah maupun daerah yang beragam sehingga dapat memberikan keuntungan dan manfaat yang optimal bagi masyarakat di seluruh wilayah.

Terjadinya perubahan baik secara incremental maupun paradigma menurut Anwar dan Rustiadi (1999), mengarahkan pembangunan wilayah pada terjadinya pemerataan (equity) yang mendukung pertumbuhan ekonomi (efficiency), dan keberlanjutan (sustainability). Pembangunan dapat diartikan sebagai kegiatan – kegiatan yang dilakukan oleh Negara/ wilayah untuk mengembangkan kualitas hidup masyarakatnya. Jadi pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses dimana terdapat saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antara faktor – faktor yang menyebabkan terjadinya perkembangan tersebut dapat diidentifikasi dan dianalisis dengan seksama sehingga diketahui runtutan peristiwa yang timbul yang akan mewujudkan peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat dari satu tahap pembangunan ke tahap pembangunan berikutnya.

Dalam pembangunan wilayah perlu senantiasa diarahkan pada tujuan pengembangan wilayah, antara lain mencapai: (1) pertumbuhan (growth), yaitu terkait dengan alokasi sumber daya-sumber daya yang langka terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan untuk hasil yang maksimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia dalam meningkatkan kegiatan produktivitasnya; (2) pemerataan (equity), yang terkait dengan pembagian manfaat hasil pembangunan secara adil sehingga setiap warga negara yang terlibat perlu memperoleh pembagian hasil yang memadai secara adil. Dalam hal ini perlu adanya kelembagaan yang dapat mengatur manfaat yang diperoleh dari proses pertumbuhan material maupun non-material di suatu wilayah secara adil; serta (3) keberlanjutan (sustainability), bahwa penggunaan sumber daya baik yang ditransaksikan melalui sistem pasar maupun di luar sistem pasar harus tidak melampaui kapasitas kemampuan produksinya (Anwar, 2005).

(27)

11   

pada pertumbuhan pembangunan tanpa diimbangi dengan pemerataan. Nilai-nilai sosial-budaya masyarakat yang konservatif dan kontraproduktif akan menghambat perkembangan ekonomi wilayahnya.

Dalam konteks ilmu perencanaan pengembangan wilayah, upaya untuk mengidentifikasi aktivitas ekonomi basis sangat penting untuk memetakan komoditas atau sektor unggulan. Keunggulan komparatif wilayah dapat didekati melalui analisis Location Quotient (LQ). Analisis LQ merupakan teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui pemusatan suatu aktivitas/ sektor basis di suatu wilayah dalam cakupan wilayah agregat yang lebih luas. Untuk mengetahui komoditas keunggulan pertanian suatu wilayah dapat digunakan analisis shift-share (SSA). Suatu wilayah dikatakan memiliki keunggulan kompetitif apabila dalam waktu tertentu mengalami peningkatan dibandingkan dengan wilayah lain (Rustiadi et al, 2009).

Menurut Rustiadi et al. (2009), untuk melihat potensi pertumbuhan produksi sektoral dari suatu kawasan/ wilayah dapat digunakan Shift Share Analysis (SSA). Saat ini teknik SSA banyak digunakan karena kesederhanaan prosedurnya sehingga mudah dipahami oleh mereka yang mendapatkan pelatihan minimal dalam analisis kuantitatif. SSA sangat bermanfaat untuk membandingkan antara ekonomi regional dengan nasional serta mengidentifikasi sektor yang paling pesat tumbuh atau paling lambat berdasarkan pola nasional.

Pusat Pertumbuhan dan Hirarki Wilayah

Dalam kaitannya dengan strategi pengembangan wilayah, perlu diidentifikasi wilayah-wilayah yang menjadi pusat pertumbuhan yang mampu menggerakkan ekonomi wilayah di sekitarnya. Melalui pendekatan konsep wilayah nodal, dapat diketahui wilayah yang menjadi pusat-pusat pertumbuhan dan seberapa besar dampaknya dalam memberikan multiplier effect terhadap wilayah lain.

(28)

Anwar (2005) mengemukakan bahwa pendekatan analisis pembangunan wilayah yang lebih tepat harus mampu mencerminkan adanya kerangka berfikir yang menyangkut interaksi antara aktivitas-aktivitas ekonomi spasial dan mengarah pada pemanfaatan sumberdaya secara optimal antara kegiatan di kawasan kota-kota dan wilayah-wilayah belakangnya (hinterland), di samping interaksi tersebut berlangsung dengan wilayah-wilayah lainnya yang lebih jauh. Kawasan kota dan wilayah belakangnya dapat terjadi hubungan fungsional yang tumbuh secara interaktif yang dapat saling mendorong atau saling menghambat dalam mencapai tingkat kemajuan optimum bagi keseluruhannya.

Menurut Panuju dan Rustiadi (2013), berdasarkan konsep wilayah nodal, pusat maupun hinterland suatu wilayah memiliki ciri khas dimana inti mengatur proses berjalannya interaksi dari komponen sel dan hinterland mendukung keberlangsungan hidup sel dan mengikuti pengaturan yang dibangun oleh inti. Jika suatu wilayah dianalogikan sebagai satu sel, maka dalam wilayah kota utama yang menjadi inti dari wilayah memiliki fungsi penting yang berperan besar dalam mempengaruhi jalannya interaksi antar berbagai hinterland. Pusat memiliki daya tarik kuat bagi elemen di hinterland. Daya tarik tersebut secara harfiah berupa berbagai layanan yang didukung fasilitas dan infrastruktur yang lengkap.

Hinterland mendukung berjalannya proses penting yang dilakukan di pusat. Proses-proses penting tersebut terdiri dari proses-proses transaksi dan peningkatan nilai tambah produksi. Industri dan jasa sebagai aktifitas yang berperan besar dalam peningkatan nilai tambah akan berkembang pesat di inti (kota) dengan fasilitas yang lengkap tersebut. Sebaliknya, hinterland sebagai pendukung berlangsungnya proses di pusat memiliki keunggulan sumberdaya dasar untuk mendukung proses peningkatan nilai tambah di pusat.

Secara teknis identifikasi pusat dan hinterland dapat dilakukan dengan mengidentifikasi jumlah dan jenis fasilitas umum, industri dan jumlah penduduknya. Pusat yang memiliki daya tarik kuat karena lengkapnya fasilitas dicirikan dengan jumlah unit dan jumlah jenis fasilitas yang lebih lengkap dibandingkan dengan hinterland. Disamping fasilitas umum, pusat juga berpotensi memiliki industri dan jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas yang secara relatif paling lengkap dibandingkan dengan unit wilayah yang lain. Selanjutnya wilayah pusat tersebut disebut sebagai wilayah berhirarki lebih tinggi (Hirarki – I) dan sebaliknya semakin jauh dari pusat pengaruh manfaat dari layanan semakin kecil, maka akan cenderung memiliki hirarki lebih rendah. Dengan demikian, wilayah yang mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, industri serta jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas paling rendah merupakan wilayah hinterland dari unit wilayah yang lain.

(29)

13   

Pembangunan Ekonomi

Rustiadi et al. (2009) mengemukakan bahwa aspek ekonomi adalah salah satu aspek terpenting dalam menentukan indikator pembangunan wilayah. Di antara berbagai indikator ekonomi, indikator mengenai pendapatan masyarakat di suatu wilayah merupakan indikator terpenting. Untuk itu diperlukan pemahaman mengenai konsep – konsep dan cara mengukur pendapatan masyarakat di suatu wilayah.

Dalam beberapa varian pemikiran, pembangunan diidentikkan dengan pertumbuhan ekonomi melalui pembentukan modal. Oleh karena itu, setelah Perang Dunia II, strategi pembangunan yang ditempuh di beberapa negara adalah akselerasi pertumbuhan ekonomi dengan mengundang modal asing dan melakukan industrialisasi. Pengalokasian sumberdaya termasuk sumberdaya finansial (modal) merupakan jembatan yang dapat menciptakan jalannya roda perekonomian yang lebih mengarah pada tujuan – tujuan yang paling mendasar dari pembangunan itu sendiri misalnya : pengentasan kemiskinan, semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang lebih sehat, dan menurunnya tingkat ketidakmerataan pendapatan. Dalam situasi serba terbatas, maka pengalokasian sumberdaya (anggaran pembangunan) pada suatu sektor pembangunan (misalnya : industri) bisa mengurangi ketersediaan anggaran pembangunan bagi sektor lain (misalnya : pertanian). Oleh karena itu, untuk mengelola arah pembangunan pada satu tujuan (misalnya: distribusi pendapatan yang lebih baik) dan tidak mengorbankan tujuan pembangunan lainnya (misalnya ; pertumbuhan ekonomi yang cepat) diperlukan kebijakan – kebijakan terbaik dalam alokasi sumberdaya (anggaran pembangunan).

Pendapatan wilayah merupakan gambaran pendapatan masyarakat di suatu wilayah. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah ukuran produktivitas wilayah yang paling umum diterima secara luas sebagai standar ukuran pembangunan dalam skala wilayah. PDRB pada dasarnya adalah total produksi kotor dari suatu wilayah, yakni total nilai tambah dari semua barang dan jasa yang diproduksi di suatu Negara atau wilayah dalam periode satu tahun. Artinya PDRB menunjukkan nilai tambah dari aktivitas manusia.

PDRB yang dibagi dengan jumlah penduduk akan menunjukkan pendapatan per kapita masyarakat di suatu wilayah (Rustiadi et al., 2009). Pendapatan per kapita yang tinggi di suatu wilayah akan menjadi daya tarik penduduk untuk berimigrasi ke wilayah tersebut. Tingkat imigrasi yang tinggi akan menyebabkan tingginya pertumbuhan penduduk (social increase), faktor kelahiran dan kematian (natural increase), sehingga pembangunan ekonomi wilayah yang tinggi menjadi penyebab meningkatnya pertumbuhan penduduk di wilayah tersebut.

(30)

Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional dan sinergis antara sektor-sektor pembangunan, sehingga setiap program-program pembangunan dalam kelembagaan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Keterpaduan sektoral tidak hanya mencakup hubungan antarlembaga pemerintahan tetapi juga antara pelaku- pelaku ekonomi secara luas dengan latar sektor yang berbeda. Dalam hal ini wilayah yang berkembang ditunjukkan dengan adanya keterkaitan antar sektor ekonomi wilayah, sehingga terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang sangat dinamis. Keterpaduan spasial membutuhkan interaksi spasial yang optimal yang ditunjukkan dengan adanya struktur keterkaitan antar wilayah yang dinamis (Rustiadi et al., 2009).

Upaya pengembangan keunggulan komparatif suatu sub-sektor dilakukan melalui pendekatan pada potensi sumberdaya lokal. Sektor yang dikembangkan harus mampu menyerap tenaga kerja lokal dengan didukung oleh kesesuaian lingkungan sumberdaya lokal. Untuk memetakan sektor unggulan di suatu wilayah, salah satunya bisa didekati dengan menggunakan data nilai tambah (PDRB) yang dicapai masing-masing sektor. Analisis capaian PDRB merupakan salah satu pendekatan yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi sektor unggulan berdasarkan kapasitas aktual masing-masing sektor (Rustiadi et al., 2009).

Untuk menentukan prioritas wilayah pembangunan tingkat kecamatan, salah satunya bisa didekati berdasarkan tingkat efisiensi pembangunan wilayah. Menurut Spurgeon (1999), dalam meningkatkan efisiensi alokasi sumberdaya, pemerintah menghadapi tantangan bagaimana memaksimumkan pendapatan ekonomi melalui penggunaan sumberdaya-sumberdaya yang dimiliki dalam bentuk tenaga kerja, modal dan sumberdaya alam. Berdasarkan pendapat tersebut maka untuk mengukur efisiensi perkembangan ekonomi kecamatan di wilayah Kabupaten Bogor, dilakukan pendekatan analisis efisiensi penggunaan sumberdaya- sumberdaya yang dimiliki wilayah terhadap peningkatan ekonomi wilayah. Untuk melakukan pendekatan terhadap pendapat Spurgeon (1999), dalam penelitian ini dilakukan salah satu analisis efisiensi wilayah yaitu analisis efisiensi modal dalam bentuk ketersediaan sarana prasarana jalan.

Dalam menetapkan prioritas penanganan jaringan jalan, salah satunya bisa didekati berdasarkan tingkat efisiensi pembangunan wilayah dengan menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA). Sejak diperkenalkan pada Tahun 1978, metode DEA mendapatkan perhatian komprehensif baik secara teori maupun aplikasi. Saat ini DEA menjadi alat analisis penting dalam riset terkait ilmu manajemen, penelitian operasional, sistem enjinering, analisis keputusan dan sebagainya (Wen dan Li, 2009).

Menurut Vazhayil dan Balasubramaniam (2013), analisis DEA banyak digunakan sebagai alat bantu pengambilan keputusan berdasarkan efisiensi suatu unit dalam berbagai bidang analisis. Salah satunya dapat digunakan untuk melakukan analisis efisiensi dalam mengoptimasi kekuatan sektor strategis.

(31)

15   

Data Envelopment Analysis (DEA) merupakan linier programming berbasis metode non-parametrik untuk menduga efisiensi relatif dari unit pengambilan keputusan. DEA membuat batasan fungsi frontier dengan membandingkan antara rasio multi input dengan multi output dari unit sejenis yang diambil dari hasil pendugaan. DEA pertama kali diperkenalkan oleh Charnes, Cooper dan Rhodes pada Tahun 1978 (Bayyurt dan Yilmaz, 2012).

Infrastruktur Jaringan Jalan

Prasetyo dan Firdaus (2009) mengemukakan bahwa pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk meringankan beban dunia usaha. Prioritas pertama, pemerintah meminta pemda memberikan fasilitas dan kemudahan agar usaha bisa tetap berjalan baik. Prioritas kedua adalah peningkatan pembangunan proyek infrastruktur di seluruh Indonesia untuk mengatasi gelombang pengangguran, seperti jalan, jembatan, pelabuhan, dermaga, energi, perhubungan dan perumahan. Selain akan menyerap tenaga kerja, proyek infrastruktur juga membuat perekonomian akan bergerak. Untuk ini anggaran infrastruktur akan diprioritaskan pengalokasiannya dalam APBN dan APBD. Diharapkan dengan cara tersebut pengangguran dapat teratasi dan dikurangi, serta infrastruktur perekonomian yang diperlukan untuk menggerakkan sektor riil bisa ditingkatkan lebih baik lagi. Prioritas ketiga adalah upaya pemerintah pusat dan daerah melindungi dan membantu meringankan beban golongan menengah kebawah yang mengalami kesulitan di bidang perekonomian.

Kodoatie dalam Prasetyo dan Firdaus (2009) mendefinisikan infrastruktur sebagai fasilitas-fasilitas fisik yang dikembangkan atau dibutuhkan oleh agen- agen publik untuk fungsi-fungsi pemerintahan dalam penyediaan air, tenaga listrik, pembuangan limbah, transportasi dan pelayanan-pelayanan lainnya untuk memfasilitasi tujuan-tujuan ekonomi dan sosial. Sistem Infrastruktur merupakan pendukung utama fungsi-fungsi sistem sosial dan sistem ekonomi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Sistem infrastruktur dapat didefinisikan sebagai fasilitas- fasilitas atau struktur-struktur dasar, peralatan-peralatan, instalasi-instalasi yang dibangun dan yang dibutuhkan untuk berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat.

The World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi tiga, yaitu:

1. Infrastruktur ekonomi, merupakan infrastruktur fisik yang diperlukan untuk menunjang aktivitas ekonomi, meliputi public utilities (tenaga, telekomunikasi, air, sanitasi, gas), public work (jalan, bendungan, kanal, irigasi dan drainase) dan sektor transportasi (jalan, rel, pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya).

2. Infrastruktur sosial, meliputi pendidikan, kesehatan, perumahan dan rekreasi. 3. Infrastruktur administrasi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi

dan koordinasi.

(32)

infrastruktur pengangkutan minyak dan gas bumi. Penggolongan infrastruktur tersebut diatas dapat dikategorikan sebagai infrastruktur dasar, karena sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat luas sehingga perlu diatur oleh pemerintah.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan, menyebutkan bahwa jalan adalah suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun, meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu-lintas yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/ atau air, serta di atas permukaan air, kecuali kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.

Sistem Jaringan Jalan adalah suatu kesatuan ruas jalan yang saling menghubungkan dan mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hierarki. jalan diklasifikasikan berdasarkan status kewenangannya (Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan), yaitu Klasifikasi jalan berdasarkan status kewenangan terdiri atas :

1. Jalan Nasional, yaitu ruas jalan yang karena tingkat kepentingan dan kewenangan pembinaannya berada pada pemerintah pusat. Ruas jalan yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah : (i). Jalan arteri primer (ii). Jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota propinsi (iii). Jalan lainnya yang mempunyai nilai strategis terhadap kepentingan nasional(Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan) . 2. Jalan Propinsi, yaitu ruas jalan yang berdasarkan tingkat kepentingan dan

kewenangan pembinaannya diserahkan pada Pemerintah Daerah Propinsi. Ruas jalan yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah : (i). Jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota kabupaten, propinsi dengan ibukota kabupaten/kota. (ii). Jalan lainnya yang mempunyai nilai strategis ditinjau dari segi kepentingan propinsi. (iii). Jalan yang ada di dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta, kecuali yang ditetapkan sebagai jalan nasional (Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan).

3. Jalan Kota/Kabupaten, yaitu ruas jalan yang berdasarkan tingkat kepentingan dan kewenangan pembinaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Ruas jalan yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah : Jalan kolektor primer yang tidak masuk ke dalam baik jalan nasional maupun jalan propinsi, Jalan lokal primer, Jalan sekunder yang tidak masuk ke dalam baik jalan nasional maupun jalan propinsi, Jalan sekunder yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan Pusat Kegiatan Lokal (PKL), atau antar PKL, Jalan lainnya yang mempunyai nilai strategis ditinjau dari segi kepentingan kabupaten/kota. Serta Jalan khusus, yaitu jalan yang berdasarkan tingkat kepentingannya bersifat khusus, maka kewenangannya diserahkan kepada instansi/badan hukum/perseorangan yang membangun dan mengelola jalan tersebut.

(33)

17   

Dalam menetapkan prioritas penanganan jaringan jalan di Kabupaten Bogor perlu dilakukan pemilihan alternatif kecamatan berdasarkan perkembangan wilayah masing-masing kecamatan. Hal ini sejalan dengan pendapat Rustiadi, et al. (2009) mengenai konsep pembangunan berimbang yaitu pembangunan yang tidak mengharuskan adanya kesamaan tingkat pembangunan antar daerah (equally developed), juga tidak menuntut pencapaian tingkat industrialisasi wilayah/daerah yang seragam, juga bentuk-bentuk keragaman pola dan struktur ekonomi daerah, atau juga tingkat pemenuhan kebutuhan dasar (self sufficiency) setiap wilayah/daerah. Pembangunan yang berimbang adalah terpenuhinya potensi-potensi pembangunan sesuai dengan kapasitas pembangunan setiap wilayah/daerah yang jelas-jelas beragam.

  Untuk  memilih  alternatif  penanganan  jaringan  jalan  di  Kabupaten 

Bogor  digunakan  metode Multi  Criteria  Decisian  Making/  MCDM  (AHP  – 

TOPSIS). AHP didasarkan atas 3 prinsip dasar yaitu:

1. Dekomposisi

Dengan prinsip ini struktur masalah yang kompleks dibagi menjadi bagian-bagian secara hirarki. Tujuan didefinisikan dari yang umum sampai khusus. Dalam bentuk yang paling sederhana struktur akan dibandingkan tujuan, kriteria dan level alternatif. Tiap himpunan alternatif mungkin akan dibagi lebih jauh menjadi tingkatan yang lebih detail, mencakup lebih banyak kriteria yang lain. Level paling atas dari hirarki merupakan tujuan yang terdiri atas satu elemen. Level berikutnya mungkin mengandung beberapa elemen, di mana elemen-elemen tersebut bisa dibandingkan, memiliki kepentingan yang hampir sama dan tidak memiliki perbedaan yang terlalu mencolok. Jika perbedaan terlalu besar harus dibuatkan level yang baru.

2. Perbandingan penilaian/pertimbangan (comparative judgements).

Dengan prinsip ini akan dibangun perbandingan berpasangan dari semua elemen yang ada dengan tujuan menghasilkan skala kepentingan relatif dari elemen. Penilaian menghasilkan skala penilaian yang berupa angka. Perbandingan berpasangan dalam bentuk matriks jika dikombinasikan akan menghasilkan prioritas. Penyusunan skala penilaian ini memakai pedoman yang dapat dilihat pada Tabel 3.

3. Sintesis Prioritas

Sintesis prioritas dilakukan dengan mengalikan prioritas lokal dengan prioritas dari kriteria bersangkutan di level atasnya dan menambahkannya ke tiap elemen dalam level yang dipengaruhi kriteria. Hasilnya berupa gabungan atau

dikenal dengan prioritas global  yang  kemudian  digunakan  untuk 

(34)
[image:34.595.28.494.68.820.2]

Tabel 3. Skala Dasar Ranking Analytical Hierarchy Process (AHP)

Tingkat Kepentingan

Definisi

1 3 5 7 9 2,4,6,8

Kedua elemen sama pentingnya

Elemen yang satu sedikit lebih penting dari elemen yang lain Elemen yang satu lebih penting dari elemen yang lain

Elemen yang satu jelas lebih penting dari elemen yang lain Elemen yang satu mutlak lebih penting dari elemen yang lain Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan Sumber : Saaty (1980)

Menurut Simanaviciene dan Ustinovichius (2010), MCDM secara praktis digunakan dalam sistem pendukung keputusan kuantitatif. Metode ini sangat berbasis matematis. Metode MCDM berbasis kuantitatif yang umumnya digunakan yaitu adalah Metode Linear Assignment, Metode Simple Additive Weighting, Metode Hierarchical Additive Weighting, Metode ELECTRE dan metode TOPSIS.

Menurut Shih, et al. (2007), TOPSIS (Technique for Order Performance by Similarity to Ideal Solution) merupakan teknik yang sangat berguna dalam kaitannya dengan permasalahan pengambilan keputusan multi-atribut atau multi- kriteria di dunia nyata. TOPSIS membantu para pengambil keputusan untuk mengelola permasalahan-permasalahan untuk dipecahkan, menganalisis, membandingkan serta mengurutkan banyak alternatif sehingga dapat diseleksi mana alternatif yang layak untuk dilaksanakan. Berdasarkan pendapat Shih, ada empat kelebihan dari metode TOPSIS dibandingkan dengan metode lainnya yaitu:

1. Logis dalam merepresentasikan pilihan-pilihan secara rasional;

2. Sebuah nilai skalar yang dapat menghitung alternatif-alternatif terburuk dan terbaik secara simultan;

3. Proses komputasi yang sederhana dan dapat diprogram secara mudah; 4. Penilaian kinerja dari semua alternatif atau atribut dapat divisualisasikan

(35)

19   

3. METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Bogor yang memiliki luas ± 298.838,304 ha dan secara geografis terletak diantara 6º18'0" – 6º47'10" Lintang Selatan dan 106º23'45" – 107º13'30" Bujur Timur dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara, berbatasan dengan Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang, Kota Depok, Kabupaten/Kota Bekasi; Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Lebak; Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Purwakarta; Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur; Bagian Tengah berbatasan dengan Kota Bogor. Lokasi penelitian mencakup semua kecamatan yang ada yaitu 40 kecamatan. Penelitian dilaksanakan pada Bulan April - September 2015.

Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder meliputi:

1. Data diperoleh dari BPS Kabupaten Bogor berupa data Kabupaten Dalam Angka Tahun 2014, yaitu :

(a) data jarak wilayah ke pusat pelayanan, (b) data jumlah dan jenis sarana kesehatan, (c) data jumlah dan jenis sarana pendidikan, (d) data sarana transportasi,

(e) data jumlah dan jenis sarana komunikasi, (f) data jumlah dan jenis industri,

(g) data jumlah dan jenis sarana perdagangan, (h) data jumlah dan jenis koperasi serta

(i) data jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kredit/perbankan.

2. Data indikator perkembangan sektor-sektor ekonomi Kabupaten Bogor. Data yang digunakan adalah data PDRB Kabupaten Bogor dan tiap kecamatan Tahun 2013 yang merupakan data paling baru berdasarkan laporan BPS .

3. Data indikator perkembangan sektor-sektor pertanian kecamatan di Kabupaten Bogor. Data yang digunakan adalah data hasil produksi sektor pertanian tanaman pangan, sayuran, buah – buahan, tanaman pangan, anaman perkebunan, peternakan, dan perikanan di Kabupaten Bogor Tahun 2008 dan 2013.

4. Peta dasar meliputi peta batas administrasi wilayah, peta jaringan jalan. Peta diperoleh dari Bappeda Kabupaten Bogor.

(36)

PDRB, jumlah penduduk, jumlah dan

jenis fasilitas sarana dan prasarana 

Tingkat efisiensi  pembangunan &  tingkat hirarki wilayah 

pemerintahan. Pengambilan data responden dilakukan dengan menggunakan metode Purposive Sampling. Alat analisis yang digunakan adalah software

pengolah data (Excell, SANNA dan Win4DEAP) serta software pengolah peta (ArcGIS).

[image:36.595.45.483.113.810.2]

Jenis data, sumber data, teknik analisis dan keluaran yang diharapkan untuk masing-masing tujuan penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Bagan Alir Penelitian disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Bagan Alir Penelitian PDRB per

sektor tiap kecamatan tahun 2013 

PDRB per sektor tiap kecamatan tahun 2013 dan

hasil produksi sub sektor pertanian 2008 dan 2013 

Analisis  Entropy 

Perkemba ngan  aktifitas  ekonomi 

Analisis  LQ & SSA 

Keunggulan  komparatif dan 

kompetitif 

Analisis MCDM  AHP‐TOPSIS 

Arahan prioritas penanganan jaringan  jalan di Kabupaten Bogor 

(37)

21

 

 

Output/ keluaran 

Tingkat perkembangan ekonomi wilayah Kabupaten Bogor dan Peta tingkat

perkembangan aktifitas ekonomi wilayah 

Informasi Sektor Basis dan Komoditas Unggulan Pertanian

Efisiensi Pembangunan Wilayah 

Tingkat Hirarki Wilayah dan Peta hirarki wilayah 

Arahan pembangunan jaringan jalan, Peta prioritas penanganan jalan  Teknik Analisis Data  Entropy dan ArcGis (Pemetaan)  

LQ dan SSA 

[image:37.595.97.736.142.516.2]

DEA  Skalogram dan ArcGis (Pemetaan)  AHP-TOPSIS dan ArcGis (Pemetaan)  Teknik Pengumpulan Data  Survey data sekunder  Survey data sekunder  Survey data sekunder  Survey data sekunder  Perhitungan analisis 

Tabel 4. Jenis Data, Sumber Data, Teknik Analisis dan Keluaran

Sumber Data 

BPS, BAPPEDA  BPS, BAPPEDA  BPS, BAPPEDA  BPS, BAPPEDA 

Hasil analisis, 

Jenis Data 

PDRB per sektor tiap kecamatan tahun 2013, peta dasar administrasi

Kabupaten Bogor 

PDRB per sektor tiap kecamatan tahun 2013 dan Hasil Produksi Sub Sektor Pertanian tahun 2008 dan 2013 

PDRB per sektor tiap kecamatan tahun 2013 dan Jumlah Sarana&Prasarana (Jalan) 

Data jumlah penduduk, jumlah dan jenis fasilitas sarana dan prasarana, peta dasar administrasi Kabupaten Bogor Hasil Analisis, peta dasar administrasi Kabupaten Bogor 

Tujuan 

Mengetahui perkembangan aktifitas ekonomi wilayah berdasarkan sebaran (Diversitas)tiap sektor dan melakukan pemetaan wilayah tingkat perkembangan aktifitas ekonominya 

Mengetahui keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif 

Mengetahui efisiensi pembangunan Wilayah

(Pemanfaatan Sarana Prasarana jalan) 

Mengetahui Tingkat Hirarki Wilayah dan melakukan pemetaan hirarki wilayah 

(38)

Metode Analisis Data

Analisis Perkembangan Aktifitas Ekonomi Wilayah

Perkembangan suatu wilayah dapat dipahami dari semakin meningkatnya jumlah komponen sistem serta penyebaran (jangkauan spasial) komponen sistem tersebut. Kedua hal tersebut pada dasarnya bermakna peningkatan kuantitas komponen serta perluasan hubungan spasial dari komponen di dalam sistem maupun dengan sistem luar. Suatu sistem dikatakan berkembang jika jumlah dari komponen/aktifitas sistem tersebut bertambah atau aktifitas dari komponen sistem tersebar lebih luas. Perkembangan suatu wilayah dapat ditunjukkan dari semakin meningkatnya komponen wilayah, misalnya alternatif sumber pendapatan wilayah dan aktifitas perekonomian di wilayah tersebut, semakin luasnya hubungan yang dapat dijalin antara subwilayah-subwilayah dalam sistem tersebut maupun dengan sistem sekitarnya. Perluasan jumlah komponen aktifitas ini dapat dianalisis dengan menghitung indeks diversifikasi dengan konsep entrophy (Panuju dan Rustiadi, 2013).

Prinsip pengertian indeks Entropi adalah semakin beragam aktifitas atau semakin luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi Entropi wilayah. Artinya wilayah tersebut semakin berkembang. Semakin tinggi entropi semakin berkembang suatu sistem. Entropi selalu lebih besar dari 0 dengan pola hubungan antara peluang komponen dengan nilai entropinya berbentuk kurva kuadratik dengan nilai maksimum 1/n. Artinya entropi akan maksimum pada saat peluang di seluruh komponen sama dengan 1/n. Nilai entropi maksimumnya adalah sebesar ln (n). Persamaan umum Entropi adalah sebagai berikut:

S = -

P

i

Ln (P

i

)

Dimana : P

i

adalah peluang yang dihitung dari persamaan :

x

i

/

X, dan

P

i

= 1

x

1

x

2

x

3

x

4

= X

x

1

/X x

2

/X = 1

Jika matrix terdiri dari baris dan kolom yang cukup banyak, maka persamaan untuk menghitung peluang titik pada kolom ke-i dan baris

Gambar

Tabel 1. Nilai PDRB, PDRB per kapita, dan Laju Pertumbuhan Ekonomi
Tabel 2. Kondisi jaringan Jalan di Kabupaten Bogor Tahun 2014.
Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian
Tabel 3.  Skala Dasar Ranking Analytical Hierarchy Process (AHP)
+7

Referensi

Dokumen terkait

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul “Analisis Tipologi dan Perkembangan Wilayah di Kabupaten Jember” adalah benar- benar hasil karya

Sedangkan Kecamatan Sumbersari dan Kecamatan Patrang yang merupakan dua dari tiga besar kecamatan penyumbang PDRB terbesar di Kabupaten Jember berada pada wilayah dengan

Judul Skripsi : KAJIAN TINGKAT PERKEMBANGAN WILAYAH DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN DI KABUPATEN KUDUS Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji

Sedangkan Kecamatan Sumbersari dan Kecamatan Patrang yang merupakan dua dari tiga besar kecamatan penyumbang PDRB terbesar di Kabupaten Jember berada pada wilayah dengan

Berdasarkan hasil Rasio Manfaat-Biaya tersebut, hanya terdapat 3 (tiga) ruas jalan strategis saja yang memenuhi kriteria Rasio Manfaat-Biaya, dimana manfaat per

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi jalan dan penetuan prioritas pemeliharaan jalan kabupaten di wilayah perkotaan Tanjung Redeb.Penelitian ini

Urutan prioritas kriteria pemeliharaan jalan di wilayah perkotaan Tanjung Redeb menggunakan metode Analytical Hierarchy Process AHP dengan 4 empat kriteria, didapatkan urutan yaitu

Hasil analisis menunjukan klasifikasi kemampuan lahan di wilayah Bogor Barat terhadap pengembangan kawasan didominasi oleh lahan dengan kelas IV rendah dan kelas III sedang, sedangkan