• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sintesis Selulosa Benzoat dari Serabut Ampas Sagu Sebagai Fase Diam Kromatografi Kolom.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sintesis Selulosa Benzoat dari Serabut Ampas Sagu Sebagai Fase Diam Kromatografi Kolom."

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

SINTESIS SELULOSA BENZOAT DARI

SERABUT AMPAS SAGU SEBAGAI FASE DIAM

KROMATOGRAFI KOLOM

AHMAD ROJALI

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii

ABSTRAK

AHMAD ROJALI. Sintesis Selulosa Benzoat dari Serabut Ampas Sagu Sebagai

Fase Diam Kromatografi Kolom. Dibimbing oleh TUN TEDJA IRAWADI dan

MOHAMMAD KHOTIB.

Ampas sagu merupakan limbah lignoselulosa (mengandung lignin,

selulosa, dan hemiselulosa) yang masih bisa dimanfaatkan menjadi bahan yang

lebih bernilai. Penelitian ini memodifikasi selulosa serabut ampas sagu menjadi

selulosa benzoat yang digunakan untuk fase diam kromatografi kolom. Serabut

ampas sagu dihidrolisis asam, lalu diubah menjadi pulp dalam NaOH 20% (b/v),

dan diputihkan dengan H

2

O

2

pH 12. Mikroselulosa diisolasi dari pulp dengan

larutan HCl 2.5 N. Mikroselulosa diesterifikasi dengan benzoil klorida dalam

pelarut piridina pada suhu 60 °C selama 4, 6, dan 8 jam. Inframerah transformasi

Fourier menunjukkan keberhasilan proses esterifikasi pada semua ragam waktu.

Derajat substitusi (DS) tertinggi (1.83) teramati pada produk esterifikasi selama 8

jam dengan hidrolisis awal menggunakan HCl. DS terendah (0.95) teramati pada

produk esterifikasi selama 4 jam dengan hidrolisis awal menggunakan H

2

SO

4

.

Selulosa benzoat dengan DS tertinggi memiliki ketahanan larut yang paling baik

terhadap pelarut metanol dan heksana, serta dapat diaplikasikan menjadi fase diam

kromatografi kolom untuk memisahkan zat ekstraktif temu-lawak.

ABSTRACT

AHMAD ROJALI. Synthesis of Cellulose Benzoate from Sago Waste Fiber for

Stationary Phase of Column Chromatography. Supervised by TUN TEDJA

IRAWADI and MOHAMMAD KHOTIB.

(3)

iii

SINTESIS SELULOSA BENZOAT DARI

SERABUT AMPAS SAGU SEBAGAI FASE DIAM

KROMATOGRAFI KOLOM

AHMAD ROJALI

Skripsi

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

iv

Judul

: Sintesis Selulosa Benzoat dari Serabut Ampas Sagu Sebagai Fase

Diam Kromatografi Kolom.

Nama

: Ahmad Rojali

NIM

: G44070077

Disetujui

Diketahui

Ketua Departemen

Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi, MS

NIP 19501227 197603 2 002

Tanggal lulus :

Pembimbing II

Mohammad Khotib, SSi, MSi

NIP 19781018 200701 1 002

Pembimbing I

(5)

v

PRAKATA

Alhamdulillahhirobbil’alamin..

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas nikmat dan karunia-Nya sehingga

karya ilmiah dengan judul “Sintesis Fase Diam

Kromatografi Kolom Berbasis

Selulosa Benzoat dari Serabut Ampas Sagu“ dapat diselesaikan. Shalawat serta

salam tak lupa selalu tercurah kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW,

keluarga, sahabat, dan pengikutnya yang setia. Karya ilmiah ini disusun

berdasarkan penelitian yang dilaksanakan pada bulan Maret 2011 hingga Oktober

2011, bertempat di Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor (IPB)

Baranangsiang.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi,

MS. dan Bapak Mohammad Khotib, S.Si, MSi. selaku pembimbing skripsi yang

telah memberikan bimbingan, arahan, dan dorongan moral dengan penuh dedikasi

kepada penulis. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada seluruh staf pegawai

Laboratorium Terpadu IPB divisi penelitian khususnya Sujono, Ibrahim, dan

Indah.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga juga penulis sampaikan kepada

Ayahanda Hidayat dan Ibunda Eta Dewita, serta Kakanda Nurhayati dan Chodijah

yang telah memberikan doa dan dorongan baik moral maupun material. Tak lupa

kepada teman-teman program pendidikan Sarjana (S1) Mayor Kimia Institut

Pertanian Bogor angkatan 2007, khususnya yang sering memberi masukan dan

semangat (Atri, Fijar, Indra, dan Amran) serta rekan satu penelitian (Bayu, Ujhe,

Ria, Icha, Siti, Ina, Riris, dan Mia).

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan,

baik dalam penyajian maupun penulisannya. Semoga karya ilmiah ini dapat

berguna bagi penulis sendiri dan semua pihak yang membutuhkan di masa

mendatang demi kemajuan ilmu pengetahuan.

Wallahua’lam

.

Bogor, Oktober 2011

(6)

vi

RIWAYAT HIDUP

Penulis adalah putra ketiga dari pasangan Bapak Hidayat dan Ibu Eta

Dewita yang dilahirkan di Jakarta pada tanggal 8 Maret 1989. Penulis lulus dari

SMA Negeri 35 Jakarta pada tahun 2007. Penulis diterima di Institut Pertanian

Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada

tahun yang sama dan diterima di Mayor Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam.

(7)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL

... viii

DAFTAR GAMBAR

... viii

DAFTAR LAMPIRAN

... viii

PENDAHULUAN

... 1

METODE

Bahan dan Alat

... 2

Lingkup Kerja

... 2

Preparasi Ampas Sagu

... 2

Hidrolisis Fibril

... 2

Pulping

... 2

Delignifikasi

... 2

Isolasi Mikroselulosa

... 2

Esterifikasi Selulosa dengan Benzoil Klorida

... 2

Penentuan Derajat Esterifikasi

... 2

Preparasi Ekstrak Temu Lawak

... 3

Uji Ketahanan Terhadap Berbagai Pelarut

... 3

Kromatografi Kolom

... 3

Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

... 3

Analisis FTIR

... 3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi Selulosa

... 3

Mikroselulosa

... 5

Selulosa benzoat

... 5

Uji Daya Tahan Kelarutan

... 8

Kromatografi Kolom

... 8

Kromatografi Lapis Tipis

... 9

SIMPULAN ... 10

SARAN ... 10

DAFTAR PUSTAKA ... 10

(8)

viii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Hasil isolasi selulosa serabut ampas sagu ... 4

2 Hasil proses sintesis selulosa benzoat dengan berbagai variasi waktu ... 6

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1

Foto (a) selulosa hidrolisis HCl, (b) selulosa hidrolisis H

2

SO

4

(c) SEM selulosa

hidrolisis HCl, (d) SEM selulosa hidrolisia H

2

SO

4,

perbesaran 50×

…………...

4

2

Spektrum FTIR selulosa murni, selulosa hasil isolasi (hidrolisis HCl), dan

selulosa hasil isolasi (hidrolisis H

2

SO

4

)

………..

5

3

Scanning Electronic Microscopy (SEM) mikroselulosa (a) hidrolisis awal HCl,

(b) hidrolisis awal H

2

SO

4

, perbesaran 500×

………

5

4

Mekanisme reaksi esterifikasi selulosa dengan benzoil klorida dalam pelarut

piridina (Jinming

et al. 2008

)

……….

6

5

Hasil foto SEM (a) selulosa benzoat, (b) selulosa (hidrolisis HCl), (c) selulosa

benzoat, (d) selulosa (hidrolisis H

2

SO

4

), perbesaran 500×

……….

6

6 Spektrum FTIR isolate selulosa (hidrolisis awal HCl dan H

2

SO

4

), dan selulosa

benzoat (hidrolisis awal HCl dan H

2

SO

4

……….

7

7 Grafik hubungan antara waktu (jam) dengan Derajat substitusi

(DS)

………..……

7

8

Foto ketahanan kelarutan selulosa benzoat dengan berbagai variasi waktu

terhadap terhadap pelarut metanol

………..

8

9

Kromatografi kolom (

flash

) selulosa benzoat

……….

8

10 Struktur kimia (a) xantorizol dan (b) kurkuminoid

………

...

…….

9

11 Hasil KLT fraksi kolom, standar xantorizol, dan ekstrak temu lawak dengan

eluen heksana:etil asetat (10:1) pada sinar Uv 254 nm

………...

9

12 Hasil KLT fraksi kolom, standar kurkuminoid, dan ekstrak temu lawak, eluen

kloroform:benzena:methanol (80:15:5) pada sinar uv 366 nm

………..

9

(9)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Bagan alir penelitian………..

13

2 Hasil analisis proksimat awal, rendemen tiap tahap isolasi, dan rendemen isolasi

mikroselulosa……….

14

3 Selulosa benzoat tanpa proses isolasi mikroselulosa (a), selulosa benzoat hidrolisis

HCl/H

2

SO

4

(4, 6, dan 8) jam (b), dan selulosa benzoat kering hasil esterifikasi (c).

15

4

Hasil standardisasi HCl dan standardisasi NaOH………..

16

5

Derajat esterifikasi dan perhitungannya……….

17

6

Daya tahan kelarutan selulosa benzoat………...

18

7

R

f

xantorizol pada eluen heksana:etil asetat (10:1)……….

19

8

R

f

kurkuminoid pada eluen k

loroform:benzena:metanol (8:1.5:0.5)……….

20

(10)

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara utama produsen sagu di dunia. Area penanaman sagu di Indonesia tersebar di berbagai daerah seperti Riau, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Papua. Potensi pertanian sagu di Indonesia mencapai lebih dari 50% potensi pertanian sagu di dunia, yaitu sebesar 1.4 juta hektar (Susanto 2006). Pemanfaatan tanaman sagu sejauh ini cenderung terfokus pada patinya saja. Kandungan pati dalam empulur sagu yang dipanen secara komersial berkisar 18.8–38.8% berdasarkan bobot basah tanaman sagu (Singhal et al. 2008).

Industri ekstraksi pati sagu menghasilkan beberapa jenis limbah yang jumlahnya mencapai 6 kali jumlah tepung sagu yang dihasilkan. Limbah sagu tersebut meliputi ampas, kulit batang, dan air buangan yang dapat mencemari lingkungan berupa bau dan meningkatkan keasaman tanah (pH<4) (Syakir

et al. 2009). Sampai saat ini, ampas sagu hanya digunakan sebagai campuran pakan ternak (Matitaputty & Alfons 2006), sebagai arang briket, sumber bahan organik bagi tanah, dan pengisi adonan perekat dalam kayu lapis (Kumaran et al. 1997; Matitaputty & Alfons 2006).

Berdasarkan komponen kimianya, ampas sagu merupakan bahan lignoselulosa (lignin, selulosa, dan hemiselulosa) yang masih dapat dimanfaatkan menjadi bahan yang lebih

bernilai (Akmar & Kennedy 2001).

Kandungan selulosa dalam ampas sagu berpotensi meningkatkan nilai ekonominya. Selulosa merupakan makromolekul alamiah terbanyak dalam ampas sagu (Pusphamalar et al. 2006).

Selulosa merupakan polimer alami yang

dapat dimodifikasi menjadi produk

turunannya untuk memperoleh sifat-sifat yang

baru. Selulosa termodifikasi sering

diaplikasikan sebagai fase diam dalam pemisahan suatu zat. Beberapa kajian telah dilaporkan terkait dengan pemisahan secara kiral senyawa obat-obatan menggunakan kolom kiral berbasis-selulosa sebagai bahan pengemas kolom kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC) (Chen et al. 2007).

Upaya penelitian dalam meningkatkan nilai ekonomi selulosa pada ampas sagu terus dikembangkan oleh para peneliti. Santi (2006) dan Irfana (2009) telah melakukan modifikasi sederhana asetilasi terhadap ampas sagu yang digunakan sebagai fase diam kromatografi kolom untuk pemisahan ekstrak temu lawak.

Kiat (2006) melaporkan telah membuat karboksimetil selulosa (CMC) dalam bentuk hidrogel. Pushpamalar et al. (2006) telah memodifikasi ampas sagu menjadi CMC dan

berhasil mengoptimasi kondisi reaksi

pembuatannya.

Salah satu produk turunan selulosa adalah selulosa benzoat, yang didapatkan dengan proses esterifikasi (Sjostrom 1998). Riswoko (2006) telah melakukan modifikasi terhadap selulosa jenis mikrokristalin menjadi ester dengan asil klorida turunan asam palmitat, asam 6-(p-metoksifeniloksi) heksanoat, dan asam 6-(p-sianobifenil-il-oksi) heksanoat dalam pelarut piridina. Derivatisasi selulosa sebagai ester hanya memodifikasi profil kelarutan dari produknya, sementara sifat-sifat polimeriknya tetap (Bobleter 1994). Analisis

permukaan dengan mikroskop elektron

pemayaran (SEM) menunjukkan bahwa

permukaan produk ester terlihat lebih berupa plastik film, tidak getas, dan bertekstur lebih kasar daripada selulosa murni (Riswoko 2006).

Penelitian ini bertujuan mengisolasi mikroselulosa ampas sagu dengan cara

pulping, dilanjutkan dengan proses esterifikasi

menggunakan benzoil klorida. Produk

selulosa benzoat diuji kemampuannya sebagai

fase diam kromatografi kolom untuk

memisahkan komponen-komponen bioaktif dari ekstrak temu lawak (kurkuminoid dan xantorizol). Pemisahan terhadap kelompok kurkuminoid telah banyak dilakukan, namun pada penelitian ini, dilakukan pemisahan xantorizol dari ekstrak etanol temu lawak.

Temu lawak (Curcuma xanthorriza

Roxb.) adalah tanaman obat-obatan yang tergolong keluarga Zingiberaceae. Temu lawak merupakan salah satu tanaman obat yang memiliki potensi sebagai antibakteri (Hwang 2000) dan antioksidan (Batubara et al. 2008). Xantorizol merupakan salah satu senyawa aktif dalam temu lawak yang memiliki kemampuan sebagai antibakteri

(Hwang 2000). Kandungan senyawa

xantorizol dalam temu lawak sebesar 21%

(Darusman et al. 2006). Kurkuminoid

(11)

2

METODE

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah serabut ampas sagu, (HCl, H2SO4, piridina, benzoil klorida,

metanol, etanol, aseton, toluena) p.a Merck, NaOH teknis, H2O2 5%, dan KBr.

Alat-alat analisis yang digunakan adalah alat-alat kaca, radas reaktor sintesis, blade stirrer, hot plate, refraktometer Abbé, penyaring vakum, kolom kromatografi (30×1) cm, pelat kromatografi lapis tipis (KLT), mikroskop elektron pemayaran (SEM), dan spektrofotometer inframerah transformasi Fourier (FTIR) Perkin-Elmer Spectrum One.

Lingkup Kerja

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan (Lampiran 1), meliputi isolasi selulosa (hidrolisis fibril, pulping, dan delignifikasi), isolasi mikroselulosa, sintesis fase diam ester selulosa, pengukuran derajat esterifikasi, uji daya tahan terhadap berbagai pelarut pada fase diam hasil sintesis, pencirian fase diam dengan FTIR dan SEM, dan pemisahan xantorizol dari ekstrak temu lawak dengan kromatografi kolom berbasis selulosa benzoat.

Preparasi Ampas Sagu

Ampas sagu yang diambil dari pabrik tepung sagu di Cimahpar, Bogor dikeringkan di bawah sinar matahari selama 2 hari. Serabut ampas sagu yang telah dikeringkan kemudian diayak agar serabut kasarnya terpisah dari serbuk halus ampas sagu. Serabut kasar ampas sagu selanjutnya dianalisis proksimat awal yang meliputi kadar total

selulosa, kadar α-selulosa, dan kadar lignin.

Hidrolisis Fibril

Hidrolisis dengan HCl

Sebanyak 50 g serabut kasar ampas sagu yang telah digiling ditambahkan dengan 1000 mL larutan HCl 3% kemudian dipanaskan dalam penangas air hingga mencapai suhu 80

C. Suhu dijaga konstan selama 90 menit. Hasil hidrolisis dicuci dengan air mengalir hingga bebas asam (pH 7).

Hidrolisis dengan H2SO4

Sebanyak 200 g serabut kasar ampas sagu ditambahkan dengan 1000 mL larutan H2SO4

40%. Campuran diaduk selama 90 menit dengan pengaduk magnet pada suhu ruang (25

o

C). Hasil hidrolisis dicuci dengan air mengalir hingga bebas asam (pH 7).

Pulping (modifikasi Huang et al. 2007)

Sebanyak 50 g contoh hasil hidrolisis fibril ditambahkan 1000 mL larutan NaOH 20% kemudian dipanaskan dalam penangas air hingga mencapai suhu 80 C dan dijaga konstan selama 120 menit. Contoh ampas sagu hasil pulping dicuci hingga bebas basa dan dikeringkan dalam oven dengan suhu 60

C.

Delignifikasi (modifikasi Sun et al. 2005) Sebanyak 20 g contoh lignoselulosa hasil pulping ditambahkan 500 mL larutan H2O2

5% pH 12 dan dipanaskan dalam penangas air bersuhu 70 C yang dijaga konstan selama 2 jam. Setelah 2 jam, contoh dicuci hingga bebas basa. Proses ini diulangi sebanyak 2 kali lagi dengan larutan H2O2 baru,

masing-masing dipanaskan selama 3 jam. Kemudian contoh dikeringkan dalam oven bersuhu 60

C. Analisis proksimat kadar total selulosa,

kadar α-selulosa, dan kadar lignin juga dilakukan pada isolat selulosa ini.

Isolasi Mikroselulosa (modifikasi Ilindra & Dhake 2008) Sebanyak 50 g isolat selulosa ditambahkan 1000 mL larutan HCl 2.5 N panas (85 °C). Campuran dipanaskan kembali pada suhu 85 °C selama 30 menit dengan pengadukan konstan, lalu didinginkan dalam suhu kamar. Setelah dingin, mikroselulosa disaring dengan penyaring-vakum Büchner. Hasil penyaringan dicuci dengan air panas hingga bebas asam, kemudian dikeringkan.

Esterifikasi Selulosa dengan Benzoil Klorida (Riswoko 2006)

Sebanyak 10 g mikroselulosa dilarutkan dalam piridina selama 30 menit pada suhu 40 °C. Kemudian larutan dipanaskan pada suhu 60 °C selama 4, 6, dan 8 jam. Selama pemanasan, ditambahkan 70 mL benzoil klorida melalui corong penambah cairan. Produk kotor ester selulosa dicuci dengan HCl pH 3, lalu direndam dalam metanol dan dikeringkan hingga didapat selulosa benzoat kering.

Penentuan Derajat Esterifikasi (modifikasi Guimes 2008)

Sebanyak 1 g selulosa benzoat

(12)

3

Contoh kering selanjutnya ditambahkan 40 mL etanol 75% (v/v) dan dipanaskan dalam penangas air selama 30 menit pada suhu 60 ○

C. Sebanyak 40 mL NaOH 0.5 N yang telah distandardisasi ditambahkan setelah itu, dan dipanaskan lagi pada suhu yang sama selama 30 menit.

Contoh didiamkan selama 72 jam, kelebihan NaOH dititrasi dengan HCl 0.5 N

yang telah distandardisasi dengan

menggunakan indikator fenolftalein sampai warna merah muda lenyap. Contoh lalu didiamkan selama 24 jam untuk memberi kesempatan bagi NaOH berdifusi. Selanjutnya contoh dititrasi dengan NaOH 0.5 N sampai terbentuk warna merah muda kembali. Pengukuran blangko dilakukan sama dengan contoh, tetapi tanpa penambahan contoh selulosa benzoat. Kadar benzoil (KB) dihitung dengan rumus

dengan

A = volume NaOH untuk titrasi contoh (mL),

B = volume NaOH untuk titrasi blangko (mL),

C = volume HCl untuk titrasi contoh (mL),

D = volume HCl untuk titrasi blangko (mL),

F = 10.5 untuk kadar benzoil,

Na = normalitas HCl,

Nb = normalitas NaOH, dan

W = bobot kering contoh (g).

Sementara besarnya derajat substitusi (DS) dapat dihitung dari nilai KB menggunakan rumus

Preparasi Ekstrak Temu Lawak Sebanyak 25 g serbuk kering rimpang temu lawak dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 250 mL, kemudian dimaserasi dengan 100 mL etanol p.a selama 24 jam. Maserat disaring dan dipisahkan ke dalam labu bulat. Residu dimaserasi ulang sebanyak 2 kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Semua maserat dikumpulkan dalam labu bulat lalu dipekatkan dengan penguap putar pada suhu 40 °C hingga diperoleh ekstrak pekat. Ekstrak pekat rimpang temu lawak disimpan dalam botol berwarna gelap.

Uji Ketahanan Terhadap Berbagai Pelarut

Sebanyak 0.5 g produk selulosa benzoat dimasukkan ke dalam vial 15 mL, kemudian ditambahkan masing-masing 10 mL pelarut metanol p.a, etanol p.a, isopropanol p.a, asetonitril, n-heksana, dan air. Masing-masing larutan didiamkan selama 3×24 jam sambil sesekali diaduk, lalu diukur indeks biasnya

menggunakan alat refraktometer Abbe.

Pengukuran blangko dilakukan sama dengan contoh, tetapi tanpa penambahan contoh selulosa benzoat.

Kromatografi Kolom

Sebanyak 8 g selulosa benzoat dikemas dalam kolom kromatografi. Tinggi fase diam di dalam setiap kolom dibuat seragam (15 cm) dan laju alir diatur ±0.5 mL/menit. Ekstrak kasar temu lawak yang digunakan sebanyak 0.5 mL. Fase gerak yang digunakan adalah pelarut terbaik hasil uji ketahanan pelarut (metanol dan heksana). Ekstrak dielusi dengan mengalirkan fase gerak sampai semua fraksi keluar dari kolom. Setiap fraksi ditampung sebanyak 5 mL di dalam vial gelap.

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Fraksi-fraksi hasil pemisahan kromatografi kolom ditotolkan kurang lebih 20 kali di atas pelat KLT dengan jarak antarnoda sebesar 1 cm. Jarak batas atas dan batas bawah lintasan dari tepi pelat KLT sebesar 1 cm. Tiap noda dielusi dalam eluen heksana:etil asetat (10:1) untuk pemisahan xantorizol, dan eluen kloroform:benzena:metanol (80:15:5) untuk pemisahan kurkuminoid. Nilai retardation factor (Rf) yang diperoleh dibandingkan

dengan nilai Rf standar xantorizol dan standar

kurkuminoid.

Analisis FTIR

Sebanyak 0.01 g contoh selulosa benzoat dicampurkan dengan 0.1 g KBr. Campuran digerus sampai halus kemudian dipanaskan dalam oven 40 C selama 24 jam untuk menghilangkan uap air. Setelah 24 jam, campuran dianalisis dengan spektrometer FTIR Parkin Elmer Spectrum One dengan resolusi 4 cm-1.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi Selulosa

(13)

4

serabut ampas sagu sebelum isolasi

menunjukkan kadar lignin 31.09%, dan holoselulosa 70.63% (Lampiran 2). Isolasi selulosa dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu hidrolisis fibril, pulping dengan NaOH, dan delignifikasi dengan peroksida. Proses hidrolisis dilakukan dengan 2 cara, yaitu hidrolisis dengan HCl 3% melalui proses pemanasan dan dengan H2SO4 40% tanpa

proses pemanasan. Pembandingan kedua metode ini dilakukan berdasarkan rendemen dan kemurnian hasil isolat selulosa.

Lignin dan hemiselulosa perlu dihilangkan dari serabut ampas sagu karena dalam penelitian ini target utama reaksi esterifikasi adalah α-selulosa. HCl encer (HCl 3%) digunakan untuk menghidrolisis sebagian besar hemiselulosa dan menghidrolisis pati (Achmadi 1990). Penggunaan H2SO4 selain

untuk hidrolisis, juga untuk memotong serat awal secara kimiawi sehingga menjadi lebih pendek tanpa harus melalui proses grinding. Hidrolisis fibril menghasilkan produk yang berwarna merah kecokelatan (untuk HCl) dan cokelat kehitaman (untuk H2SO4) dengan

rendemen masing masing sebesar 65% dan 55% (Lampiran 2).

Pemasakan dengan larutan NaOH

(pulping) bertujuan memutuskan ikatan

antara lignin dan selulosa (ikatan

lignoselulosa). Selain itu, larutan NaOH akan mengurangi ikatan hidrogen di dalam molekul selulosa sehingga terjadi pembengkakan yang mengubah struktur dinding sel. Perubahan struktur dinding sel mengakibatkan larutnya hemiselulosa dan melemahnya ikatan antara selulosa dan lignin sehingga mempermudah reaksi delignifikasi (Achmadi 1990). Proses

pulping menghasilkan rendemen sebesar 70– 75% (Lampiran 2).

Proses delignifikasi menggunakan larutan hidrogen peroksida (H2O2) lebih optimum

dalam kondisi pH tinggi (basa). Hidrogen peroksida bereaksi dengan gugus karbonil lignin melalui serangkaian reaksi yang kompleks dengan mekanisme radikal. Anion perhidroksil (–OOH) adalah bahan aktif yang bereaksi dengan struktur karbonil pada lignin sehingga lignin terpecah dan larut dalam

larutan NaOH (Ulia 2007). Proses

delignifikasi menghasilkan rendemen sebesar 65–70% (Lampiran 2).

Parameter keberhasilan isolasi selulosa

adalah kadar α-selulosa dan kadar lignin.

Semakin tinggi kadar α-selulosa dan semakin rendah kadar lignin, kemurnian isolat selulosa semakin baik. Kadar α-selulosa setelah tahap isolasi mengalami peningkatan dan kadar

lignin mengalami penurunan untuk kedua metode hidrolisis. Untuk hidrolisis awal HCl,

kadar α-selulosa meningkat menjadi 86.79% dengan kadar lignin yang tersisa sebesar 0.37% dan rendemen 20%. Sementara untuk hidrolisis awal H2SO4, kadar α-selulosa

meningkat menjadi 57.60% dengan kadar lignin yang tersisa sebesar 0.68%, dan rendemen 15% (Tabel 1).

Tabel 1 Hasil isolasi selulosa serabut ampas sagu

Sampel dengan hidrolisis

Parameter (%)

Lignin α-Selulosa

Hemi selulosa

% Isolasi

H2SO4 0.68 57.60 34.98 15%

HCl 0.37 86.79 6.78 20%

Berdasarkan kadar α-selulosa dan kadar lignin yang dihasilkan, metode isolasi melalui

hidrolisis dengan HCl 3% memiliki

kemurnian lebih tinggi daripada dengan H2SO4. Secara fisik (bentuk dan tekstur) juga

menunjukkan selulosa hasil isolasi dengan hidrolisis HCl 3% lebih mirip dengan selulosa murni (Gambar 1).

(a) (b)

(c)

(d)

Gambar 1 selulosa hasil hidrolisis dengan HCl (a) , dengan H2SO4 (b), foto

SEM selulosa (a) (c), foto SEM selulosa (b) (d), perbesaran 50×.

(14)

5

spektrum FTIR selulosa dicirikan dengan serapan pada bilangan gelombang sekitar 3200–3600 cm-1 (ulur –OH), 2800–3200 cm-1 (ulur C-H), dan daerah sidik jari dengan puncak ganda pada daerah 1000–1100 cm-1.

Spektrum FTIR selulosa hasil isolasi

memperlihatkan serapan ulur –OH pada bilangan gelombang 3282.84 cm-1, serapan ulur C-H pada 2900.94 cm-1, dan serapan dengan puncak ganda pada 1018.41 cm-1.

Gambar 2 Spektrum FTIR selulosa murni ( ), selulosa hasil isolasi (hidrolisis HCl) (—), dan selulosa hasil isolasi (hidrolisis H2SO4) ().

Mikroselulosa

Isolasi mikroselulosa dibuat dengan menghidrolisis selulosa dalam larutan HCl 2.5 N. Perlakuan ini bertujuan mendapatkan selulosa berukuran mikron. Ukuran yang jauh lebih kecil akan memperbesar luas permukaan

selulosa dan meningkatkan kekuatan ikatan hidrogennya (Ilindra & Dhake 2008). Hasil mikroselulosa sangat berpengaruh terhadap keberhasilan reaksi esterifikasi. Proses esterifikasi selulosa tanpa proses mikro memberikan produk ester yang menggumpal dengan warna kecokelatan dan derajat substitusi (DS) yang rendah (Lampiran 3).

Pembuktian hasil mikroselulosa pada penelitian ini dilakukan dengan analisis SEM

pada perbesaran 500×. Hasil SEM

menunjukkan ukuran diameter serat

mikroselulosa mencapai sekitar 20 µm untuk kedua jenis selulosa isolasi (hidrolisis awal HCl dan hidrolisis awal H2SO4) (Gambar 3).

Selulosa Benzoat

Selulosa benzoat disintesis melalui reaksi esterifikasi antara mikroselulosa hasil isolasi dan larutan benzoil klorida dalam pelarut piridina. Salah satu persyaratan reaksi esterifikasi selulosa adalah ionisasi gugus-gugus hidroksil pada selulosa. Setiap residu  -D-glukopiranosa di dalam rantai selulosa mempunyai 3 gugus hidroksil reaktif, yaitu 2 hidroksil sekunder (HO-2 dan HO-3), dan 1 hidroksil primer (HO-6) (Sjostrom 1998) (Gambar 4).

Larutan piridina merupakan medium basa yang berfungsi sebagai katalis pengaktif gugus OH selulosa serta akan membentuk garam amonium dengan ion klorida yang

terbentuk selama proses esterifikasi

berlangsung. Pelarut piridina juga merupakan basa lemah tanpa gugus OH sehingga tidak reaktif terhadap gugus ester pada produk (Riswoko 2006).

Gambar 3 Foto SEM mikroselulosa: hidrolisis awal dengan HCl (a), hidrolisis awal dengan H2SO4

(b), perbesaran 500×.

(15)

6

Gambar 4 Mekanisme reaksi esterifikasi

selulosa dengan benzoil klorida dalam pelarut piridina (Jinming et al. 2008).

Gugus benzoil pada selulosa termodifikasi membuat sifatnya lebih nonpolar daripada selulosa awal. Karena itu, sifat-sifat baru banyak terlihat setelah selulosa termodifikasi menjadi selulosa benzoat. Selulosa benzoat lebih halus, berbentuk serbuk, dan berwarna putih kekuningan (Lampiran 3). Selulosa benzoat juga memiliki bobot jenis yang lebih rendah daripada selulosa. Ketika direndam dalam air, selulosa benzoat terapung di permukaan, sedangkan selulosa terendam.

Proses esterifikasi pada penelitian ini dilakukan dengan 3 variasi waktu, yaitu 4, 6, dan 8 jam dengan komposisi formula bahan dan suhu yang sama (65–70 ºC). Sebanyak 10

g selulosa akan menghasilkan produk

esterifikasi sekitar 20−25 g. Semakin lama

waktu esterifikasi, semakin banyak pula produk selulosa benzoat yang terbentuk (Tabel 2). Keberhasilan proses esterifikasi pada penelitian ini dilihat berdasarkan penampakan permukaan dengan SEM, analisis gugus fungsi dengan FTIR, dan pengukuran derajat substitusinya (DS).

Hasil foto SEM menunjukkan perbedaan yang sangat jelas antara permukaan selulosa dan permukaan selulosa benzoat. Perbesaran 500× memperlihatkan bahwa permukaan selulosa benzoat kasar seperti ada kumpulan serbuk yang menempel. Berbeda dengan permukaan selulosa hasil isolasi yang terlihat halus dan rata (Gambar 5).

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 5 Hasil foto SEM: selulosa benzoat (a), selulosa (hidrolisis HCl) (b), selulosa benzoat (c), selulosa (hidrolisis H2SO4) (d), perbesaran

500×.

Tabel 2 Hasil proses sintesis selulosa benzoat dengan berbagai variasi waktu

Waktu (jam)

Proses hidrolisis awal

Bobot selulosa (g)

Volume benzoil klorida (mL)

Volume piridina (mL)

Bobot ester (g)

4

HCl

10.0122 70 100 20.5735

6 10.0215 70 100 23.0364

8 10.0017 70 100 25.6428

4

H2SO4

10.0021 70 100 21.9141

6 10.1003 70 100 22.5073

8 10.0118 70 100 23.0321

benzoil klorida

(16)

7

Gambar 6 Spektrum FTIR isolat selulosa (hidrolisis awal dengan HCl dan H2SO4—), dan

selulosa benzoat (hidrolisis awal dengan HCl dan H2SO4).

Karakteristik serapan FTIR untuk

senyawaan ester meliputi serapan tunggal ulur karbonil C=O pada daerah 1690–1760 cm-1 dan serapan C–O pada daerah 1080–1300 cm

-1

(Jinming et al. 2008). Perubahan selulosa menjadi selulosa benzoat terlihat dari berkurang hingga tidak terlihatnya intensitas serapan ulur gugus hidroksil pada daerah 3000–3600 cm-1. Keberhasilan sintesis selulosa benzoat juga terlihat oleh adanya serapan C=O pada 1738 cm-1, serapan C–O pada 1157 cm-1, ulur C–H cincin benzena pada 3062 cm-1

,

1604 dan 1452 cm-1 untuk ulur aromatik C=C, serta serapan gugus C–H luar bidang benzena yang ramai di daerah kurang dari 1000 cm-1.

Hasil spektrum FTIR memiliki kesesuaian

dengan DS selulosa benzoat. Derajat

substitusi (DS) menunjukkan banyaknya gugus OH yang tergantikan oleh gugus esternya (benzoil) selama proses esterifikasi berlangsung (Guimes 2008). Pengukuran DS dilakukan dengan menyabunkan contoh dalam larutan NaOH yang terstandardisasi. Jumlah NaOH yang terpakai diukur melalui titrasi asam-basa dengan HCl dan berbanding lurus dengan banyaknya gugus benzoil pada selulosa benzoat.

Hasil perhitungan menunjukkan, DS

tertinggi terdapat pada produk esterifikasi selulosa hasil hidrolisis awal dengan HCl pada waktu 8 jam. Sementara DS terendah terdapat pada produk esterifikasi selulosa hasil

hidrolisis awal dengan HCl pada waktu 4 jam. DS tertinggi bernilai 1.83 dan DS terendah 0.95 (Lampiran 5). Berdasarkan Gambar 7, dapat dikatakan bahwa semakin lama proses esterifikasi, semakin besar nilai DS-nya. Hal ini berlaku untuk kedua jenis selulosa benzoat (hidrolisis dengan HCl maupun dengan H2SO4). Selain itu, nilai DS selulosa benzoat

hasil hidrolisis awal dengan HCl lebih tinggi dibandingkan dengan hasil hidrolisis awal dengan H2SO4 untuk waktu esterifikasi yang

sama. Nilai DS yang dihasilkan belum mencapai nilai maksimum, yaitu 3.00. Oleh sebab itu, perlu dilakukan optimalisasi variasi waktu dan suhu untuk mencapai nilai DS mendekati 3.00.

(17)

8

Uji Daya Tahan Kelarutan

Produk selulosa benzoat dalam penelitian ini akan diaplikasikan sebagai fase diam. Syarat suatu zat dapat dijadikan sebagai fase diam di antaranya adalah tidak bereaksi (lembam) terhadap eluen/pelarut yang akan digunakan sebagai fase gerak. Oleh sebab itu, beberapa pelarut organik polar hingga nonpolar yang lazim dalam kromatografi diujikan untuk selulosa benzoat, yakni air, metanol, etanol, isopropanol, asetonitril, dan heksana. Larut atau tidaknya selulosa benzoat dalam suatu pelarut ditentukan berdasarkan selisih antara nilai indeks bias pelarut yang terkontaminasi dan pelarut murni, dengan refraktometer. Pelarut uji yang melarutkan selulosa benzoat adalah isopropanol. Pelarut terbaik yang paling sedikit dan bahkan tidak bereaksi sama sekali dengan fase diam adalah metanol (Gambar 8) dan heksana. Hal ini terlihat dari selisih indeks biasnya yang kecil (Lampiran 6). Pelarut terbaik digunakan sebagai eluen untuk aplikasi fase diam yang dikemas ke dalam kromatografi kolom.

Gambar 8 Foto ketahanan kelarutan selulosa benzoat dengan berbagai variasi waktu terhadap terhadap pelarut metanol.

Kromatografi Kolom

Kromatografi kolom dengan fase diam

selulosa benzoat diaplikasikan untuk

pemisahan xantorizol/kurkumin dari ekstrak temu lawak. Tinggi pengisi kolom yang digunakan ±15 cm dengan pemakaian sekitar 8.0 g selulosa benzoat, dikemas dengan cara

basah menggunakan eluen metanol.

Pengemasan cara basah dengan metanol dipilih karena pada saat dikemas secara basah dengan pelarut terbaik lainnya (heksana),

eluen tidak dapat turun meskipun

menggunakan pompa pendorong. Oleh karena itu, dalam kromatografi kolom ini digunakan

eluen tunggal metanol dengan proses

pengemasan dan elusi dibantu pompa

pendorong atau biasa dikenal dengan istilah kromatografi flash (Gambar 9). Selama proses elusi, tiap-tiap eluat ditampung dalam vial sebanyak 5 mL.

Gambar 9 Kromatografi kolom (flash)

selulosa benzoat.

Zat ekstraktif yang terkenal dalam ekstrak temu lawak adalah kurkumin dan xantorizol (Sidik et al. 1995). Xantorizol merupakan salah satu komponen aktif pada ekstrak temu lawak yang bersifat lebih nonpolar daripada kurkuminoid (Aguilar et al. 2001). Eluen metanol yang digunakan dalam kromatografi kolom ini sifatnya sangat polar dan mampu melarutkan seluruh zat ekstraktif dalam temu

lawak. Hasil uji ketahanan pelarut

menunjukkan bahwa fase diam (selulosa benzoat) yang dihasilkan memiliki sifat semipolar yang cenderung nonpolar. Hal ini juga dapat dijelaskan berdasarkan struktur kimia selulosa benzoat: gugus karbonil yang terstabilkan oleh gugus benzena dapat menurunkan sifat kepolaran.

Berdasarkan sifat kepolaran, seharusnya senyawaan kurkuminoid akan lebih dulu terelusi. Namun, selulosa benzoat merupakan fase diam kiral (CSP) yang interaksi

pemisahannya tidak berdasarkan sifat

kepolaran saja. Prinsip pemisahan fase diam ini berdasarkan interaksi retensi molekul yang berupa interaksi hidrofilik (ikatan hidrogen)

dan interaksi ikatan ππ antara selulosa benzoat, eluen, dan ekstrak temu lawak (Chen

et al. 2007). Selulosa benzoat memiliki ikatan

ππ pada gugus karbonil dan gugus benzena. Gugus benzoil dalam selulosa benzoat ini berperan penting dalam interaksi pemisahan.

(18)

9

interaksi gugus OH metanol dengan ekstrak lebih besar daripada ekstrak dengan selulosa benzoat. Secara garis besar, hasil KLT untuk fraksi 1–7 menunjukkan bahwa senyawa yang terelusi berturut-turut adalah senyawa xantorizol, bis-desmetoksikurkumin, dan desmetoksikurkumin.

Struktur senyawa xantorizol maupun senyawaan kurkuminoid sama-sama memiliki ikatan rangkap yang dapat berinteraksi ππ dengan selulosa benzoat. Ikatan π pada senyawa xantorizol lebih sedikit, maka terelusi lebih dahulu. Senyawa kurkuminoid juga memiliki ukuran sterik lebih besar sehingga lebih lambat terelusi (Gambar 10).

(a)

(b)

Gambar 10 Struktur kimia: xantorizol (a) dan kurkuminoid (b).

Kromatografi Lapis Tipis

Setiap fraksi yang diperoleh dari

kromatografi kolom diuji pemisahannya dengan KLT Silica Gel GF254. Eluen yang dipakai untuk KLT adalah eluen heksana:etil asetat (10:1) untuk melihat pemisahan

xantorizol dan eluen

kloroform:benzena:methanol (80:15:5) untuk melihat pemisahan kurkuminoid.

Hasil KLT menggunakan eluen

heksana:etil asetat (10:1), menunjukkan noda xantorizol berada pada fraksi 2 dan 3 di bawah penyinaran UV 254 nm. Rf untuk fraksi

2 dan 3 berturut-turut 0.519 dan 0.494 yang nilai Rf-nya berdekatan dengan nilai Rf standar

xantorizol dan ekstrak temu lawak, yaitu 0.519 dan 0.532 (Lampiran 7).

Dari hasil KLT menggunakan eluen

kloroform:benzena:metanol (80:15:5),

diketahui terdapat 3 noda pada standar kurkuminoid dan ekstrak kasar temu lawak.

Noda-noda tersebut merupakan noda

kurkumin, desmetoksikurkumin, dan bis-desmetoksikurkumin yang memiliki nilai Rf

secara berturut-turut 0.72, 0.45, dan 0.25. Hasil pemisahan fraksi-fraksi menunjukkan adanya noda bis-desmetoksikurkumin pada fraksi 2

7 dengan nilai Rf berturut-turut 0.27,

0.3, 0.3, 0.31, dan 0.31, dan noda desmetoksikurkumin pada fraksi 6

7 dengan nilai Rf berturut-turut 0.45 dan 0.46 (Lampiran

8). Berdasarkan hasil elusi KLT untuk

senyawa xantorizol dan kurkuminoid,

diketahui bahwa fase diam selulosa benzoat hasil sintesis dengan DS sebesar 1.83 dapat memisahkan zat aktif dari ekstrak kasar temu lawak.

Gambar 11 Hasil KLT fraksi kolom, standar xantorizol, dan ekstrak temu lawak dengan eluen heksana:etil asetat (10:1) pada sinar UV 254 nm.

Gambar 12 Hasil KLT ekstrak temu lawak, standar kurkuminoid, dan fraksi

tiap kolom dengan eluen

kloroform:benzena:metanol (80:15:5) pada sinar UV 366 nm.

Keterangan : R1 R2 Kurkumin -OCH3 -OCH3 Desmetoksikurkumi -OCH3 -H bis-desmetoksikurkumin -H -H

Fraksi 2 dan 3 Standar xantorizol dan ekstrak kurkumin

ekstrak

Standar kurkuminoid

Fraksi 1 2 3 4 5 6 7 Fraksi 6 -7 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

(19)

10

SIMPULAN

Isolasi selulosa serabut ampas sagu dengan hidrolisis awal HCl memiliki kemurnian dan rendemen yang tinggi. Proses esterifikasi tanpa proses pembuatan mikroselulosa sangat

berpengaruh terhadap warna menjadi

kecokelatan, produk menggumpal, dan derajat substitusi (DS) yang rendah terhadap selulosa benzoat.

Produk selulosa benzoat dengan DS tertinggi (1.83) memiliki ketahanan pelarut paling baik dalam metanol dan heksana. Produk esterifikasi yang berupa selulosa benzoat diaplikasikan ke dalam kromatografi

kolom bertekanan (flash) dan dapat

memisahkan komponen xantorizol pada fraksi 2, serta komponen bis-desmetoksikurkumin pada fraksi 3

5 dari komponen-komponen ekstrak temu lawak lainnya dengan eluen metanol.

SARAN

Perlu penyalutan dengan 3-aminopropil trietoksisilana terhadap fase diam selulosa benzoat untuk imobilisasi. Perlu dilakukan optimalisasi reaksi esterifikasi serabut ampas sagu menggunakan benzoil klorida dalam pelarut piridina.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi SS. 1990. Kimia Kayu. Bogor: IPB Pr.

Aguilar MI, Guillermo D, Maria LV. 2001. New bioactive derivatives of xanthorrizol.

J Mex Chem Soc 45:56-59.

Akmar PF, Kennedy JF. 2001. The potential of oil and sago palm trunk wastes as carbohydrate resources. Wood Sci Technol

35:467-473.

Batubara I, Mitsunaga T, Ohasi H. 2009. Screening antiacne potency of Indonesian medicinal plants: Antibacterial, lipase inhibition, and antioxidant activities. J Wood Sci 55: 230-235.

Bobleter O. 1994. Hydrothermal degradation of polymers derived from plants. Prog Polym Sci 19:797-841.

Chen X, Chio Y, Okamoto Y. 2007. Polysaccharide derivatives as useful chiral stationary phases in high-performance

liquid chromatography. Pure Appl Chem

79:1561-1573.

Darusman LK, Djauhari E, Nurcholis W. 2006. Kandungan xantorizol temu lawak (Curcuma xanthorrizha Roxb.) pada berbagai cara budi daya dan masa tanam.

Di dalam: Peranan Kimia Memacu

Kemajuan Industri. Prosiding Seminar Nasional Himpunan Kimia Indonesia. Bogor, 12 Sep 2006. Bogor: Auditorium Rektorat IPB Darmaga. hlm 279-287.

[FAO] Food and Agricultural Organization.

Compendium of Food Aditive

Specification. Adendum 5 [berkala

sambung jaring] http://www.fao.org/

docrep/w6355e/w6355e0l.htm.

Guimes RF et al. 2008. Synthesis and characterization of cellulose acetate

produced from recycled newspaper.

Carbohydr Polym 73:74-82.

Huang G, Jeffrey XS, Langrish TAG. 2007. NH4OH–KOH pulping mechanisms and

kinetics of rice straw. Biores Technol

98:1218-1223

Hwang JK, penemu; LG Household & Healthcare. 24 Feb 2004. Antibacterial composition having xanthorhizol. US patent 6 696 404.

Ilindra A, Dhake JD. 2008. Microcrystalline cellulose bagasse and rice straw. Indian Chem Technol 15:497-499.

Irfana L. 2010. Asetilasi selulosa ampas sagu dengan katalis I2 dan aplikasinya sebagai

fase diam kromatografi kolom [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Jinming Z et al. 2008. Synthesis of cellulose benzoates under homogenous conditions in an ionic liquid.Cellulose 16:299-308.

Kiat LJ. 2006. Preparation and

characterization of carboxymethyl sago

waste and it’s hydrogel [tesis]. Malaysia: Master of Science, Universiti Putra Malaysia.

Kumaran S, Sastry CA, Vikineswary S. 1997. Laccase, cellulase, and xylanase activities during growth of Pleurotus sajor-caju on

sago hampas. World J Microbiol

Biotechnol 13:43-49.

Matitaputty PR, Alfons JB. 2006. Inovasi

(20)

11

untuk ternak. Di dalam: Prosiding

Lokakarya Sagu dalam Revitalisasi Pertanian Maluku; Ambon, 29-31 Mei

2006. Ambon: Fakultas Pertanian

Universitas Pattimura. hlm 100-106.

Pushpamalar V, Langford SJ, Ahmad M, Lim YY. 2006. Optimization of reaction conditions for preparing carboxymethyl cellulose from sago waste. Carbohydr Polym 64:312-318.

Riswoko A. 2006. Pembuatan selulosa ester dan karakterisasi sifat polimer kristal cair.

Akta Kimia Indones 1:79-86.

Santi. 2006. Onggok sagu termodifikasi sebagai fase diam dalam kromatografi

kolom [skripsi]. Bogor: Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Sidik, Moelyono MW, Mutadi A. 1995. Temu lawak (Curcuma xanthorriza Roxb.). Jakarta: Phyto Medika.

Singhal RS et al. 2008. Industrial production, processing, and utilization of sago palm-derived products. Carbohydr Polym 72:1-20.

Sjostrom E. 1998. Kimia Kayu, Dasar-dasar dan Penggunaan Edisi 2. Sastrohamidjojo

H, penerjemah; Yogyakarta: UGM Pr.

Terjemahan dari: Wood Chemistry,

Fundamentals and Applications Second Edition.

Sun RC, Jones GL, Tomkinson J, Bolton J. 1999. Fractional isolation and partial

characterization of non-starch

polysaccharides and lignin from sago pith.

Industrial Crops and Products 19:211-220.

Susanto AN. 2006. Potensi dan perhitungan luas lahan sagu untuk perencanaan ketahanan pengan spesifik lokasi di Provinsi Maluku. Di dalam: Prosiding Lokakarya Sagu dalam Revitalisasi Pertanian Maluku; Ambon 29-31 Mei

2006. Ambon: Fakultas Pertanian

Universitas Pattimura. hlm 173-184.

Syakir M, Bintoro MH, Agusta H. 2009. Pengaruh ampas sagu dan kompos terhadap produktivitas lada perdu. J Litri

4:168-173.

Ulia H. 2007. Alternatif penggunaan hidrogen peroksida pada tahap akhir proses pemutihan pulp. [tesis]. Medan:

Fakultas Teknik Kimia, Universitas

(21)

12

(22)

13

Lampiran 1 Bagan alir penelitian

Pencirian ester

selulosa

- FTIR

-SEM

- ketahanan

terhadap pelarut

Hidrolisis awal (HCl

dan H

2

SO

4

)

Serabut ampas

sagu

Proses

pulping

selulosa

Fraksi-fraksi dari

berbagai kolom

Perhitungan

R

f

Isolasi

mikroselulosa

Kromatografi kolom

Metanol, heksana

KLT

(pelat gel silika)

Esterifikasi selulosa

dengan benzoil klorida

Ester selulosa

Ekstrak temu

lawak

(23)

14

Lampiran 2 Hasil analisis proksimat awal, rendemen tiap tahap isolasi, dan

rendemen isolasi mikroselulosa.

Proksimat awal

Sampel

Parameter

Lignin (%) Holoselulosa

(%)

α-Selulosa (%) Serabut

ampas sagu 31.09 70.63 41.47

Non-serabut 12.02 32.39 14.23

Hidrolisis awal

Jenis Hidrolisis

Larutan asam Bobot

sampel (g)

Suhu (oC)

Waktu (menit) Bobot hasil (g) Rendemen (%) Konsentrasi (%) Volume (mL)

H2SO4 40 1000 200 27 90 110 55

HCl 3 1000 50 85 90 32–34 65

Pulping

Hidrolisis awal Bobot hasil hidrolisis Volume NaOH 20% (mL)

Suhu (oC) Waktu (menit)

Rerata hasil (g)

Rendemen (%)

H2SO4 50 1000 80 120 34–36 70

HCl 50 1000 80 120 37–38 75

Delignifikasi

Hidrolisis awal Bobot hasil pulping (g) Volume

H2O2 (mL) Suhu ( o

C) Waktu

(menit)

Rerata hasil (g)

Rendemen (%)

H2SO4 20 500 70 I. 120

II. 180 III. 180

11–13 60

HCl 20 500 70 13–15 70

Isolasi mikroselulosa

Hidrolisis awal Bobot selulosa isolasi (g) Volume HCl 2.5 N (mL) Suhu (oC)

Waktu (menit) Rerata hasil (g) Rendemen (%)

H2SO4 50 1000 85 35 28–33 60

(24)

15

Lampiran 3 Selulosa benzoat tanpa proses isolasi mikroselulosa (a), selulosa

benzoat hidrolisis HCl/H

2

SO

4

(4, 6, dan 8) jam (b), dan selulosa

benzoat kering hasil esterifikasi (c).

(a)

(b)

(c)

a b c

HCl

H2SO4

4 6 8

4 6 8

(25)

16

Lampiran 4

Hasil standardisasi HCl dan standardisasi NaOH.

Standardisasi HCl dengan Na

2

BO

4

•10H

2

O (boraks)

Pembuatan larutan boraks

Bobot (g)

= 4.7820

Volume (mL)

= 50

BE (g/ek)

= 190.6825

[Boraks] (N)

= 0.5016

Penentuan [HCl] dengan boraks 0.5016 N

Ulangan

[Boraks]

(N)

Vol. Boraks

(mL)

Vol. HCl

(mL)

[HCl]

(N)

1

0.5016

10.00

9.75

0.5145

2

0.5016

10.00

9.70

0.5171

3

0.5016

10.00

9.70

0.5171

Rerata [HCl] (N)

0.5162

Standardisasi NaOH dengan H

2

C

2

O

4

•2H

2

O (asam oksalat)

Pembuatan larutan asam oksalat

Bobot (g)

= 1.6905

Volume (mL)

= 50

BE (g/ek)

= 63.035

[Oksalat] (N)

= 0.5364

Penentuan [Oksalat] dengan NaOH 0.5364 N

Ulangan

[Oksalat]

(N)

Vol.

Oksalat

(mL)

Vol.

NaOH

(mL)

[NaOH]

(N)

1

0.5364

10.00

10.60

0.5060

2

0.5364

10.00

10.60

0.5060

3

0.5364

10.00

10.70

0.5013

(26)

17

Lampiran 5

Derajat esterifikasi dan perhitungannya.

Sampel

Volume NaOH 0.5044 N (mL)

Volume HCl 0.5162 N

terpakai (mL)

Bobot sampel (g)

Kadar

Benzoil (%) DS Ditambahkan Titrasi

Sea-4 40 0.5 25.8 1.0008 40.02716 1.0232

Sea-6 40 0.5 25.7 1.0012 40.55253 1.0457

Sea-8 40 0.7 24.5 1.0006 48.13567 1.4194

Seb-4 40 0.4 26 1.0020 38.36880 0.9549

Seb-6 40 0.9 25.5 1.0031 43.66832 1.1873

Seb-8 40 0.8 23.4 1.0008 54.61259 1.8354

Blangko 40 0.1 32.8

Keterangan

Sea: selulosa benzoat dengan hidrolisis HCl Seb: selulosa benzoat dengan hidrolisis H2SO4

dengan

A

= volume NaOH untuk titrasi contoh (mL),

B

= volume NaOH untuk titrasi blangko (mL),

C

= volume HCl untuk titrasi contoh (mL),

F

= 10.5 untuk kadar benzoil,

D

= volume HCl untuk titrasi blangko (mL),

Na

= normalitas HCl,

Nb

= normalitas NaOH, dan

W

= bobot kering contoh (g).

Sementara besarnya DS dapat dihitung dari nilai KB menggunakan rumus

Contoh perhitungan Seb-3

�� % = 32.8−23.4 0.5162 + 0.8−0.1 0.5044 × 10.5

1.0008 = 54.61259

��= 162 × 54.61259

(27)

18

Lampiran 6 Daya tahan kelarutan selulosa benzoat

.

Sampel

Indeks bias pelarut

Air selisih Metanol selisih Etanol selisish

Sea-1 1.3329 0.0004 1.3279 0.0002 1.3597 0.0008

Sea-2 1.3329 0.0004 1.3278 0.0001 1.3599 0.0010

Sea-3 1.3328 0.0003 1.3278 0.0001 1.3599 0.0010

Seb-1 1.3329 0.0004 1.3278 0.0001 1.3599 0.0010

Seb-2 1.3330 0.0005 1.3278 0.0001 1.3599 0.0010

Seb-3 1.3327 0.0002 1.3277 0 1.3601 0.0012

Blangko 1.3325 1.3277 1.3589

Asetonitril selisih Isopropanol selisih Heksana selisih

Sea-1 1.3425 0.0002 1.3875 0.012 1.378 0.0001

Sea-2 1.3427 0.0004 1.3877 0.0122 1.3785 0.0004

Sea-3 1.3426 0.0003 1.3870 0.0115 1.3783 0.0002

Seb-1 1.3428 0.0005 1.3873 0.0118 1.378 0.0001

Seb-2 1.3425 0.0002 1.3875 0.012 1.3782 0.0001

Seb-3 1.3425 0.0002 1.3871 0.0116 1.3782 0.0001

(28)

19

Lampiran 7

Rf

xantorizol pada eluen heksana:etil asetat (10:1)

Perhitungan

R

f

=

Rf

xantorizol standar =

= 0.519

Rf

xantorizol ekstrak = 0.532

R

f

xantorizol fraksi 2 = 0.519

R

f

xantorizol fraksi 3 = 0.494

7,9 cm

4,1 cm

3,9 cm

4,1 cm

4,2 cm

Jarak noda ke titik awal elusi

Panjang elusi eluen

Fraksi 2 Fraksi 3

Panjang elusi

Standar Ekstra

k

(29)

20

Gambar

Tabel 1  Hasil isolasi selulosa serabut ampas sagu
Gambar 2  Spektrum FTIR selulosa murni (—
Gambar 5  Hasil foto SEM: selulosa benzoat
Gambar 6  Spektrum FTIR isolat selulosa (hidrolisis awal dengan HCl— dan H2SO4—), dan ——
+3

Referensi

Dokumen terkait

Telah dilakukan penelitian tentang penentuan pH dan suhu optimum dari aktivitas ekstrak kasar enzim selulase hasil isolasi bekicot terhadap hidrolisa substrat selulosa, kertas HVS

Penelitian ini dilakukan melalui dua tahapan, yaitu proses isolasi α -selulosa dari serbuk tandan kosong kelapa sawit, dan proses sintesis selulosa dengan penambahan

Lampiran 10 Gambar-gambar hasil identifikasi KLT dari fraksi-fraksi hasil kromatografi kolom dengan fase diam kolom selulosa-g-AAm penaut-silang 0.1 dan 0.5

Penelitian ini meliputi 2 tahapan proses, yaitu optimasi kondisi proses hidrolisis selulosa dari tandan kosong kelapa sawit menjadi selulosa mikrokristal dan

Penelitian ini dilakukan melalui dua tahapan, yaitu proses isolasi α -selulosa dari serbuk tandan kosong kelapa sawit, dan proses sintesis selulosa dengan penambahan

3.3.3 Isolasi dan Karakterisasi Serat Selulosa dari Ampas Tebu 3.3.4 Isolasi dan Karakterisasi Nanoserat Selulosa Ampas Tebu 3.3.5 Sintesis carbon dots dari Nanoserat Selulosa

Lampiran 10 Gambar-gambar hasil identifikasi KLT dari fraksi-fraksi hasil kromatografi kolom dengan fase diam kolom selulosa-g-AAm penaut-silang 0.1 dan 0.5

Tema yang dipilih adalah Aplikasi Selulosa-g-Poliakrilamida sebagai Fase Diam Kromatografi Kolom dan Sintesisnya Melalui Reaksi Kopolimerisasi Cangkok dan Taut-Silang sebagai