• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kecernaan Nutrien, Karakteristik Fermentasi Rumen, Retensi Nitrogen, Dan Performa Sapi Potong Yang Diberi Ransum Mengandung Kulit Polong Kedelai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kecernaan Nutrien, Karakteristik Fermentasi Rumen, Retensi Nitrogen, Dan Performa Sapi Potong Yang Diberi Ransum Mengandung Kulit Polong Kedelai"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

KECERNAAN NUTRIEN, KARAKTERISTIK FERMENTASI

RUMEN, RETENSI NITROGEN, DAN PERFORMA

SAPI POTONG YANG DIBERI RANSUM

MENGANDUNG KULIT POLONG

KEDELAI

ARIEF SAEPUDIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kecernaan Nutrien, Karakteristik Fermentasi Rumen, Retensi Nitrogen, dan Performa Sapi Potong yang Diberi Ransum Mengandung Kulit Polong Kedelai adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2016

(4)

RINGKASAN

ARIEF SAEPUDIN. Kecernaan Nutrien, Karakteristik Fermentasi Rumen, Retensi Nitrogen, dan Performa Sapi Potong yang Diberi Ransum Mengandung Kulit Polong Kedelai. Dibimbing oleh SRI SUHARTI dan LILIS KHOTIJAH.

Kulit polong kedelai yang melimpah sangat potensial dijadikan sumber pakan alternatif untuk sapi potong. Kulit polong kedelai mengandung protein kasar 5.5%, serat kasar 35.4%, acid detergen fiber 51.4%, dan lignin 12.9%. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis level pemberian optimal kulit polong kedelai dalam ransum komplit dan mengukur kecernaan nutrien, karakteristik fermentasi rumen, retensi nitrogen, dan performa ternak sapi potong. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok dengan 4 perlakuan dan 3 kelompok bobot badan sebagai ulangan. Perlakuan terdiri dari T0: rumput lapang (kontrol negatif), T1: rumput + konsentrat dengan rasio 40:60 (kontrol positif), T2: ransum komplit mengandung15% kulit polong kedelai, T3: ransum komplit mengandung 30% kulit polong kedelai. Penelitian menggunakan 12 ekor sapi potong Madura, umur berkisar 1.5-2 tahun dengan bobot badan awal berkisar 177.25 ± 16.61 Kg dan dipelihara di kandang individu selama 88 hari. Penelitian bertempat di laboratorium lapang Fakultas Peternakan IPB, laboratorium penelitian antar universitas IPB dan Balai Penelitian Ternak Ciawi. Peubah yang diamati terdiri dari konsumsi dan kecernaan BK dan nutrien, populasi bakteri dan protozoa rumen, konsentrasi NH3 dan VFA, retensi nitrogen, dan performa ternak

(konsumsi ransum, pertambahan bobot hidup, dan efisiensi ransum). Data penelitian dianalisis dengan ANOVA dan diuji lanjut dengan metode Duncan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ransum komplit kulit polong kedelai sampai taraf 30% meningkatkan kecernaan nutrien dibandingkan dengan pemberian ransum rumput lapang (P<0.05) dan tidak berbeda nyata dengan pemberian ransum rumput+konsentrat, namun demikian kecernaan nutrien paling tinggi terlihat pada ransum komplit kulit polong kedelai 15%. Hal ini menunjukkan bahwa ransum kulit polong kedelai sampai taraf 30% memiliki palatabilitas dan kualitas ransum yang baik.

Perlakuan ransum komplit kulit polong kedelai sampai taraf 30% meningkatkan (P<0.05) produksi butirat sama seperti perlakuan ransum rumput+konsentrat dibandingkan ransum rumput lapang, namun demikian tidak mempengaruhi konsentrasi NH3, konsentrasi VFA total, dan populasi bakteri total

dan protozoa total. Hal ini menunjukkan bahwa ransum komplit kulit polong kedelai sampai taraf 30% tidak mengganggu proses fermentasi nutrien ransum.

Hasil retensi nitrogen menunjukkan bahwa perlakuan ransum komplit kulit polong kedelai 15% paling tinggi meningkatkan (P<0.05) retensi nitrogen. Retensi nitrogen pada perlakuan ransum komplit kulit polong kedelai 30% tidak berbeda nyata dengan perlakuan ransum rumput lapang maupun rumput+konsentrat. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian kulit polong kedelai sampai 30% menurunkan retensi N, tapi tidak mengganggu kecernaan nutrien oleh mikroba.

(5)

pemberian ransum rumput+konsentrat, selain itu nilai efisiensi ransumnya lebih rendah (P<0.05) dibandingkan dengan ransum rumput lapang dan sebanding dengan perlakuan ransum rumput+konsentrat. Hasil performa yang lebih tinggi dan efisiensi ransum yang lebih rendah menandakan bahwa ransum komplit kulit polong kedelai sampai taraf 30% memiliki kualitas dan efisiensi yang lebih baik dibandingkan rumput lapang.

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian ransum komplit mengandung kulit polong kedelai sampai taraf 30% meningkatkan nilai kecernaan nutrien dan retensi nitrogen. Peningkatan konsentrasi butirat pada perlakuan ransum komplit kulit polong kedelai sampai taraf 30%, tidak mengganggu populasi total bakteri dan protozoa. PBHH juga menunjukkan peningkatan dengan efisiensi ransum yang rendah pada pemberian ransum komplit kulit polong kedelai sampai taraf 30% dibandingkan ransum rumput lapang.

(6)

SUMMARY

ARIEF SAEPUDIN. Nutrient Digestibility, Rumen Fermentation Characteristic, Nitrogen Retention, and Performanceof Beef Cattle Fed with Ration Containing Soybean Pod. Supervised by SRI SUHARTI and LILIS KHOTIJAH.

Soybean pod are potential as feed sources for beef cattle. It contains 5.5% crude protein, 35.4% crude fiber, 51.4% acid detergent fiber, and 12.9% lignin. The purpose of this study was to analyze the optimal use level of soybean pod in complete ration and to measure its effect on nutrient digestibility, rumen fermentation characteristics, nitrogen retention, and performance of beef cattle. The study used randomized block design with four treatments and three body weight groups as replication. The treatments were T0: native grass ration (negative control), T1: grass+concentrate with ratio 40:60 (positive control), T2: complete ration with 15% soybean pod, T3: complete ration with 30% soybean pod. The study used 12 heads cattle Madura, the age range was 1.5-2 years with initial body weight range was 177.25 ± 16.61 Kg and kept in the individual cage for 88 days. Data were analyzed by ANOVA and Tested further by Duncan method. The study was conducted at field laboratory of Animal Husbandry Faculty, laboratory of research university IPB, and Livestock Research Center Ciawi. Parameter observed were dry matter and nutrients intake and digestibility, rumen bacteria and protozoa population, NH3 and VFA concentration, nitrogen

retention, and performance of livestock (feed intake, body weight gain and feed efficiency). The data were analyzed by ANNOVA and tested further by Duncan method.

The results showed that the use soybean pod up to 30% in complete ration increased (P<0.05) nutrient digestibility compared to native grass ration and did not different with the grass+concentrate ration. It indicates that the complete ration with soybean pod up to 30% had better palatability and quality compared to native grass ration.

The treatment with soybean pod up to 30% in complete rations was increased (P<0.05) butyrate production as same as the treatment of grass+concentrate ration compared to native grass ration, however it did not affect on NH3 concentration, total VFA concentration, and the population of total

bacteria and protozoa. It showed that the complete ration with soybean pod up to 30% was not interfere on fermentation process of feed nutrients by microbes in the rumen.

The result of nitrogen retention showed that soybean pod 15% in complete ration gave the highest increasing (P<0.05) on nitrogen retention. Nitrogen retention of soybean pod 30% in ration did not different with native grass ration and grass+concentrate ration. This result showed that the used of soybean pod in higher level was affect on decreased value of level nitrogen, but did not affect on nutrient degradation by microbes.

(7)

and similar with the grass+concentrate ration. Higher performance and lower feed conversion on soybean pod up to 30% in complete ration indicated that it had better quality and efficiency compared to native grass ration and similar with the grass+concentrate ration.

In conclution, soybean pod could be used up to 30% in complete ration and did not affect on the balance of microbes in rumen, in addition it could increase on digestibility nutrient and nitrogen retention. The improvement of butirat concentration in complete ration soybean pod up to 30% did not interfere on population bacteri and protozoa total, and also ADG could be increased and able to obtain good ration efficiency compared to native grass ration.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

KECERNAAN NUTRIEN, KARAKTERISTIK FERMENTASI

RUMEN, RETENSI NITROGEN, DAN PERFORMA

SAPI POTONG YANG DIBERI RANSUM

MENGANDUNG KULIT POLONG

KEDELAI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)
(12)

Judul Tesis : Kecernaan Nutrien, Karakteristik Fermentasi Rumen, Retensi Nitrogen, dan Performa Sapi Potong yang Diberi Ransum Mengandung Kulit Polong Kedelai

Nama : Arief Saepudin NIM : D251140111

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Sri Suharti, SPt MSi Ketua

Dr Ir Lilis Khotijah, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

Prof Dr Ir Yuli Retnani, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(13)
(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga proposal karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juli 2015 ini berhubungan dengan potensi pemanfaatan kulit polong kedelai sebagai sumber pakan alternatif untuk sapi potong dengan judul Kecernaan Nutrien, Karakteristik Fermentasi Rumen, Retensi Nitrogen, dan Performa Sapi Potong yang Diberi Ransum Mengandung Kulit Polong Kedelai.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr Sri Suharti SPt MS dan Dr Ir Lilis Khotijah MS selaku pembimbing dan telah banyak memberi saran. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr Ir Idat Galih Permana MagrSc yang telah menguji dan memberikan masukan untuk perbaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Prof Dr Ir Yuli Retnani Msc selaku panitia sidang. Terimakasih juga kepada Samsu Alam RAB selaku rekan penelitian yang telah bekerja sama dengan baik sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. Terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, dan teman-teman atas segala doa dan kasih sayangnya.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada institusi kerjasama luar negeri (KLN) Indonesia-Australia selaku pemberi dana penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Laboratorium Lapang Ruminansia Besar Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan IPB, yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian ini. Terimakasih juga kepada Laboratorium Mikrobiologi Fisiologi dan Biokimia Nutrisi Fakultas Peternakan IPB, Laboratorium Penelitian Antar Universitas (PAU) IPB, dan Laboratorium Balai Penelitian Ternak Ciawi yang telah bekerjasama dalam pengujian sampel penelitian ini.

Sebagian hasil penelitian ini telah dipublikasikan pada jurnal ilmiah Buletin Makanan Ternak dengan judul Konsumsi dan Kecernaan Nutrien pada Sapi Potong yang Diberi Ransum mengandung Kulit Polong Kedelai Volume 102 No 1 Halaman 1-8 Tahun 2016. Semoga tesis ini bermanfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Oktober 2016

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR LAMPIRAN xv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

2 MATERI DAN METODE 2

Waktu dan Lokasi Penelitian 2

Bahan 3

Alat 5

Prosedur Penelitian 5

Rancangan Percobaan dan Analisis Data 10

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 10

Hasil Analisis Proksimat Ransum 10

Konsumsi BK dan Nutrien 11

Total Bakteri dan Protozoa 13

Kecernaan BK dan Nutrien 14

Karakteristik Fermentasi Rumen 15

Rentensi Nitrogen (N) 17

Performa 18

4 SIMPULAN DAN SARAN 19

Simpulan 19

Saran 19

5 DAFTAR PUSTAKA 20

6 LAMPIRAN 23

(16)

DAFTAR TABEL

1 Komposisi nutrien dan fraksi serat kulit polong kedelai dalam 100%

bahan kering (BK) 3

2 Komposisi nutrien rumput lapang dan ampas tahu dalam 100% BK 4 3 Formulasi ransum penelitian dalam 100% bahan kering 4

4 Metode pemberian ransum penelitian. 5

5 Komposisi Media M8 (Rumen-Fluid Glukosa Cellobiosa Agar

(RGCA) Modification) 9

6 Komposisi nutrien ransum penelitian dari hasil analisis proksimat

dalam 100% BK 10

11 Rataan retensi nitrogen sapi potong madura pada berbagai perlakuan 17 12 Rataan pertambahan bobot hidup harian dan efisiensi ransum

(performa) pada berbagai perlakuan selama 88 hari 18

DAFTAR LAMPIRAN

(17)

20 Analisis ragam populasi bakteri total pada berbagai perlakuan ransum 27 21 Analisis ragam populasi protozoa total pada berbagai perlakuan

ransum 28

22 Analisis ragam konsentrasi NH3 pada berbagai perlakuan ransum 28

23 Analisis ragam konsentrasi VFA total pada berbagai perlakuan ransum 28 24 Analisis ragam konsentrasi asetat pada berbagai perlakuan ransum 29 25 Analisis ragam konsentrasi propionat pada berbagai perlakuan ransum 29 26 Analisis ragam konsentrasi butirat pada berbagai perlakuan ransum 29 27 Uji lanjut duncan konsentrasi butirat pada berbagai perlakuan ransum 29 28 Analisis ragam proporsi asetat:butirat pada berbagai perlakuan ransum 30 29 Analisis ragam konsumsi N pada berbagai perlakuan ransum 30 30 Uji lanjut duncan konsumsi N pada berbagai perlakuan ransum 30 31 Analisis ragam N feses pada berbagai perlakuan ransum 30 32 Analisis ragam kecernaan N pada berbagai perlakuan ransum 31 33 Uji lanjut duncan kecernaan N pada berbagai perlakuan ransum 31 34 Analisis ragam N urin pada berbagai perlakuan ransum 31 35 Uji lanjut duncan N urin pada berbagai perlakuan ransum 31 36 Analisis ragam retensi N pada berbagai perlakuan ransum 32 37 Uji lanjut duncan retensi N pada berbagai perlakuan ransum 32 38 Analisis ragam % retensi N dari kecernan N pada berbagai perlakuan

ransum 32

39 Uji lanjut duncan % retensi N dari kecernaan N pada berbagai

perlakuan ransum 32

40 Analisis ragam % retensi N dari konsumsi N pada berbagai perlakuan

ransum 33

41 Uji lanjut dunca %^retensi N dari konsumsi N pada berbagai

perlakuan ransum 33

(18)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Permasalahan sapi potong di Indonesia masih terkendala oleh kuantitas dan produktivitasnya yang masih rendah. Luthan (2009) menyatakan angka kelahiran baru mencapai 21% (potensi 30%) dari populasi, jarak beranak cukup panjang sekitar 18-21 bulan (potensi 15 bulan), berat karkas sapi lokal yang hanya 156 kg ekor-1 (sapi potong hasil IB dan sapi impor sebesar 221 kg ekor-1). Faktor utama penyebab rendahnya produktivitas ternak sapi potong adalah kuantitas dan kualitas pakan yang masih tergolong rendah. Secara umum, peternakan sapi potong di Indonesia didominasi oleh peternakan skala kecil. Hijauan seperti rumput dan legum merupakan sumber utama pakan ternak sapi potong sebagai ternak ruminansia untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya, namun demikian kecukupan hijauan tidak dapat tersedia sepanjang tahun dikarenakan produksinya rendah pada saat musim kemarau.

Hasil ikutan (by-product) pertanian dapat digunakan sebagai sumber pakan alternatif untuk ternak ruminansia. Arifin et al. (2009) menyatakan hasil ikutan pertanian di Indonesia dapat mencukupi untuk pakan ternak ruminansia sebanyak 14.750.777 ST. Pemanfaatan hasil ikutan pertanian sangat potensial dikarenakan ketersediaannya sepanjang tahun dan tidak bersaing dengan penyediaan untuk pakan ternak lain maupun penggunaan untuk konsumsi manusia. Salah satunya dengan memanfaatkan hasil ikutan pertanian kedelai, yaitu kulit polong kedelai.

Luas lahan kedelai di Indonesia pada tahun 2014 adalah 615 ribu hektar, di pulau jawa 379 ribu hektar, dan di luar pulau jawa 236 ribu hektar. Produksi kedelai tahun 2014 sebanyak 953.96 ribu ton, meningkat sebanyak 173.96 ribu ton dibandingkan tahun 2013 (BPS 2014). Kulit polong kedelai sendiri merupakan bagian dari jerami kedelai setelah dipisahkan dari bijinya. Syamsu et al. (2006) melaporkan bahwa produksi jerami kedelai sebesar 2.79 ton BK hektar-1 setiap panen. Potensi kulit polong kedelai dapat dihitung dengan kapasitas daya dukung dari produksi jerami kedelai. Umur panen kedelai berkisar 75-100 hari. Satu satuan (1 ST) ternak ruminansia rata-rata membutuhkan bahan kering sebesar 6.25 kg hari-1 (NRC 1984). Penggemukan sapi potong rata-rata 90 hari, sehingga potensi daya dukung kulit polong kedelai sebesar 4.96 ST ha-1 panen-1.

Pemanfaatan kulit polong kedelai sebagai sumber pakan untuk sapi potong masih kurang, sehingga hal ini dapat menambah informasi penggunaan kulit polong kedelai untuk pakan ternak sapi potong. Lebih lanjut, hal ini dapat menjadi potensi integrasi antara peternakan sapi dengan pertanian kedelai untuk menghasilkan produksi ternak yang efisien, yaitu memanfaatkan hasil ikutan untuk menghasilkan pakan yang berkualitas dan menghasilkan produtivitas ternak yang tinggi. Kenedy et al. (2012) melaporkan bahwa penggunaan 15% bungkil kedelai dalam ransum domba dikombinasikan dengan tongkol jagung meningkatkan keuntungan rata-rata harian domba.

(19)

2

52%, dan lignin 17.5%. Lebih lanjut pemberian jerami kedelai pada domba menghasilkan nilai kecernaan sebesar 47%. Rendahnya nilai kecernaan terutama disebabkan oleh adanya kandungan lignin. Lignin merupakan faktor utama yang membatasi nilai kecernaan (Jancik et al. 2010), oleh karena itu pemberian kulit polong kedelai harus dicampurkan dengan bahan pakan lain yang lebih terfermentasi atau tercerna, yaitu dengan ransum komplit (Laconi dan Jayanegara 2015).

Ransum komplit merupakan campuran dari beberapa bahan pakan yang cukup mengandung nutrien untuk ternak dalam tingkat fisiologis tertentu yang dibentuk dan diberikan sebagai satu-satunya pakan yang mampu memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi (Hartadi et al. 2005). Lee et al. (2010) melaporkan bahwa ransum komplit memiliki konsumsi dan kecernaan nutrien yang lebih tinggi dibandingkan pemberian konsentrat+jerami padi+timothy hay. Tingginya nilai kecernaan pakan dengan kualitas nutrien yang baik akan menghasilkan performa seperti pertambahan bobot badan yang tinggi. Simanihuruk et al. (2006) melaporkan bahwa tingginya pertambahan bobot badan ditunjukkan oleh jumlah, konsumsi, fermentasi, metabolism, retensi nutrien dan kuliatas pakan yang tinggi.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis level pemberian optimal kulit polongkedelai dalam ransum dan mengukur kecernaan nutrien, karakteristik fermentasi rumen, retensi nitrogen, dan performa ternak sapi potong.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dapat menambah penggunaan hasil ikutan kedelai sebagai bahan pakan ternak sapi potong dalam meningkatkan performa yang baik dan dapat digunakan sebagai pendekatan integrasi antara sapi potong dan pertanian kedelai untuk meningkatkan penggunaan lahan dan efisiensi dalam memproduksi bahan pakan, sekaligus dapat diadaptasikan ke peternak sapi potong untuk membantu peternak skala kecil dalam menyediakan bahan pakan lokal dengan kualitas baik dan berkelanjutan.

2

MATERI DAN METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

(20)

3

Mikrobiologi, Fisiologi, dan Biokimia Nutrisi, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, dan Laboratorium Balai Penelitian Ternak (BALITNAK) Ciawi, Bogor.

Bahan

Ransum Penelitian

Bahan ransum utama adalah kulit polong kedelai (Gambar 1) yang didapat dari Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Penggunaan kulit polong kedelai sebesar 15% dan 30% BK dalam ransum. Komposisi nutrien dan fraksi serat kulit polong kedelai dapat dilihat pada Tabel 1.

Gambar 1. Kulit polong kedelai

Tabel 1. Komposisi nutrien dan fraksi serat kulit polong kedelai dalam 100% bahan kering (BK)

Nutrien (%)

Bahan kering¹ 93.7

Abu¹ 5.1

Lemak kasar¹ 2.5

Protein kasar¹ 5.5

Serat kasar¹ 35.4

Bahan ekstrat tanpa nitrogen¹ 51.5

Hemiselulosa² 19.4

Selulosa² 38.5

Lignin² 12.9

Keterangan: 1=hasil analisa proksimat PAU IPB; 2=hasil analisa van soest BALITNAK Ciawi Tahun 2015.

(21)

4

70%. Ransum penelitian dibagi ke dalam 4 perlakuan. Formulasi ransum penelitian disajikan pada Tabel 3.

Tabel 2. Komposisi nutrien rumput lapang dan ampas tahu dalam 100% BK

Nutrien (%) Bahan pakan

Bahan ekstrat tanpa nitrogen 54.1 45.2

Keterangan : 1=hasil analisa proksimat PAU IPB.

Tabel 3. Formulasi ransum penelitian dalam 100% bahan kering Bahan ransum

Keterangan: T0: rumput lapang (kontrol negatif), T1: rumput + konsentrat dengan rasio 40:60 (kontrol positif), T2: ransum komplit 15% kulit polong kedelai, T3: ransum komplit 30% kulit polong kedelai.

Ternak Penelitian

(22)

5

Alat

Alat yang digunakan pada penelitian antara lain kandang individu, timbangan digital pakan (ketelitian dua desimal) kapasitas 50 kg, timbangan digital bobot badan (ketelitian dua desimal) kapasitas 500 kg, mesin chopper kapasitas 500 kg, alat pengambilan cairan rumen (stomach tube), dan alat penampung feses dan urin.

Prosedur Penelitian

Persiapan Ransum dan Ternak

Rumput lapang yang diperoleh dicacah menggunakan mesin chopper dengan ukuran cacahan 5-10 cm dan dikumpulkan sesuai kebutuhan rumput setiap hari. Pengambilan ampas tahu untuk disimpan dikandang dilakukan setiap 2 hari sekali. Pencampuran bahan penguat lainnya yang terdapat pada ransum T1, T2, dan T3 dilakukan setiap seminggu sekali. Campuran bahan penguat dimasukkan ke dalam karung dan diletakkan pada palet. Sapi potong ditempatkan pada kandang individu dan diberi label pada setiap kandang. Sebelum masuk masa pemeliharaan sapi diberikan obat cacing, antibiotik amoxicilin, dan vitamin b-kompleks untuk menjaga kondisi kesehatan ternak.

Pemeliharaan

Pemeliharaan terdiri atas masa adaptasi selama 14 hari dan masa penggemukan selama 74 hari. Total masa pemeliharaan adalah 88 hari. Masa adaptasi bertujuan untuk menghilangkan pengaruh ransum sebelumnya dan membiasakan perlakuan ransum penelitian, selain itu mengamati jumlah konsumsi bahan kering sapi potong. Ransum diberikan secara ad-libitum selama masa adaptasi. Pada masa penggemukan, pemberian ransum pakan sebanyak 3,5 % dari bobot badan. Jumlah ransum yang diberikan, sesuai dengan evaluasi konsumsi BK ransum sapi potong pada masa adaptasi. Pemberian ransum harian dilakukan sebanyak 6 kali, yaitu pukul 06.00-08.00, pukul 09.00-12.00, pukul 13.00-15.00, pukul 16.00-18.00, pukul 19.00-22.00, dan pukul 22.00-05.00. Pemberian ransum sebanyak 6 kali setiap hari bertujuan agar ransum yang dituangkan dalam tempat pakan tidak terbuang akibat kebiasaan makan sapi yang memilih-milih pakan. Metode pemberian ransum harian disajikan pada Tabel 4.

(23)

6

Setiap pemberian ransum dilakukan, terlebih dahulu dilakukan penimbangan sisa pakan sebelumnya. Hal ini bertujuan agar pakan yang diberikan tidak tercampur dengan sisa pakan sebelumnya. Air minum diberikan secara ad-libitum (selalu tersedia). Penimbangan sapi dilakukan setiap sebulan sekali.

Pengambilan Cairan Rumen

Pengambilan cairan rumen dilaksanakan pada hari pertama dalam 10 hari terakhir masa pemeliharaan. Setelah sapi mengkonsumsi ransum selama 4 jam, dilakukan pengambilan cairan rumen. Pengambilan cairan rumen dilakukan dengan menggunakan seperangkat alat stomach tube. Rangkaian alat stomach tube terdiri dari bandul penyaring, selang 3/4 inch, selang 1/4 inch, tabung enlemeyer kecil, tabung enlemeyer besar, dan mesin vakum. Dalam proses pengambilan cairan rumen, Selang dimasukan ke dalam rumen melalui mulut.. Pompa vakum dinyalakan pada saat bandul penyaring berada dalam rumen. Cairan rumen akan mengalir dan tertampung pada tabung enlemeyer kecil. Cairan rumen yang ditampung disesuaikan dengan kebutuhan sampel VFA, bakteri, NH3,

dan protozoa.

Preparasi Sampel VFA (volatile fatty acid), Bakteri, NH3 (ammonia), dan Protozoa

Proses pengambilan sampel VFA dan NH3 dilakukan dengan menggunakan

pipet kaca. Tabung kecil dan botol film digunakan sebagai alat untuk menampung sampel VFA dan NH3. Cairan rumen yang ditampung untuk sampel VFA

sebanyak 1 ml, sedangkan untuk sampel NH3 sesuai volume botol film. Cairan

rumen tersebut disimpan dalam freezer.

Pengambilan sampel bakteri dan protozoa dilakukan dengan menggunakan spuit. Bahan yang digunakan untuk media tumbuh sampel bakteri adalah media putih+gliserol, sedangkan media pewarna untuk sampel protozoa adalah TBFS (Tripan Blue Formalin Salin). Tabung reaksi digunakan untuk menampung sampel bakteri dan botol film untuk menampung protozoa. Media putih+gliserol dimasukkan ke tabung reaksi dan TBFS dimasukkan ke dalam botol film. Jumlah Cairan rumen yang ditampung untuk sampel bakteri dan protozoa masing-masing adalah 0.5 ml dan 1 ml. sampel tersebut kemudian disimpan di dalam freezer. Koleksi Feses dan Urin

Koleksi feses dilakukan selama 7 hari pada masa akhir pemeliharaan. Feses yang dihasilkan oleh sapi tersebut, ditampung sebelum jatuh ke lantai dan ditimbang setiap hari. Sampel diambil sebanyak 10% dari total feses yang dihasilkan setiap hari dan dikeringkan di bawah sinar matahari. Sampel kering matahari dimasukkan ke dalam oven 60ºC selama 2 hari. Sampel kering oven dikompositkan selama 7 hari dan diambil sebanyak 10% untuk digiling. Sampel yang telah digiling, dibawa ke laboratorium untuk dilakukan analisis proksimat.

Koleksi urin dilakukan selama 7 hari bersamaan dengan koleksi feses. Alat yang digunakan untuk menampung urine adalah apron, selang dan jirigen. Apron disambungkan dengan jerigen menggunakan selang dan dipasangkan ke tubuh sapi penelitian. Sebelum dilakukan penampungan urin, 5 ml H2SO4 20%

(24)

7

dikompositkan selama 7 hari. Sampel komposit tersebut dibawa ke laboratorium untuk dilakukan analisis nitrogen dengan metode Kjeldahl (AOAC 2005).

Peubah yang Diukur

Konsumsi Bahan Kering (BK)

Konsumsi bahan kering/nutrien diukur dari bahan kering/nutrien pakan yang diberikan dikurangi dengan bahan kering/nutrien sisa pakan yang dikonsumsi. Perhitungan konsumsi BK/nutrien disajikan di bawah ini:

Konsumsi BK/Nutrien (Kg) = BK/nutrien pakan yang diberikan – BK/nutrien sisa pakan BK/nutrien pakan yang diberikan

Kecernaan Bahan Kering (BK)

Kecernaan BK/nutrien dihitung dari selisih antara konsumsi BK/nutrien dengan BK/nutrien yang dikeluarkan melalui feses dibagi dengan BK/nutrien yang dikonsumsi lalu dikali 100% (Pond et al. 2005). Perhitungan kecernaan BK dan nutrien disajikan di bawah ini:

Kecernaan BK/Nutrien (%) = BK/nutrien pakan yang dikonsumsi – BK/nutrien feses

BK/nutrien pakan yang dikonsumsi x 100%

Retensi Nitrogen

Retensi nitrogen diperoleh dengan menghitung selisih antara konsumsi nitrogen dengan nitrogen yang dikeluarkan melalui feses dan urin (McDonald et al. 2002). Perhitungan retensi nitrogen disajikan di bawah ini:

Retensi Nitrogen (g ekor-1 hari-1) = Konsumsi nitrogen – nitrogen feses – nitrogen urin

Analisis Konsentrasi Ammonia (NH3)

Analisis konsentrasi NH3 dilakukan dengan metode Titrasi asam basa

(General Laboratory Procedure 1966). Cawan Conway disiapkan, kemudian bibir cawan Conway diolesi dengan vaselin. Sampel NH3 disentrifuse dengan kecepatan

12000 rpm. 1 ml supernatan sampel NH3 hasil proses sentrifuse dimasukkan pada

salah satu sisi cawan, kemudian 1 ml Na2CO3 dimasukkan pada sisi yang

berlawanan. Bagian tengah cawan diisi dengan 1 ml asam borat dan ditutup rapat. Sampel NH3 dan Na2CO3 dicampurkan sampai homogen dengan cara

digoyangkan. Sampel yang telah dicampurkan, didiamkan selama 24 jam hingga terdapat perubahan warna dari merah menjadi kebiru-biruan. Sampel yang telah berubah warna dititrasi dengan HCl 0.01 N standar hingga warnanya kembali berubah menjadi kemerahan. Senyawa Na2CO3 berfungsi mengikat senyawa

selain NH3 dan asam borat berindikator berfungsi menangkap senyawa NH3 yang

terlepas. Konsentrasi amonia dapat dihitung dengan rumus :

(25)

8

Keterangan: Va = Volume titran contoh (ml), Vb = Volume titran blanko (ml), Vc = Volume titran sampel (ml), NHCl = Normalitas HCl

Analisis Konsentrasi Volatile Fatty Acid (VFA) Parsial

Analisis VFA parsial dilakukan dengan menggunakan alat gas kromatografi (GC) dengan spesifikasi sebagari berikut: Bruker Scion 436-GC plus SHS-40, Detektor FID, Kolom Be-Wax frame. Parameter running : Suhu colom gradient 70-1500C, suhu injector 2500C, suhu detektor 2700C. Fase gerak : N2 25 ml/menit, H2 40 ml/menit, O2 300 ml/menit.

0.003 gram asam sulfo 5 salisilat dihidrat ditambahkan dengan sampel cairan rumen dalam tabung eppendorf. Hal ini bertujuan untuk mengendapkan zat pengganggu diantaranya proein dan karbohidrat. Sampel disentrifuse selama 10 menit dengan kecepatan 12000 rpm pada suhu 7°C. Sampel yang telah di sentrifuse, diinjeksikan ke dalam gas kromatografi (GC) sebanyak 1 µl. Sistem pemisahan gas berdasarkan pemisahan sifat partisi dan absorbsi zat terhadap dua fase diam (kolom) dan fase bergerak (gas). Adanya perbedaan partisi atau absorbsi pada kedua fase tersebut memunculkan puncak pada layar monitor. VFA sampel diukur dengan membaca kromatogram standar acuan VFA yang konsentrasinya telah ditetapkan. Konsentrasi VFA parsial dapat dihitung dengan cara:

Konsentrasi VFA (mM) = (Area VFA contoh x Kandungan VFA standar x 1000) (Area VFA standar x BM)

Keterangan : BM = Berat Molekul VFA parsial Perhitungan Populasi Bakteri Total

Perhitungan jumlah populasi bakteri dilakukan menurut teori Theodorou & Brooks (1990). Media bakteri dan media pengencer yang digunakan masing-masing adalah media agar buatan M8 (Tabel 3) dan media pengencer berdasarkan Ogimoto & Imei (1981). 0.5 ml sampel cairan rumen dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 4.5 ml larutan pengencer. Pengenceran dilakukan sebanyak 10 kali. Cairan rumen pada pengenceran ke 6 sampai 10 diambil sebanyak 0.5 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri yang berisi media M8, kemudian diputar membentuk angka delapan yang bertujuan agar sampel tercampur merata. Sampel diinkubasi selama 48 jam dengan suhu 37-400C. penghitungan jumlah total bakteri pada sampel dilakukan setelah proses inkubasi selesai. Perhitungan jumlah bakteri dilakukan dengan cara sebagai berikut :

Populasi Bakteri Total = n x 10n x 2 Keterangan :

n = Jumlah koloni

(26)

9

Tabel 5. Komposisi Media M8 (Rumen-Fluid Glukosa Cellobiosa Agar (RGCA) Modification) (Ogimoto dan Imai 1981)

Perhitungan populasi protozoa dilakukan dengan teknik pewarnaan dengan menggunakan cairan TBFS (Trypan Blue Formalin Saline) (Ogimoto & Imai 1981). Larutan TBFS terdiri atas 100 ml formaldehid 35%, 0.6 g trypan blue, 8 g NaCl, dan 900 ml air steril. Sampel cairan rumen+TBFS diencerkan sebanyak 5 kali dengan aquades pada perbandingan 1:1. Campuran tersebut diteteskan sebanyak 1-2 tetes pada counting chamber dan ditutup dengan cover glass. Counting chamber yang digunakan mempunyai ketebalan 0,1 mm, dengan luas kotak 1 mm2. Populasi protozoa diamati dengan mikroskop lensa obyektif pada pembesaran 40-100 kali. Pengamatan dilakukan pada lima buah kotak yang masing-masing bervolume 0.1 mm3. Perhitungan populasi protozoa menggunakan rumus sebagai berikut:

Populasi Protozoa Total = n 5 x 10

4

x FP

Keterangan : n = Jumlah protozoa terhitung dalam 5 kotak counting chamber 5 = Jumlah kotak yang terhitung dalam counting chamber

FP = Faktor pengenceran

Pertambahan Bobot Hidup Harian (PBHH) dan Efisiensi Ransum

Pengukuran pertambahan bobot hidup dan efisiensi ransum bertujuan untuk mengevaluasi kesesuaian nilai PBH dan efisiensi ransum yang diperoleh dengan mengacu nilai berdasarkan Adiwinarti et al. (2011) dan Neto (2012). Perhitungan PBH dan efisiensi ransum disajikan di bawah ini:

(27)

10

Efisiensi Ransum = (Jumlah pakan dikonsumsi ) PBH

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan 3 kelompok bobot badan sebagai ulangan. Model matematika yang digunakan disajikan di bawah ini:

Yij = µ + αi +βj + εij

Keterangan :

Yij = Respon percobaan dari perlakuan ke i dan kelompok ke j µ = Nilai rataan umum hasil pengamatan

αi = Pengaruh perlakuan ke-i βj = Pengaruh kelompok ke-j

εij = Pengaruh galat perlakuan ke-i dan kelompok ke-j

Analisis pengaruh pemberian ransum perlakuan terhadap peubah yang diukur dilakukan dengan menggunakan analisis ragam Anova (analisis of variance) dan jika terdapat perbedaan yang nyata diuji lanjut dengan menggunakan uji lanjut Duncan’s Multiple Range Test (DMRT).

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Analisis Proksimat Ransum

Hasil menunjukkan bahwa adanya selisih antara nilai komposisi nutrien ransum perlakuan T1, T2, dan T3 dari hasil formulasi (Tabel 3) dengan hasil analisis proksimat. Nilai komposisi nutrien formula ransum dari hasil analisis proksimat disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Komposisi nutrien ransum penelitian dari hasil analisis proksimat dalam 100% BK

Nutrien (%) Perlakuan

T0 T1 T2 T3

Bahan kering 17.6 56.6 66.95 63.8

Abu 12.0 10.0 7.61 8.3

Protein kasar 9.8 13.2 16.31 11.9

Lemak kasar 1.1 1.6 1.33 1.7

Serat kasar 31.9 18.8 15.11 18.7

(28)

11

Selisih kandungan nutrien ransum penelitian antara hasil formulasi dengan hasil proksimat disebabkan oleh perbedaan kualitas dari bahan ransum yang digunakan. Kualitas bahan ransum dari hasil formulasi diperoleh dari informasi berbagai sumber literatur, sehingga kualitas nutrien ransum terdapat deviasi jika dibandingkan dengan hasil analisis proksimat. Terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perbedaan kualitas dari bahan ransum. Menurut Sinurat (1999) menyatakan bahwa perbedaan kandungan nutrien bisa terjadi karena perbedaan wilayah produksi, ada tidaknya pemalsuan, lama dan kondisi penyimpanan serta proses untuk menghasilkan bahan tersebut.

Konsumsi BK dan Nutrien

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian ransum komplit yang mengandung kulit polong kedelai sampai taraf 30% meningkatkan (P<0.05) konsumsi BK dan nutrien dibandingkan pemberian ransum rumput lapang maupun rumput+konsentrat. Rataan konsumsi BK dan nutrien disajikan pada Tabel 7. Keterangan: T0: rumput lapang (kontrol negatif), T1: rumput + konsentrat dengan rasio

40:60 (kontrol positif), T2: ransum komplit 15% kulit polong kedelai, T3: ransum komplit 30% kulit polong kedelai; Angka-angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan (P<0.05).

Ransum rumput lapang mengandung BK dan PK yang rendah serta SK yang tinggi (Tabel 6). Rendahnya kualitas nutrien yang dikandung rumput lapang mengakibatkan konsumsi bahan kering dan nutrien menjadi rendah. Blaxter (1969) menyatakan bahwa konsumsi bahan kering dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti palatabilitas, jumlah pakan yang tersedia, kualitas atau komposisi kimia pakan. Lebih lanjut Sutardi (1980) menyatakan bahwa jumlah konsumsi bahan kering dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama kualitas atau komposisi bahan penyusun ransum. Pernyataan yang sama juga dinyatakan oleh (Laconi & Jayanegara 2015).

(29)

12

dibandingkan ransum yang mengandung 40% rumput lapang+60% konsentrat (Tabel 7). Kulit polong kedelai (Tabel 1) mengandung kadar bahan kering yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan rumput lapang, sehingga penggunaan kulit polong kedelai dalam ransum akan meningkatkan jumlah kadar bahan kering ransum dibandingkan rumput lapang pada penelitian ini (Tabel 6). Kandungan serat kasar yang tinggi (Tabel 1) pada kulit polong kedelai tidak mengganggu konsumsi BK ransum. Hal ini menunjukkan bahwa kulit polong kedelai memiliki palatabilitas yang baik. Hasil ini sejalan dengan Lee et al. (2010) bahwa ransum komplit atau Total Mix Ration (TMR) memiliki konsumsi bahan kering lebih tinggi dibandingkan ransum kontrol (konsentrat+jerami padi+timothy hay).

Faktor lain yang mempengaruhi perbedaan konsumsi BK adalah ukuran partikel pakan. Ukuran partikel antara kulit polong kedelai dan rumput lapang yang digunakan pada penelitian ini memiliki ukuran yang tidak sama. Kulit polong kedelai terlihat memiliki ukuran partikel yang lebih pendek dan sama, meskipun tidak dilakukan proses pencacahan. Rumput lapang sendiri meskipun dilakukan pencacahan terlihat lebih panjang dan ukurannya tidak sama antar setiap cacahan rumput, sehingga ransum komplit yang mengandung kulit polong kedelai menunjukkan konsumsi BK yang lebih tinggi dibandingkan ransum rumput+konsentrat . Menurut Orskov (2001) menyatakan bahwa ukuran partikel pakan yang lebih panjang akan mengakibatkan waktu retensi dalam rumen sehingga dapat menurunkan konsumsi bahan kering. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Van Soest (1982) bahwa kandungan nutrien, ukuran partikel, dan jumlah kalori dalam pakan dapat mempengaruhi konsumsi pakan. Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian Lee et al. (2010).

Konsumsi PK, LK, dan BETN pada perlakuan ransum komplit kulit polong kedelai sampai taraf 30% lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan ransum rumput lapang maupun ransum rumput+konsentrat (Tabel 7). Konsumsi PK, LK, dan BETN yang tinggi disebabkan oleh konsumsi BKnya yang lebih tinggi. Sejalan dengan Endrawati et al. (2010) yang melaporkan bahwa konsumsi BO, PK, dan TDN sejalan dengan konsumsi BK dan kandungan nutrien pakan, akan tetapi terjadi penurunan konsumsi PK pada perlakuan ransum komplit kulit polong kedelai taraf 30% dibandingkan ransum komplit kulit polong kedelai taraf 15% (Tabel 7).

(30)

13

Rataan konsumsi BK sapi potong pada penelitian ini yang diberi ransum komplit kulit polong kedelai taraf 15% dan 30% serta ransum rumput lapang berturut-turut sebesar 7.9 ± 0.79, 6.6 ± 0.58, dan 5.6 ± 0.44 g ekor-1 hari-1. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan sapi berdasarkan Kearl (1982) dimana sapi dengan bobot badan 175 kg dengan pertambahan bobot badan harian 0.5 kg memerlukan konsumsi bahan kering sebesar 4.9 kg ekor-1 hari-1. Konsumsi BK sapi potong pada Kearl (1982) sebanding dengan konsumsi BK sapi potong yang diberi ransum rumput+konsentrat pada penelitian ini yaitu sebesar 4.9 ± 0.02 kg ekor-1 hari-1. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi BK dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya tingkat palatabilitas ternak, jenis bahan yang menyusun ransum, Musrifah et al.(2011) menyatakan bahwa palatabilitas ternak dipengaruhi oleh perbedaan jenis pakan yang menyusun ransum dan kandungan nutrisi yang pada akhirnya menyebabkan perbedaan junlah pakan yang dikonsumsi oleh ternak.

Total Bakteri dan Protozoa

Hasil analisa statistik pada total bakteri dan total protozoa menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara perlakuan (P>0.05). Rataan total bakteri dan protozoa disajikan pada Tabel 8. Hasil konsumsi BK dan nutrien yang berbeda (Tabel 7) tidak merubah jumlah total bakteri dan protozoa. Hasil ini berlawanan dengan pernyataan Suyitman et al. (2015) bahwa rendahnya aktivitas dan jumlah mikroba dalam rumen disebabkan oleh kurangnya ketersediaan nutrien dalam ransum untuk pertumbuhan bakteri. Hal ini dapat menunjukkan bahwa mikroba dalam rumen pada penelitian ini telah beradaptasi terhadap ransum yang diberikan, sehingga tidak menimbulkan perbedaan jumlah total bakteri dan protozoa.

Hasil pada penelitian ini juga sejalan dengan hasil yang ditunjukkan oleh Suharti et al. (2015) yang melaporkan bahwa penambahan ekstrak lerak sampai 200 mg kg-1 dalam ransum komplit tidak signifikan mempengaruhi populasi mikroba rumen, terutama populasi protozoa. Lebih lanjut Suharti menyatakan bahwa 90 hari perlakuan ransum yang diberikan telah menyebabkan aliran rumen dan adaptasi saponin oleh ekosistem rumen pada ternak, sehingga akan menurunkan aktivitas pencegahan terhadap pertumbuhan protozoa. Hal ini menunjukkan bahwa faktor fisiologis ternak dan lingkungan mempengaruhi total bakteri dan protozoa.

Tabel 8. Rataan total bakteri dan total protozoa sapi potong madura pada berbagai perlakuan

Peubah Rataan total bakteri dan protozoa perlakuan-

T0 T1 T2 T3

Total bakteri (log 10 ml-1) 9.8 ± 0.0 9.8 ± 0.2 9.8 ± 0.1 9.9 ± 0.2 Total potozoa (log 10 ml-1) 6.6 ± 0.8 6.1 ± 0.6 6.2 ± 0.3 6.5 ± 0.4 Keterangan : T0: rumput (kontrol negatif), T1: rumput + konsentrat dengan rasio 40:60

(31)

14

Kecernaan BK dan Nutrien

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0.05) pada kecernaan BK dan nutrien seperti PK, LK, dan BETN. Pemberian ransum komplit kulit polong kedelai sampai taraf 30% meningkatkan (P<0.05) kecernaan BK dan nutrien dibandingkan ransum rumput lapang maupun rumput+konsentrat. Rataan kecernaan BK dan nutrien sapi potong penelitian disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Rataan kecernaan BK dan nutrien sapi potong madura pada berbagai perlakuan

Nutrien Kecernaan BK dan nutrien perlakuan-

T0 T1 T2 T3 Keterangan : T0: rumput (kontrol negatif), T1: rumput + konsentrat dengan rasio 40:60

(kontrol positif), T2: ransum komplit 15% kulit polong kedelai, T3: ransum komplit 30% kulit polong kedelai; Angka-angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan (P<0.05).

Ransum rumput lapang mengandung kadar BK dan nutrien yang paling rendah (Tabel 6) dan akan menimbulkan aktivitas mikroba dalam mencerna BK dan nutrien menjadi rendah meskipun hasil total bakteri dan protozoa tidak berbeda (Tabel 8). Hal ini ditunjukkan oleh nilai kecernaan BK dan nutrien yang paling rendah pada perlakuan ransum rumput lapang (Tabel 9). Bahan yang bertekstur halus mudah dicerna oleh mikroba dalam rumen (Mathius et al. 2002), selain itu kadar BK yang rendah membuat laju alir bahan meninggalkan rumen lebih cepat (Toharmat 2006) sehingga membuat kecernaan komponen bahan oleh mikroba menurun.

Perlakuan ransum rumput+konsentrat menunjukkan peningkatan nilai kecernaan BK dan nutrien (P<0.05) dibandingkan dengan ransum rumput lapang, akan tetapi tidak lebih tinggi (P<0.05) dari ransum komplit kulit polong kedelai sampai taraf 30% (Tabel 8). Nilai kecernaan BK dan nutrien yang meningkat pada ransum rumput+konsentrat dibandingkan ransum rumput lapang dipengaruhi oleh adanya bahan penyusun ransum yang memiliki sumber asam amino rantai cabang yang baik bagi sintesis protein mikroba, seperti onggok, selain itu, pollar, bungkil kedelai, molasses, CaCO3 dan urea (Tabel 3) juga merupakan bahan ransum yang

(32)

15

yang lebih mudah terdegradasi dibandingkan ransum rumput lapang maupun rumput+konsentrat.

Ransum komplit kulit polong kedelai mengandung komposisi bahan seperti ransum rumput+konsentrat, namun tidak menggunakan rumput dan bungkil kelapa, sebagai penambah kekurangannya menambahkan kulit polong kedelai dan ampas tahu (Tabel 3). Ampas tahu pada penelitian ini menunjukkan sumber PK sekaligus sumber SK (Tabel 2) yang sangat mudah terdegradasi oleh mikroba rumen dibandingkan bungkil kelapa. Sejalan dengan Suryahadi (1990) bahwa ampas tahu merupakan sumber protein yang mudah terdegradasi di dalam rumen, sehingga nilai kecernaan ransum komplit kulit polong kedelai lebih tinggi dibandingkan dengan ransum rumput+konsentrat.

Peningkatan kecernaan nutrien seperti PK, LK, SK dan BETN pada penelitian ini sejalan dengan kecernaan BKnya (Tabel 9). Hal ini sesuai dengan Tillman et al. (1998) yang menyatakan bahwa jumlah kecernaan BK akan mempengruhi jumlah kecernaan BOnya, terkecuali kecernaan SK. Kecernaan SK ransum antar perlakuan tidak berbeda nyata. Hal ini dipengaruhi oleh komposisi fraksi serat kasar bahan penyusun ransum dan kondisi fisiologis ternaknya. Pada dasarnya, nilai kecernaan SK dipengaruhi oleh fraksi NDF dan ADF (Laconi & Jayanegara 2015) dan bahan penyusun ransum yang berserat tinggi akan meningkatkan sensasi kenyang karena mengakibatkan regangan saluran pencernaan (Toharmat 2006) sehingga nilai kecernaan menjadi menurun. Ransum rumput lapang pada penelitian ini mengandung serat kasar yang paling tinggi (Tabel 6), akan tetapi menunjukkan kecernaan serat kasar yang tidak berbeda dengan perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi tertentu mkroba rumen akan terbiasa mencerna serat jika pakan yang diberikan mengandung serat tinggi. Penyebab hal ini dapat dikarenakan hasil populasi total bakteri dan protozoa rumen sama dengan perlakuan lainnya (Tabel 8). Sejalan dengan Wanapat et al. (2013) bahwa penggunaan tanaman herbal dalam ransum tidak mempengaruhi kecernaan nutrien. Lebih lanjut Suharti (2015) melaporkan bahwa penggunaan ekstrak lerak dalam ransum tidak berpengaruh pada kecernaan nutrien.

Karakteristik Fermentasi Rumen

Konsentrasi Ammonia (NH3)

Hasil penelitian secara statistik menunjukkan bahwa pemberiran ransum komplit kulit polong kedelai sampai taraf 30% tidak mempengaruhi konsentrasi NH3 (Tabel 10). Hal ini dapat disebabkan oleh frekuensi pemberian ransum yang

sama. Pada penelitian ini semua perlakuan ransum diberikan sebanyak 6 dan pada waktu yang sama. Sejalan dengan Hristov & Jouany (2005) bahwa konsentrasi NH3 dipengaruhi oleh jenis pakan, waktu dan frekuensi pemberian pakan, ternak

dan faktor lainnya, namun demikian pada tabel 10 terdapat kecenderungan peningkatan konsentrasi NH3 pada perlakuan ransum komplit kulit polong kedelai

sampai taraf 30%.

Konsentrasi NH3 yang ditunjukkan oleh perlakuan ransum komplit kulit

(33)

16

perlakuan ransum komplit kulit polong kedelai sampai taraf 30% yang lebih tinggi (Tabel 9). Protein akan dirombak oleh bakteri, protozoa dan fungi menjadi oligopeptida, dipeptida dan asam amino. Asam amino yang terbentuk akan mengalami deaminasi dan menghasilkan ammonia (Walker et al. 2005). Ammonia merupakan produk utama dari proses katabolisme protein dan merupakan substrat utama dalam sintesis protein mikroba (SPM).

Menurut Rahmadi et al. (2010) bahwa kisaran normal konsentrasi NH3

untuk mendukung sintesis protein mikroba adalah 3.57-7.14 mM. Pemberian ransum komplit kulit polong kedelai sampai taraf 30% dan ransum rumput+konsentrat (Tabel 10) sejalan dengan nilai kisaran normal konsentrasi NH3. Pada pemberian ransum rumput lapang, konsentrasi NH3 menunjukkan nilai

di bawah kisaran normal. Hal ini menunjukkan bahwa ransum komplit kulit polong kedelai sampai taraf 30% memiliki kualitas nutrien yang lebih baik dibandingkan ransum rumput lapang.

Tabel 10. Rataan konsentrasi NH3 dan VFA sapi potong madura pada berbagai

perlakuan

Peubah Rataan konsentrasi NH3 dan VFA perlakuan-

T0 T1 T2 T3 Keterangan : T0: rumput (kontrol negatif), T1: rumput + konsentrat dengan rasio 40:60

(kontrol positif), T2: ransum komplit 15% kulit polong kedelai, T3: ransum komplit 30% kulit polong kedelai; Angka-angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan (P<0.05); Estimasi metan = 0.45(C2) - 0.275(C3) + 0.4(C4) (Moss et al. 2000).

Konsentrasi Volatile Fatty Acid (VFA) Parsial

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kulit polong kedelai sampai taraf 30% dalam ransum komplit tidak mempengaruhi konsentrasi VFA total (Tabel 10). Hasil yang sama dapat disebabkan oleh total bakteri dan protozoa yang dihasilkan sama (Tabel 7), namun demikian pada tabel 10 terlihat bahwa nilai VFA total pada perlakuan ransum komplit kulit polong kedelai taraf 30% lebih rendah dibandingkan ransum komplit kulit polong kedelai 15% dan ransum rumput+konsentrat. Nilai yang rendah juga ditunjukkan pada perlakuan ransum rumput lapang (Tabel 10). Menurut Waldron et al. (2002) bahwa konsentrasi VFA total yang normal berkisar 60 – 120 mM. Hasil yang rendah pada ransum komplit kulit polong kedelai taraf 30% dan ransum rumput lapang menunjukkan bahwa proses fermentasi tidak efisien.

(34)

17

Peningkatan konsentrasi butirat terkait dengan komposisi bahan ransum yang sebagian besar mengandung tinggi gula terlarut seperti maltosa atau pati, ditunjukkan oleh hasil kecernaan nutrien pada perlakuan tersebut yang lebih tinggi dari ransum rumput lapang (Tabel 9). Bakteri rumen seperti oligotricha dan holotricha memecah gula terlarut seperti glukosa, maltosa, sukrosa dan pati terlarut menjadi asetat, asam butirat, asam laktat, CO2, dan amilopektin (Arora

1989), namun demikian peningkatan butirat pada penelitian ini tidak meningkatkan produksi gas metan (Tabel 10). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ransum komplit kulit polong kedelai sampai taraf 30% tidak meningkatkan produksi gas metan.

Rentensi Nitrogen (N)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ransum komplit kulit polong kedelai sampai taraf 30% tidak nyata meningkatkan retensi nitrogen, namun demikian nilai retensi nitrogen nyata meningkat (P<0.05) pada pemberian ransum komplit kulit polong kedelai 15%. Rataan retensi nitrogen disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Rataan retensi nitrogen sapi potong madura pada berbagai perlakuan

Keterangan : T0: rumput (kontrol negatif), T1: rumput + konsentrat dengan rasio 40:60 (kontrol positif), T2: ransum komplit 15% kulit polong kedelai, T3: ransum komplit 30% kulit polong kedelai; Angka-angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan (P<0.05).

Respon positif retensi N yang ditunjukkan pada perlakuan ransum komplit 15% kulit polong kedelai diekspresikan oleh tingginya konsumsi N dan persentase retensi N dari N yang tercerna (Tabel 11). Hal ini menunjukkan bahwa kualitas protein ransumnya baik dan digunakan oleh ternak secara efisien. Sesuai dengan pernyataan Suharti (2015) bahwa tingginya retensi N menunjukkan kulitas protein ransum yang baik dan digunakan oleh sapi ongole secara efisien. Lebih lanjut Suharti melaporkan bahwa retensi N dari N yang tercerna pada sapi ongole berkisar 66-73%.

(35)

18

komplit kulit polong kedelai 15%. Konsumsi (Tabel 7) dan kecernaan (Tabel 8) protein pada ransum tersebut cenderung lebih rendah dan akses nitrogen untuk diretensi menjadi lebih rendah, selain itu hasil VFAnya juga rendah (Tabel 10) yang menandakan aktivitas bakteri sintesis protein menjadi menurun, sehingga menurunkan aktivitas retensi N. Hal ini sejalan dengan pernyataan Suharti (2015) bahwa peningkatan aktivitas bakteri sintesis protein, maka akan meningkatkan retensi N.

Performa

Hasil menunjukkan perlakuan ransum komplit kulit polong kedelai sampai 30% nyata (P<0,05) meningkatkan performa seperti pertambahan bobot hidup harian dan efisiensi ransum dibandingkan ransum rumput lapang dan sebanding dengan ransum rumput+konsenrat. Rataan pertambahan bobot hidup, pertambahan bobot hidup harian, dan efisiensi ransum disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Rataan pertambahan bobot hidup harian dan efisiensi ransum

(performa) pada berbagai perlakuan selama 88 hari

Peubah Rataan performa perlakuan- Keterangan : T0: rumput (kontrol negatif), T1: rumput + konsentrat dengan rasio 40:60

(kontrol positif), T2: ransum komplit 15% kulit polong kedelai, T3: ransum komplit 30% kulit polong kedelai; Angka-angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan (P<0.05); PBH=Pertambahan Bobot Hidup, PBHH=Pertambahan Bobot Hidup Harian.

(36)

19

ini menunjukkan bahwa pemberian ransum komplit kulit polong kedelai sampai taraf 30% dengan protein yang berbeda menghasilkan PBHH yang baik.

Nilai rataan efisiensi ransum perlakuan ransum komplit kulit polong kedelai sampai taraf 30% nyata lebih rendah dibandingkan dengan ransum rumput dan sebanding dengan ransum rumput+konsentrat (Tabel 12). Efisiensi pakan yang lebih rendah menunjukkan bahwa nutrien ransum lebih baik dan efisien digunakan oleh ternak untuk meningkatkan bobot badannya. Hal ini dikarenakan efisiensi ransum hanya sedikit lebih tinggi dengan Neto et al. (2012) dibandingkan ransum rumput lapang. Menurut Neto, efisiensi ransum pada sapi Red Note jantan muda yang diberi ransum bungkil kedelai 100%, bungkil kedelai+vitamin E, bungkil kapas, bungkil kapas+vitamin E masing-masing sebesar 0.131, 0.136, 0.142, dan 0.136.

4

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pemberian ransum komplit mengandung kulit polong kedelai sampai taraf 30% meningkatkan nilai kecernaan nutrien dan retensi nitrogen. Peningkatan konsentrasi butirat pada perlakuan ransum komplit kulit polong kedelai sampai taraf 30%, tidak mengganggu populasi total bakteri dan protozoa. PBHH juga menunjukkan peningkatan dengan efisiensi ransum yang rendah pada pemberian ransum komplit kulit polong kedelai sampai taraf 30% dibandingkan ransum rumput lapang.

Saran

(37)

20

5

DAFTAR PUSTAKA

Adiwinarti R, Lestari SCM, Widyastuti DK. 2011. Efisiensi penggunaan pakan jerami padi dan konsetrat pada sapi Peranakan Ongole dan Peranakan Fresian Holstein. Prosiding Seminar Nasional “Persfektif Pengembangan Agribisnis Peternakan di Indonesia”. Fakultas Peternakan Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto. Hal:177-181.

AOAC. 2005. Official Methods of Analysis of AOAC International. 18th ed. Assoc Off. Anal Chem Arlington.

Arifin M, Hasibuan AM, Lestari CMS, Purbowati E, Sutrisno CI, Baliarti E, Budhi SPS, Lestariana W. 2009. Produksi edible portion karkas domba ekor tipis jantan yang diberi pakan komplit dengan bahan baku berbagai limbah pertanian. J Indo Trop Anim Agric.34(2):96-100.

Arora SP. 1989. Pencernaan Mikroba Pada Ruminansia. Jogja(ID):Gajah Mada University Press.

AwawdehMS, ObeidatBS. 2013. Treated olive cake as a non-forage fiber source for growing awassi lambs: effects on nutrient intake, rumen and urine ph, performance, and carcass yield. Asian Aust J Anim Sci. 26(5):661-667 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai (Angka

Sementara Tahun 2014). Prov. Jawa Barat (ID): Berita Resmi Statistik. No. 19/03/32/Th. XVII.

Blaxter KL. 1969. The Energy Metabolism in The Rumen. London(GB):Methuen and Co. Ltd.

Endrawati E, Baliarti E, Budhi SPS. 2010. Performans induk sapi silangan simmental-peranakan ongole dan induk sapi peranakan ongole dengan pakan hijauan dan konsentrat. Buletin Peternakan. 34(2):86-93.

Gupta BS, Johnson DE, Hinds FC. 1978. Soybean straw intake and nutrient digestibility by sheep.J Anim Sci. 46(4):1086-1090.

Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Tillman AD. 2005. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Yogyakarta (ID):Gadjah Mada University Press.

Hristov AN, Jouany JP. 2005. Factor affecting the efficiency of nitrogen utilization in the rumen. Di dalam: Pfeffer E, Hristov AA, editor. Nitrogen and Phosphorus Nutrition of Cattle. London (GB):CABI publ.

Jancik F, Koukolova V, Homolka P. 2010. Ruminal degradability of dry matter and neutral detergent fibre of grasses. Czech J Anim Sci. 55(9):359-371. Kearl LC. 1982. Nutrient Requirement of Ruminant in Developing Countries. 1st

Ed. International Feedstuff Institut. Logan (US):Utah Agricultural Experiment Station University.

Kennedy C, Baker L, Dhakal S, Ramaswami A. 2012. Sustainable urban system an integrated approach. Journal of Industrial Ecology. 9(6):882-826.

(38)

21

Lee S, Kim Y, Oh Y, Kwak W. 2010. Effects of feeding methods of total mixed ration on behavior patterns of growing hanwoo steers. Asian Aust J Anim Sci. 23(11):1469-1475.

Luthan F. 2009. Peluang pencapaian dan kebijakan swasembada daging 2014. Disampaikan dalam Seminar Tematik HUT Badan Litbang Pertanian Indonesia Keluar dari Perangkap Impor Sapi Potong. Bogor, 12 Agustus 2009.

Mathius IW, Gaga IB, Sutama IK. 2002. Kebutuhan kambing pejantan muda akan energi dan protein kasar: konsumsi, kecernaan, ketersediaan dan pemanfaatan nutrien. JITV. 7(2): 99-109.

McDonald P, Edward RA, Greenhalgh JFD. 2002. Animal Nutritions. 6th Edition. New York (US):Longman Scientific and Technical.

Musrifah N, Ristianto U, Soeparno. 2011. Pengaruh penggunaan tongkol jagung dalam complete feed dan suplementasi undegraded protein terhadap pertambahan bobot badan dan kualitas daging pada sapi peranakan ongole. Buletin Peternakan. 35(3):1-9.

Neto ORM, Ladeira MM, Chizzotti ML, Jorge AM, Olivera DM, Carvalho JRR, Ribeiro JS. 2012. Performance, carcass traits, meat quality, and without supplementation of vitamin E. Revista Brasileirade Zootecnia. 41(7):1756-1763.

Pond WG, Church DC, Pond KR, Schoknecht PA. 2005. Basic Animal Nutrition and Feeding. 5th Revised Edition. New York (US):Jhon Wiley Sons Inc. Purbowati E, Sutrisno CI, Baliarti E. Budhi SPS, Lestariana W. 2007.

Karakteristik fisik otot Longissimus dorsi dan Biceps femoris domba lokal jantan yang dipelihara di pedesaan pada bobot potong yang berbeda. J. Protein. 33(2):147-153.

Rahmadi, Sunarso D, Achmadi J, Pangestu E, Muktiani A, Christiyanto M, Surono, Surahmanto. 2010. Ruminologi Dasar. Semarang(ID):Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro.

Simanihuruk, K., Junjungan, Ginting, SP., 2008. Pemanfaatan silase pelepah kelapa sawit sebagai Pakan Basal Kambing Kacang Fase Pertumbuhan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Hal:446-455. Sinurat AP. 1999. Penggunaan bahan pakan lokal dalam pembuatan ransum ayam

buras. WARTAZOA. 9(1):12-20.

Suharti S, Astuti DA, Wina E, Toharmat T. 2015.Digestibility, fermentation characteristic, protein microbialsynthesis and growth performance of beef cattle fed highforage ration with lerak extract supplementation.Pakistan Journal of Nutrition. 14(12):885-891.

(39)

22

Animal Science, Bogor Agricultural Univerisy in Collaboration with The Director of Development and Community Service. Jakarta(ID):Department of Education.

Suryahadi. 1990. Penuntun Praktikum Ilmu Nutrisi Ruminansia. Bogor(ID):Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati IPB.

Suyitman L, Warly A, Rachmat, Ramadhan DR. 2015. Effect of Mineral S, P, and cassava flour leaf supplemented with ammoniation palm leaves on the performance of beef cattle. Pakistan Journal of Nutrition. 14(12):849-853. Syamsu J, Ilyas A, Syamsuddin I. 2006. Potensi limbah tanaman sebagai sumber

pakan sapi potong dalam mendukung integrasi ternak-tanaman di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Disampaikan dalam Seminar

Nasional “Peningkatan Akses Pangan Hewani melalui Integrasi

Pertanian-Peternakan Berkelanjutan Menghadapi Era ACFTA”. Jambi(ID):Fakultas Peternakan Universitas Jambi. 23 Juni 2010.

Theodorou MK, Brook AE. 1990. Evaluation of a New Laboratory Procedure for Estimating the Fermentation Kinetic of Tropical Feeds. UK. Annual Report AFRC Institute.

Tillman AD, HartadiH, ReksohadiprodjoS, PrawirokusumoS, LebdosoekojoS. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke 4. Yogyakarta(ID):Gadjah Mada University Press.

Toharmat T, Nursasih E, Nazilah R, Hotimah N, Noerzihad TQ, Sigit NA, RetnaniY. 2006. Sifat fisik pakan kaya serat dan pengaruhnya terhadap konsumsi dan kecernaan nutrien ransum pada kambing. Med Pet. 29(3):146-154.

Van Soest PJ. 1984. Nutritional Ecology of the Ruminant. O and B Books. Inc. Virginia.

Waldron MR,Schrick FN, Quigley JD, Klotz JL, Saxton AM, Heitmann RN. 2002. Volatile fatty acid metabolism by epithelial cells isolated from different areas of the ewe rumen. J Anim Sci.80(1):270-278.

Walker ND, Newbold CJ, Wallace RJ. 2005. Nitrogen metabolism in the rumen. Di dalam: Pfeffer E, Hristov AA, editor. Nitrogen and Phosphorus Nutrition of Cattle. London (GB): CABI publ.

Wanapat M, Kang S, Khejornsart P, Wanapat S. 2013. Effects of plant herb combination supplementation on rumen fermentation and nutrient digestibility in beef cattle. Asian AustJ Anim Sci. 26(8):1127-1136.

(40)

23

6

LAMPIRAN

Lampiran 1. Analisis ragam konsumsi BK pada berbagai perlakuan ransum Sumber

Lampiran 2. Uji lanjut duncan konsumsi BK pada berbagai perlakuan ransum

Perlakuan N Subset

The error term is Mean Square(Error)= .446.

Lampiran 3. Analisis ragam konsumsi PK pada berbagai perlakuan ransum Sumber

Lampiran 4. Uji lanjut duncan konsumsi PK pada berbagai perlakuan ransum

Perlakuan N Subset

(41)

24

Lampiran 5. Analisis ragam konsumsi LK pada berbagai perlakuan ransum Sumber

Lampiran 6. Uji lanjut duncan konsumsi LK pada berbagai perlakuan ransum

Perlakuan N Subset

The error term is Mean Square (Error) = 102.288.

Lampiran 7. Analisis ragam konsumsi SK pada berbagai perlakuan ransum Sumber

Lampiran 8. Uji lanjut duncan konsumsi SK pada berbagai perlakuan ransum

Perlakuan N Subset

(42)

25

Lampiran 9. Analisis ragam konsumsi BETN pada berbagai perlakuan ransum Sumber

Lampiran 10. Uji lanjut duncan konsumsi BETN pada berbagai perlakuan ransum

Perlakuan N Subset

The error term is Mean Square (Error) = .161.

Lampiran 11. Analisis ragam kecernaan BK pada berbagai perlakuan ransum Sumber

Lampiran 12. Uji lanjut duncan kecernaan BK pada berbagai perlakuan ransum

Perlakuan N Subset

(43)

26

Lampiran 13. Analisis ragam kecernaan PK pada berbagai perlakuan ransum Sumber

Lampiran 14. Uji lanjut duncan kecernaan PK pada berbagai perlakuan ransum

Perlakuan N Subset

The error term is Mean Square (Error) = 1.541.

Lampiran 15. Analisis ragam kecernaan LK pada berbagai perlakuan ransum Sumber

Lampiran 16. Uji lanjut duncan kecernaan LK pada berbagai perlakuan ransum

Perlakuan N Subset

(44)

27

Lampiran 17. Analisis ragam kecernaan SK pada berbagai perlakuan ransum Sumber

Lampiran 18. Analisis ragam kecernaan BETN pada berbagai perlakuan ransum Sumber

The error term is Mean Square(Error) = 4.336.

(45)

28

Lampiran 22. Analisis ragam konsentrasi NH3 pada berbagai perlakuan ransum

(46)

29

Lampiran 24. Analisis ragam konsentrasi asetat pada berbagai perlakuan ransum Sumber

Lampiran 25. Analisis ragam konsentrasi propionat pada berbagai perlakuan ransum

Lampiran 26. Analisis ragam konsentrasi butirat pada berbagai perlakuan ransum Sumber

(47)

30

Lampiran 28. Analisis ragam proporsi asetat:butirat pada berbagai perlakuan ransum

Lampiran 29. Analisis ragam konsumsi N pada berbagai perlakuan ransum Sumber

Model terkoreksi 22191.957a 5 4438.391 18.466 0.007

Intersep 161233.651 1 161233.651 670.798 0

Lampiran 30. Uji lanjut duncan konsumsi N pada berbagai perlakuan ransum

Perlakuan N Subset

The error term is Mean Square (Error) = 240.361.

(48)

31

Lampiran 32. Analisis ragam kecernaan N pada berbagai perlakuan ransum Sumber

Model terkoreksi 20935.032 5 4187.006 26.663 0.004

Intersep 117875.132 1 117875.132 750.634 0.000

Perlakuan 20775.577 3 6925.192 44.100 0.002

Lampiran 33. Uji lanjut duncan kecernaan N pada berbagai perlakuan ransum

Perlakuan N Subset

The error term is Mean Square (Error) = 157.034.

Lampiran 34. Analisis ragam N urin pada berbagai perlakuan ransum Sumber

Lampiran 35. Uji lanjut duncan N urin pada berbagai perlakuan ransum

Perlakuan N Subset

(49)

32

Lampiran 36. Analisis ragam retensi N pada berbagai perlakuan ransum Sumber

Model terkoreksi 22126.566a 5 4425.313 15.382 0.01

Intersep 46669.857 1 46669.857 162.215 0

Lampiran 37. Uji lanjut duncan retensi N pada berbagai perlakuan ransum

Perlakuan N Subset

The error term is Mean Square (Error) = 287.703.

Lampiran 38. Analisis ragam % retensi N dari kecernan N pada berbagai

a. R Squared = .903 (Adjusted R Squared = .781).

Lampiran 39. Uji lanjut duncan % retensi N dari kecernaan N pada berbagai

(50)

33

a. R Squared = .920 (Adjusted R Squared = .819).

Lampiran 41. Uji lanjut dunca %^retensi N dari konsumsi N pada berbagai

The error term is Mean Square (Error) = 43.880.

Lampiran 42. Analisis ragam PBHH pada berbagai perlakuan ransum Sumber

Lampiran 43. Uji lanjut duncan PBHH pada berbagai perlakuan ransum

Perlakuan N Subset

(51)

34

Lampiran 44. Analisis ragam efisiensi ransum pada berbagai perlakuan ransum Sumber

keragaman

Jumlah kuadrat

Derajat bebas

Kuadrat

tengah F Sig.

Model terkoreksi .762a 5 0.152 73.865 0

Intersep 1.297 1 1.297 628.267 0

Perlakuan 0.697 3 0.232 112.566 0

Kelompok 0.002 2 0.001 0.453 0.665

Galat 0.008 4 0.002

Total 1.883 10

Total terkoreksi 0.771 9

a. R Squared = .989 (Adjusted R Squared = .976).

Lampiran 45. Uji lanjut duncan efisiensi ransum pada berbagai perlakuan ransum

Perlakuan N Subset

1 2

3 3 0.1766

4 3 0.1926

2 2 0.2298

1 2 0.8838

Sig. 0.276 1

(52)

35

7

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 16 Januari 1990 di Cirebon. Penulis adalah anak pertama dari Agus Muslim dan Suhaebah. Pada Tahun 2008 penulis menyelesaikan pendidikan SMA di SMAN 1 Lemahabang Kabupaten Cirebon. Penulis diterima di IPB sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dengan Mayor Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan TeknologiPakan, Fakultas Peternakan.

Beberapa kegiatan yang diikuti olehpenulis pada masa sarjana, seperti let’s fight again drugs dormitory sebagai ketua divisi acara IPB, IPB goes to School sebagai bendaraha yang diselenggarakan Ikatan Kekeluargaan Cirebon, D’Farm Festival fakultas peternakan sebagai divisi logstran, Program Kegiatan Mahasiswa Penilitian dan mendapat dana pada tingkat IPB, Program Kewirausahaan yang dilaksanaan oleh CDA (Career Development and Alumni Affair) dan mendapatkan dana usaha. Penulis juga aktif dalam kegiatan kewirausahaan di luar kampus.

Gambar

Tabel  2.  Komposisi nutrien rumput lapang dan ampas tahu dalam 100% BK
Tabel  4.  Metode pemberian ransum penelitian.
Tabel  5.  Komposisi Media M8 (Rumen-Fluid Glukosa Cellobiosa Agar (RGCA)
Tabel  6.  Komposisi nutrien ransum penelitian dari hasil analisis proksimat dalam
+4

Referensi

Dokumen terkait

Kombinasi HPMC K4M – amilum kulit pisang agung dan konsentrasi natrium bikarbonat maupun interaksinya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kekerasan, floating

Berdasarkan analisis yang dilakukan diperoleh hasil bahwa modal, pengalaman, jarak melaut dan lama melaut berpengaruh positif signfikan terhadap pendapatan nelayan,

This study aims at describing the interlanguage errors made by the students of SMA Negeri 1 Sumberlawang in their written descriptive text; identify the types of

Semua manajer penjualan harus mengevaluasi apakah struktur organisasi yang ada sudah tepat untuk segala perubahan yang terjadi sepanjang waktu dan untuk masa yang akan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian kompensasi yang sesuai dan pemunculan whistleblower terhadap pengungkapan kecurangan pada organisasi..

Mendarat atau pendaratan merupakan bagian akhir dari pelaksanaan lompat jauh. Secara sepintas bagian mendarat tampak mudah dilakukan. Namun demikian ada beberapa hal yang

Dari pemaparan di atas tentang memahami agama secara psikologis, yang secara khusus fokus mencoba melihat ejarah psikologi agama, metode- metode yang digunakan di

Kondisi dalam proses pembelajaran yang terjadi sebelum diterapkannya model pembelajaran Problem Based Learning dan model pembelajaran Discovery Learning didalam