• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai Religius Dalam Novel Opera Van Gontor Karya Amroeh Adiwijaya Dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra Di Sekolah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Nilai Religius Dalam Novel Opera Van Gontor Karya Amroeh Adiwijaya Dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra Di Sekolah"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh Ariyadih 108013000053

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

iii

terhingga yang jikalau seluruh pohon di atas muka bumi ini dijadikan pena dan lautan dijadikan tinta untuk menuliskan kebesaran-Nya, maka tiada akan habis kekuasaan-Nya. Maha suci Allah Swt yang telah memberikan Hidayah serta Inayah-Nya terlebih nikmat kesehatan, maka penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul ―Nilai Religius Islam dalam Novel Opera Van Gontor

Karya Amroeh Adiwijaya dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah‖ dengan sangat lancar karena nikmat yang sangat mahal harganya tersebut. Selawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw yang telah membawa kita ke jalan kebenaran yakni jalan yang telah diridai Allah Swt.

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam penyelesaian skripsi ini tentu saja penulis tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung, maka dalam kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, M.A., Dekan FITK UIN Jakarta yang telah mempermudah dan melancarkan penyelesaian skripsi ini;

2. Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A., M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu dan bimbingan yang sangat berharga bagi penulis selama ini;

3. Dra. Hindun, M.Pd., Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

(6)

iv

memberikan ilmunya selama penulis menjadi mahasiswa di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Ilmu yang Bapak dan Ibu berikan sangat bermanfaat bagi penulis.

7. Nurhasan dan Aspiah, kedua orang tua penulis, yang telah merawat, mendidik, dan memberikan motivasi dalam hidup penulis untuk selalu berpijak, tegar dan tetap melangkah maju untuk mencapai cita-cita.

8. Seluruh saudara kandung penulis, Mpo Ida, Bang Pian, Rahmawati, Humairoh, yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

9. Seluruh mahasiswa PBSI kelas B angkatan 2008, terima kasih atas pengalaman berharga yang penulis dapatkan selama ini. Terima kasih secara khusus penulis sampaikan kepada Ummy Hani, Nurul Ismah, Aop Abdilah, Aang Arwani Aminuloh, Hariyadi, yang telah mendukung, mengingatkan, dan menyemangati penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini;

10.Teman-teman satu perjuangan Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2008, yang telah memberikan kritik dan saran yang berguna bagi penulis.

11.Teman-teman penulis, Suherman, Kak Novita Precillia Aprilianti, Heru Trisno Hadi Wibowo, Abdul Rahman, Andi Alatas, Inti Hariyanti, Muri, Zaenal Arifin dan Ndah Uchul yang selalu membantu dan mendukung penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini;

(7)

v

membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Jakarta, April 2013

(8)

vi

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH

ABSTRAK ... ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Identifikasi Masalah ... C. Pembatasan Masalah ... 5

D. Perumusan Masalah ... 5

E. Tujuan Penelitian ... 5

F. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN TEORETIS ... 7

A. Hakikat Nilai Religius ... 7

1. Pengertian Nilai Religius ... 7

2. Religiusitas dalam Karya Sastra ... 9

B. Hakikat Novel ... 11

1. Pengertian Novel ... 11

2. Struktur Novel ... 14

C. Hakikat Pembelajaran Sastra ... 28

D. Penelitian yang Relevan ... 30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 32

A. Metode Penelitian ... 32

B. Objek Penelitian ... 33

C. Teknik Pengumpulan Data ... 33

D. Langkah-langkah Penelitian ... 34

(9)

vii

1. Tema... ... 38

2. Alur ... 40

3. Tokoh dan Penokohan ... 42

4. Latar ... 45

5. Sudut Pandang ... 51

6. Gaya Bahasa ... 51

7. Amanat ... 52

D. Analisis Nilai Religius dalam Novel Opera Van Gontor ... 53

1. Penyerahan Diri, Tunduk, dan Taat ... 53

2. Kehidupan yang Penuh Kemuliaan ... 57

3. Perasaan Batin yang ada Hubungannya dengan Tuhan ... 60

4. Perasaan Takut dan Berdosa ... 62

5. Mengakui Kebesaran Tuhan ... 64

E. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah ... 66

BAB V PENUTUP ... 68

A. Simpulan ... 68

B. Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 70

(10)

1

A. Latar Belakang Penelitian

Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan potensi sumber daya manusia peserta didik dengan cara mendorong dan memfasilitasi kegiatan belajar mereka. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 1 bahwa pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, dan negara. Untuk mewujudkan hal tersebut, tentu saja diperlukan pendidik yang profesional, mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.

Berdasarkan undang-undang tersebut, kegiatan pendidikan haruslah timbul dari rasa kesadaran dan tanggung jawab masing-masing individu serta terlaksana tanpa tekanan dari orang lain. Di samping itu, pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang vital dan inheren bagi setiap orang untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Undang-undang Sisdiknas pun mengisyaratkan bahwa program pendidikan haruslah terencana dengan baik. Perencanaan pendidikan itu meliputi kurikulum, tenaga pendidik, sarana prasarana, dan berbagai aspek yang mendukung terlaksananya proses pendidikan sehingga dapat memberikan gambaran mengenai bagaimana proses pendidikan itu berlangsung serta hasil yang diharapkannya. Dengan demikian, perencanaan suatu proses pendidikan hendaklah melibatkan berbagai pihak, di antaranya guru, kepala sekolah, komite sekolah, tenaga kependidikan, dan pihak-pihak lain yang terkait.

(11)

mereka. Sehubungan dengan hal tersebut, setiap guru selayaknya memahami seluruh proses dan tugas perkembangan manusia, khususnya yang berkaitan dengan anak-anak dan remaja yang duduk di sekolah dasar dan menengah.

Pada masa ini, siswa membutuhkan internalisasi nilai-nilai kehidupan untuk menumbuhkan jati diri yang utuh dan berintegritas. Melalui pembelajaran sastra, diharapkan siswa membaca dan menghayati nilai-nilai kehidupan. Dalam karya sastra, bukan hanya mempersoalkan estetika belaka, melainkan juga ada sehimpunan nilai-nilai, entah itu yang berkaitan dengan persoalan religius, cinta, maupun sosial.

Pembelajaran sastra di sekolah tampaknya masih menjadi pelajaran yang membosankan dan tidak menarik. Fenomena tersebut dapat disebabkan oleh faktor metode pengajaran sastra yang monoton dan tidak variatif. Hal ini terutama dilatarbelakangi oleh kurangnya pengalaman guru dalam bersastra. Siswa lebih banyak dijejali dengan teori-teori sastra sementara pengalaman bersastra sangatlah kurang. Padahal pembelajaran sastra seharusnya menjadi pelajaran yang menyenangkan dan menimbulkan kegairahan. Dalam hubungan ini, Sumardjo menyebutkan bahwa metode yang tepat untuk kegiatan apresiasi sastra adalah metode yang membuka peluang bagi para siswa untuk mengalami perkembangan jiwa, mengalami kepuasan dan kegembiraan di dalam pergaulan mereka dengan karya-karya sastra.1

Selain metode, bahan pembelajaran yang tidak sesuai dengan minat dan perkembangan jiwa siswa akan menimbulkan kebosanan sehingga siswa tidak tertarik pada sastra. Sumardjo menekankan bahwa bahan pembelajaran sastra yang dipilih harus sesuai dengan tingkat usia maupun lingkungan siswa.2

Berkaitan dengan bahan pembelajaran sastra di sekolah, permasalahan yang sering ditemukan adalah kurangnya ketersediaan buku-buku sastra, khususnya novel masa kini (kontemporer). Sekolah lebih banyak menyediakan novel-novel lama (angkatan ’20 s.d. angkatan ’60-an).

1

Jakob Sumarjo & Saini KM., Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia, 1988), h. 176.

(12)

Sementara itu, siswa membutuhkan internalisasi nilai yang relevan dengan kebutuhan dan problematik kehidupan mereka saat ini. Hal tersebut dapat diimbangi dengan membaca dan mengapresiasi novel kontemporer, tanpa mengabaikan novel lama.

Bahan pembelajaran sastra yang hendak diajarkan kepada siswa tentunya harus mengacu kepada tujuan pembelajaran itu sendiri. Rusyana menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran sastra setidaknya mencakup tiga hal.3 Pertama, siswa memperoleh pengalaman bersastra melalui kegiatan apresiasi dan ekspresi. Apresiasi adalah bentuk pengenalan yang semakin mendalam terhadap pengalaman hidup yang terkandung dalam sastra, serta hasrat dan jawaban kita terhadapnya. Sedangkan melalui kegiatan ekspresi, siswa diberi kesempatan dan dorongan untuk mengutarakan dirinya ke dalam bahasa. Siswa harus sanggup menyusun cita dan pengalamannya ke dalam bentuk yang tepat, baik secara lisan maupun secara tertulis.4 Kedua, siswa memperoleh pengetahuan tentang sastra, seperti sejarah sastra, teori sastra, dan kritik sastra. Ketiga, setelah pembelajaran sastra, siswa diharapkan dapat menghargai akan nilai-nilai yang baik. Kekeliruan yang terjadi adalah ketika dalam proses pembelajaran siswa hanya memperoleh teori-teori sastra dan kurang berpengalaman dalam bersastra.

Karya sastra mengandung nilai-nilai dan pesan yang baik, karya sastra dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran di sekolah-sekolah dalam bentuk kegiatan memberikan pengalaman-pengalaman berapresiasi sastra. Selain memiliki aspek fisik, sastra juga memiliki aspek batiniah. Pada kenyataannya sastra lebih banyak berbicara dalam aspek batiniah, sehingga unsur yang tidak dapat dijangkau aspek fisik akan kita temukan dalam sastra seperti etika, estetika, dan moral. Karya sastra yang memiliki aspek batiniah, menyangkut segi keagamaan dan ketuhanan, sehingga banyak pengarang yang menciptakan karya sastra berupa novel dengan tema religius.

3

Yus Rusyana, Metode Pengajaran Sastra, (Bandung: Gunung Larang, 1982), h. 16.

4

(13)

Untuk memahami nilai-nilai religius dalam novel, khususnya pembaca usia anak sekolah dapat mempelajari melalui pembelajaran apresiasi sastra di sekolah. Dunia pendidikan dapat menjadi pijakan awal untuk memulai proses penanaman dan pengembangan nilai religius. Proses penanaman nilai-nilai religius itu tidaklah berarti bahwa nilai-nilai-nilai-nilai itu diajarkan dalam sebuah mata pelajaran tersendiri tetapi diintegrasikan dalam proses pembelajaran serta diaplikasikan dalam kehidupan siswa. Secara filosofi Socrates dalam Mubarok menegaskan bahwa ―pendidikan merupakan proses pengembangan manusia ke arah kearifan (wisdom), pengetahuan (knowledge), dan etika (conduct).‖5 Oleh karenanya, membangun aspek kognisi, afeksi dan psikomotor secara seimbang dan berkesinambungan adalah nilai pendidikan yang paling tinggi.

Bertitik tolak dari permasalahan tersebut, peneliti berupaya untuk menggali nilai-nilai religius dalam novel Indonesia dewasa ini, yakni novel

Opera Van Gontor karya Amroeh Adiwijaya. Amroeh sebagai tokoh utama dalam novel Opera Van Gontor menginformasikan bahwa untuk menggapai sesuatu harus dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan. Hal tersebut dapat dilihat dari tokoh Amroeh dalam menjalankan hidupnya selama di Pesantren Gontor, hingga pada akhirnya ia mampu menyelesaikan studinya. Novel

Overa Van Gontor juga membawa khasanah baru dunia sastra, bagaimana seorang aktifis mengangkat nilai-nilai religius dengan bahasa yang komunikatif serta mencampur bahasa-bahasa daerah guna memberikan kepada pembaca pengetahuan tambahan perihal perbendaharaan kosa kata.

Peneliti berharap nilai-nilai religius tersebut dapat diajarkan kepada siswa, khususnya dalam pembelajaran apresiasi sastra di sekolah menengah umum. Secara lengkap penelitian ini diberi judul ‖Nilai Religius dalam Novel

Opera Van Gontor Karya Amroeh Adiwijaya dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah.‖

5

(14)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, dapat diuraikan masalah yang teridentifikasi:

1. Karya sastra khususnya novel di dalamnya terdapat nilai-nilai yang bisa diajarkan.

2. Nilai religius dapat digali dari karya sastra khususnya novel Opera Van Gontor.

3. Nilai religius merupakan suatu yang sangat penting untuk diajarkan dan ditanamkan dalam diri para siswa.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka peneliti membatasi masalah dalam penelitian ini hanya pada nilai religius dalam novel Opera Van Gontor karya Amroeh Adiwijaya.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah yang telah dijabarkan, maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

1. Nilai religius seperti apa yang terkandung dalam novel Opera Van Gontor

karya Amroeh Adiwijaya?

2. Bagaimana implikasi nilai religius dalam novel Opera Van Gontor karya

Amroeh Adiwijaya terhadap pembelajaran sastra?

E. Tujuan Penelitian

(15)

F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, melalui penelitian ini setidaknya bisa memberikan manfaat bagi para pembaca khususnya dalam hal sebagai berikut:

a. Memberikan sumbangan pengetahuan dan pengalaman yang lebih, dalam bidang bahasa dan sastra Indonesia serta menambah wawasan dan pengetahuan peneliti, pembaca, dan pecinta sastra.

b. Menambah wawasan pengetahuan dalam bidang kesusastraan yang nantinya akan berimbas dalam usaha pencapaian tujuan pendidikan nasional bangsa Indonesia.

2. Manfaat Praktis

Manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini, di antaranya sebagai berikut.

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membangkitkan minat siswa untuk lebih mencintai dan menyenangi karya sastra.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menumbuhkan dan meningkatkan nilai religius siswa.

(16)

7

A. Hakikat Nilai Religius

1. Pengertian Nilai Religius

Nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan, singkatnya, sesuatu yang baik.1 Nilai adalah kualitas atau sifat yang membuat apa yang bernilai jadi bernilai. Misalnya nilai ―jujur‖ adalah sifat tindakan yang jujur. Jadi nilai (Wert, value) tidak sama dengan apa yang bernilai (Guter, goods).2 Kata nilai dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa asing yakni bahasa Latin Valere, kemudian diadopsi ke dalam bahasa Inggris menjadi Value dan bahas Perancis kuno

valoir Ecyclopedia of Real Estate Term .3

Penafsiran nilai dalam suatu bidang bergantung pada sudut pandang masing-masing. Nilai itu tidak formal melainkan material (―material‖ bukan dalam arti ―bendawi‖, ―terdiri atas materi‖, melainkan

‖ada apanya‖, ada ‖apanya‖), masing-masing dalam kekhasan dan

perbedaannya.4 Maka Scheler menyebutkan etikanya ―etika nilai material jujur‖. Jujur, vital, enak, adil, indah, kudus, ini semua nilai yang

kita tahu langsung ―apanya‖.5

Senada dengan pendapat di atas maka nilai dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang bermakna, sudah ada terlebih dahulu sebelum sesuatu perbuatan dilakukan dan sesuatu yang bermakna itu bersifat abadi.

1

K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 139. 2

Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), h. 34. 3

Hari Jauhari, Cara Memahami Nilai Religius dalam Karya Sastra (Bandung: Arfino Raya, 2010), h. 25.

4

Franz Magnis-Suseno, op. cit., h. 35. 5

(17)

Istilah ―religius‖ membawa konotasi pada makna agama.6 Religius dan agama memang erat berkaitan, berdampingan, bahkan dapat melebur dalam satu kesatuan, namun menyaran pada makna yang berbeda. Atmosuwito menjelaskan religi diartikan lebih luas daripada agama. Konon kata religi menurut asal kata berarti ikatan atau pengikatan diri. Jika sesuatu ada ikatan atau pengikatan diri, maka kata bereligi berarti menyerahkan diri, tunduk dan taat. Sedangkan agama biasanya terbatas pada ajaran-ajaran (doctrines) dan peraturan-peraturan (laws). Dalam agama Kristen atau Islam misalnya, peraturan itu menjurus kepada dogma.7

Manusia religius secara sederhana agaknya dapat diartikan sebagai manusia yang berhati nurani serius, taat, shaleh, dan teliti dalam pertimbangan batin. Namun apabila kata religius ditambahkan kata Islam, sehingga menjadi religius Islam, pengertian religius di sini menjadi lebih tegas, yaitu mengacu kepada keyakinan, berhati nurani, dan shaleh menurut norma, atau ajaran agama Islam.8

Religiusitas lebih melihat aspek yang ‖di dalam lubuk hati‖, riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa, ”du coeur” dalam arti, yakni cita rasa yang mencakup totalitas termasuk rasio dan rasa manusiawi ke dalam pribadi manusia.9

Religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati oleh individu di dalam hati. Religiusitas seringkali diidentikkan dengan keberagamaan. Religiusitas diartikan sebagai seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianutnya. Bagi seorang

6

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009), h. 326-327.

7

Subijantoro Atmosuwito, Perihal Sastra dan Religiusitas dalam Sastra, (Bandung: Sinar Baru, 1989), h. 123.

8

S.R.H Sitanggang, Joko Adi S., dan Maini Trina J., Religiusitas dalam Tiga Novel Modern, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2003), h. 3.

9

(18)

Muslim, religiusitas dapat diketahui dari seberapa jauh pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatan atas agama Islam.

Jadi, nilai religius atau keagamaan adalah nilai yang berhubungan dengan agama, keimanan seseorang dan tanggapan seseorang terhadap nilai yang diyakini serta tindakan manusia yang memancarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.10

2. Religiusitas dalam Karya Sastra

Sebuah karya sastra, selain merupakan hasil pengamatan batin dan pengalaman estetik, juga sebagai ekspresi diri penulisnya. Salah satu dari sekian ekspresi yang dituangkan dalam karya sastra berupa pengalaman yang berhubungan dengan unsur religiusitasnya.11

Kajian tentang religiusitas dalam kesusateraan sebenarnya telah banyak dilakukan, tetapi kajian itu sering keliru dalam memformulasikan pengertian religiusitas. Kekeliruan yang paling mendasar adalah bahwa religiusitas sering dianggap sebagai representasi sikap yang menentang agama, padahal religiusitas sangat koheren dengan agama. Keduanya sama-sama berorientasi pada tindakan penghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Karya sastra sebagai struktur kompleks yang di dalamnya menyoroti berbagai segi kehidupan termasuk masalah keagamaan layak digali lebih dalam untuk diambil manfaatnya.

Kehadiran sastra keagamaan di tengah-tengah masyarakat pasti mempunyai latar belakang tersendiri. Mengetahui latar belakang ini adalah hal yang sangat perlu, karena dari sana dapat dilihat apakah genre sastra religiusitas itu bersifat sementara atau menetap, yaitu mempunyai landasan yang kuat sehingga dapat bertahan untuk selamanya. Sebelum digali lebih dalam, terlebih dahulu harus diketahui kriteria-kriteria religius dalam karya sastra.12

10

Hari Jauhari, op. cit., h. 27. 11

S.R.H Sitanggang, Joko Adi S., dan Maini Trina J., op. cit., h. 1. 12

(19)

Secara garis besar, kriteria-kriteria religius dalam sebuah karya sastra khususnya novel dikemukakan oleh Atmosuwito sebagai berikut:13 a. Penyerahan diri, tunduk dan taat

Penyerahan diri dalam Islam diartikan sebagai bentuk penghambaan manusia kepada Allah Swt. Penyerahan diri merupakan makna yang terkandung dalam Islam. Artinya, sebagai hamba Allah, manusia harus berserah diri dan tunduk kepada-Nya atas segala ketetapan, perintah, dan larangan-Nya. Segala bentuk penyerahan diri manusia kepada Allah Swt dilakukan dengan mengikuti seluruh perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

b. Kehidupan yang penuh kemuliaan

Mulia adalah keinginan setiap manusia, namun tidak setiap manusia mengetahui hakekat kemuliaan. Kemuliaan yang hakiki adalah mulia di sisi Allah. Mulia di sisi Allah pasti mendatangkan keberkahan yang sebenarnya.

Satu-satunya ukuran menilai seseorang mulia di sisi Allah atau tidak adalah ketaqwaaan. Jika seseorang sudah mencapai derajat taqwa, dia telah mulia di sisi Allah. Semakin tinggi tingkat ketaqwaannya, semakin mulia kedudukannya di sisi Allah.

c. Perasaan batin yang ada hubungannya dengan Tuhan

Penyebab hati gelisah memang banyak, tetapi intinya semua kegelisahan sebenarnya datang dari persepsi manusia itu sendiri. Sehebat apa pun masalah yang dialami, tetapi kalau manusia itu mempunyai persepsi yang benar tentang masalah tersebut maka hati tidak akan gelisah. Sebenarnya kegelisahan tidak ada hubungannya dengan apa yang ada di luar diri manusia, tetapi terkait dengan bagaimana kita mengelola perasaan. Solusi untuk tidak gelisah (ketenangan hati) adalah dengan berzikrullah (mengingat Allah Swt).

13

(20)

d. Perasaan berdosa

Tindakan nilai merupakan hal asasi yang terpenting untuk menentukan sesuatu baik atau buruk. Kalau hal ini sudah jelas maka kita akan bisa berkata perbuatan saya salah atau perbuatan saya baik, maka berdosalah saya jika demikian dan berpahalalah tindakan saya jika demikian. Islam menekankan setiap tindakan harus dilandasi niat lillahita'ala (karena Allah ta'ala) untuk membedakan tindakan etis selain Allah, sehingga jika tidak dilandasi niat karena Allah, maka perbuatannya tidak diterima oleh Allah Swt.

e. Perasaan takut

Takut kepada Allah adalah sifat orang yang bertaqwa, dan ia juga merupakan bukti imannya kepada Allah. Oleh karenanya, seseorang semakin ia mengenal Rabb-nya dan semakin dekat ia kepada Allah Ta’ala, akan semakin besar rasa takutnya kepada Allah.

f. Mengakui kebesaran Tuhan

Ketika salat pertama-tama yang dilakukan adalah takbir, yaitu mengucapkan ―Allahu Akbar‖. Ucapan ini sebagai ungkapan pengakuan bahwa tidak ada yang besar selain Allah. Semuanya lemah, semuanya rapuh, semuanya tak berdaya, kecuali Allah. Jika manusia telah mengakui kebesaran Allah, maka sebagai konsekuensinya adalah lebih mengutamakan perintah Allah daripada perintah yang lain dan lebih mengutamakan menjauhi larangan Allah daripada larangan yang lain.

B. Hakikat Novel

1. Pengertian Novel

(21)

berkembang di Inggris dan Amerika, sedangkan istilah roman berasal dari genre romance dari Abad Pertengahan yang merupakan cerita panjang tentang kepahlawanan dan percintaan. Istilah roman berkembang di Jerman, Belanda, Perancis, dan bagian Eropa daratan lain. Berdasarkan asal-usul istilah tersebut, perbedaan antara roman dan novel terletak pada bentuk, yaitu novel lebih pendek dibanding dengan roman, tetapi ukuran luasnya unsur cerita hampir sama.

Novel adalah jenis prosa yang mengandung unsur tokoh, latar rekaan yang menggelarkan kehidupan manusia atas dasar pendangan pengarang dan mengandung nilai hidup, diolah dengan teknik kisahan dan ragaan yang menjadi dasar konpensi penulisan.

14

Jassin dalam Nurgiyantoro mendefinisikan novel sebagai suatu cerita yang bermain dalam dunia manusia dan benda yang ada di sekitar kita, tidak mendalam, lebih banyak melukiskan satu saat dari kehidupan seseorang, dan lebih mengenai sesuatu episode.15 Pengertian novel menurut Sudjiman adalah prosa rekaan yang panjang, yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun.16 Novel cenderung bersifat meluas dan kompleks.

Dalam arti luas novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas. Ukuran yang luas dapat berarti cerita dengan plot (alur) yang kompleks, karakter yang banyak, tema yang kompleks, suasana cerita yang beragam, dan latar (setting) cerita yang beragam pula. Namun, ukuran luas ini pun tidak mutlak, bisa terjadi hanya salah satu unsur fiksi saja, misalnya tema, sedangkan karakter, latar, dan lain-lainnya bersifat tunggal. Sebagai bentuk sastra, novel (bahasa Jerman) adalah sebuah bentuk Dichtung; dan dalam bentuknya yang paling sempurna, novel merupakan epik modern.17 Ada juga yang beranggapan bahwa novel

14

A.R. Zaidan, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta:Balai Pustaka, 2004), h. 136. 15

Burhan Nurgiyantoro, op. cit.,h. 16 16

P. Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1998), h. 53 17

(22)

dianggap sebagai dokumen atau kasus sejarah, sebagai pengakuan (karena ditulis dengan sangat meyakinkan), sebagai sebuah cerita kejadian sebenarnya, sebagai sejarah hidup seseorang dan zamannya. Dengan demikian, novel merupakan cerita yang menampilkan suatu kejadian luar biasa pada kehidupan pelakunya yang menyebabkan perubahan sikap hidup atau menentukan nasibnya.

Novel merupakan salah satu karya sastra yang mengisahkan kehidupan manusia, dicirikan oleh adanya konflik-konflik yang akhirnya menyebabkan perubahan para tokohnya. Perubahan jalan hidup sang tokoh ini tidak harus selalu diakhiri keberhasilan, tetapi terkadang juga kegagalan.

Di samping beberapa pengertian di atas, ada juga yang mengatakan bahwa kata novel berasal dari kata Latin, yaitu noveltus yang diturunkan dari kata novies yang berarti baru. Dikatakan baru karena kalau dibandingkan dengan jenis sastra lainnya seperti puisi dan drama.18 Novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus.

Clara Reeve dalam Wellek dan Warren mengatakan novel adalah gambaran dari kehidupan dan perilaku yang nyata, dari zaman pada saat novel itu ditulis.19 Di samping itu pula, Abrams dalam Nurgiyantoro berpendapat bahwa novel merupakan cerita fiksi dalam bentuk tulisan atau kata-kata dan mempunyai unsur instrinsik dan ekstrinsik.20

Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja, juga bersifat imajinatif.21 Dalam Kamus Besar Bahasa

18

Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1985), h. 164.

19

Rene Wellek & Austin W., op. cit., h. 282. 20

Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 4. 21

(23)

Indonesia novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.22

Dengan kata lain, novel merupakan salah satu jenis dari karya sastra fiksi yang di dalamnya memaparkan suatu tema atau permasalahan dengan menghadirkan karakter tertentu. Dalam penggambaran permasalahan tersebut juga didukung oleh penggambaran latar dan situasi tertentu yang turut mempertegas pokok permasalahan yang ada. Pada intinya, penggambaran permasalahan tersebut bertujuan untuk menyampaikan pesan tertentu kepada pembaca.

2. Struktur Novel

Wellek dan Austin Warren mendefinisikan struktur karya sastra sebagai berikut: The work of structure includes contain and form as far it has the esthetical function. Artinya struktur karya sastra mencakup isi dan bentuk, sejauh mempunyai fungsi estetis. Struktur di dalam karya sastra bisa disejajarkan dengan faktor pembentuk karya sastra itu sendiri yaitu unsur intrinsik.23

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Unsur yang dimaksud adalah peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain.24

Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, unsur ekstrinsik ini secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Secara

22

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), Edisi IV, h. 783.

23

Rene Wellek & Austin W., op. cit., h. 159. 24

(24)

lebih khusus unsur ekstrinsik dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, tetapi tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Adapun yang termasuk unsur-unsur ekstrin yaitu unsur biografi, psikologi, masyarakat, dan pemikiran.25 Karangan berbentuk prosa, baru dikatakan bernilai sastra kalau memenuhi syarat-syarat literer tertentu yang tersirat dalam unsur intrinsik dan ekstrinsik dari karya prosa itu, jika syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi maka prosa itu tidak dapat dikatakan sebagai karya sastra.26

Menurut Stanton dalam Nurgiyantoro, unsur pembangun sebuah novel terdiri dari tiga bagian, yaitu fakta, tema, dan sarana cerita. Fakta cerita meliputi tokoh, alur, dan latar. Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Sarana cerita atau sarana kesastraan (literary divices) adalah teknik yang dipergunakan oleh pengarang untuk memilih dan menyusun detil-detil cerita (peristiwa dan kejadian) menjadi pola yang bermakna. Sarana sastra yang dimaksud antara lain berupa sudut pandang penceritaan, gaya (bahasa) dan nada, simbolisme, dan ironi.27

Berikut ini akan diuraikan secara detil mengenai unsur-unsur intrinsik yang terdapat di dalam novel. Pemahaman terhadap sebuah novel dapat dilakukan melalui pendekatan intrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan intrinsik adalah upaya memahami sebuah novel melalui unsur-unsur yang ada dalam novel itu. Sedangkan pendekatan ekstrinsik dilakukan melalui unsur-unsur atau aspek-aspek yang berada di luar novel itu tetapi banyak mempengaruhi proses penciptaan novel itu. Adapun unsur intrinsik sebuah novel dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Tema

Pembahasan mengenai makna yang terdapat di dalam sebuah karya sastra (novel), berarti sedang membicarakan mengenai tema. Tema berarti kandungan umum dari isi yang ada di dalam karya sastra tersebut atau juga disebut dengan ide dari cerita yang

25

Rene Wellek & Austin W., op. cit., h. 79-80. 26

M. Arsyad, dkk., Buku Materi Pokok Kesusastraan, (Jakarta: Karunika, 1986), h. 22. 27

(25)

dimaksud. Istilah tema menurut Scharbach dalam Aminuddin berasal dari bahasa Latin yang berarti “tempat meletakkan suatuperangkat”. Disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang

dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.28

Stanton dalam Nurgiyantoro mengartikan tema sebagai ‖makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian

besar unsurnya dengan cara yang sederhana‖.29

Tema menurutnya kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama (central idea) dan tujuan utama (central purpose). Sementara itu, Nurgiyantoro memandang tema sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum sebuah karya novel.30 Menurutnya gagasan dasar umum inilah yang tentunya telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita. Dengan kata lain, cerita tentunya akan

‖setia‖ mengikuti gagasan dasar umum yang telah ditetapkan

sebelumnya sehingga berbagai peristiwa atau konflik dan pemilihan berbagai unsur intrinsik yang lain seperti penokohan, pelataran, dan penyudutpandangan diusahakan mencerminkan gagasan dasar umum tersebut.

Nurgiyantoro mengelompokkan tema ke dalam tema utama (mayor) dan tema tambahan (minor). Tema mayor adalah makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu. Sedangkan tema minor adalah makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita.31

Berdasarkan perkembangan sejarahnya, tema menjadi ciri dari perkembangan karya sastra itu berkembang. Pada abad ke-18 misalnya terjadi pembagian klasik antara lirik, epik, dan dramatik. Tiga jenis sastra itu dikaitkan dengan beberapa tema yang memang

28

Aminuddin, Pengantar Apresiasi Sastra, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2002), h. 91. 29

Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 70. 30

Ibid. 31

(26)

penting bagi sejarah kebudayaan Eropa Barat. Di dalam lirik pengungkapan perasaan pribadi dipandang sebagai tema terpenting. Dalam drama perbuatan yang memuncak dalam sebuah konflik dianggap pokok, sedangkan dalam epik perbuatan dahsyat seorang leluhur yang menentukan nasib tokoh remaja keturunannya.32

Jadi, secara eksplisit, tema bisa dikatakan berfungsi atau berhubungan sebagai fungsi kultural yang berbeda-beda sesuai dengan perkembangan budaya yang berlangsung di dalam suatu peradaban tertentu. Tematik dari berbagai jenis sastra ini, pasti berubah dari zaman ke zaman dan menyesuaikan diri dengan perubahan dalam fungsi, keadaan, publik, dan medium.

Tema dalam banyak hal bersifat ―mengikat‖ kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa-konflik situasi tertentu, termasuk berbagai unsur intrinsik yang lain, karena hal-hal tersebut haruslah bersifat mendukung kejelasan tema yang ingin disampaikan.33 Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema mempunyai generalisasi yang umum, lebih luas, dan abstrak.

2. Alur (Plot)

Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, alur adalah struktur cerita.34 Selain itu, alur adalah rangkaian peristiwa yang satu sama lain dihubungkan dengan hukum sebab akibat. Artinya, peristiwa pertama menyebabkan peristiwa kedua, peristiwa kedua menyebabkan terjadinya peristiwa ketiga, dan demikian selanjutnya hingga pada dasarnya peristiwa terakhir ditentukan terjadinya peristiwa pertama.35

32

Van Jan Luxemburg, 1992. Pengantar Ilmu Sastra (diindonesiakan oleh Dick Hartoko), (Jakarta: PT Gramedia, 1992), h. 113-114.

33

Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 68. 34

Rene Wellek dan Austin Warren, op.cit., h. 280. 35

(27)

Kenny mengatakan bahwa alur merupakan peristiwa yang tidak bersifat sederhana, berdasarkan hubungan sebab-akibat yang ditampilkan pengarang dalam cerita.36

Berdasarkan beberapa pendapat tentang alur yang telah dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa alur terbentuk dari susunan gerak peristiwa-peristiwa yang terjadi akibat interaksi antartokoh. Peristiwa-peristiwa yang dapat membentuk alur itu ada dalam satu jalinan atau rangkaian yang berhubungan secara kausalitas dan berurutan secara logis dan kronologis menurut urutan waktu. Cerita dalam sebuah karya sastra apa pun, berkembang berdasarkan pengaturan alur yang dikembangkan oleh si pengarang. Pengaturan alur tersebut dimaksudkan sebagai pembangun dari cerita tersebut, artinya penahapan alur dapat memberikan efek estetik tertentu dalam sebuah cerita. Alur sebuah cerita bagaimana pun tentulah mengandung unsur urutan waktu, baik dikemukakan secara eksplisit maupun implisit.

Oleh karena itu, dalam sebuah cerita, sebuah teks naratif, tentulah ada awal kejadian, kejadian-kejadian berikutnya, dan barangkali ada pula akhirnya.37 Dengan demikian, tahapan-tahapan peristiwa tersebut tidak harus secara beraturan ditempatkan melainkan dapat terletak di bagian mana pun.

Berdasarkan deskripsi penahapan plot di atas, Nurgiyantoro membagi alur menjadi tiga bagian dalam penahapan plot:38 pertama,

Tahap Awal, tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Fungsi pokok tahap awal (atau: pembukaan) sebuah cerita adalah untuk memberikan informasi dan penjelasan seperlunya khususnya yang berkaitan dengan

36

W. Kenny, How to Analyze Fiction, (New York: Monarch Press, 1966), h. 14. 37

Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 141. 38

(28)

pelataran dan penokohan; kedua, Tahap Tengah, tahap tengah cerita yang dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian, menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. Konflik yang dikisahkan, dapat berupa konflik internal, konflik yang terjadi dalam diri seorang tokoh, konflik eksternal, konflik yang terjadi antartokoh cerita. Dalam tahap tengah inilah klimaks ditampilkan, yaitu ketika konflik (utama) telah mencapai titik intensitas tertinggi; dan ketiga, Tahap Akhir, tahap akhir sebuah cerita, atau dapat juga disebut sebagai tahap pelarian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Jadi, bagian ini berisi bagaimana kesudahan cerita, atau menyaran pada hal bagaimanakah akhir sebuah cerita.

Di samping beberapa penjelasan mengenai penahapan alur di atas, Aminuddin dalam Siswanto menjelaskan bahwa tahapan alur berawal dari pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan penyelesaian.39Pengenalan adalah tahap peristiwa dalam suatu cerita rekaan yang memperkenalkan tokoh-tokoh atau latar cerita. Konflik atau tikaian adalah ketegangan atau pertentangan antara dua kepentingan atau kekuatan dalam cerita rekaan. Pertentangan ini bisa terjadi dalam diri satu tokoh, antara dua tokoh, tokoh dan masyarakat, tokoh dan lingkungan alam, serta tokoh dan Tuhan. Bisa juga berbentuk konflik lahir dan batin. Komplikasi atau rumitan adalah bagian tengah alur cerita rekaan yang mengembangkan tikaian. Dalam tahap ini, konflik yang terjadi semakin tajam karena berbagai sebab dan kepentingan yang berbeda dari setiap tokoh. Klimaks

adalah bagian alur cerita rekaan yang melukiskan puncak ketegangan, terutama dipandang dari segi tanggapan emosional pembaca. Klimaks merupakan puncak rumitan, yang diikuti oleh krisis atau titik balik.

39

(29)

Peleraian adalah tahap peristiwa peristiwa yang terjadi menunjukkan perkembangan lakuan ke arah selesaian. Selesaian adalah tahap akhir suatu cerita. Dalam tahap ini semua masalah dapat diuraikan, kesalahpahaman dapat dijelaskan; rahasia dibuka.

Ada dua jenis selesaian, yaitu terbuka dan tertutup. Selesaian terbuka adalah bentuk selesaian yang diserahkan kepada pembaca, dan selesaian tertutup adalah bentuk selesaian yang diberikan oleh pengarang/sastrawan.

Keterangan mengenai penahapan plot di atas, merupakan perkembangan plot yang runtut dan kronologis. Penjelasan di atas sesuai dengan tahap-tahap pemplotan yang secara teoretis-konvensional. Namun pada kenyataannya, alur cerita sebuah karya, terutama novel, urutan kejadian yang ditampilkan pada umumnya tidak secara linear-kronologis. Di dalam karya novel, pada umumnya menampilkan cerita yang relatif panjang, klimaks yang dimunculkan mungkin saja lebih dari satu klimaks. Hal itu sejalan dengan kenyataan bahwa dalam sebuah novel sering dimunculkan lebih dari satu konflik. Masing-masing konflik tentunya membangun alur sendiri sehingga mereka akan sampai pada klimaks dan pelarian sendiri pula. Bahkan dengan hanya sebuah konflik utama dan dengan satu tokoh utama pun mungkin saja dapat dimunculkan lebih dari satu klimaks.40

3. Tokoh dan Penokohan

Tokoh atau penokohan adalah salah satu unsur yang terpenting dalam cerita. Kehadiran tokoh ikut menentukan apakah ia mempunyai peran baik atau buruk, yaitu sebagai tokoh yang dipuja atau dipuji (protagonis). Konflik yang mendasari plot cerita merupakan konflik jiwa protagonisnya. Kejadian cerita berpusat pada konflik watak tokoh utamanya.

40

(30)

Di dalam sebuah karya fiksi, istilah tokoh merujuk pada pelaku yang ada dalam cerita tersebut. Istilah tokoh dalam sebuah cerita, menunjuk pada penempatan atau pelukisan gambaran tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu. Tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam karya sastra yang sifatnya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan tindakan.41 Dari pendapat Abrams tersebut sudah sangat jelas bagi kita bahwa pengertian ‗Tokoh’ merujuk pada orangnya (pelaku cerita).

Istilah ‗penokohan’ mempunyai pengertian yang lebih luas daripada pengertian ‗tokoh’. Nurgiyantoro mengatakan bahwa penokohan menyangkut masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, bagaimana penempatan dan pelukisnya dalam cerita sehingga mampu memberikan gambaran yang jelas bagi pembaca.42 Dengan demikian, Nurgiyantoro lebih lanjut lagi menjelaskan bahwa

’penokohan’ lebih luas pengertiannya daripada ’tokoh’ dan

’perwatakan’ sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.

Tokoh cerita dalam sebuah cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Tokoh kalau dilihat secara gamblang, merupakan gambaran umum dari kehidupan manusia itu sendiri yang terdiri atas darah dan daging, yang mempunyai pikiran dan perasaan.

41

M. H. Abrams, A Glosaary of Literaty Terms, (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1981), h. 20.

42

(31)

Nurgiyantoro membedakan tokoh ke dalam beberapa kriteria.43 Dilihat dari fungsi penampilan, tokoh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Tokoh protagonis

Tokoh ini merupakan tokoh yang menampilkan sesuatu yang sesuai dengan padangan pembaca.

b. Tokoh antagonis

Tokoh antagonis merupakan tokoh penyebab terjadinya konflik. Biasanya beroposisi dengan tokoh protagonis, secara langsung maupun tidak langsung.

Berdasarkan perwatakannya, tokoh dapat dibedakan ke dalam dua bagian, yaitu:

a. Tokoh sederhana

Tokoh sederhana merupakan tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja. Sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu.

b. Tokoh bulat

Tokoh bulat adalah tokoh yang menampilkan watak lebih dari satu. Tokoh bulat mudah dibedakan dengan tokoh lain dalam sebuah cerita. Selain itu, tokoh bulat sering memberikan kejutan-kejutan karena muncul watak tidak terduga secara mendadak.

Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan, tokoh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Tokoh statis

Tokoh jenis ini tampak seperti kurang terlibat dan tidak berpengaruh oleh adanya perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi karena adanya hubungan antarmanusia. Tokoh statis memiliki sifat dan watak yang relatif tetap, tidak berkembang, sejak awal sampai akhir cerita.

43

(32)

b. Tokoh berkembang

Tokoh berkembang merupakan tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan dan perubahan peristiwa dan alur yang dikisahkan.

4. Latar

Latar dapat berarti sebagai landas tumpu yang menyaran pada pengertian tempat, waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.44 Nurgiyantoro mengatakan bahwa latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas yang sangat penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.45 Rusyana mengatakan bahwa latar berfungsi untuk menunjukkan tempat kejadian dan untuk memberikan kemiripan kenyataan dalam hal menimbulkan kesungguhan.46 Dengan demikian dapat disimpulkan latar adalah tempat atau waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sebuah karya sastra.

Stanton dalam Nurgiyantoro mengelompokkan latar bersama dengan tokoh dan plot ke dalam fakta (cerita), sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi. Ketiga hal inilah yang secara konkret dan langsung membentuk cerita: tokoh cerita adalah pelaku dan penderita kejadian-kejadian yang bersebab-akibat, dan itu perlu pijakan, di mana dan kapan.47

Menurut Nurgiyantoro latar dalam cerita dapat dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial.48

44

M. H. Abrams, op. cit., h. 175. 45

Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 217. 46

Yus Rusyana, Metode Pengajaran Sastra, (Bandung: Gunung Larang, 1982), h. 48. 47

Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 216 48

(33)

Dijelaskan bahwa latar tempat adalah latar menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah cerita. Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat dengan nama-nama tertentu, inisial tertentu, atau mungkin lokasi tertentu tanpa nama yang jelas. Latar waktu berhubungan dengan ‗kapan’ terjadinya peristiwa-peristiwa di dalam cerita. Malahan ‗kapan’ tersebut bisaanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya dengan peristiwa sejarah. Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam cerita.

5. Sudut Pandang

Sudut pandang pada dasarnya adalah visi pengarang, artinya sudut pandang yang diambil oleh pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita.49 Menurut Sudjiman dalam Jauhari, sudut pandang (point of view) adalah posisi pencerita dalam membawakan kisahan. Posisi pengarang dalam mengisahkan cerita tidak terpaku dalam satu sudut saja tetapi boleh jadi berada di luarnya (sebagai dia).50

Aminuddin menjelaskan bahwa titik pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya.51 Sudut pandang (point of view) dapat dipahami sebagai cara sebuah cerita dikisahkan. Abrams dalam Nurginatoro mengemukakan:

Sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana menampilkan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah teks fiksi kepada pembaca. Jadi, sudut pandang pada hakikatnya adalah sebuah cara, strategi, atau siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengungkapkan cerita dan gagasannya. Pemilihan sudut pandang dalam sebuah cerita fiksi dalam banyak hal akan

49

Hari Jauhari, op. cit., h. 54. 50

Ibid. 51

(34)

mempengaruhi kebebasan, ketajaman, dan keobjektifan dalam bercerita, dan itu juga berarti mempengaruhi kadar plausibilitas dan atau kemasukalakan cerita.52

Menurut Tarigan ada beberapa jenis sudut pandang atau pusat narasi, yaitu:53 pertama, tokoh utama dapat menceritakan ceritanya sendiri. Dalam hal ini pusat tokoh identik dengan pusat narasi. Kedua, cerita itu dapat disalurkan oleh seorang peninjau yang merupakan seorang partisipan dalam cerita itu. Ketiga, observer author, di mana pengarang cerita bertindak sebagai peninjau saja. Keempat, cerita itu dapat dituturkan oleh pengarang sebagai orang ketiga atau omniscient outhor.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sudut pandang adalah cara yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh dalam mengisahkan sebuah cerita.

6. Gaya Bahasa

Sudjiman menyatakan bahwa sesungguhnya gaya bahasa dapat digunakan dalam segala ragam bahasa baik ragam lisan, tulis, nonsastra, dan ragam sastra, karena gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh orang tertentu untuk maksud tertentu.54 Akan tetapi, secara tradisional gaya bahasa selalu ditautkan dengan teks sastra, khususnya teks sastra tertulis. Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas dan citraan, pola rima, matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra.

Jorgense dan Phillips dalam Ratna mengatakan bahwa gaya bahasa bukan sekadar saluran, tetapi alat yang menggerakkan

52 Nurgiantoro, op. cit., h. 269. 53

Henry Guntur Tarigan, op. cit., h. 138-139. 54

(35)

sekaligus menyusun kembali dunia sosial itu sendiri.55 Lebih jauh menurut Simpson dalam Ratna gaya bahasa baik bagi penulis maupun pembaca berfungsi untuk mengeksplorasi kemampuan bahasa khususnya bahasa yang digunakan.56 Stilistika dengan demikian memperkaya cara berpikir, cara pemahaman, dan cara perolehan terhadap substansi kultural pada umumnya.

Retorika merupakan penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis yang diperoleh melalui kreativitas pengungkapan bahasa, yaitu bagaimana seorang pengarang menyiasati bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasannya. Pengungkapan bahasa dalam sastra mencerminkan sikap dan perasaan pengarang yang dapat digunakan untuk mempengaruhi sikap dan perasaan pembaca. Untuk itu, bentuk pengungkapan bahasa harus efektif dan mampu mendukung gagasan secara tepat yang memiliki segi estetis sebagai sebuah karya. Kekhasan, ketepatan, dan kebaruan pemilihan bentuk-bentuk pengungkapan yang berasal dari imajinasi dan kreatifitas pengarang dalam pengungkapan bahasa dan gagasan sangat menentukan keefektifan wacana atau karya yang dihasilkan. Hal ini bisa dikatakan bahwa bahasa akan menentukan nilai kesastraan yang akan diciptakan.

Karya sastra adalah sebuah wacana yang memiliki kekhasan tersendiri. Seorang pengarang dengan kreativitasnya mampu mengekspresikan gagasannya dengan menggunakan bahasa dengan memanfaatkan semua media yang ada dalam bahasa. Gaya berbahasa dan cara pandang seorang pegarang dalam memanfaatkan dan menggunakan bahasa tidak akan sama satu sama lain dan tidak dapat ditiru oleh pengarang lain karena hal ini sudah menjadi bagian dari pribadi seorang pengarang. Kalaupun ada yang meniru pasti akan dapat ditelusuri sejauh mana persamaan atau perbedaan antara karya

55

Nyoman Kutha Ratna, Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 84.

(36)

yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat diketahui mana karya yang hanya sebuah jiplakan atau imitasi.

7. Amanat

Setiap orang yang melakukan kegiatan pasti mempunyai tujuan tertentu. Begitu juga dengan pengarang yang mencurahkan ide, perasaan, pikiran, dan emosinya dalam membuat suatu karya sastra. Pengarang membuat cerita biasanya karena dia mempunyai sesuatu yang ingin disampaikan kepada pembaca. Sesuatu itu ada yang disampaikan secara langsung (tersurat) atau secara eksplisit, dan ada yang secara tidak langssung (tersirat) atau secara implicit. Sesuatu itu yakni pesan yang dinamakan amanat.57

Dalam hal ini Rusyana dalam Jauhari berpendapat bahwa amanat merupakan endapan renungan yang disajikan kembali oleh pembaca. Endapan renungan tersebut merupakan hasil pikiran pengarang tentang hidup dan kehidupan yang dituangkan dalam bentuk karya sastra.58 Menurut Harimurti dalam Jauhari bahwa amanat adalah keseluruhan makna atau isi wacana, konsep, dan perasaan yang hendak disampaikan pembicara untuk dimengerti dan diterima pendengar. 59

Amanat yang disampaikan oleh pengarang lewat karyanya bergantung pada pandangan hidup, filsafat, pekerjaan, dan cita-cita pengarang tersebut. Karena menurut Sumardjo dan Saini karya sastra adalah sebuah usaha merekam isi jiwa sastrawannya. Rekaman ini menggunakan alat bahasa. Sastra adalah bentuk rekaman dengan bahasa yang akan disampaikan kepada orang lain.60

Dengan demikian amanat dapat disimpulkan sebagai makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra yang dapat memberikan

57

Hari Jauhari, op. cit., h. 55. 58

Ibid. 59

Ibid. 60

(37)

tambahan pengetahuan, pendidikan, dan sesuatu yang bermakna dalam hidup.

C. Hakikat Pembelajaran Sastra

Pembelajaran adalah penguasaan atau pemerolehan pengetahuan tentang suatu objek atau sebuah keterampilan dengan belajar, pengalaman, atau instruksi. Pengajaran tidak bisa didefinisikan terpisah dari pembelajaran. Pengajaran adalah memandu dan memfasilitasi pembelajaran, memungkinkan pembelajar untuk belajar, menetapkan kondisi-kondisi pembelajaran. Dengan adanya pengajaran sastra diharapkan dapat membantu pendidikan secara utuh yang meliputi empat manfaat, yaitu membantu dalam keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya,mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.61

Dalam kurikulum 2004, tujuan pembelajaran mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bidang sastra terbagi menjadi dua, yaitu: (1) agar peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadiannya, memperluas wawasan di dalam kehidupan, serta untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; (2) agar peserta didik dapat menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

Pembelajaran sastra yang dilaksanakan dengan baik, niscaya akan memberikan kontribusi yang bermakna bagi proses pendidikan dalam keseluruhannya, yang juga dapat berarti bahwa dalam bahasa positivisme, terdapat korelasi positif antara pembelajaran sastra dan pembelajaran bidang studi lainnya.

Ada sejumlah hal yang dapat diidentifikasikan agar pembelajaran sastra benar-benar dapat membuktikan ―korelasi positif‖-nya dengan bidang studi lain.62 Pertama, pembelajaran sastra harus dilaksanakan secara kreatif.

Kedua, bahan-bahan yang diberikan kepada siswa hendaknya merupakan

61

B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 16. 62

(38)

karya-karya yang dipradugakan dapat membuat mereka menjadi lebih kritis, menjadi lebih peka terhadap beragam situasi kehidupan. Di samping kedua hal tersebut, guru hendaknya selalu menyadari bahwa sastra sebagai bahan pembelajaran hanyalah sekadar sarana untuk mengantarkan para siswa meniti jenjang kedewasaan.

Pembelajaran sastra ditujukan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menikmati, menghayati, dan memahami karya sastra serta mengambil hikmat atas nilai-nilai luhur yang terselubung di dalamnya. Pengetahuan tentang sastra hanyalah sebagai penunjang dalam mengapresiasi karya sastra. Kalau pembelajaran sastra sudah dilakukan sesuai dengan pedoman yang ada dalam kurikulum, diharapkan keluhan-keluhan tentang kurang berhasilnya pembelajaran sastra di sekolah dapat berkurang. Namun demikian, walaupun telah beberapa kali berganti kurikulum baru, pembelajaran sastra di sekolah menengah sampai sekarang masih belum dapat dilaksanakan secara maksimal sehingga lulusan yang dihasilkan belum sepenuhnya mencerminkan tujuan pembelajaran tersebut.

Pembelajaran sastra yang dilakukan di sekolah-sekolah kita saat ini sebagian besar baru pada pengembangan pengetahuan tentang sastra, belum sampai pada pentransferan nilai-nilai yang ada dalam karya sastra. Karya sastra belum dibaca dan dibahas secara tuntas, belum menjadi bahan diskusi dan pembahasan bagi siswa dan guru sehingga belum terjadi pentransferan nilai-nilai yang ada dalam karya sastra tersebut.

(39)

menuju pembelajaran sastra yang berorientasi kepada siswa atau peserta didik.

D. Penelitian yang Relevan

Adapun novel Opera Van Gontor ini sudah pernah diteliti sebelumnya oleh Imron Sukanto mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto pada

tahun 2012 dengan judul ―Nilai-Nilai Edukatif dalam Novel Opera Van

Gontor Karya Amroeh Adiwijaya‖ yang mengambil fokus nilai edukatif dalam novel Opera Van Gontor karya Amroeh Adiwijaya. Imron Sukanto lebih menekankan kepada nilai-nilai edukatif yang tergambar dalam novel Opera Van Gontor ini meliputi nilai kejujuran, disiplin, suka menolong, bekerja keras tanggung jawab, optimis, berbakti pada orang tua, suka memberi nasihat dan dermawan.

Selain itu, penelitian yang sesuai dengan penelitian sebelumnya yakni penelitian yang ditulis oleh Helliyatun mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta pada tahun 2009 dengan judul ―Nilai-Nilai Religius dalam Novel

Hafalan Sholat Delisa Karya Tere-Liye dan Relevansinya terhadap

Pendidikan Agama Islam”. Dalam hal ini peneliti mengungkapkan tentang isi atau nilai-nilai religius yang ada dalam novel Hafalan Shalat Delisa, kemudian menafsirkan relevansinya dengan Pendidikan Agama Islam. Hasil penelitiannya menunjukkan: Nilai-nilai religius yang terkandung dalam novel

(40)

sesama (memberi salam dan saling tolong menolong) dan akhlak terhadap anak yatim.

Penelitian selanjutnya, penelitian yang ditulis oleh Hildawati mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2012 dengan judul ―Nilai Religiusitas Islam dalam Novel Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja

dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra‖. Penelitian ini bertujuan

mengungkapkan tentang isi atau nilai-nilai religiusitas yang ada dalam novel

Atheis, kemudian menafsirkan implikasinya terhadap pembelajaran sastra. Nilai-nilai religiusitas yang terkandung dalam novel Atheis, terdiri dari aspek aqidah (tauhid), aspek ibadah (ritual), aspek ihsan (penghayatan), aspek ilmu (pengetahuan), dan aspek amal (akhlak).

(41)

32

A. Metode Penelitian

Metode manyangkut masalah atau cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.1 Dalam penelitian, objeklah yang menentukan metode yang akan digunakan. Sebuah metode dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan objek studi.2 Sukmadinata menyebutkan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian yang mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok.3 Penelitian ini berusaha menggambarkan data dengan kata-kata atau kalimat yang dibedakan menurut unsur-unsur/ bagian-bagian tertentu untuk memperoleh simpulan.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian analisis isi (content analysis). Metode ini merupakan salah satu metode dalam ilmu sosial yang digunakan untuk mempelajari dan mengungkapkan arti yang lebih dalam sertaproses-proses dinamis di belakang komponen isi suatu karya sastra atau naskah tertentu. Dengan menggunakan metode ini, peneliti menginterpretasikan dan berusaha memahami isi pesan maupun gagasan utama yang terkandung di dalamnovel yang dikaji.

Kaitannya dengan kajian religius, Ratna mengemukakan beberapa tahapan model analisis isi (content analysis) sebagai berikut.4 Pertama, tentukan objek yang akan dianalisis. Dalam hal ini, objek dalam penelitian ini adalah mengenai nilai-nilai religius yang ada dalam novel Opera Van Gontor

karya Amroeh Adiwijaya. Kedua, objek dianalisis secara sistematis. Untuk mencapai sistematika yang memadai, penelitian ini dilakukan melalui

1

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1977), h. 16.

2 Ibid. 3

Nana S. Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja, 2010), h. 60. 4

(42)

beberapa tahapan yang terukur. Ketiga, analisis dilakukan dengan menggunakan relevansi teori-teori tersebut. Dalam penelitian ini, terdapat saling keterkaitan antara teori-teori religius, sastra, dan teori-teori pembelajaran. Keempat, keseluruhan data perlu dikaitkan dan dicarikan konteksnya dengan berbagai disiplin yang relevan. Kelima, menemukan ‗temuan’, baik berupa sesuatu yang belum ada sebelumnya maupun berupa teori.

Dalam mengkaji sebuah karya sastra digunakan beberapa pendekatan diantaranya pendekatan objektif, pendekatan mimetik, pendekatan ekspresif, dan pendekatan pragmatik. Diantara keempat pendekatan di atas, penulis menggunakan pendekatan objektif untuk menganalisis novel Opera Van Gontor ini. Pendekatan objektif adalah pendekatan yang menitikberatkan kepada teks karya sastra itu sendiri.

B. Objek Penelitian

Skripsi ini menggunakan objek penelitian berupa novel Opera Van Gontor karya Amroeh Adiwijaya dengan mengkaji aspek religius yang ada dalam novel tersebut.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data menggunakan studi dokumentasi atau kajian kepustakaan (library research), dalam hal ini kajian terhadap teks novel Opera Van Gontor karya Amroeh Adiwijaya. Novel ini menjadi sumber data utama atau sumber primer dalam penelitian ini. Secara hermeneutis, kajian kepustakaan ini dilakukan dengan penghayatan secara langsung dan pemahaman arti secara rasional. Untuk melaksanakan hal tersebut, dikembangkan rambu-rambu studi dokumentasi yang berfungsi sebagai instrument penelitian. Teknik studi dokumentasi direalisasikan atau diterapkan dengan tiga langkah berikut ini.

(43)

dimaksudkan untuk memahami dan memiliki kembali makna yang terdapat di dalam sumber data.

2. Peneliti membaca secara berkesinambungan dan berulang-ulang sumber data dalam novel Opera Van Gontor karya Amroeh Adiwijaya.

3. Peneliti membaca sekali lagi sumber data untuk memberi tanda bagian-bagian teks novel Opera Van Gontor karya Amroeh Adiwijaya yang diangkat menjadi data dan dianalisis lebih lanjut. Penandaan ini disesuaikan dengan sumber data.

D. Langkah-langkah Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan teknik pembacaan secara holistik atau terpadu dan menyeluruh terhadap sumber data yang berbentuk novel. Disamping itu pula dilakukan melalui teknik pembacaan retroaktif atau hermeneutik, yaitu pembacaan bolak-balik sebagaimana yang terjadi pada metode hermeneutik untuk menangkap maknanya (setelah sumber data yang berbentuk novel/teks novel tersebut dibaca, kemudian hasil pembacaan tersebut dijadikan dasar untuk pengklasifikasian dan pengelompokkan data berdasarkan unsur-unsur/ bagian-bagian tertentu sesuai tujuan penelitian.

Adapun teknik/ langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Memilih dan menentukan novel yang akan diteliti. Dalam penelitian ini adalah novel Opera Van Gontor karya Amroeh Adiwijaya.

2. Membaca, menelaah dan memahami struktur novel dan nilai-nilai religius yang terdapat dalam novel.

3. Mencatat data berupa kata, frasa, kalimat, ungkapan, pernyataan, dan lain-lain yang berkaitan dengan struktur dan nilai-nilai religius yang terdapat dalam novel.

4. Mengelompokkan data atau mengklasifikasikan data berdasarkan struktur dan nilai-nilai religius yang terdapat dalam novel.

(44)

6. Menganalisis data berdasarkan struktur dan nilai-nilai religius yang terdapat dalam novel.

7. Memahami teks berdasarkan nilai-nilai religius dalam Opera Van Gontor

karya Amroeh Adiwijaya.

8. Menyimpulkan hasil analisis struktur dan nilai-nilai religius yang terdapat dalam novel.

9. Melaporkan hasil penelitian.

E. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data bertujuan untuk mengungkapkan proses pengorganisasian dan pengurutan data tentang struktur dan nilai-nilai religius yang terdapat dalam novel yang berjudul Opera Van Gontor karya Amroeh Adiwijaya ke dalam pola kategori dan satuan uraian sehingga pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan tentang struktur dan nilai-nilai religius yang dilengkapi dengan data pendukung.

Setelah data terkumpul secara keseluruhan, kemudian data diklasifikasikan, dideskripsikan, dianalisis berdasarkan masalah penelitian. Secara rinci teknik analisis data adalah seperti berikut ini.

1. Membaca secara kritis dan mendalam novel yang dijadikan sampel.

2. Data dikelompokkan atau diklasifikasi berdasarkan masalah penelitian, yaitu berdasarkan struktur novel (tema, cerita, plot, latar, tokoh/ penokohan, sudut pandang, bahasa, dan gaya bahasa), nilai-nilai religius yang terdapat dalam karya sastra, dalam hal ini novel.

3. Mendeskripsikan struktur novel, dan nilai-nilai religius yang terdapat dalam novel.

4. Menganalisis struktur novel, menganalisis nilai-nilai religius yang terdapat dalam novel.

(45)

36

A. Biografi Amroeh Adiwijaya

H. Amroeh Adiwijaya dilahirkan di Gresik, 6 Juni 1958, dari orang tua, Hj. Mafazah (ibu) dan H. Rifai Malik (ayah). Beristrikan Hj. Ika Ariroza, S.E. (ibu rumah tangga, mantan karyawati Bank Lippo) dan dikaruniai dua putri: Rana Amira dan Adila Haira. Pekerjaannya adalah pengusaha kulit di Gresik sejak 1995.

Menempuh Sekolah Dasar di MI Maskumambang, Dukun Gresik, tamat tahun 1969. KMI (setingkat SLTP-SLTA) di Pondok Modern Gontor, tamat tahun 1975. Mengikuti Jambore Nasional Gerakan Pramuka di Sibolangit Medan tahun 1977. Setelah itu, ia melanjutkan perguruan tinggi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tamat tahun 1985.

Pengalaman organisasinya begitu luas. Semasa mahasiswa, ia pernah menjadi Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BPM-FHUI) tahun 1982-1983, Ketua Umum Senat Mahasiswa (SM) FHUI. Tahun 1983-1985, menjabat Koordinator Senat Mahasiswa se-UI tahun 1984 dan mewakili organisasi kemahasiswaan se-UI mengunjungi Universitas Negeri di ASEAN (1982).

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa novel Sang Pencerah mengandung nilai moral, yaitu 1) nilai moral terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang ditunjukkan dengan beriman,

Hasil peneitian ini menunjukkan bahwa nilai-nilai pendidikan karakter dalam novel Pak Guru karya Awang Surya terdiri atas nilai-nilai perilaku yang berhubungan

Hasil penelitian ini sebagai berikut: (1) Struktur novel Kenanga meliputi tema, tokoh dan penokohan, latar, alur, dan amanat; (2) Ketidakadilan gender dalam

AKU, DAN SEPUCUK ANGPAU MERAH KARYA TERE LIYE SERTA. RELEVANSINYA DALAM PEMBELAJARAN

Dengan kata lain, pembaca tidak perlu merujuk pada data di luar novel, karena segala perihal tokoh sudah dapat diketahui dari data yang ada dalam novel tersebut. Dari

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur yang membangun novel Orang Miskin Dilarang Sekolah , nilai pendidikan moral para tokoh, dan

Nilai pendidikan karakter yang berkaitan dengan Nasionalis dapat.. 36 ditelusuri melalui indikator sikap dan perilaku berpikir, bertindak, dan berwawasan yang

Oleh karena itu, berdasarkan penjabaran di atas, maka penyusun akan membuat penelitian yang berjudul Gaya Bahasa dalam Novel Emak karya Daoed Joesoef dan