LAMPIRAN
Lampiran 1.Tabel. Analisis Sidik Ragam Konsumsi Bahan Kering analisis sidik ragam
Lampiran 4.Tabel. Analisis Sidik Ragam Kecernaan Bahan Organik
Analisis Sidik Ragam Kecernaan Bahan Kering (SAS System)
B 51.487 4 P2
NOTE: This desd condrols dhe Type I comparisonwise error rade, nod dhe experimendwise error rade.
NOTE: This desd condrols dhe Type I experimendwise error rade, bud id generally has a higher Type II
1 -0.9732
NOTE: To ensure overall prodecdion level, only probabilidies associaded widh pre-planned comparisons
Analisis Sidik Ragam Kecernaan Bahan Kering (SAS System) Thursday, Ocdober 5, 2015 13
The GLM Procedure Class Level Informadion Class Levels
Alpha
Duncan Grouping Mean N
NOTE: This desd condrols dhe Type I experimendwise error rade, bud id generally has a higher Type II
Lampiran 6. Pertumbuhan Bobot Badan Sapi(kg)
SAPI PERIODE/BULAN/MINGGU
I II III IV
BBa BBak BBa BBak BBa BBak BBa BBak
1 100 108 111 117 122 129 131 136
2 88 95 99 104 108 114 117 124
3 105 111 114 118 123 131 132 141
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.A.N., R.R Noor, H. Martojo. D.D. Solihin, dan E. Handiwirawan, 2006. Keragaman Fenotipik Sapi Aceh di NanggroeAceh Darussalam.
Anggorodi, R. 1984. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia, Jakarta.
__________. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia. Jakarta.
__________. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia. Jakarta.
AOAC, 1990. Official Methods of Analysis of the AOAC. AOAC Inc, Arlington, Virginia
Balai Penelian Ternak, 2003. Perkebunan kelapa Sawit dapat Menjadi Basis Pengembangan Sapi Potong. Bogor.
Bamualim, A.1988. Prosedur dan Parameter dalam Penelitian Pakan Ternak Ruminansia dalam Prinsip Produksi dan Penelitian Peternakan, Kupang.
Basya, S. 1981. Penggunaan dan Pemberian Urea sebagai Bahan Makanan Ternak. Lembaran LPP XI (2-4).
Batubara, L. P., M. Boer dan S. Elieser. 1993. Pemberian BIS/Molasses dengan/Tanpa Mineral Dalam Ransum Kerbau. Jurnal Penelitian Peternakan Sungai Putih. Vol 1 Nomor 3 Hal 11.
Blakely, J. dan D. H. Bade. 1992. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh B. Srigandono).
Crurch, D.C and W.E Pond. 1998. Basic Animal Nutrition and Feeding, 3rd ed. John Willy and Sons, Inc. United Status of America.
Doeschate R. A. H. M., C. W. Scheele., V. V. A. M Schreurs dan J.D Vander Klis. 1993. Digestibility. Studies in Broiler Chickens. Influence of Genotype, Age, Sex and Methode of Determination, British Poultry Science.
Dahlanuddin D. V., J.B Tien, Liang and D. B Adams, 2003. An exploration of risk factor for Bovine Spongiform enceplolopathy in Ruminant Production System in the Tropics. Rev. Sci. Tech.of Int. Epiz 22 : 271-281.
Ernawati. 1995. Pembakuan Teknik Amoniasi Pakan Serat dengan Urea Berdasarkan Sifat Fisik, Komposisi Kimia, dan Fermentabilitasnya (Skripsi). Bogor : Institut Pertanian Bogor. Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak.
Jalaludin, S., Y.W. Ho, N. Abdullah, and H.Kudo. 1991. Strategies for animal improvement in Southeast Asia. In Utilization of Feed Resources in Re-lation to Utilization and Physiology of Ruminants in the Tropics. Trop.Agric. Res.
Kariyasa, K. 2005. Sistem Integrasi Tanaman Ternak dalam Perspekti Reorientasi.
Kartadisastra, H. R., 1997. Penyediaan dan Pengolahan Pakan Ternak Ruminansia. Kanisius, Yogyakarta.
Kebijakan Subsidi Pupuk dan Peningkatan Pendapatan Petani. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian 3(1): 68−80.
Laboratorium Ilmu Makanan Ternak. 2000. Departemen Peternakan FP USU, Medan.
Laboratorium Ilmu Makanan Ternak. 2000. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Lassiter, J. W. and H. P. M Edward. 1982. Animal Nutrition. Reston Publishing Comp. Inc., Virginia.
Lubis, D.A. 1993. Ilmu Makanan Ternak. Jakarta, Pembangunan.
Maynard., L.A. dan Loosli., J.K.1962. Animal Nutrition. McGraw-Hill Book Company,Inc.
McDonald, P., R. Edwards and J. Greenhalgh. 2002. Animal Nutrition. 6th Edition.New York.
Murtidjo, B.A. 1993. Memelihara Domba. Kanisius, Yogyakarta
.
Osuji P O, Nsahlai I V and Khalili H. 1993. Feed evaluation. ILCA Manual 5. ILCA (International Livestock Centre for Africa), Addis Ababa, Ethiopia.
Parakkasi, A. 1995. Ilmu Makanan dan Ternak Ruminant. UI Press. Jakarta.
Prawirokusumo, S. 1994,Ilmu Usaha Tani, BPFE, Yogyakarta.
Ranjhan, S.K. and N.N, Pathak. 1979. Management and Feeding of Buffaloes. Vikas Publishing House PVT LTD. New Delhi.
Sarwono P., 1996. Ilmu Kandungan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiro Hardjo, Jakarta
.
Seiffert, G. W. 1978. Simulated Selection for Reproductive Rate in Beef Cattle. J. Anim. Sci. 61 : 402 - 409.
Sembiring, S. 2006. Pemanfaatan Jasad Renik dalam Pengelolaan Hasil Samping Produk Pertanian. Berita LIPI 18 (40:1-11).
Setiadi, B dan I. Inounu, 1991. Beternak Kambing dan Domba Sebagai Ternak Potong. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
Sutardi, T. 1980. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Sutardi, T. 1980. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Thalib, C. 2001. Pengembangan sistem perbibitan sapi potong nasional. Wartazoa.
Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosukojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Tillman, A. D., S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, H. Hartadi dan S. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Tomaszewska, M. W., T. D. Chaniago and I.K. Sutama. 1988. Reproduction in Relation to Animal Production in Indonesia. Institut Pertanian Bogor -Australia Project. Bogor.
Trikesowo, N., Sumardi dan Suyadi. 1993. Kebijakan Riset di Bidang Pengembangan dan Perbaikan Mutu Sapi Potong dengan Teknik Ladang Ternak dan feedlot. Forum Komunikasi Hasil Penelitian Bidang Peternakan, Yogyakarta.
Turner, H.L. 1977. The Tropical Adaptation of Beef Cattle an Australian Study. In Animal Breeding : Selected Articles from The Word.anim.Rev.FAO Animal Production and Health Paper 1:92-97.
Warta Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, 2003. Perkebunan kelapa sawit Dapat Menjadi Basis Penngembangan Sapi Potong. www.pustakabogor.net.
Wahyono, D. E. dan R. Hardianto. 2004. Pemanfaatan Sumber Daya Pakan Lokal Untuk Pengembangan Usaha Sapi Potong. Jurnal Lokakarya Sapi Potong. Grati, Pasuruan.
Widayati. E. dan Y. Widalestari. 1996. Limbah Untuk Pakan Ternak. Trubus Agrisorana, Surabaya.
Wodzicka-Tomaszewska, M., T.D. Chaniago and I.K. Sutama. 1988. Reproduction in Relation to Animal Production in Indonesia. Institut Pertanian Bogor-Australia Project. Bogor.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak dan Laboratorium Bahan Pakan Ternak dan Formula Ransum Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera. Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan dimulai dari bulan Maret 2015 sampai dengan bulan Juni 2015.
Bahan dan Alat Penelitiaan Bahan
Sapi Aceh yang digunakan sebagai objek penelitian sebanyak 4 ekor dengan rataan bobot badan 96±8 kg.Bahan pakan yang diberikan terdiri atas pelepah kelapa sawit, bungkil initi sawit, biomol, molasses, dedak, ultra mineral, garam, dan urea. Obat-obatan seperti obat cacing wormzol-B, rodalon sebagai desinfektan dan vitamin B-kompleks sebagai suplemen tambahan. Air minum diberi secara ad libitum.
Alat
Alat yang digunakan adalah kandang individu 4 unit berukuran 2,5m x 1,5m/ekor beserta perlengkapannya, tempat pakan sebagai wadah pakan.
Timbangan duduk kapasitas 500 kg sebagai alat untuk menimbang bobot sapi. Timbangan dengan kapasitas 10 kg sebagai alat menimbang bahan pakan. Pisau, plastik, ember, alat tulis, buku data dan kalkulator. Terpal dengan ukuran 3 x 6 m sebanyak 4 buah sebagai penutup dinding ruangan.Kereta sorong sebagai alat pengangkut bahan pakan, lampu sebagai alat untuk penerang kandang.
Metode Penelitian
P0 = Pelepah Kelapa Sawit Terolah secara fisik
P1 = Pelepah Kelapa Sawit Terolah secara Biologi (Fermentasi)
P2 = Pelepah Kelapa Sawit Terolah secara Kimiawi (Amoniasi)
P3 = Pelepah Kelapa Sawit Terolah secara Fisik + Fermentasi + Amoniasi
S0 = Sapi pertama
S1 = Sapi Kedua
S2 = Sapi Ketiga
S3 = Sapi Keempat
Acak menurut baris : Acak menurut kolom
Sehingga kombinasi perlakuan yang dihasilkan adalah sebagai berikut :
S2P2 S3P3 S1P1 S0P0
S3P3 S1P1 S0P0 S2P2
S1P1 S0P0 S2P2 S3P3
S1P1 S2P2 S0P0 S3P3
S0P0 S3P3 S2P2 S1P1
S3P3 S0P0 S1P1 S2P2
S2P2 S1P1 S3P3 S0P0
S0P0 S1P1 S2P2 S3P3
S1P1 S2P2 S3P3 S0P0
S2P2 S3P3 S0P0 S1P1
S0P0 S2P2 S3P3 S1P1
Model matematika yang digunakan adalah:
Y
ijk = µ + Ti+ B
j+ K
k+ €
ijkDimana :
Yijk = Hasil pengamatan dari perlakuan ke-i, baris ke-j, dan kolom ke-k
Ti = Pengaruh perlakuan ke-i
Bj = Pengaruh baris ke-j
Kk = Pengaruh kolom ke-k
µ = Nilai tengah umum
€ijk = Pengaruh galat karena perlakuan ke-i, baris ke-j, dan kolom ke-k
Metode Pengambilan Sampel
Periode Pendahuluan dan Adaptasi
Tahap pendahuluan meliputi pembersihan kandang pengamatan dari sisa pakan dan feses serta penimbangan bobot badan awal. Tahap adaptasi dilakukan selama 2 minggumeliputi adaptasi lingkungan, dan pakan (Osuji et al., 1993).
Menurut Maynard dan Loosli (1962), periode koleksi dapat dilakukan selama 7 hari sebelum penelitian selesai meliputi pengukuran konsumsi pakan dan feses. Osuji et al. (1993), menyatakan pengumpulan total feses dilakukan setiap hari selama satu minggu dimana berat feses ditimbang setiap hari. Adapun metodenya dengan cara sebagai berikut :
1. Diambil sampel feses dilakukan setiap pukul 08.00 WIB dengan cara mengoleksi total feses yang diekskresikan setiap hari (24 jam) kemudian ditampung dalam tempat penampungan.
2. Diambil 10 % feses dari masing-masing ulangan kemudian dimasukkan didalam plastik, diikat, dan diberi label sesuai perlakuan.
3. Disimpan feses setiap perlakuan didalam freezer selama kolekting. 4. Dihomogenkan feses dengan cara diaduk hingga merata.
5. Dimasukkan feses kedalam oven dengan suhu 60oCselama 24 jam.
6. Digiling feses setiap perlakuan lalu diambil ± 2 g dimasukkan kedalam oven dengan suhu 105oCselama 24 jam untuk bahan kering.
7. Dimasukkan sampel ± 2 g setiap perlakuan kedalam tanur dengan suhu 600oCselama 8 jam untuk mendapatkan kadar abu.
8. Dilakukan analisis proksimat pada feses di Laboratorium. Periode koleksi pakan sebagai berikut:
1. Ditimbang pakan yang diberikan pada sapipada pukul 08.00 WIB. 2. Ditimbang pakan sisa pada keesokan harinya pada pukul 08.00 WIB. 3. Dilakukan setiap hari penimbangan pakan selama penelitian berlangsung. Persiapan sampel untuk dianalisis di laboratorium.
1. Sampel feses untuk tiap perlakuan dan masin-masing ulangan dikeringkan dengan oven 60ºC selama 48 jam. Sampel kemudian digiling lalu diambil 2 g untuk dianalisis di laboratorium.
2. Dilakukan analisis proksimat pada sampel feses di laboratorium untuk mengetahui bahan kering dan bahan organik dari feses tersebut.
- Pengukuran bahan kering (AOAC, 1990)
Dimasukkan sampel feses setiap perlakuan ke dalam oven dengan suhu 105ºC selama 24 jam. Bahan kering sampel feses kemudian diukur dengan rumus: % Bahan Kering (BK) = Berat sampel setelah pengeringan X 100% Berat sampel sebelum penggilingan
- Pengukuran bahan organik (AOAC, 1990)
Dimasukkan sampel 2 g feses setiap perlakuan ke dalam tanur dengan suhu 600ºC selama 24 jam untuk mendapatkan kadar abu.
% Kandungan abu = Berat abu X 100% Berat awal sampel
Kemudian bahan organik dapat diukur dengan rumus: BO% = 100% - % kadar air - % abu
b. Sampel pakan
1. Dihomogenkan sampel pakan harian dan diambil 20 gr lalu dimasukkan ke dalam freeer.
2. Dilakukan analisis untuk mengetahui bahan kering dan bahan organik dari pakan. Metode analisis proksimat yang dilakukan sama degan metode analisis proksimat seperti biasa.
Peubah yang Diukur
1. Konsumsi Pakan (Bahan Kering dan Bahan Organik)
satu minggu. Konsumsi bahan kering dan bahan organik dapat diukur menggunakan rumus sebagai berikut:
Konsumsi BK = (%BK pemberian x total pemberian) - (%BK sisa x total sisa) Konsumsi BO = (%BO x BK pemberian)-(%BO sisa x BK sisa)
2.Kecernaan Bahan Kering (KcBK)
Konsumsi dan pengeluaran feses bahan kering diperoleh dalam jangka waktu pengukuran selama periode koleksi (1 minggu) sebelum penelitian berakhir. Kecernaan bahan kering dapat dihitung berdasarkan rumus:
KcBK = (Konsumsi BK(kg) –BK feses (kg)) x 100 %
Konsumsi BK(kg) 3.Kecernaan Bahan Organik (KcBO)
Konsumsi dan pengeluaran feses bahan organik diperoleh dalam jangka waktu pengukuran selama periode koleksi (1 minggu) sebelum penelitian berakhir. Kecernaan bahan organik dapat dihitung berdasarkan rumus:
KcBK = (Konsumsi BO(kg) – BO feses (kg)) x 100 %
Konsumsi BO(kg)
Pelaksanaan Penelitian
Persiapan Kandang
Kandang dan semua peralatan yang digunakan seperti tempat pakan dan minum dibersihkan dan didesinfektan.
Persiapan Pakan
Pengolahan pelepah sawit sebagai salah satu bahan pakan perlakuan membutuhkan beberapa proses pengolahan. Berikut skema pengolahan pelepah sawit dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut :
matahari dimana bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam bahan pakan dalam hal merombak struktur fisik bahan dan menghilangkan anti nutrisi pakan.
2. Pelepah Kelapa Sawit Terolah dengan Proses Kimiawi (Amoniasi)
Pada proses ini, pelepah kelapa sawit yang telah dicacah, diamoniasi dengan menggunakan urea. Cacahan sepanjang 3-5 cm diperciki dengan secara merata dengan urea sebanyak 3%. Cacahan kemudian dimasukkan kedalam plastik dan secara perlahan – lahan dipadatkan agar plastic tidak rusak. Kantong plastic diikat sampai kedap udara kemudian disimpan. Setelah 21 hari kantong plastik dibuka, dan diangin – anginkan selama 2 jam.
3. Pelepah Kelapa Sawit Terolah dengan Proses Biologis (Fermentasi)
Pada proses ini, pelepah sawit hasil cacahan yang sudah layu ditempatkan dalam wadah yang telah disediakan. Kemudian, ditaburkan larutan Biomol secara merata sebanyak 2 % dan ditutupi supaya kedap udara dibiarkan selama 7 hari. Setelah 7 hari penutup dibuka lalu diangin-anginkan selama 1 hari kemudian hasil fermentasi disimpan dan dapat diberikan pada ternak.
4. Kombinasinya
Hasil pengolahan fisik, kimiawi, dan pengolahan biologis digabungkan menjadi satu. Dimana hasil dari gabungan tersebut dijadikan pakan dan diberikan pada ternak.
Pemberian Pakan dan Air Minum
Pakan perlakuan diberikan sesuai dengan kebutuhan ternak. Sisa pakan yang diberikan ditimbang keesokan harinya untuk mengetahui konsumsi pakan ternak tersebut. Sebelum dilakukan penelitian diberikan waktu untuk beradaptasi dengan pakan perlakuan secara terjadwal selama tiga minggu. Pemberian air minum dilakukan secara tidak terbatas (ad libitum). Air diganti setiap hari dan tempatnya dicuci dengan air bersih.
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Pakan
Pakan adalah semua bahan yang bisa diberikan dan bermanfaat bagi ternak serta tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap tubuh ternak.Konsumsi pakan terus meningkat seiring dengan pertambahan kebutuhan zat-zat nutrisi oleh kebutuhan pokok dan pertumbuhan. Konsumsi pakan dapat dihitung dengan pengurangan jumlah pakan yang diberikan dengan sisa pakan yang tersedia. Rataan konsumsi pakan perlakuan dapat dilihat pada tabel. Pakan yang diberikan harus berkualitas tinggi yaitu mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh ternak (Parakkasi, 1995). Rataan konsumsi bahan kering pakan dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Rataan Konsumsi Bahan Kering
Periode Sapi aceh ke Total Rataantn±SD
1 2 3 4
P0 5.05 4.24 3.75 3.38 16.43 4.11±0.72
P1 4.02 3.84 3.52 4.96 16.36 4.09±0.62
P2 3.44 4.49 4.35 3.68 15.97 3.99±0.53
P3 3.78 3.48 4.76 4.26 16.30 4.07±0.56
Berdasarkan tabel 6 rataan konsumsi pakan sapi Aceh pada perlakuan P0:
4.11 kg/ekor/hari; P1: 4.09 kg/ekor/hari; P2: 3.99 kg/ekor/hari; P3: 4.07
kg/ekor/hari. Rataan konsumsi pakan tertinggi terdapat pada perlakuan P0 (Pakan
yang terolah secara fisik) sebesar 4.11 kg/ekor/hari dengan standart deviasi sebesar 0.72, sedangkan rataan konsumsi pakan terendah terdapat pada perlakuan P2(Pakan terolah secara amoniasi) sebesar 3.99 kg/ekor/hari dengan standart
deviasi sebesar 0.53. Perbedaan konsumsi pakan P0,P1, P2, dan P3 terdapat
signifikan. Hal ini disebabkan, pemberian perlakuan pakan yang diberikan pada sapi tidak sama, faktor pakan, umur ternak, lingkungan dan kesehatan ternak.
Secara statistik dapat diketahui bahwa penggunaan pelepah sawit sebagai pakan perlakuan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap konsumsi pakan sapi Aceh.Sekalipun level penggunaan pelepah sawit dari keempat perlakuan berbeda tetapi tetap saja memberikan hasil yang sama terhadap konsumsi pakan Aceh. Kandungan nutrisi dari keempat pakan perlakuan yang dapat dikatakan sama, baik itu kadar protein kasar, energi metabolis maupun serat kasarnya merupakan salah satu faktor yang menyebabkan hasil dari konsumsi pakan sapi Aceh tidak berbeda nyata satu sama lain. Tingkat palatabilitas keempat pakan perlakuan inilah yang mempengaruhi ternak dalam mengkonsumsi pakan yang diberikan. Sesuai dengan pendapat Lubis (1992) yang menyatakan bahwa konsumsi bahan kering (BK) dipengaruhi olehbeberapa hal diantaranya : 1) Faktor pakan, meliputi daya cerna dan palatabilitas dan 2) faktor ternak yang meliputi bangsa, jenis kelamin, umur dan kondisikesehatan ternak. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Parakkasi (1995) yang juga menyatakan bahwa palatabilitas pakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah konsumsi pakan.
Konsumsi Bahan Organik
pengurangan jumlah pakan yang diberikan dengan sisa pakan yang tersedia. Rataan konsumsi pakan perlakuan dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Rataan Konsumsi Bahan Organik
Periode Sapi aceh ke Total Rataantn±SD
1 2 3 4
P0 4.47 3.81 3.55 3.12 14.96 3.74±0.56
P1 3.63 3.60 3.27 4.39 14.90 3.72±0.47
P2 3.20 3.93 3.96 3.53 14.63 3.65±0.36
P3 3.52 3.22 4.20 3.85 14.81 3.70±0.42
Berdasarkan tabel 7 rataan konsumsi bahan organik pakan sapi Aceh pada perlakuan P0: 3.74 kg/ekor/hari; P1: 3.72 kg/ekor/hari; P2: 3.65 kg/ekor/hari; P3:
3.70 kg/ekor/hari. Rataan konsumsi pakan tertinggi terdapat pada perlakuan P0
(Pakan yang terolah secara fisik) sebesar 4.11 kg/ekor/hari dengan standart deviasi sebesar 0.72, sedangkan rataan konsumsi bahan organik pakan terendah terdapat pada perlakuan P2(Pakan terolah secara amoniasi) sebesar 3.99 kg/ekor/hari
dengan standart deviasi sebesar 0.53.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian pelepah kelapa sawit terolah amoniasi dan fermentasi memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata dalam konsumsi pakan (P > 0.05). Hasil tidak nyata disebabkan oleh faktor dari ternak yaitu umur tenak, bobot tubuh, bangsa, kesehatan ternak dan kondisi lingkungan.
dan kimiawi yang dimiliki oleh bahan-bahan pakan yang dicerminkan oleh organoleptiknya seperti kenampakan, bau, rasa dan tekstur pakan.
Kecernaan Bahan Kering
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada kecernaan bahan kering, maka dapat diperoleh data pengamatan sapi Aceh sebagai berikut :
Tabel 8. Rataan Kecernaan Bahan Kering
Periode Sapi aceh ke Total Rataantn±SD
1 2 3
P0 50.41 54.35 51.07 50.34 206.17 51.54±4.60B
P1 56.54 63.07 51.72 55.29 226.62 56.65±7.17A
P2 50.80 50.06 54.11 50.98 205.95 51.48±7.50B
P3 54.93 56.17 52.61 57.67 221.38 55.34±6.91A
Berdasarkan tabel 8 rataan koefisien kecernaan bahan kering sapi Aceh pada perlakuan P0:51.54%; P1: 56.65%; P2: 51.48%; P3: 55.34%. Rataan koefisien
kecernaan bahan kering tertinggi terdapat pada perlakuan P1(Pakan yang terolah secara fermentasi) sebesar 56.65% dengan standart deviasi sebesar 7.17, sedangkan rataan konsumsi pakan terendah terdapat pada perlakuan P2 (Pakan
terolah secara amoniasi) sebesar 51.48% dengan standart deviasi sebesar 7.5. Perbedaan konsumsi pakan P0,P1, P2, dan P3, terdapat perbedaan walaupun
tidak signifikan. Sedangkan pada P2 terdapat pebedaan yang signifikan. Hal ini
pakan, frekuensi pemberian pakan dan minum, umurtanaman serta lama tinggal dalam rumen.
Pengaruh pemberian pakan terhadap kecernaan bahan kering lebih tinggi terdapat pada perlakuan P1: (terolah fisik + Fermentasi) 56.65 %, hal ini
disebabkan lebih mengandung protein tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain, dan juga dimna proses fermentasi memiliki pengaruh positif terhadap kualitas pakan. Hal ini didukung oleh Satiamihardja (1984) menyatakan bahwa proses fermentasi memiliki pengaruh positif terhadap kualitas bahan pakan. Menurut Noviati (2002), menyatatakan proses fermentasi dapat meningkatkan nilai gizi suatu bahan, akibat dari pemecahan senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dicerna.
Kecernaan Bahan Organik
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada kecernaan bahan kering, maka dapat diperoleh data pengamatan sapi Aceh sebagai berikut:
Tabel 9. Rataan Kecernaan Bahan Organik
Periode Sapi aceh ke Total Rataan±SD
1 2 3 4
P0 58.90 55.95 60.27 59.33 234.46 58.61±9.49B
P1 60.09 70.15 60.32 62.31 252.87 63.22±12.8A
P2 59.13 58.16 51.75 60.09 229.13 57.28±9.09B
P3 62.92 63.76 60.11 61.42 248.21 63.05±10.46A
Pada tabel 9 dapat dilihat bahwa rataan kecernaan bahan organik tertinggi terdapat pada perlakuan P1 (pelepah terolah fermentasi) sebesar 63.22 % dan
rataan kecernaan bahan organik terendah terdapat pada perlakuan P2 (pelepah
terolah amoniasi) yaitu sebesar 57.28%.
Perlakuan P1 dengan tingkat konsumsi lebih rendah dan tingkat kecernaan
bahan organik yang lebih tinggi menunjukkan pemanfaatan pelepah kelapa sawit terolah fermentasi lebih efisien. McDonald dkk. (2002) menyatakan bahwa kecernaan pakan sangat dipengaruhi oleh komposisi kimia pakan, dan fraksi pakan berserat.
Untuk mengetahui pengaruh pemberian pelepah kelapa sawit terolah amoniasi dan fermentasi terhadap kecernaan bahan organik sapi dapat dilihat melalui analisis keragaman koefisien kecernaan bahan organik selama penelitian.
Dari hasil analisi diatas, analisis keragaman KCBK terolah amoniasi dan fermentasi memberikan pengaruh berbeda nyata (P<0.05) terhadap kecernaan bahan organik sapi Aceh. Perbedaan yang nyata dari penggunaan pakan pelepah sawit dalam ransum ini disebakan oleh kecernaan bahan kering yang berbeda nyata, karena kecernaan bahan organik sangat erat kaitannya dengan kecernaan bahan kering. Tillman etal. (1998) menyatakan bahwa kecernaan bahan kering dapat mempengaruhi kecernaan bahan organik. Bahan organik terdiri dari lemak, protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan BETN (Kamal,1994). Sedangkan bahan kering terdiri dari protein, lemak, serat kasar, BETN dan abu (Tilma et al.
1989).
Rekapitulasi Hasil Penelitian
Dari hasil keseluruhan penelitian yang dilakukan dapat digambarkan pada tabel berikut.
Tabel 10. Rekapitulasi hasil penelitian pemanfaatan pelepah kelapasawit terolah amoniasi dan fermentasi terhadap konsumsi bahan kering, konsumsi bahan organik, kecernaan bahan kering, dan kecernaan bahan organik pakan sapi Aceh
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian perlakuan pakan dengan menggunakan pelepah kelapa sawit terolah fermentasi dan amoniasi sebagai pakan sapi Aceh memberikan pengaruh tidak berbeda nyata (P>0.05) dalam konsumsi bahan kering dan bahan organik pada sapi Aceh, namun berbeda nyata (P<0.05) terhadap koefisien kecernaan bahan kering dan koefisien bahan organik sapi Aceh selama penelitian.
Saran
TINJAUAN PUSTAKA
Potensi Ternak Sapi Potong
Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia.
Namun, produksi daging sapi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan
karena populasi dan tingkat produktivitas ternak rendah. Rendahnya populasi sapi
potong antara lain disebabkan sebagian besar ternak dipelihara oleh peternak
berskala kecil dengan lahan dan modal terbatas (Kariyasa, 2005).
Pemeliharaan sapi potong bibit bertujuan untuk pengembangbiakan sapi
potong untuk mendapatkan keuntungan yang tinggi akan memiliki respons yang
baik terhadap pakan yang diberikan dan efisiensi pakan yang dicapai tinggi yaitu
pedet hasil keturunan. Usaha pengembangbiakan sapi potong untuk tujuan
komersial memerlukan suatu perencanaan yang matang merupakan suatu hal yang
perlu mendapat prioritas serta perhatian tidak hanya perencanaan fisik namun juga
perencanaan non fisik (Anggorodi, 1990).
Karakteristik Sapi Aceh
Sapi aceh pada awalnya merupakan satu dari empat bangsa sapi asli
Indonesia (Aceh, Bali, Madura, Pesisir). Ternak-ternak asli telah terbukti dapat
beradaptasi dengan lingkungan lokal termasuk makanan, ketersediaan air, iklim,
dan penyakit. Dengan demikian, ternak- ternak inilah yang paling cocok untuk
dipelihara dan dikembangkan di Indonesia, walaupun produksinya lebih rendah
daripada ternak impor. Sapi aceh diduga dimasukkan oleh pedagang – pedagang
diduga mengalami persilangan dengan banteng liar yang ada di Sumatera, namun
belum pernah diverifikasi dan diungkapkan melalui analisis genom (Dahlanuddin
et al,.2003).
Sapi Aceh memiliki badan kecil, padat, dan kompak dengan pundak pada
jantan berpunuk, sedangkan betina tidak berpunuk namun bagian pundaknya tidak
rata, sedikit menonjol dibanding sapi bali betina. Pola warna bulu sapi aceh ini
pada umumnya berwarna coklat atau merah bata. Pada umumnya sapi aceh
bertanduk, tapi juga terdapat juga sapi aceh yang tidak bertanduk 7% hanya
dijumpai pada betina (Abdullah dkk, 2006).
Bangsa sapi Aceh menurut Blakely dan Bade (1992) mempunyai susunan
klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum : Chordata, Sub-phylum :
Vertebrata, Class : Mamalia, Sub-Class : Eutheria, Ordo : Artiodactyla, Sub-ordo :
Ruminantia, Infra-Ordo : Pecora, Family : Bovidae, Genus : Bos, Group :
Taurinae, Species : Bos sundaicus.
Produktivitas Ternak Sapi
Produktivitas adalah hasil yang diperoleh dari seekor ternak pada ukuran
waktu tertentu (Hardjosubroto, 1994) dan Seiffert (1978) menyatakan bahwa
produktivitas sapi potong biasanya dinyatakan sebagai fungsi dari tingkat
reproduksi dan pertumbuhan. Tomaszewska et al. (1988) menyatakan bahwa
aspek produksi seekor ternak tidak dapat dipisahkan dari reproduksi ternak yang
bersangkutan, dapat dikatakan bahwa tanpa berlangsungnya reproduksi tidak akan
terjadi produksi. Dijelaskan pula bahwa tingkat dan efesiensi produksi ternak
dibatasi oleh tingkat dan efesiensi reproduksinya. Produktivitas sapi potong dapat
crop), perbandingan anak jantan dan betina, jarak beranak, bobot sapih, bobot
setahun (yearling), bobot potong dan pertambahan bobot badan
(Trikesowo et al., 1993).
Pertumbuhan adalah pertambahan dalam bentuk dan berat
jaringan-jaringan pembangun seperti urat daging, tulang, otak, jantung dan semua jaringan-jaringan
tubuh (kecuali jaringan lemak) serta alat-alat tubuh lainnya. Lebih lanjut
dikatakan pertumbuhan murni adalah pertambahan dalam jumlah protein dan zat
sedangkan pertambahan akibat penimbunan lemak atau penimbunan air bukanlah
pertumbuhan murni (Anggorodi, 1984). Anggorodi menyatakan dalam
pertumbuhan seekor hewan ada dua hal yang terjadi :
1. Bobot badannya meningkat mencapai bobot badan dewasa yang disebut
pertumbuhan
2. Terjadinya perubahan konfirmasi dan bentuk tubuh serta berbagai fungsi dan
kesanggupannyai untuk melakukan sesuatu menjadi wujud penuh yang disebut
perkembangan.
Sistem Pencernaan Sapi
Proses utama dari pencernaan adalah secara mekanik, enzimatik ataupun
mikrobial. Proses mekanik terdiri dari mastikasi ataupun pengunyahan dalam
mulut dan gerakan–gerakan saluran pencernaan yang dihasilkan oleh
kontraksi-kontraksi otot sepanjang usus. Pencernaan secara enzimatik atau kimiawi
dilakukan oleh enzim yang dihasilkan oleh sel-sel dalam tubuh hewan dan yang
berupa getah-getah pencernaan. Pencernaan oleh mikroorganisme ini juga
Ruminansia berasal dari kata latin “ruminate” yang berarti “mengunyah
berulang-ulang”. Proses ini disebut proses ruminansi yaitu suatu proses
pencernaan pakan yang dimulai dari pakan dimasukkan ke dalam rongga mulut
dan masuk ke rumen setelah menjadi bolus-bolus dimuntahkan kembali
(regurgitasi), dikunyah kembali (remastikasi), lalu penelanan kembali
(redeglutasi) dan dilanjutkan proses fermentasi di rumen dan ke saluran
berikutnya. Proses ruminansi berjalan kira – kira 15 kali sehari, dimana setiap
ruminansi berlangsung 1 menit sampai 2 jam (Prawirokusumo, 1994).
Pertumbuhan dan aktivitas mikroba selulolitik yang efisien, sama halnya
dengan mikroba rumen lain, membutuhkan sejumlah energi, nitrogen, mineral dan
faktor lain (misalnya vitamin). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa energi
merupakan faktor essensial utama yang digunakan untuk pertumbuhan mikroba
rumen. Mikroba rumen menggunakan energi untuk hidup pokok, teristimewa
untuk melakukan transport aktif (Bamualim,1988).
Pakan Sapi
Pakan adalah semua bahan yang bisa diberikan dan bermanfaat bagi ternak
serta tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap tubuh ternak. Pakan yang
diberikan harus berkualitas tinggi yaitu mengandung zat-zat yang diperlukan oleh
tubuh ternak dalam hidupnya seperti air, karbohidrat, lemak, protein, mineral, dan
air (Parakkasi, 1995).
Wahyono dan Hardianto (2004) menyatakan kebutuhan nutrisi pakan sapi
untuk tujuan produksi (pembibitan dan penggemukan) dapat dilihat pada Tabel 1
Tabel 1. Kebutuhan nutrisi pakan sapi
Uraian bahan (%) Tujuan Produksi
Pembibitan Penggemukan
Bahan Kering 88 88
Protein kasar 10,4 12,7
Lemak kasar 2,6 3
Serat kasar 19,1 18,4
Kadar abu 6,8 8,7
TDN 64,2 64,4
Sumber : Wahyono dan Hardianto (2004)
Menurut Parakkasi (1995) pakan merupakan semua bahan yang bisa
diberikan dan bermanfaat bagi ternak. Pakan yang diberikan harus berkualitas
tinggi yaitu mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh ternak untuk
kehidupannya seperti air, karbohidrat, lemak, protein, mineral dan air.
Pakan yang di berikan sebaiknya jangan sekedar untuk mengatasi rasa
lapar atau sebagai pengisi perut saja melainkan harus benar-benar bermamfaat
untuk kebutuhan hidup, membentuk sel-sel baru, mengganti sel-sel yang rusak
dan untuk produksi (Widayati dan Widalestari, 1996).
Fermentasi
Fermentasi adalah proses penguraian unsur-unsur organik kelompok
terutama karbohidrat untuk menghawsilkan energi melalui reaksi enzim yang
dihasilkan oleh mikroorganisme. Proses fermentasi dapat dikatakan sebagai proses
“protein enrichment” yang berarti proses pengkayaan protein bahan dengan
menggunakan mikroorganisme tertentu (Sarwono, 1996).
Menurut Parakkasi (1995) pakan merupakan semua bahan yang bisa
diberikan dan bermanfaat bagi ternak. Pakan yang diberikan harus berkualitas
tinggi yaitu mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh ternak untuk
yang tidak dapat dicerna, misalnya selulosa dan hemiselulosa menjadi gula
sederhana. Selama proses fermentasi terjadi pertumbuhan kapang yang dihasilkan
oleh protein hasil metabolisme dari kapang sehingga terjadi peningkatan kadar
protein (Sembiring, 2006).
Amoniasi Urea
Amoniasi merupakan proses perlakuan terhadap bahan pakan limbah
perkebunan dengan menambahkan bahan kimia berupa kaustik soda, sodium
hidroksi atau urea. Umumnya masyarakat lebih banyak menggunakan urea ini
sebagai bahan kimia yang digunakan karena lebih mudah untuk memperolehnya.
Urea dengan rumus molekul CO(NH2)2 banyak digunakan dalam ransum ternak
ruminansia karena mudah diperoleh, harganya murah dan sedikit resiko keracunan
(Ernawati, 1995).
Urea yang diberikan pada ransum ternak ruminsia di dalam rumen akan
dipecah oleh enzim urease menjadi amonium. Amonium bersama mikroorganisme
rumen akan membentuk protein mikroba dengan bantuan energi. Apabila urea
berlebihan atau tidak dicerna oleh tubuh ternak maka urea akan diabsorbsi oleh
dinding rumen, kemudian dibawa oleh aliran darah ke hati dan di dalam hati
dibentuk kembali amonium yang pada akhirnya diekreasikan melalui urine dan
feses (Sutardi, 1980).
Urea adalah merupakan senyawa kimia yang mengandung 40% – 45%
nitrogen mikroorganisme yang terdapat dalam saluran pencernaan ternak dapat
dikombinasikan N dalam urea dengan C, H2 dan O2 yang terdapat dalam
karbohidrat dan membentuk asam amino. Oleh karena itu urea dapat digunakan
Urea merupakan bahan pakan sumber nitrogen yang dapat difermentasi. Urea
dalam proporsi tertentu mempunyai dampak positif terdapat peningkatan
konsumsi protein kasar dan daya cerna urea bila diberikan pada ruminansia
dirubah menjadi protein oleh mikroba dalam rumen (Anggorodi, 1984).
Potensi Kelapa Sawit di Indonesia
Kelapa sawit di Indonesia berkembang pesat sejak awal tahun 80-an dan
saat ini telah menjadi salah satu komoditas yang berperan sangat penting dalam
penerimaan devisa negara, penyerapan tenaga kerja, serta pengembangan
perekonomian rakyat dan daerah. Pada tahun 2002 luas perkebunan kelapa sawit
di Indonesia mencapai 4,1 juta ha dengan produksi minyak sawit (crude palm oil)
lebih dari 9 juta ton (Elisabeth dan Ginting, 2003).
Produk samping industri kelapa sawit yang tersedia dalam jumlah yang
banyak dan belum dimanfaatkan secara optimal adalah pelepah daun, lumpur
sawit, dan bungkil inti kelapa sawit khususnya sebagai bahan dasar ransum ternak
ruminansia. Pola integrasi atau diversifikasi tanaman dan ternak khususnya ternak
ruminansia diharapkan merupakan bagian dari integrasi dari usaha perkebunan.
Oleh karena itu, pemanfaatan produk samping industri kelapa sawit seperti
pelepah pada wilayah perkebunan sebagai pengadaan bahan pakan ternak,
khususnya ruminansia diharapkan banyak memberikan nilai tambah, baik secara
langsung maupun tidak langsung (Jalaludin et al.,1991).
Perkebunan PT Agricinal menyatakan bahwa setiap pohon rata-rata dapat
menghasilkan 22 ton pelepah/tahun dengan rataan bobot pelepah 3,25 kg. Dengan
1.640 kg. Apabila 2,014 juta hektar perkebunan kelapa sawit di Indonesia
tanaman produktif maka bahan kering yang tersedia mencapai 3.302 metrik ton.
Setiap pelepah rata-rata menyediakan daun 0,5 kg setara dengan 658 kg bahan
kering/ha/tahun (http://www.pustakabogor.net, 2014).
Kandungan gizi pelepah kelapa sawit berdasarkan hasil analisis proksimat
dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Kandungan gizi pelepah kelapa sawit
Zat nutrisi Kandungan
Bahan kering 26,07a
Protein kasar 5,02b
Lemak kasar 1,07a
Serat kasar 50,94a
BETN 39,82a
TDN 45,00a
Ca 0,96a
P 0,08a
Energi (Mcal/ME) 56,00c
Sumber: a. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2003)
b.Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Jurusan Peternakan FP-USU (2000) c..Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan Bogor (2000)
Dilihat dari kandungan serat kasar, maka pelepah kelapa sawit dapat
digantikan sebagai sumber penggaanti serat kasar. Pemanfaatan pelepah kelapa
sawit sebagai bahan pakan ternak ruminansia disarankan tidak melebihi 30 %.
Untuk meningkatkan konsumsi dan kecernaan pelepah dapat ditambahkan
produk samping lain dari kelapa sawit seperti bungkil inti sawit, lumpur
kelapa sawit dan serat perasan buah kelapa sawit
Bahan Penyusun Konsentrat
Bungkil Inti Sawit
Bungkil inti sawit merupakan produk samping yang berkualitas karena
mengandung protein kasar yang cukup tinggi 16 – 18%. Sementara kandungan
serat kasar mencapai 16%. Pemanfaatan perlu disertai produk samping lainnya
untuk mengoptimalkan penggunaan bungkil ini bagi ternak. Untuk lebih lanjut
diinformasikan bahwa bungkil inti sawit dapat diberikan 30% dalam pakan sapi
(Batubara et al, 1993).
Bungkil inti sawit adalah limbah ikutan proses ekstrasi inti sawit. Bahan
ini dapat diperoleh dengan proses kimia atau dengan cara mekanik (Davendra,
1997). Zat makanan yang terkandung dalam bungkil inti sawit cukup bervarisi,
tetapi kandungan terbesar ialah protein yaitu berkisar antara 18 - 19%.
Tabel 3. Kandungan nilai gizi bungkil inti sawit
Uraian Kandungan (%)
Protein kasar 15,4a
TDN 81b
Serat kasar 16,9a
Lemak kasar 2,4a
Bahan kering 92,6a
Ca 0,1c
P 0,22c
Sumber : a. Laboratorium Ilmu Makanan Ternak FP USU (2005). b. Laboratorium Ilmu Makanan Ternak IPB, Bogor (2000). c. Siregar (2000).
Dedak Padi
Dedak padi adalah bahan pakan yang diperoleh dari pemisahan beras
dengan kulit gabahnya melalui proses penggilingan padi dari pengayakan hasil
ikutan penumbukan padi. Sedangkan menurut sebagai bahan makanan asal nabati,
sebesar 12% - 13%, kandungan lemak 13%, dan serat kasarnya 12%(Parakkasi,
Sumber : Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU(2005).
Molases
Molases dapat digunakan sebagai pakan ternak. Keuntungan penggunaan
molasses untuk pakan ternak adalah kadar karbohidrat tinggi (48 - 60% sebagai
gula), kadar mineral cukup yang disukai ternak. Tetes tebu juga mengandung
vitamin B kompleks dan unsur-unsur mikro yang penting bagi ternak seperti
kobalt, boron, iodium, tembaga, dan seng, sedangkan kelemahannya ialah
kaliumnya yang tinggi dapat menyebabkan diare jika dikonsumsi terlalu banyak
(Thalib, 2001).
Sumber : Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan FP USU(2005).
Urea
Urea adalah suatu senyawa organikyang terdiri dari unsur karbon,
hidrogen, oksigen dan nitrogen dengan rumus CON2H4 atau (NH2)2CO. Urea
juga dikenal dengan nama carbamide yang terutama digunakan di kawasan Eropa.
diamide dan carbonyldiamine. Senyawa ini adalah senyawa organik sintesis
pertama yang berhasil dibuat dari senyawa anorganik.
Parakkasi (1995) menyatakan bahwa disamping dapat menguntungkan,
urea dapat pula merugikan karena dapat menyebabkan keracunan (minimal tidak
bermanfaat) bila penggunaannya tidak semestinya. Oleh karena itu beberapa
prinsip dasar penggunaanya perlu diketahui, dimana batas penggunaan urea dalam
ransum sekitar 8%.
Garam
Garam diperlukan oleh sapi sebagai perangsang menambah nafsu makan.
Garam juga sebagai unsur yang dibutuhkan dalam kelancaran pekerjaan faali
tubuh. Menurut Lassiter and Edward (1982) garam yang dimaksud adalah garam
dapur (NaCl), dimana selain berfungsi sebagai mineral juga berfungsi
meningkatkan palatabilitas.
Garam tersebut merangsang sekresi saliva. Terlalu banyak garam akan
menyebabkan retensi air sehingga menimbulkan odema. Defisiensi garam lebih
sering terdapat dalam hewan herbivora daripada hewan lainnya. Ini disebabkan
hijauan dan butiran mengandung sedikit garam. Gejala defisiensi garam adalah
nafsu makan hilang, bulu kotor, makan tanah, keadaan badan tidak sehat, produksi
menurun sehingga menurunkan bobot badan (Anggorodi, 1990).
Ultra Mineral
Mineral adalah zat anorganik yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit,
namun berperan penting agar proses fisiologi dapat berlangsung dengan baik.
metabolisme di dalam sel. Penambahan mineral dalam pakan dilakukan untuk
mencegah kekurangan mineral dalam pakan (Setiadi dan Inounu, 1991).
Urea
Ureaadalah suatu senyawa organik yang terdiri dari unsur karbon,
hydrogen, oksigendan nitrogendengan rumus CON2H4atau (NH2)2CO.
Penggunaan urea dapat meningkatkan nilai gizi makanan dari bahan yang berserat
tinggi serta berkemampuan untuk merenggangkan ikatan kristal molekul selulosa
sehingga memudahkan mikroba rumen memecahkannya.Pemberian urea tidak
lebih dari 1% ransum lengkap atau 3% campuran penguatsumber protein, urea
hendaknya dicampur sehomogen mungkin dalam ransum dan perlu disertai
dengan penambahan mineral (Basya, 1981).
Urea mempunyai kandungan nitrogen (N) kurang lebih 45 %. Karena
nitrogen mewakili 16 % dari protein atau bila dijabarkan protein setara dengan
6,25kali kandungan nitrogen, maka ternak kambing rata-rata diberi 5
gram/ekor/hari akan sebanding dengan 19,63 gram protein kasar (Murtidjo, 1993).
Konsumsi Pakan dan Efisiensi Pakan
Jumlah konsumsi bahan kering pakan dipengaruhi beberapa variabel
meliputi palatabilitas, jumlah pakan yang tersedia dan komposisi kimia serta
kualitas bahan pakan. Ketersediaan zat makanan yang dibutuhkan oleh mikroba
rumen untuk menjalankan fungsi yang normal harus mendapatkan perhatian
khusus misalnya pertambahan suplai sumber N pada bahan makanan yang rendah
proteinnya akan meningkatkan konsumsi dari bahan pakan tersebut. Tingkat
ternak dan kualitas pakan (bobot badan, umur, tingkat kecernaan pakan dan
palatabilitas). Tingkat konsumsi ransum banyak ditentukan oleh palatabilitas
ransum (bau, warna dan tekstur), sistem tempat pakan dan pemberian pakan serta
kepadatan kandang (Wahyuni, 2000).
Konversi pakan adalah perbandingan antara jumlah pakan yang
dikonsumsi pada waktu tertentu dengan produksi yang dihasilkan (pertambahan
bobot badan) dalam kurun waktu yang sama. Konversi pakan adalah indikator
teknis yang dapat menggambarkan tingkat efisiensi penggunaan pakan, semakin
rendah angka konversi pakan berarti semakin efisien (Anggorodi, 1984).
Menurut Tillman (1991) nilai koefisien cerna tidak tetap untuk setiap
bahan pakan atau setiap ekor ternak, tetapi dipengaruhi faktor yang
mempengaruhi tingkat konsumsi, yaitu:
1. Komposisi kimiawi
Daya cerna berhubungan erat dengan komposisi kimiawinya. Serat kasar
berisi selulosa, hemiselulosa dan lignin. Selulosa dan hemiselulosa dapat dicerna
oleh ternak ruminansia secara enzimatis.
2. Pengolahan Pakan
Beberapa perlakuan terhadap bahan pakan seperti pemotongan,
penggilingan dan pelayuan mempengaruhi daya cerna. Penggilingan yang halus
dari hijauan menambah kecepatan jalannya bahan makanan melalui usus
sehinggga menyebabkan pengurangan daya cerna 5-15%.
3. Jumlah Pakan yang diberikan
pakan sampai dua kali lipat dari jumlah kebutuhan hidup pokok mengurangi daya
cerna1-2% penambahan yang lebih besar akan menyebabkan daya cerna akan
semakin turun.
4. Jenis Ternak
Ternak ruminansia dapat mencerna serat kasar yang lebih tinggi karena N
metaboliknya lebih tinggi sehingga daya cerna protein pada ruminansia lebih
rendah dibandingkan non ruminansia, disamping adanya peran mikroorganisme
pada rumen.
Kecernaan
Menurut Tillman et al. (1998) kecernaan dapat diartikan banyaknya atau
jumlah proporsional zat-zat makanan yang ditahan atau diserap oleh tubuh. Zat
makanan yang terdapat di dalam feses dianggap zat makanan yang tidak tercerna
dan tidak diperlukan kembali sedangkan sistem kecernaan adalah sebuah sistem
yang terdiri dari saluran pencernaan yang dilengkapi dengan beberapa organ yang
bertanggungjawab atas pengambilan, penerimaan dan pencernaan bahan pakan
dalam perjalanannya menuju saluran pencernaan mulai dari rongga tubuh sampai
ke anus. Disamping itu pencernaan bertanggung jawab atas pengeluaran (ekskresi)
bahan pakan yang tidak terserap atau tidak dapat kembali (Parakkasi, 1995).
Anggorodi (1984) menyatakan bahwa pengukuran kecernaan atau nilai
cerna suatu bahan pakan adalah usaha menentukan jumlah nutrisi dari suatu bahan
pakan yang didegradasi dan diserap dalam saluran pencernaan. Daya cerna juga
merupakan presentasi nutrien yang diserap dalam saluran pencernaan yang
dan jumlah nutrien yang dikeluarkan dalam feses. Nutrisi yang tidak terdapat
dalam feses inilah yang diamsusikan sebagai nilai yang dicerna dan diserap.
Kecernaan dapat dipengaruhi oleh tingkat pemberian pakan, spesies
hewan, kandungan lignin bahan pakan, difisiensi zat makanan, pengolahan bahan
pakan, pengaruh gabungan bahan pakan dan gangguan saluran pencernaan
(Crurch dan Pond, 1998). Ransum yang kandungan proteinnya rendah, umumnya
mempunyai kecernaan yang rendah pula dan sebaliknya. Tinggi rendahnya
kecernaan protein tergantung pada kandungan protein bahan pakan dan banyaknya
protein yang masuk ke saluran pencernaan (Tillman et al., 1998). Daya cerna
(digestibility) adalah bagian zat makanan dari bahan yang tidak diekreasikan
dalam feses biasanya dinyatakan dalam bentuk bahan kering dan apabila
dinyatakan dalam persentase disebut “koefisien cerna” (Tillman et al., 1991).
Menurut Wodzicka-Tomaszewska et al., (1988) jumlah konsumsi pakan
merupakan faktor penentu yang paling penting yang menentukan jumlah zat-zat
makanan yang tersedia bagi ternak. Hal ini selanjutnya akan mempengaruhi
tingkat produksi, akan tetapi pengaturan konsumsi pakan pada ternak ruminansia
sangat kompleks karena banyak factor yang terlibat seperti sifat pakan, faktor
ternak dan faktor lingkungan. Tomaszewska (1988) menyatakan juga bahwa
tingkat konsumsi sangat dipengaruhi oleh koefisien cerna, kualitas pakan,
fermentasi dalam rumen, serta status fisiologi ternak. Kualitas pakan ditentukan
oleh tingkat kecernaan zat - zat makanan yang terkandung pada pakan tersebut.
Zat makanan yang terkandung dalam ransum tidak seluruhnya tersedia untuk
Serat kasar mempunyai pengaruh terbesar terhadap daya cerna. Dinding
sel tanaman terutama terdiri dari selulosa dan hemiselulosa yang akan sukar
dicerna terutama bila mengandung lignin. Tanaman tua biasanya mengandung
serat kasar yang tinggi dan diiringi penambahan lignifikasi dari selulosa dan
hemiselulosa pada dinding sel (Tillman et al.,1998). Kecernaan setiap bahan
makanan atau ransum dipengaruhi oleh spesies hewan, bentuk fisik makanan,
komposisi bahan makanan atau ransum, tingkat pemberian makanan, temperatur
lingkungan dan umur hewan (Ranhjan dan Pathak, 1979). Jenis kelamin, umur
dan strain mempunyai pengaruh terhadap daya cerna protein dan asam asam
amino, tetapi pengaruhnya tidak konsisten (Doeschate et al., 1993).
Kecernaan protein kasar tergantung pada kandungan protein di dalam
ransum (Ranjhan, 1980). Ransum yang kandungan proteinnya rendah, umumnya
mempunyai kecernaan yang rendah pula dan sebaliknya. Tinggi rendahnya
kecernaan protein tergantung pada kandungan protein bahan pakan dan banyaknya
protein yang masuk dalam saluran pencernaan (Tillman et al., 1998). Tingkat
kecernaan suatu pakan menggambarkan besarnya zat - zat makanan yang tersedia
yang dapat dimanfaatkan oleh ternak untuk proses hidup pokok (maintenance),
pertumbuhan, produksinya, maupun reproduksi (Ginting, 1992).
Tingkah kecernaan bahan kering pelepah daun kelapa sawit pada sapi
45%. Daun kelapa sawit dapat digunakan sebagai sumber atau pangganti pakan
hijauan. Namun, adanya lidi pada pelepah daun kelapa sawit akan menyulitkan
ternak dalam mengkonsumsinya. Masalah tersebut dapat diatasi dengan
pencacahan yang dilanjutkan dengan pengeringan dan penggilingan. Pemanfaatan
30%. Untuk meningkatkan konsumsi dan kecernaan pelepah daun sawit, dapat
ditambahkan produk samping lain dari kelapa sawit. Pemberian pelepah daun
sawit sebagai bahan pakan dalam jangka panjang, dapat menghasilkan kualitas
karkas yang baik (Balai Penelitian Ternak, 2003).
Kecernaan Bahan Kering
Padakondisi normal, konsumsi bahan kering dijadikan ukuran konsumsi
ternak. Konsumsi bahan kering bergantung pada banyak faktor, diantaranya
adalah kecernaan bahan kering pakan, kandungan energy metabolis dan
kandungan serat kasar. Bahan kering yang dikonsumsi dikurangi jumlah yang
disekresikan merupakan jumlah yang dapat dicerna. Kualitas dan kuantitas bahan
kering harus diketahui untuk meningkatkan kecernaan bahan makanan yang akan
mempengaruhi jumlah konsumsi pakan. Kualitas dari bahan kering akan
mempengaruhi kualitas bahan organik dan mineral yang terkandung dalam bahan
pakan. Konsumsi bahan kering merupakan faktor penting untuk menunjang
asupan nutrien yang akan digunakan untuk hidup pokok dan produksi (Parakkasi,
1999).
Kecernaan bahan kering yang tinggi pada ternak ruminansia menunjukkan
tingginya zat nutrisi yang dicerna terutama yang dicerna oleh mikroba rumen.
Semakin tinggi nilai persentase kecernaan bahan pakan tersebut, berarti semakin
baik kualitasnya. Kisaran normal kecernaan bahan kering yaitu 50,7-59,7%.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan kering, yaitu jumlah ransum
yang dikonsumsi, laju perjalanan makanan di dalam saluran pencernaan dan jenis
pakan dalam ransum, komposisi kimia, tingkat protein ransum, persentase lemak
dan mineral. Salah satu bagian dari bahan kering yang dicerna oleh mikroba di
dalam rumen adalah karbohidrat struktural dan karbohidrat non struktural (Osuji
dan Khalili, 1993).
Kecernaan Bahan Organik
Bahan organik merupakan bahan kering yang telahdikurangiabu,
komponen bahan kering bila difermentasi di dalam rumen akan menghasilkan
asam lemak terbang yang merupakan sumber energi bagi ternak. Kecernaan
bahan organik dalam saluran pencernaan ternak meliputi kecernaan zat-zat
makanan berupa komponen bahan organic seperti karbohidrat, protein, lemak dan
vitamin. Bahan-bahan organik yang terdapat dalam pakan tersedia dalam bentuk
tidak larut, oleh karena itu diperlukan adanya proses pemecahan zat-zat tersebut
menjadi zat-zat yang mudah larut. Faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan
organik adalah kandungan serat kasar dan mineral dari bahan pakan. Kecernaan
bahan organic erat kaitannya dengan kecernaan bahan kering, karena sebagian
dari bahan kering terdiri dari bahan organik. Penurunan kecernaan bahan kering
akan mengakibatkan kecernaan bahan organik menurun atau sebaliknya
PENDAHULUAN
LatarBelakang
Pakan merupakan salah satu faktor penentu utama yang mempengaruhi keberhasilan suatu usaha peternakan. Ketersediaan bahan pakan ternakakhir-akhir ini terasa semakin terbatas. Hal ini disebabkan antara lain oleh meningkatnya harga bahan baku pakan ternak, dan semakin menyusutnya lahan bagi pengembangan produksi hijauan akibat penggunaan lahan untuk keperluan pangan dan tempat permukiman. Oleh karena itu, perlu dicari sumber daya baru yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak alternatif yang mampu menggantikan sebagian atau seluruh hijauan serta dapat mengurangi ketergantungan kepada penggunaan bahan konsentrat yang sudah lazim digunakan.
Pemenuhan kebutuhan konsumsi ternak dengan menggunakan bahan pakan yang berasal dari limbah perkebunan misalnya pelepah daun kelapa sawit;serta hasil samping industri seperti bungkil inti sawit dan molases, dapat dijadikan sebagai bahan pakan alternatif karena disamping memiliki kandungan nutrisi yang cukup baik juga memilki ketersediaan yang cukup banyak karena produksi dari perkebunan tersebut tersedia sepanjang tahun.
kelapa sawit mencapai 948.800 Ha dengan produksi tandan buah segar sebanyak 3.439.748 ton sehingga di wilayah Sumatera Utara tingkat pertumbuhan produksi perkebunan kelapa sawit sangat signifikan dalam menghasilkan hasil sampingan yang tinggi. Hal ini memberikan peluang bagi peternak dalam memanfaatkan hasil samping dari perkebunan kelapa sawit sebagai pakan alternatif ternak (khususnya ternak sapi).
Permasalahan yang dihadapi dalam penggunaan limbah perkebunan kelapa sawit seperti pelepah daun kelapa sawit adalah tingginya kandungan serat kasar dan rendahnya nilai protein sehingga kecernaan menjadi rendah. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan melakukan pengolahan pakan secara fisika, kimia, dan biologis. Pengolahan secara fisik dilakukan dengan mengubah ukuran dan bentuknya melalui proses chopping dan grinding. Pengolahan secara biologis dilakukan dengan menggunakan mikroba seperti bakteri dan fungi yang dapat merombak serat kasar menjadi komponen yang lebih sederhana sehingga kandungan nutrisi meningkat dan pengolahan secara kimiawi dilakukan melalui proses amoniasi dengan penggunaan NaOH. Penelitian ini mencoba mengatasi masalah tersebut dengan pemanfaatan pelepah daun kelapa sawit sebagai pakan ternak pengganti hijauan.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik pelepah kelapa sawit yang terolah secara fisik, kimiawi, dan biologis pada sapi Aceh.
Hipotesis Penelitian
Pemanfaatan pelepah kelapa sawit yang terolah secara fermentasi dan amoniasi dapat meningkatkan nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik pada sapi Aceh.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi peneliti, kalagan akademis maupun peternak sapi mengenai pemanfaatan pelepah kelapa sawit terolah secara fisik, kimia, dan biologis sebagai pakan ternak sapi, serta sebagai bahan penulisan skripsi yang merupakan persyaratan memperoleh gelar sarjana di Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
ABSTRAK
EDI BIGBORN NUGRAHA, 2015: Pemanfaatan Pelepah Kelapa Sawit Terolah Fermentasi dan Amoniasi Terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Pada Sapi Aceh. Dibimbing oleh R. EDHY MIRWANDHONO dan TRI HESTI WAHYUNI.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara pada bulan Maret 2015-Juni 2015. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik pelepah kelapa sawit yang terolah secara fermentasi dan amoniasi pada sapi Aceh. Penelitian ini menggunakan 4 ekor sapi aceh jantan lepas sapih dengan
rataan bobot badan (BB) 96 ± 8 kg dengan menggunakan rancangan bujur sangkar latin (RBSL) yang terdiri atas 4 perlakuan dan 4 periode. Perlakuan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah P0 sebagai kontrol (terolah fisik), P1= (fisik + fermentasi), P2= (fisik + amoniasi), P3= (fermentasi + amoniasi). Parameter yang diamati yaitu Konsumsi Bahan Kering, Konsumsi Bahan Organik, Kecernaan Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Organik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada setiap perlakuan P0, P1, P2, dan P3 memberikan hasil yang berbeda terhadap rataan konsumsi bahan kering (Kg/ekor/hari): 4,11; 4,09; 3,99; dan 4,07. Konsumsi bahan organik (Kg/ekor/periode): 3,74; 3,72; 3,65; dan 3,70. Koefisien kecernaan bahan kering (%KCBK):51,54; 56,65; 51,48; dan 55,34. Koefisien kecernaan bahan organik (%KCBO): 58,61;63,22;57,28; dan 63,05. Konsumsi bahan kering dan bahan organik (BK dan BO) menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05), kecernaan bahan kering dan bahan organik (BK dan BO) menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05).
Kesimpulan dari penelitian ini bahwa penggunaan pelepah daun kelapa sawit yang terolah secara fisik + fermentasi dapat meningkatkan nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik sapi aceh.
ABSTRACT
EDI BIGBORN NUGRAHA, 2015:Utilization of Oil Palm fronds Processed By
Ammoniation and Fermentation Against Digestibility Dry Matter and Organic Matter of Aceh Cattle. Guided by R. EDHY MIRWANDHONO and TRI HESTI WAHYUNI.
The research was conductedat the Laboratory of Animal Biology of the Facultyof Agriculture, North Sumatra University in March 2015- June 2015.This study aims to determine the value of dry matter and organic matter processed palm fronds fermentation and ammoniation logically in cattle Aceh. This study uses 4 aceh male cattles weaning with initial body weight (BW) averaging 96±8 kg using the Latin Square Design (RBSL) consisting of 4 treatments and 4 periods. The treatment used in this study is P0 as control (physicaly untreated), P1=(physical +fermentation), P2=(physical +ammoniation), P3=(fermentation +ammoniation). The observed parameters are that consumption of Dry Matter, Organic Matter Consumption, Dry Matter Digestibility and Organic Matter Digestibility.
The results showed that in each treatment P0, P1, P2, and P3give different results against the average consumption of dry matter intake(kg/head /day): 4.11; 4.09; 3.99, and 4.07 respectively. Consumption of organic matter (kg/head /period): 3.74; 3.72; 3.65; and 3.70 respectively. Dry matter digestibility coefficients (% KCBK): 51,54; 56,65; 51,48; and 55,34 respectively. Organicmatter digestibility coefficients (% KCBO): 58,61; 63,22; 57,28; and 63,05 respectively.Consumption of dry matter and organic matter ( DM and OM) showed no real effect (P>0.05), digestibility of dry matter and organic matter (DM and OM) showed a real effect influence (P<0.05).
The conclusion from this studythat theuse of oil palm fronds are treated physically+fermentation can increase the value of dry matter and organic matter of Aceh cattle.
PEMANFAATAN PELEPAH KELAPA SAWIT TEROLAH
SECARA FERMENTASI DAN AMONIASI TERHADAP
KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK
PADA SAPI ACEH
SKRIPSI
Oleh :
EDI BIGBORN NHGRAHA CAPAH 100306038
PROGRAM STHDI PETERNAKAN FAKHLTAS PERTANIAN HNIVERSITAS SHMATERA HTARA
PEMANFAATAN PELEPAH KELAPA SAWIT TEROLAH
SECARA FERMENTASI DAN AMONIASI TERHADAP
KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK
PADA SAPI ACEH
Oleh :
EDI BIGBORN NHGRAHA CAPAH 100306038/PETERNAKAN
Skripsisebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
JudulSkripsi : Pemanfaatan Pelepah Kelapa Sawit Terolah Secara Fermentasi dan Amoniasi Terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Pada Sapi Aceh
Nama : Edi Bigborn Nugraha Capah
NIM : 100306038
Program Studi : Peternakan
Disetujui Oleh : KomisiPembimbing
Ir. R. Edhy Mirwandhono, M.Si Ir. Tri Hesti Wahyuni, M.Sc.
Ketua Anggota
Mengetahui,
Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si Ketua Program StudiPeternakan
ABSTRAK
EDI BIGBORN NUGRAHA, 2015: Pemanfaatan Pelepah Kelapa Sawit Terolah Fermentasi dan Amoniasi Terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Pada Sapi Aceh. Dibimbing oleh R. EDHY MIRWANDHONO dan TRI HESTI WAHYUNI.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara pada bulan Maret 2015-Juni 2015. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik pelepah kelapa sawit yang terolah secara fermentasi dan amoniasi pada sapi Aceh. Penelitian ini menggunakan 4 ekor sapi aceh jantan lepas sapih dengan
rataan bobot badan (BB) 96 ± 8 kg dengan menggunakan rancangan bujur sangkar latin (RBSL) yang terdiri atas 4 perlakuan dan 4 periode. Perlakuan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah P0 sebagai kontrol (terolah fisik), P1= (fisik
+ fermentasi), P2= (fisik + amoniasi), P3= (fermentasi + amoniasi). Parameter
yang diamati yaitu Konsumsi Bahan Kering, Konsumsi Bahan Organik, Kecernaan Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Organik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada setiap perlakuan P0, P1, P2, dan
P3 memberikan hasil yang berbeda terhadap rataan konsumsi bahan kering
(Kg/ekor/hari): 4,11; 4,09; 3,99; dan 4,07. Konsumsi bahan organik (Kg/ekor/periode): 3,74; 3,72; 3,65; dan 3,70. Koefisien kecernaan bahan kering (%KCBK):51,54; 56,65; 51,48; dan 55,34. Koefisien kecernaan bahan organik (%KCBO): 58,61;63,22;57,28; dan 63,05. Konsumsi bahan kering dan bahan organik (BK dan BO) menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05), kecernaan bahan kering dan bahan organik (BK dan BO) menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05).
Kesimpulan dari penelitian ini bahwa penggunaan pelepah daun kelapa sawit yang terolah secara fisik + fermentasi dapat meningkatkan nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik sapi aceh.
ABSTRACT
EDI BIGBORN NUGRAHA, 2015:Utilization of Oil Palm fronds Processed By Ammoniation and Fermentation Against Digestibility Dry Matter and Organic Matter of Aceh Cattle. Guided by R. EDHY MIRWANDHONO and TRI HESTI WAHYUNI.
The research was conductedat the Laboratory of Animal Biology of the Facultyof Agriculture, North Sumatra University in March 2015- June 2015.This study aims to determine the value of dry matter and organic matter processed palm fronds fermentation and ammoniation logically in cattle Aceh. This study uses 4 aceh male cattles weaning with initial body weight (BW) averaging 96±8 kg using the Latin Square Design (RBSL) consisting of 4 treatments and 4 periods. The treatment used in this study is P0 as control (physicaly untreated), P1=(physical +fermentation), P2=(physical +ammoniation), P3=(fermentation +ammoniation). The observed parameters are that consumption of Dry Matter, Organic Matter Consumption, Dry Matter Digestibility and Organic Matter Digestibility.
The results showed that in each treatment P0, P1, P2, and P3give different results against the average consumption of dry matter intake(kg/head /day): 4.11; 4.09; 3.99, and 4.07 respectively. Consumption of organic matter (kg/head /period): 3.74; 3.72; 3.65; and 3.70 respectively. Dry matter digestibility coefficients (% KCBK): 51,54; 56,65; 51,48; and 55,34 respectively. Organicmatter digestibility coefficients (% KCBO): 58,61; 63,22; 57,28; and 63,05 respectively.Consumption of dry matter and organic matter ( DM and OM) showed no real effect (P>0.05), digestibility of dry matter and organic matter (DM and OM) showed a real effect influence (P<0.05).
The conclusion from this studythat theuse of oil palm fronds are treated physically+fermentation can increase the value of dry matter and organic matter of Aceh cattle.
RIWAYAT HIDHP
Penulis dilahirkan di Medan, 18 Oktober 1992 dari ayah Togi Capah dan
ibu Pestaria Br. Sitanggang, penulis merupakan anak pertama dari empat
bersaudara.
Tahun 2010 tamat dari SMA St. Thomas 3 Medan dan pada tahun yang
sama masuk ke Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur Ujian
Masuk Bersama Perguruan Tinggi Negeri (UMB-PTN), penulis memilih Program
Studi Peternakan.
Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif sebagai anggota Ikatan
Mahasiswa Peternakan (IMAPET), anggota Ikatan Mahasiswa Katolik Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara (IMK FP USU). Selain itu penulis juga aktif
dalam organisasi Ikatan Mahasiswa Kristen Peternakan (IMAKRIP).
Penulis juga telah melakukan praktek kerja lapangan (PKL) pada bulanJuli
2013 sampaiAgustus 2013 di PT. Sabas Indonesia, Kawasan Industri Medan III
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat serta karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik yang berjudul “Pemanfaatan Pelepah Kelapa Sawit
Terolah Secara Fisik, Kimiawi, dan Biologis Terhadap Kecernaan Bahan Kering
dan Bahan Organik Pada Sapi Aceh’’.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada kedua
orangtua penulis yaitu Bapak Togi Capah dan Ibu Pestaria Br. Sitanggang yang
telah mendidik serta memberikan motivasi kepada penulis selama ini. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir. R. Edhy Mirwandhono, M.Si selaku
ketua komisi pembimbing dan Ibu Ir. Tri Hesti Wahyuni, M.Sc selaku anggota
komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberikan berbagai masukan
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat membantu memberikan informasi dan
bermanfaat bagi ilmu pengetahuan serta pelaku usaha bidang peternakan
DAFTAR ISI
Potensi Kelapa Sawit di Indonesia ... 10
Bahan Penyusun Konsentrat... ... 12
Konsumsi Pakan dan Efisiensi Pakan ... 16
Kecernaan ... 17
Kecernaan Bahan Kering ... 20