• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Komparasi Pemikiran KH. Hasyim Asy'ari Dan Hamka Tentang Pendidikan Karakter

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Komparasi Pemikiran KH. Hasyim Asy'ari Dan Hamka Tentang Pendidikan Karakter"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KOMPARASI PEMIKIRAN KH. HASYIM

ASY’ARI

DAN HAMKA TENTANG PENDIDIKAN

KARAKTER

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah

Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Disusun Oleh:

Nuriah Miftahul Jannah

NIM. 1112011000024

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

i

ABSTRAK

Nuriah Miftahul Jannah (1112011000024), “Studi Komparasi Pemikiran KH.

Hasyim Asy’ari dan Hamka tentang Pendidikan Karakter”

Kata kunci: Komparasi, Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari, Pemikiran Hamka, Pendidikan Karakter

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dan

Hamka tentang konsep pendidikan karakter, serta mengetahui persamaan dan perbedaan pemikiran pendidikan karakter dari kedua tokoh tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat analisis deskriptif, dengan metode komparasi dan jenis penelitian yang digunakan adalah kepustakaan/library research,

yaitupengumpulan data yang bersifat kepustakaan

Dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa mempelajari dan mengidentifikasikan data-data melalui berbagai literatur bersumber pada buku primer dan buku sekunder yang berkaitan dengan kedua tokoh yang dibahas. Adapun data primer bersumber dari personal dokumen dari KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka. Dan data sekunder diperoleh dari publikasi ilmiah berupa buku, jurnal, artikel, skripsi, tesis, yang mengkaji tentang pemikiran kedua tokoh tersebut terkait pendidikan karakter.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini bahwa pendidikan karakter perspektif

KH. Hasyim Asy’ari adalah adanya usaha yang mendorong terbentuknya karakter

yang positif dalam berperilaku adalah dengan menghayati nilai-nilai luhur dan berpegang teguh pada ketauhidan. Segala kondisi yang terjadi, para pelaku pendidikan senantiasa meresponnya dengan kebaikan budi dan akhlaq al-karimah.

(6)

ii

ABSTRACT

Nuriah Miftahul Jannah (1112011000024), "The Comparative Study of Thought

KH. Hasyim Asy’ari and Hamka about Character Education"

Keyword: The Comparative, The Thought of KH. Hasyim Asy’ari, The Thought of Hamka, Character Education

This study aims to determine the thought of KH. Hasyim Asy’ari and Hamka about the concept of character education, and to know the similarities and differences in educational character the both of tought. This study used a qualitative approach that is both descriptive analysis, the comparison method and the type of study is a literature / library research, namely the collection of data literaturely.

Using the techniques of data collection in the form of studying and identifies data related to both personage discussed ideas through various literature sourced in the primer and sekunder about thought of personage both in the researched. The primary data sourced from personal documents of KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka. And secondary data sourced from scientific publication (books, journals, articles, thesis and mini thesis, etc) about tought of personage both which especially character education.

The results obtained from this study that the character education in the

(7)

iii

KATA PENGANTAR





Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan atas segala Rahmat dan Hidayah-Nya yang telah memberikan nikmat sehat

dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan

skripsi ini. Shalawat beserta salam semoga Allah SWT senantiasa

melimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa

Sallam, suri tauladan terbaik bagi seluruh umat manusia dan sosok yang

penuh rahmat bagi alam semesta

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit

menghadapi rintangan dan hambatan. Maka adanya bimbingan, pengarahan

dan dukungan dari berbagai pihak sangat membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan penghargaan yang

setinggi-tingginya dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada :

1. Prof. Dr. H. Dede Rosyada, MA, Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.Ag, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ketua Jurusan Pendidikan Agama

Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Hj. Marhamah Saleh, Lc, MA, Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama

(8)

iv

5. Dr. Akhmad Shodiq, M.A, Dosen Pembimbing yang telah bersedia

memberikan bimbingan, arahan, masukan, dan saran kepada penulis

selama menyelesaikan skripsi ini.

6. Drs. Achmad Gholib, M.Ag, Dosen Penasihat Akademik yang telah

memberikan semangat dan motivasi kepada penulis selama studi.

7. Ayahanda tercinta Mahlil Mochsen (almarhum) dan Ibunda tersayang

Fatmah Ibrahim yang selalu jadi inspirasi dan doa yang tak terhingga,

(semoga Allah membalas segala kebaikan dan pengorbanan mereka).

8. My lovely brothers Ndoa, Boya, Iki, Bamal yang selalu ada buat

penulis yang telah memberikan dukungan moril maupun materil. My

sisters in law Mbak Dwi, Mbak Tin, Mbak Ni, dan Mbak Yuli yang

senantiasa memberi semangat dan motivasi kepada penulis.

9. Dosen Jurusan Pendidikan Agama Islam dan seluruh staf Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan yang dengan sabar memberikan bekal ilmu dan

pengalaman kepada penulis selama menempuh studi.

10.Ibu Sabngati Istinganah, Staf administrasi Jurusan Pendidikan Agama

Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

11.Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Ilmu

Tarbiyah UIN Jakarta yang telah memberikan keleluasaan dalam

peminjaman buku-buku yang dibutuhkan.

12.Pimpinan dan Staf Perpustakaan Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta,

Perpustakaan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah

Jakarta, Perpustakaan Daerah Nyi Ageng Serang Jakarta yang telah

memberikan keleluasaan dalam peminjaman buku-buku yang

dibutuhkan.

13.Terima kasih buat sahabat sejati, sahabat seperjuangan yang

menginspirasi Arruum Arinda, Farisha, Hanny Puspitasari, Syifa

Alawiyah, Bahiyatul Musfaidah yang selalu bersama baik suka maupun

(9)

v

14.Terima kasih buat sahabat terbaik yang pertama kali bersama

menempuh studi Evia Fajriati Kusmana, Annisa Khanza Fauziah,

Mutia Anggraini dan Masturah Yasmin Hafidzoh yang selalu

membantu dan peduli dari awal hingga sekarang.

15.Teman-teman PAI angkatan 2012 yang tidak bisa penulis sebut satu per

satu yang selalu menjaga komitmen untuk terus bersama dan saling

membantu, memotivasi dalam proses belajar di kampus UIN Jakarta.

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, bagi mereka semua yang telah

membantu dan berkonstribusi dalam menyelesaikan skripsi ini tiada kata yang

paling indah selain ucapan terima kasih dan syukur, semoga Allah SWT

membalas semua amal baik mereka semua dan penulis berharap

mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi pembaca

pada umumnya.

Jakarta, 31 Oktober 2016

(10)

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 12

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 12

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 13

BAB II KAJIAN TEORI A. Konsep Pendidikan 1. Pengertian Pendidikan ... 14

2. Tujuan Pendidikan ... 18

3. Pendidik ... 21

4. Peserta Didik ... 23

B. Konsep Karakter 1. Pengertian Karakter ... 25

2. Nilai-nilai Pembentukan Karakter... 28

(11)

vii

2. Tujuan Pendidikan Karakter ... 34

3. Fungsi Pendidikan Karakter ... 37

4. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Islam ... 38

D. Hasil Penelitian yang Relevan ... 40

BAB III METODOLOGI PENELITAN A. Objek dan Waktu Penelitian... 43

B. Metode Penelitian... 43

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 45

D. Analisis Data ... 46

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. KH. Hasyim Asy’ari... 47

1. Riwayat Hidup KH. Hasyim Asy’ari ... 47

2. Latar Belakang Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari ... 48

3. Karya-karya KH. Hasyim Asy’ari... 50

4. Pemikiran Pendidikan Karakter KH. Hasyim Asy’ari ... 52

a. Pendidikan ... 53

b. Tujuan Pendidikan ... 54

c. Pendidik ... 55

d. Peserta didik ... 57

e. Pendidikan Karakter ... 58

B. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) ... 60

1. Riwayat Hidup Hamka ... 60

2. Latar Belakang Pendidikan Hamka ... 61

3. Karya-karya Hamka ... 64

4. Pemikiran Pendidikan Karakter Hamka ... 66

a. Pendidikan ... 66

b. Tujuan Pendidikan ... 68

c. Pendidik ... 69

(12)

viii

e. Pendidikan Karakter ... 72

C. Persamaan dan Perbedaan Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka tentang Pendidikan Karakter ... 74

D. Relevansi Pemikiran Pendidikan Karakter KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka ... 79

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 83

B. Implikasi ... 84

C. Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 86

(13)

ix

[image:13.612.129.501.180.561.2]

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa ... 30

(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Problematika masyarakat modern ditunjukkan dengan meningkatnya

kontrol diri pada materi ruang dan waktu sehingga menimbulkan evolusi

ekonomi, gaya hidup, dan pola pikir yang semakin sekuler. Dunia

pendidikan juga turut merasakan dampak dari kemodernan. Semua

penemuan teknologi canggih saat ini mempunyai efek yang tidak terduga.

Perkembangan peradaban yang semakin maju membawa pengaruh yang

signifikan, terlihat dari sikap yang ditampilkan dalam kehidupan

keseharian telah jauh dari kepribadian bangsa.

Dampak globalisasi yang terjadi saat ini, membuat masyarakat

Indonesia melupakan pendidikan karakter bangsa. Padahal, pendidikan

karakter merupakan suatu pondasi bangsa yang sangat penting dan perlu

ditanamkan sejak dini kepada anak-anak. Hal itu karena globalisasi telah

membawa kita pada penuhanan materi sehingga terjadi ketidakseimbangan

antara pembangunan ekonomi dan tradisi kebudayaan masyarakat.1

Pupuh Fathurrohman dalam hal ini menjelaskan “Sejarah telah

mencatat bahwa suatu negara dan bangsa bisa hancur bukan karena

ekonomi, bukan karena militernya lemah, bukan karena tsunami alam yang

menimpa, akan tetapi suatu bangsa dan negara akan hancur karena akhlak

dan moral bangsanya telah rusak”.2

Adapun kasus datang dari dunia pendidikan, misalnya baru-baru ini

bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional terjadi peristiwa seorang

mahasiswa FKIP (Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan) yang tega melukai

1 Masnur Muslich, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, (Jakarta: Bumi Aksara, 2015), h. 1

(15)

leher dan menebas tangan dosennya sendiri hingga tewas. Kejadian ini

sangatlah miris mengingat dilakukan oleh seseorang yang berpendidikan

tinggi.3 Dengan demikian, tidak ada jaminan bahwa semakin tinggi ilmu

semakin baik akhlaknya.

Data yang bersumber dari mantan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan, Anies Baswedan menyebutkan bahwa Indonesia menjadi

peringkat 103 dunia, negara yang dunia pendidikannya diwarnai aksi suap-

menyuap dan pungutan liar. Selain itu, Anies mengatakan, pada Oktober

hingga November 2015, angka kekerasan yang melibatkan siswa di dalam

dan luar sekolah di Indonesia mencapai 230 kasus. Kejahatan terorganisir

juga menjadi masalah dalam pendidikan di Indonesia. Bahkan mengenai

kejahatan terorganisir di bidang pendidikan ini Indonesia berada di

peringkat 109 dunia.4 Informasi tersebut semakin mempertegas bahwa

adanya masalah dalam dunia pendidikan sudah dianggap lazim sehingga

menjadi potret buruk pendidikan Indonesia.

Menurut Ali Ibrahim Akbar, praktik pendidikan di Indonesia cendrung

berorientasi pada pendidikan berbasis hard skill (keterampilan teknis),

yang lebih mengembangkan pada ranah intelegensi. Sedangkan,

kemampuan soft skill sangat kurang diperhatikan. Dilihat dari

pembelajaran sekolah hingga perguruan tinggi, lebih menekankan pada

perolehan nilai ujian. Pandangan ini menilai bahwa peserta didik dikatakan

baik kompetensinya apabila nilai hasil ujiannya tinggi.5 Dalam hal ini,

pelaksanaan pendidikan belum menyeimbangkan antara kemampuan soft

skill dan hard skill dengan baik dan benar mulai dari pendidikan dasar

hingga ke tingkat pendidikan tinggi.

Pendidikan nasional belum mampu mencerahkan bangsa ini.

Pendidikan kita kehilangan nilai-nilai luhur kemanusiaan, padahal

3 Mei Leandha, Cekcok Soal Skripsi Mahasiswa Bunuh Dosennya, diakses 2016/05/02 10:45 a.m (http://www.kompas.com)

4 Ika Akbarwati, Anies Baswedan Nyatakan Pendidikan Indonesia Gawat Darurat, diakses 16/08/2016 11:15 a.m (http://www.selasar.com)

(16)

pendidikan seharusnya memberikan pencerahan nilai-nilai luhur.

Pendidikan nasional telah kehilangan rohnya lantaran tunduk terhadap

pasar bukan pencerahan peserta didik. Pasar tanpa karakter akan hancur

dan akan menghilangkan aspek-aspek manusia dan kemanusiaan, karena

telah kehilangan karakter itu sendiri.6

Selain itu, karakter kependidikan yang berlandaskan pada pendekatan

nilai-nilai al-Qur‟an saat ini telah jauh sebagaimana yang diharapkan.

Banyak dari pendidik hanya menonjolkan aspek kemampuan

intelektualitas belaka (cognitive domain) dan meninggalkan nilai-nilai

etika (affective domain). Hal ini tidak sesuai dengan nilai-nilai pendidikan

yang diajarkan al-Qur‟an yang mengajarkan keseimbangan dalam segala

hal.7

Berbicara mengenai pendidikan nasional, pendidikan Islam menjadi

bagian yang tidak terpisahkan. Meskipun pendidikan Islam di bawah

Kementerian Agama Republik Indonesia, ia tidak pernah terpisahkan

dalam kaitannya dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian

Pendidikan Nasional, terutama hal-hal yang substansial. Oleh karena itu,

ketika pemerintah mencanangkan pendidikan karakter bagi perbaikan

mutu dan kualitas peradaban bangsa, pendidikan Islam terlibat dan ikut

berpartisipasi secara aktif di dalamnya

.

8

Beberapa ahli Islam menilai, adanya pergeseran misi dan orientasi

pendidikan Islam dalam institusi pendidikan Islam. Sebagai bagian tak

terpisah dari sistem pendidikan nasional, pendidikan Islam yang semula

ditujukan untuk membentuk karakter anak didik selaku generasi muda

yang memiliki tanggung jawab mengemban visi dan masa depan bangsa,

6Ibid., h. 2

7Rohinah M. Noor, KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU & Pendidikan Islam, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2010), h. 55

(17)

secara metodologis ternyata telah terjebak pada pola pendidikan satu arah

bersifat pengajaran semata.9

Dalam konteks Islam, persoalan pendidikan merupakan masalah

manusia yang berhubungan dengan kehidupan baik duniawi maupun

ukhrawi. Dewasa ini, dapat kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari

bahwa banyak orang yang kehilangan karakternya sebagaimana manusia.

Mereka yang kehilangan karakternya cenderung perilakunya akan

didominasi oleh nafsu dan kepentingan-kepentingan instan. Meningkatnya

intensitas tawuran antar warga, antar pelajar, serta kekerasan dalam rumah

tangga hingga kekerasan terhadap anak, semakin meneguhkan bahwa ada

yang tidak beres dalam karakter bangsa.10

Kartadinata menegaskan bahwa telah terjadi penyempitan makna pendidikan dilihat dari perspektif penerapannya di lapangan. Pendidikan telah diarahkan untuk membentuk pribadi cerdas invidual semata dan mengabaikan aspek-aspek spiritualitas yang dapat membentuk karakter peserta didik dan karakter bangsa, yang merupakan identitas kolektif, bukan pribadi.11

Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, BAB I Pasal 1 menyatakan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.12

BAB II Pasal 3 undang-undang Sisdiknas, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan

9 Tamyiz Burhanudin, Akhlak Pesantren Solusi bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), h. 1

10 Sholeh Hasan, “Analisis Komparatif Konsep Pendidikan Karakter Perspektif Thomas Lickona dan Al-Zarnuji serta implikasinya terhdap implikasinya terhadap pendidikan Agama

Islam, Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Serentak Se Indonesia, 2016.

30 Maret. Semarang : Universitas Negeri Semarang 2016, h.779

11 Muhammad Yaumi, Pendidikan Karakter Landasan, Pilar & Implementasi, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2014), h. 123

(18)

Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.13

Sisdiknas telah jelas menguraikan tujuan pendidikan nasional bukan

sekedar membentuk peserta didik cerdas dalam berilmu tetapi lebih dari itu

pendidikan juga berfungsi membangun karakter, watak, serta kepribadian

bangsa. Sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh

berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta

agama. Disadari atau tidak bahwa dengan kondisi pendidikan sekarang ini,

khususnya mengenai pembentukan karakter belum menjadi prioritas utama

dalam implementasinya.

Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 menjadikan pembentukan karakter

sebagai tujuan dari pendidikan nasional. Namun dalam pelaksanannya,

pendidikan karakter justru dikesampingkan. Dalam pemikiran guru-guru di

sekolah yang penting anak cerdas atau berhasil mencapai kriteria kelulusan

di setiap mata pelajaran, soal baik tidaknya sikap dan perilaku anak didik

tidak menjadi persoalan. Hal ini menggambarkan bahwa mindset guru

harus dirubah.

Pendidikan karakter bukan hal yang baru dalam sistem pendidikan

Islam sebab roh atau inti dari pendidikan Islam adalah pendidikan karakter

yang semula dikenal dengan pendidikan akhlak.14 Oleh karena itu, kajian

pendidikan karakter dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari kajian

pendidikan Islam pada umumnya. Konsep pendidikan karakter sebenarnya

telah ada sejak zaman Rasulullah Saw, terbukti dari perintah Allah bahwa

misi utama Rasulullah adalah sebagai penyempurna akhlak bagi umatnya.

Pembahasan substansi makna dari karakter sama dengan konsep akhlak

dalam Islam, keduanya membahas tentang perbuatan prilaku manusia.15

13Ibid.., h. 7

14Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 5

(19)

Kata akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu isim masdar dari akhlaqa,

yukhliqu, ikhlaqon. Yang berarti kelakuan tabiat, perangai, watak, dasar.16

Sedangkan akhlak menurut istilah yang disampaikan Al-Ghazali

sebagaimana dikutip oleh Mahjuddin merupakan suatu sifat yang tertanam

dalam jiwa (manusia), yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang

gampang dilakukan tanpa melalui maksud untuk memikirkan (lebih lama).

Maka jika sifat tersebut melahirkan suatu tindakan yang terpuji menurut

ketentuan akal dan norma agama, dinamakan akhlak yang baik. Tetapi

manakala tindakan yang jahat, maka dinamakan akhlak yang buruk.17

Selain itu, dalam Ensiklopedi al-Qur‟an pengertian akhlak (khuluq)

adalah watak yang diperoleh seseorang dari pergaulannya dengan orang

lain atau atas bimbingan orang tua dan pihak-pihak yang bertanggung

jawab dalam proses pendidikan.18 Al-Qurtuby mengatakan bahwa “Suatu

perbuatan manusia yang bersumber dari adab kesopanannya disebut

akhlak, karena perbuatan itu termasuk bagian dari kejadiannya. Akhlak

merupakan bagian dari kejadian manusia yang dapat mempengaruhi setiap

perbuatan manusia”.19

Implementasi akhlak dalam Islam terdapat pada pribadi Rasulullah

Saw. Dalam pribadi Rasul, bersemai nilai-nilai akhlak yang mulia dan

agung. Al-Qur‟an dalam Q.S Al-Ahzab ayat 21 menyatakan :



























Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah”.20

16Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h.1

17Mahjuddin, Akhlak Tasawuf , (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), h. 4

18Ensiklopedi Al-Qur‟an Tematis Jilid 3, (Jakarta: PT. Kharisma Ilmu, 2006 ), h. 11

19Mahjuddin,op. cit, h. 3

(20)

Demikian juga misi diutusnya Nabi Muhammad Saw adalah untuk

menyempurnakan akhlak manusia. Rasulullah Saw bersabda:

ِِإ

ِِقَاْخَأاَِمِراَكَمَِمِمَتِأُِتْثِعُبِاَمَن

Sungguh aku diutus menjadi (Rasul) untuk menyempurnakan akhlak yang baik” (H.R. Imam Baihaqi).21

Hadis tersebut menggambarkan bahwa yang menjadi tolak ukur dalam

pembentukan karakter mulia adalah kita harus mencontoh atau meneladani

karakter Nabi Muhammad Saw yang memiliki karakter yang sempurna.

Karakter atau tabiat manusia merupakan kemampuan psikologis yang

terbawa sejak kelahirannya. Karakter ini berkaitan dengan tingkah laku

moral dan sosial serta etis seseorang. Karakter biasanya erat hubungannya

dengan personalitas (kepribadian) seseorang.22 Karakter adalah watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak yang membedakan seseorang dengan orang

lain.23

Pendidikan karakter bukan hanya berguna bagi pertumbuhan dan

perkembangan individu secara akademik dan moral. Pendidikan karakter,

jika dilaksanakan dengan baik, akan dapat membantu individu agar dapat

menjalani hidup lebih bahagia dan bermakna. Kebermaknaan individu

akan hidupnya ini dapat meningkatkan perbaikan dan memberikan

kemajuan bagi masyarakat secara keseluruhan.24

Selain itu, pendidikan karakter tidak sekedar memberikan pengertian

atau definisi-definisi tentang yang baik dan yang buruk, melainkan sebagai

upaya mengubah sifat, watak, kepribadian dan keadaan batin manusia

sesuai dengan nilai-nilai yang dianggap luhur dan terpuji.25

21A mad Ibnu al usaīn Ibnu „Alī Abū Bakar al Baīhaqī, Sunan al Baīhaqī al-Kubra, Juz 51 bab Kesempurnaan Akhlak dan Keutamaannya No. Hadis 21301 (Makkah: Maktabah Dār Bāz, 1994 ), h. 472

22 H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 52

23Saliman, Kamus Pendidikan Pengajaran Dan Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 116 24 Doni Koesoema, Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh, (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015), h. 24

(21)

Oleh karenanya, melalui pendidikan karakter diharapkan dapat

melahirkan manusia yang memiliki kebebasan menentukan pilihannya

tanpa paksaan dan penuh tanggung jawab. Yaitu manusia-manusia

merdeka, dinamis, kreatif, inovatif, dan bertanggung jawab, baik terhadap

Tuhan, manusia, masyarakat, maupun dirinya sendiri.

Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak

memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu

tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran (spontan) karena sudah

tertanam dalam pikiran sehingga melahirkan perbuatan yang bernilai baik

terhadap Tuhan, maupun manusia. Dengan demikian, pendidikan akhlak

bisa dikatakan pendidikan karakter dalam tinjauan pendidikan Islam.

Muhammad Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa “Pendidikan

akhlak adalah ruhnya dalam pendidikan Islam, dimana para ulama Islam

telah sepakat bahwa pendidikan akhlak adalah ruhnya pendidikan Islam,

dan untuk mencapai akhlak yang sempurna itulah yang menjadi tujuan

yang sebenarnya dari pendidikan”.26

Tujuan tertinggi pendidikan akhlak adalah terbentuknya karakter

positif dalam perilaku manusia. Karakter positif ini bersumber dari

penghayatan dan pengamalan ajaran Allah SWT dalam rutinitas kehidupan

manusia. Keduanya membutuhkan tindakan nyata sebagai ekspresi nilai

personal yang tidak bisa lepas dari nilai-nilai spiritualitas, agama, bahkan

budaya.27

Dengan kata lain, pendidikan harus mampu mengemban misi

pembentukan karakter (character building) sehingga melahirkan peserta

didik yang dapat berpartisipasi dalam mengisi pembangunan dan berperan

sebagai agent of change di masa sekarang dan masa yang akan datang

tanpa mengabaikan ajaran agama dan meninggalkan karakter mulia.

26Musli, Metode Pendidikan Akhlak Bagi Anak, Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011, h. 217

(22)

Diantara tokoh-tokoh intelektual muslim di Indonesia yang memiliki

perhatian besar dan kontribusi dalam dunia pendidikan adalah KH..

Hasyim Asy‟ari dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka).

Keduanya adalah ulama yang memiliki integritas dan keteguhan dalam

ilmu agama serta banyak melahirkan karya. Kedua tokoh ini merupakan

ulama pejuang dan pejuang yang ulama dalam perlawanannya terhadap

kolonial Belanda.

“Suatu bangsa tidak akan maju jika warganya bodoh. Hanya dengan

pengetahuan, suatu bangsa akan menjadi baik”. Ini pernyataan KH.

Hasyim Asy‟ari ketika menyikapi kondisi pendidikan kita yang

terbelakang saat itu, ia tidak hanya ngomong melainkan membuktikannya

dengan membuka pengajian dan membangun pesantren.28 KH. Hasyim

Asy‟ari membawa perubahan baru sepulangnya dari Makkah, dengan

mendirikan pesantren Tebu Ireng yang terkenal di Jombang sampai

sekarang. Tebu Ireng berhasil memadukan tradisi pesantren dan

perkembangan ilmu pengetahuan umum.

Hasyim Asy‟ari merupakan tokoh agama, yang semenjak kecil

dibesarkan di lingkungan pesantren Nggedang dimana ia belajar agama

langsung dari ayahnya yang seorang ulama yang sangat mendukung

kemajuan ilmu agama. Karena merasa haus akan ilmu, Hasyim Asya‟ari

kemudian pergi untuk menuntut ilmu ke berbagai pesanteren di Jawa.

Karakteristik dari Kiai Hasyim adalah kekonsistenannya dalam

memegang tradisi. Dengan pandangan tradisionalisme yang

dipertahankannya KH. Hasyim Asy‟ari banyak mengadopsi tradisi

pendidikan Islam klasik yang lebih mengedepankan normativitas.29 KH.

Hasyim Asy‟ari adalah ulama sekaligus penulis yang banyak melahirkan

karya. Sebagaimana nampak dalam karya-karyanya yang meliputi bidang

pendidikan, teologi, akhlak, fiqh, tasawuf, politik dan sebagainya.

28Tamyiz Burhanudin, Akhlak Pesantren Solusi bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), h. 19

(23)

Keinginan yang sangat kuat untuk mempertahankan bangunan tradisi

tersebut, maka bersamaan dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai

Hasyim Asy‟ari mendirikan Nahdatul Ulama atau kebangkitan ulama

(NU). Organisiasi Islam terbesar di tanah air.30 Akan tetapi ketokohan dan

keharuman nama beliau bukan hanya karena aktivitas beliau sebagai

pendiri NU, melainkan karena beliau juga termasuk pemikir dan

pembaharu pendidikan Islam yang dilahirkan dari keluarga elit kiai di

Jombang.31

Zamakhsyari Dhofier melukiskan pribadi Hasyim Asy‟ari sebagai

seorang yang memiliki kedalaman ilmu yang luar biasa, melalui tangan

beliau inilah lahir ulama-ulama terkemuka di Jawa yang nyaris seluruhnya

menjadi pendiri dan pengasuh pesantren di daerah masing-masing.32

Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang biasa dikenal dengan Hamka

adalah seorang ulama dan tokoh Islam yang sangat toleran dalam

kehidupan, tetapi di sisi lain beliau sangat kuat dan tegas ketika berbicara

menyangkut akidah.33 Ia adalah putra dari seorang tokoh dan ulama

berdarah minang bernama Dr. H. Abdul Karim Amrullah yang sangat

menginginkan anaknya kelak menjadi seorang ulama. Selain belajar dari

ayahnya, ia juga belajar agama secara otodidak.34

Menurut Sutan Mansyur, dari kecil dalam diri Abdul Malik Karim

Amrullah memang sudah ada tanda-tanda ia akan menjadi orang besar.

Kata dan pikirannya selalu didengar oleh teman-teman sebayanya,

menjadikan dia selalu menonjol dalam pergaulan.35 Hamka menurut

30Ibid., h. 83

31Khoiruddin, “Pendidikan Karakter Menurut K.H Hasyim Asy’ari (Studi Kepustakaan dalam

kitab Adab al-Alim Wal Muta’allim)”. Tesis pada Pascasarjana Universitas Muhammadiyah

Ponorogo : 2016. tidak dipublikasikan, h. 3

32Ibid., h. 6

33Irfan Hamka, Ayah, (Republika: Jakarta, 2014),Pengantar Penerbit Republika dalam Novel Ayah, h. viii

34Sapiudin Shidiq, Pendidikan Menurut Buya Hamka, Tahdzib Jurnal Pendidikan Agama Islam Vol. II, No. 2, Juli 2008, h. 109

(24)

Abdurrahman Wahid adalah seorang intelektual yang mempunyai

pengetahuan yang banyak, baik pengetahuan agama maupun umum.36

Buya Hamka dikenal sebagai seorang yang optimis, karena ia percaya

bahwa semua orang pada dasarnya baik dan punya kemungkinan untuk

menjadi lebih baik. Dengan berpegang pada prinsip tersebut, buya

bersikap untuk berbuat apa adanya tanpa harus takut pada siapapun. Sikap

tegas dalam mempertahankan prinsip terbukti saat ia mundur dari ketua

MUI karena tetap mempertahankan fatwa haram menghadiri natal bersama

bagi umat Islam.37

Hamka adalah salah satu tokoh Indonesia yang pemikirannya banyak

dijadikan sebagai acuan dalam pengambilan keputusan, dan teori-teori

beliau cetuskan dalam bukunya banyak digunakan untuk memecahkan

masalah baik yang terkait dengan masalah sosial, politik, agama, maupun,

pendidikan. Selain itu, beliau juga melahirkan karya fenomenal berupa

tafsir Al-Azhar yang banyak digunakan masyarakat dalam memahami

al-Qur‟an.38

KH. Hasyim Asy‟ari dan Buya Hamka adalah sosok yang tidak

diragukan lagi, selain menonjol dalam hal- hal yang telah disebutkan di

atas, keduanya dikenal cukup concern dan sangat peduli dengan nasib

pendidikan umat serta berwawasan jauh ke depan. Dilihat dari sikap dan

karakter mereka yang mempengaruhi pemikiran terhadap sesuatu. Dalam

hal pendidikan, keduanya memfokuskan pentingnya pendidikan akhlak

atau budi pekerti dalam proses pendidikan.

Beranjak dari apa yang dipaparkan di atas, dipahami bahwa karakter

atau budi pekerti adalah perilaku manusia menuju sifat-sifat baik yang

berdampak postif untuk lingkungan sekitar. Berdasarkan hal tersebut,

peneliti termotivasi untuk menyusun karya ilmiah yang berjudul:

36Sudin, Pemikiran Hamka Tentang Moral, Esensia, Vol. XII, No. 2 Juli 2011, h. 224

37Ibid., h. 66

(25)

“Studi Komparasi Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka

Tentang Pendidikan Karakter.

B.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya,

beberapa masalah mendasar dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Degradasi moral yang dialami bangsa Indonesia

2. Paradigma guru yang belum mengetahui pentingnya

pelaksanaan pendidikan karakter

3. Media pertelevisian yang kurang memperioritaskan pendidikan

4. Minimnya pengetahuan dasar agama, pendidikan dari orang tua

serta pengawasan kepada anak dalam menghadapi arus

globalisasi

5. Pola hidup bangsa Indonesia yang cendrung westernisasi akibat

perkembangan zaman.

C.

Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar permasalahan yang berkenaan dengan judul di atas tidak melebar,

maka dalam pembahasannya penulis membatasi dan merumuskan

permasalahan pada hal-hal ini sebagai berikut :

1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, untuk lebih terarahnya

penelitian ini dibatasi pada pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka

terhadap pendidikan karakter.

2. Rumusan Masalah

Dari pembatasan masalah di atas, maka peneliti merumuskan

masalah penelitian yang akan dikaji, yaitu:

a. Bagaimana pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka tentang

pendidikan karakter?

b. Bagaimana persamaan dan perbedaan pemikiran KH. Hasyim

(26)

D.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian atau penulisan

karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka

tentang pendidikan karakter

b. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pemikiran KH.

Hasyim Asy‟ari dan Hamka tentang pendidikan karakter

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diambil dari penelitian ini adalah :

a. Bagi peneliti, menemukan dam menambah pemahaman tentang

pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka terkait pendidikan

karakter. Dan sebagai salah satu syarat menempuh jenjang

strata satu.

b. Bagi civitas akademik, untuk memperluas khazanah keilmuan

dalam dunia pendidikan, terutama dalam pendidikan karakter.

c. Bagi masyarakat, untuk menambah literature dan bahan

bacaan, sehingga masyarakat bisa mengambil pelajaran positif

(27)

14

BAB II

KAJIAN TEORI

A.

Konsep Pendidikan

1.

Pengertian Pendidikan

Kata pendidikan berasal dari bahasa Yunani yaitu, “pedagogia”, atau

peadgogos” yang berarti pembimbing anak, atau seseorang yang

tugasnya membimbing anak dalam pertumbuhannya ke arah kemandirian

dan sikap tanggung jawab.1 Pendidikan berasal dari kata “didik” yang

artinya memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan

pikiran. Mendapat awalan “pen” dan akhiran “an” yang berarti proses

pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam

usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.2

Dari pengertian di atas, pendidikan pada dasarnya adalah proses

membimbing, mengarahkan dan memberi latihan kepada seseorang atau

sekelompok orang dalam rangka memelihara dan menumbuhkembangkan

kemandirian, kecerdasan pikiran, serta sikap yang baik dalam

pertumbuhan ke arah kedewasaan.

Sedangkan dalam konteks Islam pendidikan dikenal dengan tiga

istilah, yaitu al-tarbiyah, al-ta’lim, dan al-ta’dib. Istilah “tarbiyah” (

ةيبرت

)

dari kata (

ّ بر

) mengandung arti mengasuh, memelihara, memperbaiki, dan

menumbuh kembangkan dengan penuh kasih sayang. Pengertian “ta’lim”

1Chairul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 32

(28)

(

ميلعت

) dari kata kerja (

م لع

) yang berarti pengajaran, pengarahan, dan

pendidikan. Dan “ta’dib” (

بدعت

)

dari kata (

بدأ

)

yang berarti pendidikan,

kepatuhan, sopan santun.3

Makna al-tarbiyah atau pendidikan adalah istilah yang berkaitan

dengan usaha menumbuhkan atau menggali segenap potensi fisik, psikis,

bakat, minat, talenta dan berbagai kecakapan lainnya yang dimiliki

manusia, atau mengaktualisasikan berbagai potensi manusia yang

terpendam, kemudian mengembangkannya dengan cara merawat dan

memupuknya dengan penuh kasih sayang. Yang di dalam proses tersebut

terdapat unsur pendidik, peserta didik, dan unsur caranya.4

Kata al-ta’lim banyak dijumpai di dalam al-Qur‟an, dan umumnya

diartikan dengan pengajaran atau mengajar. Menurut Quraish Shihab

sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata mengartikan kata yu’allimu

dengan artian mengajar yang tidak lain kecuali hanya mengisi benak anak

didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika serta

fisik. Kata al-ta’lim ini termasuk yang paling popular dan banyak

digunakan di Indonesia untuk kegiatan pendidikan non formal, seperti

pada kegiatan majelis ta‟lim.

Sedangkan kata al-ta’dib merupakan kegiatan pendidikan sebagai

sarana tranformasi nilai-nilai akhlak mulia yang bersumber pada ajaran

agama ke dalam diri manusia, serta menjadi dasar bagi terjadinya proses

Islamisasi ilmu pengetahuan.5

Ketiga istilah tersebut jelas dipahami bahwa pendidikan adalah upaya

yang dilakukan pendidik dalam rangka menumbuhkembangkan potensi

3Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Media Group, 2010), h. 8-14

4Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), h. 19

(29)

peserta didik baik jasmani maupun rohani melalui serangkaian proses

bimbingan dan arahan agar pesera didik menjadi individu yang lebih baik.

Islam sangat memberikan perhatian yang sangat besar kepada kegiatan

pendidikan. Islam memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya bagi

siapa saja yang menumbuhkembangkan fungsi akal melalui berbagai

proses belajar mengajar, mendidik dan mencerahkan. Bahkan wahyu

pertama yang turun kepada Rasulullah Saw adalah perintah untuk

membaca (iqra’) yang terdapat dalam Q.S. al-„Alaq (ayat 1-5).6

Dan Allah akan mengangkat seorang mencapai derajat yang

setinggi-tingginya karena menguasai ilmu. Bagi mereka yang berilmu dan

menggunakan ilmunya untuk menegakkan kalimat Allah akan mencapai

derajat yang paling tinggi di sisi Allah.

ّ





ّ

ّ

ّ



ّ

ّ

ّ



ّ



ّ

ّ

ّ

ّ

ّ

ّ

ّ



ّ

ّ

ّ

ّ

ّ





ّ

ّ



ّ





ّ

ّ

ّ

ّ

ّ

ّ

ّ



ّ



Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: Berlapang-lapanglah dalam majlis, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi

kelapangan untukmu, dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka

berdirilah, niscahaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman

di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa

derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S

Mujadilah : 11)7

Selanjutnya pengertian pendidikan menurut Drikarya yang

mengungkapkan bahwa pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia

6Shobahussurur, Pembaruan Pendidikan Islam Perspektif Hamka, Jurnal TAQAFAH, vol.5, No.1, Jumadal ula,1430, h.79

(30)

muda. Pengangkatan manusia ke taraf insani itulah yang disebut

mendidik. Ahmad D. Marimba, mengartikan pendidikan adalah bimbingan

atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani

dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.8

Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara merupakan menuntun segala

kodrat yang terdapat dalam diri anak sebagai manusia dan sebagai anggota

masyarakat agar dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang

setinggi-tingginya.9 Pengertian ketiganya mengenai pendidikan lebih

ditekankan pada proses bimbingan individu menuju pada pembentukan

karakter atau kepribadian menjadi manusia yang seutuhnya.

Pendidikan yang dirumuskan dalam Sistem Pendidikan Nasional

merupakan upaya yang terencana dalam proses pembimbingan dan

pembelajaran bagi individu agar tumbuh berkembang menjadi manusia

yang mandiri, bertanggung jawab, kreatif, berilmu, sehat dan berkarakter

mulia. Bahwa dalam hal ini, pendidikan nasional berfungsi

mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban

bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan

bangsa.10

Dalam buku Higher Education for American Democracy, Education is

an institution of civilized society, but the purpose of education are not the

same in all societies. Pendidikan merupakan suatu lembaga dalam

tiap-tiap masyarakat yang beradab, tetapi tujuan pendidikan tidaklah sama

dalam setiap masyarakat.11

Oleh karenanya, pendidikan adalah segala usaha yang dilakukan

secara sadar berupa pembinaan, pengajaran pikiran dan jasmani anak didik

8Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.3

9 Darwyn Syah, Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h. 3

10Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 3

(31)

berlangsung sepanjang hayat untuk meningkatkan kepribadiannya, agar

dapat menjalankan peranan dalam lingkungan masyarakat secara tepat

sesuai dengan kondisinya.

Pendidikan pada umumnya menghasilkan pengetahuan, pemahaman,

keterampilan, nilai-nilai sikap yang lumrah dapat dikategorikan menjadi

kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pendidikan yang merupakan proses

mendidik, dalam hal ini tidak hanya pada ranah kognitif (mentransfer

pengetahuan), akan tetapi mendidik berarti mempersiapkan sumber daya

manusia yang unggul lahir batin yang memiliki pengetahuan,

keterampilan, dan nilai-nilai luhur kehidupan sehingga menjalankan peran

manusia sebagaimana mestinya.12

Jadi, upaya yang dilakukan secara sadar dalam rangka pengajaran,

bimbingan, pelatihan, dan penanaman nilai-nilai luhur pada diri anak

dengan tujuan mempersiapkan mereka sebagai sumber daya manusia

unggul untuk dapat menjalankan kehidupan yang lebih baik di masa

sekarang dan masa yang akan datang. Itulah yang dinamakan dengan

pendidikan.

2.

Tujuan Pendidikan

Tujuan merupakan komponen utama yang terlebih dahulu harus

dirumuskan, peranan tujuan sangat penting sebab menentukan arah proses

pendidikan. Tidak ada tujuan di luar proses pendidikan yang memberi

makna bahwa pendidikan adalah sepanjang hayat.13

John Dewey berpendapat bahwa tujuan pendidikan ialah

mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh peserta didik sehingga

dapat berfungsi secara individual dan sebagai anggota masyarakat melalui

12Tafsir Al-Qur‟an Tematik Jilid 8, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Alqur‟an, 2014), h.3

(32)

penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran yang bersifat aktif.14

Maksudnya dengan pendidikan yang dimiliki oleh peserta didik bertujuan

untuk menjalankan perannya sebagai individual dan anggota masyarakat

sesuai yang diharapkan.

Muhammad al-Toumy al-Syaibany mengatakan bahwa hubungan

antara tujuan dan nilai-nilai amat berkaitan erat, karena tujuan pendidikan

merupakan masalah itu sendiri. Pendidikan mengandung pilihan kemana

arah perkembangan murid-murid akan diarahkan. Nilai-nilai yang dipilih

sebagai pengarah dalam merumuskan tujuan pendidikan tersebut pada

akhirnya akan menentukan corak masyarakat yang akan dibina melalui

pendidikan.15

Tujuan pendidikan pada umumnya adalah membentuk kepribadian

yang utama sesuai dengan cita-cita dan falsafah hidup suatu bangsa.

Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan

Nasional menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman

dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang

demokratis, serta bertanggung jawab.16

Sedangkan tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk

kepribadian anak didik yang kuat jasmani, rohani dan nafsaninya (jiwa)

yakni kepribadian muslim yang dewasa.17 Sesuai dengan bimbingan yang

dilakukan oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani

peserta didik menuju kedewasaan.

14Sukardjo, Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h. 14

15Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,2001), h.47

16Undang-Undang tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV. Tamita Utama, 2004), h.4

(33)

Pada hakikatnya pendidikan Islam tidak hanya menekankan pada

penguasaan kompetensi yang bersifat kognitif, tetapi yang lebih penting

adalah pencapaian pada aspek afektif. Hasil dari pendidikan Islam adalah

sikap dan perilaku (karakter) peserta didik sehari-hari yang sejalan dengan

ajaran Islam.18

Abdurrahman Saleh Abdullah dalam buku Educational Theory A

Qur’anic Outlook, sebagaimana yang dikutip oleh Heri Gunawan, menyatakan bahwa tujuan pendidikan harus meliputi empat aspek, yang

meliputi :

a. Tujuan jasmani (ahdaf al-jismiyah). Bahwa proses pendidikan

ditujukan dalam rangka mempersiapkan diri manusia sebagai

pengemban tugas khalifah fi al-ardh, melalui keterampilan fisik.

b. Tujuan rohani dan agama (ahdaf ruhaniyah wa ahdaf

al-diniyah). Bahwa proses pendidikan ditujukkan dalam rangka

meningkatkan pribadi manusia dari kesetiaan yang hanya kepada

Allah semata, dan melaksanakan akhlak qurani yang diteladani

oleh Nabi Saw sebagai perwujudan perilaku keagamaan.

c. Tujuan intelektual (ahdaf al-aqliyah). Bahwa proses pendidikan

ditujukan dalam rangka mengarahkan potensi intelektual manusia

untuk menemukan kebenaran dan sebab-sebabnya dengan

menelaah ayat-ayat-Nya yang membawa kepada perasaan

keimanan kepada Allah.

d. Tujuan sosial (ahdaf al-ijtimayyah). Proses pendidikan ditujukan

dalam rangka pembentukan kepribadian yang utuh. Pribadi yang

tercermin sebagai al-nas yang hidup pada masyarakat plural.19

18Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), h. 13

(34)

Terkait dengan keempat aspek yang harus diperhatikan dalam

menyusun tujuan pendidikan sebagaimana disebut di atas, memiliki artian

bahwa pendidikan tidak saja mengarahkan pada pengembangan potensi

intelektual, tetapi lebih dari itu perlu keseimbangan antara terpenuhinya

kebutuhan jasmani, kerohaniaan, dan sosial peserta didik. Dalam hal ini,

pendidikan harus mengacu pada ranah afektif, kognitif, dan psikomotorik.

3.

Pendidik

Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi

bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani

dan rohaninya agar mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan

tugasnya sebagai makhluk Allah.20 Dalam hal ini, pendidik sebagai

pelaksana pendidikan dengan sasarannya adalah peserta didik.

Mempunyai peran dan tanggung jawab dan pada umumnya ditujukan

untuk orang tua, guru, dan pelatih.21

Dari uraian di atas, bahwa pendidik adalah siapa saja yang

bertanggung jawab terhadap perkembangan anak, baik jasmani dan

rohaninya dalam memberikan bimbingan menuju kedewasaannya.

Abuddin Nata menyebutkan pendidik secara fungsional menunjukan

kepada seseorang yang melakukan kegiatan dalam memberikan

pengetahuan, keterampilan, pendidikan, pengalaman dan sebagainya.22

Sutari Imam Barnadib mengemukakan bahwa pendidik ialah tiap

orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai

kedewasaan, pendidik diantaranya adalah orang tua, dan orang dewasa

lain yang bertanggung jawab tentang kedewasaan anak.23

20Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), h. 65

21Nanang Purwanto, Pengantar Pendidikan, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), h. 25

22Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h.62

(35)

Menurut Langeveld, pendidik adalah orang yang bertanggung jawab

terhadap pendidikan atau kedewasaan seorang anak. Yang disebut

pendidik karena adanya peranan dan tanggung jawab dalam mendidik

seorang anak.24

Dari pengertian ketiga ahli tersebut, dipahami bahwa pendidik ialah

orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan jasmani dan

rohani peserta didik agar mencapai tingkat kedewasaan sehingga ia

mampu melaksanakan tugas-tugas kemanusiaannya. Oleh karena itu,

pendidik bukan saja guru yang bertugas di sekolah, melainkan semua

orang yang terlibat dalam proses pendidikan mulai sejak kecil sampai ia

dewasa terutama orang tua.

Dalam perspektif Islam, pendidik menempati posisi penting dalam

proses pendidikan. Dialah yang bertanggung jawab terhadap

perkembangan anak didik. Potensi kognitif, afektif, dan psikomotorik

yang terdapat pada anak didik harus diperhatikan perkembangannya agar

tujuan pendidikan dapat tercapai seperti yang diharapkan sesuai dengan

nilai-nilai ajaran Islam.25

Pendidik menurut Islam bukanlah sekedar pembimbing melainkan

juga figur teladan yang memiliki karakteristik baik, sedang hal itu belum

tentu terdapat dalam diri pembimbing. Dengan begitu, pendidik muslim

haruslah aktif dari dua arah. Secara eksternal dengan jalan mengarahkan

atau membimbing peserta didik dan secara internal dengan jalan

menginternalisasikan karakteristik akhlak mulia.26

Mendidik yang merupakan peran dari seorang guru mempunyai tugas

dan fungsi yang terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia

24Alisuf Sabri, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1998), h. 10

25Abuddin Nata, Fauzan, Pendidikan Dalam Perspektif Hadits, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 205

(36)

Nomor.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Guru adalah pendidik

profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,

mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada

pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah

jalur formal.27

Sejalan dengan tugas yang harus diemban oleh pendidik yang

dimaksudkan dalam undang-undang tersebut, maka yang dinamakan

pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan

peserta didik baik dalam kegiatan pendidikan, pengajaran dan

menginternalisasikan nilai-nilai luhur atau karakter mulia dari pendidikan

anak usia dini hingga menengah melalui jalur formal maupun informal.

4.

Peserta Didik

Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha

mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur

pendidikan baik pendidikan formal maupun informal, pada jenjang

pendidikan dan jenis pendidikan tertentu.28 Peserta didik berstatus sebagai

subjek didik karena ia pribadi yang otonom, yang ingin diakui

keberadaannya, yang ingin mengembangkan diri secara terus-menerus

guna memecahkan masalah-masalah dalam kehidupannya.29

Dari keterangan tersebut, peserta didik selain sebagai anggota

masyarakat juga merupakan subjek dan objek pendidikan yang

memerlukan bimbingan orang lain secara berkesinambungan dalam proses

pengembangan potensi diri yang dimiliki, baik pada jalur pendidikan

formal maupun informal.

27Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, h.2

28 Undang-Undang tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV. Tamita Utama, 2004), h. 5

(37)

Dalam paradigma pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang

yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar

yang masih perlu dikembangkan. Disini peserta didik merupakan makhluk

Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai

taraf kematangan, baik bentuk, ukuran maupun keseimbangan pada bagian

lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, memiliki kehendak,

perasaan dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.30

Melalui paradigma di atas, jelas bahwa aktivitas pendidikan tidak akan

terlaksana tanpa keterlibatan peserta didik di dalamnya. Dengan demikian,

untuk mengarahkan tujuan pendidikan dan merancang kurikulum keadaan

mereka harus menjadi perhatian utama.

Selanjutnya, menurut Asma Hasan Fahmi yang dikutip oleh Isnawati,

bahwa tugas dan kewajiban peserta didik ialah :

a. Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya

sebelum menuntut ilmu. Hal ini disebabkan karena belajar adalah

ibadah dan tidak sah ibadah kecuali dengan hati yang bersih

b. Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi ruh dengan

berbagai sifat keutamaan

c. Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di

berbagai tempat

d. Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya

e. Peserta didik hendaknya belajar dengan sungguh-sungguh dan

tabah dalam belajar.31

Berdasarkan hal tersebut unsur yang paling penting pada diri peserta

didik ialah harus meluruskan niat terlebih dahulu, karenanya menuntut

30 Abd. Rahman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), h. 47

(38)

ilmu adalah sebuah ibadah yang memerlukan hati yang bersih. Peserta

didik diberikan kebebasan untuk mengembangkan potensi diri dan mencari

pengetahuan dari berbagai sumber sesuai dengan kebutuhannya.

B.

Konsep Karakter

1.

Pengertian Karakter

Istilah karakter berasal dari charaassein bahasa Latin yang berarti

“dipahat atau diukir”.32

Membentuk karakter diibaratkan mengukir di atas

permukaan besi yang keras. Dalam kamus psikologi, karakter adalah

kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran

seseorang, dan biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat yang relatif

tetap.33

Kata karakter dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan

sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan sesorang

dengan yang lain.34 Dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi

character yang berarti, tabiat, budi pekerti, watak.35 Secara istilah,

karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya yang bergantung

pada faktor kehidupannya sendiri.36

Dapat dikatakan bahwa karakter adalah nilai-nilai yang baik yang

terpatri dalam diri manusia dan diimplementasikan dalam perilaku

keseharian. Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang

khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkungan

keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Karakter tidak diwariskan,

32 Jamal Ma‟mur Asmani, Buku Panduan Inrenalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Yogyakarta: Diva Press, 2013), h. 27

33Ibid., h.28

34Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012) h, 623

35Jhon M. Echols, Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), h.107

(39)

tetapi sesuatu yang dibangun secara berkesinambungan hari demi hari

melalui pikiran dan perbuatan,37

Character is the sum of all the qualities that make you who you are.

It’s your values, your thoughts, your words, and your action” (Karakter

adalah keseluruhan nilai-nilai, pemikiran, perkataaan, dan perilaku atau

perbuatan yang telah membentuk diri seseorang). Individu yang

berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap

mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.38

Terkait pengertian karakter ada beberapa ahli yang memiliki berbagai

pemahaman. Mereka memberikan pemaknaan karakter sesuai dengan

pendekatan yang dilakukan oleh ahli tersebut. Sudewo menyatakan bahwa

karakter merupakan kumpulan dari tingkah laku baik dari seorang anak

manusia. Tingkah laku ini merupakan perwujudan dari kesadaran

menjalankan peran, fungsi, dan tugasnya mengembangkan amanah dan

tanggung jawab.39 Adiwimarta mengartikan karakter sebagai sifat-sifat

kejiwaan, akhlak, budi pekerti yang membedakan seseorang dengan

lainnya.40

Dalam hal ini Sudewo lebih menekankan pengertian karakter pada

perwujudan perilaku baik manusia yang bersumber dari kesadaran

menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam kehidupan. Simon

Philips mengungkapkan karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju

pada suatu sistem yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku yang

ditampilkan.

37 Muchlas Samani, Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 41

38 Muhammad Jafar Anwar, Membumikan Pendidikan Karakter, (Jakarta: CV. Suri Tatu‟uw, 2015), h. 120

39Husaini, Pembinaan Pendidikan Karakter, Jurnal kependidikan dan keIslaman, Vol. XXI, No. 1 Januari-Juni 2014, h.77

(40)

Berbeda dengan Doni Kusuma yang mengartikan karakter adalah

kepribadian yang dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau

sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari berbagai bentukan yang

diterima dari lingkungan. Misalnya, lingkungan keluarga.41

Adapun istilah karakter dalam pandangan Islam menurut Quraish

Shihab dinamai rusyd. Ia bukan hanya nalar, tetapi gabungan antara nalar,

kesadaran moral, dan kesucian jiwa. Ia terbentuk melalui perjalanan hidup

seseorang. Karakter dibangun oleh pengetahuan, pengalaman, serta

penilaian terhadap pengalaman tersebut. Karakter terpuji merupakan hasil

internalisasi nilai-nilai agama dan moral pada diri seseorang yang ditandai

oleh sikap dan perilaku positif. Karena ia erat kaitannya dengan kalbu.42

Dalam terminologi psikologi, karakter (character) adalah watak,

perangai, sifat dasar yang khas, tetap, dan bisa dijadikan ciri untuk

mengidentifikasi seorang pribadi.43 Pada dasarnya karakter tidak dapat

dikembangkan secara cepat dan segera (instan) semuanya harus melewati

proses yang panjang, cermat, dan sistematis. Pendidikan karakter harus

dilakukan berdasarkan tahap-tahap perkembangan anak usia dini sampai

dewasa.44

Karakter merupakan sifat batin yang mempengaruhi segenap pikiran

dan perbuatannya. Apa yang seorang pikirkan dan perbuat sebenarnya

merupakan dorongan dari karakter yang ada padanya. Dengan adanya

karakter (watak, sifat, tabiat, ataupun perangai) seseorang dapat

memperkirakan reaksi-reaksi dirinya terhadap fenomena yang muncul

41M. Najib, Novan Ardhy Wiyani, Manajemen Strategik Pendidikan Karakter Bagi Anak Usia

Dini, (Yogyakarta: Gava Media,2016), h. 59

42Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an Jilid 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), h. 714

43Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Media Group, 2008), h. 61

(41)

dalam diri ataupun hubungan dengan orang lain, dalam berbagai keadaan

serta bagaimana mengendalikannya.45

Ahli pendidikan dasar Marlene Lockheed menjelaskan terdapat empat

tahap pendidikan karakter yang perlu dilakukan, yang meliputi, tahap

pembiasaan, sebagai awal perkembangan karakter anak. tahap pemahaman

dan penalaran terhadadap nilai, sikap, perilaku dan karakter siswa tahap

penerapan berbagai perilaku dan tindakan siswa dalam kenyataan

sehari-hari. Dan selanjutnya tahap pemaknaan, yaitu suatu tahap refleksi dari

para siswa melalui penilaian terhadap seluruh sikap dan perilaku yang

telah mereka pahami dan lakukan dan bagaimana dampak dan manfaatnya

dalam kehidupan.46

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa karakter adalah kualitas

moral atau budi pekerti individu yang merupakan ciri khas yang

membedakan dengan lainnya dan menjadi pendorong untuk melakukan

sesuatu yang bernilai baik yang diperoleh dari lingkungannya. Seseorang

bisa dikatakan berkarakter apabila telah berhasil menyerap nilai-nilai

luhur yang dikehendaki masyarakat yang dapat digunakan sebagai

kekuatan dalam kehidupannya.

2.

Nilai-nilai Pembentukan Karakter

Nilai adalah suatu keyakinan, misi, atau filosofi yang penuh makna.

Nilai dapat bergerak dari sesuatu yang umum dan mengandung arti, tujuan

dan manfaat yang seimbang.47

Adapun nilai-nilai pendidikan Islam yang dikembangkan dalam

pendidikan karakter, antara lain :

a. Empat karakter utama Rasulullah saw, yaitu:

45Nur Zaini, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, e-Journal Kopertais, Vol. 8, No.1, 2014, h.12

46Abdul Majid, Op.cit., h. 109

(42)

1) Shiddiq / Honesty (kejujuran) memupuk nilai pembentukan

karakter untuk tidak berbohong atau tidak berdusta kepada

diri sendiri dan orang lain

2) Amanah / Trustable (bertanggung jawab) memupuk nilai

pembentuk karakter keadilan dan kepemimpinan yang baik,

integritas, disiplin dan tanggung jawab yang tinggi

terhadap kepercayaan yang diberikan

3) Tabligh / Reliable (menyampaikan) memupuk nilai-nilai

pembentukan karakter pecaya diri, bijaksana, toleransi,

cinta damai dan saling menghargai pendapat orang lain

4) Fathonah / smart (cerdas) memupuk nilai-nilai

pembentukan karakter keberanian, mandiri, kreatif, arif,

dan rendah hati.48

b. Nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa, yang bersumber

dari agama, pancasila dan tujuan pendidikan nasional.

Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan

Nasional, mencanangkan pendidikan karakter bangsa mulai

tahun 2010 dengan bertitik tolak pada empat nilai utama, yaitu

kejujuran (jujur), ketangguhan (tangguh), kepedulian (peduli),

dan kecerdasan (cerdas).49

Dari empat nilai utama ini, masing-masing lembaga pendidikan dalam

berbagai jenjang bisa mengembangkannya menjadi berbagai macam nilai

karakter yang diinginkan. Tentu saja untuk merealisasikannya tidak bisa

sekaligus, tetapi harus bertahap. Keempat nilai utama tersebut

menggambarkan peserta didik sangat ditentukan oleh perangainya dari

48Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2005), h.7

(43)

olah hati (jujur), olah pikir (cerdas), dan olah raga (tangguh) serta olah

rasa

Gambar

Tabel 2.1 Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa  ..................................
Tabel 2.1 Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Tabel 4.1

Referensi

Dokumen terkait

Menurut UUSPN No.20 Tahun 2003 : usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta

20 Tahun 2003 Bab I, dijelaskan bahwa ” pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara

Pendidikan Adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya

I, pasal 1 ayat ( 1, 2 ) dijelaskan : (1) Pendidikan nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara

20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembalajaran agar peserta didik secara aktif