• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Spasial untuk Perumusan Kebijakan Pengembangan Kawasan Pulau Pulau Kecil (Studi Kasus Gugus Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Spasial untuk Perumusan Kebijakan Pengembangan Kawasan Pulau Pulau Kecil (Studi Kasus Gugus Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi)"

Copied!
164
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS SPASIAL

UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN

KAWASAN PULAU-PULAU KECIL

(Studi Kasus Gugus Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi)

LA ODE SAMSUL BARANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: Analisis Spasial untuk Perumusan Kebijakan Pengembangan Kawasan Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus Gugus Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

La Ode Samsul Barani NIM: H051060041

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(3)

ABSTRACT

LAODE SAMSUL BARANI. Spatial Analysis for Development Policy Formulation of Small Islands Set (Case Study of Small Islands of Kaledupa Archipelago, Wakatobi Regency). Under directions of H.R. SUNSUN SAEFULHAKIM and EKA INTAN KUMALA PUTRI.

The research objectives were to analyze the pattern of economic potentials associations, to analyze spatial pattern of economic potentials typology, to analyze and to compose spatial model of functional relationship between economic potentials with development performance, and to analyze and to formulate development policy of Kaledupa archipelago area. The quantitative analysis used were Principal Components Analysis (PCA), Tree-Clustering, K-Means Clustering, and Spatial Durbin Model. Data for each spatial unit were collected from various sources mainly Central Agency of Statistics (BPS), COREMAP and FORKANI. The pattern of economic potentials associations could summarize the indicator variables into 32 indexes. The analysis of spatial pattern of economic potentials typology resulted 24 spatial typologies which were grouped into 6 aspects. The spatial model of functional relationship between economic potentials with development performance showed various influences from internal as well as spatial external variables, both positive and negative, which were divided into 3 aspects, i.e; (1) development performances in the welfare sector, (2) development performances in such sectors as service, industry and mining, and (3) development performances in the agricultural sector. Based on spatial pattern, typology and functional relationship of economic potentials with development performance, the formula of development policy of Kaledupa archipelago area should be directed toward the increase in the diversification of agricultural plants, conservation of agricultural and mangrove to rehabilitate the agriculture and mangrove land use, educational improvement, birth rate control, the development of employment of seaweeds sector and the development of the facilities in the fishery sector.

Keywords: Economic potential, spatial typology, development performance, Small Islands of Kaledupa, spatial interaction.

(4)

RINGKASAN

LAODE SAMSUL BARANI. Analisis Spasial untuk Perumusan Kebijakan Pengembangan Kawasan Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus Kawasan Gugus Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi). Dibimbing oleh H.R. SUNSUN SAEFULHAKIM dan EKA INTAN KUMALA PUTRI.

Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.504 buah pulau yang lebih dari 10.000 pulau diantaranya adalah pulau-pulau berukuran kecil dan sangat kecil. Kawasan pulau–pulau kecil ini memiliki potensi ekonomi penting, namun kesejahteraan masyarakat pada kawasan tersebut relatif rendah sehingga sebagian besar penduduk di kawasan pulau-pulau kecil dan pesisir masih hidup di bawah garis kemiskinan. Kebijakan pengembangan kawasan pulau kecil harus lebih spesifik dan terpadu baik antar sektor pembangunan dan antar wilayah. Analisis spasial adalah salah satu model perumusan kebijakan pembangunan yang berbasis ilmu pengetahuan untuk memperhitungkan berbagai keterkaitan potensi ekonomi baik intra maupun antar wilayah sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mendorong kinerja pembangunan. Penelitian ini merupakan studi kasus di kawasan Gugus Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi dengan tujuan untuk menganalisis: (1) pola asosiasi potensi ekonomi kawasan Gugus Pulau Kaledupa, (2) pola spasial tipologi potensi ekonomi kawasan Gugus Pulau Kaledupa, (3) model hubungan fungsional antara potensi ekonomi dengan kinerja pembangunan, dan (4) merumuskan rekomendasi kebijakan pengembangan kawasan Gugus Pulau Kaledupa. Untuk menjawab tujuan penelitian ini digunakan alat analisis kuantitatif yakni: Principal Components Analysis (PCA), Tree Clustering, K-Means Clustering, dan Spatial Durbin Model. Data penelitian berasal dari berbagai sumber seperti; BPS, COREMAP dan Forkani. Unit wilayah analisis terkecil penelitian ini adalah desa dengan jumlah 26 desa. Desa Lagijaya dibagi atas 2 wilayah unit analisis yaitu wilayah daratan dan Pulau Hoga. Variabel dianalisis sebanyak 111 variabel indikator.

Analisis pola asosiasi potensi ekonomi dapat meringkas variabel indikator menjadi 32 variabel indeks yang dibagi dalam 6 aspek yaitu: (1) sumberdaya alam dibagi atas 3 bidang yaitu; (a) penggunaan lahan terdiri atas 2 pola asosiasi, (b) pertanian dan perkebunan terdiri atas 2 pola asosiasi dan (c) perikanan terdiri atas 2 pola asosiasi, (2) sumberdaya manusia dibagi atas 3 bidang yaitu; (a) kependidikan terdiri atas 2 pola asosiasi, (b) bidang kependudukan terdiri atas 4 pola asosiasi (c) ketenagakerjaan terdiri atas 3 pola asosiasi, (3) sumberdaya infrastruktur dan fasilitas umum terdiri atas 6 pola asosiasi, (4) sarana perikanan terdiri atas 2 pola asosiasi, (5) kepariwisataan terdiri atas 3 pola asosiasi, dan (6) kinerja pembangunan terdiri atas 3 pola asosiasi.

(5)

pasangan usia subur (PUS), (2) kawasan pendidikan dan ketersediaan dokter, (3) kawasan pendidikan, diversitas usia dan dokter tinggi, (4) kawasan dengan diversitas usia tinggi, (5) kawasan potensi sumberdaya manusia relatif merata, dan (6) kawasan kepadatan dan tingkat kelahiran. Sedangkan bidang ketegakerjaan dengan 4 variabel indeks dianalisis, dapat dibagi atas 5 tipologi wilayah yaitu: (1) kawasan keluarga nelayan, (2) kawasan aktivitas keluarga relatif merata, (3) kawasan keluarga jasa, perdagangan, industri dan tambang, (4) kawasan keluarga budidaya agar, dan (5) kawasan keluarga tani. Sumberdaya infrastruktur dan fasilitas umum dengan 6 variabel indeks dianalisis, Gugus Pulau Kaledupa dapat dibagi atas 5 tipologi wilayah yaitu: (1) kawasan listrik non PLN 5 wilayah, (2) kawasan beraspal dan bahan bakar dari minyak, (3) kawasan non listrik dan jalan non aspal, (4) kawasan rumah permanen, sumber air PAM, bahan bakar kayu dan non aspal, dan (5) kawasan mata air rendah/sumur tinggi. Sarana perikanan dengan 3 variabel indeks dianalisis dapat dibagi atas 4 tipologi wilayah yaitu: (1) kawasan sarana perahu dan peralatan tangkap perikanan tinggi, (2) kawasan diversitas alat tangkap rendah, (3) kawasan penangkapan ikan laut dalam, dan (4) kawasan infrastruktur perikanan relatif merata. Kepariwisataan dengan 3 variabel dapat dibagi atas 4 tipologi yaitu: (1) kawasan wisata alam/danau, (2) kawasan wisata bahari, (3) kawasan wisata budaya, dan (4) kawasan non wisata. Kinerja pembangunan dengan 3 variabel dapat dibagi atas 4 tipologi wilayah yaitu: (1) kawasan kinerja pembangunan jasa/industri dan tambang rendah, (2) kawasan kinerja pembangunan bidang kesejahteraan dan pendapatan budidaya agar rendah, (3) kawasan kinerja pembangunan relatif merata, dan (4) kawasan kinerja pembangunan pertanian rendah.

Model spasial hubungan fungsional antara sumberdaya ekonomi dengan kinerja pembangunan dibagi atas 3 bidang: (1) kesejahteraan dan budidaya agar, (2) sektor jasa, industri dan tambang, dan (3) sektor pertanian. Model hubungan fungsional tersebut menunjukkan pengaruh berbagai variabel internal dan ekternal wilayah baik bersifat positif maupun negatif terhadap kinerja pembangunan wilayah. Kinerja pembangunan bidang kesejahteraan dan budidaya agar dipengaruhi secara positif oleh: (1) ketetanggaan terhadap lahan mangrove dan pertanian, (2) indeks pendidikan SMU ke-atas, (3) SMP ke-bawah, (4) sarana perahu dan peralatan tangkap, (5) keluarga budidaya agar-agar, (6) kerapatan obyek wisata bahari. Sedangkan aspek yang berpengaruh negatif yakni: (1) areal tangkap ikan wilayah laut dalam/karang, (2) keluarga yang menggunakan bahan bakar utamanya dari kayu, dan (3) obyek wisata budaya. Kinerja pembangunan jasa, industri dan tambang dipengaruhi secara positif oleh (1) ketetanggaan dengan lahan mangrove dan pertanian, (2) produktivitas lahan dan diversitas tanaman pertanaian, (3) sarana perahu dan alat tangkap ikan, (4) sumber air dari sumur, (5) obyek wisata budaya, (6) sumber listrik non PLN. Sedangkan aspek yang berpengaruh negatif yaitu: (1) wisata bahari dan (2) rumah permanen dan air PAM. Kinerja pembangunan sektor pertanian secara positif dipengaruhi oleh: (1) produktivitas lahan dan diversitas tanaman pertanian, (2) ketetanggaan terhadap lahan mangrove dan pertanian, (3) ketersediaan dokter dan tingkat kematian, (4) kerapatan jalan aspel dan (5) areal tangkap laut dalam/karang. Sedangkan variabel berpengaruh secara negatif adalah: (1) keluarga tani, (2) kinerja pembangunan kesejahteraan dan budidaya agar, (3) kepadatan dan tingkat kelahiran, (4) obyek wisata bahari dan (5) pendidikan SMP ke-bawah.

(6)

pengembangan kawasan Gugus Pulau Kaledupa diarahkan pada: peningkatan diversitas tanaman pertanian, pelestarian lahan pertanian dan mangrove, peningkatan derajat pendidikan penduduk, pengendalian tingkat kelahiran, peningkatan pelayanan kesehatan, pengembangan lapangan kerja sektor budidaya agar, pencarian pendapatan alternatif terhadap keluarga pertanian, peningkatan penyediaan air bersih, peningkatan ketersediaan listrik milik masyarakat, peningkatan penyediaan sarana jalan aspal, pengembangan energi pengganti bahan bakar rumahtangga dari kayu, pengembangan sarana perikanan dan transportasi laut dan peralatan tangkap, pengembangan perikanan tangkap laut dalam dan pangembangan pariwisata bahari serta wisata budaya.

(7)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

©Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

ANALISIS SPASIAL

UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN

KAWASAN PULAU-PULAU KECIL

(Studi Kasus Gugus Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi)

LA ODE SAMSUL BARANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Judul Tesis : Analisis Spasial untuk Perumusan Kebijakan Pengembangan Kawasan Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus Gugus Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi)

Nama : La Ode Samsul Barani

NIM : H051060041

Program Studi : Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. H.R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr Ketua

Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.Si Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr.Ir. Bambang Juanda, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

   

(10)

PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang memberikan rahmat dan rahim-Nya sehingga penulis dapat menyelesasikan tesis ini. Penelitian ini berjudul “ Analisis Spasial untuk Perumusan Kebijakan Pengembangan Kawasan Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus Gugus Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi)”.

Dalam penyelesaian tulisan ini berbagai pihak telah banyak membantu, oleh karena itu perkenankanlah penulis pada kesempatan ini menghaturkan terimakasih.

Ucapan terimakasih yang berlimpah kepada Bapak Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S sebagai Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Perdesaan (PWD) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian dan menyusun tesis ini. Ucapan terimaksih setinggi-tingginya kami ucapakan kepada bapak Dr. Ir. H.R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr selaku pembimbing I dan Ibu Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.Si selaku pembimbing II yang telah mengarahkan dan membuka cakrawala berpikir penulis serta tanpa mengenal waktu dan selalu terbuka untuk konsultasi penyelesaian tesis ini. Penghargaan penulis kepada Pemerintah Kabupaten Wakatobi, dan BPS Kabupaten Wakatobi serta berberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ada atau yang sedang menjalankan kegiatan di Kabupaten Wakatobi seperti; Forkani dan COREMAP Wakatobi yang telah membantu memberikan masukan, data dan informasi yang dibutuhkan untuk penyelesaian tesis ini. Kami sampaikan terimakasih kepada bapak Rektor Universitas Haluoleo yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi ke jenjang pascasarjana. Ucapan terimakasih kepada rekan-rekan mahasiswa PWD khususnya angkatan 2006 atas setiap dukungannya dangan semangat social capital yang terbangun selama ini. Kami ucapkan terimakasih dan permohonan maaf kepada keluarga khususnya Ayahanda La Ode Barani dan Ibunda Asmah Adtjih yang tak putus-putusnya memanjatkan doa untuk kebahagian kami serta Mertua kami bapak La Sawali yang telah banyak membantu. Kepada istri Fatmawati Sawali dan kedua anak kami Wa Ode Nur Fadillah dan La Ode Fattahul yang selalu sabar menunggu penulis untuk menyelesaikan masa studi. Akhirnya terimakasih kepada semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu yang telah memberikan dukungan dengan caranya masing-masing.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikan tulisan ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat

Bogor, Agustus 2009

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 23 Maret 1977 di Buranga Kecamatan Kaledupa Kabupaten Wakatobi. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara dari pasangan La Ode Barani dan Asma Adtjih.

Penulis menyelesaikan pendidikan SDN di Kecamatan Kaledupa Kabupaten Wakatobi sedangkan SMP sampai SMA diselesaikan di Kota Kendari. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Haluoleo Kendari dan lulus tahun 2003.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR SIMBOL DAN SINGKATAN ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan dan Manfaat ... 6

1.3.1. Tujuan ... 6

1.3.2. Manfaat ... 6

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 7

1.5. Deskriptif Alur Kerangka Pemikiran Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Definisi dan Batasan Pulau-Pulau Kecil ... 10

2.1.1. Definisi Pulau Kecil ... 10

2.1.2. Batasan Tentang Pulau-Pulau Kecil ... 11

2.1.3. Problem Ekonomi Pulau-Pulau Kecil ... 13

2.2. Konsep Pembangunan Daerah ... 15

2.2.1. Pengertian Pembangunan dan Pengembangan Daerah ... 15

2.2.2. Tetrahedron Kemajuan ... 18

2.2.3. Model Pembangunan ... 18

2.2.4. Pergeseran Peranan Pemerintah-Masyarakat serta Kecenderungan Desentralisasi Pembangunan ... 19

2.2.5. Ekonomi Keterkaitan ... 22

2.2.6. Pemodelan Keterkaitan Spasial ... 23

2.4. Beberapa Penelitian Terkait dengan Pengembangan Sumberdaya Ekonomi Kabupaten Wakatobi... 26

2.4.1. Model Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil dalam Rangka Pengembangan Wilayah Kepulauan Wakatobi ... 26

2.4.2. Pendekatan Penataan Ruang dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus; Pulau-Pulau Kaledupa Taman Nasional Kepulauan Wakatobi Sulawesi Tenggara) ... 27

BAB III METODE PENELITIAN ... 28

3.1. Lokasi Penelitian ... 28

3.2. Skema Prosedur Kerja Penelitian ... 28

3.2.1. Kerangka Proses Penelitian ... 28

3.2.2. Variabel Dasar dan Sumber Data ... 29

3.3. Analisis Variabel Indikator ... 31

3.4. Ortogonalisasi dan Analisis Kompomen Utama (PCA) ... 31

3.5. Analisis Indeks Komposit ... 33

(13)

3.8. Analisis Deskriptif ... 35

BAB IVGAMBARAN UMUM WILAYAH ... 36

4.1. Kondisi Geografis ... 36

4.1.1. Letak Geografis ... 36

4.1 2. Luas Wilayah ... 37

4.1.3 Keadaan Iklim ... 38

4.2. Kondisi Demografi ... 39

4.3. Ketenagakerjaan ... 40

4.4 Struktur Ekonomi ... 41

4.5. Pendidikan ... 42

4.6. Kesehatan ... 43

4.7. Infrastruktur dan Sarana umum ... 44

4.8. Arah Kebijakan Ekonomi Makro Kabupaten Wakatobi ... 45

4.8.1. Prioritas Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi Tahun 2008 ... 46

4.8.2 Rencana Struktur Ruang Kabupaten Wakatobi ... 48

BAB VHASIL DAN PEMBAHASAN ... 51

5.1 Pola Asosiasi Potensi Ekonomi Kawasan Gugus Pulau Kaledupa ... 51

5.1.1. Pola Asosiasi Potensi Sumberdaya Alam ... 51

5.1.2 Pola Asosiasi Potensi Sumberdaya Manusia ... 55

5.1.3 Pola Asosiasi Sumberdaya Infrastruktur Fasilitas Umum, Perikanan dan Kepariwisataan ... 58

5.1.4 Pola Asosiasi Sumberdaya Kinerja Pembangunan ... 63

5.2 Pola Spasial Tipologi Potensi Ekonomi Gugus Pulau Kaledupa ... 64

5.2.1. Pola Spasial Tipologi Sumberdaya Alam ... 65

5.2.2. Pola Spasial Tipologi Sumberdaya Manusia ... 69

5.2.3. Pola Spasial Tipologi Sumberdaya Infrastruktur dan Fasilitas Umum ... 78

5.2.4. Pola Spasial Tipologi Sumberdaya Infrastruktur Perikanan ... 82

5.2.5. Pola Spasial Tipologi Sumberdaya Kepariwisataan ... 85

5.2.6. Pola Spasial Tipologi Kinerja Pembangunan ... 89

5.3 Model Spasial Hubungan Fungsional Antara Sumberdaya dengan Kinerja Pembangunan Gugus Pulau Kaledupa ... 92

5.3.1. Model Spasial Hubungan Fungsional Antara Sumberdaya dengan Kinerja Pembangunan Bidang Kesejahteraan dan Budidaya Agar ... 93

5.3.2 Model Spasial Hubungan Fungsional Antara Sumberdaya dengan Kinerja Pembangunan Sektor Jasa, Industri dan Tambang ... 96

5.3.3 Model Spasial hubungan fungsional Antara Sumberdaya dengan Kinerja Pembangunan Sektor Pertanian ... 99

(14)

5.4.1. Arahan Kebijakan berdasarkan Aspek Potensi

Sumberdaya ... 105

5.4.2. Arahan Kebijakan Pengembangan Berdasarkan Unit Wilayah Desa dan Pulau di Kawasan Gugus Pulau Kaledupa ... 109

BAB VIKESIMPULAN DAN SARAN ... 115

6.1. Kesimpulan ... 115

6.2 Saran ... 117

DAFTAR PUSTAKA ... 118

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 120

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman 1  Karakteristik Pulau Oseanik, Pulau Kontinental dan Daratan Kontinen ... 11  2  Keterbatasan ekonomi pulau-pulau kecil terkait dengan ukuran fisik

(Smallness) ... 14  3  Keterbatasan ekonomi pulau-pulau kecil terkait dengan tingkat

insularitas ... 15 

4  Matriks Pendekatan Penelitian ... 30  5  Pembagian desa berdasarkan pola penggunaan lahan tahun 2007 di

Gugus Pulau Kaledupa ... 37  6   Data curah hujan selama sepuluh tahun pengamatan (1995-2004) di

Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi ... 38 

7   Struktur usia penduduk Gugus Pulau Kaledupa menurut umur tahun

2007 ... 40 

8  Peranan sektor ekonomi Gugus Pulau Kaledupa terhadap pendapatan

wilayah atas dasar harga berlaku tahun 2007 ... 41  9  Daerah berdasarkan komoditas ekonomi Gugus Pulau Kaledupa tahun

2007 ... 42  10  Persentase penduduk Gugus Pulau Kaledupa menurut ijazah yang

ditamatkan tahun 2007 (%) ... 43  11   Jumlah sarana sekolah di Gugus Pulau Kaledupa tahun 2007 ... 43  12  Keadaan sarana kesehatan dan tenaga medis di Gugus Pulau Kaledupa

tahun 2007 ... 44  13  Keadaan sarana jalan berdasarkan permukaan jalan di Gugus Pulau

Kaledupa tahun tahun 2007 ... 44  14   Kepala keluarga berdasarkan sumber listrik di Gugus Pulau Kaledupa

tahun 2007 ... 45 

15  Zonasi Taman Nasional Laut Kepulauan Wakatobi sesuai SK Dirjen

PHKA Departemen Kehutanan no 307 tahun 2007 ... 49 

16   Eigenvalues potensi sumberdaya alam bidang penggunaan lahan ... 51 

17  Pola asosiasi potensi sumberdaya alam bidang penggunaan lahan Gugus Pulau Kaledupa ... 52 

18  Eigenvalues sumberdaya alam bidang pertanian dan perkebunan Gugus Pulau Kaledupa ... 52  19  Pola asosiasi potensi sumberdaya alam bidang tanaman pertanian dan

perkebunan ... 53  20  Eigenvalues potensi sumberdaya alam bidang perikanan ... 54 

21   Pola asosiasi potensi sumberdaya alam bidang perikanan Gugus Pulau Kaledupa ... 54  22  Eigenvalues potensi sumberdaya manusia bidang kependidikan ... 55 

(16)

24  Eigenvalues potensi sumberdaya manusia bidang kependudukan ... 56 

25 Pola asosiasi potensi sumberdaya manusia bidang kependudukan ... 57 

26 Eigenvalues potensi sumberdaya manusia bidang ketenagakerjaan ... 58 

27  Pola asosiasi potensi sumberdaya manusia bidang ketenagakerjaan ... 58 

28  Eigenvalues sumberdaya infrastruktur dan fasilitas umum ... 59 

29  Pola asosiasi potensi sumberdaya infrastruktur dan fasilitas umum ... 61 

30  Eigenvalues potensi sumberdaya infrastruktur perikanan ... 61 

31  Pola asosiasi potensi sumberdaya infrastruktur perikanan ... 62 

32  Eigenvalues potensi sumberdaya kepariwisataan ... 62 

34  Pola asosiasi potensi sumberdaya kepariwisataan ... 63 

35  Eigenvalues sumberdaya kinerja pembangunan ... 63 

36  Pola asosiasi sumberdaya kinerja pembangunan ... 64 

37  Kelompok wilayah berdasarkan tipologi potensi sumberdaya alam ... 67 

38  Kelompok wilayah berdasarkan tipologi potensi sumberdaya manusia bidang pendidikan dan kependudukan ... 71 

39  Wilayah berdasarkan tipologi potensi sumberdaya manusia bidang ketenagakerjaan ... 76 

40  Kelompok wilayah berdasarkan tipologi potensi sumberdaya infrastruktur dan fasilitas umum ... 80 

41  Kelompok wilayah berdasarkan tipologi potensi sumberdaya infrastruktur perikanan ... 84 

42  Kelompok wilayah berdasarkan tipologi potensi sumberdaya kepariwisataan ... 87 

43  Kelompok wilayah berdasarkan tipologi kinerja pembangunan Gugus Pulau Kaledupa ... 90 

44 Matriks arahan rumusan kebijakan pengembangan kawasan Gugus Pulau Kaledupa ... 101 

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1   Diagram alir kerangka pemikiran penelitian ... 9  2  Segitiga Pembangunan ... 18  3   Kerangka pengelolaan daerah laut dan pesisir diera otonomi daerah

(UU no 32 tahun 2004) ... 22  4   Peta Kabupaten Wakatobi dan Gugus Pulau Kaledupa ... 28  5  Diagram kerangka proses penelitian ... 29 

6  Kelompok keluarga di Gugus Pulau Kaledupa menurut lapangan

pekerjaan tahun 2007 ... 40 

7   Peta Gugusan Kepulauan Wakatobi berdasarkan Satuan Wilayah

Pembangunan (SWP) Daerah ... 49  8   Grafik indeks potensi sumberdaya alam luas tanam dan produksi

tanaman pertanian dan perkebunan ... 65  9   Peta pola spasial tipologi potensi sumberdaya alam bidang luas tanam

dan produksi tanaman pertanian ... 66  10  Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) spasial tipologi potensi

sumberdaya alam Gugus Pulau Kaledupa ... 67 

11   Peta pola spasial tipologi sumberdaya alam Gugus Pulau Kaledupa ... 69  12  Grafik indeks potensi sumberdaya manusia bidang kependidikan Gugus

Pulau Kaledupa ... 70  13  Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) spasial tipologi potensi

sumberdaya manusia ... 71 

14  Peta pola spasial tipologi potensi sumberdaya manusia bidang

pendidikan dan kependudukan Gugus Pulau Kaledupa ... 74 

15  Grafik indeks keluarga budidaya agar Gugus Pulau Kaledupa ... 74 

16  Peta pola spasial tipologi keluarga budidaya agar Gugus Pulau

Kaledupa ... 75 

17  Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) indeks potensi sumberdaya

manusia bidang ketenagakerjaan ... 76 

18  Peta pola spasial tipologi sumberdaya manusia bidang ketenagakerjaan Gugus Pulau Kaledupa ... 78  19  Grafik indeks rumah semi permanen dan ketersediaan listrik Gugus

Pulau Kaledupa ... 78  20  Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) potensi sumberdaya

infrastruktur dan fasilitas umum Gugus Pulau Kaledupa ... 79  21  Peta pola spasial tipologi sumberdaya infrastruktur dan sarana umum di

Gugus Pulau Kaledupa ... 82 

22  Grafik indeks ketersediaan perahu dan alat tangkap Gugus Pulau

(18)

23  Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) spasial tipologi sumberdaya infrastruktur perikanan ... 83  24  Peta pola spasial tipologi sumberdaya infrastruktur perikanan Gugus

Pulau Kaledupa ... 85 

25  Grafik indeks obyek wisata bahari Gugus Pulau Kaledupa ... 86  26  Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) spasial tipologi sumberdaya

kepariwisataan Gugus Pulau Kaledupa ... 87  27  Peta pola spasial tipologi sumberdaya kepariwisataan Gugus Pulau

Kaledupa ... 88 

28  Grafik indeks kinerja pembangunan bidang kesejahteraan dan budidaya agar masyarakat Gugus Pulau Kaledupa ... 89 

29   Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) spasial tipologi kinerja

pembangunan Gugus Pulau Kaledupa ... 90  30  Peta pola spasial tipologi kinerja pembangunan Gugus Pulau Kaledupa ... 92 

(19)

DAFTAR SIMBOL DAN SINGKATAN

No Simbol Keterangan

(1) (2) (3)

1 SDA_ F1LU : Lahan pertanian dan mangrove 2 SDA_ F2LU : Lahan hutan/lahan terbangun 3 SDA_F1Tmn : Luas tanam dan produksi pertanian

4 SDA_F2Tnm : Produktivitas lahan dan diversitas tanaman pertanian 5 SDA_ F1Ikn : Produksi ikan demersal, alat tangkap sero,bubu dan

panah

6 SDA_ F2Ikn : Produksi ikan pelagis,teripang, gurita, dan alat tangkap pancing

7 SDM_F1Pdkn : Penduduk berijazah SMU ke atas 8 SDM_F2Pdkn : Penduduk berijazah SMP ke bawah 9 SDM_F1Pddk : Rataan dan diversitas usia Penduduk 10 SDM_F2Pddk : Tingkat kematian dan ketersediaan Dokter 11 SDM_F3Pddk : Ketersediaan Puskesmas dan PUS

12 SDM_F4Pddk : Kepadatan dan tingkat kelahiran 13 SDM_F1tngkrj : Keluarga jasa

14 SDM_F2tngkrj : Keluarga pertanian 15 SDM_F3tnkrj : Keluarga budidaya agar 16 IFU_F1SrnPbk : Rumah permanen dan air PAM

17 IFU_F2SrnPbk : Keluarga sumber air hujan dan non PLN 18 IFU_F3SrnPbk : Rumah semi Permanen dan penerangan listrik 19 IFU_F4SrnPbk : Keluarga sumber air sumur dan mata air

20 IFU_F5SrnPbk : Ketersediaan Perumahan bahan bakar minyak / kayu 21 IFU_F6SrnPbk : Kerapatan jalan beraspal

22 IFU_F1Ikn : Sarana perahu dan alat tangkap perikanan 23 IFU_F2Ikn : Areal perikan tangkap laut dalam/karang 24 IFU_F3Ikn : Diversitas alat tangkap

25 IFU_F1Wst : Obyek wisata bahari 26 IFU_F2Wst : Obyek wisata budaya 27 IFU_F3Wst : Obyek wisata alam

28 IKE_F1Pdtn : Kinerja pembangunan sektor jasa industri dan tambang 29 IKE_F2Pdtn : Kinerja pembangunan bidang kesejahteraan dan

budidaya agar

30 IKE_F3Pdtn : Kinerja pembangunan sektor pertanian 31 IndSDA_F1LU : Indeks lahan pertanian dan mangrove, 32 IndSDA_F2LU : Indeks hutan/lahan terbangun,

33 IndSDA_F1Tnm : Indeks luas tanam dan produksi pertanian,

34 IndSDA_F2Tnm : Indeks produktivitas dan diversitas tanaman pertanian, 35 IndSDA_F1Ikn : Indeks produksi ikan pelagis, teripang, gurita dan alat

(20)

(1) (2) (3)

36 37

IndSDA_F2Ikn IndSDM_F1Pdkn

: :

Indeks produksi ikan demersal dan alat tangkap sero, bubu, dan panah.

Indeks penduduk ijazah SMU ke atas 38 IndSDM_F2Pdkn : Indeks penduduk ijazah SMP ke bawah 39 IndSDM_F1Pdkk : Indeks diversitas dan rataan usia penduduk, 40 IndSDM_F2Pdkk : Indeks ketersediaan tenaga dokter dan kematian

penduduk

41 IndSDM_F3Pdkk : Indeks puskesmas dan pasangan usia subur (PUS), 42 IndSDM_F4Pdkk : Indeks kepadatan dan tingkat kelahiran penduduk 43 IndSDM_F1TngKjr : Indeks keluarga jasa, tambang dan industri, 44 IndSDM_F2TngKjr : Indeks keluarga pertanian,

45 IndSDM_F3TngKjr : Indeks keluarga budidaya agar

46 IndIFU_F1SrnPbk : Indeks rumah permanen dan sumber air PAM 47 IndIFU_F2SrnPbk : Indeks listrik non PLN dan sumber air hujan

48 IndIFU_F3SrnPbk : Indeks rumah semi permanen dan ketersediaan listrik 49 IndIFU_F4SrnPbk : Indeks sumber air sumur

50 IndIFU_F5SrnPbk : Indeks ketersediaan rumah bahan bakar kayu/minyak, 51 IndIFU_F6SrnPbk : Indeks kerapatan jalan aspal

52 IndIFU_F1Ikn : Indeks sarana perahu dan alat tangkap perikanan 53 IndIFU_F2Ikn : Indeks areal tangkap laut dalam/karang

54 IndIFU_F3Ikn : Indeks diversitas alat tangkap 55 IndIFU_F1Wst : Indeks obyek wisata bahari, 56 IndIFU_F2Wst : Indeks obyek wisata budaya, 57 IndIFU_F3Wst : Indeks obyek wisata alam.

58 IndIKE_F1Pdtn : Indeks kinerja pembangunan sektor jasa industri dan tambang

59 IndIKE_F2Pdtn : Indeks kinerja pembangunan bidang kesejahteraan dan budidaya agar

60 61 62 63 64 65 66 67 68

IndIKE_F3Pdtn BTNKW RPJMD RPJPD RKPD RTRW PUS PCA SWP

: : : : : : : :

Indeks kinerja pembangunan sektor pertanian Balai Taman Nasional Kepulauan Wakatobi Rencana pembangunan jangka menengah daerah Rencana pembangunan jangka panjang daerah Rencana kerja pemenrintah daearah

Rencana Tata Ruang Wilayah Pasangan usia subur

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Variabel Indikator potensi sumerdaya Ekonomi Kawasan Gugus Pulau

Kaledupa ... 121  2 Variabel indeks potensi sumberdaya ekonomi kawasan Gugus Pulau

Kaledupa ... 128  3 Plot eigenvalues potensi sumberdaya ekonomi Gugus Pulau Kaledupa .... 130 

(22)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia, terdiri atas 17.504 buah pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km2 (terpanjang kedua di dunia setelah Kanada) serta daerah teritorial seluas 5,1 juta km2 (63% dari total daerah teritorial Indonesia). Perairan Indonesia memiliki ekosistem terumbu karang seluas 75.000 Km2 (sekitar 15% dari terumbu karang dunia), padang lamun seluas 30.000 Km2, dan hutan mangrove seluas 9,2 juta ha. Lebih dari 10.000 pulau-pulau tersebut berukuran kecil dan sangat kecil dengan luas kurang dari 10.000 km2. Pulau-pulau ini mempunyai nilai penting dari sisi politik, sosial, ekonomi, budaya dan pertahanan keamanan Indonesia. Sumberdaya daerah pesisir merupakan sumber pendapatan vital bagi negara yakni; sekitar 24 % Produk Nasional Bruto berasal dari sumberdaya pesisir; 60% protein dari sumber makanan berasal dari ikan; dan 90% produk perikanan laut diperoleh dari perairan 12 mil dari garis pantai (Duncan 2004).

Namun pemanfaatan potensi sumberdaya pulau-pulau kecil belum dikelola secara optimal. Hal ini terkait dengan karakteristik pulau-pulau kecil seperti;

smallness, isolatian, dependence dan vulnerability, sehingga pembangunan di kawasan pulau-pulau kecil masih mengalami berbagai kendala seperti; ketergantungan terhadap komponen impor, kecilnya pasar domestik, ketergantungan terhadap ekspor untuk menggerakkan ekonomi pulau, terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal, terbatasnya kompetisi lokal dan persoalan yang terkait dengan pelayanan publik (Adrianto 2005). Sebagian besar nelayan (khususnya penduduk di wilayah pulau-pulau kecil) di Indonesia masih hidup dibawah garis kemiskinan dengan pendapatan kurang dari US$ 10 perkapita perbulan (Fauzi 2007).

(23)

ternyata tidak sebanding dengan laju kerusakan sumberdaya alam. Kerusakan sumberdaya alam tersebut dominan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu; (1) kebutuhan ekonomi (economic driven), dan (2) kegagalan kebijakan (policy failure driven).

Lingkungan strategis baru dalam pengelolaan pembangunan daerah di Indonesia adalah dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (jo. UU No. 32 / 2004) tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Pemerintah daerah memiliki peran yang penting dalam pengelolaan sumberdaya alam. Kewenangan tersebut mencakup pengaturan kegiatan-kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut. Kewenangan tersebut terwujud dalam bentuk pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang dan penegakan hukum. Hal penting untuk dilakukan oleh pemerintah daerah agar mampu mengemban amanah undang-undang dalam percepatan pembangunan daerah adalah: (1) memperkuat pengetahuan, (2) memperkuat penerapan basis pengetahuan dan (3) memperkuat keikhlasan berbuat (Saefulhakim 2008). Tiga poin tersebut menjadi sangat urgen untuk daerah provinsi dan kabupaten/kota, khususnya daerah yang masih relatif baru untuk dapat mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya ekonomi yang dimiliki.

Salah satu kabupaten di Indonesia yang memiliki karakteristik wilayah sebagai gugusan pulau-pulau kecil adalah Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Kabupaten Wakatobi terdiri atas 48 pulau dengan luas wilayah sekitar 13.990 km2 dan panjang garis pantai 327 Km. Luas tersebut terdiri atas daratan seluas 457 km2 dan perairan laut 13.533 Km2 atau 97% wilayah laut dan daratan hanya 3% (WWF 2006). Kepulauan Wakatobi pada tahun 1996 ditetapkan sebagai Taman Nasional Laut memalui SK Menteri Kehutanan RI No 393 dengan luas yang sama dengan wilayah administrasi Kabupaten Wakatobi.

(24)

1.2. Rumusan Masalah

Kabupaten Wakatobi memiliki potensi sumberdaya kelautan cukup besar. Perairan Kepulauan Wakatobi terdiri atas; ekosistem karang seluas 90.000 ha dengan 750 spesies, ekosistem lamun dan ekosistem mangrove seluas 804,45 ha. Tiga ekosistem tersebut merupakan areal penting untuk pemijahan (spawning ground), pembesaran (nursery ground) dan tempat untuk mencari makan (feeding ground) berbagai jenis burung, species ikan, kepiting, udang, kerang-kerangan dan species lainnya, serta jasa lingkungan. Selain fungsi ekonomi juga berfungsi untuk menyangga kehidupan untuk melindungi pantai dari ancaman abrasi, erosi, intrusi dan pengaruh gaya yang ditimbulkan oleh pembangkit alam seperti angin dan gelombang. Dari areal penangkapan (fishing ground) yang potensial seluas 836.400 ha dengan produksi perikanan lestari sekitar 30.000 ton pertahunnya, baru termanfaatkan sekitar 5.000 ton pertahun (Coremap II dari; DKP Kab. Wakatobi 2006). Keindahan panorama bawah laut terumbu karang sangat potensial untuk pengembangan industri jasa pariwisata bahari. Sekitar 46 titik kawasan penyelaman di perairan Wakatobi yang paling diminati oleh wisatawan mancanegara dengan rata-rata kunjungan 1200 jiwa/tahun (Hugua 2007).

Dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan daerah maka visi, misi dan program kerja Kepala Daerah yang dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang Daerah (RPJMD dan RPJPD) Kabupaten Wakatobi menempatkan sektor kelautan, perikanan dan pariwisata sebagai sektor unggulan (leading sector) pembangunan daerah. Berbagai dukungan kebijakan dan program dalam peningkatan pendapatan masyarakat dan pelestarian sumberdaya alam di Kepulauan Wakatobi antara lain; (1) Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara melalui program Repayment of Fund and Interest ( ROFI), (2) Departemen Kehutanan; rezonasi Taman Laut Nasional Wakatobi yang terintegrasi dengan tata ruang wilayah daerah, (3) Departemen Kelautan dan Perikanan melalui Coral Reef Rehabilitation and Management Program

(COREMAP) serta beberapa program internasional lain seperti; UNDP melalui program MDG’s, Lembaga funding JICA serta lembaga internasional yang

(25)

Namun potensi pembangunan tersebut belum memberikan kontribusi nyata terhadap kinerja pembangunan daerah. Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal malah mengkategorikan Kabupaten Wakatobi sebagai salah satu kabupaten tertinggal di Indonesia (Manan 2006). Rendahnya kinerja pembangunan dapat dilihat dari beberapa indikator, antara lain (1) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Wakatobi pada tahun 2006 sebesar Rp.184.662,65 juta (PDRB perkapita Rp. 1,88 juta). Walaupun terjadi peningkatan ekonomi dari tahun-ketahun, namun menunjukan trend pertumbuhan yang semakin menurun. Pada tahun 2005 pertumbuhan ekonomi Kabupaten Wakatobi sebesar 7,88% menurun menjadi 6,03% pada tahun 2006, (2) Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor unggulan seperti perikanan sebesar Rp. 208,5 juta tahun 2006 dan menurun menjadi Rp. 95,586 juta tahun 2007 (DKP Kab. Wakatobi 2007), sedangkan dari kegiatan pariwisata, walaupun terjadi peningkatan jumlah kunjungan wisata sebesar 22% pertahun namun PAD menurun sebesar Rp. 130 juta tahun 2003 dan sebesar Rp.100 juta tahun 2005 (Coremap II 2007), (3) angka kemiskinan sebesar 14.899 KK atau 15%, (4) angka pengangguran meningkat dari 1.926 jiwa tahun 2005 menjadi 7.296 jiwa tahun 2007 (BPS Kab.Wakatobi 2007), dan (5) terumbu karang di Kepulauan Wakatobi hanya sekitar 31% tutupan terumbu karang hidup. Hal ini berarti sekitar 69% terumbu karang sudah mengalami kerusakan (CRITC LIPI 2006).

(26)

Karakterisrik kawasan pulau-pulau kecil seperti; smallness, isolatian, dependence dan vulnerability (Adrianto 2008) menyebabkan cakupan ekonomi

(economies of scope), skala ekonomi (economies of scale) dan kekhasan ekonomi (economies of uniqueness) setiap kawasan gugus pulau-pulau kecil berbeda dengan pada kawasan daratan besar. Gugusan kepulauan mempunyai ikatan fungsional baik secara ekonomis dan ekologis satu sama lainnya sehingga memiliki kekhasan dan tipologi wilayah yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, nilai kekhasan dan saling terkait antar berbagai faktor ekonomi serta konfigurasi spasial setiap pulau dan daerah menjadi penting dan perlu mendapat perhatian utama dalam perumusan rencana kebijakan pengembangan kawasan pulau-pulau kecil. Salah satu basis ilmu pengetahuan yang dapat menentukan dan memetakan berbagai kekhasan tipologi kawasan serta keterkaitan dan konfigurasi spasial dari berbagai potensi ekonomi adalah model analisis spasial. Model analisis spasial tersebut dapat menjadi alternatif model pendukung perumusan rencana kebijakan pengembangan kawasan pulau-pulau kecil, sehingga berbagai keterkaitan potensi ekonomi dan konfigurasi wilayah dapat dipertimbangkan dalam kebijakan pengembangan kawasan pulau-pulau kecil.

(27)

Dari uraian masalah di atas, tergambar bahwa perlu adaya suatu penelitian melalui pendekatan analisis spasial untuk perumusan kebijakan pengembangan wilayah gugus pulau kecil untuk dapat menjawab:

1. Bagaimana pola asosiasi berbagai potensi ekonomi kawasan Gugus Pulau Kaledupa?

2. Bagaimana pola spasial tipologi potensi ekonomi kawasan Gugus Pulau Kaledupa?

3. Bagaimana model hubungan gungsional antara potensi ekonomi dengan kinerja pembangunan kawasan Gugus Pulau Kaledupa?

4. Bagaimana arah rencana kebijakan pengembangan kawasan Gugus Pulau Kaledupa?

1.3. Tujuan dan Manfaat 1.3.1. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Menganalisis pola asosiasi berbagai potensi ekonomi kawasan Gugus Pulau Kaledupa.

2. Menganalisis pola spasial tipologi potensi ekonomi kawasan Gugus Pulau Kaledupa.

3. Menganalisis dan menyusun model hunbungan fungsional antara potensi ekonomi dengan kinerja pembangunan kawasan Gugus Pulau Kaledupa.

4. Menganalisis dan merumuskan rekomendasi kebijakan untuk pengembangan kawasan Gugus Pulau Kaledupa.

1.3.2. Manfaat

(28)

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup kajian dari penelitian ini dibatasi pada aspek potensi sumberdaya ekonomi, yang terdiri atas (1) potensi sumberdaya alam, (2) potensi sumberdaya manusia, (3) potensi infrastruktur dan kepariwisataan, dan (4) kinerja pembangunan ekonomi, serta (5) aspek konfigurasi spasial Gugus Pulau Kaledupa.

Lingkup wilayah penelitian ini dibatasi pada wilayah Gugus Pulau Kaledupa sebagai satuan pembangunan wilayah (SWP) II Kabupaten Wakatobi. Unit wilayah penelitian ini adalah wilayah desa dan pulau.

1.5. Deskriptif Alur Kerangka Pemikiran Penelitian

(29)
(30)

Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran penelitian

Tidak berkembang

Potensi Ekonomi wilayah Pulau-Pulau Kecil (aktivitas, institusi dan faktor produksi)

Keterkaiatan

kekhasan potensi ekonomi

Karakteristik Kawasan P2K; isolatian, dependence dan vulnerability

Ya Tidak

Seimbang Timpang

Saling ekspoitatif

Pola keterkaitan spasial/potensi ekonomi

1.Imperfect factor mobility 2.Imperfect factor divibility, 3. Imperfect mobility of god and services

Skala ekonomi, cakupan ekonomi, dan kekhasan ekonomi kawasan P2K

Mekanisme pasar

Perencanaan Pemerintah

Kepentingan bersama terabaikan

Inefisien/transaction cost tinggi

Mekanisme keberimbangan Kinerja Pembangunan

ekonomi Wilayah Rendah

Kinerja Pembangunan Wilayah berkembang dan Berkelanjutan

Gagal Tidak Tidak Gagal

Saling menguatkan; antar institusi, factor ekonomi, dan aktivitas ekonomi tindakan

[image:30.612.122.530.72.555.2]
(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Batasan Pulau-Pulau Kecil 2.1.1. Definisi Pulau Kecil

Dalam praktek, secara visual kita dengan sangat mudah dapat mengetahui, minimal mengenal, mana daratan yang dapat digolongkan sebagai pulau dan mana yang tidak. Nunn (1994) diacu dalam Adrianto (2005) mengkritik bahwa walaupun pulau telah dibicarakan selama berabad-abad, namun definisi lengkap tentang sebuah pulau masih sulit ditemukan. Definisi paling mudah adalah bahwa pulau merupakan daratan yang dikelilingi oleh laut. Dengan demikian seluruh daratan (termasuk kontinen) di dunia ini adalah pulau karena struktur alam bumi memang hanya terdiri dari daratan dan air.

Fairbridge (1968) diacu dalam Adrianto (2005) memberikan definisi lain bahwa pulau adalah daerah daratan laut (ocean basins) yang memiliki karakteristik berbeda dengan daratan kontinen. Terkait dengan definisi ini kemudian Salm (1984) diacu dalam Adrianto (2005) mengajukan karakteristik dua pulau yaitu pulau-pulau oseanik dan kontinental, di mana pulau kontinental memiliki beberapa karakteristik kontinen sedangkan oseanik sama sekali tidak.

(32)

Tabel 1 Karakteristik Pulau Oseanik, Pulau Kontinental dan Daratan Kontinen

No Characteristics Oceanic Islands Continent Island Continent

1

2

3

4

5

Geographical Remote from continent Bounded by wide Seas, Small areas,

Equable air temperatures

Close to continents, Bounded in part by narrow areas,

Large or small areas, Less equable air temperatures

Very large areas

Often very large seasonal and or diurnal temperature ranges Geological Volcanic or coralline

Few valuable minerals

Permeable soil Sedimentary or metamorphic Some minerals Various soils Sedimentary or metamorphic or igneous Minerals

Various soils

Biological Impoverished overall

biotic variety

High turnover of species Mass breeding of marine vertebrates

Less impoverished overall biotic variety

Lower species turnover

Often mass breeding of marine vertebrates

Full range of biotic variety

Usually low species turnover

Few marine vertebrates breeding ashore Historical Late discovery by humans

Recent settlement

Often early discovery

Early or late settlement

Often early discovery

Settlement by humans Economic Few terrestrial resources

Marine resources important

Distant from major market

Wide range of terrestrial resources

Marine resources important

Nearer larger market

Wide range of terrestrial resources

Often marine resources unimportant

Market relatively accessible

Sumber: Dimodifikasi dari Salm (1984) diacu dalam Adrianto (2005)

2.1.2. Batasan Tentang Pulau-Pulau Kecil

Dengan perbandingan luas daerah lautan dan daratan sebagai 3:2 memberikan daerah pesisir dan lautan Indonesia memiliki berbagai macam sumberdaya alam. Teristimewa sumberdaya alam yang dapat pulih kembali seperti berbagai jenis ikan, udang, kepiting dan sebagainya, dan sejak lama dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia sebagai salah satu sumber bahan makanan utama, terutama sebagai sumber protein hewani. Masih ada sumberdaya alam lain dan jasa lingkungan yang belum diusahakan, ataupun kalau sudah, masih berada pada taraf yang masih rendah dan perlu untuk dimanfaatkan secara lebih baik untuk kesejahteraan bersama masyarakat Indonesia terutama masyarakat pesisir yang selama ini lebih banyak merupakan objek dari kegiatan pembangunan di daerah pesisir dan lautan.

[image:32.612.135.518.98.402.2]
(33)

Selain itu pulau kecil juga mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi spesies endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen. Akibat ukurannya yang kecil maka tangkapan air (catchment) pada pulau ini yang relatif kecil, sehingga air permukaan dan sedimen lebih cepat hilang ke dalam air. Jika dilihat dari segi budaya, maka masyarakat pulau kecil mempunyai budaya yang umumnya berbeda dengan masyarakat pulau kontinen dan daratan (Dahuri 1998).

Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 41/2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis pada Masyarakat menyebutkan bahwa definisi pulau kecil adalah pulau yang ukuran luasnya kurang dari 10.000 km2 dengan jumlah penduduk kurang dari 200.000 jiwa. Selain dari sisi ukuran luas dan jumlah penduduk, pulau kecil menurut Kepmen ini memiliki ciri insular yang tinggi, daerah tangkapan air yang relatif kecil, dan mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi (DKP 2000). Kepmen KP No. 41 Tahun 2000 ini juga menyebut bahwa untuk pulau dengan ukuran kurang dari 2.000 km2 terdapat pedoman khusus yang menyangkut kegiatan ekonomi yang sesuai dengan ukuran pulau tersebut. Kegiatan tersebut mencakup kegiatan konservasi sumberdaya alam, budidaya, pariwisata bahari, usaha penangkapan ikan yang berkelanjutan, industri teknologi tinggi non-ekstraktif, pendidikan dan penelitian, dan lain sebagainya.

Setelah keluarnya UU no 27 tahun 2007 tentang pengelolaan daerah pesisir dan pulau-pulau kecil definisi ditingkat nasional sudah mulai ada kejelasan dengan mendefinisikan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 Km2 (dua ribu kilometer persegi) dengan ekosistimnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada definisi yang baku tentang pulau-pulau kecil selain bahwa luas lahan dan populasi menjadi indikator utama bagi definisi tersebut. Sebagai perbandingan, di Jepang tidak mengenal istilah pulau kecil (small islands) namun lebih pada pulau terpencil (remote islands). Dengan demikian salah satu fokus utama perhatian pemerintah Jepang terhadap pulau-pulaunya adalah apakah pulau tersebut memiliki ciri insularitas yang tinggi atau tidak. Dengan kata lain, karakteristik pulau oseanik atau kontinental menjadi salah satu indikator bagi pengelolaan pulau-pulau di Jepang.

(34)

yang didasarkan pada penjelasan-penjelasan di atas maka terdapat 3 hal yang dapat dipakai untuk membuat suatu batasan pengertian pulau kecil yaitu: (i) batasan fisik (menyangkut ukuran luas pulau); (ii) batasan ekologis (menyangkut perbandingan spesies endemik dan terisolasi); dan (iii) keunikan budaya. Kriteria tambahan lain yang dapat dipakai adalah derajat ketergantungan penduduk dalam memenuhi kebutuhan pokok. Apabila penduduk suatu pulau dalam memenuhi kebutuhan pokok hidupnya bergantung pada pulau lain atau pulau induknya maka pulau tersebut dapat diklasifikasikan sebagai pulau kecil.

2.1.3. Problem Ekonomi Pulau-Pulau Kecil

Karakteristik ekonomi lain dari pulau-pulau kecil adalah tingkat ketergantungan yang tinggi dari bantuan atau subsidi dari pihak luar yang dalam konteks negara kepulauan adalah dari pemerintah pusat atau dalam konteks SIDS (small islands development states) adalah dari negara lain, misalnya negara-negara pulau yang masuk dalam kategori the common wealth (sekutu Inggris). Karakteristik ini membuat subsidi per kapita dari pulau-pulau kecil menjadi lebih tinggi dibandingkan daerah lain. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1984 negara-negara pulau (SIDS) menerima subsidi sebesar US$ 248 per kapita dari ODA, lebih besar dibandingkan dengan negara-negara berkembang yang sebesar US$ 14 per kapita dan US$ 21,8 per kapita untuk the least developed countries (Hein, 1990) diacu dalam Adrianto (2005).

Pengurangan sama sekali tingkat bantuan/subsidi untuk pulau-pulau kecil merupakan hal yang dipandang tidak realistik meskipun dalam jangka panjang. Karena pulau-pulau kecil memiliki banyak keterbatasan baik dalam konteks ekonomi maupun ekosistem, maka pemberian subsidi yang tepat sasaran masih merupakan strategi yang diperlukan bagi pengelolaan ekonomi pulau-pulau kecil.

(35)

Beberapa hal lain yang menjadi ciri keterbatasan ekonomi daerah pulau-pulau kecil terkait dengan ukuran fisik (smallness) disajikan pada Tabel 2.2 di bawah ini.

Tabel 2 Keterbatasan ekonomi pulau-pulau kecil terkait dengan ukuran fisik (Smallness)

No Keterbatasan

1 2 3

4 5 6 7 8

Terbatasnya sumberdaya alam dan ketergantungan terhadap komponen impor yang tinggi Terbatasnya substitusi impor bagi ekonomi pulau.

Kecilnya pasar domestik dan ketergantungan terhadap ekspor untuk menggerakkan ekonom pulau.

Ketergantungan terhadap produk-produk dengan tingkat spesialisasi tinggi Terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal

Terbatasnya kemampuan untuk menentukan skala ekonomi Terbatasnya kompetisi lokal

Persoalan yang terkait dengan administrasi publik Sumber : Adrianto (2005)

Transportasi di pulau-pulau kecil merupakan persoalan yang khas mengingat tingkat insularitas mengakibatkan biaya transportasi yang relatif mahal per km-nya dibanding daerah lain yang lebih dekat dengan daratan induk. Apalagi apabila sistem transportasi antar pulau belum terbentuk dengan baik, sehingga membuat biaya transportasi menjadi semakin mahal. Transportasi feri dari Jepara ke Kepulauan Karimunjawa lebih mahal dibanding lokasi lain dengan jarak tempuh yang sama. Skala yang tidak ekonomis untuk sektor transportasi ini juga dipengaruhi oleh sulitnya membangun jaringan di pulau-pulau oseanik. Berbeda dengan kawasan kontinental yang mampu membangun jaringan transportasi terkait antar daerah, kasus untuk pulau-pulau kecil menjadi sulit karena tidak jarang jarak antar pulau sangat jauh dan pembangunan jaringan antar pulau menjadi sangat mahal (Adrianto 2005).

(36)

Tabel 3 Keterbatasan ekonomi pulau-pulau kecil terkait dengan tingkat insularitas

No Keterbatasan

1 2 3 4 5 6 7 8

Biaya transportasi per unit produk Ketidakpastian suplai

Volume stok yang besar

Ketergantungan terhadap produk-produk dengan tingkat spesialisasi tinggi Terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal

Terbatasnya kemampuan untuk menentukan skala ekonomi Terbatasnya kompetisi lokal

Persoalan yang terkait dengan administrasi publik

Sumber : Adrianto (2005)

2.2. Konsep Pembangunan Daerah

2.2.1. Pengertian Pembangunan dan Pengembangan Daerah

Dalam banyak hal istilah pembangunan dan pengembangan banyak dilakukan dalam hal yang sama dan dalam bahasa Inggrisnya adalah development, sehingga untuk berbagai hal, istilah pembangunan dan pengembangan dapat saling dipertukarkan. Namun beberapa kalangan di Indonesia cenderung menggunakan secara khusus istilah pengembangan untuk beberapa hal yang spesifik. Beberapa pihak lebih senang menggunakan istilah pengembangan daerah/kawasan dibandingkan dengan pembangunan daerah/kawasan untuk istilah

(37)

Dalam penelitian ini, lebih memilih menggunakan istilah pengembangan daripada istilah pembangunan sebab penelitian ini terkait dengan analisis spasial dan variabel-variabel yang diamati adalah potensi sumberdaya perikanan yang sudah ada sebelumnya, sehingga penelitian ini memetakan dan menganalisis dan merumuskan potensi yang lebih startegis untuk dikembangkan.

Secara filosofis proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistimatis dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Dengan perkataan lain proses pembangunan adalah proses memanusiakan manusia.

Pembangunan tidak hanya pada pemenuhan kebutuhan pokok saja, tetapi manusia mempunyai kebutuhan lain yang sangat banyak jumlahnya dan sangat luas jenisnya. Terdapat perkembangan pemikiran dan pendekatan dari pertumbuhan dengan stabilitas (growth with stability), yang pada hakekatnya menghendaki masyarakat yang lebih berkeadilan dan selanjutnya menempatkan peranan sumberdaya manusia (SDM) pada posisi utama dan terutama dalam pembangunan, baik sebagai konsumen maupun sebagai faktor produksi. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dipandang sebagai faktor kunci bagi keberhasilan pembangunan yang dapat menjamin kemajuan ekonomi dan kestabilan masyarakat.

Dalam hubungan ini harus diarahkan bukan saja meningkatkan physical capital stock, tetapi ditujukan pula untuk human capital stock. Capital stock

(38)

Daerah-daerah yang terbelakang atau tertinggal memiliki ketergantungan yang kuat dengan daerah luar. Mereka melakukan kegiatan pembangunan ekonomi untuk menghilangkan keterbelakangan (backwardness) yang berarti pula untuk mengurangi ketergantungan (dependency). Namun dalam upaya pembangunan ekonomi dihadapi hambatan dibidang sosial (sikap, perilaku dan pandangan hidup, kelembagaan, ilmu pengetahuan dan teknologi). Daerah-daerah yang terbelakang harus melakukan perubahan yang mendasar dan fundamental diperlukan ketersediaan sumberdaya manusia yang berkualitas dan terampil (Rustiadi, Saefulhakim, Panuju 2007).

Menurut Saefulhakim bahwa perubahan kearah kemajuan merupakan kata kunci pembangunan. Perubahan terjadi karena didorong oleh empat model proses yaitu: (1) proses alamiah (natural process), (2) mekanisme pasar, (3) proses perencanaan (planning process), atau (4) kombinasi antar berbagai proses tersebut. Pembangunan merupakan perubahan terencana (planned changes), sehingga perubahan tanpa perencanaan tidak dapat dikatakan sebagai pembangunan (Saefulhakim 2008).

(39)

Kemajuan: resultante keterkaitan fungsional antar kekhasan pada ruang-waktu yang tepat (Saefulhakim 2008)

Gambar 2 Segitiga Pembangunan

2.2.2. Tetrahedron Kemajuan

Perputaran roda perubahan kearah kemajuan (pembangunan) terkait dengan kontribusi/peran banyak pihak/instansi yang pada prinsipnya dapat dikelompokan kedalam empat pihak yaitu; (1) institusi keilmuan, (2) pemerintahan, (3) dunia usaha, dan (4) masyarakat luas. Pembangunan yang menjamin kemajuan yang berkelanjutan adalah kemajuan yang berbasis pada perkembangan ilmu pengetahuan, pemerintah yang lebih bersih dan kredibel (adil), dunia usaha yang semakin adil dan profesional, serta masyarakat luas yang semakin aktif berpartisipatif produktif. Dengan demikian, pembangunan harus semakin terukur peranannya dalam penguatan basis pengetahuan, peningkatan kapasitas pemerintahan, peningkatan kapasitas ekonomi dan peningkatan pemberdayaan masyarakat. Konsep pembangunan yang terlalu menyederhanakan bahwa semuanya akan ikut mendapatkan penguatan dengan hanya mendorong pertumbuhan ekonomi (tricle down effect) tidak mendapat dukungan emperik yang luas (Sen 1992 diacu dalam Saefulhakim 2008).

2.2.3. Model Pembangunan

Dengan menggunakan terminologi model dinamik proses pembangunan dapat diklasifikasi kedalam empat model dasar yaitu; (1) model stimulus response, (2) model self-referencing, (3) model goal-seeking, dan (4) model goal

KEMAJUAN 

(40)

setting. Keempat model dasar ini bisa dipandang sebagai tahapan pembangunan dari paling primitif hingga paling maju (Saefulhakim 2008).

Pada tahap model stimulus-response, roda aktivitas pembangunan hanya bergerak manakala mendapat ‘rangsangan’ dari luar. Ketika ‘rangsangan’ dari luar itu berhenti, aktivitas pembangunan juga berhenti. Selanjutnya, pada tahapan model self-referencing, perputaran roda aktivitas pembangunan tidak bergantung pada ada–tidaknya rangsangan dari luar. Waktu rangsangan dari luar berhenti aktivitas pembangunan tetap melaju, karena telah mampu membangun rangsangan secara internal (mandiri). Namun belum jelas kaitannya dengan ‘tujuan’ perputaran roda pembangunan pada model ini ‘asal ada aktivitas’. Pada tahapan model Goal-seeking, perputaran roda aktivitas pembangunan seperti pada model

goal-seeking. (1) tidak tergantung pada ada tidaknya rangsangan dari luar, sehingga walau rangsangan dari luar berhenti, aktivitas pembangunan tetap melaju, karena telah mampu pembangunan rangsangan secara internal (mandiri), dan (2) kaitannya dengan tujuan sudah jelas, perputarannya tidak lagi bersifat asal ada aktifitas. Dibandingkan dengan model sebelumnya, ada tiga perbedaan yaitu; (1) tujuan telah dirumuskan secara mandiri oleh stakholder internal, (2) keterkaitan antar stakehorder internal yang awalnya hanya sekedar terkait (rural urban and interregional linkages) telah berimbang menjadi hubungan yang berbasis kesetaraan saling menguatkan (rural-urban and interregional partnership) dan (3) hubungan eksternal yang semula bersifat ketergantungan (exsternal resourse dependent) telah berkembang pada hubungan yang lebih bermartabat (external resourse partnership). Dengan perkembangan pola demikian, pada tahapan model ini perputaran aktivitas pembangunan lebih jelas arahnya terhadap penguatan kapasitas sumberdaya internal setiap waktu secara berimbang dan bermartabat. Pembangunan dengan model Goal-seeking inilah pembangunan dalam pengertian sejati (Saefulhakim 2008).

2.2.4. Pergeseran Peranan Pemerintah-Masyarakat serta Kecenderungan Desentralisasi Pembangunan

(41)

pembangunan cenderung mengarah pada government failure (kegagalan pemerintah) yang dampaknya sering lebih parah dari market failure karena menciptakan transacton cost tinggi yang menurunkan efisensi ekonomi, serta menghambat pemerataan dan pertumbuhan. Selanjutnya menurut Anwar (2000) (dikutip dari Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju 2007), di Indonesia hal ini diperparah oleh kultur (priyaisme) elit masyarakat disamping kapitalis pemerintah yang rendah (lack of government). Dalam paradigma pembangunan sekarang, kekuasaan pemerintah harus semakin dibatasi pada bidang pengelolaan ”public good” dan dibidang swasta dan masyarakat tidak punya inisiatif untuk melakukannya.

Government policy failure dapat terjadi akibat pelaksanaan pembangunan secara top-down dan sentralistik, dimana pemerintah pusat sering kali tidak mengetahui kondisi ekosistim dan tata-nilai masyarakatnya yang tersebar luas secara spasial. Hal ini didorong oleh kesalahan pengaturan perencanaan (design) program dan proyek pembangunan yang berdampak pada pemiskinan masyarakat di daerah (Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju 2007).

(42)

Dalam tiga dekade terakhir telah terjadi pergeseran paradigma pembangunan. Cara pandang pembangunan yang berorientasi pada laju pertumbuhan ekonomi dengan basis peningkatan inventasi dan teknologi luar semata (perspektif materialistik) yang didominasi oleh peranan pemerintah, telah bergeser kearah pemikiran pembangunan yang menekankan pada kemampuan masyarakat untuk mengontrol keadaan dan lingkungannya. Paradigma baru yang berkembang lebih menekankan pada proses patisipatif dan kolaboratif (participatory and collaborative process) yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan material, termasuk meningkatnya keadilan dalam distribusi pemilikan, pengelolaan dan pemanfaatan pembangunan serta kebebasan dan kemandirian.

Di Indonesia diberlakukannya UU 22/1999 yang diperbaharui melalui UU 32/2004 mengenai pemerintahan daerah berimplikasi terhadap luas dalam sistim perencanaan pembangunan di daerah-daerah. Otonomi daerah mengisyaratkan pentingnya pendekatan pembangunan berbasis pembangunan daerah dibanding pendekatan sektoral serta lebih berperannya masyarakat dan pemerintah di daerah dalam pembangunan. Pembangunan yang berbasis pembangunan daerah dan lokal memandang penting keterpaduan antar sektoral, antar spasial (keruangan), serta antar pelaku (institusi) pembangunan di dalam dan antar daerah. Sehingga setiap program-program pembangunan sektoral dilaksanakan dalam rangka pembangunan daerah.

(43)

Sumber: Adrianto, (2005)

Gambar 3 Kerangka pengelolaan daerah laut dan pesisir diera otonomi daerah (UU no 32 tahun 2004)

2.2.5. Ekonomi Keterkaitan

Seperti kita ketahui bahwa keterkaitan dan berbagai terminologi sepadannya, merupakan kata kunci sentral dalam kajian pembangunan. Nilai-nilai ekonomi yang lahir dari berbagai bentuk keterkaitan ini, berakar dari tiga dimensi nilai ekonomi yaitu, (1) nilai ekonomi kekhasan (economies of uniquess), (2) nilai ekonomi skala/ukuran (economis of scale) dan (3) nilai ekonomi cakupan (economis of scope). Dalam prespektif teori lokasi (location theory), kesemuanya ini terkait dengan adanya tiga pilar konfigurasi ruang yaitu; (1) ketaksempurnaan mobilitas faktor produksi (imperfect factor mobility), (2) ketaksempurnan pemilihan/pemisahan antara faktor produksi (imperfect factor divisibility), dan (3) ketaksempurnaan mobilitas barang dan jasa (imperfect mobility of goods and services) (Saefulhakim 2008).

(44)

penanganan faktor yang demikian bila dilakukan oleh masing-masing unit kelembagaan akan jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya penanganannya yang dilakukan secara bersama. Penguasaan basis pengetahuan untuk mampu secara jeli mengidentifikasi ketaksempurnaan pemilihan/pemisahaan antar jenis faktor produksi dan faktor produksi yang merupakan perhatian banyak pihak, menjadi landasan penting dalam membangun hubungan kerjasama dengan pihak mana dan dalam hal apa (Saefulhakim 2008).

Setiap aktivitas ada batas skala operasi optimalnya yang dalam terminologi ekonomi dikenal dengan skala ekonomi (economies of scale). Analisis titik impas

(breack even ponit Analysis) adalah salah satu instrument yang digunakan. Suatu kegiatan yang dioperasikan bahwa batas skala ekonomi akan berkonsekuensi pada biaya-biaya tinggi (high cost economy). Dalam perspektif ekonomi keterkaitan, pembangunan dapat dibagi kedalam dua proses utama, yaitu (1) pengembangan keterkaitan (linkage development) dan (2) penataan struktur keterkaitan kearah yang lebih berimbang (linkage reform). Tanpa adanya keterkaitan fenomena yang akan terjadi adalah apa yang menurut Greertz (1981) disebut sebagai involusi

(involution). Segala potensi yang dimiliki tidak berkembang bahkan mengalami pembusukan. Dengan demikian berbagai pembangunan keterkaitan menjadi penting. Selanjutnya, struktur keterkaitan ini perlu dipantau perkembangannya. Jika perkembangannya mengarah ke pola yang timpang, fenomena yang terjadi adalah eksploitatif. Penataan ulang struktur keterkaitan kearah yang semakin berimbang menjadi semakin penting. Keseimbangan akan lebih menjamin pola hubungan yang saling memperkuat (mutual strengthening) dan pembangunan mengarah kepada kemajuan secara berkelanjutan (Saefulhakim 2008).

2.2.6. Pemodelan Keterkaitan Spasial

(45)

Model di atas dapat ditunjukkan dengan model matematik secara konvensional melalui model regresi Cob-Douglas yang menghubungkan antara beberapa variabel penjelas dengan variabel tujuan. Model ini secara interaktif menjelaskan bahwa suatu aspek atau kinerja pembangunan dipengaruhi oleh berbagai aspek yang tidak bekerja sendiri melainkan suatu interaksi dari berberbagai aspek (bekerja secara simultan/secara interaktif) contoh bahwa sistim produksi ditentukan oleh faktor modal, lahan dan tenaga kerja yang tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Pendekatan itu merupakan hasil perkalian dari faktor-faktor tersebut bukan hasil penjumlahan sehingga bila salah satu tidak ada maka aspek yang lain tidak ada manfaatnya. Untuk memudahkan estimasi dari berbagai parameter maka perlu didilinearkan atau di log-kan. Tetapi hal ini masih bersifat konvensional karena belum memperhatikan aspek-aspek intra spasial. Secara matetatisnya dapat ditulis sebagai berikut.

keterangan;

yi : nilai variabel tujuan untuk individu sampel ke i,

xi,j : nilai variabel penjelas ke j untuk individu sampel ke-i,

b0 : parameter konstanta (intercept), dan

bj : parameter koefisien untuk variable penjelas ke-j.

Jika setiap individu sampel menyatakan lokasi, maka model pada persamaan di atas mengasumsikan bahwa apa yang terjadi di suatu lokasi tertentu ke-i (yi)

hanya dipengaruhi oleh karakteristik lokasi tersebut (xi,j). Asumsi demikian dalam

(46)

Namun pendekatan yang umum tersebut, masih ada anggapan bahwa sistim wilayah sebagai wilayah tertutup sehingga didalam pendekatan pemodelan tidak ada yang disebut komponen interaksi spasial yang masuk didalam pemodelannya. Pembangunan yang tidak memperhatikan aspek-aspek dari wilayah lain merupakan pendekatan a-spatial.

Dalam ilmu wilayah dikenal bahwa kinerja pembangunan suatu daerah bukan hanya ditentukan oleh instrument atau potensi yang dimiliki tetapi dipengaruhi oleh instrument atau potensi dan kinerja pembangunan yang ada di daerah lain dan kondisi ini yang harus dipetakan. Instrument tersebut dapat mempengaruhi sampai sejauh mana, baik dari aspek positif dan negatifnya sehingga dapat mengatur konteks pembangunan dalam pendekatan spasial. Untuk dapat mengakomodasi fenomena keterkaitan antar satu lokasi dengan lokasi-lokasi lain di sekitarnya dan lokasi-lokasi-lokasi-lokasi yang merupakan satu sistem jaringan ekologi-ekonomi dengannya dalam literatur “ekonomirtika spasial” disebut sebagai Spatial Durbin Model (Saefulhakim, 2008).

Untuk mengakomodasikan peran interaksi antar daerah maka dibuat “Matriks Interaksi Spasial” yang menggambarkan bagaimana pola-pola interaksi maka regresi di atas dimodifikasi menjadi model regresi spasial sehingga bentuk model persamaaan di atas dirubah menjadi;

keterangan;

In : matriks identitas ukuran (n x n)

Wn,k : matriks ukuran (n x n) yang menyatakan pola interaksi spasial tipe ke-k

(47)

2.4. Beberapa Penelitian Terkait dengan Pengembangan Sumberdaya Ekonomi Kabupaten Wakatobi

2.4.1. Model Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil dalam Rangka Pengembangan Wilayah Kepulauan Wakatobi

Penelitian dengan judul Model Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Dalam Rangka Pengembangan Wilayah Kepulauan Wakatobi ini dilaksanakan pada tahun 2004 di empat pulau di Gugusan Kepulauan Wakatobi yaitu; Pulau Wanci, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko. Tujuan penelitian ini adalah; (1) mengkaji pemanfaatan sumberdaya mangrove untuk pemukiman penduduk terhadap aspek kelestarian biomassa kepiting pada lingkungan mangrove, biomassa ikan balanak pada lingkungan lamun dan biomassa ikan kerapu pada lingkungan terumbu karang, (2) mengkaji pemanfaatan terumbu karang untuk fondasi rumah di laut terhadap kelestarian terumbu karang dan biomassa ikan kerapu pada lingkungan terumbu karang, (3) mengkaji kontribusi sektor ekonomi dalam pengelolaan wilayah Kepulauan Wakatobi terhadap; keterkaitan langsung kedepan dan kebelakang keterkaitan langsung dan tidak langsung kedepan dan kebelakang, pengganda pendapatan, daya kepekaan, pengganda tenaga kerja, konsumsi tenaga kerja, konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi, ekspor pertumbuhan ekonomi dan PDRB, dan dampak negatif aktivitas sektor ekonomi dan lingkungan mangrove, lamun dan terumbu karang, dan (4) menyusun model pengelolaan pulau-pulau kecil dalam rangka pengembangan wilayah Kepulauan Wakatobi.

(48)

angkutan dan komunikasi, sektor perikanan, sektor penggalian dan pertambangan, sektor peternakan, sektor bahan makanan dan minuman dan sektor lembaga keuangan.

2.4.2. Pendekatan Penataan Ruang dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus; Pulau Kaledupa Taman Nasional Kepulauan Wakatobi Sulawesi Tenggara)

Penelitian ini dilaksanakan di Gugus Pulau Kaledupa pada tahun 2003. Tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah; (1) menganalisis apakah pemanfaatan ruang selama ini telah sesuai ditinjau dari segi kesesuaian lahan, (2) menghasilkan penataan ruang wilayah Pulau Kaledupa dalam bentuk rekomendasi penataan ruang serta acuan arahan pembangunan dengan memperhatikan kondisi fisik-geografis dan sosial ekonomi budaya masyarakat dalam konteks pembangunan wilayah secara terpadu dan berkelanjutan.

Dari hasil kajian dan analisis yang dilakukan ada beberapa informasi yang terkait dengan penelitian ini yaitu; klasifikasi kesesuaian kawasan untuk pengembangan perikanan di Gugus Pulau Kaledupa seperti; untuk budidaya laut; sangat sesuai seluas 45,287 Km2 dan sesuai seluas 31,823 km2.

(49)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan dari bulan Septembe 2008 sampai Januari 2009 yang bertempat di Gugus Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Gugus Pulau Kaledupa terbagi dalam 2 daerah administrasi kecamatan yaitu; (1) Kecamatan Kaledupa, yang terdiri atas 16 desa/kelurahan dan (2) Kecamatan Kaledupa Selatan yang terdiri atas 10 desa/kelurahan. Gugus Pulau Kaledupa memiliki 28 pulau, empat pulau diantaranya berpenghuni yaitu pulau; (1) Pulau Kaledupa, (2) Pulau Hoga, (3) Pulau Lentea, dan (4) Pulau Darawa. Penelitian ini berbasis wilayah pulau yang berpenghuni dan desa/kelurahan yang ada di Gugus Pulau Kaledupa. Pulau Hoga yang termasuk wilayah adiministrasi Desa Lagijaya dianalisis menjadi unit wilayah tersendiri. Pulau yang juga merupakan wilayah desa tersendiri adalah Pulau Lentea dan Darawa. Dengan demikian jumlah unit wilayah yang dianalisis adalah 27 wilayah.

Keterangan : Arah panah adalah Gugus pulau Kaledupa (lokasi Penelitian)

Gambar 4 Peta Kabupaten Wakatobi dan Gugus Pulau Kaledupa 3.2. Skema Prosedur Kerja Penelitian

3.2.1. Kerangka Proses Penelitian

[image:49.612.134.518.397.562.2]
(50)

Gambar 5 Diagram kerangka proses penelitian

3.2.2. Variabel Dasar dan Sumber Data

Data variabel dasar

Gambar

Gambar 1  Diagram alir kerangka pemikiran penelitian
Tabel 1 Karakteristik Pulau Oseanik, Pulau Kontinental dan Daratan Kontinen
Gambar 4  Peta Kabupaten Wakatobi dan Gugus Pulau Kaledupa
Gambar 5 Diagram kerangka proses penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari beberapa uraian di atas dibuat kesimpulan sederhana bahwa sejarah adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala peristiwa atau kejadian yang telah

Contoh yang diberikan oleh Edward Said lewat tulisannya Devil Theory of Islam (2000) mengenai penciptaan imaji “keburukan Islam” oleh Judith Miller adalah

Pertanggungjawaban pidana produsen terhadap produk makanan yang mengandung bahan kimia yang membahayakan kesehatan dan keselamatan konsumen dikategorikan sengaja atau

redundancy protocol (VRRP) dapat digunakan untuk mengatasi kegagalan perangkat yang terjadi pada sebuah jaringan dan dari hasil pengujian yang dilakukan memiliki

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat serta karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Jenis-Jenis

Sumber : Data Penelitian Tahun 2018 Berdasarkan data hasil penelitian yang telah didapatkan di lapangan dapat diketahui ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya

Subjek penelitian ini terdiri dari Kepala beserta staf Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bojonegoro dan masyarakat yang diambil dengan metode Snowball Sampling. Teknik

Jenis sampel ini sangat baik jika dimanfaatkan untuk penelitian penjajakan, yang kemudian diikuti oleh penelitian lanjutan yang sampelnya diambil secara acak (random). Beberapa