PENGARUH PEMBERIAN BUNGKIL INTI SAWIT (BIS) TERMODIFIKASI TERHADAP EFEK IMMUNOMODULASI PADA
AYAM PEDAGING UMUR 42 HARI
SKRIPSI
Oleh :
ROI MARTINUS TUMANGGOR 050306047
DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGARUH PEMBERIAN BUNGKIL INTI SAWIT (BIS) TERMODIFIKASI TERHADAP EFEK IMMUNOMODULASI PADA
AYAM
PEDAGING UMUR 42 HARI
SKRIPSI
Oleh :
ROI MARTINUS TUMANGGOR 050306047/ ILMU PRODUKSI TERNAK
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Penelitian : Pengaruh Pemberian Bungkil Inti Sawit (BIS) Termodifikasi
Terhadap Efek Immunomodulasi Pada Ayam Pedaging
Umur 42 Hari.
Nama : Roi Martinus Tumanggor NIM : 050306047
Departemen : iPeternakan
Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing
Ir. Eniza Saleh, MS
Ketua Anggota Ir. Soehadi Aris
Diketahui Oleh :
Ketua Departemen
Prof. Dr. Ir. Zulfikar Siregar, MP
ABSTRAK
ROI MARTINUS TUMANGGOR: Pengaruh Pemberian Bungkil Inti Sawit (BIS) Termodifikasi Terhadap Efek Immunomodulasi Pada Ayam Pedaging Umur 42 Hari. Dibimbing oleh ENIZA SALEH dan SOEHADI ARIS.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara pada September – November 2009 menggunakan metode rancangan acak lengkap. Parameter yang dianalisis adalah Titer ND (Newcastle Desease), Titer IBD (Infectious Bursal Desease), dan Analisis Komponen Darah (eritrosit, hematokrit dan hemoglobin).
Bungkil inti sawit dapat digunakan sebagai alternatif antibiotik dalam ransum karena kapasitasnya menghambat kolonisasi bakteri merugikan pada ternak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek BIS termodifikasi dalam ransum terhadap sistem kekebalan pada ayam broiler. Proses modifikasi BIS dilakukan menggunakan enzim β - mannanase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan BIS termodifikasi dapat menurunkan kolonisasi bakteri E. coli pada ayam pedaging. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan BIS termodifikasi dalam ransum memberi pengaruh sangat nyata pada parameter titer ND (Newcastle Desease), sedangkan pada parameter Titer IBD (Infectious Bursal
Desease), dan Analisis Komponen Darah (eritrosit, hematokrit dan hemoglobin)
memberikan pengaruh yang tidak nyata. Hasil terbaik diperoleh pada penggunaan BIS termodifikasi sebanyak 2%.
ABSTRACT
ROI MARTINUS TUMANGGOR : The effect of Supplementation Modified Palm
Kernel Meal (PKM)) On the Effect of Immunomodulasi At Age 42 Days of Broiler Chicken Supervised by ENIZA SALEH and SOEHADI ARIS.
Research conducted in Animal Biology Veterinery Laboratory at animal husbandry departement of Agriculture faculty of North Sumatera university at the September - November 2009 by using completely randomized design. Titer of ND (Newcastle Disease), titer of IBD (Infectious Bursal Disease), and Blood Component Analysis (erythrocyte, hematocrit and haemoglobin).
Palm kernel Meal (PKM) can be used as an alternative to antibiotics in the ration because of its ability to inhibit harmful bacterial colonization of cattle. The purpose of this study is to investigate the influence PKM changed in ration on the immune system of broiler chickens. PKM modification process carried out by using the enzyme β - mannanase. Results showed that use of PKM changed can reduce bacterial colonization E. coli in broilers. Can be concluded that the use of PKM ration modified to provide a very real effect on the parameters titer ND (Newcastle Disease), whereas in IBD parameters titer (Infectious bursal disease), and Blood Component Analysis (erythrocyte, hematocrit and haemoglobin) were not significant effects. The best results obtained on the use changed as much as 2% PKM.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabanjahe 05 Maret 1986 dari ayah Arsenius
Tumanggor (alm) dan ibu Lastri br. Situmorang. Penulis merupakan putra pertama
dari dua bersaudara.
Tahun 2004 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Sidikalang, Kab. Dairi,
Sumatera Utara dan pada tahun 2005 masuk ke Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara melalui jalur SPMB. Penulis memilih program studi Ilmu
Produksi ternak, Departemen Peternakan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Himpunan
Mahasiswa Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Penulis melaksanakan PKL di Kelurahan Gunung Maligas Kabupaten
Simalungun, Pematang Siantar dari tanggal 20 Juni sampai 20 Juli 2008.
Melaksanakan penelitian pada September 2009 hingga November 2009 di
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul ” Pengaruh Pemberian Bungkil Inti Sawit (BIS) Terhadap Efek
Immunomodulasi Pada Ayam Pedaging Umur 42 Hari”
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Ibu
Ir. Eniza Saleh, MS. selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Ir. Soehadi Aris
selaku anggota komisi pembimbing serta kepada Bapak Dr. Ir. Ma’aruf Tafsin,
MSi. selaku dosen pembimbing lapangan yang telah membimbing dan
memberikan berbagai masukan berharga kepada penulis dari mulai menetapkan
judul, melakukan penelitian sampai pada ujian akhir.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf pengajar dan
pegawai di Departemen Peternakan USU, Medan, serta rekan-rekan mahasiswa
yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Mei 2010
DAFTAR ISI
Sistem Kekebalan Tubuh Ayam Pedaging ... 13
Newcastle Desease (ND) ... 14
Infectious Bursal Desease (IBD) ... 16
Darah ... 18
Parameter Penelitian ... 24
1. Titer ND (Newcastle Desease) ... 24
2. Titer IBD (Infectious Bursal Desease)... 24
3. Sel darah merah (Eritrosit) ... 24
4. Hematokrit (PCV) ... 24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Titer ND (Newcastle Desease) ... 27
Titer IBD (Infectious Bursal Desease) ... 29
Sel darah merah (Eritrosit) ... 31
Hematokrit (PCV) ... 33
Hemoglobin (Hb) ... 35
Rekapitulasi hasil penelitian ... 37
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 38
Saran ... 38
DAFTAR PUSTAKA ... 39
DAFTAR TABEL
No... Hal
1. Komposisi zat nutrisi Bungkil Inti Sawit (BIS) ... 4
2. Persentase komponen gula netral pada Bungkil Inti Sawit (BIS) ... 5
3. Ciri ayam pedaging AA CP-707 ... 6
4. Kebutuhan zat makanan ayam pedaging fase starter dan finisher ... 7
5. Nilai normal jumlah eritrosit, hemoglobin, hematokrit dan leuko sit ayam pedaging ... 19
6. Rataan titer ND (NewcastleDesease) ayam pedaging umur 42 hari ... 27
8. Analisis keragaman titer ND (Newcastle Desease) ayam pedaging umur 42 hari ... 28
9. Uji duncan ayam pedaging umur 42 hari... 29
10. Rataan titer IBD (Infectious Bursal Desease) ayam pedaging umur 42 hari ... 30
11. Analisis keragaman titer IBD (Infectious Bursal Desease) ayam pedaging umur 42 hari ... 31
12. Rataan eritrosit ayam pedaging umur 42 hari ... 32
13. Analisis kekeragaman eritrosit ayam pedaging umur 42 hari ... 33
14. Rataan hematokrit (PCV) ayam pedaging umur 42 hari ... 33
15. Analisis keragaman hematokrit (PCV) ayam pedaging umur 42 hari... 35
16. Rataan haemoglobin (Hb) ayam pedaging umur 42 hari... 35
17. Analisis keragaman haemoglobin (Hb) ayam pedaging umur 42 hari .. 36
DAFTAR GAMBAR
No... Hal 1. Diagram rataan titer ND (Newcastle Desease) ayam pedaging umur 42
hari ... 27
2. Diagram rataan titer IBD (Infectious Bursal Desease) ayam pedaging umur 42 hari ... 30
3. Diagram rataan Eritrosit ayam pedaging umur 42 hari ... 32
4. Diagram rataan Hematokrit (PCV) ayam pedaging umur 42 hari ... 34
DAFTAR LAMPIRAN
No... Hal
1. Susunan ransum ... 43
2. Skema modifikasi bungkil inti sawit yang diaplikasi untuk ayam pedaging ... 44
3. Skema pengambilan darah ayam pedaging sebagai spesimen untuk uji laboratoris ... 44
4. Rataan konsumsi ransum ayam pedaging selama penelitian (g/ekor/minggu) ... 45
5. Analisis keragaman konsumsi ransum ayam pedaging selama penelitian.. ... 45
6. Rataan titer ND (NewcastleDesease) ayam pedaging umur 42 hari ... 45
7. Analisis ragam titer ND (Newcastle Desease) ayam pedaging umur 42 hari ... 46
ABSTRAK
ROI MARTINUS TUMANGGOR: Pengaruh Pemberian Bungkil Inti Sawit (BIS) Termodifikasi Terhadap Efek Immunomodulasi Pada Ayam Pedaging Umur 42 Hari. Dibimbing oleh ENIZA SALEH dan SOEHADI ARIS.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara pada September – November 2009 menggunakan metode rancangan acak lengkap. Parameter yang dianalisis adalah Titer ND (Newcastle Desease), Titer IBD (Infectious Bursal Desease), dan Analisis Komponen Darah (eritrosit, hematokrit dan hemoglobin).
Bungkil inti sawit dapat digunakan sebagai alternatif antibiotik dalam ransum karena kapasitasnya menghambat kolonisasi bakteri merugikan pada ternak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek BIS termodifikasi dalam ransum terhadap sistem kekebalan pada ayam broiler. Proses modifikasi BIS dilakukan menggunakan enzim β - mannanase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan BIS termodifikasi dapat menurunkan kolonisasi bakteri E. coli pada ayam pedaging. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan BIS termodifikasi dalam ransum memberi pengaruh sangat nyata pada parameter titer ND (Newcastle Desease), sedangkan pada parameter Titer IBD (Infectious Bursal
Desease), dan Analisis Komponen Darah (eritrosit, hematokrit dan hemoglobin)
memberikan pengaruh yang tidak nyata. Hasil terbaik diperoleh pada penggunaan BIS termodifikasi sebanyak 2%.
ABSTRACT
ROI MARTINUS TUMANGGOR : The effect of Supplementation Modified Palm
Kernel Meal (PKM)) On the Effect of Immunomodulasi At Age 42 Days of Broiler Chicken Supervised by ENIZA SALEH and SOEHADI ARIS.
Research conducted in Animal Biology Veterinery Laboratory at animal husbandry departement of Agriculture faculty of North Sumatera university at the September - November 2009 by using completely randomized design. Titer of ND (Newcastle Disease), titer of IBD (Infectious Bursal Disease), and Blood Component Analysis (erythrocyte, hematocrit and haemoglobin).
Palm kernel Meal (PKM) can be used as an alternative to antibiotics in the ration because of its ability to inhibit harmful bacterial colonization of cattle. The purpose of this study is to investigate the influence PKM changed in ration on the immune system of broiler chickens. PKM modification process carried out by using the enzyme β - mannanase. Results showed that use of PKM changed can reduce bacterial colonization E. coli in broilers. Can be concluded that the use of PKM ration modified to provide a very real effect on the parameters titer ND (Newcastle Disease), whereas in IBD parameters titer (Infectious bursal disease), and Blood Component Analysis (erythrocyte, hematocrit and haemoglobin) were not significant effects. The best results obtained on the use changed as much as 2% PKM.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penggunaan bahan pakan konvensional saat ini, ternyata masih belum
memberikan jawaban atas tuntutan produktivitas yang tinggi dan ancaman
patogen tersebut. Hal ini disebabkan karena peternakan ayam pedaging komersil
banyak berhadapan dengan faktor cekaman yang tinggi (internal dan eksternal)
seperti tuntutan produktivitas yang tinggi dan ancaman patogen (bakteri dan
virus). Beberapa upaya telah ditempuh untuk mengatasi hal tersebut seperti
melakukan vaksin, sanitasi ataupun penggunaan antibiotik. Upaya tersebut
disamping mempunyai banyak manfaat juga mempunyai keterbatasan, sebagai
contoh untuk antibiotik sekarang ini ditemukan beberapa strain bakteri yang
resisten terhadap antibiotik. Selain itu penggunaannya terutama pada negara maju
pengaturannya sangat ketat karena akan berpengaruh pada aspek keamanan
pangan untuk manusia.
Upaya alternatif dicoba untuk mengatasi keterbatasan tersebut, diantaranya
dengan menggunakan karbohidrat. Devegowda et al. (1997) melaporkan bahwa
tiga oligosakarida utama yang dapat memperbaiki produksi ternak, yaitu
mannanoligosakarida (MOS), fruktooligosakarida, dan galaktooligosakarida, dan
MOS dilaporkan memberikan hasil yang paling baik. Keterbatasan tersebut dapat
diangkat menjadi sebuah potensi untuk menggunakan bungkil inti sawit (BIS)
sebagai mannanoligosakarida (MOS) yang sejauh ini lebih banyak dikembangkan
dari Saccharomyces cerevisiae. Mannanoligosakarida (MOS) banyak memberikan
akan datang akan dapat dijadikan alternatif antibiotik yang digunakan dalam
pakan.
Bungkil inti sawit (BIS) adalah produk samping industri pengolahan
kelapa sawit yang mempunyai ketersediaan tinggi di Sumatera Utara. Sampai
sejauh ini BIS hanya digunakan sebagai salah satu komponen pakan untuk ternak
monogastrik atau ruminansia. Penggunaan bungkil inti sawit (BIS) pada ternak
monogastrik terbatas karena adanya struktur mannan dalam ikatan yang sulit
dipecah oleh enzim pencernaan.
Salah satu faktor pembatas penggunaan bungkil inti sawit (BIS) terutama
pada ternak monogastrik adalah kandungan serat yang tinggi dan komponen
dominannya adalah berupa mannose yang mencapai 56,4% dari total dinding sel
bungkil inti sawit (BIS) dan ada dalam bentuk ikatan β-mannan
(Daud et al. 1993). Selanjutnya Tafsin (2007) melaporkan komponen gula yang
terdeteksi dari ekstraksi bungkil inti sawit (BIS) tersusun atas komponen
mannose, glukosa dan galaktosa dengan rasio mendekati 3: 1: 1. kandungan
mannan yang tinggi disamping faktor pembatas juga dapat dianggap sebagai
potensi untuk mendapatkan imbuhan pakan seperti prebiotik yang akan
meningkatkan kesehatan ternak. Sundu et al. (2005) menduga bahwa ada
kesamaan antara bungkil inti sawit (BIS) dengan mannanoligosakarida (MOS)
yang akan memperbaiki kesehatan dan sistem kekebalan ternak unggas.
Produk yang dihasilkan dari proses fermentasi akan mengalami
perubahan-perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan mutu bahan pakan
baik dari aspek gizi maupun daya cernanya serta meningkatkan daya simpannya.
struktur mannan yang terdapat pada bungkil inti sawit (BIS) sebagai pengendali
Eschericia coli di dalam saluran pencernaan dan sebagai immunomodulator pada
ternak unggas.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji kemampuan bungkil inti sawit
(BIS) termodifikasi sebagai pengendali patogen dan dampaknya terhadap sistem
kekebalan tubuh atau efek immunodulasi pada ayam pedaging.
Hipotesis Penelitian
Diduga dengan pemberian bungkil inti sawit (BIS) termodifikasi pada dua
kondisi yaitu tanpa infeksi dan dengan infeksi Eschericia coli memberikan
pengaruh terhadap perubahan penampilan ternak dan sistem kekebalan atau efek
immunomodulasi pada ayam pedaging.
Kegunaan Penelitian
- Sebagai bahan informasi bagi masyarakat tentang penggunaan bungkil inti sawit
(BIS) termodifikasi yang di uji tantang Eschericia coli sebagai immunomodulator
untuk ternak unggas
- Sebagai bahan informasi bagi para peneliti dan kalangan akademis maupun
instansi yang berhubungan dengan peternakan.
- Sebagai bahan penulisan skripsi yang merupakan salah satu syarat menempuh
ujian sarjana peternakan pada Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara,
TINJAUAN PUSTAKA
Bungkil Inti Sawit
Bungkil inti sawit (BIS) adalah hasil ikutan dari industri pengolahan
kelapa sawit dan di Indonesia ketersediaannya sangat tinggi. Luas lahan kelapa
sawit pada tahun 2004 di proyeksikan sekitar 4,4 juta ha (Jakarta Future Exchange
2001) dan pada tahun 2006 mencapai luas 5,2 juta ha . Produksi tandan buah segar
kelapa sawit sekitar 12,5 – 27,5 ton/ha, dan sekitar 2 % nya menjadi bungkil inti
sawit (Sinurat 2001). Penggunaan BIS sebagai salah satu pakan potensial telah
banyak dilaporkan baik pada ternak ruminansia (Elisabeth dan Ginting 2003;
Mathius et al. 2003), ternak ayam (Sundu dan Dingle 2005), bahkan ikan (Keong
dan Chong 2002).
Kandungan protein bungkil inti sawit (BIS) lebih rendah dari bungkil lain.
Namun demikian masih layak dijadikan sebagai sumber protein. Kandungan asam
amino esensialnya cukup lengkap dan imbangan kalsium dan fosfor cukup baik
(Lubis, 1993).
Adapun komposisi zat nutrisi bungkil inti sawit (BIS) dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi zat nutrisi bungkil inti sawit (BIS)
Kandungan Nutrisi %
Protein Kasar 18,15
Serat Kasar 15,89
Bahan Kering 91,08
GE (Kcal/g) 4.8964
Persentase komponen gula netral pada bungkil inti sawit (BIS) dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Persentase komponen gula netral pada bungkil inti sawit (BIS)
Netral Persentase dari dinding sel (%)
Mannosa 56,4 + 7,0
Ayam pedaging merupakan salah satu alternatif yang dipilih dalam upaya
pemenuhan kebutuhan protein hewani karena ayam pedaging memiliki
pertumbuhan dan pertambahan berat badan yang sangat cepat, efisiensi pakan
cukup tinggi, ukuran badan besar dengan bentuk dada yang lebar, padat dan berisi
sehingga sangat efisien diproduksi. Dalam jangka waktu 5 – 6 minggu ayam
pedaging tersebut dapat mencapai berat hidup 1,4 – 1,6 Kg dan bila dipelihara
sampai umur 7 – 8 minggu ayam pedaging dapat mencapai berat hidup 1,8 – 2,0
Kg. Secara umum ayam pedaging dapat memenuhi selera konsumen atau
masyarakat, selain dari pada itu ayam pedaging lebih dapat terjangkau oleh
masyarakat karena harganya relatif murah (Rasyaf, 1997).
Menurut Irawan (1996) ditinjau dari genetis, ayam pedaging sengaja
diciptakan agar dalam waktu singkat dapat segera dimanfaatkan hasilnya. Jadi
istilah pedaging adalah untuk menyebut strain ayam hasil budidaya teknologi
yang memiliki karakteristik ekonomis, memiliki pertumbuhan cepat sebagai
penghasil daging, konversi pakan sangat irit, siap dipotong pada umur muda, serta
kandungan protein tinggi. Adapun ciri ayam pedaging AA CP-707 dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Ciri Ayam Pedaging AA CP-707
Data Biologis Satuan
Ransum merupakan salah satu faktor yang penting untuk keberhasilan
usaha pemeliharaan ayam pedaging. Ransum adalah campuran bahan-bahan untuk
memenuhi zat-zat ransum yang seimbang dan tepat. Seimbang dan tepat berarti
zat makanan tidak berlebihan dan juga tidak kekurangan. Ransum yang diberikan
harus mengandung protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral dan air. Tujuan
utama pemberian ransum pada ayam untuk menjamin pertambahan berat badan
yang paling ekonomis selama pertumbuhan (Rasyaf, 1995).
Menurut AAK (1994) konsumsi di daerah tropis dipengaruhi oleh
kandungan energi ransumnya. Kandungan yang rendah dalam ransum
menyebabkan unggas akan meningkatkan konsumsi ransumnya guna memenuhi
kebutuhan energi setiap harinya tetapi dibatasi oleh tembolok dalam sistem
pencernaan. Maka bila energi ransum terlalu rendah, akan menyebabkan defisiensi
energi. Sebaliknya ransum dengan kandungan energi tinggi menyebabkan unggas
mengkonsumsi ransum sedemikian rupa sehingga unggas kenyang akan energi
Adapun kebutuhan zat makanan ayam pedaging fase starter dan finisher
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kebutuhan zat makanan ayam pedaging fase starter dan finisher
Protein Kasar (%) 23 20
Zat Nutrisi Starter Finisher
Lemak Kasar (%) 4-5 3-4
Serat Kasar (%) 3-5 3-5
Kalsium (%) 1 0,9
Pospor (%) 0,45 0,4
EM (Kkal/Kg) 3200 3200
Sumber : NRC (1984).
Bagi ayam pedaging jumlah konsumsi yang banyak bukanlah merupakan
jaminan mutlak untuk menjamin pertumbuhan dan produksi puncak. Kualitas dari
bahan makanan dan keserasian komposisi gizi sesuai dengan kebutuhan
pertumbuhan merupakan dua hal mutlak yang menentukan tercapai performans
puncak (Wahyu, 1992).
Tujuan pemberian ransum pada ayam adalah untuk memenuhi kebutuhan
hidup pokok dan berproduksi. Untuk produksi maksimum dilakukan dalam
jumlah cukup, baik kualitas maupun kuantitas. Ransum pedaging harus seimbang
antara kandungan protein dengan energi dalam ransum. Disamping itu kebutuhan
vitamin dan mineral juga harus diperhatikan. Sesuai dengan tujuan
pemeliharaannya yaitu memproduksi daging sebanyak-banyaknya dalam waktu
singkat, maka jumlah pemberian pakan tidak dibatasi (ad-libitum). Ayam
pedaging selama masa pemeliharaannya mempunyai dua macam pakan yaitu
Sistem Pencernaan Ayam Pedaging
Pencernaan adalah penguraian makanan ke dalam zat-zat makanan dalam
saluran pencernaan untuk dapat diserap dan digunakan oleh jaringan-jaringan
tubuh (Anggorodi, 1985).
Peranan utama dari pencernaan adalah mencerna makanan secara mekanik,
fisik, dan kimia, menyerap zat makanan yang diperlukan tubuh seperti air,
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral serta mengolah dan membuang
ampas pencernaan (Church, 1973).
Ayam merupakan ternak non-ruminansia yang artinya ternak yang
mempunyai lambung sederhana atau monogastrik. Pada umumnya bagian-bagian
penting dari alat pencernaan adalah mulut, farinks, esofagus, lambung, usus halus
dan usus besar. Makanan yang bergerak dari mulut sepanjang saluran pencernaan
oleh gelombang peristaltik yang disebabkan karena adanya kontraksi otot di
sekeliling saluran (Tillman et al., 1991).
Seperti kita ketahui bahwa ayam tidak mempunyai gigi geligi untuk
mengunyah ransum sebagaimana ternak lainnya, namun punya paruh yang dapat
melumatkan makanan. Oleh karena itu, daya cerna ayam terhadap ransumnya
lebih rendah 10% dari pada ternak lain (Kartadisastra, 1994).
Pati dan gula mudah dicerna oleh unggas sedangkan pentosan dan serat
kasar (sellulosa, hemisellulosa, dan lignin) sulit dicerna. Saluran pencernaan pada
unggas sangat pendek dibandingkan ternak lain, sehingga jasad renik mempunyai
waktu yang sedikit untuk mencerna karbohidrat kompleks (Anggorodi, 1985).
Pencernaan secara mekanik tidak terjadi di dalam mulut melainkan di
kaca yang sengaja dimakan, lalu masuk ke dalam usus halus lalu di sinilah terjadi
proses pencernaan dengan menggunakan enzim-enzim pencernaan yang
disekresikan oleh usus halus, seperti cairan duodenum, empedu, pankreas, dan
usus. Di dalam usus besar terjadi proses pencernaan yang dilakukan oleh jasad
renik yang berfungsi sebagai penghancur protein yang tidak dapat diserap oleh
usus halus (proteolitik) (Tillman et al., 1991).
Di dalam empedal bahan-bahan makanan mendapat proses pencernaan
secara mekanis. Partikel-partikel yang besar secara mekanik akan diperkecil
dengan tujuan memudahkan proses pencernaan enzimatis di dalam mulut ataupun
di dalam saluran pencernaan berikutnya. Untuk memudahkan proses pencernaan
mekanis maupun enzimatis dalam mempersiapkan ransum ternak banyak
dilakukan dengan menggiling bahan-bahan ransum tersebut (Parakkasi, 1990).
Escherichia coli
Superdomain: Phylogenetica, Filum: Proteobacteria, Kelas: Gamma
Proteobacteria, Ordo: Enterobacteriales, Famili: Enterobacteriaceae, Genus:
Escherichia, Species: Eschericia coli
Escherichia coli adalah bakteri batang pendek gram negatif dengan ukuran
1,1 – 1,5 µm x 2- 6 µm, kadang-kadang berbentuk oval bulat, tersusun tunggal
atau berpasangan. Banyak galur mempunyai kapsul atau mikrokapsul. Dapat
bersifat motil maupun non motil. Bersifat fakulatif anearob yang mempunyai tipe
metabolisme respirasi maupun fermentasi. Eschericia coli tumbuh optimal pada
suhu 37°C, membentuk koloni bulat konveks dengan pinggir yang nyata. Pada
media Mc Conkey koloni berwarna merah jambu karena ada peragian laktosa
Faktor virulensi Eschericia coli dipengaruhi oleh ketahanannya terhadap
pagositosis, kemampuan perlekatan terhadap epitel sel pernafasan dan
ketahanannya terhadap daya bunuh oleh serum. Eschericia coli yang patogen ini
mempunyai struktur dinding sel yang disebut “pili” yang tidak ditemukan pada
serotipe yang tidak patogen (Tabbu, 2000), dan “pili” inilah yang berperan dalam
kolonisasi (Lay dan Hastowo, 1992).
Ada tiga macam struktur antigen yang penting dalam klasifikasi
Eschericia coli yaitu, antigen O (Somatik), antigen K (Kapsel) dan antigen H
(Flagella) (Gupte, 1990; Lay dan Hastowo, 1992). Determinan antigen (tempat
aktif suatu antigen) O terletak pada bagian liposakarida, bersifat tahan
panas dan dalam pengelompokannya diberi nomor 1,2,3 dan seterusnya. Antigen
K merupakan polisakarida atau protein, bersifat tidak tahan panas dan
berinterferensi dengan aglutinasi O, sedangkan antigen H mengandung
protein, terdapat pada flagella yang bersifat termolabil. Pada saat ini telah
diketahui ada 173 grup serotipe antigen O, 74 jenis antigen K dan 53 jenis
antigen H (Barnes dan Gross, 1997).
Dalam kondisi normal Eschericia coli terdapat di dalam saluran
pencernaan ayam. Sekitar 10−15 persen dari seluruh Eschericia coli yang
ditemukan di dalam usus ayam yang sehat tergolong serotipe patogen. Bagian
usus yang paling banyak mengandung kuman tersebut adalah jejunum,
ileum dan sekum. Jenis Eschericia coli yang terdapat di dalam usus tidak selalu
sama dengan jenis yang ditemukan pada jaringan lain. Sebagai agen
penyakit sekunder, Eschericia coli sering mengikuti penyakit lain, misalnya
Kenyataan di lapangan, timbulnya kasus kolibasilosis, terutama akibat
pengaruh imunosupresif dari Gumboro (ayam pedaging lebih dominan
dibanding petelur) dan sebagai penyakit ikutan pada Chronic Respiratory
Disease (CRD), Infectious Coryza (Snot), Swollen Head Syndrome (SHS),
Infectious Laryngo Tracheitis (ILT) dan koksidiosis (Tabbu, 2000).
Tabbu (2000) mengatakan bahwa, Eschericia coli akan bermultiplikasi
secara cepat di dalam usus DOC yang baru menetas. Infeksinya akan menyebar
secara cepat dari DOC yang satu ke DOC lainnya di dalam indukan buatan
(brooder), terutama bila umbilicus belum tertutup sempurna. Kematian
mungkin saja tidak terjadi, tetapi litternya sudah tercemari oleh bakteri.
Mannanoligosakarida (MOS)
Kemampuan lain dari MOS adalah dapat merangsang sistem kekebalan
(Spring, 1997). Mekanisme MOS sebagai immunomodulator belum sepenuhnya
diketahui (Swanson et al. 2002). Selanjutnya Shashidara et al. (2003) menjelaskan
bahwa sel pertahanan tubuh pada GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue)
mendeteksi kehadiran mikroba akibat adanya molekul unik yang disebut PAMP
(Patogen-Associated Moleculer Pattern) yang selanjutnya akan mengaktifkan
sistem kekebalan. Penggunaan bahan yang bersifat immunomodulator sangat
penting dilakukan untuk mengatasi banyaknya cekaman yang dapat mengganggu
respon kekebalan tubuh ayam.
Mannan merupakan sumber biomasa setelah sellulosa dan xylan yang
masih belum banyak dimanfaatkan. Dari degradasi mannan dengan beberapa jenis
berfungsi sebagai komponen pangan fungsional. Limbah biomasa dari industri
perkebunan di Indonesia yang mengandung polisakarida mannan seperti limbah
bungkil kelapa sawit, kopra dan kopi dapat dimanfaatkan untuk produksi mannosa
dan manno-oligosakarida tersebut. Dari hasil uji aktivitas enzim mannanase dari
sekitar 488 mikroba lokal koleksi BTCC (Biotechnology Culture Collection) telah
diperoleh sedikitnya 6 isolat yang memiliki aktivitas tinggi dalam degradasi
substrat mannan. Metoda mutasi dengan UV digunakan untuk meningkatkan
produksi enzim oleh mikroba yang memiliki aktivitas mendegradasi mannan. Dua
pendekatan dilakukan dalam proses produksi, yaitu 1) Melakukan preparasi
substrat mannan secara kimia kemudian baru mereaksikan dengan enzim kasar
yang diproduksi. 2) Melakukan fermentasi langsung dengan subtrat bungkil tanpa
preparasi khusus. Untuk itu telah dilakukan analisa ekstraksi mannan dari bungkil
secara kimia. Hasil hidrolisis subtrat mannan dengan menggunakan mikroba
selektif yaitu dari strain Streptomyces dan Saccahropolyspora menunjukkan
secara kualitatif senyawa oligosakarida terbentuk. Kedua mikroba tersebut
memproduksi enzim mannanase dengan spesifik aktivitas tertinggi setelah 24 jam
masa fermentasi. Proses analisa enzim mannanase dan optimasi fermentasi dengan
menggunakan bungkil inti kelapa sawit sebagai karbon dan mikroba terpilih di
atas sedang dilakukan pada saat ini (Anonimus, 2007).
Pendekatan baru untuk mencegah infeksi mikroba ditemukan dengan
diketahuinya pentingnya proses penempelan pada saluran pencernaan. Diketahui
bahwa fimbriae tipe 1 yang sensitif terhadap mannosa berperan dalam
menempelnya mikroba patogen. Bakteri seperti Salmonella, Eschericia coli, dan
spesifik terhadap mannosa, dengan demikian mannosa dapat menghambat
penempelan mikroba merugikan pada saluran pencernaan (Center for Food and
Nutrtition Policy, 2002).
Sistem Kekebalan Tubuh Ayam Pedaging
Pencegahan penyakit adalah suatu tindakan untuk melindung individu
terhadap serangan penyakit atau menurunkan keganasannya. Vaksinasi
merupakan salah satu di antara berbagai cara yang efektif untuk melindungi
individu terhadap berbagai serangan berbagai macam jenis penyakit tertentu.
Tindakan vaksinasi adalah satu usaha agar hewan yang divaksin memiliki daya
kebal sehingga terlindung dari serangan penyakit (Akoso, 1997).
Sistem kekebalan ayam seperti halnya ternak lain merupakan sistem yang
sangat kompleks. Sistem kekebalan dapatan tubuh unggas terdiri atas kekebalan
humoral dan selular. Kekebalan humoral melibatkan antibodi spesifik terhadap
antigen yang masuk. Pada ayam, ada dua organ tubuh yang berhubungan dengan
sistem kebal, yakni Bursa Fabricius dan Timus. Bursa Fabricius sebagian besar
berisi sel B yang berperan dalam memproduksi antibodi humoral atau yang
bersikulasi. Timus sebagian besar berisi sel T dengan fungsi mengenal dan
menghancurkan sel yang terinfeksi bakteri atau virus, mengaktifkan makrofag
dalam fagositisis dan membantu sel B dalam memproduksi antibodi. Pada masa
embrio, kedua sistem ini diprogramkan untuk menghasilkan kekebalan aktif
terhadap penyakit, artinya kekebalan yang didapat sebagai akibat pernah terinfeksi
atau karena inokulasi dengan bahan-bahan penyebab penyakit yang telah diubah
Sel B yang dihasilkan oleh bursa Fabricius akan menghasilkan antibodi
dan sel pengingat (sel memori). Dalam menanggapi adanya antigen, sel-sel
plasma menghasilkan antibodi. Antibodi adalah suatu protein yang besar
molekulnya dapat membantu menghancurkan dan melumpuhkan patogen dengan
jalan mengikat patogen tersebut dengan protein yang bersifat antigenik. Sel-sel
plasma yang menghasilkan antibodi berasal dari sel B. Sel-sel memori akan
mengingat dan mengenal antigen yang pernah masuk keadaan tubuh, sehingga
sistem kekebalan unggas dapat bertindak cepat (Cheville, 1967).
Newcastle Desease (ND)
Newcastle Disease (ND) atau disebut juga penyakit Tetelo, Pseudofowl
pest, Pseudovogel pest, avian distemper, avian pneumoenchephalitis,
pseudopoultry plague dan ranikhet disease. Newcastle Disease (ND) merupakan
penyakit viral yang sangat menular pada unggas, bersifat sistemik yang
melibatkan saluran pernafasan dan menyerang berbagai jenis unggas terutama
ayam serta burung-burung liar dengan angka mortalitas yang tinggi 80-100%
(Alexander, 1991).
Newcastle Disease (ND) disebabkan oleh virus yang termasuk dalam
famili Paramyxoviridae, genus Paramyxovirus. Paramyxovirus mempunyai
genom virus ssRNA berpolaritas negative, panjangnya 15-16 kb dan
mempunyai kapsid simetris heliks tidak bersegmen, berdiameter 13-18 nm.
(Fenner et.al, 1995), genom virus Newcastle Desease (ND) membawa sandi untuk
6 protein virus yaitu protin L, Protein HN (hemaglutinin neuraminidase), protin F
(protin fusi), protein NP (protin nukleokapsid), protin P (Fosfoprotein), dan
Masa inkubasi penyakit ini antara 2-15 hari, rata-rata 5-6 hari. Kejadian
infeksi oleh virus Newcastle Desease (ND) terutama terjadi secara inhalasi
(Alexander, 1991).
Sifat-sifat fisik virus Newcastle Desease (ND) antara lain virus Newcastle
Desease (ND) mempunyai kemampuan untuk mengaglutinasi dan melisikan
eritrosit ayam. Selain eritrosit ayam, virus Newcastle Desease (ND) juga
mampu mengaglutinasi eritrosit mamalia dan unggas lain serta reptilia
(Beard dan Hanson, 1984).
Virus Newcastle Desease (ND) bila dipanaskan pada suhu 56o C akan
kehilangan kemampuan untik mengaglutinasi eritrosit ayam, karena
hemaglutininnya rusak. Selain itu juga akan merusak infektivitas dan
imunogenesitas virus.
Gejala klinis Newcastle Desease (ND) dibedakan menjadi 5 patotipe
menurut Beard dan Hanson, 1984, yakni bentuk Doyle, Beach, Baudette, Hithcner
da enteric Asimptomatik. Bentuk Doyle merupakan bentuk per akut atau akut,
menimbulkan kematian pada ayam segala umur dengan mortalitas 100%. Lsi
menciri dengan adanya perdarahan pada saluran pencernaan. Bentuk ini
disebabkan oleh virus strain velogenik. Penyakit ini terjadi secara tiba-tiba, ayam
mati tanpa menunjukkan gejala klinis, ayam kelihatan lesu, respirasi meningkat,
jaringan sekitar mata bengkak, diare dengan feses hijau atau putih dapat
bercampur darah, tortikalis, tremor otot, paralisa kaki dan sayap
Infectious Bursal Desease (IBD)
Penyakit Infectious Bursal Desease (IBD) pertama kali dilaporkan
di Gumboro, Delaware, Amerika Seriakat pda tahun 1962 oleh Cosgrove,
oleh karena itu penyakit itu dikenal juga dengan nama Gumboro desease
(Lukert dan Saif, 1997).
Kasus penyakit Infectious Bursal Desease (IBD) di Indonesia pertama kali
ditemuakan pada tahun 1980 di sebuah peternakan ayam jantan di daerah
Sawangan, Bogor (Partadireja dan Juniman, 1985). Penyebaran penyakit ini
telah meluas hampir di seluruh daerah di Indonesia dan bersifat endemik
(Santhia, 1986).
Penyakit Gumboro sangat mudah menular. Suatu peternakan yang terkena
wabah Infectious Bursal Desease (IBD) akan sangat mudah menyebar ke
peternakan lain, bahkan penularan berlanjut sampai generasi berikutnya pada
peternakan yang sama. Terjadinya penularan ini dapat ditimbulkan karena kontak
langsung antara ayam penderita dengan ayam sehat, litter yang tercemar virus
Gumboro atau lewat makanan akan terkontaminasi. Serangga dapat juga berperan
dalam penyebaran penyakit ini (Murtidjo, 1992).
Penyakit Infectious Bursal Desease (IBD) merupakan satu diantara unggas
penyakit unggas terpenting di USA, Eropa dan Asia khususnya di Indonesia.
Penyakit ini menimbulkan kerugian berupa angka mortalitas tinggi, penurunan
produksi daging, telur, peningkatan biaya manajemen serta bersifat imunosupresi,
akibatnya ayam menjadi lebih peka terhadap berbagai jenis infeksi (Jackwood and
(IBD) juga diperparah oleh infeksi Escherichia coli, Aspergillus flavus dan Avian
nephritis.
Infectious Bursal Desease (IBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh
virus golongan Birnaviridae, menyerang ayam muda, bersifat akut dan mudah
menular. Virus tersebut berdiameter 55-65 nm. Ketahanan virus Infectious Bursal
Desease (IBD) terhadap pengaruh lingkungan dan bahan kimiawi, maka virus
tersebut dapat bertahan dalam kandang ayam maupun di lingkungan dalam
periode yang lama walaupun telah dilakukan sanitasi maupun desinfeksi
(Tabbu, 2000).
Umur yang sensitif terhadap virus tersebut adalah 3-6 minggu. Kejadian
Gumboro dapat dibagi dua yaitu : infeksi dini pada anak ayam umur 1-21 hari dan
infeksi tertunda pada yang berumur lebih dari 3 minggu. Jika virus Gumboro
menyerang ayam yang berumur 1-21 hari biasanya akan timbul Gumboro bentuk
subklinis yang mempunyai efek sangat imunosupresi (menekan kekebalan) dan
menyebabkan kegagalan berbagai program vaksinasi (Wiryawan, 2007).
Okeye and Uzoukwu (1991), menyatakan bahwa infeksi oleh virus
Infectious Bursal Desease (IBD) akan meningkatkan kepekaan ayam terhadap
infeksi Eschericia coli. Infeksi campuran antara Infectious Bursal Desease (IBD)
dan Eschericia coli makin merangsang pertumbuhan jumlah sel limfosit dalam
bursa Fabricius maupun kelenjar timus. Pada kondisi lapangan, penyakit
Infectious Bursal Desease (IBD) subklinis ini lebih sulit dideteksi. Penyakit
Gumboro yang bersifat klinis, menyebabkan kematian yang lebih tinggi, sulit
dikontrol dan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Penyakit Infectious
pendarahan berupa titik-titik atau garis-garis pada otot bagian paha bagian tengah
lateral abdomen.
Darah
Darah adalah suatu cairan jaringan yang beredar melalui jantung, beserta
pembuluhnya berperan dalam: 1) mengangkut oksigen dan nutrisi ke dalam tubuh,
2) mengatur panas, 3) mengangkut hasil metabolisme, hormon dan sisa produk
menuju tempat yang sesuai di dalam tubuh ayam, dan 4) mengeluarkan
karbondioksida dan sisa produk. Darah ayam berisi sekitar 2,5-3,5 juta sel darah
merah per millimeter kubik, tergantung dari umur dan jenis kelamin. Darah
pejantan dewasa 500.000 sel darah merah lebih banyak dibanding ayam betina
(Akoso, 1997).
Frandson (1992) menjelaskan beberapa fungsi darah, yaitu: 1) Membawa
nutrient yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan menuju jaringan tubuh, 2)
Membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh, 3) Membawa
karbondioksida dari jaringan ke paru-paru untuk dibuang, 4) Membawa produk
buangan dari berbagai jaringan menuju ginjal untuk diekskresikan, 5) Berperan
penting dalam pengendalian suhu, dengan cara mengangkut panas dari bagian
tubuh menuju permuakaan tubuh, 6) Berperan dalam sistem buffer, seperti
bikarbonat di dalam darah membantu mempertahankan pH yang konstan pada
jaringan dan cairan tubuh, 7) Sebagai pembeku darah yang mencegah terjadinya
kehilangan darah yang berlebihan pada waktu luka.
Darah adalah jaringan khusus yang berperan dalam sirkulasi dan terdiri
yaitu: benda darah merah (erythrocyte), benda darah putih (leukocyte), dan
kepingan darah (thrombocytes atau platelets). Aliran darah dalam seluruh tubuh
menjamin lingkungan yang tetap agar semua sel serta jaringan mampu
melaksanakan fungsinya. Jadi fungsi utama darah adalah mempertahankan
homeostasis tubuh (Dellman and Brown, 1992).
Jika tubuh hewan mengalami ganguan fisiologis maka akan terjadi
perubahan profil darah. Adanya perubahan profil darah tersebut dapat disebabkan
oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal misalnya kesehatan, stress,
status gizi, suhu tubuh, sedangkan faktor eksternal misalnya akibat perubahan
suhu lingkungan, dan infeksi kuman. Ternak yang sehat akan memiliki gambaran
darah yang normal. Kekurangan asam folat, vitamin B12 dapat menyebabkan
keadaan anemia (kekurangan sel darah merah) (Guyton and Hall, 1997).
Jumlah leukosit yang meningkat merupakan pertanda adanya infeksi
dalam tubuh (Frandson, 1992). Faktor-faktor tersebut dapat mengganggu proses
pembentukan darah secara normal yang terjadi dalam sumsum tulang. Nilai
normal gambaran darah ayam pedaging dapat dilihat pada Tabel 5.
Sel Darah Merah (Eritrosit)
Guyton dan Hall (1997) menyatakan eritrosit adalah sel darah merah yang
membawa haemoglobin dan O2 dari paru-paru ke jaringan tubuh. Kandungan
eritrosit pada hewan dewasa terdiri atas 62-72% air, 35% padatan dan dari padatan
tersebut 95% haemoglobin (Swenson, 1984).
Menurut Guyton dan Hall (1997), faktor utama yang berperan dalam
pembentukan sel darah merah adalah hormon dalam sirkulasi yang disebut
eritropoietin, yaitu suatu glikoprotein dengan berat molekul kira-kira 34.000.
Eritrosit dipengaruhi oleh konsentrasi haemoglobin dan hematokrit. Jumlah
eritrosit yang tinggi akan diikuti oleh titer haemoglobin yang tinggi
(Swenson, 1984). Keadaan hipoksia (difisiensi oksigen), anemia (kekurangan sel
darah merah) juga mempengaruhi produksi eritrosit (Guyton dan Hall, 1997).
Eritrosit merupakan produk proses eritropoesis, yang terjadi dalam
sumsum tulang merah(medulla osseum rubrum). Eritropoesis membutuhkan
bahan dasar protein, glukosa dan berbagai aktivator. Beberapa aktivator
eritropoesis adalah mikromineral Cu, Fe dan Zn. Unsur Cu berperan dalam
memetabolisme protein, Fe berperan dalam pembentukan senyawa heme dan Zn
berperan dalam pembentukan protein pada umumnya (Praseno, 2005).
Hematokrit
Hematokrit atau packed cell volume (PCV) adalah persentase sel darah
merah dalam 100 ml darah. Hewan normal memiliki nilai hematokrit sebanding
Nilai hematokrit juga dipengaruhi oleh temperatur lingkungan yang dapat
bertambah jika keadaan hipoksia atau polisitemia (jumlah sel-sel darah merah
dalam tubuh meningkat) sehingga jumlah eritrosit lebih banyak dibandingkan
dengan jumlah normal (Guyton, 1996).
Haemoglobin
Menurut, Swenson (1984), haemoglobin adalah pigmen eritrosit berisi
darah yag tersusun atas protein konjunggasi dan protein sederhana. Protein
haemoglobin adalah globulin berupa sel, dan warna merah adalah heme yang
berupa atom besi. Hemoglubulin yang ada dalam eritrosit memungkinkan
timbulnya kemampuan untuk mengangkut oksigen, serta penyebab warna merah
pada darah (Frandson, 1992). Haemoglobin mengikat O2 untuk membentuk
oksihaemoglobin (Ganong, 1992).
Haemoglobin merupakan petunjuk kecukupan oksigen yang diangkut.
Kandungan oksigen dalam darah yang rendah menyebabkan peningkatan produksi
haemoglobin dan jumlah eritrosit (Swenson, 1984). Penurunan titer haemoglobin
terjadi karena adanya gangguan pembentukan eritrosit (eritropoesis). Dari segi
kimia, haemoglobin merupakan salah satu senyawa organik kompleks yang terdiri
dari empat pigmen porifin merah (heme). Masing-masing pigmen mengandung
atom besi ditambah globin, yang merupakan protein globular yang terdiri dari
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak Departemen
Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Jl. Dr. A. Sofyan
No. 3, Medan. Penelitian ini dilaksanakan selama 42 hari dimulai pada bulan
September 2009 sampai November 2009.
Bahan dan Alat Bahan
150 ekor DOC strain abor Acress-CP 707, ransum (tepung jagung, tepung
ikan, bungkil kedelai, dedak halus, bungkil kelapa, DCP (di- Calsium Pospat),
minyak nabati, top mix), bungkil inti sawit (BIS), Eschericia coli, NaOH 0,1 N,
HCl 0,1 N, enzim b-mannanase, Trichoderma ressei, air minum, obat-obatan,
vitamin, vaksin Newcastle Desease (ND) dan Infectious Bursal Desease (IBD),
rodalon, gula merah, formalin dan Kalium Permanganat (KMnO4) untuk fumigasi
kandang.
Alat
Kandang dengan ukuran 1 x 0,5 m sebanyak 15 buah, tempat pakan dan
minum (15 buah), timbangan salter dengan kapasitas 5 kg dengan kepekaan 0,01
gram, thermometer untuk mengetahui suhu kandang, bola lampu pijar 40 watt
sebanyak 15 buah (alat penerang), timbangan, terpal plastik, kantong plastik,
Metode Penelitian
Uji In vivo pada Ayam Pedaging
Hasil proses modifikasi bungkil inti sawit (BIS) terbaik yang diperoleh
akan dilanjutkan dengan uji In vivo dengan menggunakan ayam pedaging
sebanyak 150 ekor. Perlakuan yang diuji terdiri atas faktor, yaitu perlakuan infeksi
Eschericia coli dan taraf bungkil inti sawit (BIS) termodifikasi dalam ransum.
Vaksinasi dilakukan terhadap penyakit Newcastle Desease (ND) dan Infectious
Bursal Desease (IBD). Adapun metode penelitian yang digunakan adalah
rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 3 perlakuan dan 5 ulangan.
Perlakuan selengkapnya adalah sebagai berikut:
Infeksi Eschericia coli (107 CFU/ekor pada hari ke 5)
R0 = Ransum kontrol (tanpa BIS)
R1 = Ransum kontrol + BIS 2%
R2 = Ransum kontrol + BIS 4%
Dengan susunan sebagai berikut:
R23 R21 R03
R04 R15 R14
R01 R13 R05
R24 R22 R25
Model metematika yang digunakan berdasarkan Hanafiah (2003) yaitu :
Yij = μ + αi + ∑ij
Dimana :
i = 1,2,3,..., t (perlakuan)
j = 1,2,3, ...., n (ulangan)
Yij = Hasil pengamatan pada ulangan ke-i dan perlakuan ke-j
μ = Nilai rata-rata (mean) harapan
αi = Pengaruh perlakuan ke-i
∑ij = Pengaruh sisa pada satuan percobaan dalam kelompok ke-3 yang
mendapat perlakuan ke-i
Parameter Penelitian
1. Titer Newcastle Desease (ND)
Titer Newcastle Desease (ND) diperoleh dari hasil uji Hemaglutinasi (HA) dan Hemaglutinasi Inhibisi (HI).
2. Titer Infectious Bursal Desease (IBD)
Titer Infectious Bursal Desease (IBD) diperoleh dari hasil uji ELISA
(Enzym Linked Immunosorbant Assay).
3. Sel Darah Merah (Eritrosit)
Perhitungan sel darah merah ditujukan untuk mengetahui jumlah sel darah
merah. Uji ini dapat menentukan jumlah darah merah yang normal atau tidak
sehingga dapat menentukan tingkat anemia atau tidak.
4. Packed Cell Volume (PCV)
Packed Cell Volume (PCV) mempunyai petunjuk yang baik terhadap gambaran
Hb dan eritrosit yang bersirkulasi.
5. Haemoglobin (Hb)
Perhitungan jumlah atau konsentrasi haemoglobin dalam darah dapat
menunjukkan tingkat anemia dan kelainan lainnya.
Pelaksanaan Penelitian
Persiapan Kandang
Kandang dipersiapkan seminggu sebelum DOC atau anak ayam umur satu
hari masuk dalam kandang, terlebih dahulu kandang didesinfektan dengan rodalon
dan difumigasi dengan formalin dan KMnO4 untuk membasmi kandang dari
jamur dan bakteri. Begitu juga untuk tempat minum dan tempat pakan
didesinfektan dengan rodalon. Satu hari sebelum DOC tiba, alat pemanas sudah
dihidupkan untuk menstabilkan suhu kandang dan suhu tubuh ayam.
Penyusunan Ransum
Sebelum ransum disusun, bahan ransum yang digunakan ditimbang
terlebih dahulu sesuai dengan perlakuan. Metode yang dipakai dalam penyusunan
ransum adalah secara manual dimana penyusunan dilakukan dua kali dalam
seminggu untuk menghindari ketengikan sehingga ransum tetap bermutu baik.
Random Ayam
Sebelum DOC atau anak ayam umur satu hari dimasukkan ke dalam
kandang sesuai dengan perlakuan, dilakukan penimbangan untuk mengetahui
bobot badan awal dari masing-masing DOC kemudian dilakukan random
dimasukkan ke dalam kandang sebanyak 10 ekor per plot dengan banyak plot
sebanyak 15 plot.
Pemeliharaan
DOC yang dibeli dari Poultry Shop dipelihara dalam kandang dengan alat
penerang sebesar 60 Watt dan diberi air gula (2:1). Ransum dan air minum
diberikan secara ad-libitum. Pengisian air minum dilakukan setiap pagi dan sore
hari. Vaksinasi dilakukan dua kali yaitu pada umur tiga hari Newcastle Desease
(ND) dan umur tiga minggu Infectious Bursal Desease (IBD) dengan cara tetes
mata atau hidung dan suntikan. Penerangan diberikan secara terus-menerus
selama dua minggu dan minggu selanjutnya penerangan hanya diberikan pada
HASIL DAN PEMBAHASAN
Titer Newcastle Desease (ND)
Titer Newcastle Desease (ND) didapat dari hasil Uji Hemaglutinasi (HA)
dan Hemaglutinasi Inhibisi (HI). Adapun rataan titer Newcastle Desease (ND)
dapat dilihat dari Tabel 6.
Tabel 6. Rataan titer Newcastle Desease (ND) ayam pedaging umur 42 hari
Perlakuan Ulangan Total Rataan
1 2 3 4 5
R0 512 512 256 256 128 1664 332.8
R1 1024 512 1024 1024 1024 4608 921.6
R2 512 512 512 512 1024 3072 614.4
Total 2048 1536 1792 1792 2176 9344
Rataan 682.66 512.00 597.33 597.33 725.33 622.93
Gambar 1. Diagram rataan titer Newcastle Desease (ND) ayam pedaging umur 42 Hari.
Dari Tabel 6. dapat dilihat bahwa rataan tertinggi dari titer Newcastle
2% yaitu 921.6 dan rataan titer Newcastle Desease (ND) terendah terdapat pada
perlakuan R0 tanpa penambahan BIS termodifikasi yaitu 332.8, sehingga daya
tahan tubuh pedaging efektif terhadap virulensi Newcastle Desease (ND) pada
perlakuan R1 dengan konsentrasi BIS termodifikasi 2% dan daya tahan tubuh
pedaging terhadap virulensi Newcastle Desease (ND) mulai menurun dengan
konsentrasi BIS termodifikasi 4% dan tanpa penambahan BIS termodifikasi, ini
disebabkan karena sel imunitas tubuh pedaging merespon BIS termodifikasi
sehingga tubuh mengaktifkan sistem kekebalan terhadap benda asing yang masuk
ke dalam tubuh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Shashidara et al. (2003)
menjelaskan bahwa sel pertahanan tubuh pada GALT (Gut Associated Lymphoid
Tissue) mendeteksi kehadiran mikroba akibat adanya molekul unik yang disebut
PAMP (Patogen-Associated Moleculer Pattern) yang selanjutnya akan
mengaktifkan sistem kekebalan.
Penambahan bungkil inti sawit (BIS) termodifikasi terhadap titer
Newcastle Desease (ND) dapat dilihat pengaruhnya dengan melakukan analisis
keragaman seperti yang tertera pada tabel 7.
Tabel 7. Analisis keragaman titer Newcastle Desease (ND) pada ayam pedaging umur 42 hari
Keterangan : ** = sangat berbeda nyata KK = 33.97%
Hasil analisis keragaman pada Tabel 7. Menunjukkan bahwa F hitung
pada pedaging memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata (P<0,05)
terhadap Titer Newcastle Desease (ND) dalam darah ayam, karena itu dilakukan
uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan pada tabel 8.
Tabel 8. Uji Duncan ayam pedaging umur 42 hari
Perlakuan Rataan notasi Duncan
0.05 0.01
R0 332.8 A A
R1 614.4 AB AB
R2 921.6 C B
Keterangan : 5% = 21.87045
1% = 36.22815
Dari Tabel 8. dapat dilihat bahwa keterangan perlakuan memiliki notasi
yang sangat berbeda nyata. Level peng
gunaan BIS termodifikasi sebesar 2% merupakan level penggunaan yang efisien
dimana titer Newcastle Desease (ND) cukup tinggi dibandingkan dengan
perlakuan lainnya yaitu sebesar 921.6 dan level penggunaaan BIS termodifikasi
sebesar 4% menunjukkan pengaruh negatif dimana hasilnya titer Newcastle
Desease (ND) menurun yaitu 614.4.
Titer Infectious Bursal Desease (IBD)
Titer Infectious Bursal Desease (IBD) didapat dari hasil Uji ELISA,
prinsip dari uji ini adalah adanya ikatan antigen atau antibodi kemudian
direaksikan dengan anti-immunoglobulin yang telah disenyawakan (conjungation)
dengan enzim dan ditambahkan dengan substrat yang apabila dipecah dengan
enzim akan menghasilkan warna. Intensitas warna ini kemudian diukur dengan
antigen antibodi dan enzim. Adapun rataan titer Infectious Bursal Desease (IBD)
ayam pedaging umur 42 hari pada Tabel 9.
Tabel 9. Rataan titer Infectious Bursal Desease (IBD) ayam pedaging umur 42 hari
Perlakuan Ulangan Total Rataan
1 2 3 4 5
R0 13017 23153 10069 8007 14212 68458 13691.6
R1 9743 9014 9699 10380 11036 49872 9974.4
R2 10621 13788 10711 297 6719 42136 8427.2
Total 33381 45955 30479 18684 31967 160466
Rataan 11127 15318.33 10159.67 6228 10655.67 10697.73
Gambar 2. Diagram rataan titer Infectious Bursal Desease (IBD) ayam pedaging umur 42 hari.
Rataan titer Infectious Bursal Desease (IBD) tertinggi diperoleh dari
perlakuan R0 tanpa penambahan BIS termodifikasi yaitu 13691.6 dan rataan titer
Infectious Bursal Desease (IBD) terendah terdapat pada perlakuan R2 dengan
penambahan BIS termodifikasi yaitu 8427.2. Perlakuan R0 tanpa penambahan BIS
termodifikasi dapat meningkatkan titer Infectious Bursal Desease (IBD) yang
coli dapat merangsang sistem kekebalan tubuh ayam pedaging, hal ini sesuai
dengan pernyatan Okeye dan Uzoukwu (1991), yang menyatakan bahwa infeksi
oleh virus Infectious Bursal Desease (IBD) akan meningkatkan kepekaan ayam
terhadap infeksi Eschericia coli. Infeksi campuran antara Infectious Bursal
Desease (IBD) dan Eschericia coli makin merangsang pertumbuhan jumlah sel
limfosit dalam bursa Fabricius maupun kelenjar timus.
Penambahan BIS (Bungkil Inti Sawit) termodifikasi terhadap titer
Infectious Bursal Desease (IBD) dapat dilihat pengaruhnya dengan melakukan
Analisis keragaman seperti yang tertera pada tabel 10.
Tabel 10. Analisis keragaman titer Infectious Bursal Desease (IBD) ayam pedaging umur 42 hari
SK DB JK KT Fhitung Ftabel
0.05 0.01
Perlakuan 2 73208851.7 36604426 1.786962 3.88 6.93
Galat 12 245809941 20484162
Total 14 319018793
Keterangan : KK= 22.61%
Hasil Analisis keragaman pada Tabel 10. menunjukkan bahwa F hitung
lebih kecil dari F tabel pada taraf 0.05 yang berarti perlakuan R0, R1, dan R2,
pada pedaging memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap
titer Infectious Bursal Desease (IBD) dalam darah ayam pedaging.
Sel Darah Merah (Eritrosit)
Perhitungan sel darah merah ditujukan untuk mengetahui jumlah sel darah
merah. Uji ini dapat menentukan jumlah darah merah yang normal atau tidak
sehingga dapat menentukan tingkat anemi atau tidak. Adapun rataan eritrosit
Tabel 11. Rataan eritrosit ayam pedaging umur 42 hari
Perlakuan Ulangan Total Rataan
1 2 3 4 5
R0 4.3 3.2 5.1 5.2 3.3 21.1 4.22
R1 3.2 5.1 3.1 3.6 3.3 18.3 3.66
R2 4.2 3.3 3.2 3.2 5.2 19.1 3.82
Total 11.7 11.6 11.4 12 11.8 58.5
Rataan 11127 15318.33 10159.67 6228 10655.67 3.9
Gambar 3. Diagram rataan eritrosit ayam pedaging umur 42 hari.
Rataan eritrosit tertinggi diperoleh dari perlakuan R0 tanpa penambahan
BIS termodifikasi sebesar 4,22 10/mm3 dan rataan terendah pada perlakuan R1
dengan konsentrasi BIS 2% sebesar 3,66 10/mm3. Jumlah eritrosit dalam darah
pedaging tertinggi diperoleh pada perlakuan R0 dan Hb tertinggi dalam darah juga
diperoleh pada perlakuan R0 tanpa penambahan BIS termodifikasi dimana jumlah
eritrosit yang tinggi akan diikuti juga dengan kenaikkan jumlah Hb. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Swenson (1984) yang menyatakan jumlah eritrosit yang tinggi
akan diikuti oleh haemoglobin yang tinggi.
Penambahan BIS (Bungkil Inti Sawit) termodifikasi terhadap eritrosit
Tabel 12. Analisis keragaman eritrosit ayam pedaging umur 42 hari
SK DB JK KT Fhitung Ftabel
0.05 0.01
Perlakuan 2 0.832 0.416 0.528366 3.88 6.93
Galat 12 9.448 0.787333
Total 14 10.28
Keterangan : KK= 22.61%
Hasil analisis keragaman pada Tabel 12. menunjukkan bahwa F hitung
lebih kecil dari F tabel pada taraf 0.05 yang berarti perlakuan R0, R1, dan R2,
pada pedaging memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap
sel darah merah.
Hematokrit (PCV)
Hematokrit atau packed cell volume (PCV) adalah persentase sel darah
merah dalam 100 ml darah. Adapun rataan Hematokrit (PCV) ayam pedaging
umur 42 hari pada Tabel 13.
Tabel 13. Rataan Hematokrit (PCV) ayam pedaging umur 42 hari
Perlakuan Ulangan Total Rataan
1 2 3 4 5
R0 20 24 16 20 20 100 20
R1 21 10 18 15 22 86 17.2
R2 9 22 27 22 30 110 22
Total 50 56 61 57 72 296
Gambar 4. Diagram rataan PCV ayam pedaging umur 42 hari.
Rataan PCV tertinggi diperoleh dari perlakuan R2 dengan penambahan
BIS termodifikasi 4% yaitu 22% dan rataan terendah pada perlakuan R1 dengan
konsentrasi BIS 2% sebesar 17.2%. Jumlah hematokrit dipengaruhi oleh
temperature lingkungan yang nilainya sebanding dengan jumlah eritrosit dan
haemoglobin darah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widjajakusuma dan Sikar
(1986) dan Guyton (1996) yang menyatakan bahwa hewan normal memiliki nilai
hematokrit sebanding dengan jumlah eritrosit dan kadar haemoglobin. Nilai
hematokrit juga dipengaruhi oleh temperatur lingkungan yang dapat bertambah
jika keadaan hipoksia atau polisitemia (jumlah sel-sel darah merah dalam tubuh
meningkat) sehingga jumlah eritrosit lebih banyak dibandingkan dengan jumlah
normal (Guyton, 1996).
Penambahan BIS (Bungkil Inti Sawit) termodifikasi terhadap hematokrit
(PCV) dapat dilihat pengaruhnya dengan melakukan analisis keragaman seperti
Tabel 14. Analisis keragaman Hematokrit (PCV) ayam pedaging umur 42 hari
SK DB JK KT Fhitung Ftabel
0.05 0.01
Perlakuan 2 58.13 29.066 0.906 3.88 6.93
Galat 12 384.79 32.066
Total 14 442.933
Keterangan : KK = 28.69%
Hasil analisis keragaman pada Tabel 14. menunjukkan bahwa F hitung
lebih kecil dari F tabel pada taraf 0.05 yang berarti perlakuan R0, R1, dan R2,
pada pedaging memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap
PCV.
Haemoglobin (Hb)
Perhitungan jumlah atau konsentrasi haemoglobin dalam darah dapat
menunjukkan tingkat anemia dan kelainan lainnya. Adapun rataan haemoglobin
(Hb) ayam pedaging umur 42 hari pada Tabel 15.
Tabel 15. Rataan haemoglobin (Hb) ayam pedaging umur 42 hari
Perlakuan Ulangan Total Rataan
1 2 3 4 5
R0 8.1 7.6 8.6 9.2 7.1 7.1 8.12
R1 8.4 3 9.2 3.1 1.9 25.6 5.12
R2 6.4 5.5 3.2 4.2 6.8 26.1 5.22
Total 22.9 16.1 21 16.5 15.8 58.8
Gambar 5. Diagram rataan haemoglobin (Hb) pada ayam pedaging umur 42 hari
Rataan haemoglobin tertinggi diperoleh dari perlakuan R0 tanpa
penambahan BIS termodifikasi yaitu 8,12 dan rataan terendah pada perlakuan R1
dengan konsentrasi BIS 2% sebesar 5,12. Rataan haemoglobin tertinggi diperoleh
pada perlakuan R0 dan rataan eritrosit tertinggi juga terdapat pada perlakuan R0
sehingga titer haemoglobin sebanding dengan titer eritrosit dalam darah. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Swenson (1984) yang menyatakan jumlah eritrosit yang
tinggi akan diikut i oleh titer haemoglobin yang tingg i.
Penambahan BIS (Bungkil Inti Sawit) termodifikasi terhadap haemoglobin
(Hb) dapat dilihat pengaruhnya dengan melakukan analisis keragaman seperti
yang tertera pada tabel 16.
Tabel 16. Analisis keragaman Haemoglobin (Hb) ayam pedaging umur 42 hari
SK DB JK KT Fhitung Ftabel
0.05 0.01
Perlakuan 2 46.9 23.45 0.744969 3.88 6.93
Galat 12 377.734 31.47783
Total 14 424.634
Hasil analisis keragaman pada Tabel 16. menunjukkan bahwa F hitung
lebih kecil dari F tabel pada taraf 0.05 yang berarti perlakuan R0, R1, dan R2,
pada pedaging memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap
PCV.
Rekapitulasi Hasil Penelitian
Setelah diperoleh hasil penelitian maka dapat dibuat hasil rekapitulasi
penelitian seperti tertera pada Tabel 17.
Tabel 17. Rekapitulasi Titer Newcastle Desease (ND), Titer Infectious Bursal
Desease (IBD), eritrosit, hematokrit (PCV) dan haemoglobin (Hb)
ayam pedaging umur 42 hari
Perlakuan Titer
ND Titer IBD
Eritrosit
PCV (%)
Haemoglobin
(106/mm3) (g/100ml)
R0 332.8 A 13691.6 tn 4.22 tn 20 tn 8.12 tn
R1 921.6 B 9974.4 tn 3.66 tn 17.2 tn 5.12 tn
R3 614.4 A 8427.2 tn 3.82 tn 22 tn 5.22 tn
Tabel 17 menunjukkan bahwa penambahan BIS ke dalam ransum ayam
pedaging memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata terhadap Titer
Newcastle Desease (ND) ayam pedaging umur 42 hari. Namun, penambahan BIS
ke dalam ransum ayam pedaging memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata
terhadap Titer Infectious Bursal Desease (IBD), eritrosit, PCV dan Haemoglobin
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penggunaan bungkil inti sawit (BIS) termodifikasi oleh enzim β-mannase
pada tingkat 4% dapat menurunkan konsumsi ayam pedaging, sedangkan dengan
jumlah hematokrit (PCV) dapat meningkat dengan penggunaan bungkil inti sawit
(BIS) termodifikasi 4%. Konsumsi ayam pedaging dengan penggunaan bungkil
inti sawit (BIS) termodifiksi 2% dapat meningkatkan titer Newcastle Desease
(ND) dalam tubuh ternak dan dapat menurunkan titer Newcastle Desease (ND)
dalam darah dengan konsentrasi bungkil inti sawit (BIS) termodifikasi 4%.
Konsumsi ayam pedaging tanpa penggunaan bungkil inti sawit (BIS)
termodifikasi dapat meningkat kan titer Infectious Bursal Desease (IBD) serta
dapat meningkatkan jumlah eritrosit dan haemoglobin dalam darah tubuh ternak.
Saran
Disarankan penggunaan bungkil inti sawit (BIS) termodifikasi tidak lebih
dari 2% agar sistem immunomodulator yang terbentuk lebih efektif serta tidak
meningkatkan tekanan darah ayam pedaging.
DAFTAR PUSTAKA
AAK., 1994. Beternak Ayam Pedaging. Kanisius, Yogyakarta.
Akoso., 1997. Kesehatan Unggas. Kanisius, Yogyakarta.
Alexander,D.J. 1991. ND and Other Paramyxovirus Injection in Disease of
Poultry,9th ed. Edited by Calnek , B .J., dkk. Iowa State University Press,
Armes, Iowa. USA.
Anggorodi, R., 1985. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Universitas Indonesia, Jakarta.
Anonimus, 2007. Pemamfaatan Limbah Bungkil Inti Kelapa Sawit Untuk Produksi Mannooligosakarida Sebagai Komponen Pangan Fungsional. Puslit Bioteknologi lipi. 20 Mei 2009.
Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner, Regional I Medan.
Barnes, H.J. and W.B. Gross, 1997. Collibacillosis. In: Diseases of Poultry. 10th ed B.W. Calnek, H.J. Barnes, C.W. Beard, L.R. MC Dougald and Y.M. Saif. (Eds.). Ames, I.A.: Iowa State University Press. pp. 131−141
Beard, C.W, and Hanson. 1984. Newcastle Disease in Disease of Poultry,
8th ed. Iowa StateUniversity Press, Armes Iowa. USA.
Buckle, K.A., R.A., Edwards, G.H., Fleet., dan M., Wootton, 1989. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Cheville NF. 1967. Studies on Phatogenesis of Gumboro desease in the bursa of Fabricius, spleen and thymus of the chicken. Am. J. Pathol, 51 : 527-551.
Church, D. C., 1973. Digestive Physiology and Nutrient of Ruminan Vol. 1. Departement of Animal Science Oregon State University, Carvalis.
[CFNP TAP] Center for Food and Nutrition Policy Technical Advisory Panel Review . 2002. Cell Wall Carbohydrates; Livestock. Virgina; CFNP.
Daud, M. J., Jarvis, M. C., Rasidah, A. 1993. Fibre of PKC and its Potential as Poultry Feed. Proceeding. 16th MSAP Annual Conference, Kuala Lumpur, Malaysia.
Devegowda, G. Aravind BIR, Morton MG., 1997. Immunosupression in poultry caused by aflatoxin and its allevation by Saccharomyces cerevisiae (Yea sacc, 1026) and Mannanoligosacharides. Proc. Alltech 11 th Annual Asia
Pacific Lecture Tour. 121-132.
Elisabeth W.. Ginting SP.. 2003. Pemanfaatan Hasil Samping Industri Kelapa Sawit Sebagai Bahan pakan Ternak Sapi Potong. Pros. kakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa-Sawit Sapi (9-10 September 2003),Bengkulu.
Jackwood, D.J., and S.E. Sommers. 1999. Restriction fragment length polymorphism in the VP2 gen of IBDV. From Outside United States. Avian Dis.41 : 627-637.
Junaidi. 2007. Gumboro, vaksin dan kekebalan.
Fenner, Frank J., dkk.1995. Virologi Veteriner. Edisi kedua. Academic Press INC. California.
Frandson, R. D., 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi 4. Terjemahan : Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Ganong, W. F. 1998. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 17. Terjemahan Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. Hlm: 487-500
Gupte. S. 1990. The Short Textbook of Medical Microbiology. First Edition. Jaypee Brothers India. pp. 261−269.
Guyton, A. C. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-7 bagian 1. Terjemahan : Ken Arita Tengadi, Penerbit Buku Kedokteran. E. G. C. Jakarta. hlm:530-560.
Guyton, A. C. dan J. E. Hall. 1997. Sel Darah Merah, Anemia dan Polisitimia Di dalam Fisiologi Kedokteran. Terjemahan : dr. Irawati, dr. L. M. A. Ken Arita Tengadi dan dr. Alex Santoso. Penerbit Buku Kedokteran, E. G. C. Jakarta. Hlm: 93-130
Hardjo, S.N.S., Indastri, B. Tajuddin, 1989. Biokonveksi : Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.
Juni 2009.
Irawan, A., 1996. Ayam-ayam Pedaging Unggul. CV. Aneka, Solo.
Jakarta Future Exchange. 2001. Perkembangan Produk Minyak Goreng Sawit di
Indonesia. http/www.bbj.jfx.com.