• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Cara Mengatasi Masalah Pada Siswa Smp Yang Terindikasi Emotional Problem.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENDAHULUAN Cara Mengatasi Masalah Pada Siswa Smp Yang Terindikasi Emotional Problem."

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kesehatan mental merupakan hal yang sangat penting namun demikian banyak data menunjukkan bahwa kesehatan mental pada remaja semakin memburuk. Masa remaja merupakan masa yang rentan akan terjadinya masalah kesehatan mental bahkan psikopatologi (Schulenberg, Sameroff & Cicchetti dalam Karyani & Subandi, 2015). Knopf, Park, dan Mulye (2008) menyatakan sebagian besar masalah kesehatan mental dimulai pada usia 14 tahun yaitu pada usia remaja, selanjutnya mulai meningkat pada usia 24 tahun. Menurut data dari Hasil survei Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan bahwa 11.6% orang di Indonesia diatas usia 15 tahun mengalami masalah mental emosional.

Ketidakseimbangan antara perkembangan fisik, psikologik dan sosial dapat mempengaruhi munculnya masalah mental emosional pada remaja (Diananta, Hartanto, & Radityo, 2012). Remaja yang kurang mampu mengelola emosinya dengan baik akan rentan terhadap depresi, cemas, stres, dan gangguan psikis lainnya (Larsen, Raffaelli, Richards, Ham, & Jewel, dalam Fitriani & Alsa, 2015). Menurut Silvers, Gabrieli, McRae, & Gross (2012) remaja yang memiliki kemampuan dalam mengelola emosi akan mampu mengatasi stres yang dialaminya dan mempunyai bekal awal dalam menghadapi kehidupan yang selanjutnya yaitu dengan bekal kesehatan mental. Pengelolaan emosi yang baik

(2)

pada remaja akan mengurangi munculnya gejala depresi dan akan memiliki kemampuan kognitif yang tinggi (Rusk, Tamir, & Rothbaum, 2011).

Berdasarkan data dari National Adolescent Health Information Center (NAHIC) diperoleh bahwa mulai tahun 2004, 1 dari 10 ( 11,6%) remaja usia 12 hingga 17 tahun memiliki permasalahan yang serius pada kesehatan mental dan perilaku. Remaja perempuan lebih rentan terkena gangguan kesehatan mental daripada remaja laki-laki, dengan presentasi 12,3 % banding 10,9%. Kemudian remaja yang berasal dari ekonomi rendah memiliki kerentanan lebih dari dua kali lipat untuk mengalami gangguan kesehatan mental dari pada remaja yang berasal dari ekonomi lebih tinggi dengan perbandingan 17,9% banding 8,0% (Knopf, et al, 2008). Penelitian yang dilakukan Costello, Erkanlidan Angol pada tahun 2006

menunjukkan bahwa 3 dari 20% remaja mengalami simptop kecemasan dan prevalensi depresi sebesar 5,9%, sebesar 4,6% nya adalah remaja (Karyani & Subandi, 2015).

(3)

Berdasarkan data awal yang dilakukan oleh peneliti dengan penyebaran skala SDQ (Strengths and Difficulties Questionnaire) menunjukkan bahwa sebagian besar siswa SMP di Surakarta mengalami emosi marah dan tertekan. Hal ini dibuktikan melalui pengisian skala kepada 227 siswa kelas 7,8 dan 9 pada tanggal 18 - 20 Agustus 2016. Pada pertanyaan “aku merasa marah dan tertekan ketika…..” jawaban yang diperoleh dari siswa yaitu 53% siswa menjawab merasa

tertekan karena bermasalah dengan teman seperti diejek, diremehkan, difitnah dan diganggu, 14% siswa menjawab merasa tertekan karena pemasalahan akademik seperti nilai jelek dan dimarahi guru, 22% menyatakan tertekan karena orang tua dan saudara, seperti dimarahi, 8% menyatakan tertekan karena ada masalah namun tidak dijelaskan masalahnya apa, sisanya 3% menjawab tidak sesuai pertanyaan seperti menjawab “aku”. Hasil tersebut diperkuat melalui hasil wawancara dengan beberapa siswa yang menyatakan bahwa beberapa siswa di SMP A suka mengejek, namun siswa lain yang mengetahui perilaku yang kurang sopan tetap diam dan membiarkan saja. Hal tersebut dikarenakan sudah menjadi kebiasaan dari siswa yang bandel. Selain itu berdasarkan screening hasil penelitian terhadap 227 siswa yang yang mengisi skala SDQ (Strengths and Difficulties Questionnaire) yaitu skala yang memprediksi struktur lima faktor SDQ (masalah emosi, masalah tingkah laku, inatensi-hiperak-tivitas, masalah teman sebaya, dan kemampuan prososial), diperoleh bahwa 9,7% siswa terindikasi emotional problem dalam level Low need, 72,7% siswa terindakasi emotional problem dalam level some need dan 15% siswa terindikasi emotional

(4)

data tidak lengkap. Presentase yang diperoleh menunjukkan bahwa 15% siswa SMP A di Surakarta terindikasi emotional problem dengan level High Need, Presentase yang diperoleh memang tidak banyak namun masalah mental emosional yang tidak diantisipasi bisa berkembang menjadi gangguan mental emosional.

Penelitian mengenai masalah mental emosional pernah dilakukan oleh Gita Soraya Diananta pada tahun 2012 dengan judul perbedaan masalah mental dan emosional berdasarkan latar belakang pendidikan agama (studi kasus SMP negeri 21 Semarang dan SMP Islam Al azhar 14 semarang) dengan jumlah responden sebanyak 140 orang, terdiri dari 70 orang responden pada masing – masing sekolah. Di SMP Negeri 21 Semarang didapatkan 11.4 % gejala emosional borderline dan 14.3% abnormal. Di SMP Islam Al Azhar 14 Semarang didapatkan 5.7% gejala emosional borderline dan 10% abnormal . Selain itu Dian Putri Utami pada tahun 2012 juga pernah melakukan tentang masalah mental emosional dengan judul Masalah Mental dan Emosional pada Siswa SMP Kelas Akselerasi dan Reguler (Studi Kasus di SMP Negeri 2 Semarang) dengan jumlah responden sebanyak 88 orang, 40 siswa akselerasi dan 48 siswa reguler. Prevalensi dan rerata skor masalah mental emosional pada siswa reguler lebih tinggi dibanding siswa akselerasi. Prevalensi masalah mental emosional pada siswa perempuan lebih tinggi dibanding siswa laki-laki.

(5)

gangguan kognitif, kesulitan dalam belajar, kemampuan mengingat yang buruk bahkan tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan disekolah (Wiguna, Manengkei, Pamela, Rheza, & Hapsari, 2010). Strategi coping sangat diperlukan agar siswa dapat mengatasi masalahnya dengan adaptif. Menurut Lazarus dan Folkman (1984) strategi coping merupakan usaha-usaha khusus baik kognitif maupun perilaku untuk mentoleransi, menguasai atau mengecilkan dampak tuntuntan-tuntutan baik internal maupun eksternal). Lazarus dan Folkman (1984) membagi strategi coping menjadi dua tipe yaitu: emotion focused coping dan problem-solving focused coping. Emotion focused coping, yaitu perilaku

penyelesaian masalah dengan menggunakan aspek emosionaluntuk mengatur respon emosional terhadap stress tanpa mengatasi sumber masalah. Problem focused coping, yaitu perilaku penyelesaian masalah yang berpusat pada masalah,

dengan melakukan aktivitas penyelesaian secara langsung, mempelajari cara-cara atau ketrampilan baru.

Masalah emosi yang dialami remaja semakin tinggi, hal ini menunjukkan pentingnya membahas mengenai tentang cara mengatasi masalah pada siswa SMP yang terindikasi emotional problem. Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan, maka dapat ditarik rumusan masalah “Bagaimana dinamika cara mengatasi masalah pada siswa SMP yang terindikasi memiliki emotional problem?

B. Tujuan Penelitian

(6)

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan somebangan teoritis bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama di bidang pendidikan diharapkan mampu memberikan referensi terhadap emotional problem yang dihadapi siswa serta strategi yang tepat untuk mengatasi masalah pada siswa yang terindikasi emotional problem.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Orang tua, memberikan informasi tentang masalah emosi yang dihadapi anak sehingga orang tua dapat memberikan perhatian lebih kepada anak tentang cara mengatasi permasalahan yang dihadapi anak

b. Bagi guru, memberikan informasi mengenai cara mengatasi masalah pada siswa , sehingga dapat membantu siswa dalam mengatasi masalah melalui proses bimbingan dan konseling

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, pengumpulan harga pokok produksi yang paling efektif dan efisien bagi perusahaan adalah dengan job order costing method, karena

Dengan mengetahui volume udara yang dihirup manusia per jam dan perbandingan konsentrasi CO2 pada asap knalpot (sampel blanko) dengan konsentrasi CO 2 pada

Arends (2004) menyatakan bahwa mo- del PBL adalah model pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masa- lah autentik sehingga siswa dapat menyusun

Proses Hirarki Analitik adalah suatu model yang luwes yang memungkinkan kita untuk mengambil keputusan dengan mengkombinasikan pertimbangan dan nilai pribadi secara logis,

Kerangka Kerja Kebijakan Moneter Penargetan Inflasi OPERASI MONETER RESPON KEBIJAKAN INDIKATOR KEBIJAKAN SASARAN AKHIR SASARAN INFLASI PRAKIRAAN INFLASI BI RATE INSTRUMEN MONETER 13

Barokah Abadi akan menjadi daya tarik konsumen dalam melihat kualitas kebersihan yang dihasilkan serta kendala perusahaan seperti dari operator dalam melakukan kegiatan

Lima hari kemudian, pada tanggal 24 Agustus 1989, Parlemen Polandia mengakhiri lebih dari 40 tahun satu partai aturan dengan membuat Mazowiecki negara

Kader Pemberdayaan Masyarakat atau disingkat dengan KPM adalah individu-individu yang ” Terpilih ” diantara sekian banyak warga masyarakat desa dan kelurahan yang