Peran Perawat dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial
di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur
Tanjungbalai
Skripsi
Oleh :
Pristiwani
111121021
Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Keperawatan
PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya
yang telah memberikan kekuatan dan kesempatan kepada peneliti, sehingga peneliti
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Peran Perawat dalam Pengendalian
Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai”.
Skripsi ini terlaksana karena arahan, masukan, dukungan dan koreksi dari
berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, peneliti mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara.
2. Ibu Erniyati, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan I, Ibu Evi Karota Bukit, S.Kp,
MNS selaku Pembantu Dekan II, Bapak Ikhsanudin Ahmad Harahap, S.Kp, MNS
selaku Pembantu Dekan III Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Diah Arruum, S.Kep, Ns, M.Kep, selaku dosen pembimbing skripsi saya
dalam Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan USU yang telah
banyak memberi masukan dan dukungan, serta telah mengajari apa yang tidak
saya ketahui sebelumnya sehingga saya dapat mengerti dan dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan benar.
4. Bapak Mula Tarigan, S.Kp, M.Kes selaku Dosen Penguji I dan Bapak Achmad
saran dan sumbangan pemikiran mulai dari proposal hingga skripsi ini
diselesaikan.
5. Ibu dr. Diah Retno selaku Direktur Rumah Sakit Umum Dr. T. Mansyur
Tanjungbalai yang telah memberikan izin dalam melakukan penelitian ini.
6. Kepala Bidang Keperawatan beserta staff RSUD Dr. T. Mansyur Tanjungbalai,
yang telah membantu dalam proses penelitian.
7. Kepala Ruangan VIP, Bedah, Penyakit Dalam, Perinatologi, Anak dan Obgyn
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai yang telah memberi
izin dan membantu saya dalam penelitian ini
8. Ayah dan Ibuku tercinta yang selalu memberikan dukungan moral dan doa agar
dapat cepat menyelesaikan skripsi ini.
9. Denny Priyatna, SP, suami saya tercinta yang selalu memberikan dukungan
moral, materil dan doa agar dapat cepat menyelesaikan skripsi ini.
10.Teman-teman sejawat Ekstensi Pagi Keperawatan USU 2013, terima kasih atas
bantuan dan semangatnya selama ini.
Akhir kata peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan dibidang keperawatan dan pihak-pihak yang membutuhkan.
Peneliti sangat mengharapkan adanya saran yang bersifat membangun untuk
perbaikan yang lebih baik di masa yang akan dating.
DAFTAR ISI
Halaman Judul Lembar Pengesahan
Prakata………...i
Daftar Isi ………..iii
Daftar Skema………....vi
Daftar Tabel………..vii
Abstrak……….viii
Bab I. Pendahuluan 1.1Latabelakang ... 1
1.2Rumusan masalah ... 3
1.3Tujuan penelitian ... 3
1.4Manfaat penelitian ... 3
1.4.1 Bagi Rumah Sakit ... 3
1.4.2 Bagi Pendidikan keperawatan ... 4
1.4.3 Bagi Penelitian keperawatan ... 4
Bab II. Tinjauan Pustaka 2.1 Peran ... 5
2.1.1 Definisi Peran ... 5
2.1.2 Peran perawat ... 5
2.2 Infeksi nosokomial ... 8
2.2.1 Definisi ... 8
2.2.2 Faktor-faktor yang memepengaruhi infeksi nosokomial ... 8
2.2.3 Gejala infeksi nosokomial ... 10
2.2.4 Indikator infeksi nosokomial ... 10
2.3 Peran perawat dalam infeksi nosokomial ... 12
2.3.1 Peran Perawat Dalam Menjaga Kebersihan Rumah Sakit ... 14
2.3.2 Peran Perawat Dalam Pemantauan Teknik Aseptik Termasuk Cuci Tangan dan Penggunaan Alat Pelindung ... 16
2.3.3 Peran Perawat Dalam Melapor Kepada Dokter Jika Ada Tanda dan Gejala Infeksi ... 31
2.3.4 Peran Perawat Dalam Melakukan Isolasi Terhadap Pasien Dengan Penyakit Menular ... 32
2.3.5 Peran Perawat Dalam Membatasi Paparan Pasien Terhadap Infeksi yang Berasal Dari Pengujung Dan Peralatan Diagnosis ... 36
Bab III. Kerangka Penelitian
3.1 Kerangka penelitian ... 41
3.2 Definisi Operasional ... 42
Bab IV. Metodologi Penelitian 4.1 Desain penelitian ... 43
4.2 Populasi dan sampel penelitian ... 43
4.2.1 Populasi penelitian ... 43
4.2.2 Sampel penelitian ... 43
4.3 Lokasi dan waktu penelitian ... 44
4.4 Pertimbangan etik dalam penelitian ... 44
4.5 Instrumen penelitian ... 45
4.6 Uji validitas dan reliabilitas ... 47
4.6.1 Uji validitas ... 47
4.6.2 Uji reliabilitas ... 48
4.7 Prosedur pengumpulan data ... 49
4.8 Analisis data ... 50
Bab V. Hasil Penelitian Dan Pembahasan 5.1 Hasil Penelitian ... 52
5.1.1 Karakteristik Responden ... 52
5.1.2 Peran Perawat Dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial ... 54
5.2 Pembahasan ... 55
Bab VI. Simpulan dan Saran 6.1 Simpulan ... 60
6.2 Saran ... 60
6.2.1 Bagi Rumah Sakit ... 60
6.2.2 Bagi Pendidikan Keperawatan ... 61
6.2.3 Bagi Penelitian Keperawatan ... 61
Lampiran
1. Lembar persetujuan menjadi responden 2. Instrumen penelitian
3. Surat Keterangan Validitas 4. Hasil Reliabilitas
5. Surat Izin Penelitian 6. Hasil Tabulasi Data
DAFTAR SKEMA
Skema 3.1 Kerangka penelitian peran perawat dalam pengendalian
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Distribusi frekuensi dan persentase responden berdasarkan data
demografi responden ... 53
Tabel 2. Distribusi frekuensi peran perawat dalam pengendalian infeksi
nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur
Judul : Peran Perawat dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai 2013
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat pasien selama dirawat yang terjadi selama 72 jam dimana sebelumnya pasien tersebut tidak menunjukkan tanda dan gejala infeksi pada saat masuk rumah sakit. Infeksi nosokomial berkaitan langsung dengan peran perawat dalam pemberian asuhan keperawatan. Adapun peran perawat dalam pemberian asuhan keperawatan untuk mengendalikan terjadinya infeksi nosokomial yaitu menjaga kebersihan rumah sakit yang berpedoman terhadap kebijakan rumah sakit dan praktik keperawatan; pemantauan teknik aseptik termasuk cuci tangan dan penggunaan isolasi; melapor kepada dokter jika ada masalah-masalah atau tanda dan gejala infeksi pada saat pemberian layanan kesehatan; melakukan isolasi jika pasien menunjukkan tanda-tanda dari penyakit menular; membatasi paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengujung, staf rumah sakit, pasien lain, atau peralatan yang digunakan untuk diagnosis atau asuhan keperawatan; mempertahankan keamanan peralatan, obat-obatan dan perlengkapan perawatan di ruangan dari penularan infeksi nosokomial. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan teknik random sampling dan didapatkan 61 perawat sebagai sampel. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial di ruang rawat inap RSUD Dr. T. Mansyur Tanjungbalai, Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial baik sebesar 37,7% dan peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial cukup baik sebesar 62,3%. Peneliti mengharapkan kepada pihak rumah sakit untuk meninggkatkan mutu asuhan keperawatan dengan mengadakan pelatihan tentang infeksi nosokomial.
The role of nurse in control of nosocomial infections
at Dr. T. Mansyur public hospital Tanjungbalai
Pristiwani, Diah Arruum
Abstract
Nosocomial infections is an infection that is acquired the patients for being treated occurring during 72 hours where formerly the patient does not show signs and a symptom of infection on the way to the hospital. The role of nurse to control the occurrence of nosocomial infections such as maintaining the cleanliness of hospitals that are based on hospital policy and practice of nursing, aseptic techniques including monitoring hand washing and the use of isolation, reporting to the doctor if any problems with signs and symptoms of infection at the time of provision of health services, performing isolation if the patient shows signs of infectious disease, limiting the exposure of patients to infection that comes from visitors, hospital staff, other patients, or tools used for diagnosis or nursing care; maintaining security of equipment, drugs and supplies in treatment of nosocomial infection transmission room. This research is a descriptive design with random sampling techniques and using 61 nurses as the sample. It has been recognized the role of nurses in control of nosocomial infections at Dr. T. Mansyur public hospital, Tanjungbalai, Sumatera Utara. The result showed that role of nurses in control nosocomial infections good of 37.7 % and role of nurse in control nosocomial infections good enough of 62.3 %. Researchers expects to the hospital to improve the quality of nursing services with a training about nosocomial infections.
Judul : Peran Perawat dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai 2013
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat pasien selama dirawat yang terjadi selama 72 jam dimana sebelumnya pasien tersebut tidak menunjukkan tanda dan gejala infeksi pada saat masuk rumah sakit. Infeksi nosokomial berkaitan langsung dengan peran perawat dalam pemberian asuhan keperawatan. Adapun peran perawat dalam pemberian asuhan keperawatan untuk mengendalikan terjadinya infeksi nosokomial yaitu menjaga kebersihan rumah sakit yang berpedoman terhadap kebijakan rumah sakit dan praktik keperawatan; pemantauan teknik aseptik termasuk cuci tangan dan penggunaan isolasi; melapor kepada dokter jika ada masalah-masalah atau tanda dan gejala infeksi pada saat pemberian layanan kesehatan; melakukan isolasi jika pasien menunjukkan tanda-tanda dari penyakit menular; membatasi paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengujung, staf rumah sakit, pasien lain, atau peralatan yang digunakan untuk diagnosis atau asuhan keperawatan; mempertahankan keamanan peralatan, obat-obatan dan perlengkapan perawatan di ruangan dari penularan infeksi nosokomial. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan teknik random sampling dan didapatkan 61 perawat sebagai sampel. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial di ruang rawat inap RSUD Dr. T. Mansyur Tanjungbalai, Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial baik sebesar 37,7% dan peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial cukup baik sebesar 62,3%. Peneliti mengharapkan kepada pihak rumah sakit untuk meninggkatkan mutu asuhan keperawatan dengan mengadakan pelatihan tentang infeksi nosokomial.
The role of nurse in control of nosocomial infections
at Dr. T. Mansyur public hospital Tanjungbalai
Pristiwani, Diah Arruum
Abstract
Nosocomial infections is an infection that is acquired the patients for being treated occurring during 72 hours where formerly the patient does not show signs and a symptom of infection on the way to the hospital. The role of nurse to control the occurrence of nosocomial infections such as maintaining the cleanliness of hospitals that are based on hospital policy and practice of nursing, aseptic techniques including monitoring hand washing and the use of isolation, reporting to the doctor if any problems with signs and symptoms of infection at the time of provision of health services, performing isolation if the patient shows signs of infectious disease, limiting the exposure of patients to infection that comes from visitors, hospital staff, other patients, or tools used for diagnosis or nursing care; maintaining security of equipment, drugs and supplies in treatment of nosocomial infection transmission room. This research is a descriptive design with random sampling techniques and using 61 nurses as the sample. It has been recognized the role of nurses in control of nosocomial infections at Dr. T. Mansyur public hospital, Tanjungbalai, Sumatera Utara. The result showed that role of nurses in control nosocomial infections good of 37.7 % and role of nurse in control nosocomial infections good enough of 62.3 %. Researchers expects to the hospital to improve the quality of nursing services with a training about nosocomial infections.
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Rumah sakit merupakan instansi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan perorangan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
salah satunya adalah perawat (Arwani, 2005). Perawat dalam menjalankan fungsinya
berperan sebagai pemberian perawatan, pembuatan keputusan klinik dan etika,
pelindung dan advokat bagi klien, manajer kasus, rehabilitator, pembuatan
kenyamanan, komunikator, dan pendidik (Potter & Perry, 2005).
Infeksi nosokomial sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan pasien
secara menyeluruh yang dapat meningkatkan morbidilitas dan mortalitas sehingga
hari rawat yang lebih lama dan beban biaya menjadi lebih besar (Darmadi, 2008).
Infeksi nosokomial juga dapat meningkatkan ketidakmampuan dalam pemenuhan
antibodi pasien sehingga akan memperpanjang masa penyembuhan pasien yang pada
akhirnya akan menambah biaya pengeluaran pasien maupun institusi yang
menanggung biaya (Potter & Perry, 2005).
Di dunia terdapat 10% dari 1,4 juta pasien rawat inap mengalami infeksi nosokomial tiap tahun.Di Amerika Serikat ada 20.000 kematian setiap tahun akibat
rumah sakit di Jakarta pada 2004 menunjukkan 9,8% pasien rawat inap mendapat
infeksi nosokomial (Spritia, 2010). Berdasarkan Kepmenkes nomor 129 tahun 2008
tentang standar pelayanan minimal Rumah Sakit, jumlah infeksi nosokomial yang
dapat ditoleransi yaitu sebesar ≤1,5%, sehingga dari data tersebut terlihat masih
tingginya angka kejadian infeksi nosokomial sehingga perlu adanya upaya
pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial.
Pengendalian infeksi nosokomial yang dilakukan perawat menurut
WHO (2002) yaitu menjaga kebersihan rumah sakit yang berpedoman terhadap
kebijakan rumah sakit dan praktik keperawatan; pemantauan teknik aseptik termasuk
cuci tangan dan penggunaan isolasi, melapor kepada dokter jika ada masalah-masalah
atau tanda dan gejala infeksi pada saat pemberian layanan kesehatan; melakukan
isolasi jika pasien menunjukkan tanda-tanda dari penyakit menular; membatasi
paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengunjung, staf rumah sakit,
pasien lain, atau peralatan yang digunakan untuk diagnosis atau asuhan keperawatan;
mempertahankan keamanan peralatan, obat-obatan dan perlengkapan perawatan di
ruangan dari penularan infeksi nosokomial.
Hasil survey awal yang dilakukan peneliti terkait kejadian infeksi nosokomial
di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai diperoleh data sebagai
berikut: infeksi karena pemasangan infus tahun 2010 sebesar 5,7% dan tahun 2011
sebesar 6,5%. Infeksi karena pemasangan kateter tahun 2010 sebesar 7,3% dan tahun
kejadian infeksi mengalami peningkatan. Berdasarkan dari angka kejadian infeksi
nosokomial yang terdiri dari infeksi karena pemasangan infus, infeksi karena
pemasangan keteter, infeksi karena perawatan luka dan infeksi luka operasi tersebut,
maka peneliti tertarik untuk mengetahui peran perawat dalam pengendalian infeksi
nosokomial.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan fenomena diatas dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu
“Bagaimana peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial di Rumah Sakit
Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai, Sumatera Utara?”.
1.3Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan peran perawat dalam
pengendalian infeksi nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur
Tanjungbalai, Sumatera Utara.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi untuk mengidentifikasi peran
1.4.2Bagi Pendidikan Keperawatan
Sebagai bahan masukan pengembangan dan keterampilan yang berharga bagi
peneliti, sehingga dapat menerapkan pengalaman ilmiah yang diperoleh untuk
penelitian dimasa mendatang. Selain itu juga menyediakan informasi mengenai
peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial.
1.4.3Bagi Penelitian Keperawatan
Dapat menambah informasi bagi penelitian keperawatan mengenai peran
perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial sehingga memberikan ide bagi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Peran
2.1.1 Definisi Peran
Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan oleh masyarakat yang
sesuai dengan fungsi yang ada dalam masyarakat atau suatu sikap, perilaku, nilai dan
tujuan yang diharapkan diri seseorang berdasarkan posisinya dimasyarakat (Hidayat,
2006). Sedangkan menurut Kozier (2005) mendefinisikan peran adalah seperangkat
tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap sesorang sesuai kedudukannya
dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial dari dalam maupun dari
luar dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari
seseorang pada situasi sosial tertentu (Mubarak, 2006).
2.1.2 Peran Perawat
Peran perawat adalah cara untuk menyatakan aktivitas perawat dalam praktik,
dimana telah menyelesaikan pendidikan formulanya yang diakui dan diberi
kewenangan oleh pemerintah untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab
keperawatan secara professional sesuai dengan kode etik professional. Dimana setiap
asuhan keperawatan, pembuat keputusan klinik, sebagai pelindung atau advokat
kepada klien, manajer kasus, rehabilitator, pemberi kenyamanan, komunikator dan
sebagai pendidik. Sedangkan Peran perawat menurut konsorsium ilmu kesehatan
tahun 1989 dalam Hidayat (2007) terdiri dari:
a) Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan.
Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan ini dapat dilakukan perawat
dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui
pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan
sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar dapat direncanakan dan
dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar manusia,
kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya. Pemberian asuhan keperawatan
ini dilakukan dari yang sederhana sampai dengan kompleks.
b) Peran sebagai advokat.
Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam
menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberian pelayanan atau informasi lain
khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan
kepada pasien, juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien
yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang
penyakitnya. Hak atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk
c) Peran edukator
Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat
pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan, sehingga
terjadi perubahan perilaku dari klien sesudah dilakukan pendidikan kesehatan.
d) Peran koordinator
Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta
mengorganisasi pelayanan kesehatan sehingga pemberian pelayanan kesehatan dapat
terarah serta sesuai dengan kebutuhan klien.
e) Peran kolaborator
Peran perawat disini dilakukan kerana perawat bekerja melalui tim kesehatan
yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lain-lain dengan berupaya
mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar
pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya.
f) Peran konsultan
Peran disini adalah sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan
keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan klien
terhadap informais tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan.
g) Peran pembaharu
Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan perencanaan,
kerja sama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian
2.2Infeksi Nosokomial 2.2.1 Definisi
Nosokomial berasal dari bahas Yunani, dari kata nosos yang artinya penyakit
dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk merawat/ rumah
sakit. Jadi infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai suatu infeksi yang diperoleh
pasien atau sesorang di rumah sakit (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial adalah
infeksi yang terjadi di rumah sakit karena mikroorganisme patogen yang menginfeksi
pasien melalui pemberian pelayanan kesehatan (Potter & Perry, 2005). Infeksi
nosokomial menurut Brooker (2008) adalah infeksi yang didapat dari rumah sakit
yang terjadi pada pasien yang dirawat selama 72 jam dan pasien tersebut tidak
menunjukkan tanda dan gejala infeksi pada saat masuk rumah sakit.
Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa infeksi nosokomial
adalah infeksi yang diperoleh dari rumah sakit yang dapat terjadi karena intervensi
yang dilakukan seperti pemasangan infus, kateter, dan tindakan-tindakan operatif
lainnya yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan pasien tersebut selama dirawat
2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial
Darmadi (2008) mengemukakan beberapa faktor yang berperan dalam
terjadinya infeksi nosokomial adalah:
a) Faktor-faktor luar (extrinsic factor) yang berpengaruh dalam proses terjadinya
infeksi nosokomial seperti petugas pelayanan medis (dokter, perawat, bidan,
tenaga laboratorium, dan sebagainya), peralatan, dan dan material medis
(jarum, kateter, instrumen, respirator, kain/doek, kassa, dan lain-lain),
lingkungan seperti lingkungan internal seperti ruangan /bangsal perawatan,
kamar bersalin, dan kamar bedah, sedangkan lingkungan eksternal adalah
halaman rumah sakit dan tempat pembuangan sampah/pengelolahan limbah,
makanan/minuman (hidangan yang disajikan setiap saat kepada penderita,
penderita lain (keberadaan penderita lain dalam satu kamar/ruangan/bangsal
perawatan dapat merupakan sumber penularan), pengunjung/keluarga
(keberadaan tamu/keluarga dapat merupakan sumber penularan).
b) Faktor-faktor yang ada dalam diri penderita (instrinsic factors) seperti umur,
jenis kelamin, kondisi umum penderita, risiko terapi, atau adanya penyakit
lain yang menyertai (multipatologi) beserta komplikasinya.
c) Faktor keperawatan seperti lamanya hari perawatan (length of stay),
menurunnya standar pelayanan perawatan, serta padatnya penderita dalam
d) Faktor mikroba seperti tingkat kemampuan invasi serta tingkat kemampuan
merusak jaringan, lamanya paparan (length of exposure) antara sumber
penularan (reservoir) dengan penderita.
2.2.3 Gejala Klinis Infeksi Nosokomial
Gejala klinis infeksi nosokomial dapat terjadi secara lokal dan sistemik (Potter
& Perry, 2005). Gejala klinis local akan memberikan gambaran klinik sesuai dengan
organ yang diserang misalnya bila organ paru yang diserang akan menimbulkan
gejala seperti batuk, sesak nafas, nyeri dada, gelisah dan sebagainya. Bila organ
pencernaan yang terkena maka akan menimbulkan gejala klinis seperti mual, muntah,
kembung, kejang perut, dan sebagainya (Darmadi, 2010).
Gejala klinis sistemik menimbulkan gejala (symptom) yang lebih banyak dari
pada gejala infeksi local. Biasanya menyebabkan demam, merasa lemas, malaise,
nafsu makan menurun, mual, pusing, pembesaran kelenjar limfe dan sebagainya
(Potter & Perry, 2005).
2.2.4 Indikator Infeksi Nosokomial
Indikator infeksi nosokomial menurut Depkes tahun 2001 meliputi Angka
Pasien Dekubitus, Angka Kejadian dengan jarum infus, dan Angka Kejadian Infeksi
a) Angka Pasien dengan Dekubitus (Dekubitus Ulcer Rate)
Luka dekubitus adalah luka pada kulit dan/atau jaringan yang dibawahnya
yang terjadi di rumah sakit karena tekanan yang terus menerus akibat tirah
baring. Luka dekubitus akan terjadi bila penderita tidak dibolak-balik atau
dimiringkan dalam waktu 2 x 24 jam. Angka pasien dengan dekubitus adalah
banyaknya penderita yang menderita Dekubitus dan bukan banyaknya
kejadian Dekubitus. Rumus yang digunakan untuk mengukur Angka pasien
dengan dekubitus (APD) adalah:
Banyaknya pasien dengan dekubitus/bulan
X 100%
Total pasien tirah baring total bulan itu
b) Angka Infeksi karena Jarum Infus (Intravenous Cabule Infection Rate)
Infeksi karena jarum infus adalah keadaan yang terjadi disekitar tusukan atau
bekas tusukan jarum infus di rumah sakit, dan timbul setelah 3 x 24 jam
dirawat di rumah sakit kecuali infeksi kulit karena sebab-sebab lain yang tidak
didahului oleh pemberian infus atau suntikan lain. Infeksi ini ditandai dengan
rasa panas, pengerasan dan kemerahan (kalor, tumor, dan rubor) dengan atau
tanpa nanah (pus) pada daerah bekas tusukan jarum infus dalam waktu 3 x 24
jam atau kurang dari waktu tersebut bila infus terpasang. Rumus yang
digunakan untuk mengukur Angka kejadian infeksi karena jarum infus (AIKJ)
Banyaknya kejadian infeksi kulit karena jarum infus/bulan
x 100%
Total kejadian pemasangan infus pada bulan tersebut
c) Angka Kejadian Luka Operasi (Wound Infection Rate)
Adanya infeksi nosokomial pada semua kategori luka sayatan operasi bersih
yang dilaksanakan di rumah sakit ditandai oleh rasa panas (kalor), kemerahan
(color), pengerasan (tumor), dan keluarnya nanah (pus) dalam waktu lebih
dari 3 x 24 jam kecuali infeksi nosokomial yang terjadi bukan pada tempat
luka. Rumus yang digunakan untuk mengukur Angka infeksi luka operasi
(AILO) adalah
Banyaknya infeksi luka operasi bersih/bulan
x 100%
Total operasi bersih bulan tersebut
2.3 Peran Perawat Dalam Infeksi Nosokomial
Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan sangat berkaitan dengan
terjadinya infeksi nosokomial di rumah sakit dan perawat bertanggung jawab
menyediakan lingkungan yang aman bagi klien terutama dalam pengendalian infeksi
dalam proses keperawatan. Perawat juga bertindak sebagai pelaksana terdepan dalam
upaya pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial (Potter & Perry, 2005).
keperawatan mempengaruhi risiko terinfeksi. Faktor standar asuhan keperawatan
yang mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial adalah klasifikasi dan jumlah
ketenagaan yang memiliki kemampuan dalam menjalankan dan mempraktikkan
teknik aseptik; peralatan dan obat yang sesuai, siap pakai dan cukup; ruang
perawatan yang secara fisik dan hygiene yang memadai; aspek beban kerja dalam
pembagian jumlah penderita dengan tenaga keperawatan, dan jumlah pasien yang
dirawat (Darmadi, 2008).
Peran perawat dalam pengendalian infeksi adalah menyediakan layanan
konsultasi mengenai semua aspek pencegahan dan pengendalian infeksi dengan
menggunakan metode yang berdasarkan bukti penelitian, praktisi, dan keefektifan
biaya (Brooker, 2008). Pelaksanaan praktik asuhan keperawatan untuk pengendalian
infeksi nosokomial adalah bagian dari peran perawat (WHO, 2002).
WHO (2002) dalam jurnal Prevention of Hospital-Acquired Infection
menyatakan bahwa peran perawat pelaksana dalam pengendalian infeksi nosokomial
yaitu: (1) menjaga kebersihan rumah sakit yang berpedoman terhadap kebijakan
rumah sakit dan praktik keperawatan; (2) pemantauan teknik aseptik termasuk cuci
tangan dan penggunaan isolasi, (3) melapor kepada dokter jika ada masalah-masalah
atau tanda dan gejala infeksi pada saat pemberian layanan kesehatan; (4) melakukan
isolasi jika pasien menunjukkan tanda-tanda dari penyakit menular; (5) membatasi
paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengujung, staf rumah sakit, pasien
(6) mempertahankan keamanan peralatan, obat-obatan dan perlengkapan perawatan
di ruangan dari penularan infeksi nosokomial.
2.3.1 Peran Perawat Dalam Menjaga Kebersihan Rumah Sakit
Semua institusi kesehatan harus memiliki pedoman untuk pembuangan materi
sampah infeksi menurut kebijakan lokal dan negara. Perawat membungkus dan
membuang alat-alat yang kotor dengan cara yang tepat. Spesimen laboratorium dari
semua pasien ditangani seolah-olah spesimen tersebut dapat menyebabkan infeksi.
Semua materi sampah yang berasal dari pasien di buang ditempat sampah khusus
(Potter & Perry, 2005).
Setelah memberikan suntikan, perawat harus membuang jarum pada tempat
yang tahan tusukan. Jangan pernah melepaskan, membengkokkan atau mematahkan
jarum suntik yang telah digunakan dengan tangan. Jarum yang secara tidak sengaja
tertinggal di linen atau dengan ceroboh dibuang ke tempat sampah dapat
menyebabkan infeksi (Potter & Perry, 2005).
Perawat dalam membuang sampah cair yang terkontaminasi (misalnya darah,
urin, tinja, jaringan dan duh tubuh lainnya) memerlukan penanganan khusus karena
resiko infeksi terhadap petugas kesehatan yang menangani. Perawat memakai sarung
tangan, kacamata pelindung dan celemek, buang sampah cair pada wastefel atau ke
dalam toilet kemudian disiram. Wadah tempat sampah cair didesinfeksi dengan
Menurut WHO (2002), tindakan kebersihan lingkungan rumah sakit meliputi:
a) Pembersihan rutin diperlukan untuk menjamin lingkungan rumah sakit untuk
tampak bersih, dan bebas dari debu dan tanah.
b) Kebanyakan dari mikroorganisme terdapat dalam lingkungan/benda yang
kotor, dan tujuan pembersihan rutin adalah untuk membuang kotoran tersebut.
Baik sabun ataupun deterjen memiliki aktivitas antimikroba, dan proses
pembersihan pada dasarnya tergantung pada tindakan mekaniknya.
c) Seharusnya ada kebijakan yang menetapkan frekuensi pembersihan dan alat
pembersih yang digunakan untuk dinding, lantai, jendela, tempat tidur, tirai,
tabir, perlengkapan, mebel, kamar mandi dan toilet, dan semua peralatan
medis yang dapat digunakan kembali.
d) Metode harus sesuai dengan kemungkinan tingkat kontaminasi, dan tingkat
pembersihan yang diperlukan. Hal ini dapat dicapai dengan mengelompokkan
area ke salah satu dari empat zona rumah sakit:
- Zona A: tidak ada kontak dengan pasien. Pembersihan normal
domestik (misalnya administrasi dan perpustakaan).
- Zona B: perawatan pasien yang tidak terinfeksi, dan tidak rentan,
dibersihkan dengan prosedur yang tidak menerbangkan debu. Sapu
atau pembersih debu tidak dianjurkan. Penggunaan larutan deterjen
tampak kontaminasi dengan darah dan cairan tubuh terlebih dahulu
dibersihkan.
- Zona C: pasien yang terinfeksi (bangsal yang terpisah). Bersihkan
dengan larutan deterjen/disinfektan, dengan peralatan pembersih yang
terpisah untuk setiap ruangan.
- Zona D: pasien yang sangat rentan (pemisahan yang terlindung) atau
kawasan yang terlindung seperti ruangan operasi, ruang pengiriman,
unit perawatan intensif, unit bayi prematur, dan unit hemodialisis.
Bersihkan menggunakan larutan deterjen/disinfektan dan peralatan
kebersihan yang terpisah.
Semua permukaan di zona B, C, D, dan semua kawasan toilet harus
dibersihkan setiap hari.
e) Pengujian bakteriologi pada lingkungan tidak dianjurkan kecuali dalam
keadaan tertentu seperti penyelidikan epidemi dimana ada dugaan sumber
infeksi dari lingkungan.
- Pemantauan dialisis air sesuai standar untuk jumlah bakteri.
2.3.2 Peran Perawat Dalam Pemantauan Teknik Aseptik Termasuk Cuci Tangan dan Penggunaan Alat Pelindung
Tangan dapat menularkan infeksi di rumah sakit dan dapat diminimalkan
dengan kebersihan tangan yang sesuai. Dalam mencuci tangan sering dilakukan tidak
optimal. Hal ini dikarenakan berbagai alasan, misalnya kurangnya peralatan yang
sesuai, tingginya perbandingan jumlah perawat dengan pasien, alergi terhadap produk
pencuci tangan, kurangnya pengetahuan perawat tentang risiko dan cara mencuci
tangan yang baik dan benar, terlalu lama waktu yang direkomendasikan untuk
mencuci tangan (WHO, 2002).
Syarat-syarat mencuci tangan dengan ptimal menurut WHO (2002) meliputi:
a) Untuk pencuci tangan :
- Penggerak air: wastafel besar yang membutuhkan sedikit perawatan,
dengan perangkat antisplash dan pengendali tanpa menggunakan
tangan.
- Produk: sabun atau antiseptik tergantung pada prosedur.
- Fasilitas pengering tanpa kontaminasi (handuk sekali pakai jika
memungkinkan).
b) Untuk disinfeksi tangan:
Disinfektan tangan dengan cairan pencuci beralkohol dengan teknik antiseptik
1) Prosedur
Seharusnya ada kebijakan tertulis dan prosedur untuk mencuci tangan.
Perhiasan harus dilepaskan sebelum mencuci tangan. Prosedur kebersihan
tangan minimal dapat dibatasi untuk tangan dan pergelangan tangan
sedangkan untuk prosedur pembedahan mencakup tangan dan lengan
bawah.
Prosedur akan berbeda dengan perkiraan risiko terjadinya infeksi kepada
pasien:
- Perawatan rutin (minimal):
- Pencuci tangan dengan sabun tanpa anti septik
- Atau pembersih tangan cepat dan higenis (digosok) dengan larutan
beralkohol.
Pencuci tangan antiseptik (sedang) ―pensucian hama pada pasien yang
terinfeksi:
- Pencuci tangan higenis dengan sabun antiseptik mengikuti standar
prosedur (misalnya satu menit)
- Pembersih tangan cepat dan higenis: seperti yang sebelumnya.
Tindakan pembedahan:
- Pada tindakan pembedahan cuci tangan meliputi tangan dan lengan
- Pembersihan tangan dan lengan bawah: mencuci tangan biasa,
kemudian cuci tangan dengan menggunakan desinfektan, lalu
menggosok tangan, bilas dan ulangi sekali lagi dengan
menggunakan desinfektan lalu keringkan.
2) Ketersediaan sumber daya
Peralatan dan produk yang ada di seluruh rumah sakit atau fasilitas
perawatan kesehatan tidaklah sama. Produk yang digunakan dan tata cara
mencuci tangan juga akan berbeda tergantung pada ketersediaan alat dan
fasilitas mencuci tangan (WHO, 2002).
Menurut WHO (2002), tindakan mencuci tangan minimal (rutin) dapat
dilakukan berdasarkan ketersediaan sumber daya dapat dilakukan sebagai
berikut:
- Sumber daya yang baik: Pencucian tangan minimal; peralatan
mencuci tangan dengan menggunakan wastafel besar, air dan alat
pengalir air otomatis, sabun cair, handuk sekali pakai;
membersihkan tangan hingga bersih dengan menggosok dan
tentukan waktu kontak antara tangan dan disinfektan, bersihkan
hingga kering dengan handuk.
- Sumber daya terbatas: Pencucian tangan minimal; Peralatan
mencuci tangan dengan sumber daya terbatas meliputi wastafel, air
higenis dengan cara menggosok dan tentukan waktu kontak tangan
dengan disinfektan atau alkohol, bersihkan hingga kering dengan
handuk.
- Sumber daya sangat terbatas: Pencucian tangan minimal; Peralatan
mencuci tangan meliputi: air bersih, sabun, handuk yang dicuci
setiap hari; membersihkan tangan hingga bersih dengan cara
menggosok dan tentukan waktu kontak dengan alkohol dan
bersihkan hingga kering dengan handuk.
Menurut WHO (2002), tindakan mencuci tangan dengan teknik aseptik
dapat dilakukan berdasarkan ketersediaan sumber daya dapat dilakukan
sebagai berikut:
- Sumber daya yang baik: Pencuci tangan antiseptik; peralatan yang
digunakan wastafel besar, air dan alat pengalir air otomatis, sikat
antiseptik (dilakukan selama satu menit), handuk sekali pakai;
membersihkan tangan hingga bersih dengan menggosok dan
tentukan waktu kontak tangan dengan disinfektan, bersihkan
hingga kering dengan handuk.
- Sumber daya terbatas: Pencuci tangan dengan antiseptik; peralatan
mencuci tangan dengan wastafel besar, air dan sabun, sikat
antiseptik (dilakukan selama satu menit), handuk pribadi;
tentukan waktu kontak dengan disinfektan atau alkohol, bersihkan
hingga kering dengan handuk.
- Sumber daya sangat terbatas: Pencucian tangan sederhana;
peralatan mencuci tangan air bersih, sabun, handuk yang dicuci
setiap hari; membersihkan tangan hingga bersih dengan
menggosok; pembersihan dapat dengan menggunakan alkohol,
gosok hingga kering.
Menurut WHO (2002), tindakan mencuci tangan steril (maksimal) dapat
dilakukan berdasarkan ketersediaan sumber daya dapat dilakukan sebagai
berikut:
- Sumber daya yang baik: Pencucian dari tangan ke lengan bawah;
peralatan mencuci tangan dengan menggunakan wastafel besar, air
dan alat pengalir air otomatis, penyikat antiseptik berkualitas baik
(kontak selama 3 sampai 5 menit), handuk sekali pakai yang steril;
membersihan tangan untuk prosedur bedah dengan menggosok;
sabun yang digunakan lembut dan berkualitas baik, disinfektan
tangan dilakukan dua kali.
- Sumber daya terbatas: Pencucian dari tangan ke lengan bawah
secara sederhana; peralatan mencuci tangan dengan wastafel besar,
hingga bersih dengan menggosok; desinfektan tangan dilakukan
dua kali.
- Sumber daya sangat terbatas: pencucian dari tangan ke lengan
bawah secara sederhana;peralatan mencuci tangan dengan
menggunakan air bersih, sabun kering, handuk yang dicuci setiap
hari; membersihkan tangan hingga bersih dengan menggosok;
pembersihan menggunakan alkohol dilakukan dua kali.
Perlindungan barier harus sudah tersedia bagi perawat seperti gaun, masker,
sarung tangan, dan kacamata pelindung (WHO, 2002).
a) Gaun pelindung
Gaun pelindung melindungi perawat dan pengunjung dari kontak dengan
bahan dan darah atau cairan tubuh yang terinfeksi. Gaun diwajibkan bila
masuk ke ruang isolasi. Melepaskan gaun sebelum keluar dari ruangan isolasi
pasien, setelah gaun dilepaskan, pastikan bahwa pakaian tidak kontak dengan
lingkungan lain.
b) Masker
Masker yang terbuat dari kapas, kasa, atau kertas tidaklah efektif. Masker
kertas dengan bahan sintetis untuk penyaring adalah penghalang yang efektif
melawan mikroorganisme.
1) Masker digunakan dalam berbagai situasi. Persyaratan mengenakan
2) Pelindung dari pasien: perawat mengenakan masker untuk bekerja di
ruangan operasi, merawat pasien yang terganggu kekebalannya, untuk
tusukan rongga tubuh. Cukup dengan sebuah masker bedah.
3) Pelindung bagi perawat: perawat harus mengenakan masker ketika
merawat pasien dengan infeksi pernafasan, atau saat melakukan
bronchoscopies atau pemeriksaan serupa.
4) Pasien dengan infeksi yang dapat ditularkan melalui sirkulasi udara harus
mengenakan masker bedah saat berada diluar ruang isolasi/ ruang
perawatan mereka.
c) Sarung tangan
Sarung tangan digunakan untuk:
1) Pelindung dari pasien: perawat mengenakan sarung tangan untuk prosedur
pembedahan, perawatan pasien dengan sistem kekebalan tubuhnya
terganggu, prosedur invasif.
2) Sarung tangan yang tidak steril dapat dipakai untuk kontak dengan
selaput lendir pasien dimana tangan akan mudah terkontaminasi.
3) Pelindung bagi perawat: perawat menggunakan sarung tangan yang tidak
steril untuk merawat pasien dengan penyakit menular yang ditularkan
melalui sentuhan, atau melakukan bronchoscopies atau pemeriksaan yang
serupa.
6) Lateks atau polivinil klorida adalah bahan yang paling sering digunakan
untuk sarung tangan. Kualitas sarung tangan yang baik yakni tidak adanya
pori-pori atau lubang dan durasi penggunaan sangat bervariasi dari satu
jenis sarung tangan ke sarung tangan yang lain. Alergi terhadap lateks
dapat terjadi, dan pekerjaan program kesehatan harus memiliki kebijakan
untuk mengevaluasi dan mengelola masalah ini.
d) Kacamata pelindung
Bila melakukan prosedur invasive yang dapat menimbulkan dorplet atau
percikan atau semprotan dari darah atau cairan tubuh lainnya, perawat harus
menggunakan kacamata pelindung. Contoh dari prosedur invasif termasuk
irigasi luka besar di abdomen atau insersi keteter arterial ketika perawat
menjadi asisten dokter. Kacamata pelindung dapat tersedia dalam bentuk
kacamata plastik. Kacamata harus terpasang pas sekeliling wajah shinnga
cairan tidak dapat masuk antara wajah dan kacamata (Garner, dalam Potter &
Tindakan pencegahan infeksi nosokomial dengan menggunakan teknik
aseptik dapat terlihat pada infeksi nosokomial yang sering terjadi berikut ini:
a) Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih adalah infeksi nosocomial yang lebih sering ditemukan;
80% dari infeksi ini berkaitan dengan pemasangan kateter. Intervensi efektif
dalam pencegahan infeksi karena pemasangan keteter menurut WHO (2002)
meliputi:
1) Menghindari kateterisasi bila tidak diperlukan.
2) Bila kateterisasi diperlukan, batasi waktu pemasangan.
3) Mempertahankan praktek aseptik yang sesuai selama memasukkan kateter
urine dan juga prosedur urologi invasif lainnya (seperti cystoscopi,
urodinamik testing, cystografi).
4) Mencuci tangan secara higenis sebelum memasukkan kateter
Menggunakan sarung tangan steril untuk memasukkannya dan
menyambungkan dengan urin bag.
5) Pembersihan perineal dengan larutan antiseptik sebelum memasukkan
kateter.
6) Memasang kateter dengan menggunakan pelumas/pelicin sebelum
memasukkan.
Praktek lain yang dianjurkan dan terbukti mengurangi infeksi meliputi:
3) Pelatihan perawat dalam memasang kateter dan perawatan.
4) Mempertahankan kelancaran aliran urin dari kandung kemih dalam urin
bag dengan meletakkan urin bag lebih rendah dari kandung kemih. Kateter
yang digunakan adalah kateter yang berdiameter terkecil. Bahan kateter
(lateks, silicone) tidak mempengaruhi tingkat kejadian infeksi.
Bagi pasien dengan gangguan perkemihan :
1) Menghindari pemasangan kateter yang menetap sedapat mungkin.
2) Bila bantuan pengosongan kandung kemih diperlukan, maka ganti kateter
sesering mungkin.
Sedangkan menurut Tietjen (2004), prosedur dalam pemasangan
kateter meliputi : persiapan alat yang yang terdiri dari kateter steril, urin bag,
spuite untuk membuat balon pada kateter, sarung tangan steril, larutan
antiseptic, kain kassa, pelumas, kantong plastic tempat sampah. Sebelum
memulai prosedur, bersihkan tangan dengan sabun dan air bersih kemudian
keringkan dengan handuk bersih. Kenakan sarung tangan steril atau yang telah
didesinfeksi pada kedua tangan. Gunakan kateter kecil sesuaikan dengan system drainase yang baik. Untuk pasien perempuan, pegang bagian labia
dengan tangan yang tidak dominan. Tangan yang lainnya membersihkan
uretra dengan kapas steril yang telah diberi larutan desinfektan. Sedangkan
untuk pasien laki-laki, tarik kulit pada ujung penis kebawah dengan tangan
Letakkan benda-benda kotor pada kantung plastik yang tidak bocor, lepaskan
sarung tangan dengan cara membalikkannya tidak memegang daerah yang
kotor dan letakkan pada kantung plastik. Buang pada tempat sampah medis
kemudian cuci tangan dengan sabun dan air atau gunakan larutan desinfektan
(Tietjen, 2004).
Titik temu antara selang kateter dan urin bag harus tetap tertutup dan
tersambung. Selama tertutup, isinya masih dianggap steril. Aliran keluar klep
pada urin bag harus tetap tertutup dan dibersihkan untuk mencegah masuknya
bakteri. Pergerakan kateter di uretra harus diminimalkan untuk mengurangi
kemungkinan mikroorganisme mencapai uretra kemudian masuk ke dalam
kandung kemih. Kateter dan urin bag harus diganti bila waktu pemasangan
sudah beberapa hari atau minggu (Tietjen, 2004).
Selain pemasangan keteter, pencabutan kateter juga dapat
menyebabkan terjadinya infeksi. Prosedur pencabutan kateter sama dengan
pemasangan keteter. Perawat harus menggunakan sarung tangan dan mencuci
tangan sebelum dan sesudah prosedur (Tietjen, 2004).
Perawat dalam merawat pasien dengan sistem drainase (drainase luka,
cairan empedu dan cairan tubuh lainnya) harus tetap menjaga selang drainase
bagian luar tetap bersih. Semua selang harus tetap tersambung selama
penggunaan. Wadah drainase hanya boleh dibuka pada saat membuang atau
Kadang-kadang perawat mengambil specimen dari selang drainase
dengan menusukkan jarum ke ujung selang. Dalam hal ini perawat harus
mendesinfeksi dengan menggunakan alkohol dan larutan yodium sebelum
menusuk selang drainase kemudian meletakkan kasa steril di sekeliling ujung
selang drainase yang terbuka seperti kateter, sehingga urin terhindar dari
kontaminasi bakteri dari luar kateter. Kemudian setelah mengambil specimen
urin, tutup dan kunci kembali selang kateter (Poter & Perry, 2005).
b) Infeksi Intravaskuler
Infeksi lokal dan infeksi sistemik dapat terjadi sehingga memerlukan
perawatan yang lebih intensif. Praktek memasang kateter intravaskuler
menurut WHO (2002) meliputi :
1) Menghidari pemasangan kateter intravaskuler bila tidak ada indikasi
medis.
2) Mempertahankan teknik asepsis dalam memsang kateter intravaskuler dan
perawatannya.
3) Penggunaan kateter intravaskuler dengan waktu sesingkat mungkin.
4) Mempersiapkan cairan infus secara aseptik sebelum digunakan.
5) Melatih perawat dalam memasang dan merawat kateter intravaskuler
Infus
1) Tangan harus dicuci sebelum memasang infus dengan teknik aseptik.
3) Penggantian infuset tidak terlalu sering dibandingkan dengan penggantian
jarum infus, kecuali setelah transfusi darah yang meninggalkan bekuan
darah yang dapat membuat aliran tidak lancar.
4) Bila infeksi lokal plebitis terjadi, maka infus harus segera dilepas.
Sedangkan menurut Tietjen (2004), prosedur pemasangan infus
dilakukan dengan mencuci tangan dengan sabun kemudian keringkan dengan
handuk. Menyambungkan infus set dan botol cairan infus dengan teknik
aseptik (jangan menyentuh daerah tusukan pada botol infus). Memakai sarung
tangan sebelum prosedur pemasangan infus, mendesinfeksi daerah vena yang
akan dipasang infus dengan gerakan memutar kearah luar dari tempat
pemasangan. Perhatikan daerah pemasangan infus terhadap tanda flebitis.
Fiksasi daerah luka pada pemasangan infus dengan kasa steril kemudian
plester. Sebelum melepas sarung tangan, buang kapas/kasa yang
terkontaminasi darah ke dalam kantong plastik, lepaskan sarung tangan dan
buang ke tempat sampah medis. Kemudian cuci tangan dengan menggunakan
larutan klorin 0,5% (Tietjen, 2004).
Pada saat perawat mengambil spesimen dari selang drainase atau
menusukkan jarum ke ujung selang intravena untuk memberi obat (injeksi
bolus), perawat harus mendesinfeksi dengan menyeka bagian luar selang infus
dengan menggunakan alkohol dan larutan yodium sebelum memasuki sistem
Pemeliharaan infus juga harus dilakukan pada pasien yang meliputi :
jumlah tetesan, apakah infus terbuka atau lepas, mengecek setiap 8 jam
apakah terjadi tanda-tanda flebitis. Pindahkan pemasangan infus setiap 72-96
jam untuk mengurangi flebitis. Infus set juga harus diganti jika rusak atau
secara rutin setiap 72 jam. Pada saat mengganti cairan infus jangan
menyentuh daerah tusukan jarum atau mendesinfeksi terlebih dahulu daerah
tusukan jarum tersebut dengan alkohol 60-90% (Tietjen, 2004).
c) Infeksi Luka
Cara lain untuk mengurangi masuknya mikroorganisme adalah
perawatan luka dengan prinsip steril. Untuk mencegah masuknya
mikroorganisme ke dalam luka, perawat harus membersihkan bagian sekitar
luka. Perawat menyeka bagian dalam luka kemudian bagian luarnya dengan
menggunakan kasa steril. Perawatan luka dilakukan kurang dari 72 jam.
Untuk luka tertentu dilakukan setiap hari misalnya luka karena penyakit
Diabetes Melitis (Tietjen, 2004).
Satu peralatan luka digunakan untuk satu pasien, namun jika
penggunaan peralatan luka secara bergantian tidak dapat dihindari, alat-alat
tersebut harus secara adekuat dibersihkan dan didesinfeksi sebelum digunakan
2.3.3 Peran Perawat Dalam Melapor Kepada Dokter Jika Ada Tanda dan Gejala Infeksi
Infeksi nosokomial dapat terjadi secara sisitemik dan lokal. Tanda dan gejala
infeksi dapat berupa adanya merah dan bengkak pada daerah yang terinfeksi, nyeri
dan ada drainase atau lesi. Pada saat mengkaji perawat menggunakan sarung tangan.
Infeksi sistemik terjadi setelah pengobatan infeksi lokal gagal. Infeksi sisitemik
menimbulkan gejala yang lebih besar lagi misalnya pembengkakan kelenjar limfe,
hilangnya nafsu makan. mual dan muntah (Potter & Perry, 2005).
Perawat melakukan pengkajian terhadap tanda dan gejala infeksi nosokomial
yang terjadi pada pasien. Bila ditemukan tanda dan gejala infeksi atau
masalah-masalah lain yang berkaitan dengan status kesehatan pasien, perawat melaporkan hal–
hal tersebut kepada dokter (Potter & Perry, 2005).
Bila proses penyakit atau organisme penyebab penyakit sudah teridentifikasi,
dokter dapat lebih efektif meresepkan pengobatan terhadap situasi tersebut, misalnya
dengan pemberian antibiotik yang spesifik untuk mikroorganisme penyebab infeksi.
Sehingga masalah-masalah atau tanda dan gejala infeksi pasien dapat teratasi atau
2.3.4 Peran Perawat Dalam Melakukan Isolasi Terhadap Pasien Dengan Penyakit Menular.
Pasien tertentu mungkin memerlukan tindakan pencegahan khusus untuk
membatasi penularan organisme yang berpotensi menginfeksi kepada pasien lain.
Kewaspadaan isolasi direkomendasikan tergantung pada cara penularannya.
Penularan infeksi menurut WHO (2002), dapat melalui:
a) Airborne infeksi: infeksi biasanya terjadi melalui saluran pernapasan, dengan
agen ini dalam aerosol (ukuran partikel <5 µm).
b) Infeksi droplet: droplet yang menular (ukuran partikel > 5 µm).
c) Infeksi melalui kontak langsung atau tidak langsung: infeksi terjadi melalui
kontak langsung antara sumber infeksi dan kontak tidak langsung melalui
terkontaminasi benda.
Menurut WHO (2002), isolasi dan pencegahan penularan infeksi berdasarkan
pada standar yang ada, meliputi:
a) Standar rutin tindakan pencegahan yang harus diikuti perawat untuk merawat
semua pasien.
Standar (rutin) tindakan pencegahan diterapkan untuk perawatan
semua pasien. ini termasuk membatasi perawat kontak dengan sekret atau
cairan biologis, lesi kulit, mukosa membran, dan darah atau cairan tubuh.
Perawat harus memakai sarung tangan, masker, dan gaun setiap kontak yang
Standar tindakan pencegahan terhadap semua pasien menurut WHO
(2002) :
1) Cuci tangan segera setelah kontak dengan materi infeksi.
2) Teknik meminimalkan sentuhan dengan materi infeksi.
3) Pakailah sarung tangan ketika kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi,
ekskresi, membran mukosa dan barang-barang yang terkontaminasi.
4) Cuci tangan segera setelah melepas sarung tangan.
5) Semua benda tajam harus ditangani dengan sangat hati-hati.
6) Bersihkan segera tumpahan bahan infeksi.
7) Pastikan bahwa peralatan perawatan pasien, perlengkapan dan linen yang
terkontaminasi dengan bahan infektif dibuang, atau didesinfeksi atau
disterilisasi pada setiap penggunaan kepada pasien.
8) Pastikan penanganan limbah yang baik.
9) Jika tidak ada mesin cuci yang tersedia untuk linen kotor dengan materi
infektif, linen dapat direbus.
Pertimbangan untuk pakaian pelindung meliputi:
1) Gaun: harus dari bahan yang bisa dicuci, dapat di kancing atau diikat di
belakang, jika perlu dengan celemek plastic.
2) Sarung tangan: sarung tangan plastik yang tersedia dan biasanya cukup.
3) Masker: masker bedah yang terbuat dari kain atau kertas dapat digunakan
b) Standar tindakan pencegahan untuk pasien tertentu.
1) Tindakan pencegahan berikut digunakan untuk pasien selain yang
dijelaskan di atas: Tindakan pencegahan melalui udara (ukuran partikel<5
µm) (misalnya TBC, cacar air, campak). Berikut ini diperlukan:
- ruangan perawatan dengan ventilasi yang cukup, pintu ditutup,
setidaknya pertukaran udara per jam.
- perawat mengenakan masker di ruangan pasien.
- pasien tetap berada di dalam ruangan perawatan.
2) Tindakan pencegahan terhadap droplet (ukuran droplet > 5 pm) (misalnya
bakteri meningitis, difteri, virus saluran pernapasan). Prosedur berikut
diperlukan:
- Ruangan perawatan sendiri untuk pasien, jika tersedia.
- Masker bagi pekerja perawatan kesehatan.
- Sirkulasi terbatas bagi pasien, pasien memakai masker bedah jika
meninggalkan ruangan.
3) Tindakan pencegahan untuk pasien dengan infeksi enterik dan diare yang
tidak dapat dikendalikan, atau lesi kulit yang tidak dapat diatasi. Prosedur
berikut diperlukan :
- Pasien ditempatkan pada ruang perawatan sendiri jika tersedia;
- Perawat memakai sarung tangan saat memasuki ruangan; gaun
pelindung khusus untuk merawat pasien yang beresiko
terkontaminasi.
- Mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien, dan
meninggalkan ruangan.
- Membatasi gerakan pasien di luar ruangan.
- Pembersihan lingkungan san peralatan, disinfeksi, dan sterilisasi.
4) Isolasi dibutuhkan untuk merawat pasien dengan risiko infeksi yang
sangat berbahaya dimana dapat menularkan melalui berbagai cara.
Prosedur meliputi :
- Pasien ditempatkan ruang isolasi jika memungkinkan.
- Masker, sarung tangan, gaun pelindung, topi, mata perlindungan
bagi semua memasuki ruangan.
- Cuci tangan saat masuk dan keluar dari ruangan pembakaran
jarum, jarum suntik.
- Desinfeksi instrumen medis.
- Pembersigan kotoran, cairan tubuh, sekresi cairan tubuh.
- Desinfeksi linen.
- Membatasi pengunjung dan staf.
- Desinfeksi harian dan desinfeksi terminal.
- Pengambilan spesimen pasien dan carlabor pengiriman ke
laboratorium
Menurut Potter dan Perry (2005), bila ruangan isolasi tidak tersedia
tempatkan pasien dalam satu kamar dengan pasien yang menderita infeksi
dengan mikroorganisme yang sama. Bila ruangan tidak tersedia dan
pengelompokkan tidak mungkin, pertahankan pemisahan minimal dengan
jarak 1 meter antara pasien yang terinfeksi dan pasien-pasien lain dan juga
dengan pengunjung. Jika pasien yang diketahui dan diduga terkena infeksi
saluran pernafasan harus menggunakan masker pada saat keluar dari
kamar.
2.3.5 Peran Perawat Dalam Membatasi Paparan Pasien Terhadap Infeksi yang Berasal Dari Pengujung Dan Peralatan Diagnosis
Sumber infeksi nosokomial mungkin pasien, petugas rumah sakit, atau bisa
juga tamu. Mereka mungkin sudah terkena penyakit, berada dalam masa inkubasi
(tidak ada gejala), atau dapat juga berupa karier kronis (Tietjen, 2004).
Sasaran penjamu yang sensitif adalah pasien, petugas rumah sakit, dan bisa
juga tamu yang dating membawa infeksi. Daya tahan tubuh masing-masing berbeda,
ada yang kebal, ada yang menjadi karier tanpa gejala, ada yang langsung terkena
Pengunjung harus menggunakan alat pelindung ketika memasuki ruang
perawatan khusus seperti masker, gaun pelindung, sarung tangan untuk mencegah
penularan infeksi. Salah satu cara lain adalah dengan membatasi jumlah pengunjung.
Dengan membatasi jumlah pengunjung berarti mengurangi resiko terjadinya
penularan infeksi (Tietjen, 2004).
2.3.6 Peran Perawat Dalam Mempertahankan Keamanan Peralatan dan Perlengkapan Perawatan Dari Penularan Infeksi Nosokomial.
Pembersihan, desinfeksi dan sterilisasi yang tepat terhadap alat-alat yang
terkontaminasi dapat mengurangi bahkan memusnahkan mikroorganisme. Di sentral
perawatan kesehatan dilakukan desinfeksi dan mensucikan barang-barang yang dapat
digunakan kembali.
a) Pembersihan
Pembersihan dilakukan untuk membuang semua material asing seperti
kotoran dan materi organik dari suatu objek (Rutala, dalam Potter & Perry,
2005). Biasanya pembersihan dilakukan dengan menggunakan air dan cara
mekanis dengan atau tanpa detergen. Objek menjadi terkontaminasi bila
kontak dengan sumber infeksi, maka bila objek tersebut merupakan objek
sekali pakai, objek tersebut langsung dibuang. Sedangkan untuk objek yang
dapat digunakan kembali harus dibersihkan, didesinfeksi atau disterilisasi
Penggunaan peralatan dan perlengkapan perawatan pasien seperti
stetoskop, sfigmomanometer, termometer yang dipakai bersama oleh pasien
harus dibersihkan dan didesinfeksi sebelum digunakan oleh pasien yang
lainnya (Potter & Perry, 2005).
Bila membersihkan darah, materi fekal, mucus atau pus, perawat
menggunakan masker, kacamata pelindung dan sarung tangan sebagai
pelindung terhadap organisme infeksi. Sikat berbulu padat dan deterjen atau
sabun dibutuhkan untuk pembersihan (Potter & Perry, 2005).
Langkah berikut ini menjamin bahwa suatu objek disebut bersih:
1) Cuci objek atau benda yang terkontaminasi dengan air dingin yang
mengalir untuk membuang materi organik. Jangan menggunakan air panas
karena dapat menyebabkan materi organik berkoagulasi dan menempel
pada objek, sehingga sulit untuk dibuang.
2) Setelah dibilas, cuci objek dengan sabun dan air hangat. Sabun dan
detergen memiliki kandungan desinfektan yang dapat membunuh kuman
patogen pada objek. Gunakan sikat untuk membuang kotoran atau materi
pada objek yang susah dibersihkan sehingga kotoran mudah dibuang.
3) Bilas objek dengan air hangat.
4) Keringkan objek kemudian lakukan desinfeksi dan sterilisasi.
5) Bersihkan sarung tangan dan bak tempat objek diletakkan untuk
b) Disenfeksi
Disenfeksi merupakan proses yang digunakan untuk memusnahkan
semua mikroorganisme pada suatu objek/benda, tanpa membunuh spora
bakteri (Rutala, dalam Potter & Perry, 2005). Biasanya dilakukan dengan
mengguanakan desinfeksi kimia atau pasteurisasi basah (digunakan untuk
peralatan terapi pernafasan). Contoh desinfektan adalah alcohol, klorin,
glutaraldehid, dan fenol. Desinfeksi biasanya dilakukan pada pakaian, linen,
tempat tidur, pispot, benda yang tidak dapat disterilkan dengan menggunakan
campuran zat kimia cair atau pasteurisasi basah (Potter & Perry, 2005).
c) Sterilisasi
Sterilisasi merupakan proses yang dipakai untuk memusnahkan
seluruh mikroorganisme beserta sporanya (Potter & Perry, 2005). Sterilisasi
dapat dilakukan dengan cara fisika ataupun kimia dengan cara pemanasan,
pemberian zat kimia , radiasi atau filtrasi (penyaringan). Di rumah sakit alat
dan bahan yang sering digunakan adalah autoklaf (uap dibawah tekanan), gas
etilon oksida (EO), dan cairan kimia. Sterilisasi panas dapat dipakai untuk
mensterilakan alat-alat bedah, dan perlengkapan dari kain. Sebelum
disterilkan terlebih dahulu dicuci hingga bersih. Sterilisasi panas dapat
dilakukan dengan memakai udara kering, uap air, atau air panas. Otoklaf
adalah salah satu alat yang dipakai dalam sterilisasi panas. Sterilisasi dengan
Acuan dasar metode sterilisasi menurut WHO (2002) meliputi :
1) Sterilisasi dengan pemanasan
- Sterilisasi basah: rebus dengan air pada suhu 121 o C selama 30
menit, atau suhu 134 o C selama 13 menit dalam autoklaf; (suhu
132 oC selama 18 menit untuk prion).
- Sterilisasi kering: panaskan di suhu 160 oC selama 120 menit, atau
di suhu 170 0C selama 60 menit; proses sterilisasi ini sering
dianggap kurang dapat diandalkan dibandingkan dengan sterilisasi
basah, khususnya untuk perangkat medis yang berongga.
2) Sterilisasi dengan bahan kimia
- Sterilisasi dengan Etilen oksida dan formaldehid sudah tidak
dipakai di banyak negara kerena karena menyimpan dan
mengandung emisi gas rumah kaca.
- Asam perasetik banyak digunakan di Amerika Serikat dan
BAB III
KERANGKA PENELITIAN
3.1 Kerangka Penelitian
Kerangka penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan peran perawat dalam
pengendalian infeksi nosokomial. Dalam gambar ini terlihat bahwa peran perawat
dalam pengendalian infeksi nosokomial dikategorikan baik, cukup, dan kurang. Maka
dapat digambarkan sebagai berikut :
Skema 3.1
Kerangka penelitian peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial
Peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial :
- Menjaga kebersihan rumah sakit;
- Pemantauan teknik aseptik dan Baik
penggunaan alat pelindung diri;
- Melaporkan kepada dokter jika Cukup
ada tanda dan gejala infeksi;
- Melakukan isolasi pasien dengan Kurang
penyakit menular
- Membatasi paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengunjung, staf, pasien dan peralatan;
3.2 Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Peran
Peran perawat dalam pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial yang meliputi: menjaga kebersihan rumah sakit; pemantauan teknik aseptik dan penggunaan alat pelindung diri; melapokan kepada dokter jika ada tanda dan gejala infeksi; melakukan
pengaturan jarak pasien di ruang perawatan jika ruang isolasi tidak ada untuk pasien dengan penyakit menular; membatasi paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengunjung, staf, pasien dan peralatan; mempertahankan keamanan peralatan terhadap infeksi nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai
Kuesioner
dengan 36 pernyataan yaitu
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan
untuk menggambarkan peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial
di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai.
4.2 Populasi dan Sampel Penelitian
4.2.1 Populasi penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah perawat pelaksana yang bekerja di ruang
rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai sebanyak 157
orang.
4.2.2 Sampel Penelitian
Sampel pada penelitian ini, ditentukan melalui teknik random sampling yaitu
pengambilan sampel secara acak. Sampel yang menjadi responden pada penelitian ini
mempunyai kriteria yaitu perawat yang bersedia menjadi responden, perawat
pelaksana yang bekerja di ruang rawat inap, dan tidak sedang cuti.
Berdasarkan rumus yang dikutip dari Setiadi (2007) sebagai berikut :
Keterangan :
n = Jumlah sampel
N = Jumlah Populasi
d = Tingkat ketepatan absolut yang diinginkan (d=0,1)
n =
157 1+157 (0,12)= 61,089
Jadi jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 61 perawat.
4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur
Tanjungbalai. Adapun pertimbangan pemilihan rumah sakit tersebut karena belum
pernah dilakukan penelitian tentang peran perawat dalam pengendalian infeksi
nosokomial dan peneliti melihat sejauh mana peran perawat dalam pengendalian
infeksi nosokomial di rumah sakit tersebut. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli
sampai Oktober 2012.
4.4 Pertimbangan Etik Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti tetap berpedoman pada prinsip-prinsip etik
penelitian yaitu: pertama prinsip informed consent, jika responden bersedia menjadi
memaksa dan tetap menghormati haknya. Kedua prinsip anonymity yaitu tidak
memberikan atau mencantumkan identitas responden pada kuesioner yang diisi dan
hanya menuliskan kode pada lembar kuesioner. Ketiga prinsip kerahasiaan, peneliti
menjamin kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah
lainnya dan hanya kelompok data tertentu yang dilaporkan pada hasil penelitian.
4.5 Instrumen Penelitian
Peneliti dalam pengumpulan informasi dari responden menggunakan alat
pengumpulan data dalam bentuk kuesioner. Karena belum tersedianya instrumen
yang terstandar untuk tes peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial,
maka peneliti menyusun sendiri instrumen penelitian ini dalam bentuk kuesioner
berdasarkan dari tinjauan pustaka.
Peneliti menggunakan kuesioner sebagai instrumen pengumpulan data karena
mempunyai beberapa keuntungan yaitu: tidak mengharuskan peneliti tetap bersama
responden selama pengisian kuesioner, dapat dibagikan secara serentak kepada
seluruh responden, dapat dijawab oleh responden sesuai dengan kecepatan
masing-masing dan menurut waktu senggang responden. Instrumen ini juga
mempunyai kelemahan yaitu: responden sering tidak teliti menjawab sehingga ada
jawaban yang kosong. Untuk mengurangi kelemahan kuesoiner tersebut peneliti
Kuesioner ini dibagi dalam dua bagian yaitu:
4.5.1 Data Demografi
Data demografi ditujukan untuk mengeksplorasi informasi terkait
karakteristik demografi dan pengalaman responden. Informasi yang diteliti mencakup
usia, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, lama bekerja, status
pekerjaan dan pernah/tidaknya mengikuti pelatihan pengendalian infeksi nosokomial.
4.5.2 Peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial
Kuesioner ini berisi pertanyaan tentang peran perawat dalam pengendalian
infeksi nosokomial. Alat ukur yang digunakan dalam kuesioner ini adalah berupa
pertanyaan yang menggunakan skala likert sebanyak 36 pernyataan.
Keseluruh pernyataan dalam kuesioner ini merupakan pernyataan tertutup
dengan pilihan jawaban tidak pernah dilakukan (TP), kadang-kadang dilakukan (KD),
dan sering dilakukan (SR), dan sangat sering dilakukan (SS). Pernyataan dalam
kuesioner ini terdiri dari pernyataan positif dan pernyataan negatif. Pernyataan
positif terdiri dari 26 pernyataan yaitu 1,2,3,4,5,8,10,11,12,13,14,15,16,17,19,20,22,
23,24,26,27,28,29,30,35, dan 36. Pernyataan positif dengan jawaban tidak pernah
dilakukan diberi nilai 1, kadang-kadang dilakukan diberi nilai 2, sering dilakukan
diberi nilai 3, dan sangat sering dilakukan diberi nilai 4. Pernyataan negatif terdiri
dari 10 pernyataan yaitu 6,7,9,18,21,25,31,32,33, dan 34. Pernyataan negatif dengan
Maka nilai yang paling rendah adalah 36 dan nilai paling tinggi adalah 144. Skala
ukur yang digunakan dalam pengukuran variabel ini adalah skala ordinal yaitu
membagi menjadi 3 kategori (baik, cukup, kurang). Berdasarkan rumus statistik yang
dikutip dari Sudjana (2002),
Rentang kelas
p =
Banyak kelas
Dimana p merupakan panjang kelas dengan rentang sebesar 108 (selisih nilai tertinggi
dan terendah) dan banyak kelas adalah 3 (baik, cukup dan kurang). Dengan
menggunakan p=36, maka diperoleh peran perawat dalam pengendalian infeksi
nosokomial yaitu :
Kurang = 36-72
Cukup = 73-108
Baik = 109-144
4.6 Uji Validitas dan Reliabilitas
4.6.1 Uji Validitas
Validitas merupakan indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar
mengukur apa yang diukur. Untuk mengetahui apakah kuesioner yang kita susun
tersebut mampu mengukur apa yang akan kita ukur, maka perlu dikonsultasikan
dengan pakar dan ahlinya. Uji validitas dalam penelitian ini dilakukan oleh ahli