• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Perawat dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peran Perawat dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

Peran Perawat dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial

di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur

Tanjungbalai

Skripsi

Oleh :

Pristiwani

111121021

Program Studi Ilmu Keperawatan

Fakultas Keperawatan

(2)
(3)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya

yang telah memberikan kekuatan dan kesempatan kepada peneliti, sehingga peneliti

dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Peran Perawat dalam Pengendalian

Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai”.

Skripsi ini terlaksana karena arahan, masukan, dukungan dan koreksi dari

berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, peneliti mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Erniyati, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan I, Ibu Evi Karota Bukit, S.Kp,

MNS selaku Pembantu Dekan II, Bapak Ikhsanudin Ahmad Harahap, S.Kp, MNS

selaku Pembantu Dekan III Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Diah Arruum, S.Kep, Ns, M.Kep, selaku dosen pembimbing skripsi saya

dalam Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan USU yang telah

banyak memberi masukan dan dukungan, serta telah mengajari apa yang tidak

saya ketahui sebelumnya sehingga saya dapat mengerti dan dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan benar.

4. Bapak Mula Tarigan, S.Kp, M.Kes selaku Dosen Penguji I dan Bapak Achmad

(4)

saran dan sumbangan pemikiran mulai dari proposal hingga skripsi ini

diselesaikan.

5. Ibu dr. Diah Retno selaku Direktur Rumah Sakit Umum Dr. T. Mansyur

Tanjungbalai yang telah memberikan izin dalam melakukan penelitian ini.

6. Kepala Bidang Keperawatan beserta staff RSUD Dr. T. Mansyur Tanjungbalai,

yang telah membantu dalam proses penelitian.

7. Kepala Ruangan VIP, Bedah, Penyakit Dalam, Perinatologi, Anak dan Obgyn

Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai yang telah memberi

izin dan membantu saya dalam penelitian ini

8. Ayah dan Ibuku tercinta yang selalu memberikan dukungan moral dan doa agar

dapat cepat menyelesaikan skripsi ini.

9. Denny Priyatna, SP, suami saya tercinta yang selalu memberikan dukungan

moral, materil dan doa agar dapat cepat menyelesaikan skripsi ini.

10.Teman-teman sejawat Ekstensi Pagi Keperawatan USU 2013, terima kasih atas

bantuan dan semangatnya selama ini.

Akhir kata peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan

ilmu pengetahuan dibidang keperawatan dan pihak-pihak yang membutuhkan.

Peneliti sangat mengharapkan adanya saran yang bersifat membangun untuk

perbaikan yang lebih baik di masa yang akan dating.

(5)

DAFTAR ISI

Halaman Judul Lembar Pengesahan

Prakata………...i

Daftar Isi ………..iii

Daftar Skema………....vi

Daftar Tabel………..vii

Abstrak……….viii

Bab I. Pendahuluan 1.1Latabelakang ... 1

1.2Rumusan masalah ... 3

1.3Tujuan penelitian ... 3

1.4Manfaat penelitian ... 3

1.4.1 Bagi Rumah Sakit ... 3

1.4.2 Bagi Pendidikan keperawatan ... 4

1.4.3 Bagi Penelitian keperawatan ... 4

Bab II. Tinjauan Pustaka 2.1 Peran ... 5

2.1.1 Definisi Peran ... 5

2.1.2 Peran perawat ... 5

2.2 Infeksi nosokomial ... 8

2.2.1 Definisi ... 8

2.2.2 Faktor-faktor yang memepengaruhi infeksi nosokomial ... 8

2.2.3 Gejala infeksi nosokomial ... 10

2.2.4 Indikator infeksi nosokomial ... 10

2.3 Peran perawat dalam infeksi nosokomial ... 12

2.3.1 Peran Perawat Dalam Menjaga Kebersihan Rumah Sakit ... 14

2.3.2 Peran Perawat Dalam Pemantauan Teknik Aseptik Termasuk Cuci Tangan dan Penggunaan Alat Pelindung ... 16

2.3.3 Peran Perawat Dalam Melapor Kepada Dokter Jika Ada Tanda dan Gejala Infeksi ... 31

2.3.4 Peran Perawat Dalam Melakukan Isolasi Terhadap Pasien Dengan Penyakit Menular ... 32

2.3.5 Peran Perawat Dalam Membatasi Paparan Pasien Terhadap Infeksi yang Berasal Dari Pengujung Dan Peralatan Diagnosis ... 36

(6)

Bab III. Kerangka Penelitian

3.1 Kerangka penelitian ... 41

3.2 Definisi Operasional ... 42

Bab IV. Metodologi Penelitian 4.1 Desain penelitian ... 43

4.2 Populasi dan sampel penelitian ... 43

4.2.1 Populasi penelitian ... 43

4.2.2 Sampel penelitian ... 43

4.3 Lokasi dan waktu penelitian ... 44

4.4 Pertimbangan etik dalam penelitian ... 44

4.5 Instrumen penelitian ... 45

4.6 Uji validitas dan reliabilitas ... 47

4.6.1 Uji validitas ... 47

4.6.2 Uji reliabilitas ... 48

4.7 Prosedur pengumpulan data ... 49

4.8 Analisis data ... 50

Bab V. Hasil Penelitian Dan Pembahasan 5.1 Hasil Penelitian ... 52

5.1.1 Karakteristik Responden ... 52

5.1.2 Peran Perawat Dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial ... 54

5.2 Pembahasan ... 55

Bab VI. Simpulan dan Saran 6.1 Simpulan ... 60

6.2 Saran ... 60

6.2.1 Bagi Rumah Sakit ... 60

6.2.2 Bagi Pendidikan Keperawatan ... 61

6.2.3 Bagi Penelitian Keperawatan ... 61

(7)

Lampiran

1. Lembar persetujuan menjadi responden 2. Instrumen penelitian

3. Surat Keterangan Validitas 4. Hasil Reliabilitas

5. Surat Izin Penelitian 6. Hasil Tabulasi Data

(8)

DAFTAR SKEMA

Skema 3.1 Kerangka penelitian peran perawat dalam pengendalian

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Distribusi frekuensi dan persentase responden berdasarkan data

demografi responden ... 53

Tabel 2. Distribusi frekuensi peran perawat dalam pengendalian infeksi

nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur

(10)

Judul : Peran Perawat dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai 2013

Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat pasien selama dirawat yang terjadi selama 72 jam dimana sebelumnya pasien tersebut tidak menunjukkan tanda dan gejala infeksi pada saat masuk rumah sakit. Infeksi nosokomial berkaitan langsung dengan peran perawat dalam pemberian asuhan keperawatan. Adapun peran perawat dalam pemberian asuhan keperawatan untuk mengendalikan terjadinya infeksi nosokomial yaitu menjaga kebersihan rumah sakit yang berpedoman terhadap kebijakan rumah sakit dan praktik keperawatan; pemantauan teknik aseptik termasuk cuci tangan dan penggunaan isolasi; melapor kepada dokter jika ada masalah-masalah atau tanda dan gejala infeksi pada saat pemberian layanan kesehatan; melakukan isolasi jika pasien menunjukkan tanda-tanda dari penyakit menular; membatasi paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengujung, staf rumah sakit, pasien lain, atau peralatan yang digunakan untuk diagnosis atau asuhan keperawatan; mempertahankan keamanan peralatan, obat-obatan dan perlengkapan perawatan di ruangan dari penularan infeksi nosokomial. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan teknik random sampling dan didapatkan 61 perawat sebagai sampel. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial di ruang rawat inap RSUD Dr. T. Mansyur Tanjungbalai, Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial baik sebesar 37,7% dan peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial cukup baik sebesar 62,3%. Peneliti mengharapkan kepada pihak rumah sakit untuk meninggkatkan mutu asuhan keperawatan dengan mengadakan pelatihan tentang infeksi nosokomial.

(11)

The role of nurse in control of nosocomial infections

at Dr. T. Mansyur public hospital Tanjungbalai

Pristiwani, Diah Arruum

Abstract

Nosocomial infections is an infection that is acquired the patients for being treated occurring during 72 hours where formerly the patient does not show signs and a symptom of infection on the way to the hospital. The role of nurse to control the occurrence of nosocomial infections such as maintaining the cleanliness of hospitals that are based on hospital policy and practice of nursing, aseptic techniques including monitoring hand washing and the use of isolation, reporting to the doctor if any problems with signs and symptoms of infection at the time of provision of health services, performing isolation if the patient shows signs of infectious disease, limiting the exposure of patients to infection that comes from visitors, hospital staff, other patients, or tools used for diagnosis or nursing care; maintaining security of equipment, drugs and supplies in treatment of nosocomial infection transmission room. This research is a descriptive design with random sampling techniques and using 61 nurses as the sample. It has been recognized the role of nurses in control of nosocomial infections at Dr. T. Mansyur public hospital, Tanjungbalai, Sumatera Utara. The result showed that role of nurses in control nosocomial infections good of 37.7 % and role of nurse in control nosocomial infections good enough of 62.3 %. Researchers expects to the hospital to improve the quality of nursing services with a training about nosocomial infections.

(12)

Judul : Peran Perawat dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai 2013

Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat pasien selama dirawat yang terjadi selama 72 jam dimana sebelumnya pasien tersebut tidak menunjukkan tanda dan gejala infeksi pada saat masuk rumah sakit. Infeksi nosokomial berkaitan langsung dengan peran perawat dalam pemberian asuhan keperawatan. Adapun peran perawat dalam pemberian asuhan keperawatan untuk mengendalikan terjadinya infeksi nosokomial yaitu menjaga kebersihan rumah sakit yang berpedoman terhadap kebijakan rumah sakit dan praktik keperawatan; pemantauan teknik aseptik termasuk cuci tangan dan penggunaan isolasi; melapor kepada dokter jika ada masalah-masalah atau tanda dan gejala infeksi pada saat pemberian layanan kesehatan; melakukan isolasi jika pasien menunjukkan tanda-tanda dari penyakit menular; membatasi paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengujung, staf rumah sakit, pasien lain, atau peralatan yang digunakan untuk diagnosis atau asuhan keperawatan; mempertahankan keamanan peralatan, obat-obatan dan perlengkapan perawatan di ruangan dari penularan infeksi nosokomial. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan teknik random sampling dan didapatkan 61 perawat sebagai sampel. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial di ruang rawat inap RSUD Dr. T. Mansyur Tanjungbalai, Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial baik sebesar 37,7% dan peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial cukup baik sebesar 62,3%. Peneliti mengharapkan kepada pihak rumah sakit untuk meninggkatkan mutu asuhan keperawatan dengan mengadakan pelatihan tentang infeksi nosokomial.

(13)

The role of nurse in control of nosocomial infections

at Dr. T. Mansyur public hospital Tanjungbalai

Pristiwani, Diah Arruum

Abstract

Nosocomial infections is an infection that is acquired the patients for being treated occurring during 72 hours where formerly the patient does not show signs and a symptom of infection on the way to the hospital. The role of nurse to control the occurrence of nosocomial infections such as maintaining the cleanliness of hospitals that are based on hospital policy and practice of nursing, aseptic techniques including monitoring hand washing and the use of isolation, reporting to the doctor if any problems with signs and symptoms of infection at the time of provision of health services, performing isolation if the patient shows signs of infectious disease, limiting the exposure of patients to infection that comes from visitors, hospital staff, other patients, or tools used for diagnosis or nursing care; maintaining security of equipment, drugs and supplies in treatment of nosocomial infection transmission room. This research is a descriptive design with random sampling techniques and using 61 nurses as the sample. It has been recognized the role of nurses in control of nosocomial infections at Dr. T. Mansyur public hospital, Tanjungbalai, Sumatera Utara. The result showed that role of nurses in control nosocomial infections good of 37.7 % and role of nurse in control nosocomial infections good enough of 62.3 %. Researchers expects to the hospital to improve the quality of nursing services with a training about nosocomial infections.

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Rumah sakit merupakan instansi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan perorangan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang

salah satunya adalah perawat (Arwani, 2005). Perawat dalam menjalankan fungsinya

berperan sebagai pemberian perawatan, pembuatan keputusan klinik dan etika,

pelindung dan advokat bagi klien, manajer kasus, rehabilitator, pembuatan

kenyamanan, komunikator, dan pendidik (Potter & Perry, 2005).

Infeksi nosokomial sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan pasien

secara menyeluruh yang dapat meningkatkan morbidilitas dan mortalitas sehingga

hari rawat yang lebih lama dan beban biaya menjadi lebih besar (Darmadi, 2008).

Infeksi nosokomial juga dapat meningkatkan ketidakmampuan dalam pemenuhan

antibodi pasien sehingga akan memperpanjang masa penyembuhan pasien yang pada

akhirnya akan menambah biaya pengeluaran pasien maupun institusi yang

menanggung biaya (Potter & Perry, 2005).

Di dunia terdapat 10% dari 1,4 juta pasien rawat inap mengalami infeksi nosokomial tiap tahun.Di Amerika Serikat ada 20.000 kematian setiap tahun akibat

(15)

rumah sakit di Jakarta pada 2004 menunjukkan 9,8% pasien rawat inap mendapat

infeksi nosokomial (Spritia, 2010). Berdasarkan Kepmenkes nomor 129 tahun 2008

tentang standar pelayanan minimal Rumah Sakit, jumlah infeksi nosokomial yang

dapat ditoleransi yaitu sebesar ≤1,5%, sehingga dari data tersebut terlihat masih

tingginya angka kejadian infeksi nosokomial sehingga perlu adanya upaya

pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial.

Pengendalian infeksi nosokomial yang dilakukan perawat menurut

WHO (2002) yaitu menjaga kebersihan rumah sakit yang berpedoman terhadap

kebijakan rumah sakit dan praktik keperawatan; pemantauan teknik aseptik termasuk

cuci tangan dan penggunaan isolasi, melapor kepada dokter jika ada masalah-masalah

atau tanda dan gejala infeksi pada saat pemberian layanan kesehatan; melakukan

isolasi jika pasien menunjukkan tanda-tanda dari penyakit menular; membatasi

paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengunjung, staf rumah sakit,

pasien lain, atau peralatan yang digunakan untuk diagnosis atau asuhan keperawatan;

mempertahankan keamanan peralatan, obat-obatan dan perlengkapan perawatan di

ruangan dari penularan infeksi nosokomial.

Hasil survey awal yang dilakukan peneliti terkait kejadian infeksi nosokomial

di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai diperoleh data sebagai

berikut: infeksi karena pemasangan infus tahun 2010 sebesar 5,7% dan tahun 2011

sebesar 6,5%. Infeksi karena pemasangan kateter tahun 2010 sebesar 7,3% dan tahun

(16)

kejadian infeksi mengalami peningkatan. Berdasarkan dari angka kejadian infeksi

nosokomial yang terdiri dari infeksi karena pemasangan infus, infeksi karena

pemasangan keteter, infeksi karena perawatan luka dan infeksi luka operasi tersebut,

maka peneliti tertarik untuk mengetahui peran perawat dalam pengendalian infeksi

nosokomial.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan fenomena diatas dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu

“Bagaimana peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial di Rumah Sakit

Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai, Sumatera Utara?”.

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan peran perawat dalam

pengendalian infeksi nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur

Tanjungbalai, Sumatera Utara.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1Bagi Rumah Sakit

Hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi untuk mengidentifikasi peran

(17)

1.4.2Bagi Pendidikan Keperawatan

Sebagai bahan masukan pengembangan dan keterampilan yang berharga bagi

peneliti, sehingga dapat menerapkan pengalaman ilmiah yang diperoleh untuk

penelitian dimasa mendatang. Selain itu juga menyediakan informasi mengenai

peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial.

1.4.3Bagi Penelitian Keperawatan

Dapat menambah informasi bagi penelitian keperawatan mengenai peran

perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial sehingga memberikan ide bagi

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peran

2.1.1 Definisi Peran

Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan oleh masyarakat yang

sesuai dengan fungsi yang ada dalam masyarakat atau suatu sikap, perilaku, nilai dan

tujuan yang diharapkan diri seseorang berdasarkan posisinya dimasyarakat (Hidayat,

2006). Sedangkan menurut Kozier (2005) mendefinisikan peran adalah seperangkat

tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap sesorang sesuai kedudukannya

dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial dari dalam maupun dari

luar dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari

seseorang pada situasi sosial tertentu (Mubarak, 2006).

2.1.2 Peran Perawat

Peran perawat adalah cara untuk menyatakan aktivitas perawat dalam praktik,

dimana telah menyelesaikan pendidikan formulanya yang diakui dan diberi

kewenangan oleh pemerintah untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab

keperawatan secara professional sesuai dengan kode etik professional. Dimana setiap

(19)

asuhan keperawatan, pembuat keputusan klinik, sebagai pelindung atau advokat

kepada klien, manajer kasus, rehabilitator, pemberi kenyamanan, komunikator dan

sebagai pendidik. Sedangkan Peran perawat menurut konsorsium ilmu kesehatan

tahun 1989 dalam Hidayat (2007) terdiri dari:

a) Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan.

Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan ini dapat dilakukan perawat

dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui

pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan

sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar dapat direncanakan dan

dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar manusia,

kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya. Pemberian asuhan keperawatan

ini dilakukan dari yang sederhana sampai dengan kompleks.

b) Peran sebagai advokat.

Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam

menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberian pelayanan atau informasi lain

khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan

kepada pasien, juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien

yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang

penyakitnya. Hak atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk

(20)

c) Peran edukator

Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat

pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan, sehingga

terjadi perubahan perilaku dari klien sesudah dilakukan pendidikan kesehatan.

d) Peran koordinator

Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta

mengorganisasi pelayanan kesehatan sehingga pemberian pelayanan kesehatan dapat

terarah serta sesuai dengan kebutuhan klien.

e) Peran kolaborator

Peran perawat disini dilakukan kerana perawat bekerja melalui tim kesehatan

yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lain-lain dengan berupaya

mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar

pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya.

f) Peran konsultan

Peran disini adalah sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan

keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan klien

terhadap informais tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan.

g) Peran pembaharu

Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan perencanaan,

kerja sama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian

(21)

2.2Infeksi Nosokomial 2.2.1 Definisi

Nosokomial berasal dari bahas Yunani, dari kata nosos yang artinya penyakit

dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk merawat/ rumah

sakit. Jadi infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai suatu infeksi yang diperoleh

pasien atau sesorang di rumah sakit (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial adalah

infeksi yang terjadi di rumah sakit karena mikroorganisme patogen yang menginfeksi

pasien melalui pemberian pelayanan kesehatan (Potter & Perry, 2005). Infeksi

nosokomial menurut Brooker (2008) adalah infeksi yang didapat dari rumah sakit

yang terjadi pada pasien yang dirawat selama 72 jam dan pasien tersebut tidak

menunjukkan tanda dan gejala infeksi pada saat masuk rumah sakit.

Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa infeksi nosokomial

adalah infeksi yang diperoleh dari rumah sakit yang dapat terjadi karena intervensi

yang dilakukan seperti pemasangan infus, kateter, dan tindakan-tindakan operatif

lainnya yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan pasien tersebut selama dirawat

(22)

2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial

Darmadi (2008) mengemukakan beberapa faktor yang berperan dalam

terjadinya infeksi nosokomial adalah:

a) Faktor-faktor luar (extrinsic factor) yang berpengaruh dalam proses terjadinya

infeksi nosokomial seperti petugas pelayanan medis (dokter, perawat, bidan,

tenaga laboratorium, dan sebagainya), peralatan, dan dan material medis

(jarum, kateter, instrumen, respirator, kain/doek, kassa, dan lain-lain),

lingkungan seperti lingkungan internal seperti ruangan /bangsal perawatan,

kamar bersalin, dan kamar bedah, sedangkan lingkungan eksternal adalah

halaman rumah sakit dan tempat pembuangan sampah/pengelolahan limbah,

makanan/minuman (hidangan yang disajikan setiap saat kepada penderita,

penderita lain (keberadaan penderita lain dalam satu kamar/ruangan/bangsal

perawatan dapat merupakan sumber penularan), pengunjung/keluarga

(keberadaan tamu/keluarga dapat merupakan sumber penularan).

b) Faktor-faktor yang ada dalam diri penderita (instrinsic factors) seperti umur,

jenis kelamin, kondisi umum penderita, risiko terapi, atau adanya penyakit

lain yang menyertai (multipatologi) beserta komplikasinya.

c) Faktor keperawatan seperti lamanya hari perawatan (length of stay),

menurunnya standar pelayanan perawatan, serta padatnya penderita dalam

(23)

d) Faktor mikroba seperti tingkat kemampuan invasi serta tingkat kemampuan

merusak jaringan, lamanya paparan (length of exposure) antara sumber

penularan (reservoir) dengan penderita.

2.2.3 Gejala Klinis Infeksi Nosokomial

Gejala klinis infeksi nosokomial dapat terjadi secara lokal dan sistemik (Potter

& Perry, 2005). Gejala klinis local akan memberikan gambaran klinik sesuai dengan

organ yang diserang misalnya bila organ paru yang diserang akan menimbulkan

gejala seperti batuk, sesak nafas, nyeri dada, gelisah dan sebagainya. Bila organ

pencernaan yang terkena maka akan menimbulkan gejala klinis seperti mual, muntah,

kembung, kejang perut, dan sebagainya (Darmadi, 2010).

Gejala klinis sistemik menimbulkan gejala (symptom) yang lebih banyak dari

pada gejala infeksi local. Biasanya menyebabkan demam, merasa lemas, malaise,

nafsu makan menurun, mual, pusing, pembesaran kelenjar limfe dan sebagainya

(Potter & Perry, 2005).

2.2.4 Indikator Infeksi Nosokomial

Indikator infeksi nosokomial menurut Depkes tahun 2001 meliputi Angka

Pasien Dekubitus, Angka Kejadian dengan jarum infus, dan Angka Kejadian Infeksi

(24)

a) Angka Pasien dengan Dekubitus (Dekubitus Ulcer Rate)

Luka dekubitus adalah luka pada kulit dan/atau jaringan yang dibawahnya

yang terjadi di rumah sakit karena tekanan yang terus menerus akibat tirah

baring. Luka dekubitus akan terjadi bila penderita tidak dibolak-balik atau

dimiringkan dalam waktu 2 x 24 jam. Angka pasien dengan dekubitus adalah

banyaknya penderita yang menderita Dekubitus dan bukan banyaknya

kejadian Dekubitus. Rumus yang digunakan untuk mengukur Angka pasien

dengan dekubitus (APD) adalah:

Banyaknya pasien dengan dekubitus/bulan

X 100%

Total pasien tirah baring total bulan itu

b) Angka Infeksi karena Jarum Infus (Intravenous Cabule Infection Rate)

Infeksi karena jarum infus adalah keadaan yang terjadi disekitar tusukan atau

bekas tusukan jarum infus di rumah sakit, dan timbul setelah 3 x 24 jam

dirawat di rumah sakit kecuali infeksi kulit karena sebab-sebab lain yang tidak

didahului oleh pemberian infus atau suntikan lain. Infeksi ini ditandai dengan

rasa panas, pengerasan dan kemerahan (kalor, tumor, dan rubor) dengan atau

tanpa nanah (pus) pada daerah bekas tusukan jarum infus dalam waktu 3 x 24

jam atau kurang dari waktu tersebut bila infus terpasang. Rumus yang

digunakan untuk mengukur Angka kejadian infeksi karena jarum infus (AIKJ)

(25)

Banyaknya kejadian infeksi kulit karena jarum infus/bulan

x 100%

Total kejadian pemasangan infus pada bulan tersebut

c) Angka Kejadian Luka Operasi (Wound Infection Rate)

Adanya infeksi nosokomial pada semua kategori luka sayatan operasi bersih

yang dilaksanakan di rumah sakit ditandai oleh rasa panas (kalor), kemerahan

(color), pengerasan (tumor), dan keluarnya nanah (pus) dalam waktu lebih

dari 3 x 24 jam kecuali infeksi nosokomial yang terjadi bukan pada tempat

luka. Rumus yang digunakan untuk mengukur Angka infeksi luka operasi

(AILO) adalah

Banyaknya infeksi luka operasi bersih/bulan

x 100%

Total operasi bersih bulan tersebut

2.3 Peran Perawat Dalam Infeksi Nosokomial

Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan sangat berkaitan dengan

terjadinya infeksi nosokomial di rumah sakit dan perawat bertanggung jawab

menyediakan lingkungan yang aman bagi klien terutama dalam pengendalian infeksi

dalam proses keperawatan. Perawat juga bertindak sebagai pelaksana terdepan dalam

upaya pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial (Potter & Perry, 2005).

(26)

keperawatan mempengaruhi risiko terinfeksi. Faktor standar asuhan keperawatan

yang mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial adalah klasifikasi dan jumlah

ketenagaan yang memiliki kemampuan dalam menjalankan dan mempraktikkan

teknik aseptik; peralatan dan obat yang sesuai, siap pakai dan cukup; ruang

perawatan yang secara fisik dan hygiene yang memadai; aspek beban kerja dalam

pembagian jumlah penderita dengan tenaga keperawatan, dan jumlah pasien yang

dirawat (Darmadi, 2008).

Peran perawat dalam pengendalian infeksi adalah menyediakan layanan

konsultasi mengenai semua aspek pencegahan dan pengendalian infeksi dengan

menggunakan metode yang berdasarkan bukti penelitian, praktisi, dan keefektifan

biaya (Brooker, 2008). Pelaksanaan praktik asuhan keperawatan untuk pengendalian

infeksi nosokomial adalah bagian dari peran perawat (WHO, 2002).

WHO (2002) dalam jurnal Prevention of Hospital-Acquired Infection

menyatakan bahwa peran perawat pelaksana dalam pengendalian infeksi nosokomial

yaitu: (1) menjaga kebersihan rumah sakit yang berpedoman terhadap kebijakan

rumah sakit dan praktik keperawatan; (2) pemantauan teknik aseptik termasuk cuci

tangan dan penggunaan isolasi, (3) melapor kepada dokter jika ada masalah-masalah

atau tanda dan gejala infeksi pada saat pemberian layanan kesehatan; (4) melakukan

isolasi jika pasien menunjukkan tanda-tanda dari penyakit menular; (5) membatasi

paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengujung, staf rumah sakit, pasien

(27)

(6) mempertahankan keamanan peralatan, obat-obatan dan perlengkapan perawatan

di ruangan dari penularan infeksi nosokomial.

2.3.1 Peran Perawat Dalam Menjaga Kebersihan Rumah Sakit

Semua institusi kesehatan harus memiliki pedoman untuk pembuangan materi

sampah infeksi menurut kebijakan lokal dan negara. Perawat membungkus dan

membuang alat-alat yang kotor dengan cara yang tepat. Spesimen laboratorium dari

semua pasien ditangani seolah-olah spesimen tersebut dapat menyebabkan infeksi.

Semua materi sampah yang berasal dari pasien di buang ditempat sampah khusus

(Potter & Perry, 2005).

Setelah memberikan suntikan, perawat harus membuang jarum pada tempat

yang tahan tusukan. Jangan pernah melepaskan, membengkokkan atau mematahkan

jarum suntik yang telah digunakan dengan tangan. Jarum yang secara tidak sengaja

tertinggal di linen atau dengan ceroboh dibuang ke tempat sampah dapat

menyebabkan infeksi (Potter & Perry, 2005).

Perawat dalam membuang sampah cair yang terkontaminasi (misalnya darah,

urin, tinja, jaringan dan duh tubuh lainnya) memerlukan penanganan khusus karena

resiko infeksi terhadap petugas kesehatan yang menangani. Perawat memakai sarung

tangan, kacamata pelindung dan celemek, buang sampah cair pada wastefel atau ke

dalam toilet kemudian disiram. Wadah tempat sampah cair didesinfeksi dengan

(28)

Menurut WHO (2002), tindakan kebersihan lingkungan rumah sakit meliputi:

a) Pembersihan rutin diperlukan untuk menjamin lingkungan rumah sakit untuk

tampak bersih, dan bebas dari debu dan tanah.

b) Kebanyakan dari mikroorganisme terdapat dalam lingkungan/benda yang

kotor, dan tujuan pembersihan rutin adalah untuk membuang kotoran tersebut.

Baik sabun ataupun deterjen memiliki aktivitas antimikroba, dan proses

pembersihan pada dasarnya tergantung pada tindakan mekaniknya.

c) Seharusnya ada kebijakan yang menetapkan frekuensi pembersihan dan alat

pembersih yang digunakan untuk dinding, lantai, jendela, tempat tidur, tirai,

tabir, perlengkapan, mebel, kamar mandi dan toilet, dan semua peralatan

medis yang dapat digunakan kembali.

d) Metode harus sesuai dengan kemungkinan tingkat kontaminasi, dan tingkat

pembersihan yang diperlukan. Hal ini dapat dicapai dengan mengelompokkan

area ke salah satu dari empat zona rumah sakit:

- Zona A: tidak ada kontak dengan pasien. Pembersihan normal

domestik (misalnya administrasi dan perpustakaan).

- Zona B: perawatan pasien yang tidak terinfeksi, dan tidak rentan,

dibersihkan dengan prosedur yang tidak menerbangkan debu. Sapu

atau pembersih debu tidak dianjurkan. Penggunaan larutan deterjen

(29)

tampak kontaminasi dengan darah dan cairan tubuh terlebih dahulu

dibersihkan.

- Zona C: pasien yang terinfeksi (bangsal yang terpisah). Bersihkan

dengan larutan deterjen/disinfektan, dengan peralatan pembersih yang

terpisah untuk setiap ruangan.

- Zona D: pasien yang sangat rentan (pemisahan yang terlindung) atau

kawasan yang terlindung seperti ruangan operasi, ruang pengiriman,

unit perawatan intensif, unit bayi prematur, dan unit hemodialisis.

Bersihkan menggunakan larutan deterjen/disinfektan dan peralatan

kebersihan yang terpisah.

Semua permukaan di zona B, C, D, dan semua kawasan toilet harus

dibersihkan setiap hari.

e) Pengujian bakteriologi pada lingkungan tidak dianjurkan kecuali dalam

keadaan tertentu seperti penyelidikan epidemi dimana ada dugaan sumber

infeksi dari lingkungan.

- Pemantauan dialisis air sesuai standar untuk jumlah bakteri.

(30)

2.3.2 Peran Perawat Dalam Pemantauan Teknik Aseptik Termasuk Cuci Tangan dan Penggunaan Alat Pelindung

Tangan dapat menularkan infeksi di rumah sakit dan dapat diminimalkan

dengan kebersihan tangan yang sesuai. Dalam mencuci tangan sering dilakukan tidak

optimal. Hal ini dikarenakan berbagai alasan, misalnya kurangnya peralatan yang

sesuai, tingginya perbandingan jumlah perawat dengan pasien, alergi terhadap produk

pencuci tangan, kurangnya pengetahuan perawat tentang risiko dan cara mencuci

tangan yang baik dan benar, terlalu lama waktu yang direkomendasikan untuk

mencuci tangan (WHO, 2002).

Syarat-syarat mencuci tangan dengan ptimal menurut WHO (2002) meliputi:

a) Untuk pencuci tangan :

- Penggerak air: wastafel besar yang membutuhkan sedikit perawatan,

dengan perangkat antisplash dan pengendali tanpa menggunakan

tangan.

- Produk: sabun atau antiseptik tergantung pada prosedur.

- Fasilitas pengering tanpa kontaminasi (handuk sekali pakai jika

memungkinkan).

b) Untuk disinfeksi tangan:

Disinfektan tangan dengan cairan pencuci beralkohol dengan teknik antiseptik

(31)

1) Prosedur

Seharusnya ada kebijakan tertulis dan prosedur untuk mencuci tangan.

Perhiasan harus dilepaskan sebelum mencuci tangan. Prosedur kebersihan

tangan minimal dapat dibatasi untuk tangan dan pergelangan tangan

sedangkan untuk prosedur pembedahan mencakup tangan dan lengan

bawah.

Prosedur akan berbeda dengan perkiraan risiko terjadinya infeksi kepada

pasien:

- Perawatan rutin (minimal):

- Pencuci tangan dengan sabun tanpa anti septik

- Atau pembersih tangan cepat dan higenis (digosok) dengan larutan

beralkohol.

Pencuci tangan antiseptik (sedang) ―pensucian hama pada pasien yang

terinfeksi:

- Pencuci tangan higenis dengan sabun antiseptik mengikuti standar

prosedur (misalnya satu menit)

- Pembersih tangan cepat dan higenis: seperti yang sebelumnya.

Tindakan pembedahan:

- Pada tindakan pembedahan cuci tangan meliputi tangan dan lengan

(32)

- Pembersihan tangan dan lengan bawah: mencuci tangan biasa,

kemudian cuci tangan dengan menggunakan desinfektan, lalu

menggosok tangan, bilas dan ulangi sekali lagi dengan

menggunakan desinfektan lalu keringkan.

2) Ketersediaan sumber daya

Peralatan dan produk yang ada di seluruh rumah sakit atau fasilitas

perawatan kesehatan tidaklah sama. Produk yang digunakan dan tata cara

mencuci tangan juga akan berbeda tergantung pada ketersediaan alat dan

fasilitas mencuci tangan (WHO, 2002).

Menurut WHO (2002), tindakan mencuci tangan minimal (rutin) dapat

dilakukan berdasarkan ketersediaan sumber daya dapat dilakukan sebagai

berikut:

- Sumber daya yang baik: Pencucian tangan minimal; peralatan

mencuci tangan dengan menggunakan wastafel besar, air dan alat

pengalir air otomatis, sabun cair, handuk sekali pakai;

membersihkan tangan hingga bersih dengan menggosok dan

tentukan waktu kontak antara tangan dan disinfektan, bersihkan

hingga kering dengan handuk.

- Sumber daya terbatas: Pencucian tangan minimal; Peralatan

mencuci tangan dengan sumber daya terbatas meliputi wastafel, air

(33)

higenis dengan cara menggosok dan tentukan waktu kontak tangan

dengan disinfektan atau alkohol, bersihkan hingga kering dengan

handuk.

- Sumber daya sangat terbatas: Pencucian tangan minimal; Peralatan

mencuci tangan meliputi: air bersih, sabun, handuk yang dicuci

setiap hari; membersihkan tangan hingga bersih dengan cara

menggosok dan tentukan waktu kontak dengan alkohol dan

bersihkan hingga kering dengan handuk.

Menurut WHO (2002), tindakan mencuci tangan dengan teknik aseptik

dapat dilakukan berdasarkan ketersediaan sumber daya dapat dilakukan

sebagai berikut:

- Sumber daya yang baik: Pencuci tangan antiseptik; peralatan yang

digunakan wastafel besar, air dan alat pengalir air otomatis, sikat

antiseptik (dilakukan selama satu menit), handuk sekali pakai;

membersihkan tangan hingga bersih dengan menggosok dan

tentukan waktu kontak tangan dengan disinfektan, bersihkan

hingga kering dengan handuk.

- Sumber daya terbatas: Pencuci tangan dengan antiseptik; peralatan

mencuci tangan dengan wastafel besar, air dan sabun, sikat

antiseptik (dilakukan selama satu menit), handuk pribadi;

(34)

tentukan waktu kontak dengan disinfektan atau alkohol, bersihkan

hingga kering dengan handuk.

- Sumber daya sangat terbatas: Pencucian tangan sederhana;

peralatan mencuci tangan air bersih, sabun, handuk yang dicuci

setiap hari; membersihkan tangan hingga bersih dengan

menggosok; pembersihan dapat dengan menggunakan alkohol,

gosok hingga kering.

Menurut WHO (2002), tindakan mencuci tangan steril (maksimal) dapat

dilakukan berdasarkan ketersediaan sumber daya dapat dilakukan sebagai

berikut:

- Sumber daya yang baik: Pencucian dari tangan ke lengan bawah;

peralatan mencuci tangan dengan menggunakan wastafel besar, air

dan alat pengalir air otomatis, penyikat antiseptik berkualitas baik

(kontak selama 3 sampai 5 menit), handuk sekali pakai yang steril;

membersihan tangan untuk prosedur bedah dengan menggosok;

sabun yang digunakan lembut dan berkualitas baik, disinfektan

tangan dilakukan dua kali.

- Sumber daya terbatas: Pencucian dari tangan ke lengan bawah

secara sederhana; peralatan mencuci tangan dengan wastafel besar,

(35)

hingga bersih dengan menggosok; desinfektan tangan dilakukan

dua kali.

- Sumber daya sangat terbatas: pencucian dari tangan ke lengan

bawah secara sederhana;peralatan mencuci tangan dengan

menggunakan air bersih, sabun kering, handuk yang dicuci setiap

hari; membersihkan tangan hingga bersih dengan menggosok;

pembersihan menggunakan alkohol dilakukan dua kali.

Perlindungan barier harus sudah tersedia bagi perawat seperti gaun, masker,

sarung tangan, dan kacamata pelindung (WHO, 2002).

a) Gaun pelindung

Gaun pelindung melindungi perawat dan pengunjung dari kontak dengan

bahan dan darah atau cairan tubuh yang terinfeksi. Gaun diwajibkan bila

masuk ke ruang isolasi. Melepaskan gaun sebelum keluar dari ruangan isolasi

pasien, setelah gaun dilepaskan, pastikan bahwa pakaian tidak kontak dengan

lingkungan lain.

b) Masker

Masker yang terbuat dari kapas, kasa, atau kertas tidaklah efektif. Masker

kertas dengan bahan sintetis untuk penyaring adalah penghalang yang efektif

melawan mikroorganisme.

1) Masker digunakan dalam berbagai situasi. Persyaratan mengenakan

(36)

2) Pelindung dari pasien: perawat mengenakan masker untuk bekerja di

ruangan operasi, merawat pasien yang terganggu kekebalannya, untuk

tusukan rongga tubuh. Cukup dengan sebuah masker bedah.

3) Pelindung bagi perawat: perawat harus mengenakan masker ketika

merawat pasien dengan infeksi pernafasan, atau saat melakukan

bronchoscopies atau pemeriksaan serupa.

4) Pasien dengan infeksi yang dapat ditularkan melalui sirkulasi udara harus

mengenakan masker bedah saat berada diluar ruang isolasi/ ruang

perawatan mereka.

c) Sarung tangan

Sarung tangan digunakan untuk:

1) Pelindung dari pasien: perawat mengenakan sarung tangan untuk prosedur

pembedahan, perawatan pasien dengan sistem kekebalan tubuhnya

terganggu, prosedur invasif.

2) Sarung tangan yang tidak steril dapat dipakai untuk kontak dengan

selaput lendir pasien dimana tangan akan mudah terkontaminasi.

3) Pelindung bagi perawat: perawat menggunakan sarung tangan yang tidak

steril untuk merawat pasien dengan penyakit menular yang ditularkan

melalui sentuhan, atau melakukan bronchoscopies atau pemeriksaan yang

serupa.

(37)

6) Lateks atau polivinil klorida adalah bahan yang paling sering digunakan

untuk sarung tangan. Kualitas sarung tangan yang baik yakni tidak adanya

pori-pori atau lubang dan durasi penggunaan sangat bervariasi dari satu

jenis sarung tangan ke sarung tangan yang lain. Alergi terhadap lateks

dapat terjadi, dan pekerjaan program kesehatan harus memiliki kebijakan

untuk mengevaluasi dan mengelola masalah ini.

d) Kacamata pelindung

Bila melakukan prosedur invasive yang dapat menimbulkan dorplet atau

percikan atau semprotan dari darah atau cairan tubuh lainnya, perawat harus

menggunakan kacamata pelindung. Contoh dari prosedur invasif termasuk

irigasi luka besar di abdomen atau insersi keteter arterial ketika perawat

menjadi asisten dokter. Kacamata pelindung dapat tersedia dalam bentuk

kacamata plastik. Kacamata harus terpasang pas sekeliling wajah shinnga

cairan tidak dapat masuk antara wajah dan kacamata (Garner, dalam Potter &

(38)

Tindakan pencegahan infeksi nosokomial dengan menggunakan teknik

aseptik dapat terlihat pada infeksi nosokomial yang sering terjadi berikut ini:

a) Infeksi Saluran Kemih

Infeksi saluran kemih adalah infeksi nosocomial yang lebih sering ditemukan;

80% dari infeksi ini berkaitan dengan pemasangan kateter. Intervensi efektif

dalam pencegahan infeksi karena pemasangan keteter menurut WHO (2002)

meliputi:

1) Menghindari kateterisasi bila tidak diperlukan.

2) Bila kateterisasi diperlukan, batasi waktu pemasangan.

3) Mempertahankan praktek aseptik yang sesuai selama memasukkan kateter

urine dan juga prosedur urologi invasif lainnya (seperti cystoscopi,

urodinamik testing, cystografi).

4) Mencuci tangan secara higenis sebelum memasukkan kateter

Menggunakan sarung tangan steril untuk memasukkannya dan

menyambungkan dengan urin bag.

5) Pembersihan perineal dengan larutan antiseptik sebelum memasukkan

kateter.

6) Memasang kateter dengan menggunakan pelumas/pelicin sebelum

memasukkan.

Praktek lain yang dianjurkan dan terbukti mengurangi infeksi meliputi:

(39)

3) Pelatihan perawat dalam memasang kateter dan perawatan.

4) Mempertahankan kelancaran aliran urin dari kandung kemih dalam urin

bag dengan meletakkan urin bag lebih rendah dari kandung kemih. Kateter

yang digunakan adalah kateter yang berdiameter terkecil. Bahan kateter

(lateks, silicone) tidak mempengaruhi tingkat kejadian infeksi.

Bagi pasien dengan gangguan perkemihan :

1) Menghindari pemasangan kateter yang menetap sedapat mungkin.

2) Bila bantuan pengosongan kandung kemih diperlukan, maka ganti kateter

sesering mungkin.

Sedangkan menurut Tietjen (2004), prosedur dalam pemasangan

kateter meliputi : persiapan alat yang yang terdiri dari kateter steril, urin bag,

spuite untuk membuat balon pada kateter, sarung tangan steril, larutan

antiseptic, kain kassa, pelumas, kantong plastic tempat sampah. Sebelum

memulai prosedur, bersihkan tangan dengan sabun dan air bersih kemudian

keringkan dengan handuk bersih. Kenakan sarung tangan steril atau yang telah

didesinfeksi pada kedua tangan. Gunakan kateter kecil sesuaikan dengan system drainase yang baik. Untuk pasien perempuan, pegang bagian labia

dengan tangan yang tidak dominan. Tangan yang lainnya membersihkan

uretra dengan kapas steril yang telah diberi larutan desinfektan. Sedangkan

untuk pasien laki-laki, tarik kulit pada ujung penis kebawah dengan tangan

(40)

Letakkan benda-benda kotor pada kantung plastik yang tidak bocor, lepaskan

sarung tangan dengan cara membalikkannya tidak memegang daerah yang

kotor dan letakkan pada kantung plastik. Buang pada tempat sampah medis

kemudian cuci tangan dengan sabun dan air atau gunakan larutan desinfektan

(Tietjen, 2004).

Titik temu antara selang kateter dan urin bag harus tetap tertutup dan

tersambung. Selama tertutup, isinya masih dianggap steril. Aliran keluar klep

pada urin bag harus tetap tertutup dan dibersihkan untuk mencegah masuknya

bakteri. Pergerakan kateter di uretra harus diminimalkan untuk mengurangi

kemungkinan mikroorganisme mencapai uretra kemudian masuk ke dalam

kandung kemih. Kateter dan urin bag harus diganti bila waktu pemasangan

sudah beberapa hari atau minggu (Tietjen, 2004).

Selain pemasangan keteter, pencabutan kateter juga dapat

menyebabkan terjadinya infeksi. Prosedur pencabutan kateter sama dengan

pemasangan keteter. Perawat harus menggunakan sarung tangan dan mencuci

tangan sebelum dan sesudah prosedur (Tietjen, 2004).

Perawat dalam merawat pasien dengan sistem drainase (drainase luka,

cairan empedu dan cairan tubuh lainnya) harus tetap menjaga selang drainase

bagian luar tetap bersih. Semua selang harus tetap tersambung selama

penggunaan. Wadah drainase hanya boleh dibuka pada saat membuang atau

(41)

Kadang-kadang perawat mengambil specimen dari selang drainase

dengan menusukkan jarum ke ujung selang. Dalam hal ini perawat harus

mendesinfeksi dengan menggunakan alkohol dan larutan yodium sebelum

menusuk selang drainase kemudian meletakkan kasa steril di sekeliling ujung

selang drainase yang terbuka seperti kateter, sehingga urin terhindar dari

kontaminasi bakteri dari luar kateter. Kemudian setelah mengambil specimen

urin, tutup dan kunci kembali selang kateter (Poter & Perry, 2005).

b) Infeksi Intravaskuler

Infeksi lokal dan infeksi sistemik dapat terjadi sehingga memerlukan

perawatan yang lebih intensif. Praktek memasang kateter intravaskuler

menurut WHO (2002) meliputi :

1) Menghidari pemasangan kateter intravaskuler bila tidak ada indikasi

medis.

2) Mempertahankan teknik asepsis dalam memsang kateter intravaskuler dan

perawatannya.

3) Penggunaan kateter intravaskuler dengan waktu sesingkat mungkin.

4) Mempersiapkan cairan infus secara aseptik sebelum digunakan.

5) Melatih perawat dalam memasang dan merawat kateter intravaskuler

Infus

1) Tangan harus dicuci sebelum memasang infus dengan teknik aseptik.

(42)

3) Penggantian infuset tidak terlalu sering dibandingkan dengan penggantian

jarum infus, kecuali setelah transfusi darah yang meninggalkan bekuan

darah yang dapat membuat aliran tidak lancar.

4) Bila infeksi lokal plebitis terjadi, maka infus harus segera dilepas.

Sedangkan menurut Tietjen (2004), prosedur pemasangan infus

dilakukan dengan mencuci tangan dengan sabun kemudian keringkan dengan

handuk. Menyambungkan infus set dan botol cairan infus dengan teknik

aseptik (jangan menyentuh daerah tusukan pada botol infus). Memakai sarung

tangan sebelum prosedur pemasangan infus, mendesinfeksi daerah vena yang

akan dipasang infus dengan gerakan memutar kearah luar dari tempat

pemasangan. Perhatikan daerah pemasangan infus terhadap tanda flebitis.

Fiksasi daerah luka pada pemasangan infus dengan kasa steril kemudian

plester. Sebelum melepas sarung tangan, buang kapas/kasa yang

terkontaminasi darah ke dalam kantong plastik, lepaskan sarung tangan dan

buang ke tempat sampah medis. Kemudian cuci tangan dengan menggunakan

larutan klorin 0,5% (Tietjen, 2004).

Pada saat perawat mengambil spesimen dari selang drainase atau

menusukkan jarum ke ujung selang intravena untuk memberi obat (injeksi

bolus), perawat harus mendesinfeksi dengan menyeka bagian luar selang infus

dengan menggunakan alkohol dan larutan yodium sebelum memasuki sistem

(43)

Pemeliharaan infus juga harus dilakukan pada pasien yang meliputi :

jumlah tetesan, apakah infus terbuka atau lepas, mengecek setiap 8 jam

apakah terjadi tanda-tanda flebitis. Pindahkan pemasangan infus setiap 72-96

jam untuk mengurangi flebitis. Infus set juga harus diganti jika rusak atau

secara rutin setiap 72 jam. Pada saat mengganti cairan infus jangan

menyentuh daerah tusukan jarum atau mendesinfeksi terlebih dahulu daerah

tusukan jarum tersebut dengan alkohol 60-90% (Tietjen, 2004).

c) Infeksi Luka

Cara lain untuk mengurangi masuknya mikroorganisme adalah

perawatan luka dengan prinsip steril. Untuk mencegah masuknya

mikroorganisme ke dalam luka, perawat harus membersihkan bagian sekitar

luka. Perawat menyeka bagian dalam luka kemudian bagian luarnya dengan

menggunakan kasa steril. Perawatan luka dilakukan kurang dari 72 jam.

Untuk luka tertentu dilakukan setiap hari misalnya luka karena penyakit

Diabetes Melitis (Tietjen, 2004).

Satu peralatan luka digunakan untuk satu pasien, namun jika

penggunaan peralatan luka secara bergantian tidak dapat dihindari, alat-alat

tersebut harus secara adekuat dibersihkan dan didesinfeksi sebelum digunakan

(44)

2.3.3 Peran Perawat Dalam Melapor Kepada Dokter Jika Ada Tanda dan Gejala Infeksi

Infeksi nosokomial dapat terjadi secara sisitemik dan lokal. Tanda dan gejala

infeksi dapat berupa adanya merah dan bengkak pada daerah yang terinfeksi, nyeri

dan ada drainase atau lesi. Pada saat mengkaji perawat menggunakan sarung tangan.

Infeksi sistemik terjadi setelah pengobatan infeksi lokal gagal. Infeksi sisitemik

menimbulkan gejala yang lebih besar lagi misalnya pembengkakan kelenjar limfe,

hilangnya nafsu makan. mual dan muntah (Potter & Perry, 2005).

Perawat melakukan pengkajian terhadap tanda dan gejala infeksi nosokomial

yang terjadi pada pasien. Bila ditemukan tanda dan gejala infeksi atau

masalah-masalah lain yang berkaitan dengan status kesehatan pasien, perawat melaporkan hal–

hal tersebut kepada dokter (Potter & Perry, 2005).

Bila proses penyakit atau organisme penyebab penyakit sudah teridentifikasi,

dokter dapat lebih efektif meresepkan pengobatan terhadap situasi tersebut, misalnya

dengan pemberian antibiotik yang spesifik untuk mikroorganisme penyebab infeksi.

Sehingga masalah-masalah atau tanda dan gejala infeksi pasien dapat teratasi atau

(45)

2.3.4 Peran Perawat Dalam Melakukan Isolasi Terhadap Pasien Dengan Penyakit Menular.

Pasien tertentu mungkin memerlukan tindakan pencegahan khusus untuk

membatasi penularan organisme yang berpotensi menginfeksi kepada pasien lain.

Kewaspadaan isolasi direkomendasikan tergantung pada cara penularannya.

Penularan infeksi menurut WHO (2002), dapat melalui:

a) Airborne infeksi: infeksi biasanya terjadi melalui saluran pernapasan, dengan

agen ini dalam aerosol (ukuran partikel <5 µm).

b) Infeksi droplet: droplet yang menular (ukuran partikel > 5 µm).

c) Infeksi melalui kontak langsung atau tidak langsung: infeksi terjadi melalui

kontak langsung antara sumber infeksi dan kontak tidak langsung melalui

terkontaminasi benda.

Menurut WHO (2002), isolasi dan pencegahan penularan infeksi berdasarkan

pada standar yang ada, meliputi:

a) Standar rutin tindakan pencegahan yang harus diikuti perawat untuk merawat

semua pasien.

Standar (rutin) tindakan pencegahan diterapkan untuk perawatan

semua pasien. ini termasuk membatasi perawat kontak dengan sekret atau

cairan biologis, lesi kulit, mukosa membran, dan darah atau cairan tubuh.

Perawat harus memakai sarung tangan, masker, dan gaun setiap kontak yang

(46)

Standar tindakan pencegahan terhadap semua pasien menurut WHO

(2002) :

1) Cuci tangan segera setelah kontak dengan materi infeksi.

2) Teknik meminimalkan sentuhan dengan materi infeksi.

3) Pakailah sarung tangan ketika kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi,

ekskresi, membran mukosa dan barang-barang yang terkontaminasi.

4) Cuci tangan segera setelah melepas sarung tangan.

5) Semua benda tajam harus ditangani dengan sangat hati-hati.

6) Bersihkan segera tumpahan bahan infeksi.

7) Pastikan bahwa peralatan perawatan pasien, perlengkapan dan linen yang

terkontaminasi dengan bahan infektif dibuang, atau didesinfeksi atau

disterilisasi pada setiap penggunaan kepada pasien.

8) Pastikan penanganan limbah yang baik.

9) Jika tidak ada mesin cuci yang tersedia untuk linen kotor dengan materi

infektif, linen dapat direbus.

Pertimbangan untuk pakaian pelindung meliputi:

1) Gaun: harus dari bahan yang bisa dicuci, dapat di kancing atau diikat di

belakang, jika perlu dengan celemek plastic.

2) Sarung tangan: sarung tangan plastik yang tersedia dan biasanya cukup.

3) Masker: masker bedah yang terbuat dari kain atau kertas dapat digunakan

(47)

b) Standar tindakan pencegahan untuk pasien tertentu.

1) Tindakan pencegahan berikut digunakan untuk pasien selain yang

dijelaskan di atas: Tindakan pencegahan melalui udara (ukuran partikel<5

µm) (misalnya TBC, cacar air, campak). Berikut ini diperlukan:

- ruangan perawatan dengan ventilasi yang cukup, pintu ditutup,

setidaknya pertukaran udara per jam.

- perawat mengenakan masker di ruangan pasien.

- pasien tetap berada di dalam ruangan perawatan.

2) Tindakan pencegahan terhadap droplet (ukuran droplet > 5 pm) (misalnya

bakteri meningitis, difteri, virus saluran pernapasan). Prosedur berikut

diperlukan:

- Ruangan perawatan sendiri untuk pasien, jika tersedia.

- Masker bagi pekerja perawatan kesehatan.

- Sirkulasi terbatas bagi pasien, pasien memakai masker bedah jika

meninggalkan ruangan.

3) Tindakan pencegahan untuk pasien dengan infeksi enterik dan diare yang

tidak dapat dikendalikan, atau lesi kulit yang tidak dapat diatasi. Prosedur

berikut diperlukan :

- Pasien ditempatkan pada ruang perawatan sendiri jika tersedia;

(48)

- Perawat memakai sarung tangan saat memasuki ruangan; gaun

pelindung khusus untuk merawat pasien yang beresiko

terkontaminasi.

- Mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien, dan

meninggalkan ruangan.

- Membatasi gerakan pasien di luar ruangan.

- Pembersihan lingkungan san peralatan, disinfeksi, dan sterilisasi.

4) Isolasi dibutuhkan untuk merawat pasien dengan risiko infeksi yang

sangat berbahaya dimana dapat menularkan melalui berbagai cara.

Prosedur meliputi :

- Pasien ditempatkan ruang isolasi jika memungkinkan.

- Masker, sarung tangan, gaun pelindung, topi, mata perlindungan

bagi semua memasuki ruangan.

- Cuci tangan saat masuk dan keluar dari ruangan pembakaran

jarum, jarum suntik.

- Desinfeksi instrumen medis.

- Pembersigan kotoran, cairan tubuh, sekresi cairan tubuh.

- Desinfeksi linen.

- Membatasi pengunjung dan staf.

- Desinfeksi harian dan desinfeksi terminal.

(49)

- Pengambilan spesimen pasien dan carlabor pengiriman ke

laboratorium

Menurut Potter dan Perry (2005), bila ruangan isolasi tidak tersedia

tempatkan pasien dalam satu kamar dengan pasien yang menderita infeksi

dengan mikroorganisme yang sama. Bila ruangan tidak tersedia dan

pengelompokkan tidak mungkin, pertahankan pemisahan minimal dengan

jarak 1 meter antara pasien yang terinfeksi dan pasien-pasien lain dan juga

dengan pengunjung. Jika pasien yang diketahui dan diduga terkena infeksi

saluran pernafasan harus menggunakan masker pada saat keluar dari

kamar.

2.3.5 Peran Perawat Dalam Membatasi Paparan Pasien Terhadap Infeksi yang Berasal Dari Pengujung Dan Peralatan Diagnosis

Sumber infeksi nosokomial mungkin pasien, petugas rumah sakit, atau bisa

juga tamu. Mereka mungkin sudah terkena penyakit, berada dalam masa inkubasi

(tidak ada gejala), atau dapat juga berupa karier kronis (Tietjen, 2004).

Sasaran penjamu yang sensitif adalah pasien, petugas rumah sakit, dan bisa

juga tamu yang dating membawa infeksi. Daya tahan tubuh masing-masing berbeda,

ada yang kebal, ada yang menjadi karier tanpa gejala, ada yang langsung terkena

(50)

Pengunjung harus menggunakan alat pelindung ketika memasuki ruang

perawatan khusus seperti masker, gaun pelindung, sarung tangan untuk mencegah

penularan infeksi. Salah satu cara lain adalah dengan membatasi jumlah pengunjung.

Dengan membatasi jumlah pengunjung berarti mengurangi resiko terjadinya

penularan infeksi (Tietjen, 2004).

2.3.6 Peran Perawat Dalam Mempertahankan Keamanan Peralatan dan Perlengkapan Perawatan Dari Penularan Infeksi Nosokomial.

Pembersihan, desinfeksi dan sterilisasi yang tepat terhadap alat-alat yang

terkontaminasi dapat mengurangi bahkan memusnahkan mikroorganisme. Di sentral

perawatan kesehatan dilakukan desinfeksi dan mensucikan barang-barang yang dapat

digunakan kembali.

a) Pembersihan

Pembersihan dilakukan untuk membuang semua material asing seperti

kotoran dan materi organik dari suatu objek (Rutala, dalam Potter & Perry,

2005). Biasanya pembersihan dilakukan dengan menggunakan air dan cara

mekanis dengan atau tanpa detergen. Objek menjadi terkontaminasi bila

kontak dengan sumber infeksi, maka bila objek tersebut merupakan objek

sekali pakai, objek tersebut langsung dibuang. Sedangkan untuk objek yang

dapat digunakan kembali harus dibersihkan, didesinfeksi atau disterilisasi

(51)

Penggunaan peralatan dan perlengkapan perawatan pasien seperti

stetoskop, sfigmomanometer, termometer yang dipakai bersama oleh pasien

harus dibersihkan dan didesinfeksi sebelum digunakan oleh pasien yang

lainnya (Potter & Perry, 2005).

Bila membersihkan darah, materi fekal, mucus atau pus, perawat

menggunakan masker, kacamata pelindung dan sarung tangan sebagai

pelindung terhadap organisme infeksi. Sikat berbulu padat dan deterjen atau

sabun dibutuhkan untuk pembersihan (Potter & Perry, 2005).

Langkah berikut ini menjamin bahwa suatu objek disebut bersih:

1) Cuci objek atau benda yang terkontaminasi dengan air dingin yang

mengalir untuk membuang materi organik. Jangan menggunakan air panas

karena dapat menyebabkan materi organik berkoagulasi dan menempel

pada objek, sehingga sulit untuk dibuang.

2) Setelah dibilas, cuci objek dengan sabun dan air hangat. Sabun dan

detergen memiliki kandungan desinfektan yang dapat membunuh kuman

patogen pada objek. Gunakan sikat untuk membuang kotoran atau materi

pada objek yang susah dibersihkan sehingga kotoran mudah dibuang.

3) Bilas objek dengan air hangat.

4) Keringkan objek kemudian lakukan desinfeksi dan sterilisasi.

5) Bersihkan sarung tangan dan bak tempat objek diletakkan untuk

(52)

b) Disenfeksi

Disenfeksi merupakan proses yang digunakan untuk memusnahkan

semua mikroorganisme pada suatu objek/benda, tanpa membunuh spora

bakteri (Rutala, dalam Potter & Perry, 2005). Biasanya dilakukan dengan

mengguanakan desinfeksi kimia atau pasteurisasi basah (digunakan untuk

peralatan terapi pernafasan). Contoh desinfektan adalah alcohol, klorin,

glutaraldehid, dan fenol. Desinfeksi biasanya dilakukan pada pakaian, linen,

tempat tidur, pispot, benda yang tidak dapat disterilkan dengan menggunakan

campuran zat kimia cair atau pasteurisasi basah (Potter & Perry, 2005).

c) Sterilisasi

Sterilisasi merupakan proses yang dipakai untuk memusnahkan

seluruh mikroorganisme beserta sporanya (Potter & Perry, 2005). Sterilisasi

dapat dilakukan dengan cara fisika ataupun kimia dengan cara pemanasan,

pemberian zat kimia , radiasi atau filtrasi (penyaringan). Di rumah sakit alat

dan bahan yang sering digunakan adalah autoklaf (uap dibawah tekanan), gas

etilon oksida (EO), dan cairan kimia. Sterilisasi panas dapat dipakai untuk

mensterilakan alat-alat bedah, dan perlengkapan dari kain. Sebelum

disterilkan terlebih dahulu dicuci hingga bersih. Sterilisasi panas dapat

dilakukan dengan memakai udara kering, uap air, atau air panas. Otoklaf

adalah salah satu alat yang dipakai dalam sterilisasi panas. Sterilisasi dengan

(53)

Acuan dasar metode sterilisasi menurut WHO (2002) meliputi :

1) Sterilisasi dengan pemanasan

- Sterilisasi basah: rebus dengan air pada suhu 121 o C selama 30

menit, atau suhu 134 o C selama 13 menit dalam autoklaf; (suhu

132 oC selama 18 menit untuk prion).

- Sterilisasi kering: panaskan di suhu 160 oC selama 120 menit, atau

di suhu 170 0C selama 60 menit; proses sterilisasi ini sering

dianggap kurang dapat diandalkan dibandingkan dengan sterilisasi

basah, khususnya untuk perangkat medis yang berongga.

2) Sterilisasi dengan bahan kimia

- Sterilisasi dengan Etilen oksida dan formaldehid sudah tidak

dipakai di banyak negara kerena karena menyimpan dan

mengandung emisi gas rumah kaca.

- Asam perasetik banyak digunakan di Amerika Serikat dan

(54)

BAB III

KERANGKA PENELITIAN

3.1 Kerangka Penelitian

Kerangka penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan peran perawat dalam

pengendalian infeksi nosokomial. Dalam gambar ini terlihat bahwa peran perawat

dalam pengendalian infeksi nosokomial dikategorikan baik, cukup, dan kurang. Maka

dapat digambarkan sebagai berikut :

Skema 3.1

Kerangka penelitian peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial

Peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial :

- Menjaga kebersihan rumah sakit;

- Pemantauan teknik aseptik dan Baik

penggunaan alat pelindung diri;

- Melaporkan kepada dokter jika Cukup

ada tanda dan gejala infeksi;

- Melakukan isolasi pasien dengan Kurang

penyakit menular

- Membatasi paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengunjung, staf, pasien dan peralatan;

(55)

3.2 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Peran

Peran perawat dalam pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial yang meliputi: menjaga kebersihan rumah sakit; pemantauan teknik aseptik dan penggunaan alat pelindung diri; melapokan kepada dokter jika ada tanda dan gejala infeksi; melakukan

pengaturan jarak pasien di ruang perawatan jika ruang isolasi tidak ada untuk pasien dengan penyakit menular; membatasi paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengunjung, staf, pasien dan peralatan; mempertahankan keamanan peralatan terhadap infeksi nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai

Kuesioner

dengan 36 pernyataan yaitu

(56)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan

untuk menggambarkan peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial

di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai.

4.2 Populasi dan Sampel Penelitian

4.2.1 Populasi penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah perawat pelaksana yang bekerja di ruang

rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai sebanyak 157

orang.

4.2.2 Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian ini, ditentukan melalui teknik random sampling yaitu

pengambilan sampel secara acak. Sampel yang menjadi responden pada penelitian ini

mempunyai kriteria yaitu perawat yang bersedia menjadi responden, perawat

pelaksana yang bekerja di ruang rawat inap, dan tidak sedang cuti.

Berdasarkan rumus yang dikutip dari Setiadi (2007) sebagai berikut :

(57)

Keterangan :

n = Jumlah sampel

N = Jumlah Populasi

d = Tingkat ketepatan absolut yang diinginkan (d=0,1)

n =

157 1+157 (0,12)

= 61,089

Jadi jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 61 perawat.

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur

Tanjungbalai. Adapun pertimbangan pemilihan rumah sakit tersebut karena belum

pernah dilakukan penelitian tentang peran perawat dalam pengendalian infeksi

nosokomial dan peneliti melihat sejauh mana peran perawat dalam pengendalian

infeksi nosokomial di rumah sakit tersebut. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli

sampai Oktober 2012.

4.4 Pertimbangan Etik Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti tetap berpedoman pada prinsip-prinsip etik

penelitian yaitu: pertama prinsip informed consent, jika responden bersedia menjadi

(58)

memaksa dan tetap menghormati haknya. Kedua prinsip anonymity yaitu tidak

memberikan atau mencantumkan identitas responden pada kuesioner yang diisi dan

hanya menuliskan kode pada lembar kuesioner. Ketiga prinsip kerahasiaan, peneliti

menjamin kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah

lainnya dan hanya kelompok data tertentu yang dilaporkan pada hasil penelitian.

4.5 Instrumen Penelitian

Peneliti dalam pengumpulan informasi dari responden menggunakan alat

pengumpulan data dalam bentuk kuesioner. Karena belum tersedianya instrumen

yang terstandar untuk tes peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial,

maka peneliti menyusun sendiri instrumen penelitian ini dalam bentuk kuesioner

berdasarkan dari tinjauan pustaka.

Peneliti menggunakan kuesioner sebagai instrumen pengumpulan data karena

mempunyai beberapa keuntungan yaitu: tidak mengharuskan peneliti tetap bersama

responden selama pengisian kuesioner, dapat dibagikan secara serentak kepada

seluruh responden, dapat dijawab oleh responden sesuai dengan kecepatan

masing-masing dan menurut waktu senggang responden. Instrumen ini juga

mempunyai kelemahan yaitu: responden sering tidak teliti menjawab sehingga ada

jawaban yang kosong. Untuk mengurangi kelemahan kuesoiner tersebut peneliti

(59)

Kuesioner ini dibagi dalam dua bagian yaitu:

4.5.1 Data Demografi

Data demografi ditujukan untuk mengeksplorasi informasi terkait

karakteristik demografi dan pengalaman responden. Informasi yang diteliti mencakup

usia, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, lama bekerja, status

pekerjaan dan pernah/tidaknya mengikuti pelatihan pengendalian infeksi nosokomial.

4.5.2 Peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial

Kuesioner ini berisi pertanyaan tentang peran perawat dalam pengendalian

infeksi nosokomial. Alat ukur yang digunakan dalam kuesioner ini adalah berupa

pertanyaan yang menggunakan skala likert sebanyak 36 pernyataan.

Keseluruh pernyataan dalam kuesioner ini merupakan pernyataan tertutup

dengan pilihan jawaban tidak pernah dilakukan (TP), kadang-kadang dilakukan (KD),

dan sering dilakukan (SR), dan sangat sering dilakukan (SS). Pernyataan dalam

kuesioner ini terdiri dari pernyataan positif dan pernyataan negatif. Pernyataan

positif terdiri dari 26 pernyataan yaitu 1,2,3,4,5,8,10,11,12,13,14,15,16,17,19,20,22,

23,24,26,27,28,29,30,35, dan 36. Pernyataan positif dengan jawaban tidak pernah

dilakukan diberi nilai 1, kadang-kadang dilakukan diberi nilai 2, sering dilakukan

diberi nilai 3, dan sangat sering dilakukan diberi nilai 4. Pernyataan negatif terdiri

dari 10 pernyataan yaitu 6,7,9,18,21,25,31,32,33, dan 34. Pernyataan negatif dengan

(60)

Maka nilai yang paling rendah adalah 36 dan nilai paling tinggi adalah 144. Skala

ukur yang digunakan dalam pengukuran variabel ini adalah skala ordinal yaitu

membagi menjadi 3 kategori (baik, cukup, kurang). Berdasarkan rumus statistik yang

dikutip dari Sudjana (2002),

Rentang kelas

p =

Banyak kelas

Dimana p merupakan panjang kelas dengan rentang sebesar 108 (selisih nilai tertinggi

dan terendah) dan banyak kelas adalah 3 (baik, cukup dan kurang). Dengan

menggunakan p=36, maka diperoleh peran perawat dalam pengendalian infeksi

nosokomial yaitu :

Kurang = 36-72

Cukup = 73-108

Baik = 109-144

4.6 Uji Validitas dan Reliabilitas

4.6.1 Uji Validitas

Validitas merupakan indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar

mengukur apa yang diukur. Untuk mengetahui apakah kuesioner yang kita susun

tersebut mampu mengukur apa yang akan kita ukur, maka perlu dikonsultasikan

dengan pakar dan ahlinya. Uji validitas dalam penelitian ini dilakukan oleh ahli

Gambar

Tabel 1. Distribusi frekuensi dan persentase responden berdasarkan data demografi responden (n=61)
Tabel 2. Distribusi frekuensi peran perawat dalam pengendalian infeksi

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, pada tahun anggaran 2016 Direktorat Pengembangan Usaha Transmigrasi, Direktorat Jenderal Pengembangan Kawasan Transmigrasi, Kementerian Desa,

Penurunan kadar Fe dan Mn juga dapat menggunakan media karbon aktif dan zeolit. seperti yang telah uji oleh Hardini dan

Dari keseluruhan aspek yang dinilai, terlihat bahwa popularitas berdasarkan ukuran google dan peringkat Alexa diraih oleh website Bank Mandiri dengan perbedaan yang cukup lebar

Untuk mengaktualisasikan nilai-nilai multikultural menjadi praktik dalam kehidupan masyarakat, maka diperlukan suatu upaya pengkondisian yang mengarah pada situasi

Demam berdarah dengue adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dengue (arbovirus) yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes

Q3. Packet Tracer 7.0 introduce user authentication into Packet Tracer. NetAcad user are required to sign in when first time launch the Packet Tracer. Please ask your instructor

Hasil titer antibodi pada perlakuan C yaitu vaksin dengan penambahan gliserol 0,25% dan perlakuan E yaitu vaksin dengan penambahan gliserol 0,75% meningkat tinggi

Tujuan Penelitian: Mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan anak usia prasekolah di TK-IT Al-Muhajirin Sawangan Magelang.. Metode Penelitian: Metode