• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Skor Keparahan Dispepsia Dengan Tingkat Kerusakan Mukosa Lambung Secara Endoskopi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Skor Keparahan Dispepsia Dengan Tingkat Kerusakan Mukosa Lambung Secara Endoskopi"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN SKOR KEPARAHAN DISPEPSIA DENGAN TINGKAT

KERUSAKAN MUKOSA LAMBUNG SECARA ENDOSKOPI

PENELITIAN POTONG LINTANG DI DEPARTEMEN / SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN USU

RSUP H. ADAM MALIK / RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN

NOVEMBER 2010 – JANUARI 2011

TESIS

OLEH

RUDY DWI LAKSONO

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

DIAJUKAN DAN DIPERTAHANKAN DI DEPAN SIDANG LENGKAP DEWAN PENILAI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN USU DITERIMA SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK MENDAPATKAN KEAHLIAN DALAM BIDANG

ILMU PENYAKIT DALAM

PEMBIMBING

Prof. dr. Gontar A. Siregar, SpPD-KGEH Prof. dr. Lukman H. Zain, SpPD-KGEH

DISAHKAN OLEH

Kepala Departemen Ketua Program Studi

Ilmu Penyakit Dalam Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU Fakultas Kedokteran USU

dr. Salli Roseffi Nasution, SpPD-KGH dr. Zulhelmi Bustami, SpPD-KGH

(3)

KATA PENGANTAR

Terlebih dahulu saya mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan karunianya, sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini dengan

judul: “Hubungan Skor Keparahan Dispepsia dengan Tingkat Kerusakan Mukosa

Lambung secara Endoskopi“ yang merupakan persyaratan dalam menyelesaikan

pendidikan dokter ahli di bidang ilmu penyakit dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara.

Dengan selesainya karya tulis ini, maka penulis ingin menyampaikan terima kasih

dan rasa hormat serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Salli Roseffi Nasution SpPD-KGH, selaku Kepala Departemen Ilmu Penyakit

Dalam FK USU / RSUP H ADAM MALIK MEDAN yang telah memberikan

kemudahan dan dorongan buat penulis dalam menyelesaikan tulisan ini.

2. Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Dalam Dr. Zulhelmi Bustami SppD-KGH dan

Sekretaris Program Ilmu penyakit Dalam Dr Dharma Lindarto SppD-KEMD yang

dengan sungguh-sungguh telah membantu dan membentuk penulis menjadi ahli

penyakit dalam yang berkualitas, handal dan berbudi luhur serta siap untuk

mengabdi bagi nusa dan bangsa.

3. Khusus mengenai karya tulis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD – KGEH dan Prof. Dr.

Lukman Hakim Zain, SpPD – KGEH sebagai pembimbing tesis, yang telah

memberikan bimbingan dan kemudahan bagi penulis selama melaksanakan

penelitian, juga telah banyak meluangkan waktu dan dengan kesabaran

membimbing penulis sampai selesainya karya tulis ini. Kiranya Allah SWT

memberikan rahmat dan karunia kepada beliau beserta keluarga.

4. Prof . Dr. Lukman Hakim Zein, SpPD – KGEH selaku kepala Departemen Ilmu

Penyakit Dalam FK USU/RSUP. HAM dan Dr. Safiie Piliang, SpPD – KEMD

selaku Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Dalam yang telah menerima saya

(4)

5. Seluruh staf Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU / RSUD Dr Pirngadi / RSUP

H Adam Malik medan : Prof. Dr. Harun Rasyid Lubis SpPD-KGH, Prof. Dr.

Bachtiar Fanani Lubis SpPD-KHOM, Prof. Dr. Habibah Hanum SpPD-KPsi, Prof.

Dr. Sutomo Kasiman SpPD-KKV, Prof. Dr. Azhar Tanjung SpPD-KP-KAI-SpMK,

Prof. Dr. OK Moehad Sjah SpPD-KR, Prof. Dr. Lukman H. Zain SpPD-KGEH,

Prof. Dr. M. Yusuf Nasution SpPD-KGH, Prof. Dr. Azmi S Kar SpPD-KHOM,

Prof. Dr. Gontar A Siregar SpPD-KGEH, Prof. Dr. Haris Hasan SpPD-SpJP(K), Dr.

Nur Aisyah SpPD-KEMD, Dr. A Adin St Bagindo SpPD-KKV, Dr. Lutfi Latief

SpPD-KKV, Dr. Syafii Piliang SpPD-KEMD, Dr. T. Bachtiar Panjaitan SpPD, Dr.

Abiran Nababan SpPD-KGEH, Dr. Betthin Marpaung SpPD KGEH, Dr. Sri M

Sutadi SpPD-KGEH, Dr. Mabel Sihombing SpPD-KGEH, Dr. Salli R. Nasution

SpPD-KGH, DR. Dr. Juwita Sembiring SpPD-KGEH, Dr. Alwinsyah SpPD-KP,

Dr. Abdurrahim Rasyid Lubis SpPD-KGH, Dr. Dharma Lindarto SpPD-KEMD,

DR.Dr Umar Zein SpPD-KPTI-DTM&H-MHA, Dr. Yosia Ginting SpPD-KPTI,

Dr. Refli Hasan SpPD-SpJP, Dr. EN. Keliat SpPD-KP, DR.Dr. Blondina Marpaung

SpPD-KR, Dr. Leonardo D SpPD-KGEH, Dr. Pirma Siburian SpPD-KGer, Dr.

Mardianto SpPD, Dr. Santi S SpPD, Dr. Dairion gatot SpPD-KHOM, Dr Zuhrial

SpPD yang merupakan guru-guru saya yang telah banyak memberikan arahan dan

petunjuk kepada saya selama mengikuti pendidikan.

6. Dr. Armon Rahimi SpPD-KPTI, Dr. R Tunggul Ch Sukendar SpPD-KGH (Alm), Dr.

Daud Ginting SpPD, Dr. Tambar Kembaren SpPD, Dr. Saut Marpaung SpPD, Dr.

Dasril Effendi SpPD-KGEH, Dr. Ilhamd SpPD, Dr. Calvin Damanik SpPD, Dr.

Zainal Safri SpPD, SPJP, Dr. Rahmat Isnanta SpPD, Dr. Jerahim Tarigan SpPD, Dr.

Endang SpPD, Dr. Abraham SpPD, Dr. Soegiarto Gani SpPD, Dr. Savita

Handayani SpPD, Dr. Fransiskus Ginting SpPD, Dr. Deske Muhadi SpPD, Dr.

Syafrizal Nst, SpPD sebagai dokter kepala ruangan / senior yang telah amat banyak

membimbing saya selama mengikuti pendidikan ini.

7. Direktur RSUP H Adam Malik Medan dan RSUD Dr. Pirngadi Medan yang telah

memberikan begitu banyak kemudahan dan izin dalam menggunakan fasilitas dan

sarana Rumah Sakit untuk menunjang pendidikan keahlian ini.

(5)

8. Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara yang telah memberikan izin dan menerima saya, sehingga dapat

mengikuti pendidikan keahlian ini.

9. Direktur Kesehatan Angkatan Darat, Pangdam I/BB dan Kakesdam I/BB yang telah

memberikan izin sehingga dapat mengikuti pendidikan keahlian ini.

10.Seluruh stase Gastroentero Hepatologi yang telah membantu penulis menyelesaikan

penelitian ini.

11.Para co asisten dan petugas kesehatan di SMF / Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP

H. Adam Malik Medan / RSUD Dr. Pirngadi Medan / RS Haji Medan / RS

Tembakau Deli, karena tanpa adanya mereka tidak mungkin penulis dapat

menyelesaikan pendidikan ini.

12.Kepada teman-temanku yang memberikan dorongan semangat: Dr. Safrian, Dr.

Erwinsyah, Dr. Darma Muda Setia, Dr. Radar Radius Tarigan, SpPD, Dr. Ameliana,

SpPD, Dr. Faisal, SpPD, Dr. Hotland Sihombing, SpPD. Juga para sejawat dan

PPDS interna lainnya yang tidak dapat saya sebut satu persatu, paramedik dan

Syarifuddin Abdullah, Kak Leli, Fitri, Deni, Wanti, Yanti, atas kerjasama yang baik

selama ini.

13.Kepada Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes yang telah memberikan bantuan dan

bimbingan yang tulus dalam menyelesaikan penelitian ini.

Rasa hormat dan terima kasih saya yang setinggi-tingginya dan setulusnya penulis

tujukan kepada ayahanda Suwito dan ibunda Siti Fathonah yang sangat ananda sayangi dan

kasihi, tiada kata-kata yang tepat untuk mengucapkan perasaan hati, rasa terima kasih atas

segala jasa-jasanya ayahanda dan ibunda yang tiada mungkin terucapkan dan terbalaskan.

Demikian juga dengan mertua saya drs. Darlis Ilyas dan Wirda Bustami yang telah

mendukung, membimbing, menyemangati dan menasehati agar kuat dalam menjalani

pendidikan, saya ucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya. Semoga Allah memberikan

kesehatan dan kebahagian kepada orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi.

Kepada Istriku tercinta Dewi Anggraini, SE dan anakku tercinta Annisa Widya

(6)

dan dukungan yang telah diberikan selama ini, semoga apa yang kita capai ini dapat

memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kita dan diberkati Allah SWT.

Kepada saudara-saudaraku Rien Purwandari dan Romy Triwidyanto yang telah

banyak membantu, memberi semangat dan dorongan selama pendidikan, terima kasihku yang

tak terhingga untuk segalanya.

Kepada semua pihak baik perorangan maupun instansi yang tidak mungkin kami

ucapkan satu persatu yang telah membantu kami dalam menyelesaikan pendidikan spesialis

ini kami mengucapkan banyak terima kasih.

Akhirnya izinkanlah penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan

dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan dan

petunjuk yang diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat

balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT yang maha pengasih, maha pemurah dan maha

penyayang.

Amin ya Rabbal Alamin

Medan, Maret 2011

Penulis,

Dr. RUDY DWI LAKSONO

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR SINGKATAN... x

ABSTRAK... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah... 2

1.3 Hipotesis... 3

1.4 Tujuan Penelitian... 3

1.4.1 Tujuan Umum... 3

1.4.2 Tujuan Khusus... 3

1.5 Manfaat Penelitian... 3

1.6 Kerangka Konsepsional... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 4

2.1 Definisi dispepsia ... 4

2.2 Epidemiologi dipepsia ... 4

(8)

2.4 Patofisiologi dispepsia ... 7

2.5 Diagnosis dispepsia ... 10

2.6 Manajemen dispepsia ... 11

2.7 Peranan endoskopi pada dispepsia ………. 12

2.8 Skoring dispepsia ……… 13

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 17

3.1 Desain penelitian... 17

3.2 Waktu dan tempat penelitian... 17

3.3 Populasi terjangkau... 17

3.4 Kriteria yang diikutkan dalam penelitian... 17

3.5 Kriteria yang dikeluarkan dalam penelitian…... 18

3.6 Perkiraan besar sampel... 18

3.7 Cara penelitian... 19

3.8 Definisi operasional... 20

3.9 Analisa data... 21

3.10 Ethical clearance dan inform consent ………... 22

3.11 Kerangka operasional... 22

BAB IV HASIL PENELITIAN... 23

4.1 Karakteristik dasar populasi penelitian... 23

4.2 Hubungan skor dispepsia dan hasil endoskopis ……... 26

4.3 Hubungan skor dispepsia dan faktor demografi ……... 28

(9)

4.4 Hubungan skor dispepsia dan hasil laboratorium ……... 29

BAB V PEMBAHASAN... 30

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 35

6.1 Kesimpulan... 35

6.2 Saran... 35

DAFTAR PUSTAKA... 36

LAMPIRAN 1. Lembar informasi subjek penelitian... 43

LAMPIRAN 2. Lembar persetujuan subjek penelitian... 45

LAMPIRAN 3. Surat ijin komisi etik ... 46

LAMPIRAN 4. Lembar Kuesioner PADYQ... 47

LAMPIRAN 5. Master tabel hasil penelitian... 49

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 : Etiologi dispepsia ... 5

Tabel 2. : Mekanisme terjadinya gejala dispepsia ... 6

Tabel 3. :.Obat-obatan yang dapat menyebabkan keluhan dispepsia... 6

Tabel 4. : Gambaran alarm sign untuk dispepsia ... 10

Tabel 5. : Skala The Global Overall Symptoms (GOS) ... 15

Tabel 6. : Karakteristik gejala dispepsia dinilai dengan PADYQ ... 15

Tabel 7. : Data karakteristik dasar populasi penelitian ... 24

Tabel 8. : Distribusi rerata hasil laboratorium dasar responden ... 25

Tabel 9. : Rerata skor dispepsia ... 26

Tabel 10: Hasil uji statistik antara skor dispepsia dan gambaran endoskopi... 27

Tabel 11: Hasil uji statistik antara skor dispepsia dan faktor demografi... 28

Tabel 12: Hasil uji statistik antara skor dispepsia dan hasil laboratorium... 29

Tabel 13: Skala gejala pasien dispepsia ... 31

Tabel 14: Skala untuk mengetahui gejala dispepsia... 31

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1:. Pendekatan manajemen pasien dispepsia ... 12

Gambar 2:. Bagan Alur Penelitian... 24

Gambar 3:. Grafik hubungan antara skor dispepsia dan tingkat kerusakan

(12)

DAFTAR SINGKATAN

AS : Amerika Serikat

ASGE : American Society for Gastrointestinal Endoscopy

BB : Berat Badan

CI : Confidence Interval

Cm : Centimeter

EGD : Esofagus Gaster Duodenum

GOS : The Global Overall Symptoms

HP : Helicobacter Pylori

IMT : Indek Masa Tubuh

KTP : Kartu Tanda Penduduk

Kg : Kilogram

M : Meter

NIH : National Institutes of Health

NSAID : Non Steroid Anti Inflammatory Drugs

OAINS : Obat Anti Inflamasi Non Steroid

OR : Odds Ratio

PADYQ : The Porto Alegre Dyspeptic Symptoms Questionnaire

RS : Rumah Sakit

RSUP HAM : Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik

SGOT : Serum glutamic oxaloacetic transaminase

SGPT : Serum glutamic pyruvic transaminase

(13)

TNFα : Tumor Necrosis Factor Alpha

TB : Tinggi Badan

TD : Tekanan Darah

USG : Ultrasonografi

(14)

Abstrak

HUBUNGAN SKOR KEPARAHAN DISPEPSIA DENGAN TINGKAT KERUSAKAN MUKOSA LAMBUNG SECARA ENDOSKOPI

Rudy Dwi Laksono, Gontar A Siregar, Lukman Hakim Zain

Divisi Gastroentero Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP.H.Adam Malik Medan

Latar Belakang.

Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek praktis sehari-hari. Pemeriksaan endoskopi biasanya dilakukan untuk mengevaluasi keluhan dispepsia tersebut. Kuesioner telah dikembangkan untuk mengukur tingkat keparahan gejala gastrointestinal. Kuesioner tersebut dapat digunakan untuk mengukur gejala terutama respon terhadap pengobatan dengan lebih obyektif.

Tujuan :

Untuk mengetahui adanya hubungan antara skoring tingkat keparahan dan gambaran endoskopi pada pasien dispepsia

Bahan dan Cara :

Penelitian potong lintang, diskriptif analitik dilakukan terhadap 44 pasien dispepsia yang melakukan pemeriksaan secara rutin pada poliklinik Gastroentero Hepatologi RSUP HAM dan RS Permata Bunda Medan dari bulan November 2010 hingga Januari 2011. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, endoskopi dan skoring dispepsia dengan sistem PADYQ. Penilaian dengan mengunakan Uji Anova dan bentuk tabulasi yang didiskripsikan.

Hasil :

Terdapat korelasi positif antara skor keparahan dispepsia dengan sistem PADYQ terhadap tingkat keparahan kerusakan mukosa lambung secara endoskopis. Tidak terdapat korelasi antara skor dispepsia dengan faktor demografi dan hasil laboratorium, kecuali dengan jumlah lekosit (P=0,043)

Kesimpulan :

Skor keparahan dispepsia sistem PADYQ berkorelasi positif dengan tingkat kerusakan mukosa lambung secara endoskopi

Kata Kunci : skor keparahan dispepsa, tingkat kerusakan mukosa lambung, endoskopi.

(15)

Abstract

CORRELATION BETWEEN DYSPEPSIA SCORE AND LEVEL OF DAMAGE MUCOSA WITH ENDOSCOPY

Rudy Dwi Laksono, Gontar A Siregar, Lukman Hakim Zain

Division of Gastroentero Hepatology ,Departement of Internal Medicine University of Sumatera Utara/H.Adam Malik General Hospital, Medan-Indonesia.

Background

Dyspepsia is a clinical condition often encountered in practical day-to-day practice. Endoscopic examination is usually performed to evaluate these dyspeptic complaints. Questionnaires have been developed to measure the severity of gastrointestinal symptoms. The questionnaire can be used to measure symptoms, especially the response to treatment with more objective.

Objective :

To analyze the correlation between the severity dyspepsia scoring and endoscopic pattern in patients with dyspepsia

Materials and Methods :

A cross sectional study, descriptive analytic conducted of 44 patients with dyspepsia who perform regular checks on polyclinics Gastroentero Hepatology. HAM hospital, and Permata Bunda hospital from November 2010 until January 2011. Performed anamnesis, physical examination, laboratory, endoscopy and scoring of dyspepsia. Assessment using Anova test and form a stratified tabulation.

Result:

There is a positive correlation between dyspepsia score and the severity of endoscopic gastric mucosal damage. There is no correlation between dyspepsia score (PASYQ system) with demographic factors and laboratory results, except with leukocyte count (P = 0.043)

Conclusion :

Dyspepsia score (PADYQ system) correlated positively with the level of damage to gastric mucosa by endoscopy

(16)

Abstrak

HUBUNGAN SKOR KEPARAHAN DISPEPSIA DENGAN TINGKAT KERUSAKAN MUKOSA LAMBUNG SECARA ENDOSKOPI

Rudy Dwi Laksono, Gontar A Siregar, Lukman Hakim Zain

Divisi Gastroentero Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP.H.Adam Malik Medan

Latar Belakang.

Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek praktis sehari-hari. Pemeriksaan endoskopi biasanya dilakukan untuk mengevaluasi keluhan dispepsia tersebut. Kuesioner telah dikembangkan untuk mengukur tingkat keparahan gejala gastrointestinal. Kuesioner tersebut dapat digunakan untuk mengukur gejala terutama respon terhadap pengobatan dengan lebih obyektif.

Tujuan :

Untuk mengetahui adanya hubungan antara skoring tingkat keparahan dan gambaran endoskopi pada pasien dispepsia

Bahan dan Cara :

Penelitian potong lintang, diskriptif analitik dilakukan terhadap 44 pasien dispepsia yang melakukan pemeriksaan secara rutin pada poliklinik Gastroentero Hepatologi RSUP HAM dan RS Permata Bunda Medan dari bulan November 2010 hingga Januari 2011. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, endoskopi dan skoring dispepsia dengan sistem PADYQ. Penilaian dengan mengunakan Uji Anova dan bentuk tabulasi yang didiskripsikan.

Hasil :

Terdapat korelasi positif antara skor keparahan dispepsia dengan sistem PADYQ terhadap tingkat keparahan kerusakan mukosa lambung secara endoskopis. Tidak terdapat korelasi antara skor dispepsia dengan faktor demografi dan hasil laboratorium, kecuali dengan jumlah lekosit (P=0,043)

Kesimpulan :

Skor keparahan dispepsia sistem PADYQ berkorelasi positif dengan tingkat kerusakan mukosa lambung secara endoskopi

Kata Kunci : skor keparahan dispepsa, tingkat kerusakan mukosa lambung, endoskopi.

(17)

Abstract

CORRELATION BETWEEN DYSPEPSIA SCORE AND LEVEL OF DAMAGE MUCOSA WITH ENDOSCOPY

Rudy Dwi Laksono, Gontar A Siregar, Lukman Hakim Zain

Division of Gastroentero Hepatology ,Departement of Internal Medicine University of Sumatera Utara/H.Adam Malik General Hospital, Medan-Indonesia.

Background

Dyspepsia is a clinical condition often encountered in practical day-to-day practice. Endoscopic examination is usually performed to evaluate these dyspeptic complaints. Questionnaires have been developed to measure the severity of gastrointestinal symptoms. The questionnaire can be used to measure symptoms, especially the response to treatment with more objective.

Objective :

To analyze the correlation between the severity dyspepsia scoring and endoscopic pattern in patients with dyspepsia

Materials and Methods :

A cross sectional study, descriptive analytic conducted of 44 patients with dyspepsia who perform regular checks on polyclinics Gastroentero Hepatology. HAM hospital, and Permata Bunda hospital from November 2010 until January 2011. Performed anamnesis, physical examination, laboratory, endoscopy and scoring of dyspepsia. Assessment using Anova test and form a stratified tabulation.

Result:

There is a positive correlation between dyspepsia score and the severity of endoscopic gastric mucosal damage. There is no correlation between dyspepsia score (PASYQ system) with demographic factors and laboratory results, except with leukocyte count (P = 0.043)

Conclusion :

Dyspepsia score (PADYQ system) correlated positively with the level of damage to gastric mucosa by endoscopy

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek

praktis sehari-hari. Di Indonesia diperkirakan 30% kasus pada praktek umum dan 60% pada

praktek spesialis merupakan kasus dispepsia. Istilah dispepsia berkaitan dengan makanan dan

menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman

di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa,

regurgitasi dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan

atau didasari berbagai macam penyakit. 1

Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15-30% orang dewasa

pernah mengalami dispepsia dalam beberapa hari. Dari data di negara barat didapatkan

angka prevalensinya berkisar 7-14% tapi hanya 10-20% yang mencari pertolongan medis.

Angka insiden diperkirakan antara 1-8%.Belum ada data epidemiologi di Indonesia.1

Pemeriksaan endoskopi biasanya dilakukan untuk mengevaluasi keluhan dispepsia

tersebut. Panduan dari ASGE (American Society for Gastrointestinal Endoscopy)

merekomendasikan untuk dilakukan pemeriksaan endoskopi terutama pasien-pasien dengan

resiko tinggi, termasuk diantaranya pasien lebih dari 50 tahun dengan dispepsia baru

terdiagnosis, adanya gambaran gejala alaram (disfagia, penurunan berat badan, adanya

perdarahan saluran cerna, muntah), gejala yang berulang, dan menentukan terapi empiris

yang sesuai.2

(19)

Kuesioner telah dikembangkan untuk mengukur tingkat keparahan gejala

gastrointestinal. Kuesioner tersebut dapat digunakan untuk mengukur gejala terutama respon

terhadap pengobatan dengan lebih obyektif. Lebih luas lagi, kuesioner tersebut dapat

digunakan secara luas pada penelitian-penelitian seperti halnya untuk mengukur respon

pengobatan.3

Kuesioner yang dipakai antara lain dengan 4 atau 5 poin ordinal (Likert) yang sering

untuk mengukur tingkat keparahan individu dengan gejala dispepsia. Tetapi dikembangkan

juga dengan skala 7 poin yang lebih baik dibandingkan dengan 4 atau 5 poin untuk

mendeteksi sedikit perbedaan.4

Kenyataannya, mayoritas pasien dengan gejala dispepsia tidak terdeteksi kelainan

patologisnya pada pemeriksaan endoskopi. Di pihak lain, pengukuran gejala dispepsia

sangatlah penting karena tujuan pengobatan adalah mengurangi gejala dispepsia secara

adekuat.5

Untuk itulah dilakukan penelitian ini, karena sepanjang pengetahuan peneliti sampai

saat ini belum ada laporan tentang hubungan antara skor tingkat keparahan gejala dispepsia

dengan gambaran endoskopi pada pasien dispepsia di Indonesia.

1.2. Perumusan masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang penelitian diatas, dapat disusun rumusan

masalah sebagai berikut:

• Apakah ada hubungan antara skoring tingkat keparahan gejala dan gambaran

(20)

1.3. Hipotesis penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka hipotesa dari penelitian ini adalah

sebagai berikut :

• Ada hubungan antara skoring tingkat keparahan dan gambaran endoskopi pada pasien

dispepsia

1.4. Tujuan penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

• Untuk mengetahui pemakaian sistem skoring pada pasien dispepsia yang diadaptasi

untuk bahasa Indonesia.

1.4.2. Tujuan Khusus

• Untuk mengetahui adanya hubungan antara skoring tingkat keparahan dan gambaran

endoskopi pada pasien dispepsia

1.5. Manfaat penelitian

1. Untuk mengetahui sistem skoring yang memudahkan untuk klinisi mengukur tingkat

keparahan gejala pada pasien dispepsia sebelum dilakukan tindakan endoskopi.

2. Untuk bahan penelitian lebih lanjut

1.6. KERANGKA KONSEPSIONAL

Dispepsiaa Skoring Dispepsia

(21)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. DEFINISI DISPEPSIA

Istilah dispepsia berkaitan dengan makanan dan menggambarkan keluhan atau

kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah,

kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa, regurgitasi dan rasa panas yang

menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari berbagai macam

penyakit.1

Definisi dispepsia menurut kriteria Rome III adalah salah satu atau lebih gejala

dibawah ini : 6

• Rasa penuh setelah makan (yang diistilahkan postprandial distress syndrome)

• Rasa cepat kenyang (yang berarti ketidakmampuan untuk menghabiskan ukuran

makan normal atau rasa penuh setelah makan)

• Rasa nyeri epigastrik atau seperti rasa terbakar (diistilahkan epigastric pain

syndrome)

2.2. EPIDEMIOLOGI DISPEPSIA

Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek

praktis sehari-hari. Di Indonesia diperkirakan 30% kasus pada praktek umum dan 60% pada

praktek spesialis merupakan kasus dispepsia.1Di Amerika, prevalensi dispepsia sekitar 25%,

(22)

dengan baik, tetapi penelitian di Skandinavia menunjukkan dalam 3 bulan, dispepsia

berkembang pada 0,8% pada subyek tanpa keluhan dispepsia sebelumnya.6 Prevalensi

keluhan saluran cerna menurut suatu pengkajian sistematik atas berbagai penelitian berbasis

populasi (systematic review of population-based study) menyimpulkan angka bervariasi dari

11-41%. Jika keluhan terbakar di ulu hati dikeluarkan maka angkanya berkisar 4-14%.6

Dispepsia masih menimbulkan masalah kesehatan karena merupakan masalah

kesehatan yang kronik dan memerlukan pengobatan jangka panjang sehingga meningkatkan

biaya perobatannya. Walaupun gejalanya hanya singkat dan dapat diobati sendiri oleh pasien

tanpa berobat ke dokter.7

Dispepsia terjadi pada hampir 25% (dengan rentang 13%-40%) populasi tiap tahun

tetapi tidak semua pasien yang terkena dispepsia akan mencari pengobatan medis.

2.3. ETIOLOGI DISPEPSIA

Penyebab dispepsia dapat diklasifikasikan menjadi dispepsia organik dan dispepsia

fungsional. Penyebab dispepsia organik antara lain esofagitis, ulkus peptikum, striktura

esophagus jinak, keganasan saluran cerna bagian atas, iskemia usus kronik, dan penyakit

pankreatobilier.1 Sedangkan dispepsia fungsional mengeksklusi semua penyebab organik.

Etiologi dari dispepsia dapat dilihat pada tabel 1 dan dispepsia fungsional dapat dilihat pada

tabel 2.

Tabel 1. Etiologi dispepsia1

Esofago – gastro – duodenal Tukak peptik, gastritis kronis, gastritis NSAID, keganasan

Obat-obatan Antiinflamasi non steroid, teofilin, digitalis, antibiotik

Hepatobilier Hepatitis, Kolesistitis, Kolelitiasis, Keganasan, Disfungsi sfinkter Oddi

Pankreas Pankreatitis, keganasan

Penyakit sistemik lain Diabetes mellitus, penyakit tiroid, gagal ginjal, kehamilan, penyakit jantung koroner / iskemik

Gangguan fungsional Dispepsia fungsional, irritable bowel syndrome

(23)

Tabel 2. Mekanisme terjadinya gejala dispepsia pada dispepsia fungsional8

• Hipersensitivitas viseral

o Meningkatnya persepsi distensi

o Gangguan persepsi asam

o Hipersensitivitas viseral sebagai konsekuensi inflamasi kronik

• Gangguan motilitas

o Hipomotilitas antral post prandial

o Menurunnya relaksasi fundus gaster

o Menurunnya atau gangguan pengosongan lambung

o Refluks gastro-esofageal

o Refluks duodeno-gaster

• Perubahan sekresi asam

o Hiperasiditas

• Infeksi kuman Helicobacter pylori

• Stress

• Gangguan dan kelainan psikologis

• Predisposisi genetik

Beberapa obat dapat juga menyebabkan keluhan dispepsia seperti terlihat pada tabel

3. Pada umumnya adalah OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) yang dapat merusak

mukosa sehingga menyebabkan gastritis.9

Tabel 3. Obat-obatan yang dapat menyebabkan keluhan dispepsia10

• Acarbose

• Aspirin, Obat anti inflamasi non steroid

(24)

2.4. PATOFISIOLOGI DISPEPSIA

Patofisiologi dispepsia terutama dispepsia fungsional dapat terjadi karena

bermacam-macam penyebab dan mekanismenya. Penyebab dan mekanismenya dapat terjadi sendiri atau

kombinasinya. Pembagian dispepsia berdasarkan gejalanya, seperti tercantum diatas, adalah

untuk panduan manajemen awal terutama untuk dispepsia yang tidak terinvestigasi.11

Patofisiologinya yang dapat dibahas disini adalah :

1. Sekresi asam lambung dan keasaman duodenum

Hanya sedikit pasien dispepsia fungsional yang mempunyai hipersekresi asam

lambung dari ringan sampai sedang. Beberapa pasien menunjukkan gangguan

bersihan asam dari duodenum dan meningkatnya sensitivitas terhadap asam.12 Pasien

yang lain menunjukkan buruknya relaksasi fundus terhadap makanan. Tetapi paparan

asam yang banyak di duodenum tidak langsung berhubungan dengan gejala pada

pasien dengan dispepsia fungsional.13

2. Infeksi Helicobacter pylori

Prevalensi dan tingkat keparahan gejala dispepsia serta hubungannya dengan

patofisiologi gastrik mungkin diperankan oleh H pylori. Walaupun penelitian

epidemiologis menyimpulkan bahwa belum ada alasan yang meyakinkan terdapat

hubungan antara infeksi H pylori dan dispepsia fungsional.14 Tidak seperti pada ulkus

peptikum, dimana H pylori merupakan penyebab utamanya.15

3. Perlambatan pengosongan lambung

(25)

25-40% pasien dispepsia fungsional mempunyai perlambatan waktu pengosongan

lambung yang signifikan. Walaupun beberapa penelitian kecil gagal untuk

menunjukkan hubungan antara perlambatan waktu pengosongan lambung dengan

gejala dispepsia. Sebaliknya penelitian yang besar menunjukkan adanya perlambatan

waktu pengosongan lambung dengan perasaan perut penuh setelah makan, mual dan

muntah.16

4. Gangguan akomodasi lambung

Gangguan lambung proksimal untuk relaksasi saat makanan memasuki lambung

ditemukan sebanyak 40% pada pasien fungsional dispepsia yang akan menjadi

transfer prematur makanan menuju lambung distal.Gangguan dari akomodasi dan

maldistribusi tersebut berkorelasi dengan cepat kenyang dan penurunan berat badan.17

5. Gangguan fase kontraktilitas saluran cerna

Gangguan fase kontraksi lambung proksimal terjadi setelah makan dan dirasakan oleh

pasien sebagai dispepsia fungsional. Hubungannya memang belum jelas tetapi

mungkin berkontribusi terhadap gejala pada sekelompok kecil pasien.18

6. Hipersensitivitas lambung

Hiperalgesia terhadap distensi lambung berkorelasi dengan nyeri abdomen post

prandial, bersendawa dan penurunan berat badan. Walaupun disfungsi level

neurologis yang terlibat dalam hipersensitivitas lambung masih belum jelas.19

7. Disritmia mioelektrikal dan dismotilitas antro-duodenal

Penelitian tentang manometrik menunjukkan bahwa hipomotilitas antrum terdapat

pada sebagian besar pasien dispepsia fungsional tetapi hubungannya tidak terlalu kuat

(26)

umum ditemukan pada pasien tersebut, meskipun berkorelasi dengan perlambatan

pengosongan lambung tetapi tidak berkorelasi dengan gejala dispepsianya.20

8. Intoleransi lipid intra duodenal

Kebanyakan pasien dispepsia fungsional mengeluhkan intoleransi terhadap makanan

berlemak dan dapat didemonstrasikan hipersensitivitasnya terhadap distensi lambung

yang diinduksi oleh infus lemak ke dalam duodenum. Gejalanya pada umumnya

adalah mual dan perut kembung.21

9. Aksis otak – saluran cerna

Komponen afferen dari sistem syaraf otonomik mengirimkan informasi dari reseptor

sistem syaraf saluran cerna ke otak via jalur vagus dan spinal. Di dalam otak,

informasi yang masuk diproses dan dimodifikasi oleh fungsi afektif dan kognitif.

Kemudian otak mengembalikan informasi tersebut via jalur parasimpatik dan

simpatik yang akan memodulasi fungsi akomodasi, sekresi, motilitas dan

imunologis.22

10.Faktor psikososial

a. Korelasi dengan stress

b. Korelasi dengan hidup

c. Korelasi dengan kelainan psikiatri dan tipe kepribadian

d. Korelasi dengan kebiasaan mencari pertolongan kesehatan

11.Dispepsia fungsional pasca infeksi

Hampir 25% pasien dispepsia fungsional melaporkan gejala akut yang mengikuti

infeksi gastrointestinal.23

(27)

2.5. DIAGNOSIS DISPEPSIA

Untuk menegakkan diagnosis dispepsia, diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan laboratorium sederhana dan pemeriksaan tambahan, seperti pemeriksaan

radiologis dan endoskopi. Pada anamnesis, ada tiga kelompok besar pola dispepsia yang

dikenal yaitu :24

• Dispepsia tipe seperti ulkus (gejalanya seperti terbakar, nyeri di epigastrium terutama

saat lapar/epigastric hunger pain yang reda dengan pemberian makanan, antasida dan

obat antisekresi asam)

• Dispepsia tipe dismotilitas (dengan gejala yang menonjol yaitu mual, kembung dan

anoreksia)

• Dispepsia non spesifik

Tidak semua pasien dispepsia dilakukan pemeriksaan endoskopi dan banyak pasien

yang dapat ditatalaksana dengan baik tanpa pengobatan sehingga diagnosis secara klinis agak

terbatas kecuali bila ada alarm sign,25 seperti terlihat pada tabel 4. Bila ada salah satu atau

lebih pada tabel tersebut ada pada pasien, sebaiknya dilakukan pemeriksaan endoskopi.26

Tabel 4. Gambaran alarm sign untuk dispepsia.6 Umur ≥ 45 tahun (onset baru)

Perdarahan dari rektal atau melena Penurunan berat badan >10% Anoreksia

Muntah yang persisten Anemia atau perdarahan

(28)

Riwayat keluarga keganasan saluran cerna bagian atas Riwayat keganasan atau operasi saluran cerna sebelumnya Riwayat ulkus peptikum

Kuning (Jaundice)

Ulkus peptikum ditemukan pada hampir 5-15% pasien dengan dispepsia di Amerika

Utara. Ulkus duodenum yang kronik biasanya disebabkan oleh kuman Helicobacter pylori

(hampir 90% pasien terinfeksi) dan ulkus gaster kronik juga umumnya disebabkan kuman

yang sama (hampir 70% kasus) atau penggunaan OAINS, termasuk juga aspirin dosis

rendah.7

Dispepsia fungsional didefinisikan dengan adanya riwayat dispepsia paling tidak

minimal 3 bulan dan tidak ada bukti kerusakan struktrural secara nyata yang dapat

menjelaskan gejalanya. Kategori diagnostik ini mencakup hampir 60% pasien dispepsia.7

2.6. MANAJEMEN DISPEPSIA

Manajemen optimal dispepsia terutama pasien baru dengan dispepsia yang belum

terinvestigasi serta tidak ada gambaran alarm, didominasi oleh pengobatan H pylori secara

empiris dengan antibakteri.Pada pengobatan tingkat pertama, terapi antisekretori secara

empiris juga masih popular.27 Manajemen dispepsia tanpa gambaran alarm meliputi :7

1. Supresi asam secara empiris

2. Pemeriksaan H pylori non invasif dengan urea breath test, serologi, pemeriksaan

antigen feses dan pemeriksaan endoskopi untuk kasus yang positif

3. Pemeriksaan H pylori non invasif dan eradikasi bila positif

4. Terapi eradikasi empiris H pylori tanpa pemeriksaan

5. Endoskopi dini

(29)

Pada dispepsia dengan gambaran alarm, diperlukan manajemen awal dengan

pemeriksaan endoskopi.Manajemen selanjutnya tergantung dari hasil endoskopi

tersebut.Selengkapnya dapat dilihat pada gambar 1.7

Pada dispepsia fungsional, manajemennya hampir sama dengan dispepsia tanpa

gambaran alarm, antara lain dengan penekan asam secara empiris, prokinetik, eradikasi H

pylori dan terapi psikologis.28

Gambar 1. Pendekatan manajemen pasien dispepsia.29

(30)

Mayoritas pasien dengan dispepsia hasil pemeriksaan endoskopinya normal.30 Pada

penelitian di Kanada dengan pasien dispepsia yang belum dilakukan tindakan endoskopi

pada pelayanan kesehatan primer, menyimpulkan bahwa kebanyakan yang ditemukan adalah

esofagitis (43%), ulkus peptikum (5%), adekarsinoma lambung dan esophagus (<1%),

dengan H pylori yang kebanyakan negative dan penggunaan OAINS yang sedikit.31

Pemeriksaan endoskopi mempunyai beberapa keuntungan. Diantaranya untuk

menegakkan diagnosis yang dapat menunjukkan adanya kelainan atau abnormalitas seperti

esofagitis atau ulkus serta meningkatkan kepuasan pasien.32

Temuan yang dapat ditemukan pada pemeriksaan endoskopi lambung antara lain :33

1. Normal

2. Gastritis (akut atau kronis)

3. Ulkus gaster

4. Massa

5. Keganasan

6. Hipertensi portal

7. Perubahan setelah operasi

8. Lain-lain kelainan yang jarang ditemukan

2.8. SKORING DISPEPSIA

Untuk pasien dengan ulkus peptikum, data dari penelitian random terkontrol

menunjukkan bahwa pengobatan yang baik untuk infeksi H pylori akan mengurangi resiko

kekambuhan ulkus. Atas dasar ini, konsensus NIH merekomendasikan untuk pasien dengan

ulkus sebaiknya dilakukan pemeriksaan H pylori dan jika terbukti ada infeksi, sebaiknya

diterapi dengan antimikroba. Tetapi belum ada konsensus, terutama pada pelayanan

(31)

kesehatan primer untuk pasien dispepsia yang belum dilakukan endoskopi dan tidak ada

alarm sign. Instrumen yang efektif diperlukan untuk mengukur kondisi kesehatan yang

berhubungan dengan dispepsia. Instrumen tersebut haruslah dapat dipercaya dan valid, cukup

dapat mencakup rentang pengukuran yang cukup luas, dan menghasilkan skor interval yang

sama. Untuk itu dikembangkan instrumen yang berupa kuesioner untuk mengukur kondisi

dispepsia pasien yang belum dilakukan tindakan endoskopi.34

Kuesioner dikembangkan telah dikembangkan untuk mengukur tingkat keparahan

gejala gastrointestinal. Kuesioner tersebut dapat digunakan untuk mengukur gejala terutama

gejala terhadap pengobatan dengan lebih obyektif. Lebih luas lagi, kuesioner tersebut dapat

digunakan secara luas pada penelitian-penelitian untuk mengukur respon pengobatan.

Kuesioner yang dipakai antara lain dengan 4 atau 5 poin ordinal (Likert) yang sering

untuk mengukur tingkat keparahan individu dengan gejala dispepsia. Tetapi dikembangkan

juga dengan skala 7 poin yang lebih baik dibandingkan dengan 4 atau 5 poin untuk

mendeteksi sedikit perbedaan.

Skoring yang dipakai adalah The Global Overall Symptom (GOS) yang terdiri dari

skala 7 poin yang diadaptasi dari skoring sebelumnya yang hanya 5 poin.35 Skor GOS

merupakan sistem skoring yang dilaporkan sendiri oleh pasien setelah pasien membaca

sendiri kuesioner tersebut. Alternatif lain dapat juga dibacakan oleh pemeriksa kepada

pasien. Pasien ditanyakan tentang derajat keparahan secara keseluruhan dari gejala dispepsia

mereka yang didefinisikan gejala pada perut atas (yang berlokasi di antara tulang dada dan

pusat) selama periode tertentu, dapat 28 hari (GOS28) atau 2 hari (GOS2).4 Skoring GOS

(32)

Tabel 5. Skala The Global Overall Symptoms (GOS)35

Mohon kiranya dipikirkan masak-masak tentang gejala yang anda alami karena masalah perut anda (selama periode tertentu). Hal ini sangat penting untuk info tentang kondisi kesehatan anda.

Sesuai dengan skala dibawah, mohon dilingkari tingkat keparahan seluruh gejala Perut anda (selama periode tertentu)

1. Tidak ada masalah

2. Masalah minimal (dapat dengan mudah diabaikan tanpa usaha) 3. Masalah ringan (dapat diabaikan dengan usaha)

4. Masalah sedang (tidak dapat diabaikan tetapi tidak mempengaruhi kegiatan sehari-hari)

5. Masalah sedang berat (tidak dapat diabaikan dan kadang-kadang mengganggu kegiatan sehari-hari 6. Masalah berat (tidak dapat diabaikan dan sering membatasi konsentrasi dalam kegiatan sehari-hari 7. Masalah sangat berat (tidak dapat diabaikan dan sangat mengganggu kegiatan sehari-hari dan sering

harus beristirahat karena masalah tersebut)

Ada juga kuesioner yang dikembangkan untuk pasien dispepsia dengan beberapa

mendeskripsikan beberapa gejala dispepsia. Kuesioner ini telah diuji kepercayaannya dan

telah dipakai untuk bermacam-macam ras serta bangsa. Lebih lanjut kuesioner tersebut dapat

dilihat pada tabel 6.36

Tabel 6. Karakteristik gejala dispepsia yang dinilai dengan PADYQ36

(33)

Kenyataannya, mayoritas pasien dengan gejala dispepsia tidak terdeteksi kelainan

patologisnya pada pemeriksaan endoskopi. Di pihak lain, pengukuran gejala dispepsia

sangatlah penting karena tujuan pengobatan adalah mengurangi gejala dispepsia secara

(34)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian.

Penelitian ini dilakukan secara potong lintang yang bersifat deskriptif analitik.

3.2 Waktu dan tempat Penelitian.

• Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 hingga Januari 2011.

• Penelitian dilaksanakan di bagian Endoskopi Divisi Gastroentero

Hepatologi, Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik (RSUP HAM)

dan Rumah Sakit Permata Bunda di Medan, Sumatera Utara.

3.3 Populasi Terjangkau.

Penderita Dispepsia yang dilakukan endoskopi yang berumur diatas 18 tahun baik

pria maupun wanita yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala di poliklinik

Gastroentero Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam (RSUP.HAM) dan RS Permata

Bunda di Medan.

3.4 Kriteria yang diikutkan dalam penelitian.

• Subjek penelitian yang berumur diatas 18 tahun baik pria maupun

wanita.

• Subyek yang menerima informasi serta memberikan persetujuan ikut

serta dalam penelitian secara sukarela dan tertulis (informed concent)

(35)

untuk menjalani pemeriksaan fisik, laboratorium, Ultrasonografi

abdomen dan Endoskopi.

• Subjek tidak termasuk dalam kriteria yang dikeluarkan dalam penelitian.

3.5 Kriteria yang dikeluarkan dalam penelitian.

• Sedang menggunakan obat OAINS.

• Menderita gangguan fungsi hati

• Menderita gangguan fungsi ginjal • Diabetes Mellitus

• Perdarahan saluran cerna bagian atas

• Kehamilan

3.6 Perkiraan besar sampel

Perkiraan besar sampel Besar sampel dengan memakai rumus :

(Z α)2 PQ

n =

d2

Dimana :

zα = nilai normal berdasarkan α = 0,05 dan zα = 1,96

P = prevalensi dispepsia = 0,3.

Q = 1 – 0,3 = 0,7

d = besarnya penyimpangan, ditentukan 20% 36

(1,96) 2 (0,6)(0,4) 3,84 x 0,21

n =

(0,2) 2

=

20 orang

(36)

3.7. Cara Penelitian

Pada semua penderita yang masuk dalam penelitian diminta memberikan persetujuan

tertulis (informed concent) dan dilakukan pemeriksaan sebagai berikut:

a. Dilakukan anamnesis untuk mendapatkan data : umur, jenis kelamin, pekerjaan,

pendidikan, keluhan utama, dan riwayat penggunaan obat-obatan terutama OAINS.

b. Dilakukan pemeriksaan Tinggi Badan (TB) dalam satuan meter (m), Berat Badan

(BB) dalam satuan Kilogram (kg).

c. Dilakukan pemeriksaan Tekanan Darah (TD) dengan menggunakan

sphygmomanometer air raksa, dimana sebelumnya penderita diistirahatkan selama 5

menit. Pengukuran dilakukan pada lengan sebelah kanan sebanyak dua kali dan

diambil reratanya.

d. Dilakukan pemeriksaan fisik diagnostik pada semua sampel.

e. Dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya berupa : laboratorium yang meliputi darah

rutin, pemeriksaan faal hati, faal ginjal dan kadar gula darah puasa, 2 jam setelah

makan atau random yang di periksa di bagian Patologi Klinik rumah sakit dimana

sampel diperiksa, serta pemeriksaan ultrasonografi abdomen oleh seorang konsultan

gastroentero hepatologi.

f. Dilakukan skor dispepsia dengan cara wawancara dengan sampel, pengisian

kuesioner tersebut dipandu oleh peneliti.

g. Dilakukan pemeriksaan endoskopi oleh seorang konsultan gastroentero hepatologi

dan hasilnya ditabulasi.

3.8. Definisi operasional

(37)

a. Sampel penelitian : penderita dispepsia yang menjalani pemeriksaan kesehatan

secara teratur di poliklinik Gastroentero Hepatologi RSUP H. Adam Malik dan

RS Permata Bunda serta praktek swasta konsultan gastroentero hepatologi di

Medan selama periode penelitian dan sudah memberikan izin tertulisnya untuk

mengikuti penelitian ini.

b. Usia : Usia berdasarkan yang tertera di kartu tanda penduduk (KTP) dengan

satuan hasil berupa tahun.

c. Jenis kelamin : Berdasarkan yang tertera di kartu tanda penduduk (KTP) dengan

hasil pria atau wanita.

d. Pekerjaan dan Pendidikan : Ditanyakan secara lisan dengan penderita secara

langsung.

e. Dispepsia adalah anamnesis yang didapat dari pasien, dapat dibagi menjadi :

o Dispepsia tipe seperti ulkus (gejalanya seperti terbakar, nyeri di epigastrium

terutama saat lapar/epigastric hunger pain yang reda dengan pemberian

makanan, antasida dan obat antisekresi asam)

o Dispepsia tipe dismotilitas (dengan gejala yang menonjol yaitu mual,

kembung dan anoreksia)

o Dispepsia non spesifik

f. Pemeriksaan endoskopi adalah pemeriksaan gastroskopi yang dilakukan oleh

dokter spesialis penyakit dalam konsultan gastroentero hepatologi.

g. Skor dispepsia adalah skoring keparahan dispepsia yang sudah diteliti pada

penelitian sebelumnya, dengan skoring PADYQ system sebagai berikut :

(38)

Nyeri di abdomen atas

h. Gambaran endoskopi adalah kesimpulan hasil endoskopi yang didapat setelah

dilakukan pemeriksaan endoskopi oleh konsultan gastroentero hepatologi, yang

dapat dibagi menjadi :37 38

1. Normal

2. Gastritis

3. Ulkus

4. Keganasan

5. Massa

6. Lain-lain (hal yang jarang ditemui)

3.9 Analisa Data.

• Untuk menampilkan data-data demografi ditabulasi dan di diskripsikan. • Untuk menilai hubungan skor gastritis dengan derajat kerusakan mukosa

lambung disajikan dengan mengunakan uji Anova.

(39)

• Data diolah dan dianalisa dengan mengunakan program SPSS

Version-15 dengan batas kemaknaan p<0,05.

3.10. Ethical Clearance dan informed consent.

Ethical clearance diperoleh dari Komite Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang ditanda tangani oleh Prof. Dr. Sotomo

Kasiman, SpPD, SpJP (K), dengan nomor 261/KOMET/FK USU/2010, tanggal 5 November

2010.

Informed consent diminta secara tertulis dari subjek penelitian yang bersedia untuk

ikut dalam penelitian setelah mendapatkan penjelasan mengenai maksud dan tujuan

penelitian ini.

3.11. Kerangka Operasional

Pasien

Dispepsia Skoring dispepsia

(40)

HASIL PENELITIAN

4.1. Karakteristik dasar populasi penelitian

Selama periode penelitian yang dilakukan dari tanggal 1 November 2010 sampai

dengan 31 Januari 2011 diperoleh sampel penelitian sebanyak 49 orang. Dengan keluhan

utamanya nyeri ulu hati. Dari 49 responden dilakukan pemeriksaan awal yang terdiri dari :

data identitas pribadi, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang meliputi darah

rutin, pemeriksaan fungsi ginjal, fungsi hati, kadar gula darah dan ultrasonografi abdomen. 5

orang responden dikeluarkan dari penelitian karena 3 orang dari hasil ultrasonografi

abdomennya terdapat batu empedu dan 2 orang menderita Diabetes Melitus sehingga yang

masuk dalam kriteria inklusi 44 orang yang terdiri dari 22 orang pria dan 22 orang wanita.

Dari sampel tersebut dilakukan skoring dispepsianya dan pemeriksaan endoskopi oleh

konsultan gastroentero hepatologi. Hasil skoring dijumlahkan dan ditabulasi. Hasil endoskopi

juga dicatat dan ditabulasi.

(41)

Gambar 2. Bagan Alur Penelitian

Tabel 7. Data karakteristik dasar populasi penelitian

(42)

Dari data karakteristik responden yang ada pada tabel 7, ada 44 orang responden yang

terdiri dari 22 orang pria dan 22 orang wanita. Rerata usia yang masuk dalam penelitian ini

adalah pria 50,95 ± 16,53 tahun dan wanita 44,09 ± 16,35 tahun. Tingkat pendidikannya

tertinggi adalah Sarjana dan terendah adalah tidak sekolah. Suku terbagi menjadi suku Batak,

Jawa, Padang dan Aceh. Untuk Indeks Massa Tubuh pria reratanya adalah 22,46 ± 4,39

kg/m2 dan wanita 23,43 ± 4,50 kg/m2.

Hasil laboratorium dasar (darah rutin, fungsi hati, fungsi ginjal dan kadar gula darah)

reratanya dapat dilihat pada tabel 8, dengan hasil dalam batas normal dan tidak ada

perbedaan signifikan antara pria dan wanita (P=0,887). Dengan hasil Ultrasonografi abdomen

seluruh responden penelitian adalah normal.

Tabel 8. Distribusi rerata hasil laboratorium dasar responden

(43)

4.2. Hubungan skor dispepsia dengan hasil endoskopis

Pada penilaian data hubungan antara skor dispepsia dan hasil endoskopi, sebelum

dilakukan penilaian signifikansi pada masing-masing kelompok dilakukan tes homogeneity of

variances, dimana hasil yang didapatkan P = 0,047, karena P < 0,05 maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa P bermakna sehingga bisa dilanjutkan perhitungan statistiknya

menggunakan uji Anova.

Pada tabel 9 dibawah, terlihat bahwa hasil yang terbanyak untuk endoskopi adalah

gastritis diikuti normal dan ulkus. Untuk skor dispepsianya, terlihat semakin tinggi skor

dispepsianya maka semakin parah gambaran endoskopinya, baik pada pria maupun wanita.

Tabel 9. Rerata skor dispepsia

Pria Wanita

Hasil endoskopi Normal

Gastritis Ulkus

- 21

1

4 16

2 Rerata Skor

Kreatinin (mg/dl) 0,93 ± 0,28 0,80 ± 0,12 Kadar Gula

Random (mg/dl)

(44)

dispepsia

Pada tabel 10 dibawah digambarkan hubungan antara skor dispepsia dengan hasil

endoskopi. Setelah dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan uji Anova untuk

melihat signifikansi diantara kelompok pada masing-masing tingkat kerusakan mukosa

lambung sesuai hasil endoskopi, tidak dijumpai perbedaan signifikan antara normal dan

gastritis, P = 0,050. Tetapi antara skor dispepsia dan hasil endoskopi yang membandingkan

antara gastritis dan ulkus didapatkan hasil yang bermakna secara statistik dimana didapatkan

nilai P = 0,043 (P < 0,05). Yang membandingkan antara normal dan ulkus juga berbeda

bermakna secara statistik yang didapatkan nilai, P = 0,040 (P < 0,05).

Tabel 10. Hasil uji statistik antara skor dispepsia dan gambaran endoskopi (*bermakna)

P

Dibawah ini digambarkan grafik dari hubungan antara skor dispepsia dan tingkat

kerusakan mukosa lambung yang dinilai secara endoskopi.

(45)

Gambar 3. Grafik hubungan antara skor dispepsia terhadap tingkat kerusakan mukosa

lambung yang dinilai secara endoskopi.

Dari grafik diatas, jelas terlihat bahwa skor dispepsia akan semakin meningkat

dengan semakin parahnya tingkat kerusakan mukosa lambung yang dalam hal ini dibuktikan

secara endoskopi.

4.3. Hubungan antara skor dispepsia dan faktor demografi

Pada tabel 11, menggambarkan hubungan skor dispepsia dengan faktor-faktor

demografi responden, antara lain umur, jenis kelamin, suku bangsa dan tingkat pendidikan

responden. Setelah dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan uji Anova untuk

Hasil Endoskopi

Ulkus Gastritis

Normal 22.5

Rer

a

ta Sko

r D

isp

ep

sia

20

17.5

15

(46)

melihat signifikansi diantara kelompok faktor demografi ternyata tidak dijumpai perbedaan

signifikan antara skor dispepsia dengan umur dimana nilai P = 0,271. Antara skor dispepsia

dan jenis kelamin tidak ada perbedaan signifikan dimana nilai P = 0,106. Antara skor

dispepsia dan suku bangsa juga tidak ada perbedaan signifikan dimana nilai P = 0,321 serta

antara skor dispepsia dan tingkat pendidikan juga tidak ada perbedaan signifikan dimana nilai

P = 0,380. Demikian juga antara skor dispepsia dan Indeks Massa Tubuh, tidak ada

perbedaan signifikan dimana nilai P = 0,055.

Tabel 11. Hasil uji statistik antara skor dispepsia, faktor demografi dan Indeks Massa Tubuh

P

Umur 0.271

Jenis

kelamin

0,106

Suku 0,321

Tingkat

pendidikan

0,380

IMT 0,055

4.4. Hubungan antara skor dispepsia dan hasil laboratorium

Pada tabel 12, menggambarkan hubungan skor dispepsia dengan hasil laboratorium.

Setelah dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan uji Anova untuk melihat

signifikansi diantara kelompok hasil laboratorium ternyata tidak dijumpai perbedaan

signifikan antara skor dispepsia dengan kadar hemoglobin dimana nilai P = 0,361. Antara

skor dispepsia dan jumlah lekosit ada perbedaan signifikan dimana nilai P = 0,043. Antara

skor dispepsia dan jumlah trombosit tidak ada perbedaan signifikan dimana nilai P = 0,131

serta antara skor dispepsia dan kadar bilirubin total tidak ada perbedaan signifikan dimana

(47)

nilai P = 0,701. Antara skor dispepsia dan kadar SGOT dan SGPT tidak ada perbedaan

signifikan dimana nilai P masing-masing adalah 0,301 dan 0,614. Antara skor dispepsia dan

kadar ureum serta kreatinin tidak ada perbedaan signifikan dimana nilai P masing-masing

adalah 0,229 dan 0,842. Serta tidak ada perbedaan signifikan antara skor dispepsia dan kadar

gula darah dimana nilai P = 0,580.

Tabel 12. Hasil uji statistik antara skor dispepsia dan hasil laboratorium (*signifikan)

P

Kadar

Hemoglobin

0,361

Jumlah

Lekosit

0,043*

Jumlah

Trombosit

0,131

Kadar

Bilirubin

0,701

SGOT 0,301

SGPT 0,614

Ureum 0,229

Kreatinin 0,842

Kadar Gula

Darah

(48)

BAB V

PEMBAHASAN

Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek

praktis sehari-hari. Di Indonesia diperkirakan 30% kasus pada praktek umum dan 60% pada

praktek spesialis merupakan kasus dispepsia. Pemeriksaan endoskopi biasanya dilakukan

untuk mengevaluasi keluhan dispepsia tersebut. Panduan dari ASGE (American Society for

Gastrointestinal Endoscopy) merekomendasikan untuk dilakukan pemeriksaan endoskopi

terutama pasien-pasien dengan resiko tinggi, termasuk diantaranya pasien lebih dari 50 tahun

dengan dispepsia baru terdiagnosis, adanya gambaran gejala alaram (disfagia, penurunan

berat badan, adanya perdarahan saluran cerna, muntah), gejala yang berulang, dan

menentukan terapi empiris yang sesuai.2

Pemeriksaan endoskopi merupakan baku emas untuk pasien dispepsia karena

langsung untuk dilakukan diagnostik (mengetahui penyakit yang mendasarinya seperti ulkus

peptikum, esofagitis atau keganasan) dan sekaligus terapi bila diperlukan. Tetapi harus juga

dipertimbangkan masalah biaya yang timbul untuk tindakan tersebut. Biaya untuk di

Amerika, pemeriksaan endoskopi kurang lebih 500$. Sehingga penggunaan skoring yang

sederhana akan banyak mengurangi pemeriksaan endoskopi, kecuali terdapat tanda-tanda

alarm.39

Belum ada konsensus menggunakan metode yang optimal untuk mengukur keparahan

gejala dispepsia di penelitian klinis. Pasien yang mengeluhkan gejala dispepsia yang tidak

dilakukan tindakan endoskopi diklasifikasikan dengan dispepsia yang tidak terinvestigasi

(uninvestigated dyspepsia). Diagnosis dispepsia fungsional digunakan bila pada pemeriksaan

(49)

endoskopi tidak ditemukan kelainan dan gangguan struktural yang dapat menjelaskan gejala

dispepsianya.4

Telah banyak dikembangkan kuesioner untuk mengukur keluhan gastrointestinal

terutama mengukur keluhan sebelum dan setelah pengobatan. Hal ini terutama untuk

mendokumentasikan adanya perubahan sebelum dan setelah pengobatan yang akan

berpengaruh pada status kesehatan pasien. Akhirnya pasien dengan kelainan organik juga

sebaiknya terjadi proses penyembuhan pada lesinya yang berhubungan dengan gejala yang

dialaminya.40 Salah satu diantaranya kuesioner yang sederhana seperti terlihat pada tabel 13

dibawah ini.

Tabel 13. Skala gejala pasien dispepsia 40

Keparahan Frekuensi

1 Tidak ada 1 –

2 Ringan 2 < 2 kali/minggu

3 Moderat 3 > 3 kali/minggu, tidak setiap hari

4 Berat 4 setiap hari, intermiten

5 Sangat berat 5 Setiap hari, hampir kontinu

Penelitian lain yang sudah dilakukan untuk mengevaluasi gejala dispepsia melalui

skoring dispepsia dihubungkan dengan hasil akhir (outcome) dispesia dapat dilihat pada tabel

14 dibawah ini.41

Tabel 14. Skala untuk mengevaluasi gejala dan hasil akhir pada dispepsia41

Alat ukur dispepsia Evaluasi hasil akhir Jumlah item

Glasgow Dyspepsia Severity Pengaruh dispepsia 7

Scale (GDSS) (fungsi)

Aberdeen Dyspesia Questionnaire (ADQ) Pengaruh dispepsia 12

(50)

Gastrointestinal Rating Scale (GSRS) Gejala/fungsi 15

Dyspepsia Symptom Severity Index (DSSI) Gejala 20

Nepean Dyspesia Index (NPI) Gejala/fungsi/ 42

Kualitas hidup

Quality of Life in Reflux and Kualitas hidup 25

Dyspepsia (QOLRAD)

Quality of Life in Peptic Disease-32 Kualitas hidup 30

(QPD-32)

Functional Digestive Disorders Quality Kualitas hidup 43

Of Life (FDDQL) Questionnaire

Kuesioner telah dikembangkan sebagai salah satu instrument untuk memonitor dan

mengevaluasi keluhan gastrointestinal.42 Telah banyak diteliti berbagai macam kuesioner.

Kuesioner telah dikembangkan untuk mengukur keluhan dan tingkat keparahan gejala

gastrointestinal. Kuesioner bahkan dapat mengukur respon gejala simptomatis terhadap

pengobatan dengan lebih obyektif.43 Kuesioner yang dipakai dalam penelitian ini dengan

menggunakan The Porto Alegre Dyspeptic Symptoms Questionnaire (PADYQ) yang telah

divalidasi melalui penelitian sebelumnya, sehingga mudah digunakan walaupun berbeda

bahasa dan berbeda peneliti.36 Kuesioner sebaiknya mudah penggunaannya, tidak terkendala

bahasa ataupun orang yang menginvestigasinya, dan sudah divalidasi pada

penelitian-penelitian.35 Pada penelitian ini dengan menggunakan kuesioner PADYQ yang telah

divalidasi pemakaiannya, baik pada ras maupun bahasa yang berbeda. Pada penelitian ini

memang dipakai sistem skoring dengan PADYQ karena sistem ini lebih menggambarkan

keluhan dispepsia dibandingkan dengan sistem skoring yang lain.

Skoring sistem yang didesain sesuai kriteria demografi dan klinis secara statistic

dapat membedakan pasien dengan resiko lebih besar pada dispepsia organik, khususnya

ulkus.44 Lebih jauh lagi, scoring diperlukan bila pemeriksaan pertama meragukan sehingga

dapat lebih terseleksi pasien untuk dilakukan pemeriksaan endoskopi sebagai tindakan

(51)

selanjutnya.44 Suatu penelitian di Belanda menemukan bahwa pemakaian scoring akan

meningkatkan kemungkinan ditemukannya ulkus terutama pada pasien dengan infeksi

Helicobacter pylori.45 Walaupun secara umum, sistem scoring belumlah menjadi panduan

untuk manajemen dispepsia.44 Pada penelitian ini terdapat korelasi antara hasil skoring yang

didapat dengan gambaran tingkat kerusakan lambung yang dinilai secara endoskopis,

semakin tinggi skoringnya maka semakin parah tingkat kerusakan lambungnya.

Kuman Helicobacter pylori yang sering menyebabkan inflamasi kronis pada

lambung.Inflamasi kronis inilah yang menyebabkan gastritis kronik, yang bisa berlanjut

menjadi ulkus peptikum dan adenokarsinoma lambung.46 Gastritis karena Helicobacter

pylori biasanya tidak dapat didiagnosis secara endoskopis karena mukosa gaster yang

kemerahan sering pemeriksaan histopatologisnya normal, sehingga gastritis merupakan

inflamasi secara histologis yang dapat terjadi pada mukosa yang tampaknya normal.47

Selanjutnya akan terjadi ulkus peptikum yang terjadi karena adanya defek pada mukosa

lambung yang bisa sampai pada lapisan muskularisnya.48 Hal tersebut yang dapat

menjelaskan adanya perbedaaan skor gastritis antara normal dan gastritis (walaupun tidak

signifikan secara statistik), dan gastritis dan ulkus serta normal dan ulkus yang berbeda skor

gastritisnya (signifikan secara statistik). Dari hal tersebut dapat ditarik suatu pernyataan

bahwa semakin tinggi nilai skor gastritisnya semakin parah gambaran gastroskopinya (mulai

dari normal, gastritis dan ulkus).

Variabel umur, jenis kelamin, suku, tingkat pendidikan, indeks massa tubuh, hasil

laboratorium tidak bermakna secara statistik bila dihubungkan dengan skor gastritis, kecuali

jumlah lekosit bermakna secara statistik (P=0,043). Pada penelitian yang dilakukan oleh

(52)

patofisiologi secara gender (jenis kelamin), didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan

secara epidemiologis dispepsia terhadap jenis kelamin.49 Hal tersebut sesuai dengan hasil

penelitian bahwa tidak ada perbedaan bermakna variabel umur bila dibandingkan dengan

skor gastritis (yang dalam penelitian ini dibuktikan ada korelasi dengan tingkat kerusakan

mukosa lambung), sesuai dengan tabel 10.

Pada gastritis terutama yang disebabkan oleh infeksi kuman Helicobacter pylori, akan

terjadi infiltrasi mukosa yang didominasi oleh lekosit netrofil. Jika infeksi ini berlanjut akan

terjadi inflamasi aktif yang akan didominasi netrofil, makrofag (CD14), limfosit (CD4, CD8

dan CD19) serta sel plasma.50 Hal inilah yang dapat menjelaskan hubungan yang bermakna

antara jumlah lekosit dan skor dispepsia.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Delaney dkk di Inggris selama 12 bulan,

disimpulkan bahwa endoskopi yang dilakukan pada umur > 50 tahun, akan terjadi

peningkatan kualitas hidup terutama nyeri yang dialami dan penggunaan obat penghambat

proton akan berkurang 48% serta terjadi penurunan skor gejala dispepsianya setelah

endoskopi.51 Pada penelitian ini, gambaran endoskopinya adalah ulkus didapatkan rata-rata

umur > 50 tahun. Sesuai dengan alarm sign, bahwa > 45 tahun sebaiknya dilakukan

endoskopi bila dispepsianya merupakan onset baru.

Endoskopi sudah digunakan lebih dari 2 dekade dan dapat mendiagnosis penyebab

dispepsia.52 Kebanyakan pasien dyspepsia tidak mengalami gejala gambaran alarm.53 Seperti

pada penelitian ini, seluruhnya hanya mengeluhkan nyeri ulu hati, tidak ada yang

mengeluhkan keluhan gejala alarm (alarm sign), seperti pada tabel 4.

(53)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

Dari hasil yang didapat pada penelitian ini dan pembahasannya dapat diajukan

kesimpulan sebagai berikut :

1. Terdapat korelasi positif antara skor dispepsia terhadap tingkat keparahan

kerusakan mukosa lambung secara endoskopis

2. Semakin besar nilai skor dispepsianya, semakin parah tingkat kerusakan

mukosa lambungnya secara endoskopis (mulai dari normal, gastritis dan

ulkus)

5.2. SARAN

1. Pada penderita dispepsia, sebaiknya dilakukan skoring dispepsianya,

untuk memperkirakan kelainan dan tingkat keparahan mukosa

lambungnya sebelum dilakukan tindakan endoskopi.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk skor dispepsia dengan jumlah

sampel yang lebih besar, angka rata-rata untuk skor dispepsia sistem

PADYQ yang dapat memperkirakan kelainan mukosa lambung untuk

(54)

DAFTAR PUSTAKA

1. Djojoningrat D. Dispepsia Fungsional. Dalam: Sudoyo AW (ed). Buku ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Jilid I edisi IV. BP FK UI. Jakarta. 2006. 354-6

2. Lieberman D, Fennerty MB, Morris CD, et al. Endoscopic evaluation of patients with

Dyspepsia: Results from the National Endoscopic Data Repository. Gastroenterology

2004;127:1067-75

3. Ofman JJ, Shaw M, Sadik K, Grogg A, Emery K, Lee J, Reyes E, Fullerton S:

Identifying patients with gastroesophageal reflux disease: validation of a practical

screening tool. Dig Dis Sci 2002;47:1863-9

4. Veldhuyzen van Zanten SJO, Chiba N, Armstrong D, et al. Validation of a 7-point

Global Overall Symptom scale to measure the severity of dyspepsia symptoms in

clinical trials. Alimentary Pharmacology & Treatment 2006;23:S21-9

5. Bovenschen HJ, Janssen MJR, van Oijen MGH, et al. Evaluation of a Gastrointestinal

Symptoms Questionnaire. Dig Dis Sci 2006;51:1509-15

6. Talley NJ. Dyspepsia. Gastroenterology 2003;128:1219-26

7. American Gastroenterological Association Technical Review on the Evaluation of

Dyspepsia. Gastroenterology 2005;129:1756-80

8. Allescher HD. Functional dyspepsia – A multicausal disease and its therapy.

Phytomedicine 2006;13:2-11

9. Drossman DA. The Functional gastrointestinal disorders and the Rome III process.

Gastroenterology 2006;130:1377-90

(55)

10. Wang VS, Burakoff R. Functional (Nonulcer) Dyspepsia. In: Greenberger NJ (ed).

Current Diagnosis and Treatment Gastroenterology, Hepatology, and Endoscopy.

McGraw Hill. New York. 2009. pp:189-99

11. Smith ML. Functional dyspepsia pathogenesis and therapeutics options – implications

for management. Digestive and Liver Disease 2005;37:547-58

12. Lee KJ, Vos R, Hanssens J, Tack J. Influence of duodenal acidification on the

sensori-motor function of the proximal stomach in man. Am J Physiol Gastrointest Liver

Physiol 2004;286:G278–84.

13. Schwarz MP, Samson M, Smout AJ. Chemospecific alterations in duodenal perception

and motor response in functional dyspepsia. Am J Gastroenterol 2001;96:2596–602.

14. Danesh J, Lawrence M, Murphy M, Roberts S, Collins R. Systematic review of the

epidemiological evidence on Helicobacter pylori infection and non-ulcer and

uninvestigated dyspepsia. Arch Int Med 2000;160:1192–8.

15. Perri F, Festa V, Grossi E, Garbagna N, Leandro G, Andriulli A. Dyspepsia and

Helicobacter pylori infection: a prospective multicentre observational study. Dig Liver

Dis 2002;35:157–64.

16. Sarnelli G, Caenepeel P, Geypens B, Janssens J, Tack J. Symptoms associated with

impaired gastric emptying of solids and liquids in functional dyspepsia. Am J

Gastroenterol 2003;98:783–8.

17. Kim DY, Delgado-Aros S, Camilleri M, Samson M, Murray JA, O’Connor MK, et al.

Non-invasive measurement of gastric accommodation in patients with idiopathic

(56)

18. Simnea M, Vos R, Janssens J, Tack J. Unsuppressed post prandial phasic contrability in

the proximal stomach in functional dyspepsia: relevance to symptoms. Am J

Gastroenterol 2003;98:2169–75

19. Tack J, Caenepeel P, Fischler B, Piessevaux H, Janssens J. Symptoms associated with

hypersensitivity to gastric distension in functional dyspepsia. Gastroenterology

2001;121:526–35

20. Lin W, Eaker EY, Sarosiek I, McCallum RW. Gastric myoelectrical activity and gastric

emptying in patients with functional dyspepsia. Am J Gastroenterol 1999;94:2384–9.

21. Feinle C, Meier O, Otto B, D’Amato M, Frieil M. Role of duodenal lipid and

cholecystokinin A receptors in the pathophysiology of functional dyspepsia. Gut

2001;48:347–55.

22. Hobson AR, Aziz Q. Brain imaging and functional gastrointestinal disorders: has it

helped our understanding. Gut 2004;53:1198–206

23. Tack J, Demelts I, Denhondt G, Caenepeel P, Fischler B, Zandecki M, et al. Clinical

and pathophysiological characteristics of acute onset functional dyspepsia.

Gastroenterology 2002;122:1738–47

24. Longstreth GF. Approach to the patient with dyspepsia. Uptodate September 2009

25. Bytzer P. Diagnostic approach to dyspepsia. Best Practice & Research Clinical

Gastroenterology 2004;18:681-93

26. Arents NLA, Thijs JC, Kleibeuker JH. A rational approach to uninvestigated dyspepsia

in primary care: review of the literature. Postgraduate Medical Journal 2002;78:707-16

27. Chiba N. Treat the patients’ main dyspepsia complaint, not the ROME criteria. Am J

Gastroenterol 2004;99:1059–1062

Gambar

Tabel 2. Mekanisme terjadinya gejala dispepsia pada dispepsia fungsional8
Gambar 1. Pendekatan manajemen pasien dispepsia.29
Tabel 6. Karakteristik gejala dispepsia yang dinilai dengan PADYQ36
Gambaran Endoskopi • Normal
+7

Referensi

Dokumen terkait

HUBUNGAN KADAR RESISTIN PLASMA DENGAN RESISTENSI INSULIN PADA PENDERITA SIROSIS HATI.. PENELITIAN DI DEPARTEMEN / SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RS H.ADAM

Artinya , terdapat hubungan yang bermakna antara lama menstruasi dengan tingkat keparahan dismenore primer pada mahasiswi FK USU Angkatan 2012. Kata kunci : dismenore

Artinya , terdapat hubungan yang bermakna antara lama menstruasi dengan tingkat keparahan dismenore primer pada mahasiswi FK USU Angkatan 2012.. Kata kunci :

hubungan lamanya menstruasi dengan tingkat keparahan dismenore primer pada. mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Test adalah 0,025 (p&lt;0,05) maka ada hubungan antara tingkat ansietas dengan kejadian dispepsia fungsional sebelum ujian pada mahasiswa Fakultas Kedokteran

Test adalah 0,025 (p&lt;0,05) maka ada hubungan antara tingkat ansietas dengan kejadian dispepsia fungsional sebelum ujian pada mahasiswa Fakultas Kedokteran

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kualitas tidur dengan tingkat keparahan acne vulgaris pada mahasiswa fakultas kedokteran Universitas

Judul penelitian : Hubungan Tingkat Stres dengan Kejadian Dispepsia Fungsional pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Nama peneliti : Monica