• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Dispepsia Fungsional dengan Kualitas Tidur pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Dispepsia Fungsional dengan Kualitas Tidur pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Lambung dan Duodenum

2.1.1. Struktur Makroskopis Lambung

Lambung merupakan salah satu organ, yang bilamana terdapat berbagai kelainan dalam organ tesebut, maka dapat menimbulkan gejala dispepsia (Friedman, 2012). Lambung merupakan bagian saluran pencernaan yang berbentuk rongga seperti kantung berbentuk huruf J yang terletak antara esofagus dan usus halus (Sherwood, 2012). Lambung juga merupakan suatu organ campuran antara eksokrin dan endokrin karena fungsinya yakni sebagai pencernaan makanan dan juga penyekresi hormon (Mescher, 2012). Posisi tepatnya terletak di bagian atas abdomen dan membentang dari bawah regio arcus costalis kiri menuju regio epigastrica dan umbilicalis (Snell, 2014).

Struktur lambung dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu fundus yang berbentuk kubah dan menonjol ke atas dan kiri dari ostium cardiacum, corpus yang memanjang dari setinggi ostium sampai dengan setinggi incisura angularis, antrum pyloricum yang memanjang dari incisura angularis ke pylorus dan pylorus yang merupakan bagian lambung yang terhubung dengan duodenum (Snell, 2014).

(2)

facies anterior dan facies posterior (Snell, 2014). Struktur dan bagian – bagian dari lambung dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1. Struktur dan Bagian – Bagian dari Lambung Sumber : Anatomi Klinis Berdasarkan Regio, Snell, 2014

(3)

mendarahi lambung di sepanjang bawah curvatura major (Snell, 2014). Sistem arteri pada lambung dapat dilihat pada gambar 2.2.

Gambar 2.2. Sistem Arteri Pada Lambung

Sumber : Anatomi Klinis Berdasarkan Regio, Snell, 2014

Selain sistem arteri, vaskularisasi pada lambung juga memiliki sistem vena. Sistem vena pada lambung ini terdiri dari vena gastrica dextra dan vena gastrica sinistra yang langsung bermuara ke dalam vena porta, vena gastrica brevis dan vena gastroepiploica sinistra yang bergabung dengan vena splenica, dan vena gastroepiploica dextra yang bergabung dengan vena mesenterica superior (Snell, 2014). Sistem vena pada lambung dapat dilihat pada gambar 2.3.

(4)

Sistem persarafan pada lambung terdiri atas sistem simpatis yang berasal dari plexus coeliacus, dan sistem parasimpatis yang berasal dari nervus vagus. Sistem ini terdiri atas truncus vagalis anterior yang berasal dari nervus vagus sinister dan mempersarafi permukaan anterior lambung, dan truncus vagalis posterior yang berasal dari nervus vagus dexter dan mempersarafi permukaan posterior

Gambar 2.3. Sistem Vena Pada Lambung

(5)

lambung (Snell, 2014). Selain sistem saraf simpatis dan parasimpatis, terdapat pula sistem saraf otonom yang terdiri atas pleksus saraf mienterikus dalam lapisan muskularis lambung dan pleksus saraf submukosa atau Meissner (Mescher, 2012).

Gambar 2.4. Sistem Limfe Pada Lambung

Sumber : Anatomi Klinis Berdasarkan Regio, Snell, 2014

2.1.2. Struktur Mikroskopis Lambung

(6)

Setiap kelenjar pada lambung tersebut terdiri atas bagian – bagian yang memiliki karakteristik yang khas dan berbeda – beda. Perbedaan tersebut terletak pada struktur sel – sel kelenjar lambung mana yang lebih dominan di masing – masing bagiannya (Mescher, 2012). Sel – sel kelenjar lambung tersebut terdiri atas sel mukosa leher yang hanya dijumpai di bagian leher dari kelenjar lambung, sel parietal yang lebih banyak dijumpai pada bagian atas dari kelenjar lambung jika dibandingkan dengan di bagian dasarnya, sel zimogen atau chief cell yang lebih banyak dijumpai di bagian dasar dari kelenjar lambung dan berfungsi dalam menyekresikan pepsinogen, sel enteroendokrin yang berfungsi menghasilkan berbagai jenis hormon, dan sel punca yang banyak dijumpai di bagian leher kelenjar lambung (Mescher, 2012). Sel – sel ini akan bermuara ke suatu ruang bersama atau

gastric pit yang kemudian terbuka ke permukaan mukosa (Ganong, 2008).

Di bawah lapisan mukosa lambung terdapat lapisan submukosa yang terdiri dari jaringan ikat padat. Terdapat pula lapisan otot yang tersusun atas tiga arah, yaitu lapisan luar yang longitudinal, lapisan tengah yang sirkular dan lapisan dalam yang tersusun oblik. Terkhusus di bagian pylorus, di sini struktur lapisan ototnya lebih tebal, terutama di lapisan tengah, dibanding bagian dari lambung yang lain. Pada lapisan terluar dari lambung terdapat lapisan serosa yang lebih tipis (Mescher, 2012).

2.1.3. Struktur Makroskopis Duodenum

Selain lambung, duodenum juga merupakan salah satu organ, yang bilamana terdapat berbagai kelainan dalam organ tesebut, maka dapat menimbulkan gejala dispepsia (Friedman, 2012). Duodenum merupakan salah satu dari tiga bagian utama pada usus halus dan berbentuk seperti huruf C, yang menghubungkan lambung dengan bagian lain dari usus halus. Secara anatomis, duodenum terletak pada regio epigastrica dan umbilicalis (Snell, 2014).

(7)

belakang hingga setinggi vertebra lumbalis II, bagian kedua yang berjalan vertikal ke bawah di depan hilum renale dextrum di sisi kanan vertebra lumbalis II dan III, bagian ketiga yang berjalan horizontal lalu melintas di depan columna vertebralis dan berjalan menyusuri sisi bawah caput pancreatis, dan bagian keempat yang berjalan ke atas lalu ke kiri hingga mencapai flexura duodenojejunalis, yang tetap berada pada posisinya karena ditahan oleh ligamentum Treitz (Snell, 2014). Keempat bagian dari duodenum ini dapat dilihat pada gambar 2.5.

Gambar 2.5. Bagian – Bagian dari Duodenum

Sumber : Anatomi Klinis Berdasarkan Regio, Snell, 2014

(8)

Sistem vaskularisasi pada duodenum terdiri atas arteri dan vena, yang membagi duodenum menjadi bagian atas dan bagian bawah. Pada bagian atas diperdarahai oleh arteri dan vena pancreaticoduodenalis superior, sedangkan pada bagian bawah diperdarahi oleh arteri dan vena pancreaticoduodenalis inferior (Snell, 2014).

2.1.4. Struktur Mikroskopis Duodenum

Secara histologis, struktur duodenum dengan bagian usus halus yang lain,yakni jejunum dan ileum memiliki karakteristik yang mirip. Struktur mukosa dan submukosanya membentuk kerutan – kerutan yang disebut plicae circulares, dan pada mukosanya sendiri terdapat penonjolan – penonjolan berbentuk seperti daun yang disebut vili. Vili – vili ini tersusun atas sel absorptif atau enterosit, dan sel goblet, yang keseluruhannya tersusun secara kolumnar. Sel absorptif ini memiliki fungsi menyerap molekul nutrisi yang berasal dari proses pencernaan, sedangkan sel goblet berfungsi untuk menghasilkan musin glikoprotein yang akan melumasi dan melindungi lapisan usus. Sel goblet ini jarang dijumpai dalam duodenum dan lebih banyak dijumpai pada bagian usus halus lainnya (Mescher, 2012).

Vili – vili pada usus halus ini, diantaranya terdapat suatu muara yang berasal dari kelenjar tubular, yang disebut kriptus Lieberkuhn. Pada epitel dari kriptus ini, selain terdiri dari sel absorptif dan sel goblet, juga dijumpai sel Panneth yang berperan dalam imunitas alami, sel enteroendokrin yang menghasilkan berbagai peptida yang memiliki berbagai fungsi, dan sel punca (Mescher, 2012).

(9)

yang longitudinal. Lapisan terluar dari duodenum adalah lapisan serosa tipis yang disertai dengan mesotel (Mescher, 2012).

2.2. Fisiologi Lambung dan Duodenum

Lambung memiliki tiga fungsi utama, yakni sebagai tempat pengisian makanan yang masuk ke dalamnya sekaligus menyimpannya sebelum dialirkan ke duodenum, menyekresikan asam hidroklorida atau HCL dan enzim yang memulai pencernaan protein serta melakukan proses pencampuran makanan hingga akhirnya pengosongan isi lambungkm ke dalam duodenum (Sherwood, 2012).

2.2.1. Fungsi Pengisian dan Penyimpanan

Lambung merupakan tempat perlintasan bagi makanan dari esofagus menuju usus halus. Sebelum dimasuki oleh makanan asal esofagus, lambung memiliki volume 50 ml, namun setelah diisi makanan, volum lambung dapat meningkat hingga dua kali lipat volum awal ketika masih kosong, yaitu mencapai 1000 ml. Struktur lipatan dalam permukaan lambung atau ruggae akan melemas dan berkurang kedalamannya, bahkan hingga mendatar ketika makanan masuk ke dalam lambung. Hal ini disebabkan oleh adanya mekanisme relaksasi reseptif pada lambung, yaitu kemampuan relaksasi refleks pada lambung keitika dimasuki makanan, sehingga volum lambung dapat meningkat tanpa terjadi perubahan pada tegangan di dindingnya serta peningkatan tekanan intralambung yang berarti (Sherwood, 2012). Relaksasi reseptif ini diperantarai oleh nervus vagus dan sudah mulai berlangsung ketika terjadi pergerakan pada faring dan esofagus akibat makanan (Ganong, 2008).

(10)

2012). Kontraksi otot lambung yang timbul disetiap gelombang ini kadang disebut sistol antrum dan masa waktunya sekitar 10 detik, lalu muncul hingga empat kali setiap menitnya (Ganong, 2008). Struktur otot pada fundus dan korpus yang tipis jika dibandingkan dengan sfingter pylorus mengakibatkan pergerakan kontraksi otot pada fundus dan korpus lebih lemah, sehingga makanan yang masuk ke lambung akan disimpan dibagian yang lebih tenang proses pencampurannya ini (Sherwood, 2012).

2.2.2. Fungsi Sekresi

Lambung memiliki fungsi sekresi, yakni sebanyak 2 liter getah lambung diproduksi setiap harinya. Getah lambung ini diproduksi oleh sel – sel sekretorik lambung yang berada di dinding dari foveola gastrica, imvaginasi – invaginasi dari permukaan dalam lambung (Sherwood, 2012).

Salah satu dari sel sekretorik lambung adalah sel parietal yang memproduksi HCL. Keberadaan HCL di dalam lambung memiliki fungsi, antara lain mengaktifkan prekursor enzim perpsinogen menjadi pepsin yang merupakan enzim aktif, membantu proses pemecahan jaringan ikat dan serat otot dan mengurangi ukuran partikel makanan besar menjadi lebih kecil, menimbulkan terjadinya denaturasi protein dan mematikan sebagian besar mikoorganisme yang tertelan bersama makanan (Sherwood, 2012).

(11)

Sel sekretorik lambung lainnya adalah chief cell yang menghasilkan suatu molekul enzim yang inaktif yang disebut pepsinogen, yang sebelumnya tersimpan dalam granula zimog. Sesaat setelah pepsinogen dilepas menuju lumen lambung, HCL yang dihasilkan sel parietal mengubuh struktur enzim inaktif tersebut, membentuk pepsin, yang selanjutnya pepsin tersebut melakukan suatu proses autokatalisis atau pengaktifan diri, yakni pepsin, suatu enzim yang aktif, mengaktifkan molekum enzim inaktif yang sama, yakni pepsinogen, guna membentuk pepsin yang lebih banyak lagi (Sherwood, 2012).

Sel sekretorik lambung, yaitu sel parietal, chief cell dan mucous cell, dalam memproduksi sekresinya diatur oleh sel – sel sekretorik lain yang menghasilkan faktor regulatorik endokrin. Faktor – faktor regulatorik tersebut terdiri dari sel G yang menghasilkan gastrin, ECL cell yang menghasilkan histamin dan sel D yang menghasilkan somatostatin (Sherwood, 2012).

Sel G dan sel ECL mengeluarkan produknya ketika mendapatkan rangsangan dari asetilkolin atau ACh, yang dibebaskan dari pleksus saraf intrinsik sebagai respon terhadap stimulasi nervus vagus. Sel G lalu mengeluarkan gastrin ke dalam darah, yang kemudian dibawa kembali ke fundus dan korpus lambung lalu merangsang sel parietal dan chief cell menghasilkan produknya. Demikian pula dengan histamin yang dihasilkan oleh sel ECL, yang bekerja secara lokal pada sel – sel parietal disekitarnya (Sherwood, 2012).

(12)

Seluruh proses sekresi sel sekretorik lambung beserta faktor regulatoriknya dipengaruhi oleh faktor – faktor tertentu yang muncul sebelum makanan masuk ke dalam lambung, ketika makanan berada di dalam lambung, dan ketika makanan sudah keluar dari dalam lambung, di dalam duodenum. Adanya faktor – faktor ini menyebabkan proses sekresi sel sekretorik lambung berlangsung dalam tahap – tahap tertentu, antara lain :

1. Fase sefalik, yang timbul akibat mekanisme umpan sebagai respon terhadap rangsangan yang bekerja di luar lambung, termasuk memikirkan, mencium, mencicipi, mengunyah dan menelan makanan, yang pada akhirnya akan meningkatkan sekresi lambung oleh aktvitas nervus vagus, yang merangsang ACh keluar dari pleksus saraf intrinsik.

2. Fase lambung, yang terjadi ketika makanan telah mencapai lambung sehingga timbul rangsangan – rangsangan yang memicu sekresi lambung.

3. Fase usus yang berlangsung ketika makanan telah mencapai usus halus, sehingga terjadi suatu proses inhibitorik terhadap sekresi lambung pada fase ini (Sherwood, 2012).

(13)

lapisan mukus dan memungkinkan terjadinya reaksi pendaparan atau buffering, membentuk pH basa, yaitu pada kisaran pH 1 sampai dengan 2. Ion bikarbonat ini diproduksi dengan perangsangan kalsium dan prostaglandin (McGuigan, 2012). Keberadaan lapisan mukus ini mampu melindungi mukosa lambung dari cedera mekanis akibat sifat pelumasan yang dimilikinya, juga melindungi lambung dari cedera asam karena sifat basa yang dimilikinya mampu menetralkan HCL di dekat lapisan mukosa lambung tanpa mengganggu fungsi HCL di lambung (Sherwood, 2012).

Mukosa lambung juga memiliki mekanisme pelindung terhadap getah lambung yang lain. Lapisan mukosa lambung membentuk suatu sawar mukosa lambung yang dapat mencegah rusaknya lapisan mukosa oleh getah lambung. Sawar pada membran luminal sel mukosa membuat membran tersebut tidak dapat ditembus oleh asam ke dalam sel. Disamping itu, tepi – tepi lateral sel mukosa juga saling menyatu membentuk taut erat sehingga asam tidak dapat melintas lewat ruang antar sel mukosa menuju lapisan dibawahnya (Sherwood, 2012).

Prostaglandin juga berpengaruh dalam mekanisme perlindungan mukosa lambung. Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa sejumlah prostaglandin juga berpengaruh dalam sekresi mukus lambung dan ion bikarbonat mukosa lambung dan duodenum. Prostaglandin juga berpengaruh dalam mempertahankan aliran darah pada mukosa lambung dan dalam mempertahankan intaknya lapisan sawar mukosa lambung, serta dalam pembaruan sel epitel terhadap luka pada epitel mukosa (McGuigan, 2012).

2.2.3. Fungsi Pencampuran dan Pengosongan

(14)

menyebabkan makanan di dalamnya akan tercampur dan membentuk campuran cairan kental makanan yang disebut sebagai kimus. Sambil mencampur, kontraksi peristaltk juga mendorong kimus untuk terus maju menuju ke sfingter pylorus. Meski kimus telah sampai di dekat sfingter pylorus, kimus tersebut tidak akan, atau setidaknya hanya sedikit yang bisa melewati sfingter tersebut menuju duodenum. Hal ini disebabkan kontraksi pada otot lambung yang juga menyebar sampai ke otot sfingter pylorus akan menyebabkan sfingter itu berkontraksi dan nyaris menutup sempurna. Akibatnya setiap kimus yang terdorong ke arah sfingter namun tidak dapat mencapai duodenum akan tertahan di sfingter yang menutup lalu memantul kembali ke arah antrum, menimbulkan suatu gerakan berpola maju mundur yang berperan dalam proses pencampuran makanan (Sherwood, 2012).

Proses kontraksi pada otot sfingter pylorus, juga pada bagian lambung lain tergantung pada seberapa besar intensitas kontraksi tersebut. Intensitas ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari dalam lambung itu sendiri, dari dalam duodenum, maupun dari luar saluran cerna (Sherwood, 2012).

Jumlah kimus menjadi faktor yang besar dalam mempengaruhi kontraksi otot lambung. Jumlah dan volume kimus yang besar akan menimbulkan terjadinya peregangan pada lambung, yang secara langsung berefek pada meningkatnya eksitabilitas kontraksi otot lambung. Disamping itu, kontraksi otot lambung juga dipengaruhi oleh seberapa lama kimus diubah dari bentuk padat menjadi cair kental, karena semkin cepat keenceran kimus diperoleh makan akan semakin cepat juga pengosongan isi lambung ke dalam duodenum (Sherwood, 2012). Selain volume dan keenceran kimus, jenis makanan yang dikonsumsi ikut mempengaruhi kontraksi otot lambung. Makanan yang banyak mengandung karbohidrat akan lebih cepat meninggalkan lambung, namun pada protein akan lebih lambat dan lemak adalah zat yang paling lambat meninggalkan lambung (Ganong, 2008).

(15)

duodenum, lalu memicu berbagai mekanisme yang dapat mengurangi eksitabilitas otot lambung. Mekanisme tersebut antara lain :

1. Melalui respon saraf yang diperantarai oleh pleksus saraf intrinsik sebagai refleks pendek dan saraf otonom sebagai refleks panjang, sehingga refleks – refleks ini disebut sebagai refleks enterogastrik.

2. Melalui respon hormon yang melibatkan sejumlah hormon yang kesemuanya disebut enterogastron, dimana enterogastron yang paling penting adalah sekretin dan kolesistokinin atau CCK. Enterogastron ini akan dibawa oleh darah ke lambung dan akhirnya aka mengurangi kecepatan pengosongan lambung (Sherwood, 2012).

Terdapat empat faktor dari dalam duodenum yang dapat mengurangi kecepatan pengosongan lambung, antara lain lemak, asam, hipertonisitas dan peregangan. Faktor yang pertama adalah lemak, yang bersifat lambat pencernaannya daripada zat lain dan proses pencernaan tersebut hanya berlangsung di dalam usus halus, menyebabkan setiap pengosongan lemak di duodenum haruslah menunggu proses pencernaan lemak lainnya di dalam usus halus. Lemak sendiri merupakan zat yang paling lama laju pengosongannya di dalam lambung, sehingga banyaknya kadar lemak dalam lambung maupun duodenum akan memperlambat laju pengosongan lambung (Sherwood, 2012). Karena lemak efektif dalam mempelambat pengosongan lambung, maka banyak orang yang akan mengkonsumsi susu, krim, atau zat makanan yang mengandung lemak lainnya sebelum mengkonsumsi alkohol. Proses pengosongan di lambung dan pencernaan lemak yang lama akan menahan alkohol di lambung dalam waktu yang lebih lama dan proses pemasukan alkohol ke dalam usus halus juga akan berlangsung perlahan – lahan, sehingga intoksikasi alkohol akibat peningkatan kadar alkohol dalam darah yang mendadak dapat dihindari (Ganong, 2008).

(16)

mukosa duodenum dan menginaktifkan enzim penccernaan yang disekresikan pankreas ke dalam lambung. Netralisasi tersebut berlangsung ketika kimus bercampur dengan natrium bikarbonat yang disekresikan ke dalam lumen duodenum oleh pankreas. Jika masih ada kimus yang belum ternetralkan maka proses pengosongan isi lambung lebih lanjut akan melambat hingga proses netralisasi tuntas (Sherwood, 2012).

Faktor yang ketiga adalah hipertonisitas sebagai akibat dari lebih lambatnya proses penyerapan molekul asam amino dan glukosa dibandingkan dengan kecepatan pencernaan protein dan tepung untuk membentuk molekul asam amino dan glukosa di dalam duodenum. Hal ini akan mengakibatkan menumpuknya sejumlah besar molekul tersebut di dalam kimus, sehingga akan meningkatkan osmolaritas kimus tersebut. Hal ini secara refleks akan menghambat proses pengosongan kimus lebih lanjut dari dalam lambung (Sherwood, 2012).

Faktor yang keempat adalah peregangan pada duodenum sebagai akibat dari kelebihan volume kimus yang ditampung di dalam duodenum. Hal ini akan menyebabkan melambatnya waktu pengosongan isi lambung lebih lanjut guna menunggu duodenum dalam memproses kimus di dalamnya sebelum menerima kimus tambahan dari lambung (Sherwood, 2012).

(17)

2.3. Dispepsia

Istilah dispepsia berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yakni kata dys yang berarti buruk dan kata pepsis yang berarti pencernaan. Istilah ini, menurut Konsensus Rome II tahun 2000, digunakan untuk menggambarkan berbagai gejala yang dirasakan sebagai rasa ketidaknyamanan yang terpusat pada abdomen bagian atas (Djojoningrat, 2014). Menurut Tarigan (2014), dispepsia merupakan suatu kumpulan gejala dari berbagai penyakit pada saluran cerna seperti mual, muntah, kembung, nyeri pada ulu hati, sendawa, rasa seperti terbakar, rasa penuh pada ulu hati dan cepat merasa kenyang. Istilah lain yang dapat menggambarkan klinis yang sama dengan dispepsia adalah indigesti (Friedman, 2012). Menurut ada atau tidaknya etiologi atau penyebab munculnya gejala dispepsia tersebut, dispepsia dapat dibagi dua yaitu dispepsia organik dan dispepsia fungsional (Djojoningrat, 2014).

2.3.1. Klasifikasi Dispepsia

Berdasarkan ada atau tidaknya penyakit organik yang menyertai timbulnya gejala dispepsia tersebut, dispepsia dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu dispepsia fungsional dan dispepsia organik (Djojoningrat, 2014). Kedua bagian dari dispepsia tersebut adalah sebagai berikut.

2.3.1.1. Dispepsia Fungsional

(18)

diartikan sebagai suatu gejala klinis dispepsia yang timbul dan berbagai evaluasi klinis tidak dapat mengungkapkan penyebab timbulnya gejala dispepsia tersebut (Friedman, 2012).

Sebelum ada Konsesus Rome III, disepsia fungsional dibagi menjadi tiga yaitu ulcer like dyspepsia yang didominasi nyeri epigastrium dan mirip dengan gejala tukak peptik namun tidak ditemui kelainan organik seperti tukak saat pemeriksaan diagnostik, dismotility like dyspepsia yang didominasi keluhan kembung, mual, muntah, rasa penuh dan cepat kenyang namun tidak ditemui kelainan organik seperti dismotilitas saluran cerna saat pemeriksaan diagnostik, serta dispepsia non spesifik yang tidak disertai dengan dominannya salah satu keluhan. Setelah adanya Konsesus Rome III, dispepsia fungsional dibagi menjadi dua, yaitu post – prandial distress

syndrome yang keluhannya didominasi oleh perasaan penuh pada perut dan cepat

kenyang setelah makan dalam porsi yang umumnya tidak menimbulkan keluhan tersebut, dan epigastric pain syndrome yang keluhannya didominasi perasaan nyeri dan terbakar yang hilang timbul di ulu hati / epigastrium (Djojoningrat, 2014).

2.3.1.2. Dispepsia Organik

Istilah dispepsia organik diartikan sebagai suatu gejala klinis dispepsia yang timbul dan berkaitan dengan berbagai penyakit pada saluran cerna maupun pada sistem organ lain (Friedman, 2012). Menurut Tarigan (2014), dispepsia organik secara klinis dapat dibagi atas dispepsia akibat gangguan motilitas, dispepsia akibat tukak, dispepsia akibat refluks dan dispepsia yang tidak spesifik. Pengertian lain dari dispepsia organik yakni dispepsia yang berkaitan dengan penyakit organik seperti gastritis dan tukak peptik (Djojoningrat, 2014).

(19)

melainkan suatu kelompok penyakit yang memiliki perubahan peradangan pada mukosa lambung yang sama, namun memiliki ciri klinis, karakteristik histologik dan patogenesis yang berlebihan (McGuigan, 2012).

Tukak peptik merupakan suatu kumpulan penyakit ulseratif yang berlokasi pada saluran cerna bagian atas, utamanya adalah bagian proksimal dari lambung dan duodenum. Tukak biasanya lebih dalam, setidaknya hingga lapisan sub mukosa. Hal ini berbeda dengan erosi, yang umumnya superfisial dan hanya ada pada lapisan mukosa saja. Tukak peptik yang sering terjadi adalah tukak lambung dan tukak duodenum (McGuigan, 2012). Tukak lambung merupakan suatu luka yang berbentuk bulat atau oval dengan ukuran lebih besar dari 5 mm dengan pinggirnya yang oedem, disertai dengan indurasi dan dasarnya ditutupi debris. Kedalaman dari tukak lambung ini mencapai lapisan sub mukosa lambung sehingga terjadi pemutusan pada kontinuitas lapisan mukosa lambung yang terletak di atasnya (Tarigan, 2014). Biasanya disekeliling ulkus lambung terdapat gambaran peradangan atau gastritis (McGuigan, 2012).

Tukak duodenum merupakan suatu kerusakan atau luka pada lapisan mukosa dan sub mukosa duodenum, bahkan dapat mencapai lapisan muskularis mukosa hingga serosa pada duodenum sehingga bisa menimbulkan perforasi (Akil, 2014). Diameter luka biasanya lebih dari 5 mm namun kurang dari 1 cm, dalam, berbatas tegas, dan disertai hilangnya epitel superfisial pada daerah tukak tersebut. Bentuk tukak umumnya bulat atau oval, namun dapat juga tidak teratur (McGuigan, 2012).

Dismotilitas saluran cerna juga bisa memicu dispepsia organik. Dismotilitas saluran cerna merupakan kumpulan gejala pada saluran cerna yang disebabkan oleh gangguan motilitas saluran cerna sehingga otot dan saraf pada saluran cerna tidak bekerja dengan baik. Dismotilitas saluran cerna yang dapat menyebabkan timbulnya dispepsia terutama jika terjadi di saluran cerna bagian atas, utamanya pada lambung dan duodenum (Simadibrata, 2014). Dispesia dapat berlangsung secara fungsional dan masuk dalam kategori dispepsia fungsional yaitu post – prandial distress

(20)

komplikasi dari diabetes, penyakit Parkinson, setelah operasi lambung atau karena pseudoobstruksi pada saluran cerna bagian atas. Hal ini menimbulkan terjadinya dispepsia organik (Simadibrata, 2014).

2.3.2. Faktor Risiko Dispepsia

Banyak hal – hal yang menjadi faktor, yang memiliki pengaruh terhadap timbulnya dispepsia bagi seseorang. Faktor tersebut dapat terbagi menjadi faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal tersebut meliputi faktor makanan, faktor minuman, faktor lingkungan dan faktor obat – obatan, sedangkan faktor internal meliputi faktor jenis kelamin , faktor usia, faktor genetik, faktor hormonal dan faktor stres (Djojoningrat, 2014). Masing – masing faktor tersebut adalah sebagai berikut.

2.3.2.1. Faktor Eksternal

Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi timbulnya gejala dispepsia meliputi faktor makanan, faktor minuman, faktor lingkungan dan faktor obat – obatan (Djojoningrat, 2014). Masing – masing faktor tersebut adalah sebagai berikut.

2.3.2.1.1. Faktor Makanan

(21)

40 penderita dispepsia juga mengemukakan hal yang sama yaitu pola makan pada penderita dispepsia lebih banyak yang tidak teratur yakni sebanyak 57.5 % berbanding 42.5 % yang teratur. Kedua hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Reshetnikov (2007) dengan subyek penelitian sebanyak 1562 orang dewasa, berhasil menyimpulkan bahwa pola makan yang tidak teratur berkaitan dengan timbulnya gejala dispepsia (Susilawati, 2013).

Menurut Firman (2009) dalam Anggita (2012), pola makan yang tidak teratur sangat besar dampaknya dalam menimbulkan kambuhnya gejala dispepsia, karena pola makan yang teratur setiap harinya akan memudahkan lambung dalam mengenal waktu makan tertentu yang teratur sehingga produksi asam lambung akan teratur pula, sesuai dengan pola makan tersebut.

Selain pola makan yang tidak teratur, konsumsi jenis makanan tertentu juga dapat menimbulkan kambuhnya gejala dispepsia. Makanan tersebut terutama yang banyak mengandung lemak dan minyak (Anggita, 2012). Selain itu makanan pedas dan asam juga dapat berpengaruh terhadap kambuhnya gejala dispepsia. Suatu penelitian case control oleh Susanti (2011) mengemukakan bahwa 78,3 % dari 40 penderita dispepsia sering mengkonsumsi makanan pedas, sedangkan kebiasaan makan makanan asam sekitar 55 % dari 40 penderita dispepsia. Makanan yang diketahui sering menimbulkan dispepsia antara lain makanan yang mengandung laktosa dan fruktosa, green salad dan sayuran yang menyerupai kacang – kacangan (Tandon, 2012).

2.3.2.1.2. Faktor Minuman

Beberapa jenis minuman dapat menimbulkan kambuhnya gejala dispepsia. Minuman tersebut antara lain minuman yang berkarbonasi dan minuman mengandung kafein seperti kopi dan teh (Anggita, 2012). Namun suatu penelitian

case control oleh Susanti (2011) mengemukakan bahwa kebiasaan meminum kopi,

(22)

dominan dampaknya dalam menimbulkan kambuhnya gejala dispepsia, yaitu masing – masing dari jenis minuman atau kombinasi dari minuman – minuman tersebut hanya berada dalam kisaran 3.3 % sampai dengan 20, 8 % dari 60 penderita dispepsia.

2.3.2.1.3. Faktor Lingkungan

Berdasarkan lingkungan tempat tinggal, kasus dispepsia lebih banyak terajdi di kawasan yang padat penduduknya serta negara – negara berkembang yang tingkat sosial ekonominya masih tidak sebaik negara – negara maju. Prevalensi kasus dispepsia di negara berkembang berada di kisaran 10 %, dibandingkan dengan di negara maju yang berada di kisaran 1 % (Anggita, 2012).

2.3.2.1.4. Faktor Obat – Obatan

Suatu penelitian case control oleh Susanti (2011) menyatakan kebiasan mengonsumsi obat – obatan pada kelompok kasus lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol, yaitu sebesar 33,3 % dari 60 sampel kasus dan hal ini tidak dijumpai pada 60 sampel kontrol, namun lebih dari setengah terhadap total 60 sampel kasus, yaitu 53,3 % dan lebih dari setengah terhadap total 60 sampel kasus kontrol, yaitu 84 %, tidak termasuk dalam kategori pengguna obat dokter harian sehingga faktor ini tidak begitu signifikan dalam mepengaruhi, jika dibandingkan dengan faktor lainnya.

2.3.2.2. Faktor Internal

(23)

2.3.2.2.1. Faktor Jenis Kelamin

Sejumlah penelitian menyatakan bahwa perempuan lebih banyak mengalami gejala dispepsia dibanding laki – laki. Sebuah penelitian oleh Tarigan (2003) menyatakan bahwa 59,1 % pasien dispepsia fungsional di RSUP Adam Malik adalah perempuan, dibanding dengan laki – laki sebesar 40,9 %. Penelitian lain oleh Dwigint (2010) menyimpulkan bahwa perempuan lebih berisiko menderita dispepsia dibanding laki – laki. Kedua penelitian ini ternyata mendukung teori yang menyatakan bahwa perbandingan kasus dispepsia menurut jenis kelamin adalah 2 : 1 (Harahap, 2007).

2.3.2.2.2. Faktor Usia

Dispepsia terutama terjadi pada usia produktif yaitu usia 20 tahun ke atas. Hal ini dilatarbelakangi oleh pola hidup di kalangan kelompok masyarakat usia produktif yang kurang teratur dibandingkan dengan kelompok masyarakat usia lain (Anggita 2012).

2.3.2.2.3. Faktor Genetik

Terdapat berbagai faktor genetik yang turut berperan dalam menimbulkan gejala dispepsia dan faktor yang mencetusnya. Menurut Camilleri (2009) dalam Tandon (2012), saat ini telah dilaporkan bahwa terdapat single – nucleotide

polymorphism pada alel 825T dari gen second messenger GNB 3, yang turut

mendukung adanya hipersensitifitas viseral yang pada akhirnya dapat memicu dispepsia fungsional.

2.3.2.2.4. Faktor Hormonal

(24)

terhadap kontraktilitas otot polos di lambung. Kolesistokinin dan sekretin diketahui juga memiliki pengaruh terhadap dispepsia fungsional (Djojoningrat, 2014).

2.3.2.2.5. Faktor Stres

Menurut Tarigan (2003) dalam Susanti (2011), faktor stres juga turut berpengaruh dalam menimbulkan gejala dispepsia. Hal ini disebabkan dengan kaitan yang erat antara stres dan berbagai reaksi tubuh yang merugikan kesehatan. Berbagai gangguan mekanisme hormonal seperti penurunan serotonin dan katekolamin serta peningkatan asetilkolin akan menimbulkan hiperasimtomatik sistem gastrointestinal yang akan meningkatkan peristaltik dan sekresi asam lambung. Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya produksi asam lambung yang lebih tinggi dan terjadilah hipeasiditas lambung. Hiperasiditas lambung yang juga disertai meningkatnya cadangan glukosa darah akibat pengaruh hormonal menyebabkan berkurangnya nafsu makan sehingga mengakibatkan timbulnya pola makan yang tidak teratur sehingga bisa menimbulkan kambuhnya gejala dispepsia (Susanti, 2011).

Salah satu penelitian yang mendukung teori tentang faktor stres terhadap dispepsia adalah suatu penelitian case control oleh Susanti (2011) yang menyatakan bahwa 63,3 % dari 60 sampel kasus berada pada tingkat stres kategori sedang, dibandingkan dengan 51,7 % dari 60 sampel kontrol. Hal sebaliknya terjadi untuk tingkat stres kategori rendah sebesar 28,3 % dari 60 sampel kasus, dibandingkan dengan 48,3 % terhadap 60 sampel kontrol (Susanti, 2011).

2.3.3. Etiologi Dispepsia

(25)

2.3.3.1. Dispepsia Fungsional

Dispepsia fungsional adalah suatu gejala klinis dispepsia yang timbul dan berbagai sarana diagnostik, baik yang baku maupun yang konvensional, tidak dapat menunjukkan adanya gangguan – gangguan patologik struktural atau biokimiawi (Djojoningrat, 2014). Berdasarkan pada pengertian tersebut, maka tidak ada suatu penyebab organik yang menyebabkan timbulnya dispepsia fungsional (Friedman, 2012).

Terdapat berbagai hipotesis tentang dispepsia fungsional seperti pengaruh hiperasiditas lambung, pengaruh gangguan motorik, pengaruh infeksi, pengaruh hipersensitifitas viseral, pengaruh gangguan psikologik, pengaruh intoleransi makanan, pengaruh dari gangguan sistem imun dan faktor genetik (Tandon, 2012). Etiologi lain yang tidak jauh berbeda dengan hipotesis di atas adalah karena sekresi asam lambung yang berlebih, infeksi Helicobacter pylori,dismotilitas gastrointestinal yang juga dipengaruhi olehambang rangsang persepsi, disfungsi otonom, gangguan relaksasi fundus dan pengaruh aktivitas miolektrik lambung yang abnormal, pengaruh hormonal, faktor dietetik dan pengaruh psikologis (Djojoningrat, 2014).

2.3.3.2. Dispepsia Organik

(26)

Terdapat beberapa teori tentang hal – hal yang menyebabkan tukak lambung yang pada akhirnya menimbulkan munculnya gejala dispepsia. Menurut teori No Acid

No Ulcer yang dikemukakan oleh Schwarst tahun 1910, tukak lambung lebih

disebabkan oleh hiperasiditas lambung saja, namun teori lain yang bernama Shay and

Sun : Balance Theory tahun 1974 mengemukakan tukak akan terjadi jika ada

gangguan keseimbangan antara faktor agresif dan faktor defensif, yaitu jika faktor agresif mengalami peningkatan dan faktor defensif mengalami penurunan. Faktor agresif tersebut terdiri dari asam dan pepsin, sedangkan faktor defensif tersebut terdiri dari mukus, bikarbonat, aliran darah dan prostaglandin (Tarigan, 2014).

Teori lain yang lebih terbarukan tentang penyebab tukak lambung adalah teori

No HP No Ulcer yang dikemukakan oleh Warren dan Marshall pada tahun 1983.

Menurut teori tersebut, tukak lambung lebih disebabkan oleh infeksi bakteri

Helicobacter pylori, suatu bakteri patogen gram negatif yang berbentuk kurva atau S

shaped, mikroaerofilik, berflagel, hidup di lapisan epitel antrum dan bermigrasi ke

proksimal lambung. Infeksi bakteri ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor host itu sendiri, lamanya infeksi berlangsung, faktor bakteri itu sendiri dan juga lingkungan tempat infkesi berlangsung. Faktor lamanya infeksi meliputi lokasi infeksi dan respon inflamasi yang terjadi setelah infeksi. Faktor bakteri tersebut antara lain virulensi dan struktur bakteri tersebut. Faktor lingkungan tempat infeksi berlangsung meliputi keberadaan asam lambung dan faktor lain yang dapat mengiritasi mukosa lambung (Tarigan, 2014). Konsentrasi NSAID dalam lambung dan konsentrasi cairan empedu akibat regurgitasi isi duodenum ke dalam lambung juga dapat menyebabkan tukak lambung (McGuigan, 2012).

(27)

Pada dismotilitas saluran cerna bagian atas pada akhirnya menimbulkan munculnya gejala dispepsia, pada umumnya tidak disertai dengan penyebab yang jelas mengenai kerusakan organik, sehingga biasanya berlangsung fungsional dan masuk dalam kategori dispepsia fungsional (Djojoningrat, 2014). Meski demikian, kasus ini dapat pula terjadi sebagai komplikasi dari diabetes, penyakit Parkinson, setelah operasi lambung atau karena pseudoobstruksi pada saluran cerna bagian atas. Hal ini menimbulkan terjadinya dispepsia organik (Simadibrata, 2014).

2.3.4. Manifestasi Klinis Dispepsia

Keluhan utama yang terjadi saat gejala dispepsia timbul adalah rasa nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas, seperti kembung, mual, muntah, rasa penuh dan cepat kenyang. Keluhan yang berlangsung dapat lebih dominan ke salah satu gejala sehingga dispepsia yang terjadi dapat mengarah ke salah satu tipe dispepsia sesuai dengan klasifikasinya (Abdullah, 2012). Klasifikasi tersebut adalah

ulcer like dyspepsia atau epigastric pain syndrome dan dismotility like dyspepsia atau

post – prandial distress syndrome yang merupakan klasifikasi dari dispepsia

fungsional. Epigastric pain syndrome didominasi oleh rasa nyeri dan perasaan seperti terbakar di daerah ulu hati, sedangkan post – prandial distress syndrome didominasi oleh rasa penuh, cepat kenyang, kembung, mual dan muntah (Djojoningrat, 2014).

(28)

Dispepsia yang disebabkan oleh gangguan organik berupa gangguan motilitas saluran cerna bagian atas tukak, baik di lambung maupun duodenum memiliki gejala yang tidak jauh berbeda dengan dispepsia fungsional. Tukak lambung didominasi oleh rasa nyeri di ulu hati (Tarigan, 2014). Nyeri ini dapat ditimbulkan oleh makan, sehingga dapat timbul rasa keenganan untuk makan sehingga terjadilah anoreksia. Efek penurunan rasa nyeri setelah pemberian antasida tidak sebesar pada pemberian terhadap penderita tukak duodenum (McGuigan, 2012). Demikian pula dengan tukak duodenum, namun nyeri yang dirasakan, terutama seperti terbakar dan sangat perih, saat lapar, nyeri tidak terlokalisir dan nyeri akan berkurang setelah makan (Akil, 2014). Nyeri yang timbul dapat dirasakan sebagai perasaan seperti ditusuk atau dibor dan dapat membangunkan penderitanya di tengah malam saat tidur. Nyeri ini akan berkurang dengan pemberian antasida (McGuigan, 2012). Khusus untuk tukak yang disebabkan oleh NSAID maupun pada kalangan lanjut usia, tukak ini seringkali tidak bergejala dan baru menimbulkan gejala setelah terjadi komplikasi seperti perdarahan atau perforasi (Tarigan, 2014).

Pada dispepsia yang disebabkan gangguan motilitas saluran cerna bagian atas, keluhan yang timbul terjadi akibat gangguan dari pengosongan lambung, baik terlambat maupun terlalu cepat. Keluhan akibat keterlambatan pengosongan lambung akan menimbulkan gejala dispepsia pasca prandial, antara lain cepat kenyang, rasa penuh, sendawa, kembung, mual dan muntah. Keluhan ini dapat disertai dengan nyeri epigastrium, anoreksia, rasa terbakar, dan penurunan berat badan. Jika terjadi percepatan pengosongan lambung, maka akan terjadi keluhan ansietas, lemah, takikardia, dizziness, berkeringat, flushing dan penurunan kesadaran. Keluhan ini akan timbul segera atau setidaknya dua jam setelah makan (Simadibrata, 2014).

(29)

2.3.5. Etiopatogenesis dan Patofisiologi Dispepsia

Timbulnya gejala dispepsia dilatar belakangi oleh berbagai etiologi, yang masing – masing dari etiologi tersebut memiliki mekanisme yang saling berbeda hingga menimbulkan dispepsia. Masing – masing dari mekanisme tersebut antara lain mekanisme yang dipengaruhi oleh sekresi asam lambung, Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, hipersensitifitas viseral, psikologis dan obat – obatan (Djojoningrat, 2014). Masing – masing mekanisme tersebut antara lain sebagai berikut.

2.3.5.1. Sekresi Asam Lambung

Penderita dispepsia fungsional pada umumnya memiliki tingkat sekresi asam lambung yang normal, tidak berlebih. Jika pasien mengalami gejala nyeri didaerah epigastrium, diduga hal tersebut disebabkan oleh sensitivitas mukosa lambung terhadap asam lambung yang meningkat (Djojoningrat, 2014). Hal ini berbeda dengan pandangan sebelumnya yang menyatakan bahwa asam lambung turut terlibat secara dalam terhadap mekanisme terjadinya nyeri pada epigastrium, seperi pada kasus tukak peptik, sehingga banyak pasien dispepsia fungsional yang diterapi dengan acid suppresion (Tandon, 2012). Namun pada tukak lambung yang juga menyebabkan dispepsia organik, khususnya pada teori No Acid No Ulcer yang dikemukakan Schwarst pada tahun 1910, terjadi sekresi asam lambung dan pepsin yang berlebih. Histamin yang berperan dalam perangsangan sel parietal untuk menghasilkan asam lanbung juga dapat meningkat. Peningkatan sekresi asam lambung dapat dipengaruihi faktor genetik yang berpengaruh pada massa sel parietal atau sekresinya yang leboh banyak (Tarigan, 2014).

2.3.5.2. Helicobacter pylori

Helicobacter pylori merupakan suatu bakteri gram negatif berbentuk kurva

(30)

ini memasuki saluran cerna, bakteri ini akan bertahan dalam suasana asam di dalam lambung, yaitu dengan memproduksi urease yang berperan dalam menghidrolisis urea menjdai karbondioksida dan amonia, dengan demikian bakteri ini dapat tahan hidup dalam suasana lambung yang asam. Selain itu keberadaan flagel akan membuat bekteri ini memiliki kemampuan motilitas yang baiksaat berkolonisasi dan bergerak dalam permukaan mukosa lambung yang tidak rata. Adanya mekanisme ini akan memuat bakteri ini mudah dalam menembus lapiasn mukus lambung dan melekat pada epitel permukaan lambung (Rani, 2014).

Dalam proses perlekatannya terhadap sel epitel lambung, bakteri ini memiliki struktur di permukaannya yaitu adhesin BabA yang memperantarai proses perlekatannya. Guna menunjang hidupnya, bakteri ini dapat mengeluarkan eksotosin VacA atau vacuolating cytotoxin yang dapat membentuk suatu saluran pada membran sel epitel, dan melalui saluran tersebut, anion organik dan bikarbonat akan dilepaskan untuk memenuhi nutrisi bakteri tersebut. Bakteri ini, dalam perlekatannya, akan terikat dengan MHC atau Major Histocompatibility Complex kelas II yang ada pada permukaaan sel epitel lambung. Hal ini akan memicu terjadinya apoptosis atau kematian sel epitel tersebut (Rani, 2014).

Jika bakteri ini berhasil melekatkan dirinya ke sel epitel permukaan mukosa lambung dan selanjutnya berkolonisasi, maka akan terjadi proses inflamasi pada mukosa lambung. Molekul – molekul seperti neutrofil, sel PMN / limfosit serta makrofag dan sel plasma akan meningkat di sekitar sel yang mengalami kerusakan akibat keberdaan bakteri tersebut, diikuti dengan meningkatnya berbagai macam mediator inflamasi atau sitokin seperti interleukin atau IL –1 , IL – 2, IL – 6, IL – 8

dan tumor necrosis factor atau TNF α (Rani, β014). Bakteri ini juga akan

(31)

sekresi mukus lambung yang berperan dalam proteksi mukosa lambung (Akil, 2014). Proses inflamasi ini akan mengakibatkan terjadinya proses produksi antibodi yang meningkat, yang bukannya menurunkan tingkatan terjadinya proses inflamasi dan infeksi bakteri tersebut, namun justru menimbulkan terjadinya kerusakan jaringan setempat. Selain itu juga akan terjadi peningkatan respon imun yang berperan dalam perlindungan mukosa lambung dari kerusakan tahap lanjut akibat perlekatan bakteri tersebut, berupa timbulnya sel T helper immatur atau sel Th0 yang akan mengalami proses diferensiasi menjadi dua bentuk yaitu sel Th1 yang nantinya akan mensekresikan IL – β dan interferon atan INF , dan sel Thβ yang akan mensekresikan IL – 4, IL – 5, dan IL – 10. Diharapkan nantinya respon Th2, yang menstimulasi sel B sebagai dampak dari adanya bakteri patogen di luar sel, akan lebih dominan berlangsung, dibanding dengan respon sel Th1 yang muncul karena adanya bakteri patogen intrasel. Hal ini terjadi karena Helicobacter pylori jarang melakukan invasi ke intrasel epitel, namun hanya melakukan perlekatan di ekstrasel epitel mukosa lambung (Rani, 2014).

Pada kasus dispepsia fungsional, faktor infeksi dari Helicobacter pylori sudah banyak diteliti. Menurut Moayyedi (2003) dalam Tandon (2012), infeksi

Helicobacter pylori konsisten pengaruhnya dalam menyebabkan dispepsia

fungsional, namun tidak begitu signifikan pengaruhnya, jika dibandingkan dengan faktor lainnya. Suatu penelitian oleh Rhee (1999) dalam Tandon (2012) mengemukakan bahwa hubungan antara Helicobacter pylori dan dispepsia fungsional tidak terlihat. Namun penelitian lain dari O’Morain (β010) dalam Tandon (β01β) justru mengemukakan bahwa Helicobacter pylori banyak terdeteksi pada kelompok kasus dispesia fungsional dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak menderita dispesia fungsional. Kedua penelitian diatas menyimpulkan bahwa

Helicobacter pylori memang memegang peranan penting, namun hanya dalam

(32)

Helicobacter pylori dapat menyebabkan terjadinya gastritis dan tukak peptik. Gastritis sendiri dibagi menjadi dua yaitu gastritis kronik non atropi predominasi antrum, yang ditandai dengan peradangan mukosa yang sedang atau berat pada di antrum namun dikorpus tidak ada peradangan atau hanya peradangan ringan saja, dan gastritis kronik atropi multifokal yang ditandai dengan peradangan pada mukosa yang terjadi hampir di seluruh bagian lambung (Hirlan, 2014). Gatritis yang kronis dapat mengakibatkan terjadinya tukak peptikum, yakni tukak lambung dan tukak duodenum, dengan mekanisme yang tidak jauh berbeda (Tarigan, 2014).

Prevalensi infeksi bakteri ini cukup tinggi di Indonesia. Hampir 100 % kasus tukak duodenum berhubungan dengan infeksi bakteri ini. Pada tukak lambung dan gastritis, sebanyak, masing – masing 80 % dan 40 % kasus, berhubungan dengan infeksi bakteri ini (Rani, 2012).

2.3.5.3. Dismotilitas Gastrointestinal

Kasus dispepsia fungsional yang diakibatkan oleh dismotilitas fungsional cukup tinggi yaitu berada dalam kisaran setengah dari seluruh kasus. Bentuk – bentuk dismotilitas tersebut antara lain berupa perlambatan pengosongan lambung sebesar 23 % dari seluruh kasus dispepsia fungsional, yang berdampak pada rasa mual, muntah dan penuh (Djojoningrat, 2014). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Delgado – Aros (2004) yang menyimpulkan ada kaitan antara perlambatan pengosongan lambung dan dispesia fungsional (Tandon, 2012). Dispepsia fungsional juga ada kaitannya dengan hipersensitifitas terhadap distensi lambung, sebesar 35 % dari seluruh kasus disepsia fungsional yang berdampak pada rasa nyeri ulu hati (Djojoningrat, 2014).

(33)

proses akomodasi lambung akan berdampak pada perasaan nyeri selama proses makan berlangsung atau cepat kenyang (Tandon, 2012). Sebuah penelitian oleh Tack (1998), yang diperbarui oleh Bredenoord (2003) dalam Tandon (2012) mengemukakan bahwa 40 % - 47 % dari seluruh pasien dispepsia fungsional berkaitan dengan gangguan akomodasi lambung dengan menggunakan alat penunjang

single photon emission computed tomography atau SPECT dan pasien tersebut

menunjukkan gejala cepat kenyang. Penelitian lain menungkapkan bahwa sebesar 40 % dari seluruh kasus disepsia fungsional berkaitan dengan gangguan akomodasi lambung (Djojoningrat, 2014).

Aktivitas mioelektrik pada lambung yang abnormal dan gangguan relaksasi fundus bisa menyebabkan dismotilitas pada lambung. Aktivitas mioelektrik lambung yang abnormal atau disritmia yang memiliki pengaruh terhadap dismotilitas pada lambung antara lain takigastria dan bradigastria. Gangguan relaksasi fundus yang memiliki pengaruh adalah menurunnya kapasitas relaksasi fundus dari lambung (Djojoningrat, 2014).

Disfungsi pada saraf otonom, terutama nervus vagus, yang juga mempersarafi saluran cerna bagian atas, bisa menyebabkan dismotilitas pada lambung. Hal ini dapat menyebabkan gangguan relaksasi lambung bagian proksimal ketika menerima makanan. Hal ini akan berakibat pada rasa cepat kenyang ketika makan (Djojoningrat, 2014).

2.3.5.4. Hipersensitifitas Viseral

(34)

(Djojoningrat, 2014). Teori ini didukung oleh riset yang telah ada sebelumnya. Sebuah penelitian oleh Kindt (2003) dalam Tandon (2012) menyimpulkan hubungan yang erat hipersensitifitas viseral dengan timbulnya gejala dispepsia. Gejala dispepsia itu adalah rasa penuh dan cepat kenyang akibat hipersensitifitas lambung terhadap distensi.

Hipersensitifas viseral juga dapat disebabkan oleh adanya disfungsi pada saraf otonom, terutama nervus vagus yang juga mempersarafi saluran cerna bagian atas. Hal ini dapat menyebabkan gangguan relaksasi lambung bagian proksimal ketika menerima makanan. Hal ini akan berakibat pada rasa cepat kenyang ketika makan (Djojoningrat, 2014).

2.3.5.5. Psikologis

Faktor piskologis seperti stress ternyata memiliki pengaruh terhadap fungsi sistem pencernaan (Barry, 2006). Hal ini disebabkan oleh meningkatnya aktivitas daru dua bagian otak yang berperan dalam aktivitas stres, yaitu hipotalamus dan locus

ceruleus. Meningkatnya aktivitas hipotalamus oleh stres sendiri dipengaruhi oleh

aktvitas sistem limbik, khususnya amigdala dan hippocampus, dan juga aktivitas dari

locus ceruleus di batang otak. Sistem limbik merupakan bagian bagian dari otak

yang berpengaruh dalam emosi dan perilaku primitif yang esensial seperti mencari makan, berkelahi dan melarikan diri untuk pertahanan dan perlindungan diri serta reproduksi. Amigdala yang berpengaruh dalam emosi kemarahan dan kegusaran cukup penting dalam mekanisme ini. Aktivasi amigdala akan menyebabkan teraktivasinya hippocampus, cingulate cortex dan bagian lain dari sistem limbik, yang pada akhirnya juga mengaktivasi hipotalamus dalam melepas corticotropin releasing

factor atau CRF (Mertz, 2000).

Pelepasan CRF oleh hipotalamus juga dipengaruhi oleh aktivasi locus

ceruleus, yang merupakan bagian dari batang otak. Locus ceruleus merupakan

(35)

dan mengaktivasi bagian dari otak yang mengakibatkan meningkatnya kewaspadaan dan kesiagaan Hal ini juga dapat turut berperan dalam mengaktivasi hipotalamus dalam melepas corticotropin releasing factor atau CRF (Mertz, 2000).

Pelepasan CRF sebagai respon dari stres akan mengaktifkan hypothalamic –

pituitary – adrenal axis atau HPA aksis. Pelepasan CRF oleh hipotalamus akan

merangsang kelenjar pituitari untuk melepaskan adrenocorticotropin hormone atau ACTH yang juga akan merangsang kelenjar adrenal dalam melepaskan kortisol. Kortisol yang dilepaskan tersebut akan menimbulkan terjadinya retensi cairan dan garam dalam tubuh, sehingga bisa menyebabkan hipertensi, dan juga dapat mengganggu fungsi imun tubuh. Selain pengaruh kortisol, meningkatnya neurotransmiter norepinephrine yang dihasilkan sebagai akibat dari aktivasi locus

ceruleus akan mengaktivasi berbagai sistem dalam tubuh sehingga akan berpengaruh

dalam takikardi, hipertensi, ketegangan otot, spasme pada saluran pencernaan dan

dispepsia (Mertz, 2000). Keseluruhan mekanisme ini dapat dilihat pada gambar 2.6.

Respon stres terhadap fungsi saluran pencernaan pada manusia memiliki kemiripan dengan hewan seperti mencit. Dalam suatu penelitian dengan menggunakan mencit sebagai hewan coba, diberikan perlakuan yang dapat memicu terjadinya stres pada hewan tersebut, yaitu dengan menempatknnya dalam suatu tempat yang sangat sempit. Hal ini menyebabkan perubahan dari motilitas saluran cerna, yakni menurunnya motilitas di saluran cerna bagian atas, yang ditandai dengan menurunnya kemampuan pengosongan lambung dan meningkatnya motilitas pada saluran cerna bagian bawah, yang ditandai dengan buang air besar yang lebih sering (Micut, 2012).

2.3.5.6. Obat – obatan

(36)

menghambat kerja enzim siklooksigenase atau COX, terutama COX – 1 yang beperan dalam produksi prostaglandin. Prostaglandin sendiri turut berperan dalam fungsi perlindungan mukosa melalui pengaturan akiran darah di mukosa, proliferasi sel epitel, sekresi mukus dan bikarbonat dan fungsi imun mukosa. Jika terjadi gangguan dalam produksi prostaglandin, maka akan terjadi kerusakan pada lapisan mukosa (Akil, 2014).

Gambar 2.6. Hypothalamic – Pituitary – Adrenal Axis Sumber : Stress and the Gut, Mertz, 2000

Kerusakan lapisan mukosa ini berlangsung dalam berbagai tahapan, yaitu berkurangnya aliran darah di lapisan mukosa dan kerusakan mikorvaskuler serta sekresi mukus dan bikarbonat yang menurun (Akil, 2014).

(37)

sehingga dapat menyebabkan kerusakan sel endotel dan juga sel epitel mukosa (McGuigan, 2012).

Efek etanol pada kerusakan mukosa lambung biasanya terlihat dari adanya perdarahan subepitel mukosa, disertai dengan edema yang mengelilinginya. Hal ini dapat disertai juga dengan meningkatnya sel – sel peradangan mukosa, namun hal ini hanya bersifat ringan sampai sedang sehingga pengaruhnya tidak begitu besar (McGuigan, 2012).

2.3.6. Penegakan Diagnostik Dispepsia

(38)

Jika dijumpai tanda bahaya yang diperoleh melalui anamnesis, maka pemeriksaan penunjang diagnostik dapat dilakukan. Pemeriksaan penunjang diagnostik yang dapat dipergunakan adalah sebagai berikut.

1. Esofagogastroduodenoskopi

Esofagogastroduodenoskopi atau EGD merupakan bagian dari pemeriksaan endoskopi saluran cerna, yakni sistem pemeriksaan dengan menggunakan alat endoskop, guna memeriksa organ di dalam tubuh manusia secara visual dengan cara mengintip melalui alat tersebut (rigid / fiber scope) atau langsung melihat pada layar monitor (skop Evis) sehingga kelainan yang ada pada organ tersebut dapat diliha dengan jelas (Simadibrata, 2014). Endoskopi juga bisa digunakan untuk biopi jaringan pada saluran cerna bagian atas, terutama berguna untuk pemeriksaan bakteri Helicobacter pylori (Tarigan, 2014). EGD bertujuan untuk melihat secara detail struktur mukosa saluran cerna bagian atas (Syam, 2014).

Pemeriksaan EGD diindikasikan, selain untuk dispesia, juga untuk disfagia,

gastroesophageal reflux disease atau GERD, adanya tumor, benda asing,

tindakan terapeutik seperti ligasi dan sklerosing pada varises di saluran cerna bagian atas, serta tindakan bedah yang bersifat minimal seperti polipektomi,

endoscopic mucosal resection atau EMR dan endoscopic submucosal disection

(ESD). Terdapat kontraindikasi untuk pemeriksaan EGD seperti infark miokard akut, serangan asma bronkial akut, gagal jantung kongestif dan keadaan hemodinamik yang tidak baik dan stabil (Syam, 2014).

(39)

radiologis, EGD lebih bisa menentukan tingkat keganasan dari suatu tukak (Tarigan, 2014). Pemeriksaan EGD untuk penegakan diagnosis gastritis berperan untuk mengetahu adanya perdarahan pada mukosa, adanya kerapuhan dan sumbatan, serta erosi (McGuigan, 2012).

2. Pemeriksaan radiologis

Pemeriksaan radiologis dapat digunakan untuk memeriksa tukak peptik. Gambaran radiologis yang diperlihatkan berupa kawah berbatas jelas dengan lipatan mukosa yang teratur dan keluar dari pinggiran tukak (Tarigan, 2014). Pemeriksaan radiologis dengan barium bisa digunakan juga pada tukak peptik. Teknik barium kontras tunggal dapat mendeteksi hingga 70 sampai 80 %, namun dengan teknik barium kontras ganda, tukak dapat terdeteksi hingga 90 % dengan sinar X. Untuk ulkus yang disebabkan oleh NSAID, ulkus kurang dapat terdeteksi dengan mudah pada pemeriksaan radiologis. Gambaran radiologis kurang dapat menentukan tingkat keganasan tukak, karena terdapat sekitar 4 % gambaran tukak jinak pada pemeriksaan radiologis ternyata merupakan tukak ganas (McGuigan, 2012).

3. Urea Breath Test

Pemeriksaan Urea Breath Test atau UBT merupakan salah satu pemeriksaan diagnostik yang bersifat non invasif, sekaligus sebagai pemeriksaan baku emas untuk pemeriksaan diagnostik infeksi bakteri Helicobacter pylori. Dalam pemeriksaan ini, pasein diminta untuk menelan urea yang mengandung isotop karbon, yang akan dihasilkan isotop karbon dioksida dan dikeluarkan melalui pernapasan apabila terdapat kerja urease yang berasal dari bakteri

Helicobacter pylori, lalu hasil kenaikan ekskresi isotop tersebut dibandingkan

(40)

4. Histopatologi

Pemeriksaan histopatologi dapat digunakan untuk menentukan tingkat keganasan pada tukak peptikum. Biasanya pemeriksaan histopatologi menggunakan sampel biopsi. Sampel ini dapat diambil dari pinggir dan dasar tukak, setidaknya empat sampel untuk dua daerah tersebut, namun bila ukuran dari tukak tersebut cukup besar, maka dapat diambil setidaknya enam sampel untuk tiga daerah, yaitu dasar pinggir dan sekitar tukak (Tarigan, 2014).

Sampel biopsi dapat juga dipergunakan untuk memeriksa adanya infeksi bakteri Helicobacter pylori. Perwanaan sampel jaringan pada umumnya menggunakan hematoksilin dan eosin, karena akurasinya cukup tinggi, yakni mencapai 92 %, namun mendapatkan gambaran metaplasia yang lebih jelas, dapat dipergunakan pewarnaan Genta atau Giemsa. Pemeriksaan histopatologi untuk melihat bakteri ini efektif jika pasien tidak mengkonsumsi antibiotik sebelumnya (Rani, 2014).

5. Biopsy Urease Test

Pemeriksaan ini bertujuan untuku mendeteksi adanya bakteri Helicobacter

pylori. Pemeriksaan ini menggunakan sampel biopsi, yang kemudian akan

dilakukan pemeriksaan terhadap ada atau tidaknya amonia sebagai hasil dari perubahan urea oleh urease. Keberadaan amonia yang bersifat basa akan ditandai dengan warna merah. Sensitivitas dan spesifisitasnya cukup tinggi, mencapai 98 %, bahkan 100 % (Rani, 2014).

6. Serologi

(41)

7. Pemeriksaan mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologi dengan kultur dapat dilakukan untuk mendeteksi bakteri Helicobacter pylori, namun karena sensitivitasnya yang rendah yaitu hanya dikisaran 68 %, makan pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan (Rani, 2014).

8. Polymerase Chain Reaction

Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction atau PCR cukup efektif untuk mendeteksi adanya bakteri Helicobacter pylor, termasuk dengan densitas yang rendah. Sampel dari pemeriksaan ini adalah sampel biopsi. Sensitivitas dan spesifisitasnya cukup tinggi, mencapai 94 %, bahkan 100 % (Rani, 2014).

Jika tidak dijumpai kelainan organik apapun melalui pemeriksaan diatas, maka keluhan dispepsia tersebut merupakan dispepsia fungsional. Jika diagnosis dari dispepsia fungsional telah ditegakkan, maka perlu dieksplorasi apa bentuk ketidaknyamanan pada perut bagian atas tersebut, guna mengklasifikasikan keluhan dispepsia fungsional tersebut kedalam ulcer – like dyspepsia atau dysmotility – liker

dyspepsia. Apabila keluhan dispepsia tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu

dari klasifikasi ulcer – like dyspepsia atau dysmotility – liker dyspepsia, maka keluhan tersebut dimasukkan ke dalam dispepsia non spesifik (Abdullah, 2012). Pemisahan gejala dispepsia dalam klasifikasi ini diperlukan dalam penatalaksanaan yang berbeda nantinya. Kriteria diagnostik dispepsia menurut Rome III adalah sebagai berikut.

Dispepsia Fungsional

Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 poin dibawah ini seluruhnya terpenuhi: 1. Salah satu atau lebih dari gejala dibawah ini seluruhnya terpenuhi:

a. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu b. Perasaan cepat kenyang

c. Nyeri ulu hati

(42)

2. Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang menyebabkan timbulnya gejala (termasuk yang terdeteksi saat endoskopi saluran cerna bagian atas).

Kriteria terpenuhi bila gejala – gejala diatas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

a. Postprandial distress syndrome

Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 poin dibawah ini seluruhnya terpenuhi: 1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan

dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu

2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi makan biasa, terjadi beberapa kali seminggu

Kriteria terpenuhi bila gejala – gejala diatas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

Kriteria penunjang

1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau bersendawa yang berlebihan

2. Dapat timbul bersamaan dengan epigastric pain syndrome

b. Epigastric pain syndrome

Kriteria diagnostik terpenuhi bila 5 poin dibawah ini seluruhnya terpenuhi: 1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigatrium dengan

tingkat keparahan sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam seminggu 2. Nyeri timbul berulang

(43)

4. Tidak berkurang dengan defekasi atau flatus

5. Gejala – gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnostik kelainan kantung empedu dan sfingter Oddi

Kriteria terpenuhi bila gejala – gejala diatas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

Kriteria penunjang

1. Nteri epigatrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah retrosternal

2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin timbul saat puasa

3. Dapat timbul bersamaan dengan postprandial distress syndrome

2.3.7. Penatalaksanaan Dispepsia

Orang – orang yang menderita dispepsia dapat diberikan penatalaksanaan yang adekuat. Penatalaksanaan tersebut terdiri atas penatalaksanaan farmakologi dan non farmakologi (Djojoningrat, 2014). Masing – masing dari penatalaksanaan tersebut antara lain sebagai berikut.

2.3.7.1. Penatalaksanaan Farmakologi

(44)

1. Antasida

Penggunaan antasida bagi para penderita dispepsia, baik organik ataupun fungsional sudah umum saat ini (Djojoningrat, 2014). Antasida yang dipergunakan harus kuat dalam menetralisasi asam lambung dan dapat ditoleransi dengan dosis ulang serta harus bebas dari efek samping yang merugikan (McGuigan, 2012).

Antasida yang biasa digunakan sendiri terdiri dari berbagai macam komposisi tertentu, yakni terdiri atas preparat aluminium hidroksida, yang berperan dalam proses netralisasi asam hidroklorida membentuk aluminium dan air. Penggunaan aluminium hidroksida yang berkepanjangan dapat menimbulkan efek samping, yaitu konstipasi dan kekurangan fosfat, karena sifat aluminium yang mengikat fosfat dalam usus, sehingga berefek pada timbulnya lemah, lelah dan anoreksia (McGuigan, 2014). Efek samping lain dari penggunaan aluminium hidroksida adalah efek neurotoksik (Tarigan, 2014).

Preparat magnesium hidroksida juga dapat dijumpai dalam antasida. Preparat ini memiliku sifat yang kuat dalam menetralisasi asam. Terdapat efek samping dari preparat ini, yakni efek pencahar yang menimbulkan diare (McGuigan, 2012). Penggunaan magnesium hidroksida tidak dianjurkan untuk penderita gagal ginjal karena dapat menimbulkan hipermagnesemia dan kehilangan fosfat (Tarigan, 2014). Guna menghindari efek konstipasi dari aluminium hidroksida dan efek diare dari magnesium hidroksida, penggunaan antasida yang mengandung kombinasi dua preparat ini dapat dilakukan (McGuigan, 2012).

(45)

digunakan sebagai obat utama dalam mengatasi dispesia. Hal ini disebabkan oleh efek sampingya, yakni kalsinosis ginjal dan insufisiensi ginjal, yang jika dibiarkan progresif akan menimbulkan gagal ginjal, serta milk – alkali syndrome yang ditandai oleh hiperkalsemia, hiperfosfatemia, peningkatan kadar urea, kreatinin dan bikarbonat dalam darah. Preparat antasida yang lain adalah natrium bikarbonat yang cukup kuat dalam menetralisasi asam, namun memiliki efek samping antara lain alkalosis serta efek lain yang ditimbulkan oleh komposisi natriumnya yang tinggi (McGuigan, 2012).

2. Obat Pelapis Mukus

Obat ini tidak memiliki mekanisme penghambatan sekresi ataupun netralisasi asam lambung. Terdapat beberapa preparat untuk obat golongan ini. Salah satu jenis preparat tersebut adalah sukralfat, yang merupakan suatu kompleks garam polialuminium hidroksida (McGuigan, 2012). Preparat ini bekerja dengan melepaskan suatu kutub aluminium hidroksida yang berikatan dengan kutub positif molekul protein, sehingga membentuk suatu lapisan pelindung pada jaringan granulasi di dasar tukak (Tarigan, 2014). Lapisan ini dapat menghambat proses difusi asam ke dalam tukak tersebut. Selain itu, preparat ini juga dapat membantu proses sintesis prostaglandin endogen lambung sehingga terjadi peningkatan pertahanan mukosa. Preparat ini diabsorpsi secara minimal, dan hanya kurang dari 5 % preparat ini dalam urin (McGuigan, 2012). Efek samping dari penggunaan preparat ini adalah konstipasi. Preparat ini tidak dianjurkan untuk pasien gagal ginjal (Tarigan, 2014).

(46)

(McGuigan, 2014). Preparat ini dapat menimbulkan warna kehitaman pada tinja sehingga sering menimbulkan keraguan terhadap adanya perdarahan (Tarigan, 2014).

3. Prostaglandin

Mekanisme kerja obat ini adalah dengan mengurangi sekresi asam lambung, meningkatkan pertahan an mukosa terhadap kemungkinan cedera jaringan, merangsang sekresi mukus dan bikarbonat lambung, meningkatkan aliran darah pada mukosa lambung, mempertahankan keberadaan sawar pada mukosa lambung yang berdampak pada tidak ada kemungkinan untuk asalm lambung berdifusi pada mukosa. Efek obat ini biasanya kurang begitu signifikan, jika dibandingkan dengan obat golongan lain seperti golongan antagonis reseptor H2.

4. Antagonis Reseptor H2

Golongan obat ini memiliki berbagai macam preparat. Secara umum untuk semua preparat, meanisme kerjanya hampir sama yakni, dengan menghambat pengaruh dari histamin terhadap sel parietal. Dampak dari penghambatan ini adalah terjadinya pengurangan sekresi asam lambung (Tarigan, 2014). Beberapa dari preparat golongan obat ini memiliki struktur kimia yang sama dengan histamin, yaitu memiliki cincin imidazol (McGuigan, 2012).

(47)

Preparat lain yang juga sudah cukup lama dikenal adalah ranitidin. Preparat ini tidak memiliki cincin imidazol dalam struktur kimianya, melainkan gugus aminometilfuran. Efek kerjanya sekitar enam kali lebih kuat dari simetidin. Efek samping dari preparat ini ditandai dengan meningkatnya kadar marker hati seperti ALT dan AST dalam serum darah. Efek samping ginekomastia hampir tidak terjadi karena preparat ini tidak memiliki efek antiandrogenik (McGuigan, 2012).

Dua preparat yang cukup baru adalah famotidin dan nizatidin. Kedua prperat ini hanya memiliki cincin tiazol dala struktur kimianya. Preparat ini memiliki kemampuan 8 kali lebih kuat dibandingkan ranitidin. Efek samping dari preparat ini memiliki kemiripan dengan efek samping simetidin maupun ranitidin (McGuigan, 2012).

5. Proton Pump Inhibitor

Proton Pump Inhibitor atau PPI memiliki mekanisme kerja yaitu dengan

menghambat kerja H+K+ATPase, yang terdapat pada membran apikal sel parietal dan berperan dalam sekresi hidrogen dari dalam sel parietal ke dalam mukosa lambung (McGuigan, 2012). Beberapa preparat dari golongan obat ini, antara lain omeprazol, lansoprazol, pantoprazol, rabeprazol dan esomeprazol (Tarigan, 2014). Omeprazol, yang merupakan preparat golongan PPI yang sudah umum digunakan, merupakan suatu basa yang dapat menghasilkan ikatan gugus sulfur aktif yang selanjutnya akan membentuk disulfida kovalen dengan H+K+ATPase yang pada akhirnya akan menginaktifkan dan menghambat kerja H+K+ATPase (McGuigan, 2012). Efek penginaktifan dari obat ini paling lama muncul dalam jangka waktu 2 – 6 jam dan efeknya akan tetap terasa hingga 72 – 96 jam (Tarigan, 2014).

6. Obat Antikolinergik

(48)

golongan ini adalah pirenzepin, yang efek sampingnya lebih sedikit. Efek samping itu antara lain mulut kering, kemampuan penglihatan berkurang, retensi urin dan gangguan irama jantung. Penggunaan obat ini sebaiknya dihindari pada pasien dengan gejala retensi urin atau pada penderita glaukoma (McGuigan, 2012).

7. Prokinetik

Golongan obat ini memiliki mekanisme kerja yaitu dengan meningkatkan gerakan peristaltis saluran cerna. Mekanisme ini dilakukan melalui jalur, baik antagonis maupun agonis, terhadap berbagai reseptor seperi serotonin, asetilkolin, dopamin maupun motilin. Beberapa preparat obat ini antara lain metoklopramid yang merupakan antagonis reseptor dopamin D2 dan antagonis reseptor serotonin 5 – HT3, domperidon yang merupakan antagonis dopamin D2, cisapride yang merupakan agonis reseptor serotonin 5 – HT4 dan antagonis reseptor serotonin 5 – HT3, dan agonis motilin, salah satunya eritromisin (Djojoningrat, 2014).

2.3.7.2. Penatalaksanaan Non – Farmakologi

Orang – orang yang menderita dispepsia dapat diberikan penatalaksanaan non farmakologi yang meliputi modifikasi pola hidup, diet, perawatan dan pembedahan (Djojoningrat, 2014). Masing – masing dari hal tersebut antara lain sebagai berikut. 1. Pola Hidup dan Diet

Gambar

Gambar 2.1. Struktur dan Bagian – Bagian dari Lambung Sumber : Anatomi Klinis Berdasarkan Regio, Snell, 2014
Gambar 2.2. Sistem Arteri Pada Lambung Sumber : Anatomi Klinis Berdasarkan Regio, Snell, 2014
Gambar 2.3. Sistem Vena Pada Lambung Sumber : Anatomi Klinis Berdasarkan Regio, Snell, 2014
Gambar 2.4. Sistem Limfe Pada Lambung Sumber : Anatomi Klinis Berdasarkan Regio, Snell, 2014
+4

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data yang didapatkan, jumlah sampel responden yang memiliki kualitas tidur dan konsentrasi yang baik adalah 18 orang (39,13%), responden dengan kualitas tidur baik

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS TIDUR DENGAN TEKANAN DARAH PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS.. SUMATERA UTARA

Penelitian ini menggunakan sampel mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara stambuk 2012 karena penelitian tentang lamanya tidur pada mahasiswa fakultas

Faktor psikis dan emosi seperti pada kecemasan dapat mempengaruhi fungsi. saluran cerna dan mengakibatkan perubahan sekresi asam lambung,

HUBUNGAN KUALITAS TIDUR DENGAN FUNGSI KOGNITIF MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh MELLY 160100125 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS

Tidak adanya hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik selama pandemi COVID-19 dengan kualitas tidur mahasiswa FK USU menunjukkan bahwa terdapat banyak faktor yang dapat

Judul penelitian : Hubungan Tingkat Stres dengan Kejadian Dispepsia Fungsional pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Nama peneliti : Monica

Mukosa lambung terdiri dari epitel permukaan yang mengalami invaginasi dengan berbagai kedalaman di dalam lamina propria, membentuk foveola gastrika.. Di seluruh mukosa,