• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hamburan Partikel Ber-Spin 1/2 Dan 3/2 Dalam Basis Momentum-Helisitas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hamburan Partikel Ber-Spin 1/2 Dan 3/2 Dalam Basis Momentum-Helisitas"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

HAMBURAN PARTIKEL BER-SPIN 1/2 DAN 3/2 DALAM BASIS MOMENTUM-HELISITAS

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

HAMDANI PASARIBU 030801048

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PERSETUJUAN

Judul : HAMBURAN PARTIKEL BER-SPIN 1/2 DAN 3/2

DALAM BASIS MOMENTUM-HELISITAS

Kategori : SKRIPSI

Nama : HAMDANI PASARIBU

Nomor Induk Mahasiswa : 030801048

Program Studi : SARJANA (S1) FISIKA

Departemen : FISIKA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Diketahui

Departemen Fisika FMIPA USU Pembimbing

Ketua,

Dr. Marhaposan Situmorang, M.Sc. Drs. Milangi Ginting, M.S.

(3)

PERNYATAAN

HAMBURAN PARTIKEL BER-SPIN 1/2 DAN 3/2 DALAM BASIS MOMENTUM-HELISITAS

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juli 2009

(4)

PENGHARGAAN

Segala kemuliaan hanya bagi Tuhan Yesus Kristus yang memberikan segala berkat serta kasih setia-Nya yang selalu memelihara, melindu ngi, menyertai, memimpin dan membimbing penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

Sedikit banyaknya Ilmu yang penulis peroleh Selama kuliah di Universitas Sumatera Utara pada program studi Fisika telah merobah pola berpikir penulis. Secara khusus ilmu di bidang Fisika Teoritis telah banyak menyuguhkan atau memperkenalkan kepada penulis tentang hukum keteraturan alam semesta ini yang begitu mengagumkan, kompleks yang diformulasikan dalam bentuk matematis yang kompleks pula. Terlebih ketika penulis mengerjakan Skripsi ini, penulis semakin menyadari kompleksitas hukum tersebut. Tentu masih banyak lagi hukum-hukum Fisika yang belum terungkap. Untuk hari-hari ke depan kiranya penulis dapat mempelajari beberapa teori yang sudah ada untuk menghantar ke pemahaman yang lebih lagi.

(5)

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada rekan-rekan kuliah seperjuangan mahasiswa Fisika, khususnya angkatan 2003 dan bidang peminatan fisika teoritis. Demikian juga teman-teman lain yang tidak mungkin disebutkan namanya satu persatu, penulis mengucapkan salam dan banyak terima kasih atas bantuannya.

Akhirnya penulis berharap skripsi ini memberikan gagasan-gagasan baru bagi pembacanya sehingga memberikan kontribusi bagi penelitian-penelitian fisika selanjutnya. Semoga bidang fisika, khususnya fisika teori dapat lebih berkembang di negeri ini.

(6)

ABSTRAK

Hamburan 2 Partikel berspin-1/2 dan 3/2 diformulasikan dengan teknik perhitungan yang menggunakan Momentum-Helisitas sebagai basis perhitungannya. Dimulai dengan mendefenisikan Basis Momentum-Helicity, kemudian matriks-T dirumuskan dengan menggunakan persamaan Lippman-Schwinger. Efek kinematika relativistik juga diselidiki.

(7)

SCATTERING OF PARTICLES WITH SPIN-HALF AND SPIN-3/2 IN MOMENTUM-HELICITY BASIS

ABSTRACT

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ……….. ii

Pernyataan……… iii

Penghargaan ………... iv

Abstrak ………... vi

Abstract ………... vii

Daftar Isi………... viii

Daftar Gambar ………. ix

Bab 1. Pendahuluan ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Batasan Masalah ... 1

1.3 Tujuan Penelitian... 2

1.4 Metode Penelitian... 2

1.5 Sistematika Penulisan... 2

Bab 2. Tinjauan Pustaka ... 4

2.1 Hamburan dua partikel 2.1.1 Kinematika hamburan dua partikel...4

2.2 Persamaan Lippmann-Schwinger... 6

2.3 Observable... 11

2.4 Persamaan Lippmann-Schwinger dalam basis gelombang parsial...12

Bab 3. Hasil Dan Pembahasan ... 16

3.1 Basis momentum-Helicity... 16

3.2 Struktur umum Potensial...20

3.3 Persamaan Lippmann-Schwinger...24

3.4 Elemen Matriks M ... ... 29

3.5 Hubungan Elemen matriks-T dalam basis gelombang parsial... 32

3.6 Kinematika Relativistik...36

Bab 4. Penutup ... 46

4.1 Kesimpulan ... 46

4.2 Saran ... 46

Daftar Pustaka ... 47

Lampiran... 48

A. Basis gelombang parsial...48

(9)

DAFTAR GAMBAR

(10)
(11)

ABSTRAK

Hamburan 2 Partikel berspin-1/2 dan 3/2 diformulasikan dengan teknik perhitungan yang menggunakan Momentum-Helisitas sebagai basis perhitungannya. Dimulai dengan mendefenisikan Basis Momentum-Helicity, kemudian matriks-T dirumuskan dengan menggunakan persamaan Lippman-Schwinger. Efek kinematika relativistik juga diselidiki.

(12)

SCATTERING OF PARTICLES WITH SPIN-HALF AND SPIN-3/2 IN MOMENTUM-HELICITY BASIS

ABSTRACT

(13)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam memahami interaksi antar partikel, maka yang sering juga dilakukan adalah dengan melakukan hamburan antar partikel ( dengan melakukan tumbukan antar partikel ). Secara garis besar eksperimen hamburan dilakukan dengan membombardir target, yang dapat berupa atom, inti atom atau partikel, dengan partikel lain. Sifat-sifat dan kondisi awal dari partikel proyektil dan target diketahui. Setelah tumbukan, proyektil akan dihamburkan oleh target ke suatu arah.

Dalam bidang few-body nuclear physics perhitungan biasa dilakukan dalam basis eigenstate momentum sudut total. Ini bisa dimengerti mengingat gaya nuklir bersifat short range, sehingga untuk energi rendah sebuah proses hamburan bisa dijelaskan dengan memperhitungkan hanya beberapa momentum sudut total terendah. Namun, pada energi yang lebih tinggi diperlukan jumlah momentum angular yang lebih banyak, sehingga perumusan dan perhitungan numerik menjadi berat. Karena itu, diperlukan suatu teknik perhitungan yang lain, yang tidak berbasis pada eigenstate momentum angular. Dalam ruang momentum pilihannya yaitu memakai state vektor momentum sebagai basis. Teknik seperti ini dikenal dengan nama teknik 3D (3 Dimensi.

1.2 Batasan Masalah

(14)

lebih bermanfaat untuk energi tinggi, maka efek relativitas juga perlu dipertimbangkan, karena itu kinematika relativistik juga akan diperhitungkan.

1.3 Tujuan Penelitian

Memformulasikan hamburan 2 partikel, yang satu bespin 1/2 dan yang lain berspin 3/2 , yang bermanfaat sebagi solusi alternative dalam menyelesaikan permasalahan hamburan pertikel berenergi tinggi ( High Energy Physics ), dengan memilih vektor momentum dan helicity sebagai basis.

1.4 Metode Penelitian

Berhubung karena Penelitian ini berbasiskan momentum-helicity maka pertama-tama basis momentum-helicity diuraikan terlebih dahulu. Selanjutnya, dengan basis momentum-helicity tersebut , persamaan Lippmann-Schwinger dipecahkan untuk matriks-T.

1.5 Sistematika Penulisan

Skripsi ini ditulis terbagi menjadi empat bab, dengan penjelasan bab demi bab adalah sebagai berikut,

• Pada bab 1 dikemukakan latar belakang penelitian, batasan masalah, tujuan penelitian, dan metode penelitian yang digunakan.

• Bab 2 merupakan tinjauan pustaka yang membahas mengenai dasar teori hamburan 2 partikel yang ditinjau dalam dua kerangka. Yang satu kerangka Laboratorium dan yang lain kerangka pusat massa. Kemudian Persamaan Lippman Schwinger untuk matriks-T dibentuk untuk proses hamburan. Dan amplitudo hamburan juga dirumuskan dengan mengaitkannya dengan matriks hamburan. Selanjutnya Persamaan Lippman-Schwinger dibentuk dalam basis gelombang parsial.

(15)

Setelah itu persamaan Lippman Schwinger untuk matriks-T pada basis Momentum-Helisitas dibentuk. Selanjutnya hubungan antara basis Momentum-Helisitas dan basis Gelombang Parsial diturunkan dan terakhir memformulasikan efek kinematika relativistik.

(16)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hamburan dua partikel

Interaksi antar partikel dapat dipahami dengan mengkaji proses hamburan. Dalam hamburan, sebuah berkas partikel diarahkan ke sebuah material penghambur yang dinamakan target, kemudian distribusi energi dan sudut partikel tersebut diamati. Proses hamburan ini dapat dilakukan dengan menganggap target tidak mengalami perubahan keadaan maka hamburan ini dinamakan hamburan elastis. Dan target mengalami perubahan keadaan dinamakan hamburan nonelastis(G.Aruldhas, 1984). Fenomena hamburan ini tentu saja telah banyak dikenal, khususnya dalam fisika nuklir dalam mengungkap karakteristik inti atau interaksi antar nucleon dalam inti. Penjelasan tentang hamburan dalam bab ini hanya bersifat singkat sebagai dasar untuk formulasi pada bab-bab selanjutnya.

2.1.1 Kinematika Hamburan Dua Partikel

Kerangka yang digunakan adalah kerangka laboratorium (Lab.) dan kerangka pusat massa (P.M.). Misalkan m1 menyatakan massa partikel 1, digunakan sebagai proyektil, dan m2 massa partikel 2 digunakan sebagai target. Di dalam kerangka Laboratorium (Lab.) mula-mula ( sebelum mengalami hamburan ) m1 dan m2 masing-masing mempunyai momentum k1 dan k2 dimana k2 = 0, dan pada keadaan akhir ( sesudah

mengalami hamburan ) momentum yang dimiliki m1 dan m2 adalah k1 dan k2 . Dalam menghitung proses hamburan sangat memudahkan jika menggunakan momentum relatif ( p ), yang didefinisikan sebagai :

2 1 2 1 2

m m

m m

− =

+

1

k k

p

(2.1)

Pada keadaan awal, partikel target berada dalam keadaan diam, k2

(17)

1 1

m

µ

= k

p

(2.2)

Dimana µ adalah massa tereduksi.

1 2 1 2 m m

m m

µ=

+

(2.3)

Gambar 2.1. Hamburan dalam kerangka laboratorium dan kerangka P.M. Energi kinetik total system ( Ek

) dalam satu kerangka acuan adalah penjumlahan dari energi kinetik masing-masing partikel dalam kerangka tersebut.

Energi kinetik bersifat kekal dalam hamburan, sehingga berlaku persamaan berikut :

1 1 2

k Lab k k k

E

=

E

=

E

+

E

(2.4)

2 2 2

1 1 2

1 1 2

2 2 2

k Lab

k k k

E

m m m

′ ′

= = + (2.5)

2 2 .

2 2

k P M

p p

E

µ µ′

= = (2.6)

Dalam hal ini Ek Lab = ELab.(Energi Lab.) dan Ek P M. = EP M. ( Energi P.M.). Karena hamburan bersifat elastis maka besarnya energi awal dan energi akhir adalah sama. Perbandingan antara ELab. Dan EP M. :

2

2

. 2 1

1 . 1

2 2

P M

Lab p E

m E m

µ µ µ

= =

=

k

(18)

Pada gambar 2.1. di atas dapat dilihat skema hamburan dalam kerangka laboratorium dan kerangka pusat massa. Hubungan antara sudut hambur dalam kedua kerangka dapat juga ditentukan. Sudut hambur adalah besarnya sudut antara vektor momentum awal dan vector momentum akhir dari proyektil. Pada hamburan misalkan proyektil datang pada arah sumbu-z dengan momentum k1 = k1 ˆz dan p = p ˆz dan hamburan terjadi pada bidang xˆ−zˆ.Vector momentum akhir dalam kerangka P.M. Adalah :

. . . .

ˆ ˆ

x + z

ˆ ˆ

= p sin x + p cos z

x z

P M P M

p p

θ θ

′= ′ ′

p

(2.8) dan dapat juga dinyatakan sebagai :

2 1 2 1 2

m m

m m

′− ′

′ =

+

1

k k

p (2.9) Pada kerangka Lab. Vektor momentum awal hanya memiliki komponen pada sumbuz, sehingga vector momentum akhir total juga hanya pada subu-z, komponen sumbu-x dari vector momentum akhir akan saling menghilangkan, maka diperoleh hubungan : k2x = −k1x (2.10) Dengan memasukkan persamaan (2.8) kedalam persamaan (2.9) dan dengan kondisi (2.10), maka akan diperoleh hubungan antara sudut hambur dalam kedua kerangka sebagai berikut :

1 2

. . . arcsin( sin .) m

P M Lab m Lab

θ =θ + θ (2.11)

2.2 Persamaan Lippmann-Schwinger

Proyektil memiliki energi kinetic Ho = p2

H = H

/2m dan target mempunyai komponen potensial V , maka Hamiltonian interaksi antara proyektil dan target dapat diformulasikan sebagai berikut :

o = p

+ V 2

/2m + V (2.12)

(19)

H0 φ =E φ (2.13) Fungsi φ fungsi keadaan bebas ( free-state). Untuk keadaan hamburan berlaku :

(

H0 +V

)

ψ =Eψ (2.14)

dengan ψ merupakan keadaan hamburan. Digunakan Ansazt bahwa keadaan hamburan adalah :

ψ = φ + χ (2.15) Jika interaksi tidak terjadi maka hamburan tidak akan terjadi. Misalkan V = 0, maka

ψ = φ . Solusi persamaan Schrodinger (2.14) dapat menjelaskan keadaan hamburan dengan menggunakan persamaan (2.15) sebagai berikut :

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

( )

(

)

(

)

0

0 0

0 0

0 0

0 0

0

dimana , :

:

1

H V E E

H V H V E E

H V H V E E

H E maka

V H V E

Sehingga

V E H

V E H

V

E H

φ χ φ χ

φ χ φ χ

φ φ χ χ φ χ

φ φ

φ χ χ χ

φ χ χ

ψ χ

χ ψ

+ + = +

+ + + = +

+ + + = +

=

+ + =

+ = −

= −

= −

(

0

)

1

dan V

E H

ψ = φ + ψ

ψ φ

= +

G E V

0

( )

ψ

(2.16)

(

)

0

0 1 ( )

dengan G E adalah propagator bebas E H

=

.

Untuk menghindari titik singular pada saat E=H0, maka Edibuat sedikit kompleks yaitu : E→ ±E i² dengan ²≈0. Sehingga propagator bebas berubah menjadi :

0

0

0 1 ( ) lim G E

E i H

=

± −

(20)

0

0 1 lim

E i H

ψ = φ +

± −

² ² ψ = φ +G0±( )E V ψ (2.17) Persamaan (2.17) ini disebut sebagai persamaan Lippman-Scwhinger untuk fungsi gelombang.

Perubahan keadaan ( dari keadaan awal ke keadaan akhir ) dapat didefinisikan melalui operator transisi sebagai berikut :

T ψ ≡V ψ (2.18) Dengan ψ pada persamaan (2.17) diperoleh persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-T,

T φ V

(

φ G0( )E V ψ

)

±

= +

0 0

( ) ( )

T V VG E V

T V VG E T

φ φ ψ

φ φ ψ

±

±

= +

= +

T = +V VG0±( )E T (2.19) Arti fisis dari persamaan (2.19) di atas adalah bahwa dalam hamburan dua partikel dimungkinkan terjadinya hamburan berkali-kali ( multiple-scattering ) dalam intermediate state. Matriks T pada persamaan tersebut juga menunjukkan sebuah deret tak hingga dari V, maka persamaan tersebut dapat diekspansikan menjadi :

T =+V VG V+0± VG VG V0± +0± VG VG VG V0± 0± +0± ... (2.20) Dengan menerapkan basis tertentu yaitu basis ruang konfigurasi pada persamaan (2.17) maka diperoleh :

rψ = r φ + r G0±( )E V ψ (2.21)

φ merupakan keadaan bebas sistem dengan momentum p, maka φ diganti menjadi

p , dan persamaan (2.21) menjadi :

0 0

( )

( )

Fungsi Green

G E V

d G E V

ψ ψ

ψ

±

±

= +

′ ′ ′

= +

r r p r

r p r r r r



(2.22)

Dengan r p merupakan fungsi gelombang bebas berupa fungsi gelombang bidang, r p =

( )

. 3

2 1 2

i e

π

p r

(21)

dan r G0±( )E r′ yang merupakan representasi propagator bebas dikenal sebagai fungsi Green partikel bebas(E. Merzbacher, 1958) :

r r 0

2 ( )

4 r r

ip

e

G E µ

π

′ ′ ± −

± ′ = −

′ −

r r (2.24) Perhatikan Gambar 2.2 di bawah ini :

Gambar 2.2.Titik pengamatan Jika rr′, maka − ′ r− ⋅ˆ ′dan 1

′ −

r r r r

r r

฀ dapat diganti dengan 1

r dan dapat kita

peroleh :

e±ipr r−′ =e±ipreip r′ ′. (2.25) sehingga persamaan (2.24) menjadi :

0 . 2

( )

4 ipr

i e

G E e

r

µ π

±

′ ′

± ′ = − p r

r r  (2.26) Dengan memasukkan persamaan (2.23) dan (2.26) ke persamaan (2.22) didapatkan : 3

2

. .

1

( ) 2

(2 )

ipr

i e i

e d e T

r

ψ µ π φ

π

±

′ ′

=−

p r p r

r rr (2.27)

(22)

digunakan adalah solusi untuk E+i². Dan juga propagator yang digunakan adalah 0( )

G+ E . Sehingga diperoleh :

3 2 3 3 2 2 3 2 . .

. 2 .

. 2

1

( ) 2

(2 )

1 1

4

(2 ) (2 )

1 4 (2 ) ipr i i ipr i i ipr i e

e d e T

r

e

e d e T

r

e

e d T

r ψ π µ π φ µπ φ π π µπ φ π ′ ′ − ′ ′ −   =−     =−    ′ ′ ′ ′  =−  

p r p r

p r p r

p r

r r r

r r

r p r r

3 2

. 2

1

( ) 4

(2 ) ipr i e e T r ψ µπ π  ′  =−   p r

r p p (2.28)

Pada persamaan (2.28) di atas telah diganti φ menjadi p . Suku pT p

merupakan elemen matriks-T dalam basis vector momentum. Jika amplitudo hamburan ( , )f p p didefinisikan sebagai berikut :

2

( , ) 4

f p p′ ≡ − µπ pT p (2.29) maka persamaan (2.28) menjadi :

3 2 . 1 ( ) ( , ) (2 ) ipr i e e f r ψ π  ′  =+   p r

r p p (2.30) Persamaan di atas akan dimodifikasi dengan memasukkan keadaan spin n pada keadaaan bebas dan keadaan hamburan sebagai berikut :

Keadaan bebas : φn ≡ φ n (2.31) Keadaan hamburan : ψn ≡ ψ n (2.32) Dengan n merupakan kombinasi linear dari 2λ dan λmerupakan proyeksi spin pada sumbu kuantisasi ( bilangan kuantum magnetic spin ) :

2 2 n aλn 2

λ=− λ

=

(2.33)

Dengan menambahkan komponen spin pada persamaan (2.22) maka diperoleh :

n n d G0( )E T n

λ

ψ φ + λ λ φ

′ ′ ′ ′ ′ ′

= +

∑∫

r r r r r r (2.34)

(23)

.

0 3/ 2

. 3/ 2

( ) n 2, ( )

(2 )

2 2,

(2 ) i

i ipr

e

n d G E T n

e e

n T n

r λ

λ

ψ π λ λ

µ π λ λ

π

+ ′

′ ′ ′ ′ ′

= +

′ ′ ′

= −

p r

p r

r r r r r p

p p

. .

3/ 2 2, ( , )

(2 )

i ipr

i

e e

e n f

r λ λ λ

π ′

=+

p r p r

p p (2.35) dengan :

2

( , ) 4

fλ p p′ ≡ − µπ p′ ′λ T pn (2.36)

2.3 Observable

Observable proses hamburan diperoleh dari amplitudo hamburan. Maka melalui hubungan matriks-T dengan matriks hamburan M :

2

( , ) 4 T

λ λ′ p p′ ≡ − µπ p′ ′λ pλ

M (2.37) diperoleh hubungan amplitudo hamburan dengan matriks hamburan M sebagai berikut :

2 2

( , ) n ( , )

fλ aλ λ λ

λ

′ ′

=−

′ =

p p M p p (2.38) Untuk hamburan yang bersifat elastic, p= p′, sehingga :

fλ( , )p p′ = fλ(ppˆ′,pz (2.39) ˆ) Observable dihitung menggunakan observable spin umum yaitu :

1

{

}

4 i

f

I µ α Tr α µ

α

σ =

σ M σ M σ (2.40)

dengan : 0 1 0 , 1 0 1 , 2 0 , 3 1 0

0 1 1 0 0 0 1

i i

σ = σ =  σ = −  σ = 

       

Jika spin proyektil tidak terpolarisasi, dan keadaan spin partikel terhambur tidak diukur, maka diperoleh penampang lintang diferensial yang dirata-ratakan terhadap spin ( spin averaged differential cross section ):

0 1

{

}

4
(24)

Spin partikel terhambur diukur untuk mengetahui apakah proses hamburan menyebabkan proyektil yang semula tidak terpolarisasi menjadi terpolarisasi . Sesuai persamaan (2.40) dapat diperoleh :

1

{

}

( 1, 2, 3...)

4

f

I σµ == Tr M M σµ µ (2.42)

serta polarisi partikel terhambur didefinisikan sebagai :

{

}

0 1 4I Tr

µ = σµ

P M M (2.43) Jika arah proyektil mula-ula ditentukan pada arah sumbu-z dan bidang hamburan pada bidang xˆ−zˆ, maka sesuai sifat invarian proses hamburan terhadap paritas, polarisasi hanya ada pada arah noral hamburan, yaitu :

ˆ≡ ′× =ˆ

′×

k k

n y

k k (2.44)

Sehingga polarisasi pada arah normal ˆ( )y adalah :

{

}

0 1 4

y Tr y

I σ

=

P M M (2.45)

2.4 Persamaan Lippmann-Schwinger Dalam Basis Gelombang Parsial

Untuk menyelesaikan kasus-kasus hamburan pada energi beberapa Mev dan beberapa ratus Mev (energi menengah) maka yang paling cocok digunakan adalah ekspansi gelombang parsial. Representasi gelombang parsial dengan basis state p l( 2);jm

adalah representasi yang sering digunakan untuk menyelesaikan persamaan Lippman-Schwinger. Mengenai basis ini dapat dilihat pada lampiran A Maka elemen matriks-T dan potensial V dalam basis gelombang parsial adalah :

( 2); ( 2);

( 2); ( 2);

p l j m T p l jm p l j m V p l jm

′ ′ ′ ′

′ ′ ′ ′ (2.46)

dengan m adalah proyeksi momentum sudut total J pada sumbu-z, dan J = L + S. Karena kekekalan momentum sudut total, maka persamaan (2.46) dapat dituliskan dalam bentuk sebagai berikut :

(25)

p l′ ′( 2);j m T p l′ ′ ( 2); jm =δ δjj mm′ ′Tl ljm( , )p p′ (2.48) baik matriks potensial V maupun matriks-T adalah bersifat diagonal untuk j dan m, dengan :

Vlljm ( , )p p′ ≡ p l′ ′( 2); jm V p l( 2); jm (2.49) Tlljm′ ( , )p p′ ≡ p l′ ′( 2); jm T p l( 2);jm (2.50)

Melalui persamaan di atas sebuah persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-T pada basis gelombang parsial dapat dibentuk dengan menggunakan persamaan (2.19) :

0 2 2 0 3 0 2

( , ) ( , ) ( 2); ( ) ( 2);

( , ) ( 2); ( 2);

( ); ( ) ( 2); ( 2);

jm jm

ll ll

jm ll

j l m j l m

T p p V p p p l j m VG E T p l jm

V p p dp dp p p p l j m V p l j m

p l j m G E p l j m p l + ′ ′ ∞ ′ ′′ ′′ ′′ ′′′ ′′′ ′′′ + ′ = ′ + ′ ′ ′ ′ ′ ′′ ′′′ ′′ ′′′ ′ ′ ′ ′ ′′ ′′ ′′ ′′ = + ′′ ′′ ′′ ′′ ′′′ ′′′ ′′′ ′′′ ′′′ ′′′ ′′′ ×

∑ ∑ ∫

( 2); j m T p l′′′ jm

(2.51)

dengan kondisi pada persamaan (2.47) dan (2.48) diperoleh : 2 2

0

( , ) ( , ) ( , )

jm jm j m

l l l l l l

l l

T p p V p pd pd pp p V′ ′′′ ′ p p

′′ ′′′

′ = ′ +

∑∫

′′ ′′′ ′′ ′′′ ′ ′′

× p l′′ ′′( 2); j m G′ ′ 0+(Ep) p l′′′ ′′′( 2);jm Tl l′′′jm(p′′′, )p (2.52) Persamaan (2.52) di atas dapat disederhanakan dengan mengerjakan elemen matriks dari propagator dala basis gelombang parsial p l( 2); jm :

0

0

2 2

0

( 2); ( ) ( 2);

p p ( 2); p p ( ) p p ( 2);

1

2 lim p p ( 2); p p p p ( 2);

ˆ

p

p

p l j m G E p l jm

d d p l j m G E p l jm

d d p l j m p l jm

p i op

µ + + → ′′ ′′ ′ ′ ′′′ ′′′ ′′ ′′′ ′′ ′′ ′ ′ ′′ ′′ ′′′ ′′′ ′′′ ′′′ = ′′ ′′′ ′′ ′′ ′ ′ ′′ ′′′ ′′ ′′′ ′′′ ′′′ = + −

² ²

2 2 0

( ) 1

2 j j m m l l lim

p p

p p p i p

δ

µ ′′− ′′′ δ δ δ′ ′ ′′′ ′′ →

= ′′ ′′′ ′′

+ −

² ²

(2.53) Maka persamaan (2.53) dapat disederhanakan menjadi :

2 2 2

0 0

( , )

( , ) ( , ) 2 lim ( , )

jm

jm jm l l jm

l l l l l l

l

V p p

T p p V p p d pp T p p

p i p

µ ∞ ′ ′′ ′ ′ ′′ ′′ ′ ′′ ′ = ′ + ′′ ′′ ′′ ′′ + −

∑∫

² ² (2.54)

Melalui persamaan (2.37) maka hubungan Mλ λ ( , )p p′ dan Tl ljm( , )p p

(26)

2

, ,

2

( , ) 4 ( 2 ; , ) ( 2 ; , )

ˆ ˆ

( 2); ( 2); ( ) ( )

4 ( 2 ; , ) ( 2 ; , )

j m l jml

l m l m

jmll

C l j m C l j m

p l j m T p l jm Y Y

C l j m C l j m λ λ

λ λ

µπ λ λ λ λ

µπ λ λ λ λ

′ ′ ′

∗ ′ ′ ′− −

′ = −′ ′ ′ ′ − −

′ ′ ′ ′ ′

′ ′ ′

= − − −

∑ ∑

p p

p p

M

Tl ljm( , )p p Yl m, λ( )pˆ′ Yl m, λ( )pˆ (2.55) Dalam memudahkan pengerjaan maka ditentukan ˆp = z , maka : ˆ

, ( )ˆ , ( )ˆ 2 1 4

l m l m

l

Y λ Y λ

π

p = − p = + (2.56) dengan m=λ.Sehingga persamaan (2.55) dapat dituliskan sebagai berikut :

2 2 1 ˆ

ˆ

( , ) 4 ( 2 ; , ) ( 2 ; 0, ) ( , ) ( )

4

j

l l l

jll

l

p C l j C l j T λ p p Y

λ λ′ µπ π λ λ λ λ ′ ′λ λ− ′

+

′ =

′ − ′ ′ −′ ′

p z p

M (2.57)

(27)

BAB 3

FORMULASI TIGA DIMENSI

Pengkajian hamburan 2 partikel atau lebih secara analitik pada energi rendah, kita dapat menggunakan teknik perhitungan gelombang parsial ( Partial wave/P.W ). Teknik perhitungan ini menggunakan eigenstate momentum angular total sebagai basis perhitungannya. Pada kasus energi rendah jumlah nilai momentum angular total tidaklah terlalu banyak atau banyaknya nilai j tidaklah terlalu banyak. Dimana matriks-T diselesaikan sampai nilai j maks. Namun untuk kasus haburan energi menengah dan energi tinggi nilai j ini sudah terlalu banyak atau jumlah gelombang parsial amat banyak sehingga metode gelombang parsial tidak lagi efektif dan tingkat akurasi perhitungan juga menurun. Karena itu suatu teknik lain perlu dikembangkan dalam enganalisa hamburan pada energi yang amat tinggi. Hal ini merupakan konsekuensi dari semakin berkembangnya keingintahuan kita mengenai struktur penyusun dari materi terkecil. Maka teknik yang baru dan terkenal saat ini adalah teknik tiga dimensi (3D).

(28)

0 dan ½). Pada penelitian ini akan dicoba membuat suatu formulasi untuk hamburan 2 patikel yang berspin 1/2 dan 3/2

3.1 Basis momentum-Helicity

Basis momentum-helicity dibentuk dari 2 state ( keadaan ) yaitu state vector momentum dan state helicity. Helisitas adalah proyeksi spin pada vector momentum yaitu pˆ 2λ . Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :

ˆ2λ =R( ) 2ˆ zˆ λ

p p (3.1)

Proyeksi spin λ terhadap sumbu kuantisasi tidak berubah. Dengan R p adalah ( )ˆ operator rotasi :

ˆ

( ) isz isy

R p =e− φe− θ (3. 2) Untuk hubungan kelengkapan ( Completeness Relation ) dan sifat ortogonalitas dari state ini adalah :

ˆ2 ˆ2 1

λ λ λ =

p p (3. 3) 1

ˆ2 ˆ2 ˆ2 ( ) ( ) 2ˆ ˆ ˆ

ˆ2 ˆ2

ˆ2 ˆ2 ˆ2 ˆ2 ˆ2 ˆ2

z R R z

z z

λ λ

λ

λ λ λ λ λ

λ λ

λ λ λ λ

λ λ

δ

λ λ λ λ λ λ

δ δ δ

′′

′ ′′ ′′ ′′

′ = ′

′ = =

′ = ′ ′′ ′′

= =

p p p p

p p p p p p (3. 4)

State helicity ( persamaan 3.1 ) digabungkan dengan state vector momentum maka akan terdefenisikan sebuah basis momentum-helicity yaitu :

ˆ ˆ

; 2λ ≡ 2λ

p p p p (3. 5) Untuk basis yang berparitas :

(

)

1 2

ˆ ˆ

; 2λ π = 1+ηπP ; 2λ

p p p p (3. 6) Dimana nilai eigen dari paritas η = ±π 1. Dengan mengoperasikan operator paritas P

(29)

(

)

(

)(

)

( )

( )

1 2

1 1

2 1

ˆ ˆ

; 2 ; 2

ˆ

1 2 ; 2

ˆ ; 2 P

P

P P

P P

π π

π π

π π π

η

η π

λ η λ

η η λ

λ

+ +

= +

= + +

=

p p p p

p p p p

ˆ ; 2

π π

η λ

= p p (3. 7) Fungsi gelombang partikel ber-spin setengah bilangn bulat ganjil adalah fungsi gelombang yang antisimetrik. Partikel semacam ini adalah disebut juga partikel Fermi ( Fermion). Sifat antisimetrik ini akan diperkenalkan untuk memperoleh nilai isospin dan operator permutasi juga digunakan untuk mempertukarkan kedua label dari partikel. Operator permutasi P dioperasikan pada seluruh ruang ( momentum, spin, 12 Isospin ). Dalam ruang momentum P dioperasikan sebagaimana operator paritas P 12 dioperasikan pada ruang momentum, sementara dalam ruang spin dan ruang Isospin operator P dioperasikan sebagai berikut : 12

( )

1

12 ˆ2 ˆ2 ˆ2 s

Pp λ− = =+ p λ p λ (3. 8)

12

( )

1 t

P t = − + t (3. 9) Di sini ttmt adalah state isospin total dari kedua partikel. m adalah proyeksi t isospin terhadap sumbu kuantisasinya dimana m ini juga menjelaskan muatan listrik t total dari system. Sekarang basis momentum-helicity p p; 2 ;ˆ λ t πa didefenisikan sebagai berikut :

12 1

ˆ ˆ

; 2 ; (1 ) ; 2

2 a

t π P π t

λ ≡ − λ

p p p p

1 (1 ( ) ) ; 2ˆ 2

t

t

π π

η λ

= − − p p (3. 10)

Sifat antisimetrik dari state di atas adalah :

(

)

12 12

1

ˆ ˆ

; 2 ; 1 ; 2

2 a

P p p λ t π = Pp p λ π t ˆ

; 2 ;λ t πa

= − p p (3. 11)

Pada persamaan (3.10) Paritas, Spin dan Isospin harus memenuhi kondisi :

( )

t 1

π

(30)

Sekarang sifat ortogonalitas persamaan (3.10) akan didefinisikan. Untuk memperolehnya dibutuhkan hubungan pˆ 2λ dan −pˆ 2λ . Hubungan ini dapat diturunkan dengan menggunakan defenisi dalam persamaan (3. 1) untuk −pˆ 2λ dan fungsi –D Wigner :

2 2

ˆ ˆ ˆ ˆ

( ) ( 0 ) 2 ( ) 2

Dλ λ p =Dλ λ φθ ≡ z λ′ R p z λ

ˆ2 ˆ2

ˆ2 ˆ2

y z y is is is i

z e e z

e z e z

θ φ θ λ φ λ λ λ λ − − − ′ − ′ = ′ =

eiλ φ′ dλ λ2 ( )θ (3. 12) dengan :

2 2

,

( ) ( ) ( )

dλ λ π θ− = − λ′dλ λ′ − θ (3. 13) Untuk lebih lanjut tentang fungsi-D Wigner dapat dilihat pada lampiran B. Dari persamaan di atas dapat diperoleh :

ˆ2λ R( ˆ) 2zˆ λ

p = −p

2 2 ,

ˆ ˆ

( ) 2

ˆ ˆ

( ) 2

D z D z λ λ λ λ λ λ λ λ ′ ′ ′ − ′ ′ = − ′ =

p p

= pˆ 2,−λ (3. 14) Maka ortogonalitas dari basis momentum-helisitas pada persamaan (3. 10) adalah :

(

)(

)

1

ˆ ˆ

; 2 ; ; 2 ; 1 ( ) 1 ( )

2

a a t t

t t t t π π π π λ λ η η δ ′ ′ ′ ′ ′ ′ ′ = − − − −

p p p p

×π p p′ ′ ′; 2ˆ λ p p; 2ˆ λ π (3.15) dengan :

ˆ ˆ

; 2 ; 2

1

ˆ ˆ

; 2 (1 )(1 ) ; 2

2 P P

π π π π λ λ λ η η λ ′ ′ ′ ′ ′ ′ ′ ′ = + +

p p p p

p p p p

1

ˆ ˆ ˆ ˆ ˆ

; 2 ( ; 2 ; 2 ; 2 ; 2 )

2 ′ ′ ′λ λ ηπ λ ηπ′ λ η ηπ π′ λ

= p p+ p pp p + −p p + p p

{

,

}

1

ˆ ˆ

{(1 ) ( ) ( ) ( ) 2 2 }

2 1

(1 ) ( ) ( ) ( )

2 π π λ λ π π π π λ λ π π λ λ η η δ δ η η δ λ λ η η δ δ η η δ δ ′ ′ ′ ′ ′ ′ ′ − ′ ′ ′ ′ = + − + + + × − ′ ′ = + − + + +

p p p p p p

p p p p

(31)

{

,

}

ˆ ˆ

; 2 ; 2 ( ) ( )

π π

η η λ λ π λ λ

π′ p p′ ′ ′λ p p λ π =δ ′ δ p′−pδ ′ +η δ p′+pδ ′ − (3. 16) Dengan demikian persamaan (3.15) menjadi :

(

)(

)

{

,

}

ˆ ˆ

; 2 ; ; 2 ;

1

1 ( ) 1 ( ) ( ) ( )

2 a a t t t t t t π π π π π π η η λ λ π λ λ λ λ η η δ δ ′ δ δ η δ δ ′ ′ ′ ′ ′ ′ − ′ ′ ′ ′ ′ ′ = − − − − × − + +

p p p p

p p p p

(

1 ( )

)

{

( ) ( ) ,

}

t

t t π π

π η η λ λ π λ λ

η δ δ′ ′ δ ′ δ ′ η δ ′ δ ′ −

= − − × pp + p +p (3. 17) dimana factor

(

1−ηπ( )− = −t

)

1

Persamaan (3.17) di atas adalah merupakan keadaan ( state ) yang ternormalisasi. Maka factor normalisasinya dapat diperoleh dengan memperkenalkan sebuah hubungan kelengkapan ( Completeness Relation ) :

ˆ ˆ

; 2 ; a a ; 2 ; 1

t

d t π π t

λπ λ ρ λ =

∑∫

p p p p p (3.18)

ρadalah factor normalisasinya.

ρ dapat ditentukan melalui cara berikut :

ˆ ˆ

; 2 ; ; 2 ;

a a t t π π λ λ ′ ′′ ′ ′ ′ ′ ′′ ′′ ′′ ′′

p p p p

(

)

(

)

{

}

{

}

, , ˆ ˆ ˆ ˆ

; 2 ; ; 2 ; ; 2 ; ; 2 ;

1 ( ) 1 ( )

( ) ( )

( ) ( )

a a a a

t

t t

t t tt

t

t d t t t

d π π π π π π π π λπ π η η π η η λπ λ λ π λ λ λλ π λ λ λ λ ρ λ λ ρ η δ δ η δ δ δ δ η δ δ δ δ η δ δ ′ ′′ ′ ′′ ′ ′′ ′ ′ − ′′ − ′′ ′ ′ ′ ′ ′′ ′′ ′′ ′′ = = − − − − ′ ′ × − + + ′′ ′′ × − + +

∑∫

∑ ∫

p p p p p p p p p

p

p p p p

p p p p

(

)

2

, ,

1 ( ) { ( ) ( )

( ) ( ) }

t

t t π π

π η η λ λ π λ λ λ λ π λ λ ρ η δ δ δ δ η δ δ δ δ η δ δ ′ ′′ ′ ′ ′ ′′ ′ ′′ ′ ′− ′′ ′ ′′ ′ ′− ′′ ′ ′′ ′ ′′ = − − × − + + ′ ′′ ′ ′′ + − + +

p p p p

p p p p

4

(

1 ( )

)

{ ( ) ( ) , }

t

t t π π

π η η λ λ π λ λ

ρ η δ δ ′ ′′ δ δ η δ δ

′ ′ ′′ ′ ′′ ′ ′′ ′ ′ ′′ ′− ′′

= − − × pp + p +p

=4ρπ′a p p′ ′ ′ ′ ′′ ′′ ′′ ′′; 2 ;ˆ λ t p p;ˆ 2λ ;t π′′a (3. 19) dengan demikian : ρ=4

Maka Persamaan (3. 18) menjadi :

1

ˆ ˆ

; 2 ; ; 2 ; 1

4

a a

t

d t π π t

λπ λ λ =

(32)

3. 2 Struktur Umum Potensial

Diasumsikan bahwa paritas, spin dan isospin adalah kekal. Elemen matriks potensial pada basis momentum-helisitas adalah :

ˆ ˆ

( , ) a ; 2 ; ; 2 ; a

t

Vλ λπ p p′ ≡π p p′ ′ ′λ t p p λ t π (3. 21) Dengan menggunakan persamaan (3.10) dan diasumsikan bahwa V invariant terhadap operasi paritas : 1

P VP− =V, maka elemen matriks potensial persamaan (3. 21) di atas menjadi :

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

2 1 1 ˆ ˆ

( , ) 1 ( ) ; 2 ; 2

2 1

ˆ ˆ ˆ

1 ( ) ; 2 ; 2 ; 2

2 1

ˆ ˆ

1 ( ) ( ; 2 ; 2

2

ˆ ˆ

; 2 ; 2 )

1

ˆ ˆ

1 ( ) ( ; 2 ; 2

2

ˆ ˆ

; 2 ; 2 )

t t

t

t

t

V t V t

t V t

t V

V t

t V

P VP t

π λ λ π π π π π π π π π π π π π π η λ λ η λ η λ λ η λ λ η λ λ η λ λ η λ λ ′ − ′ = − − ′ ′ ′ ′ ′ ′ ′ ′ ′ = − − + − ′ ′ ′ = − − ′ ′ ′ + − ′ ′ ′ = − − ′ ′ ′ + −

p p p p p p

p p p p p p

p p p p

p p p p

p p p p

p p p p

(

)

ˆ ˆ

2 1 ηπ( )t t ′ ′ ′2λ V πt

= − − p p p p (3. 22) dimana :

(

)

1

2 π

π = +η −

p p p (3. 23) Dengan cara yang sama diperoleh :

(

)

ˆ ˆ

( , ) 2 1 ( ) 2 2

t t

Vλ λπ p p′ = −ηπt p′ ′λ π pV p p λ t (3. 24) Dengan menggunakan persamaan (3. 22) dengan persamaan (3. 24) dan (3. 23) hubungan antara Vπλ λt ( , )p p′ dan Vλ λπt(−p p′, ) dapat diperoleh sebagai berikut :

(

)

(

)

(

)

(

)

2 1 ˆ ˆ

( , ) 2 1 ( ) 2, 2

ˆ ˆ

2 1 ( ) ( ) 2, 2

ˆ ˆ

2 1 ( ) 2, 2

ˆ ˆ

2 1 ( ) 2, 2

t t

t

t

t

V t V t

t V t

t P VP t

t V t

π λ λ π π π π π π π π π η λ λ η λ λ η λ λ η η λ λ ′ − − ′ = − − ′ − ′ ′ ′ ′ ′ = − − − − ′ ′ ′ = − − − ′ ′ ′ = − − − −

p p p p p p

p p p p

p p p p

p p p p

(33)

Hubungan antara Vλ λπ′ −,t ( , )p p′ dan Vλ λπt( ,p′ −p) diperoleh sebagai berikut :

(

)

(

)

(

)

(

)

,

2 1

ˆ ˆ

( , ) 2 1 ( ) 2, 2,

ˆ ˆ

2 1 ( ) 2 ( ) 2

ˆ ˆ

2 1 ( ) 2 2

ˆ ˆ

2 1 ( ) 2 2

t t

t

t

t

V t V t

t V t

t P VP t

t V t

π

λ λ π π

π π

π π

π π π

η λ λ

η λ λ

η λ λ

η η λ λ

′ −

′ = − − ′ ′ ′ −

′ ′ ′

= − − − −

′ ′ ′

= − − −

′ ′ ′

= − − − −

p p p p p p

p p p p

p p p p

p p p p

π λ λVπt( ,p′ −p) (3. 26) Dengan cara yang sama hubungan antara V− −πλ λt, ( , )p p′ dengan Vλ λπ,t (− −p′, p) adalah :

V− −πλ λt, ( , )p p′ =Vλ λπ,t (− −p′, p) (3. 27) Persamaan (3. 25), (3. 26) dan (3. 27) menunjukkan sifat simetri matriks potensial dalam basis momentum-hlisitas. Untuk proses selanjutnya perlu diketahui bahwa sifat simetri ini juga berlaku untuk sembarang operator yang invariant terhadap operasi paritas seperti matriks T.

Bentuk potensial yang digunakan adalah potensial yang invariant terhadap rotasi dan juga invariant terhadap operasi pembalikan waktu ( Time Reversal ) dan operasi paritas. Bentuk potensial yang dipilih adalah sebagai berikut :

( , ) c( , ) s( , ) . ( )

V p p′ =V p p′+ V p p s p p (3. 28) ′ × ′ Dalam ruang spasial dapat dituliskan dalam bentuk :

(r) c(r) s(r)l.

V =V +V s (3. 29)

Dengan l= ×r p . Operasi pembalikan waktu akan mengakibatkan

, dan

′ ′

→ − → − → −

p p p p s s maka didapatkan :

.( ′ ) .( ′)

− − ×− =s p p s p p (3. 30) ×

Operasi Paritas akan menyebabkan : p→ −p p, ′→ −pdanss sehingga diperoleh :

.(− ×− =′) .( × )

s p p s p p (3. 31) Dengan mentransformasikan bentuk potensial (3.28) ke bentuk potensial yang terdiri dari operator helicity σ.p , akan mempermudah proses pengerjaan. ˆ σ merupakan matriks Pauli. Maka terlebih dahulu perlu dikerjakan hubungan antara .(s p p dan × ′)

ˆ ˆ

(34)

{

}

1

.( ) .( )

2

. ( . )( . ) 2

i

σ

σ σ

′ ′

× = ×

− ′ ′

= −

s p p p p

p p p p

=

{

( . )( . )ˆ ˆ

}

2

i

p p α σ σ

− ′ ′− pp (3. 32)

Dimana α′=p p . Untuk lebih jelasnya mengenai transformasi ini dapat dilihat pada ˆ ˆ′. lampiran B. Dengan menggunakan hubungan (3. 32) di atas maka bentuk potensial (3. 28) berubah menjadi :

2 ˆ ˆ

( , ) ( , ) ( , ) i { ( . )( . )}

c s

V p p′ =+V p pV p p−− p p′ α σ′ p′ σp

= fcs( , )p p′ + fs( , )( . )( . )p p′ σpˆ′ σ p (3. 33) ˆ dengan

( , ) ( , ) ( , )

2

cs c s

i

f p p′ ≡V p p′ − p p V′ ′α p p′ (3. 34)

dan

( , ) ( , )

2

s s

i

f p p′ ≡ p pVp p′ (3. 35) Persamaan (3. 33) dikerjakan dengan menggunakan basis (3. 5) untuk memperoleh matriks potensial pada basis momentum-helisitas yaitu sebagai berikut:

ˆ ˆ

( , ) ; 2 ; 2

ˆ 2 ( , ) ˆ2

ˆ ˆ ˆ ˆ ˆ ˆ

( , , ) 2 2 ( , , ) 2 ( . )( . ) 2

cs s

V V

V

f p p f p p

λ λ λ λ

λ λ

α λ λ α λ σ σ λ

′ ′ ≡ ′ ′ ′

′ ′ ′

=

′ ′ ′ ′ ′ ′ ′ ′ ′

=+

p p p p p p

p p p p

p p p p p p

=+

[

fcs( , ,p p′ α′) 4fs( , ,p p′ α λ λ′ ′)

]

pˆ′ ′2λ pˆ2λ (3. 36) Bila didefinisikan :

( , , , , ) cs( , , ) 4 s( , , )

F p p′ α λ λ′ ′ ≡ f p p′ α′ + λ λ′ f p p′ α′ (3. 37) Persamaan (3. 36) dapat ditulis :

ˆ ˆ

( , ) ( , , , , ) 2 2

(35)

(

)

(

)

(

)

(

)

(

)

1 2 ˆ ˆ

( , ) 2 1 ( ) 2 2

ˆ ˆ

2 1 ( ) 2 [ ( )] 2

ˆ ˆ ˆ ˆ

1 ( ) [ 2 2 2 2 ]

ˆ ˆ ˆ ˆ

1 ( ) [ 2 2 2 2 ]

ˆ ˆ ˆ

1 ( ) [ 2 2 2

t t

t

t

t

t

V t V t

t V t

t V V t

t V V t

V π λ λ π π π π π π π π π π η λ λ η λ η λ η λ λ η λ λ η λ λ η λ λ η λ λ η ′ ′ = − − ′ ′ ′ ′ ′ ′ = − − + − ′ ′ ′ ′ ′ ′ = − − + − ′ ′ ′ ′ ′ ′ = − − + − − − ′ ′ ′ ′ ′ = − − +

p p p p p p

p p p p p

p p p p p p p p

p p p p p p p p

p p p p p

(

)

(

)

,

ˆ 2 ]

1 ( ) ( , ) ( , )

ˆ ˆ

1 ( ) [ ( , , , , ) 2 2

t

t

V

V V

F p p

π λ λ π λ λ π λ λ η η η α λ λ λ λ ′ ′ − ′ − − − ′ ′   = − − + − ′ ′ ′ ′ ′ = − −

p p p

p p p p

p p

πF p p( , ,′ −α λ λ′ ′, ,− ) pˆ′ ′2λ − −pˆ2 λ ] (3. 39) Bentuk matriks potensial pada persamaan (3. 39) di atas jelas kelihatan bergantung terhadap sudutα′dan pˆ′ ′2λ pˆ2λ .

Dimana :

(

)

. cos cos sin sin cos

α′=p p′ + θ′ θ= θ−′ θ φ φ′ (3. 40) dan

2

( 2 2

2

ˆ 2 ˆ2 iM ) ( ) (0)

M M

M

e φ φ d λ d λ

λ λ ′− θ

′ =−

′ ′ =

p p (3. 41) Fungsi-D Wigner dapat ditulis sebagai berikut :

( , ) ( )

j iM j

M M M M

D θ φ =e− ′φd θ (3. 42) Untuk j=2 maka matriks-d ( Richard N. Zare, 1988) :

2 cos 2 sin 2

( )

sin 2 cos 2

d θ θ θ

θ − θ

 

=  (3. 43)

Maka elemen matriks potensial bergantung pada sudut azimuth danφ′ φ melalui cos(φ φ′− )daneiM(φ φ′− ). Kebergantungan matriks potensial ini terhadap sudut azimuth dapat ditulis sebagai berikut :

{

( )

}

( , ) , cos( )

t t iM

Vλ λπ p p′ =−Vλ λπ e φ φ′− φ φ′ (3. 44)

(36)

3. 3 PERSAMAAN LIPPMANN-SCHWINGER

Pada Sub-bab ini akan dibentuk sebuah persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-T pada basis momentum-Helisitas. Elemen matriks potensial V pada basis momentum-Helisitas telah dibentuk pada sub-bab sebelumnya serta sifat simetri dan bagaimana matriks potensial tersebut bergantung pada sudut juga sudah dibahas. Dengan hasil tersebut, terlebih dahulu akan dihitung elemen matriks-T pada basis momentum-Helisitas yang didefinisikan sebagai berikut :

ˆ ˆ

( , ) a ; 2 ; ; 2 ; a

t

Tλ λπ p p′ ≡ π p p′ ′ ′λ t T p p λ t π (3. 45) Jikalau dilihat kembali ke belakang pada persamaan (2. 24) matriks T merupakan deret tak berhingga dari V maka tentu saja sifat matriks yang dimiliki oleh V ini juga dimiliki oleh matriks-T, seperti sifat kesimetrian dari V pada persamaan (3. 25), (3. 26) dan (3. 27). Maka sifat simetri dari matriks-T dapat juga dituliskan dengan cara yang sama sebagai berikut :

(

)

ˆ ˆ

( , ) 2 1 ( ) 2 2

t t

Tλ λπ p p′ = −ηπt p′ ′ ′λ p T p π p λ t (3. 46)

(

)

ˆ ˆ

( , ) 2 1 ( ) 2 2

t t

Tλ λπ p p′ = −ηπt p′ ′λ π pT p p λ t (3. 47)

( , ) ( , )

t t

Tπλ λ p p′ =ηπ λ λTπp p′ (3. 48)

( , ) ( , )

t t

Tλ λπ p p′ =ηπ λ λTπ p′ −p (3. 49)

( , ) ( , )

t t

T− −πλ λ p p′ =Tλ λπ − −pp (3. 50) Kebergantungan T terhadap sudut juga sama dengan kebergantungan matriks-V terhadap sudut. Maka kebergantungan matriks-T terhadap sudut azimuth adalah :

{

( )

}

( , ) , cos( )

t t iM

Tλ λπ p p′ =−Tλ λπ e φ φ′− φ φ′ (3. 52) Menggunakan persamaan Lippman-Schwinger untuk matriks-T persamaan (2. 19) dan completeness relation persamaan (3. 20) maka didapatkan persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-T pada basis momentum-Helisitas, sebagai berikut :

0

ˆ ˆ

( , ) ( , ) a ; 2 ; ( ) ; 2 ; a

t t

Tλ λπ p p′ =Vλ λπ p p′ +π p p′ ′ ′λ t VG+ E T p p λ t π

0

1

( , ) ( , ) ( ) ( , )

4

t t t

Vλ λπ d Vλ λπ G E Tλ λπ λ

+

′ ′ ′′ ′′

′′

′ ′′ ′ ′′ ′′

= p p +

∑∫

p p p p p (3. 53)
(37)

keadaan tunggal (S =0) dan yang kedua keadaan lipat lima (S =2). Untuk kasus

0

S = persamaan (3. 53) adalah satu persamaan yaitu (λ=0):

00 00 00 0 00

1

( , ) ( , ) ( , ) ( ) ( , )

4

t t t t

Tπ p p′ =Vπ p p′ +

d Vp′′ π p p′ ′′G+ E Tπ p p′′ (3. 54) Untuk kasus S =2 ada lima pasang persamaan untuk setiap nilai helisitas

(λ= − −2, 1, 0,1, 2). Persamaan-persamaan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut :

2 2 22 0 2 21 0 1

20 0 0 2, 1 0 1

2, 2 0 2

1

( , ) ( , ) { ( , ) ( ) ( , ) ( , ) ( ) ( , )

4

( , ) ( ) ( , ) ( , ) ( ) ( , )

( , ) ( ) ( , )}

t t t t t t

t t t t

t t

T V d V G E T V G E T

V G E T V G E T

V G E T

π π π π π π λ λ λ λ π π π π λ λ π π λ + + + + − − + − − ′ = ′ ′′ ′ ′′ + ′′ ′ ′′ ′′+ ′ ′′ ′′ ′ ′′ ′′ + + ′ ′′ ′′ +

p p p p p p p p p p p p p

p p p p p p p p

p p p p

1 1 12 0 2 11 0 1

10 0 0 1, 1 0 1

1, 2 0 2

1

( , ) ( , ) { ( , ) ( ) ( , ) ( , ) ( ) ( , )

4

( , ) ( ) ( , ) ( , ) ( ) ( , )

( , ) ( ) ( , )}

t t t t t t

t t t t

t t

T V d V G E T V G E T

V G E T V G E T

V G E T

π π π π π π λ λ λ λ π π π π λ λ π π λ + + + + − − + − − ′ = ′ ′′ ′ ′′ + ′′ ′ ′′ ′′+ ′ ′′ ′′ ′ ′′ ′′ + + ′ ′′ ′′ +

p p p p p p p p p p p p p

p p p p p p p p

p p p p

0 0 02 0 2 01 0 1

00 0 0 0, 1 0 1

0, 2 0 2

1

( , ) ( , ) { ( , ) ( ) ( , ) ( , ) ( ) ( , )

4

( , ) ( ) ( , ) ( , ) ( ) ( , )

( , ) ( ) ( , )}

t t t t t t

t t t t

t t

T V d V G E T V G E T

V G E T V G E T

V G E T

π π π π π π λ λ λ λ π π π π λ λ π π λ + + + + − − + − − ′ = ′ ′′ ′ ′′ + ′′ ′ ′′ ′′+ ′ ′′ ′′ ′ ′′ ′′ + + ′ ′′ ′′ +

p p p p p p p p p p p p p

p p p p p p p p

p p p p

1 1 12 0 2 11 0 1

10 0 0 1, 1 0 1

1, 2 0 2

1

( , ) ( , ) { ( , ) ( ) ( , ) ( , ) ( ) ( , )

4

( , ) ( ) ( , ) ( , ) ( ) ( , )

( , ) ( ) (

t t t t t t

t t t t

t t

T V d V G E T V G E T

V G E T V G E T

V G E T

π π π π π π λ λ λ λ π π π π λ λ π π λ + + − − − − + + − − − − + − − − ′ = ′ ′′ ′ ′′ + ′′ ′ ′′ ′′+ ′ ′′ ′′ ′ ′′ ′′ + + ′ ′′ ′′ +

p p p p p p p p p p p p p

p p p p p p p p

p p p p, )}

2 2 22 0 2 21 0 1

20 0 0 2, 1 0 1

2, 2 0 2

1

( , ) ( , ) { ( , ) ( ) ( , ) ( , ) ( ) ( , )

4

( , ) ( ) ( , ) ( , ) ( ) ( , )

( , ) ( ) (

t t t t t t

t t t t

t t

T V d V G E T V G E T

V G E T V G E T

V G E T

π π π π π π λ λ λ λ π π π π λ λ π π λ + + − − − − + + − − − − + − − − ′ = ′ ′′ ′ ′′ + ′′ ′ ′′ ′′+ ′ ′′ ′′ ′ ′′ ′′ + + ′ ′′ ′′ +

p p p p p p p p p p p p p

p p p p p p p p

p p p p, )}

(3. 55) Dengan menggunakan sifat simetri matriks potensial dan sifat simetri elemen matriks-T, maka persamaan (3. 55) di atas dapat direduksi. Dengan menggunakan sifat persamaan (3. 26) dan (3. 48) maka bagian integral dari persamaan (3. 53) dengan

2

(38)

, 2( , ) 0( ) 2 ( , ) 2( , ) 0( ) 2 ( , )

t t t t

d V′′ λπ ′ ′′ G+ E Tπλ ′′ = d ′′ηπ λVπ ′ ′′− G+ E ηπTπλ − ′′

p p p p p

p p p p p (3. 56)

Bila seluruh nilai p dievaluasi pada bagian integral (3. 56) di atas maka bentuk ′′ akhirnya menjadi :

, 2( , ) 0( ) 2 ( , ) 2( , ) 0( ) 2 ( , )

t t t t

d V′′ λπ ′ ′′ G+ E Tπλ ′′ = d V′′ λπ ′ − ′′G+ E Tπλ − ′′

p p p p p

p p p p p

=

d Vp′′ λπ2t( ,p p′ ′′)G0+( )E T2πλt( , )p p (3. 57) ′′ Dimana η η =π π 1.

Untuk λ′′ = −1

, 1( , ) 0( ) 1 ( , ) 1( , ) 0( ) 1 ( , )

t t t t

d V′′ λπ ′ ′′ G+ E Tπλ ′′ = d V′′ λπ ′ ′′ G+ E Tπλ ′′

p p p p p

p p p p p (3. 58) Dengan demikian sebuah persamaan yang lebih sederhana dapat dibentuk sebagai berikut :

2 0 2 1 0 1

0 0 0 , 1 0 1

, 2 0 2

1

( , ) ( , ) { ( , ) ( ) ( , ) ( , ) ( ) ( , )

4

( , ) ( ) ( , ) ( , ) ( ) ( , )

( , ) ( ) (

t t t t t t

t t t t

t t

T V d V G E T V G E T

V G E T V G E T

V G E T

π π π π π π

λ λ λ λ λ λ λ λ

π π π π

λ λ λ λ

π π

λ λ

+ +

′ ′ ′ ′

+ +

′ ′ − −

+

′ − −

′ = ′ ′′ ′ ′′ + ′′ ′ ′′ ′′+

′ ′′ ′′ ′ ′′ ′′

+ +

′ ′′ ′′

+

p p p p p p p p p p p p p

p p p p p p p p

p p p p, )}

2 0 2

1 0 1

1

( , ) ( , ) ( ) ( , )

2 1

( , ) ( ) ( , ) 2

t t t

t t

V d V G E T

d V G E T

π π π

λ λ λ λ

π π

λ λ

+

′ ′

+ ′

′ ′′ ′ ′′ ′′

= +

′′ ′ ′′ ′′

+

p p p p p p p

p p p p p

0 0 0

1

( , ) ( ) ( , )

4

t t

d V′′ λπ ′ ′′ G+ E Tπλ ′′

+

p p p p p (3. 59)

Oleh sebab itu, untuk kasus (S=2)hanya 3 pasang persamaan yang dibutuhkan daripada menggunakan 5 pasang persamaan yaitu λ′ =2,1, 0 untuk setiap λ . Persamaan (3. 59) di atas adalah merupakan persamaan Lippman-Schwinger untuk matriks-T pada basis momentum-Helisitas. Persamaan (3. 59) di atas dapat lagi direduksi dengan menggunakan sifat azimuth dari elemen matriks potensial-V dan sifat azimuth dari elemen matriks-T.

Pada kondisi awal ditentukan ˆp=ˆz. Maka :

α′=cosθ′ (3. 60)

dan

2

2 2 2

2

ˆ 2 ˆ2 iM ) M ( ) M (0 ) i ( )

M

e φ d λ d λ eλφdλλ

λ λ ′ θ ′ θ

′ ′

=−

′ ′ ==

′ ′
(39)

sehingga bagian azimuth dari matriks potensial, yang telah didapatkan pada persamaan (3. 44), dapat dituliskan sebagai berikut :

Vλ λπt( ,ppzˆ)=eiλφ′Vλ λπt( , ,p p′ α′) (3. 62)

Sedangkan untuk matriks-T, kebergantungannya pada sudut azimuth yang telah dinyatakan pada persamaan (3. 52), menjadi :

ˆ

( , ) ( , , )

t i t

Tλ λπ ppz =eλφ π′Tλ λ p p′ α′ (3. 63) Maka persamaan (3. 59) menjadi :

2 0 2

1 0 1

1

ˆ ˆ ˆ

( , ) ( , ) ( , ) ( ) ( , )

2 1

ˆ

( , ) ( ) ( , )

2

t t t t

t t

T pz V pz d V G E T pz

d V G E T pz

π π π π

λ λ λ λ λ λ

π π

λ λ

+

′ ′ ′

+ ′

′ = ′ + ′′ ′ ′′ ′′

′′ ′ ′′ ′′

+

p p p p p p

p p p p

1 0( , ) 0( ) 0 ( , ˆ) 4

t t

d V′′ λπ ′ ′′G+ E Tπλ ′′ pz <

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun secara kinerja operasional Ikea unggul dibandingkan dengan gerai lainnya, Hero tidak bisa membuka gerai tersebut sesuai dengan keinginan perseroan.. Hero

Bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi rubella pada trimester awal kehamilan akan beresiko mengalami kelainan dibawah

Yang harus dipahami adalah; ketika kita hidup di dekat YesUs setiap hari itulah hikmat yang sejati; dan menempuh jalan yang dipimpin-nya itulah hikmat yang

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi tentang peningkatan kemampuan mengenal bentuk geometri pada anak usia 4 – 5 tahun dengan menggunakan

Bahwa Pemohon Kasasi keberatan atas pertimbangan Judex Facti/Pengadilan Hubungan Industrial Ambon dengan pertimbangan halaman 20-21, dimana putusan Judex Facti/Pengadilan

Demikian pula halnya dengan periode pemasakan, bahwa masak fisiologi tercepat terjadi pada periode tanam ke III yaitu pada umur 74 hari setelah tanam atau lebih

Pelaksanaan adalah adalah suatu proses kegiatan atau cara yang dimulai dari suatu input (masukan) ke proses output (hasil) yang dilakukan oleh seseorang atau

4.1.2 Distribusi Pasien Osteoartritis Lutut Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, Derajat Kellgren-Lawrence dan Diagnosis Hipertensi