ANALISIS POLA SPASIAL KEMISKINAN, PEMBANGUNAN
MANUSIA/SOSIAL, DAN AKTIVITAS EKONOMI, SERTA
KETERKAITANNYA DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT
NOVITA SALIM
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Pola Spasial Kemiskinan, Pembangunan Manusia/Sosial dan Aktivitas Ekonomi, serta Keterkaitannya di Provinsi Kalimantan Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2011
ABSTRACT
NOVITA SALIM. An Analysis of Spatial Patterns of Poverty, Human/Social Development, and Economic Activities, and Their Linkages in West Kalimantan Province. Under direction of SANTUN R.P. SITORUS and FREDIAN TONNY
This research uses the secondary data set of 175 sub-districts of disricts in West Kalimantan Province to know the spatial patterns of poverty, human/social development and economic activities and to analyze their linkages. The Principal Component Analysis (PCA), Cluster and Discriminant Analysis are used to obtain the characteristic of poverty, human/social development, and economic activities, and input the result to GIS operation system (ArcGIS 9.3) to show the spatial patterns. The results of PCA used to analyze the linkage of poverty, human/social development and economic activities by weighted multiple regression to formulate the Spatial Durbin Model. The study found that the pockets of poverty located in mainly areas and few in border areas. Most of areas have found low human/social development and economic activities, especially in the centre areas. The parameters of region itself could decline the poverty are the maize production and the number of leather home industries. The parameters of related region affected are number of poor people (the pre-prosperous and first prosperous families), number of teachers of primary up to senior high school, number of pre-school, senior high school and university, and the maize, rubber and oil palm productions.
Manusia/Sosial, dan Aktivitas Ekonomi, serta Keterkaitannya di Provinsi Kalimantan Barat. Dibimbing oleh SANTUN RP SITORUS dan FREDIAN TONNY.
Masalah fundamental yang dihadapi Indonesia secara umum pada saat ini adalah tingginya tingkat kemiskinan baik di tingkat nasional maupun regional. Dari data BPS pada bulan Maret 2008 tercatat jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 34,96 juta orang (15,42%) yang 1,46%-nya berada di Kalimantan Barat yakni sekitar 508,8 ribu jiwa atau sekitar 11,07% dari total jumlah penduduk di Kalimantan Barat. Persentase penduduk miskin yang tinggi di tingkat kabupaten/kota akan dijumpai pada wilayah-wilayah yang aktivitasnya berbasis sektor pertanian. Tingginya persentase penduduk miskin ini juga berkaitan dengan tingkat pembangunan manusia di kabupaten/kota. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola spasial kemiskinan, pembangunan manusia/sosial dan aktivitas ekonomi, serta keterkaitannya. Dari hasil analisis pola spasial dan analisis keterkaitan, penelitian ini juga bertujuan menyusun arahan kebijakan penanganan kemiskinan di Provinsi Kalimatan Barat. Analisis pola spasial dalam penelitian ini dibangun dari konfigurasi penciri wilayah yang dihasilkan dari teknik Principal Component Analysis (PCA). Kabupaten/kota dikelompokkan berdasarkan kesamaan penciri dengan teknik Cluster Analysis dan Discriminant Analysis, dan untuk melihat pola kemiskinan, pembangunan manusia/sosial, dan aktivitas ekonomi digunakan analisis kuadran.
Penciri yang dihasilkan dari PCA juga dimanfaatkan untuk menganalisis keterkaitan antara variabel-variabel pembangunan manusia/sosial dan aktivitas ekonomi dengan kemiskinan. Fungsi keterkaitan ini dibuat dengan membangun Spatial Durbin Model. Model tersebut merupakan bentuk dari regresi bobot berganda (weighted multiple regression) yang memanfaatkan keterbalikan jarak (ketetanggaan) sebagai pembobotnya. Hasilnya adalah varibel-variabel pembangunan manusia/sosial dan aktivitas ekonomi yang berpengaruh nyata menurunkan atau meningkatkan kemiskinan, baik di wilayah sendiri maupun di wilayah terkait.
Hasil dari pola spasial dimanfaatkan untuk menyusun tipologi pola spasial kemiskinan, pembangunan manusia/sosial, dan aktivitas ekonomi sebagai arahan penanganan kemiskinan di kabupaten/kota. Variabel-variabel yang signifikan menurunkan jumlah keluarga miskin, direkomendasikan sebagai strategi penanganan kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat.
Analisis pola spasial kemiskinan membentuk empat pola wilayah, yaitu: a) wilayah dengan sebaran keluarga miskin dan sebaran penduduk tinggi adalah
penduduk rendah adalah Kabupaten Sintang, Kabupaten Landak, Kabupaten Melawi, dan Kabupaten Pontianak.
Analisis pola spasial pembangunan manusia/sosial di Kalimantan Barat membentuk tiga pola wilayah, yaitu: a) wilayah dengan tingkat pembangunan manusia rendah dan pembangunan sosial tinggi adalah Kabupaten Sintang, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak, Kabupaten Melawi, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Sanggau, dan Kabupaten Kapuas Hulu; b) wilayah dengan tingkat pembangunan manusia dan pembangunan sosial rendah adalah Kabupaten Sambas, Kabupaten Pontianak, dan Kabupaten Kayong Utara; dan c) wilayah dengan tingkat pembangunan manusia tinggi dan pembangunan sosial rendah adalah Kota Pontianak, Kota Singkawang dan Kabupaten Kubu Raya.
Analisis pola spasial aktivitas ekonomi di Kalimantan Barat membentuk empat pola wilayah, yaitu: a) wilayah dengan aktivitas sektor pertanian dan sektor industri/perdagangan tinggi adalah Kabupaten Pontianak; b) wilayah dengan aktivitas sektor pertanian rendah dan sektor industri/perdagangan tinggi adalah Kota Pontianak dan Kota Singkawang; c) wilayah dengan aktivitas sektor pertanian dan sektor industri/perdagangan rendah adalah Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Sintang, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kapuas Hulu, dan Kabupaten Melawi; dan d) wilayah dengan aktivitas sektor pertanian rendah dan sektor industri/perdagangan tinggi adalah Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Sambas dan Kabupaten Kayong Utara.
Variabel-variabel pembangunan manusia/sosial dan aktivitas ekonomi yang p-levelnya kurang dari level nyata (α = 0,05) digunakan untuk menghasilkan Spatial Durbin Model. Dengan koefisien determinasi 92,46% dan intersep sebesar 0,0387, persamaan yang terbentuk menunjukkan bahwa: a) variabel-variabel dari wilayah sendiri yang berpengaruh menurunkan jumlah keluarga miskin adalah jumlah produksi jagung dan jumlah industri kecil/rumah tangga berbahan baku kulit; dan b) variabel-variabel pada wilayah terkait yang menurunkan jumlah keluarga miskin yaitu jumlah keluarga miskin di wilayah sekitarnya, jumlah tenaga guru SD sampai SLTA, jumlah TK Negeri, jumlah SMU/SMK dan Perguruan Tinggi Negeri, produksi jagung, karet dan kelapa sawit.
Melawi, Kabupaten Kayong Utara, dan Kabupaten Bengkayang; e) peningkatan produksi hasil pertanian, khususnya pertanian skala kecil (smallholding farm) di Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Melawi, Kabupaten Kayong Utara, dan Kabupaten Bengkayang; f) peningkatan aktivitas sektor industri skala kecil/rumah tangga dan peningkatan nilai tambah hasil pertanian melalui peningkatan keterkaitan dengan sektor perekonomian lainnya pada suatu rangkaian wilayah yang saling terkait di Kabupaten Sintang, Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Melawi, Kabupaten Kayong Utara, dan Kabupaten Bengkayang; g) pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah tertinggal guna mendorong peningkatan perekonomian wilayah yang diharapkan dapat mengurangi tekanan urbanisasi di wilayah perkotaan dan ketimpangan pembangunan antar wilayah pengembangan yang dikhususkan di Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Melawi, Kabupaten Kayong Utara, dan Kabupaten Bengkayang.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
ANALISIS POLA SPASIAL KEMISKINAN, PEMBANGUNAN
MANUSIA/SOSIAL, DAN AKTIVITAS EKONOMI, SERTA
KETERKAITANNYA DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT
NOVITA SALIM
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Sosial, dan Aktivitas Ekonomi, serta Keterkaitannya di Provinsi Kalimantan Barat
Nama : Novita Salim
NRP : A156090204
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir. Santun R.P. Sitorus Ir. Fredian Tonny, MS
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dr.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Kupersembahkan Karya ini
Kepada:
Kedua Almarhum orang tua tercinta :
Ayahanda A.Salim Bani dan Ibunda Mantasia.
Suamiku tercinta Iwan Susetiyo & Kedua putraku tersayang:
Ibnu Fadhil Hadyan & Naufal Hadi Rasikhin,
dan rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2010 ini adalah Analisis Pola Spasial Kemiskinan, Pembangunan Manusia/Sosial, dan Aktivitas Ekonomi, serta Keterkaitannya di Provinsi Kalimantan Barat.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Ir. Fredian Tonny, M.S selaku anggota komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hinga penyelesaian tesis ini, serta kepada penguji luar komisi Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si, yang telah memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini. Di samping itu, penghargaan dan terima kasih penulis haturkan kepada Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB dan Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB beserta segenap staf pengajar dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB, Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Barat yang telah memberikan izin dan bantuan kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar ini, Kepala Pusbindiklatren Bappenas beserta jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis, sahabat-sahabat terbaikku Hadijah Siregar, Yulita, Mira Sofia, dan Susanto, serta rekan-rekan PWL kelas Bappenas angkatan 2009 atas segala do’a, dukungan dan kebersamaannya selama proses belajar hingga selesai, dan pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini.
Akhirnya ucapan terima kasih yang setinggi-tinginya juga disampaikan kepada suami dan kedua anakku beserta seluruh keluarga, atas segala do’a, dukungan, pengertian dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Pontianak pada tanggal 12 November 1973 dari pasangan A. Salim Bani dan Mantasia. Penulis merupakan putri kedua dari lima bersaudara. Pendidikan SD dan SMA diselesaikan di kota Pontianak, SMP di Kota Singkawang, sedangkan pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Ilmu Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Hassanuddin di Makassar dan lulus tahun 1999. Penulis menikah dengan Iwan Susetiyo pada tahun 2002, dan telah dianugrahi dua orang putra, Ibnu Fadhil Hadyan dan Naufal Hadi Rasikhin. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2009 dan diterima pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah melalui beasiswa pendidikan dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 7
1.4 Manfaat Penelitian ... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1 Pembangunan Daerah/Wilayah ... 9
2.1.1 Kinerja Pembangunan Daerah ... 10
2.1.2 Indikator Pembangunan Daerah ... 11
2.2 Pembangunan Ekonomi dan Pertumbuhan Penduduk ... 13
2.3 Pembangunan Manusia dan Indikatornya ... 15
2.4 Kemiskinan ... 17
2.4.1 Kemiskinan Absolut dan Relatif ... 19
2.4.2 Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan ... 20
2.4.3 Ukuran Kemiskinan ... 20
2.4.4 Kriteria Keluarga Miskin ... 21
2.5 Interaksi Spasial ... 22
2.6 Kemiskinan, Pembangunan Manusia/Sosial dan Aktivitas Ekonomi ... 23
2.7 Principal Component Analysis (PCA)... 26
2.8 Cluster Analysis... ... 28
2.9 Discriminant Analysis ... 30
III. METODE PENELITIAN ... 33
3.1 Kerangka Pemikiran ... 33
3.2 Lokasi Penelitian ... 34
3.3 Jenis Data ... 34
3.4 Kerangka Alir Penelitian ... 34
3.5 Teknik Analisis Data ... 35
3.5.1 Pemetaan Pola Spasial Kemiskinan ... 35
3.5.2 Pemetaan Pola Spasial Pembangunan Manusia/Sosial . 39 3.5.3 Pemetaan Pola Spasial Aktivitas Ekonomi ... 40
3.5.4 Analisis Keterkaitan Kemiskinan, Pembangunan Manusia/Sosial dan Aktivitas Ekonomi ... 42
3.5.4.1 Model Regresi Berganda ... 43
3.5.4.2 Spatial Durbin Model ... 43
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 45
4.1 Kondisi Umum Provinsi Kalimantan Barat ... 45
4.2 Kondisi Demografi ... 46
4.3 Aktivitas Ekonomi ... 47
4.4 Pembangunan Manusia/Sosial ... 51
4.5 Kemiskinan ... 54
V. POLA SPASIAL KEMISKINAN, PEMBANGUNAN MANUSIA/SOSIAL, DAN AKTIVITAS EKONOMI DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT... 61
5.1 Pola Spasial Kemiskinan ... 61
5.1.1 Konfigurasi Sebaran Keluarga Miskin ... 61
5.1.2 Konfigurasi Sebaran Penduduk ... 65
5.1.3 Pola Kuadran Sebaran Keluarga Miskin terhadap Sebaran Penduduk ... 69
5.2 Pola Spasial Pembangunan Manusia/Sosial ... 72
5.2.1 Konfigurasi Pembangunan Bidang Kesehatan ... 73
5.2.2 Konfigurasi Pembangunan Bidang Pendidikan... 80
5.2.3 Konfigurasi Pembangunan Bidang Sosial ... 87
5.2.4 Pola Kuadran Pembangunan Manusia terhadap Pembangunan Sosial ... 92
5.3 Pola Spasial Aktivitas Ekonomi ... 94
5.3.1 Konfigurasi Sebaran Aktivitas Sektor Pertanian ... 94
5.3.2 Konfigurasi Sebaran Aktivitas Sektor Industri/ Perdagangan ... 101
5.3.3 Pola Kuadran Sebaran Aktivitas Sektor Pertanian terhadap Sektor Industri/Perdagangan... 107
5.4 Tipologi Wilayah Berdasarkan Pola Spasial Kemiskinan, Pembangunan Manusia/Sosial, dan Aktivitas Ekonomi ... 109
VI. PEMBANGUNAN MANUSIA/SOSIAL DAN AKTIVITAS EKONOMI DALAM MENGURANGI KEMISKINAN DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT ... 117
6.1 Keterkaitan Variabel-variabel Pembangunan Manusia/Sosial dan Aktivitas Ekonomi, dengan Kemiskinan ... 117
6.2 Arahan Penanganan Kemiskinan di Kalimantan Barat ... 126
VII. SIMPULAN DAN SARAN ... 133
7.1 Kesimpulan ... 133
7.2 Saran ... 135
DAFTAR PUSTAKA ... 137
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Perbandingan Tingkat Kemiskinan, IPM dan Pendapatan per kapita antar provinsi di Kalimantan Tahun 2008 ... 2
2 Indeks Pembangunan Manusia beserta kompositnya di Kabupaten/ Kota se-Kalimantan Barat Tahun 2008 ... 3
3 Persen rumahtangga pertanian, share sektor-sektor unggulan dan jumlah penduduk miskin pada kabupaten/kota di Kalimantan Barat Tahun 2008. ... 4
4 Jenis, sumber data yang digunakan, teknik analisis data dan output yang diharapkan ... 35
5 Bobot Klaster pada pola spasial tipologi kemiskinan... 38
6 Bobot Klaster pada pola spasial tipologi pembangunan manusia/sosial 39
7 Bobot Klaster pada pola spasial tipologi aktivitas ekonomi... 41
8 Luas dan Persentase luas wilayah kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2008 ... 46
9 Jumlah penduduk dan persentase, laju pertumbuhan dan kepadatan
penduduk menurut kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2008... 47
10 Jumlah Penduduk Usia diatas 15 tahun yang bekerja dan pengangguran terbuka di Provinsi Kalimantan Barat, Tahun 2008 ... 48
11 Produk Domestik Regional Bruto Berdasarkan Harga Berlaku, Kontribusi Sektoral, Pertumbuhan Ekonomi, dan Pendapatan Per Kapita pada Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat, Tahun 2008 ... 50
12 Jumlah Penduduk Usia diatas 15 tahun yang bekerja menurut Tingkat Pendidikan yang ditamatkan di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2008 ... 52
13 AngkaHarapan Hidup, Angka Kematian Ibu dan Anak menurut
Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat ... 53
15 Jumlah Penduduk Miskin, Persentase Penduduk Miskin, P1, P2 dan Garis Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat, Tahun 2008 ... 55
16 Persentase Rumah Tangga yang Menggunakan Air Bersih, Jamban sendiri dan Luas Lantai Rumah kurang dari 19 m2 pada Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat, Tahun 2008 ... 56
17 Persentase Pengeluaran untuk Makanan pada rumah tangga pada
Kabupaten/Kota di Kalimantan Barat, Tahun 2008 ... 57
18 Sebaran Penduduk Miskin 15 tahun ke atas berdasarkan tingkat
pendidikan pada Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat , Tahun 2008 (Persen) ... 58
19 Sebaran Penduduk Miskin 15 tahun ke atas berdasarkan status
pekerjaan pada Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat , Tahun 2008 (Persen) ... 59
20 Muatan faktor (factor loading) variabel dari penciri konfigurasi sebaran keluarga miskin ... 62
21 Kategori pembeda utama pada konfigurasi sebaran keluarga miskin ... 63
22 Distribusi kategori sebaran keluarga miskin pada kabupaten/kota ... 64
23 Muatan faktor (factor loading) variabel dari penciri konfigurasi sebaran jumlah penduduk ... 65
24 Kategori pembeda utama pada konfigurasi sebaran penduduk ... 67
25 Distribusi kategori sebaran penduduk pada kabupaten/kota ... 69
26 Plot bobot konfigurasi pada Pola Spasial Kemiskinan di kabupaten/ kota pada analisis kuadran ... 69
27 Muatan faktor (factor loading) variabel dari penciri konfigurasi
pembangunan bidang kesehatan ... 74
28 Kategori pembeda utama pada konfigurasi pembangunan bidang kesehatan ... 78
29 Distribusi kategori tingkatan pembangunan kesehatan pada
kabupaten/kota ... 80
30 Muatan faktor (factor loading) variabel dari penciri konfigurasi
31 Kategori pembeda pada konfigurasi pembangunan bidang pendidikan.. 84
32 Distribusi kategori tingkatan pembangunan pendidikan pada kabupaten/kota ... 86 33 Muatan faktor variabel dari penciri konfigurasi pembangunan bidang sosial ... 88 34 Kategori Penciri pada tipologi pembangunan bidang sosial ... 90
35 Distribusi kecamatan dengan kategori tingkat pembangunan sosial di kabupaten/kota ... 91
36 Plot Bobot Konfigurasi pada Pola Spasial Pembangunan Manusia/Sosial di Kabupaten/Kota pada Analisis Kuadran ... 92
37 Muatan faktor variabel dari penciri konfigurasi sektor pertanian ... 95
38 Kategori penciri pada konfigurasi aktivitas sektor pertanian... 100
39 Distribusi kecamatan dengan kategori sebaran aktivitas sektor pertanian di kabupaten/kota ... 101
40 Muatan faktor penciri dari konfigurasi sebaran aktivitas sektor
industri/perdagangan ... 103
41 Kategori pembeda pada konfigurasi aktivitas sektor industri/ perdagangan ... 105
42 Distribusi kecamatan dengan kategori sebaran aktivitas sektor
industri/perdagangan di kabupaten/kota ... 107
43 Plot Bobot Konfigurasi pada Pola Spasial tipologi Aktivitas Ekonomi di Kabupaten/Kota pada Analisis Kuadran ... 108
44 Tipologi wilayah berdasarkan kategori tingkat kemiskinan,
pembangunan manusia/sosial dan aktivitas ekonomi ... 112
45 Tabel Keterkaitan Kemiskinan, Pembangunan Manusia/Sosial dan Aktifitas Ekonomi ... 117
46 Arahan Kebijakan Penanganan Kemiskinan pada Prioritas Wilayah
Tipologi ... 130
47 Pemetaan Arahan Kebijakan Penanganan Kemiskinan di Provinsi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Perubahan PDRB per kapita dan perubahan persentase penduduk miskin
pada tahun 2007-2008 di kabupaten/kota... 5
2 Sistematika penyusunan konsep-konsep indikator kinerja pembangunan wilayah ... 12
3 Kerangka Pemikiran ... 34
4 Bagan Alir Penelitian ... 37
5 Proses pemetaan pola spasial tipologi kemiskinan ... 39
6 Proses pemetaan pola spasial tipologi pembangunan manusia/sosial ... 40
7 Proses pemetaan pola spasial tipologi aktivitas ekonomi ... 42
8 Peta Administrasi Provinsi Kalimantan Barat ... 45
9 Distribusi PDRB sektoral berdasarkan harga berlaku pada setiap kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat, Tahun 2008 ... 49
10 Pendapatan per kapita berdasarkan harga berlaku pada kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat, Tahun 2008 ... 51
11 Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) penciri konfigurasi sebaran keluarga miskin ... 62
12 Peta Konfigurasi Sebaran Keluarga Miskin di Provinsi Kalimantan Barat ... 64
13 Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) penciri konfigurasi sebaran penduduk ... 67
14 Peta konfigurasi sebaran penduduk di Provinsi Kalimantan Barat ... 68
15 Kuadran pola spasial kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat ... 70
16 Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) penciri konfigurasi pembangunan bidang kesehatan ... 77
17 Peta konfigurasi spasial pembangunan bidang kesehatan ... 79
18 Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) penciri konfigurasi pembangunan bidang pendidikan ... 84
20 Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) variabel konfigurasi
pembangunan bidang sosial ... 89 21 Peta konfigurasi pembangunan bidang sosial ... 90 22 Kuadran pola spasial pembangunan manusia/sosial di Provinsi
Kalimantan Barat ... 93 23 Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) penciri konfigurasi sebaran
aktivitas sektor pertanian ... 99 24 Peta konfigurasi aktivitas sektor pertanian di Provinsi Kalimantan Barat 100 25 Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) penciri konfigutasi sebaran
aktivitas sektor perdagangan dan industri... 104 26 Peta konfigurasi aktivitas sektor industri/perdagangan di Provinsi
Kalimantan Barat ... 106 27 Pola spasial tipologi aktivitas ekonomi di Provinsi Kalimantan Barat .. 109 28 Proses klasterisasi tipologi wilayah berdasarkan pola spasial kemiskinan,
pembangunan manusia/sosial, dan aktivitas ekonomi di Provinsi
Kalimantan Barat ... 110 29 Tipologi wilayah berdasarkan pola spasial kemiskinan, pembangunan
manusia/sosial, dan aktivitas ekonomi di Provinsi Kalimantan Barat .... 111 30 Model keterkaitan pembangunan manusia/sosial dan aktivitas ekonomi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Variabel penyusun indeks komposit hasil Analisis Komponen Utama .. 142 2 Factor score untuk penciri konfigurasi sebaran keluarga miskin... 145 3 Distribusi klaster konfigurasi sebaran keluarga miskin di tingkat
kecamatan... 149 4 Factor score untuk penciri konfigurasi sebaran jumlah penduduk... 150 5 Distribusi klaster konfigurasi sebaran jumlah penduduk di tingkat
kecamatan ... 154 6 Factor score untuk penciri konfigurasi pembangunan bidang kesehatan. 155 7 Distribusi klaster pembangunan bidang kesehatan di tingkat kecamatan 161 8 Factor score untuk penciri konfigurasi pembangunan bidang
pendidikan... 162 9 Distribusi klaster konfigurasi pembangunan bidang pendidikan di tingkat
kecamatan... 168 10 Factor score untuk penciri konfigurasi pembangunan bidang sosial... 169 11 Distribusi Klaster pembangunan bidang sosial di tingkat kecamatan... 175 12 Factor score penciri konfigurasi aktivitas sektor pertanian... 176 13 Distribusi klaster aktivitas sektor pertanian di tingkat kecamatan... 182 14 Factor score penciri konfigurasi aktivitas sektor industri/
perdagangan... 183 15 Distribusi klaster aktivitas sektor perdagangan dan industri di tingkat
II.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Isu orientasi pembangunan berubah dan berkembang pada setiap urutan waktu yang berbeda. Setelah Perang Dunia Kedua (PDII), pembangunan ditujukan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi menjadi satu-satunya indikator keberhasilan pembangunan di suatu negara. Beberapa negara berhasil meletakkan landasan pembangunan dengan pertumbuhan yang tinggi termasuk Indonesia. Tetapi keberhasilan ini tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga isu pembangunan pada periode 1980-an bergeser dengan memasukkan unsur kesejahteraan sebagai tujuan dari pembangunan.
Todaro (1989) menjelaskan pembangunan sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Masuknya kesejahteraan dalam pemaknaan pembangunan terus bergulir di antara beberapa pakar pembangunan, hingga mencapai puncak dengan lahirnya Deklarasi Millenium hasil kesepakatan 189 kepala negara dan pemerintahan anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di bulan September 2000 (Hulme, 2003).
2008 proporsinya menjadi 15,42%. Pada periode yang sama penurunan penduduk miskin di Provinsi Kalimantan Barat lebih baik dibandingkan tingkat nasional, dimana penurunan proporsi penduduk miskin telah melebihi setengahnya dari 27,60% menjadi 11,07%. meskipun dibandingkan wilayah lain di Kalimantan, jumlah dan persentase penduduk miskin Kalimantan Barat masih lebih tinggi, seperti yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Perbandingan tingkat kemiskinan, IPM dan pendapatan per kapita antar provinsi di Kalimantan Tahun 2008
Provinsi
Jumlah Penduduk Miskin (000 orang)
Persentase Penduduk Miskin (%)
IPM
PDRB per kapita (Rp juta/kap)
Kota Desa Kota+
Desa Kota Desa
Kota+ Desa
Kalbar 127,5 381,3 508,8 9,98 11,49 11,07 68,17 6,52
Kalteng 45,3 154,6 200,0 5,81 10,20 8,71 73,88 8,13
Kalsel 81,1 137,8 218,9 5,79 6,97 6,48 68,72 7,99
Kaltim 110,4 176,1 286,4 5,89 15,47 9,51 74,52 33,34
Indonesia 12 768,5 22 194,8 34 963,3 11,65 18,93 15,42 71,17 21,70
Sumber : BPS (2009) (diolah)
Upaya pengurangan kemiskinan dapat dilakukan dengan membangun kapabilitas penduduk miskin agar mampu bersaing mendapatkan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan (Sumodiningrat, 2009). Strategi melalui pembangunan pendidikan dan kesehatan diukur melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Tingginya tingkat kemiskinan di Kalimantan Barat berkorelasi dengan rendahnya IPM di wilayah ini yang sebesar 68,17, yang juga menunjukkan IPM terendah di wilayah Kalimantan.
Hal ini menunjukkan bahwa investasi di bidang pembangunan manusia di provinsi ini masih terkonsentrasi di Kota Pontianak sebagai ibukota provinsi.
Tabel 2 Indeks Pembangunan Manusia beserta kompositnya dan persentase penduduk miskin di kabupaten/kota pada Provinsi Kalimantan Barat, Tahun 2008
Kabupaten/Kota
Usia Harapan
Hidup (tahun)
Angka Melek Huruf (%)
Rata-rata Lama Sekolah
(tahun)
Pengeluaran per Kapita (Rp000.00/ kap/bul)
IPM
Persentase penduduk
miskin (%)
Kab. Sambas 60,70 89,50 5,90 614,92 63,73 11,51
Kab. Bengkayang 68,57 88,68 6,03 599,30 66,81 9,41
Kab. Landak 64,98 91,45 6,86 608,21 66,74 18,65
Kab. Pontianak 67,12 89,40 6,48 617,52 67,90 7,03
Kab. Sanggau 67,99 89,92 6,40 609,95 67,86 6,25
Kab. Ketapang 67,02 88,87 6,22 608,43 66,84 15,21
Kab. Sintang 67,91 90,41 6,58 602,01 67,44 13,61
Kab. Kapuas Hulu 66,39 92,55 7,10 627,31 69,41 11,44
Kab. Sekadau 67,27 88,98 6,06 598,62 66,13 7,66
Kab. Melawi 67,63 92,32 7,20 598,62 67,91 14,80
Kab. Kayong Utara 65,33 88,20 5,60 600,67 64,69 14,50
Kab. Kubu Raya 66,17 85,83 6,16 617,00 66,31 -
Kota Pontianak 66,86 93,59 9,11 636,18 72,08 9,29
Kota Singkawang 66,95 89,62 7,30 611,76 68,02 7,89
Sumber : BPS Kalbar (2009) (diolah)
Tabel 3 Persen rumahtangga pertanian, share sektor-sektor unggulan dan jumlah penduduk miskin pada kabupaten/kota di Kalimantan Barat, Tahun 2008
Kabupaten/ kota
Rumah tangga tani
(%)
Share sektor (%) penduduk miskin
Pertanian Industri Dagang Jasa (juta
orang) (%)
Kab. Sambas 81,71 42.58 10.59 28.87 5.47 0.06 11.51
Kab. Bengkayang 87,23 46.49 4.51 26.33 7.05 0.02 9.41
Kab. Landak 91,91 51.93 10.91 19.94 5.39 0.07 18.65
Kab. Pontianak 71,37 26.89 14.62 18.43 26.12 0.05 7.03
Kab. Sanggau 84,18 37.19 24.71 18.93 8.43 0.03 6.25
Kab. Ketapang 80,02 33.12 16.48 20.03 6.22 0.07 15.21
Kab. Sintang 85,82 41.31 9.46 23.76 8.95 0.05 13.61
Kab. Kapuas Hulu 85,10 34.51 4.09 15.96 11.73 0.03 11.44
Kab. Sekadau 83,87 47.55 10.54 20.42 4.86 0.01 7.66
Kab. Melawi 87,26 33.32 10.94 34.30 6.99 0.03 14.80
Kab. Kayong Utara 85,67 47.43 16.78 16.00 5.94 0.01 14.50
Kab. Kubu Raya 80,75 20.21 47.00 18.04 3.88 - -
Kota Pontianak 2,97 1.67 7.83 24.05 20.23 0.05 9.29
Kota Singkawang 53,54 13.38 7.51 40.78 13.90 0.02 7.89
Kalimantan Barat 75,81 27.80 16.96 22.74 10.44 0.51 11.07
Sumber : BPS Kalbar (2009) (diolah)
Selain di wilayah dengan basis pertanian, pola kemiskinan di provinsi ini juga menunjukkan bahwa Kota Pontianak sebagai ibukota provinsi harus menghadapi desakan atas pergeseran kemiskinan di perdesaan. Estimasi untuk meningkatkan pendapatan di perkotaan bagi penduduk perdesaan mengakibatkan Kota Pontianak harus menanggung beban penduduk dengan pendidikan dan keterampilan rendah yang menekuni sektor-sektor informal dengan upah yang rendah. Dampak nyata pergeseran penduduk ke perkotaan ini adalah banyak dijumpai pemukiman kumuh di pinggiran Kota Pontianak. Kondisi ini memunculkan bentuk lain dari gambaran kemiskinan di provinsi Kalimantan Barat.
Gambar 1 Perubahan PDRB per kapita dan perubahan persentase penduduk miskin pada tahun 2007-2008 di kabupaten/kota.
1.2 Perumusan Masalah
Kemiskinan masih menjadi permasalahan penting bagi pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Barat. Data statistik di tahun 2008 menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di provinsi ini mencapai 508 800 orang, yaitu 11,07% dari total penduduk Provinsi Kalimantan Barat. Proporsi ini turun 4,39% dibandingkan proporsi penduduk miskin Kalimantan Barat di tahun 2002, dan jika dirata-ratakan penurunannya mencapai 0,73% per tahunnya. Adam (2004) mensyaratkan perubahan 1,00% pertumbuhan ekonomi untuk dapat menurunkan 0,252% jumlah penduduk miskin di negara-negara berkembang. Di Provinsi Kalimantan Barat, dalam rentang tahun 2002-2008, rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai 4,48%, sehingga estimasi dari perhitungan ini diharapkan penurunan penduduk miskin dapat mencapai 1,13% per tahunnya. Angka ini masih lebih tinggi dibandingkan prestasi penurunan proporsi penduduk miskin di Provinsi Kalimantan Barat pada periode yang sama.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup sebagai prasyarat mengurangi kemiskinan, terlebih lagi jika wilayah tersebut menunjukkan keragaman yang tinggi baik etnik, geografi, ekologi dan demografi (Kalwija dan Verschoorb, 2007). Provinsi Kalimantan Barat yang terdiri atas 14 kabupaten/kota menunjukkan keragaman pola pencapaian indikator kinerja pembangunan daerah. Tingkat kemiskinan sebagai salah satu indikator
-30.00 -20.00 -10.00 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 Kab . S a m ba s K ab . B eng ka ya ng K ab . L an da k K ab . P o nti an ak K ab . S an g g au K ab . K etap an g K ab . S inta ng K ab . K ap ua s H ul u K ab . S eka da u K ab . Me law i K ab . K ay o ng Uta ra K ab. K ubu R aya K o ta P o nti an ak K o ta S ing ka wa ng
% perubahan PDRB per kapita
% perubahan jumlah penduduk miskin
pembangunan menunjukkan pola hubungan yang berbeda-beda dengan indikator pembangunan lainnya, seperti total output wilayah yang diukur dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Kabupaten Ketapang sebagai salah satu wilayah berbasis sektor pertanian dan penyumbang ketiga terbesar total PDRB provinsi, jumlah penduduk miskinnya adalah yang tertinggi di Provinsi Kalimantan Barat. Demikian halnya dengan Kota Pontianak dengan basis ekonomi daerah adalah sektor sekunder dan tersier, juga menunjukkan jumlah penduduk miskin tertinggi kelima di provinsi ini. Oleh karena itu, keterkaitan antara pola aktivitas ekonomi dengan kemiskinan berbeda antar satu daerah dengan daerah lainnya.
Strategi pembangunan manusia dalam ukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang diharapkan sebagai senjata lain untuk mengatasi kemiskinan, juga belum cukup mampu menjelaskan pola kemiskinan di suatu wilayah, sebagaimana yang ditunjukkan di Provinsi Kalimantan Barat. Pola hubungan antara tingkatan pembangunan manusia dengan tingkat kemiskinan yang berbeda-beda antar kabupaten/kota menunjukan bahwa untuk mengatasi kemiskinan, memerlukan strategi yang sesuai dengan pola masing-masing wilayah. Oleh karena itu, mengetahui karakteristik pembangunan di masing-masing kabupaten/kota diperlukan untuk mengelola dan mengembangkan strategi penanganan kemiskinan di suatu wilayah. Karakteristik wilayah sebagaimana dimaksud, tentunya terkait pula dengan pola interaksi antar wilayah terdekat (ketetanggaan). Wilayah yang berdekatan akan saling mempengaruhi, dan untuk hal-hal tertentu dimana interaksinya tinggi, wilayah yang berdekatan memiliki kesamaan atau kemiripan pola aktivitasnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana pola spasial kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat?
2. Bagaimana pola spasial pembangunan manusia/sosial kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat?
4. Bagaimana hubungan antara pembangunan manusia dan aktivitas ekonomi dengan kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat?
5. Bagaimana arah kebijakan penanganan kemiskinan yang diperlukan pada kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Barat?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk menjawab pertanyaan penelitian, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Memetakan pola spasial kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat.
2. Memetakan pola spasial pembangunan manusia/sosial di Provinsi Kalimantan Barat.
3. Memetakan pola spasial aktivitas ekonomi di Provinsi Kalimantan Barat. 4. Menganalisis keterkaitan variabel-variabel pembangunan manusia/sosial dan
aktivitas ekonomi dengan kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat.
5. Menyusun arahan kebijakan penanganan kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai bahan informasi dan sumbangan pemikiran bagi pemerintah daerah dalam upaya menyusun strategi penanggulangan kemiskinan;
2. Sebagai bahan masukan dalam perumusan kebijakan pembangunan daerah; 3. Sebagai bahan pembelajaran dan pengembangan perencanaan wilayah dengan
III.
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Pembangunan Daerah/Wilayah
Riyadi dan Bratakusumah (2004) menjelaskan secara sederhana, pembangunan sebagai suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik dan tidak jarang pembangunan diasumsikan sebagai pertumbuhan. Pembangunan adalah suatu proses yang dilakukan dengan sadar dan terencana, artinya bahwa suatu perubahan dapat dikatakan pembangunan manakala proses perencanaan memberikan kontribusi penting terhadap perubahan tersebut, sehingga perubahan tanpa perencanaan tidak dapat dikatakan sebagai pembangunan.
Rustiadi et al. (2009) berpendapat bahwa secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan, untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan (Todaro, 1989).
Menurut Sumardjo et al. (2009), pembangunan pada hakekatnya adalah perubahan progresif yang berkelanjutan untuk mempertahankan kepentingan individu maupun komunitas melalui pengembangan, intensifikasi, dan penyesuaian terhadap pemanfaatan sumber daya. Demikian halnya Kartasasmita mengemukaan proses pembangunan daerah sebagai upaya mengurangi kesenjangan ekonomi antar daerah dengan memanfaatkan sumber daya pembangunan dan lokasi kegiatan di daerah (Kartasasmita 1979 dalam Riyadi dan Bratasukuma, 2004).
(1) produktivitas, efisiensi dan pertumbuhan (growth), (2) pemerataan keadilan dan keberimbangan (equity), dan (3) keberlanjutan (sustainability). Ketiga indikator tersebut akan bermuara kepada tercapainya perubahan yang berkelanjutan sebagai upaya peningkatan taraf hidup ke arah yang lebih baik.
Jika pembangunan dipandang sebagai suatu proses dimana terdapat saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antara faktor-faktor yang dapat mewujudkan peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat dalam suatu wilayah, maka pembangunan wilayah merupakan instrumen potensial untuk integrasi dan promosi dari usaha pengembangan sosial dan ekonomi. Dalam kerangka pembangunan Nasional di Indonesia, pada GBHN 1993, pembangunan daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran serta masyarakat serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu. Pemerataan dan keberimbangan dapat diwujudkan melalui pembangunan daerah yang mampu mengembangkan potensi-potensi pembangunan sesuai kapasitasnya, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.
3.1.1. Kinerja Pembangunan Daerah
peningkatan produktivitas dan pendapatan melalui penciptaan kesempatan kerja. Dengan demikian terdapat hubungan timbal balik antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia, dimana pertumbuhan ekonomi mempengaruhi pembangunan manusia, walaupun secara empiris tidak selalu otomatis (Rustiadi et al., 2009).
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia dapat berlangsung dua jalur. Pertama melalui kebijaksanaan pengeluaran pemerintah di bidang sosial seperti pendidikan dan kesehatan dasar. Kedua yaitu melalui besaran dan komposisi pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan dasar serta pemenuhan nutrisi anggota keluarga, untuk biaya pelayanan kesehatan dan pendidikan dasar, serta untuk kegiatan lain yang serupa (Rustiadi et al., 2009). Disebutkan pula bahwa selain kedua jalur tersebut, keberlangsungan interaksi kedua variabel tersebut berlangsung melalui penciptaan lapangan kerja.
2.1.2 Indikator Pembangunan Daerah
Indikator adalah ukuran kuantitatif dan/atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi. Secara umum, indikator kinerja memiliki fungsi untuk (1) memperjelas tentang apa, berapa dan kapan suatu kegiatan dilaksanakan, (2) menciptakan konsensus yang dibangun oleh berbagai pihak terkait untuk menghindari kesalahan interpretasi selama pelaksanaan kebijakan/program/kegiatan dan dalam menilai kinerjanya, dan (3) membangun dasar bagi pengukuran, analisis, dan evaluasi kinerja organisasi/unit kerja (Rustiadi et al., 2009).
berbasis kapasitas sumber daya, dan (3) indikator berbasis proses pembangunan (Gambar 2).
Gambar 2 Sistematika penyusunan konsep-konsep indikator kinerja pembangunan wilayah.
Indikator berbasis tujuan pembangunan merupakan sekumpulan cara mengukur tingkat kinerja pembangunan dengan mengembangkan berbagai ukuran operasional berdasarkan tujuan-tujuan pembangunan. Dari berbagai pendekatan, dapat disimpulkan tiga tujuan pembangunan, yakni: (1) produktivitas, efisiensi dan pertumbuhan (growth), (2) pemerataan keadilan dan keberimbangan (equity), dan (3) keberlanjutan (sustainability) (Rustiadi et al., 2009).
Pembangunan juga harus dilihat sebagai suatu upaya secara terus- menerus untuk meningkatkan dan mempertahankan kapasitas sumber daya pembangunan, sehingga kapasitas sumber daya pembangunan sering menjadi indikator yang penting dalam pembangunan. Sumber daya adalah segala sesuatu yang dapat menghasilkan utilitas (kemanfaatan) baik melalui proses produksi atau penyediaan barang dan jasa maupun tidak. Dalam perspektif ekonomi sumber daya, sumber daya juga diartikan sebagai segala sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi. Terdapat berbagai cara mengelompokkan atau mengklasifikasikan sumber daya. Salah satu cara mengklasifikasikan sumber daya yang paling umum
Indikator Kinerja Pembangunan
Daerah
Indikator berdasarkan
“Tujuan pembangunan
Indikator berdasarkan
“Kapasitas Sumberdaya Pembangunan”
Indikator berdasarkan
“Proses pembangunan
“Growth” (Produktifitas, Efisiensi dan Pertumbuhan)
“Equity” (Pemerataan, Keadilan dan Keberimbangan)
“Sustainability” (Keberlanjutan)
Sumberdaya Alam
Sumberdaya Manusia
Sumberdaya Buatan
Sumberdaya Sosial
Input
Implementasi/Proses
Output
Outcome
Impact Benefit
menurut Rustiadi et al. (2009) adalah dengan memilah sumber daya atas sumber daya yang dapat diperbarui (renewable resources) dan sumber daya yang tidak dapat diperbarui (non renewable resources). Pendekatan lain dalam klasifikasi sumber daya adalah dengan memilah atas: (1) sumber daya alam (natural resources), (2) sumber daya manusia (human resource), (3) sumber daya fisik buatan (man-made resources), mencakup prasarana dan sarana wilayah, dan (4) sumber daya sosial. Masing-masing sumber daya memiliki sifat kelangkaan dan berbagai bentuk karakteristik unik yang menyebabkan pengelolaannya memerlukan pendekatan yang berbeda-beda.
Pembangunan adalah suatu proses, yang kinerja pembangunannya tetap perlu dievaluasi proses dari pembangunan. Penilaian kinerja proses pembangunan setidaknya dapat dilihat dari input yang digunakan untuk menghasilkan output dari proses pembangunan. Input yang digunakan setidaknya akan menentukan kelanjutan dari pembangunan pada tahapan selanjutnya. Akan tetapi seringkali evaluasi atau kinerja pembangunan hanya dilakukan pada tujuan jangka pendek, yaitu keberhasilan dari suatu proyek pembangunan jangka pendek (tahunan) yang tidak bersifat esensial atau mendasar. Akibatnya tidak menghasilkan manfaat-manfaat jangka panjang atau bahkan merugikan akibat akumulasi dampak yang bersifat jangka panjang. Oleh karenanya, pencapaian output jangka pendek belum memberi jaminan tercapainya tujuan-tujuan jangka panjang yang lebih hakiki.
1.2 Pembangunan Ekonomi dan Pertumbuhan Penduduk
Dalam beberapa varian pemikiran, pembangunan diidentikkan dengan pertumbuhan ekonomi melalui pembentukan modal. Oleh karena itu, setelah Perang Dunia II, strategi pembangunan yang ditempuh di beberapa negara adalah akselerasi pertumbuhan ekonomi dengan mengundang modal asing dan melakukan industrialisasi.
Mobilisasi ini akan menjadi masalah jika menimbulkan ketimpangan kesejahteraan karena penguasaan yang didominasi oleh kelompok tertentu. Untuk menghilangkan inefisiensi dan membuka akses masyarakat terhadap sumber daya tersebut dapat dilakukan melalui mobilisasi sumber daya melalui redistribusi asset (Rustiadi et al., 2009).
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu wujud redistribusi asset dalam mengelola dan mengeksplorasi sumber daya untuk kepentingan pertumbuhan wilayah. Menurut Arsyad (1999) pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut.
Pendapatan wilayah merupakan gambaran pendapatan masyarakat di suatu wilayah. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah ukuran produktivitas wilayah yang paling umum diterima secara luas sebagai standar ukuran pembangunan dalam skala wilayah. PDRB pada dasarnya adalah total produksi kotor dari suatu wilayah, yakni total nilai tambah dari semua barang dan jasa yang diproduksi di suatu Negara atau wilayah dalam periode satu tahun. Artinya PDRB menunjukkan nilai tambah dari aktivitas manusia.
PDRB yang dibagi dengan jumlah penduduk akan menunjukkan pendapatan per kapita masyarakat di suatu wilayah (Rustiadi et al., 2009). Pendapatan per kapita yang tinggi di suatu wilayah akan menjadi daya tarik penduduk untuk berimigrasi ke wilayah tersebut. Tingkat imigrasi yang tinggi akan menyebabkan tingginya pertumbuhan penduduk (social increase), selain faktor kelahiran dan kematian (natural increase). Sehingga pembangunan ekonomi wilayah yang tinggi, juga menjadi penyebab tingginya pertumbuhan penduduk di wilayah tersebut.
mempertahankan pola keluarga besar sebagai sumber jaminan sosial di masa mendatang.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi juga menyebabkan degradasi sumber daya alam dan penyusutannya. Kerusakan ini justru mengakibatkan pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut akan meluruh. Daya dukung dan kerusakan sumber daya alam akan diperparah dengan penyebaran penduduk yang tidak merata. Permasalahan lain dari pertumbuhan penduduk ini, justru terkait dengan rendahnya pembangunan ekonomi di suatu wilayah. Pembangunan ekonomi yang rendah menjadi penyebab tingginya insiden kemiskinan, sehingga untuk mengatasinya selain mengurangi laju pertumbuhan penduduk, diperlukan pula strategi yang dapat meningkatkan pembangunan ekonomi wilayah. Selain itu, jumlah penduduk yang rendah akan membantu mengurangi alokasi pembangunan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, sehingga porsi untuk investasi peningkatan aktivitas ekonomi justru akan meningkat.
1.3 Pembangunan Manusia/Sosial
Konteks kesejahteraan dalam pembangunan, tidak hanya dimaknai sebagai kecukupan, pertumbuhan dan produktivitas ekonomi yang tinggi, tetapi juga menunjukkan kemajuan sosial budaya, interaksi sosial dan akses masyarakat pada pendidikan, kesehatan, dan politik. UNDP mendefinisikan pembangunan manusia sebagai suatu proses yang ditujukan untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk ( a process of enlarging people choices). Dalam konsep tersebut, penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhir, bukan alat, cara atau instrument pembangunan (Rustiadi et al., 2009).
tidak miskin, tidak menderita kelaparan, menikmati pelayanan pendidikan secara layak, mampu mengimplementasikan kesetaraan gender, dan merasakan fasilitas kesehatan secara merata.
Pembangunan manusia pada dasarnya adalah suatu upaya terstruktur untuk meningkatkan kapabilitas modal manusia (human capital) sehingga memiliki peluang meningkatkan kesejahteraan melalui pembangunan kesehatan dan pendidikan. Kesehatan merupakan inti dari kesejahteraan, dan pendidikan merupakan hal pokok untuk menggapai kehidupan yang memuaskan dan berharga (Todaro dan Smith 2003). Pendidikan memainkan peran kunci untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kapasitas sumber daya manusia untuk menyerap teknologi dalam aktivitas pembangunan. Kesehatan merupakan prasyarat untuk peningkatan produktivitas penduduk dan sebagai tumpuan atas keberhasilan pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan dan kesehatan menjadi penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, sebagai modal peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Rustiadi et al. (2009) menjelaskan bahwa untuk mencapai cita-cita dari pembangunan manusia, empat hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan manusia yaitu produktivitas, pemerataan, keberlanjutan dan pemberdayaan. Perhatian pembangunan manusia tidak hanya pada upaya meningkatkan kapabilitas manusia, tetapi juga upaya pemanfaatan kapabilitas tersebut secara penuh. Dengan demikian terdapat dua sisi paradigma pembangunan manusia, yaitu sisi pertama adalah formasi kapabilitas manusia seperti perbaikan taraf kesehatan, pendidikan dan keterampilan, dan sisi keduanya adalah pemanfaatan kapabilitas mereka untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat produktif, kultural, sosial dan politik.
Pembangunan sosial sebagai proses pembangunan yang memanfaatkan modal sosial dengan memperhatikan tiga komponennya, yaitu: norma, jaringan, dan kepercayaan. Norma sebagai serangkaian nilai yang disepakati bersama, jaringan menggambarkan adanya ikatan dari segolongan atau sekelompok masyarakat, dan kepercayaan adalah nilai yang menghasilkan tingkatan ikatan antar masyarakat atau golongan. Ketiga komponen tersebut bersifat spesifik, sehingga akan berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya karena perbedaan pola karakteristik sosial kelompok atau masyarakat (Fukuyama, 2002).
1.4 Kemiskinan
Secara ekonomi kemiskinan diidentikkan dengan permasalahan pendapatan. Akan tetapi pendekatan ini tidak mampu menjelaskan masalah kemiskinan secara tuntas. Karenanya kemiskinan harus didefinisikan secara plural, dimana kemiskinan adalah suatu kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan dasar (esensial) individu sebagai manusia. Menggambarkan kemiskinan, terutama di pedesaan, ada lima karakteristik yang saling terkait: kemiskinan material, kelemahan fisik, keterkucilan dan keterpencilan, kerentanan, dan ketidakberdayaan. Kerentanan tersebut dapat dilihat dari ketidakmampuan keluarga miskin untuk menyediakan sesuatu guna menghadapi situasi darurat seperti datangnya bencana alam, kegagalan panen, atau penyakit yang tiba-tiba menimpa keluarga miskin itu (Chambers, 1983 dalam Kuncoro, 2006).
Keluarga miskin pada umumnya selalu lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga seringkali makin tertinggal jauh dari masyarakat lain yang memiliki potensi lebih tinggi. Rustiadi et al. (2009) mendefinisikan kemiskinan sebagai keadaan di mana tingkat pendapatan seseorang mengakibatkan dirinya tidak dapat mengikuti tata nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
kaya atau miskin dari yang lain. Mungkin saja dalam keadaan kemiskinan alamiah tersebut akan terdapat perbedaan-perbedaan kekayaan, tetapi dampak perbedaan tersebut akan diperlunak atau dieliminasi oleh adanya pranata-pranata tradisional, seperti pola hubungan patron-client, jiwa gotong royong dan sejenisnya yang secara fungsional untuk meredam kemungkinan timbulnya kecemburuan sosial (Kuncorojakti, 1986).
Ciri utama dari kemiskinan struktural ialah tidak terjadinya - kalaupun terjadi sifatnya lamban sekali - apa yang disebut sebagai mobilitas sosial vertikal. Struktur sosial yang berlaku telah melahirkan berbagai corak rintangan yang menghalangi mereka untuk maju. Ciri lain dari kemiskinan struktural adalah timbulnya ketergantungan yang kuat antara pihak si miskin terhadap kelas sosial-ekonomi di atasnya (Kuncorojakti, 1986).
3. Kemiskinan Kultural
Kemiskinan kultural merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian, bukan berasal dari kebodohan dan ketidakmampuan fisik, tetapi lebih kepada sikap apatis dan pasrah dalam menerima kondisi kemiskinan yang dimilikinya yang kemudian diturunkan dari generasi ke generasi, sehingga seringkali kita dapat dapat menemui kemiskinan ini pada masyarakat strata sosial yang lebih rendah, masyarakat terasing, dan warga urban yang berasal dari buruh tani yang tidak memiliki tanah.
2.4.1 Kemiskinan Absolut dan Relatif
Kemiskinan absolut dan relatif adalah konsep kemiskinan yang mengacu pada kepemilikan materi dikaitkan dengan standar kelayakan hidup seseorang/keluarga. Kedua istilah itu merujuk pada perbedaan sosial (social distinction) yang ada dalam masyarakat berangkat dari distribusi pendapatan.
Perbedaannya adalah pada kemiskinan absolut ukurannya sudah terlebih dahulu ditentukan dengan angka-angka nyata dan atau indikator atau kriteria yang digunakan, sementara pada kemiskinan relatif, kategorisasi kemiskinan ditentukan berdasarkan perbandingan relatif tingkat kesejahteraan antar penduduk. Kategori ini dapat digunakan untuk mengukur kemiskinan konsumsi maupun kemiskinan keterbelakangan yang bersifat multidimensi.
menetapkan garis kemiskinan sebagai ukuran minimal memenuhi kebutuhan makanannya setara dengan 2100 kalori per kapita per hari. Bank dunia menetapkan garis kemiskinan USD 1.00 per orang per hari di negara kategori pendapatan rendah, USD 14.00 per hari di negara maju dan USD 2.00 per hari di negara pendapatan sedang.
Kemiskinan relatif memandang kemiskinan berdasarkan kondisi riil tingkat kemakmuran masyarakat. Kemiskinan ini menggunakan garis kemiskinan yang berbeda antar wilayah, berdasarkan tingkat kemakmuran masyarakat di wilayah tersebut (GAPRI,2003).
2.4.2 Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan
Secara kuantitatif, Kedalaman kemiskinanberarti mengukur secara rata-rata seberapa jauh jarak orang miskin dari garis kemiskinan. Secara singkat, pengukuran ini melihat seberapa miskinnya si miskin. Jika secara rata-rata konsumsi orang miskin hanya sedikit di bawah garis kemiskinan, maka kedalaman kemiskinan lebih kecil daripada jika rata-rata konsumsi orang miskin jauh di bawah garis kemiskinan. Indeks dalam pengukuran kedalaman kemiskinan ini dapat mengestimasi jarak/perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan, yang dinyatakan dalam rasio dari garis kemiskinan.
Secara kualitatif, kedalaman kemiskinan juga dapat ditunjukkan dengan gap antara klasifikasi kaum termiskin dengan kelompok-kelompok diatasnya. Keparahan kemiskinan, secara kuantitatif dapat mengukur ketimpangan distribusi di antara orang miskin (GAPRI,2003). Jika indeks dari Kedalaman Kemiskinan tidak sensitif terhadap distribusi pendapatan diantara penduduk miskin, maka indeks dari keparahan kemiskinan mampu memberikan gambaran ketimpangan distribusi pendapatan dalam kelompok miskin.
Penggabungan indikator kemiskinan dengan ukuran ketimpangan mempertajam dan memperkaya gambaran mengenai sebaran permasalahan kemiskinan, sekaligus perilaku kaum miskin itu sendiri.
2.4.3 Ukuran Kemiskinan
Konsep ini berdasarkan fakta bahwa semakin tinggi kesejahteraan seseorang maka semakin besar persentase pendapatan (income) yang digunakan untuk jasa.
b. Persentase/ratio pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan.
Semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi kesempatan mengkonsumsi komoditi selain makanan. Dengan demikian semakin tinggi persentase pengeluaran untuk bukan-makanan terhadap total pendapatan seseorang, semakin tinggi tingkat kesejahteraannya.
c. Pendapatan setara beras.
Kebutuhan setara beras dihitung untuk kebutuhan kalori orang per hari. Pendapatan yang diperoleh seseorang jika dapat melebihi pemenuhan kebutuhan kalori per harinya, maka tingkat kesejahteraannya semakin baik. d. Pemenuhan kebutuhan pokok.
Pengukuran kesejahteraan seseorang yang didasarkan pada pemenuhan kebutuhan sembilan bahan pokok, yang apabila dapat terpenuhi, maka tingkat kesejahteraannya akan lebih baik.
2.4.4 Kriteria Keluarga Miskin
Indikator Keluarga Sejahtera pada dasarnya berangkat dari pokok pikiran yang terkandung didalam undang-undang nomor 10 Tahun 1992 disertai asumsi bahwa kesejahteraan merupakan variabel komposit yang terdiri atas berbagai indikator yang spesifik dan operasional. Indikator dan kriteria keluarga miskin adalah adalah keluarga Pra Sejahtera alasan ekonomi dan KS - I karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi : a. Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging/ikan/telor.
b. Setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru.
c. Luas lantai rumah paling kurang 8 M2 untuk tiap penghuni.
Selain keluarga miskin, disusun pula kriteria untuk keluarga miskin sekali, yakni keluarga Pra Sejahtera alasan ekonomi dan KS - I karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi :
b. Anggota keluarga memiliki pakaian berbeda untuk dirumah, bekerja/sekolah dan bepergian.
c. Bagian lantai yang terluas bukan dari tanah.
Karena penetapan keluarga miskin dan miskin sekali berdasar pada kriteria keluarga pra sejahtera dan sejahtera I, maka indikator bagi keluarga sejahtera I dan pra sejahtera adalah sebagai berikut :
a. Keluarga Pra Sejahtera
adalah keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu atau lebih dari 5 kebutuhan dasarnya (basic needs) sebagai keluarga Sejahtera I, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, papan, sandang dan kesehatan. b. Keluarga Sejahtera Tahap I
adalah keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal yaitu :
1) Melaksanakan ibadah menurut agama oleh masing-masing anggota keluarga.
2) Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 (dua) kali sehari atau lebih.
3) Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian.
4) Bagian yang terluas darilantai rumahbukan dari tanah.
5) Bila anak sakit atau pasangan usia subur ingin ber KB dibawa kesarana/petugas kesehatan.
2.5 Interaksi Spasial
Interaksi spasial menggambarkan pola hubungan antar wilayah yang
berdekatan karena adanya sifat kontiguitas spasial (spatial contiguity) dan spatial compactness. Sifat spatial contiguity menggambarkan kecendrungan dua wilayah yang bersebelahan akan saling mempengaruhi, sementara spatial compactness
menggambarkan bahwa dua wilayah yang bersebelahan akan saling berinteraksi dan
memiliki keterkaitan spasial. Keterkaitan untuk saling mempengaruhi dan
berinteraksi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efesiensi dalam proses
pembangunan wilayah (Rustiadi et al., 2009).
Dalam interaksi spasial, pembangunan dapat diterjemahkan sebagai alokasi
sasaran pembangunan dan memecahkan permasalahan sosial ekonomi dengan menekankan pada “apa yang menjadi masalah (what) dan mengapa masalah itu terjadi (why)” dalam suatu wilayah. Menggabungkan aspek geografi dan sosial -ekonomi untuk memecahkan permasalahan yang ada dalam suatu wilayah telah dikembangkan dengan pendekatan spatial econometrics yang didukung perkembangan teknologi komputer untuk menyajikan informasi spasial seperti Sistem Informasi Geografis (SIG).
2.6 Kemiskinan, Pembangunan Manusia/Sosial dan Aktivitas Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia merupakan dua sisi mata uang yang harus beriringan dalam pembangunan di suatu wilayah, beberapa penelitian telah mengembangkan argumentasi tersebut, diantaranya Brata (2002) dalam tulisannya pada Jurnal Ekonomi Pembangunan yang berjudul Pembangunan Manusia dan Kinerja Ekonomi Regional, adanya hubungan dua arah antara pembangunan manusia dan pembangunan ekonomi regional di Indonesia, termasuk di masa krisis. Pembangunan manusia yang berkualitas mendukung pembangunan ekonomi dan sebaliknya kinerja ekonomi yang baik mendukung pembangunan manusia. Masing-masing hubungan ini ditunjukkan dengan berperannya variabel-variabel, seperti variabel PDRB, lama pendidikan sekolah perempuan, yang terbukti sangat signifikan pengaruhnya terhadap tingkat pembangunan manusia jika dilihat dari IPM.
Studi yang dikembangkan oleh Adam (2004) mengenai keterkaitan pertumbuhan ekonomi, ketimpangan dan kemiskinan di beberapa Dunia Berkembang menunjukkan bahwa elastisitas kemiskinan lebih tinggi ketika pertumbuhan yang dimaksud adalah perubahan pendapatan rata-rata rumah tangga per kapita dibandingkan dengan pertumbuhan GDP per kapita. Setiap aktivitas yang mampu mendorong peningkatan pendapatan penduduk miskin akan signifikan menurunkan angka kemiskinan, sehingga penting melihat kemiskinan pada skala aktivitas mikro.
dan mengindikasikan semakin banyak orang yang bekerja, sehingga dapat mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Tetapi kondisi ini tidak selalu tercapai karena banyaknya faktor-faktor pertumbuhan ekonomi berpengaruh pada tingkatan berbeda terhadap pengurangan kemiskinan dan pengangguran. Dari hasil analisis yang dilakukannya menyimpulkan bahwa pertumbuhan berpengaruh tidak signifikan mengurangi kemiskinan, demikian halnya pengaruh inflasi dan jumlah penduduk. Faktor yang signifikan menurunkan tingkat kemiskinan dan pengangguran adalah peningkatan share sektor pertanian dan industri, serta tingkat pendidikan.
Dalam makalah yang lain, Siregar (2006) menyebutkan peningkatan ekonomi sebagai syarat keharusan dalam mengurangi kemiskinan dan pengangguran yang dibangun melalui investasi dan pengembangan sektor-sektor padat karya baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Investasi publik atau pemerintah dikembangkan melalui infrastruktur perekonomian, kualitas SDM, kualitas pelayanan publik yang merata. Investasi swasta dikembangkan melalui pengembangan pertanian dan industri pertanian, serta mendukung pengembangan UKM.
Pengalaman China menangani kemiskinan yang diangkat oleh Ravallion dan Chen (2005) menekankan penanganan kemiskinan di pedesaan. Dengan melakukan pemetaan kemiskinan dan mempelajari penyebab munculnya kemiskinan, maka China mengembangkan kebijakan reformasi agraria dengan melakukan de-kolektivitas pertanian dari kelompok menjadi pengelolaan rumah tangga dan memperluas pertanian tanaman pangan sehingga mampu meningkatkan produksi, dan akhirnya berdampak pada menurunnya harga pasar bahan pangan. Dampak tak langsung dari kebijakan ini, pendapatan petani meningkat dan daya beli pangan oleh penduduk miskin juga meningkat. Kebijakan ini mampu menurunkan jumlah penduduk miskin, sehingga China memandang bahwa pertanian dan kemiskinan di pedesaan adalah sasaran yang effektif meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Pro Poor Growth) bagi negara-negara berkembang.
sejalan dengan penelitian Grooter dan Narayan (2004). Penelitian ini mampu menjelaskan bahwa dampak penguatan sumber daya sosial 2,5 kali lebih besar daripada penguatan sumber daya manusia dalam meningkatkan pendapatan. Jika meningkatkan 25% pengeluaran rumah tangga di bidang pendidikan mampu meningkatkan pendapatan 4,2%, maka dengan investasi yang sama besar pada sumber daya sosial, maka pendapatan akan meningkat 9-10,5%, sehingga disimpulkan bahwa pendekatan pembangunan sosial adalah akselerator penurunan kemiskinan.
Dalam menganalisis keterkaitan kemiskinan dan aktivitas ekonomi di Provinsi Riau, dalam tesisnya, Hajiji (2010) menyimpulkan bahwa sektor-sektor yang berpengaruh dalam pengentasan kemiskinan adalah sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor angkutan dan komunikasi, dan sektor keuangan, persewaan dan jawa perusahaan. Sementara peningkatan sektor pertanian, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih justru meningkatkan kemiskinan.
Pola interaksi spasial dalam keterkaitan pembangunan manusia/sosial dan aktivitas ekonomi, dengan kemiskinan dijelaskan oleh Arman (2009) dalam tesisnya yang berjudul Peran Pembangunan Manusia/Sosial dan Interaksi Spasial dalam Penanggulangan Kemiskinan dan Pengangguran. Penelitiannya menunjukkan bahwa interaksi spasial antar kecamatan di Kabupaten Bogor sangat kuat berpengaruh terhadap penurunan angka kemiskinan. Kerjasama antar kecamatan dapat mengefesiensikan biaya. Hal tersebut dipengaruhi oleh pemanfaatan infrastruktur, alokasi anggaran, ketersediaan sumber daya alam seperti lahan produksi pertanian dan sumber daya manusia seperti tenaga guru di beberapa lembaga pendidikan, dan ketersediaan lapangan pekerjaan, kecamatan yang berdekatan cenderung dapat memanfaatkan fasilitas dan sumber daya tersebut secara bersama. Untuk itu pemerataan pembangunan manusia dalam suatu wilayah perlu dikaji dalam kacamata pembangunan daerah yang berimbang.
pada wilayah yang keterkaitannya tinggi lebih efektif menangangani kemiskinan dibandingkan pada wilayah yang keterkaitannya rendah. Dampak penurunan kemiskinan bersifat spillover pada serentetan wilayah dengan kemiskinan yang tinggi.
2.7 Principal Component Analysis (PCA)
Principal Component Analysis (PCA) atau Analisis Komponen Utama digunakan untuk mengelompokkan variabel-variabel penentu tingkat perkembangan wilayah menjadi beberapa faktor-faktor utama yang lebih sedikit dari jumlah variabel awalnya, namun masih memuat sebagian besar varian/informasi dari data aslinya. Data yang digunakan dalam analisis ini bersifat kuantitatif melalui proses rasionalisasi yaitu variabel-variabel yang dapat mencirikan tipologi wilayah. Untuk melakukan perhitungan dengan metode ini digunakan aplikasi statistica.
Adapun maksud dari analisis ini adalah untuk mengelompokkan beberapa variabel yang memiliki kemiripan untuk dijadikan satu faktor, sehingga dimungkinkan dari beberapa atribut yang mempengaruhi suatu komponen variabel dapat diringkas menjadi beberapa faktor utama yang jumlahnya lebih sedikit. Menurut Saefulhakim (2006) ada dua tujuan dasar dari PCA, yaitu:
1. Ortogonalisasi Variabel: mentransformasikan suatu struktur data dengan variabel-variabel yang saling berkorelasi menjadi struktur data baru dengan variabel-variabel baru (yang disebut sebagai Komponen Utama atau Faktor) yang tidak saling berkorelasi.
2. Penyederhanaan Variabel: banyaknya variabel baru yang dihasilkan, jauh lebih sedikit dari pada variabel asalnya, tetapi total kandungan informasinya (total ragamnya) relatif tidak berubah.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis ini adalah : 1. Ortogonalisasi Variabel
Tujuannya adalah membuat variabel baru Z (=1,2,...,qp) yang memiliki karakteristik:
1) satu sama lain tidak saling berkorelasi, yakni: r’ = 0, 2) nilai rataan masing-masing, tetap sama dengan nol, dan 3) nilai ragam masing-masing Z sama dengan 0, dimana = p. 2. Penyederhanaan jumlah variabel
Mengurutkan masing-masing faktor/komponen utama (F) yang dihasilkan, dari yang memiliki eigenvalue (λ) tertinggi hingga terendah, yakni :
a. Memilih faktor-faktor atau komponen-komponen utama yang memiliki 1,